Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN MINI PROJECT

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU IBU


TERHADAP ANGKA KEJADIAN DIARE DI PUSKESMAS REMU PADA
MARET 2017

Disusun Oleh:
dr. Athia Lutvita
dr. Rahmat Firdaus Dwi Utama
dr. Eleonora Rumande Bandu
dr. Patricia Jessika Cyrilla Babay
dr. Aulia Akbar Bramantyo

APRIL 2017
KOTA SORONG, PAPUA BARAT
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Balita merupakan kelompok usia yang rawan gizi buruk dan rawan
penyakit, utamanya penyakit infeksi. Salah satu penyakit infeksi pada balita
adalah diare dan ISPA. Masa pertumbuhan dan perkembangan suatu individu
ditentukan pada masa balita, apabila terjadi gangguan dan berlanjut sampai
dewasa akan menyebabkan efek negatif jangka panjang serta berlanjut yang
kemungkinan terjadinya kecacatan. Penyakit diare sering menyerang balita
dikarenakan daya tahan tubuh balita yang masih lemah sehingga balita sangat
rentan terhadap penyebaran penyakit diare. Maka kondisi tersebut perlu
mendapatkan perhatian khusus oleh para orang tua untuk menjaga kondisi
kesehatan pada anaknya, terutama pada penyakit diare (Notoatmodjo, 2007;
Suraatmaja, 2007).
Menurut WHO diperkirakan ada sekitar 4 miliar kasus diare akut setiap
tahun dengan mortalitas 3-4 juta pertahun. Secara umum angka kematian diare
pada anak di dunia mencapai 42.000 per minggu, 6.000 per hari, 4 per menit dan 1
kematian setiap detik. Kemudian penderita diare di Indonesia diperkirakan sekitar
60 juta kejadian setiap tahunnya, sebagian besar (70-80%) dari penderita ini
adalah anak di bawah usia 5 tahun (40 juta kejadian). Data yang didapatkan dari
Depkes (2013), bahwa insidensi diare di Indonesia pada tahun 2013 adalah 301
per 1000 penduduk untuk semua golongan usia dan 1,5 episode setiap tahunnya
untuk golongan usia balita (Daldiyono, 2013).
Kejadian diare pada anak laki-laki hampir sama dengan anak perempuan. Insiden
tersebut biasanya diakibatkan oleh makanan dan minuman yang tercemar,
kekurangan protein dan kalori yang menyebabkan daya tahan tubuh menurun.
Maka perlu adanya pengawasan dari orang tua untuk menjaga kesehatan bayi dan
anak balitanya terhadap kemungkinan yang terjadi. Diare hingga saat ini masih
merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian hampir di seluruh
dunia dan semua kelompok usia bisa diserang oleh diare, tetapi penyakit berat
dengan kematian yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak balita terutama
di negara berkembang termasuk di Indonesia (Suraatmaja, 2007; Suharyono,

1
2008).
Angka kejadian diare tertinggi terutama pada bayi dan anak balita masih
merupakan salah satu faktor utama permasalahan kesehatan yang terjadi di
Indonesia. Oleh karena itu, peranan orang tua masih perlu mendapatkan perhatian
khusus terhadap kesehatan bayi dan anak balitanya. Peranan tersebut terutama
ditunjang dari segi tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku dari orang tua.
Dari tingkat pengetahuan seseorang akan membentuk hasil berupa sikap. Dalam
pengertiannya sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup
suatu stimulus atau objek, sikap mempunyai tiga komponen pokok, yaitu:
a. kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek
b. kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek
c. kecenderungan untuk bertindak (trend to behave)
Ketiga komponen tersebut bersama-sama membentuk sikap yang utuh dengan
pengetahuan berpikir, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Dari
penjelasan tersebut bahwa sikap seseorang juga menentukan baik atau buruk
tindakan yang diketahuinya, terutama orang tua yang mengetahui baik atau buruk
dari kesehatan anaknya.
Berdasarkan hasil dari tingkat pengetahuan dan sikap orang tua akan
mempengaruhi tingkat perilaku terhadap kesehatan anak. Hal ini sesuai dengan
penjelasan Depkes (2002), bahwa perilaku hidup masyarakat yang kurang baik
dan keadaan lingkungan yang buruk akan menyebabkan insidensi diare pada
balita menjadi serius, apabila tidak ditangani dengan baik dapat terjadi dehidrasi
yang berat.
Berdasarkan penelitian Srimurni BR Ginting (2011), berjudul Hubungan antara
kejadian diare pada balita dengan sikap dan pengetahuan ibu tentang perilaku
hidup bersih dan sehat di Puskesmas Siantan Hulu Pontianak,
Kalimantan Barat. Menyimpulkan bahwa jumlah balita yang menderita diare
adalah sebanyak 40 balita (29,41%) yang memiliki hubungan bermakna dengan
kejadian diare pada balita sesuai hasil sikap dan pengetahuan ibu tentang perilaku
hidup bersih dan sehat dengan (p < 0,005).
Selanjutnya penelitian Erlina Nasution (2012), berjudul Pengaruh perilaku
ibu tentang pola makan anak balita terhadap kejadian diare di Kecamatan Tanjung
Morawa. Menyimpulkan bahwa sikap dan tindakan ibu tentang pola makan anak
balita berpengaruh terhadap kejadian diare di Puskesmas Kecamatan Tanjung

2
Morawa Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011. Tindakan ibu dominan
mempengaruhi kejadian diare. Pengetahuan ibu tentang pola makan anak balita
tidak berpengaruh terhadap kejadian diare.
Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui tingkat perilaku sebagai hasil dari
tingkat pengetahuan dan sikap pada orang tua. Definisi dari Perilaku adalah suatu
respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan
penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan.
Seperti yang disebutkan bahwa perilaku kehidupan orang tua sehari-hari dalam
mengasuh dan merawat bayi dan anak balita juga dapat berpengaruh pada tingkat
kesehatannya (Wawolumaya, 2001; Notoatmodjo, 2007).
Berdasarkan data di Puskesmas Remu tahun 2016, angka diare pada balita
termasuk dalam 10 besar penyakit tersering yang menyerang anak balita,
berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku terhadap angka kejadian diare,
khususnya menghubungkan antara tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu
dengan angka kejadian diare pada anak balita karena diare dapat menyebabkan
gangguan cairan di dalam tubuh, penelitian dilakukan di daerah Kota Sorong
Papua Barat, berdasarkan data yang diperoleh dari P us kes mas Remu tahun
2017 yang menyatakan bahwa angka kejadian diare pada daerah Kelurahan Remu
Selatan masih tergolong cukup tinggi dan dari data yang diperoleh tersebut
menjelaskan bahwa angka kejadian diare kasus baru di wilayah Remu Selatan masih
ada dan cukup tinggi terutama pada bulan Februari dan Maret tahun 2017 di
Puskesmas Remu.
Dalam penelitian ini, pada dasarnya ingin mengetahui tingkat pengetahuan
sebagai keadaan hasil tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu melalui panca indera. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga sehingga proses
pembentukan pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
untuk terbentuknya suatu tindakan seseorang. Maka untuk mengetahui hal diatas
tingkat pengetahuan seorang ibu menjadi tolakukur dalam penelitian ini. Dimana
seorang ibu harus memiliki pengetahuan tentang kesehatan yang baik untuk
menunjang pertumbuhan dan perkembangan anaknya apabila mendapatkan risiko
terkena penyakit terutama diare (Notoatmodjo, 2007).

3
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah
bagaimana hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu dengan angka
kejadian diare pada anak balita usia 1-5 tahun di Puskesmas R e m u periode
Maret 2017.

C. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara pengetahuan, sikap dan perilaku dengan angka
kejadian diare pada anak balita usia 1 5 tahun di Puskesmas Remu.
b. Tujuan Khusus
1. Mengetahui angka kejadian diare pada anak balita di
Puskesmas Remu.
2. Mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu dengan angka
kejadian diare pada anak balita di Puskesmas Remu.
3. Mengetahui hubungan antara sikap ibu dengan angka kejadian diare
pada anak balita di Puskesmas Remu.
4. Mengetahui hubungan antara perilaku ibu dengan angka kejadian
diare pada anak balita di Puskesmas Remu.

D. Manfaat Penelitian
a. Bagi Puskesmas
Memberikan informasi sebagai bahan masukan atau informasi situasi dan
kondisi masyarakat tentang pengetahuan, sikap dan perilaku ibu terhadap diare.
b. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan ibu dan kader
kesehatan, serta dapat meningkatkan sikap dan perilaku ibu tentang kesehatan di
lingkungan Remu terutama tentang diare pada anak balita serta cara-cara
pencegahan dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian diare pada anak
balita.
c. Bagi Profesi Kedokteran
Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai hubungan tingkat
pengetahuan, sikap dan perilaku ibu terhadap kejadian diare pada anak balita,
sehingga dapat menjadi langkah awal bagi dokter untuk merencanakan pemberian
pendidikan dan pelayanan dibidang kesehatan anak balita khususnya mengenai
diare anak balita. Selain itu juga sebagai tindakan preventif dan promotif untuk

4
mencegah timbulnya diare anak balita.
d. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah dan
juga dapat dijadikan data tambahan bagi penelitian selanjutnya mengenai
tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku ibu terhadap kejadian diare pada anak
balita.

BAB II

5
LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Diare
1.1 Definisi
Diare adalah buang air besar konsistensi lembek/cair bahkan dapat berupa air
saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya 3 kali atau lebih dalam
sehari). (Hassan, 2007; Suraatmaja, 2007; Mandal, 2008; Sudoyo, 2009)
1.2 Etiologi
Diare akut disebabkan oleh banyak faktor antara lain infeksi, makanan, efek obat,
imunodefisiensi dan keadaan-keadaan tertentu. Berikut ini penjelasan
mengenai sebab-sebab penyakit diare, yaitu (Hassan, 2007; Lange, 2007;
Suraatmaja, 2007; Jawetz, Melnick, & Adelberg, 2008; Daldiyono, 2009; Kumar,
Abbas & Fausto, 2010):
a. Infeksi
Telah banyak diketahui bahwa penyebab utama diare pada anak adalah rotavirus.
Rotavirus diperkirakan sebagai penyebab diare cair akut pada 20% -80% anak di
dunia. Rotavirus menginvasi dan berkembang biak di dalam epitel vili usus halus,
menyebabkan kerusakkan epitel dan pemendekkan vili. Hilangnya sel-sel vili yang
secara normal mempunyai fungsi absorpsi dan penggantian sementara oleh sel-sel
epitel berbentuk kripta yang belum matang, menyebabkan malabsorbsi, sekresi air,
dan elektrolit oleh sel kripta imatur dan defek transport akibat efek tokin
protein virus. Penyembuhan terjadi bila vili mengalami regenerasi dan epitel vili
menjadi matang. Sedangkan diare akibat infeksi bakteri terdiri dari infeksi enteral
dan parenteral. Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan dan infeksi
parenteral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar alat pencernaan.
Beberapa Penyebab Diare Akut Infeksi Bakteri:
1. Infeksi non-invasif: Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Clostridium
perfringens, Vibrio cholera, Escherichia coli pathogen.
2. Infeksi Invasif: Shigella sp., Salmonella nontyphoid, Salmonella typhi,
Campylobacter sp., Vibrio non-kolera, Yersinia sp., Enterohemoragik E. Coli
(Subtipe 0157), Aeromonas sp., Plesiomonas sp.
b. Makanan

6
Diare dapat disebabkan oleh intoksikasi makanan, makanan pedas,
makanan yang mengandung bakteri atau toksin. Alergi terhadap makanan tertentu
seperti susu sapi, terjadi malabsorbsi karbohidrat, disakarida, lemak, protein, vitamin
dan mineral.
c. Imunodefisiensi
Defisiensi imun terutama SIgA (Secretory Immunoglobulin A) yang
mengakibatkan berlipat gandanya bakteri, flora usus, dan jamur
d. Terapi obat
Obat-obat yang dapat menyebabkan diare diantaranya antibiotik yang dapat
menyebabkan terbunuhnya flora-flora normal dalam usus,sehingga dapat
mengganggu proses pencernaan dan antasid yang dapat mengurangi produksi
asam lambung sehingga dapat mengganggu proses pencernaan.
1.3 Klasifikasi
Waktu lamanya diare dapat dibagi atas akut dan kronis. Diare akut didefinisikan
sebagai diare yang berlangsung kurang dari 14 hari, sedangkan diare kronis
merupakan diare yang berlangsung lebih dari 14 hari, sedangkan menurut jenis
tinja diare dapat dibagi menjadi tipe berdarah, tipe steatore, dan tipe non berdarah
non steatore. Menurut penyebabnya infeksi atau tidak dapat dibagi atas diare
infektif dan noninfektif. Menurut penyebab ada atau tidaknya kelaianan organik,
dapat dibagi atas diare organik dan diare fungsional. Menurut jumlah tinja yang
keluar dapat dibagi tipe high output, normal output dimana masing-masing
dibagi lagi atas tipe osmotik, sekretorik dan injuri (Hassan, 2007;
Suraatmaja, 2007; Daldiyono, 2009; Kumar, Abbas & Fausto, 2010)
1.4 Patogenesis
Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari patofisiologi berikut, yakni
gangguan osmotik dan gangguan sekretorik. Berikut ini penjelasan mengenai
gangguan tersebut, yaitu (Hassan, 2007; Suraatmaja, 2007; S Silbernagl & Florian
L, 2007; Daldiyono, 2009; Sudoyo, 2009; Kumar, Abbas & Fausto, 2010):
a. Gangguan osmotik
Mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilewati air dan elektrolit
dengan cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara isi usus dengan cairan
ekstraseluler. Diare terjadi jika bahan yang secara osmotik aktif dan sulit diserap.
Bahan tersebut berupa larutan isotonik dan hipertonik. Larutan isotonik, air dan

7
bahan yang larut di dalamnya akan lewat tanpa diabsorbsi sehingga terjadi diare.
Bila substansi yang diabsorbsi berupa larutan hipertonik, air dan elektronik akan
pindah dari cairan ekstraseluler ke dalam lumen usus sampai osmolaritas dari isi
usus sama dengan cairan ekstraseluler dan darah, sehingga dapat mengakibatkan
diare.
b. Gangguan sekretorik
Akibat rangsangan mediator abnormal misalnya enterotoksin, menyebabkan
vili gagal mengabsorbsi natrium, sedangkan sekresi klorida di sel epitel
berlangsung terus atau meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan sekresi air
dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan
merangsang usus mengeluarkannya sehingga timbul diare.
c. Gangguan motalitas usus
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus menyerap
makan sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik menurun akan
mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan selanjutnya juga akan merangsang
timbulnya diare.
1.5 Komplikasi
Anak-anak yang tidak mendapatkan perawatan yang baik selama diare akan
jatuh pada keadaan-keadaan seperti dehidrasi, gangguan keseimbangan asam-
basa, hipoglikemia, gangguan gizi, gangguan sirkulasi. Komplikasi dapat
dijelaskan sebagai berikut, yaitu (Suraatmaja, 2007; Mandal, 2008; Sudoyo,
2009):
a. Dehidrasi
Dehidrasi terjadi karena kehilangan cairan lebih banyak daripada pemasukan
cairan. Derajat dehidrasi dapat dibagi berdasarkan gejala klinis dan kehilangan
berat badan. Derajat dehidrasi menurut kehilangan berat badan, diklasifikasikan
menjadi tiga yaitu:
i. Ringan: penurunan berat badan < 5%
ii. Sedang: penurunan berat badan 5-10 %
iii. Berat: penurunan berat badan > 10%

Tabel II.1 Derajat Dehidrasi Berdasarkan Skor Maurice King (WHO, 1995)

8
Bagian tubuh yang nilai untuk gejala yang ditemukan
diperiksa 0 1 2
Keadaan umum Sehat gelisah, cengeng, apatis, mengigau, koma atau
Kekenyalan kulit Normal sedikit
ngantukkurang sangat
syok kurang
Mata Normal sedikit cekung sangat cekung
UUB Normal sedikit cekung sangat cekung
Mulut Normal Kering kering dan sianosis
Denyut Nadi kuat < 120 sedang (120-140) lemah >140
Catatan:
i. Untuk menentukan kekenyalan kulit, kulit perut dicubit selama 30 60
detik, kemudian dilepas. Jika kulit kembali normal dalam waktu:
2 5 detik: turgor agak kurang
5 10 detik: turgor kurang
Lebih dari 10 detik: turgor sangat kurang
ii. Berdasarkan skor yang ditemukan pada penderita, dapat ditentukan derajat
dehidrasinya:
Skor 0 2: dehidrasi ringan
Skor 3 6: dehidrasi sedang
Skor lebih dari 7: dehidrasi berat
b. Gangguan keseimbangan asam-basa
Gangguan keseimbangan asam basa yang biasa terjadi adalah metabolik
asidosis. Metabolik asidosis ini terjadi karena kehilangan Na - bikarbonat bersama
tinja, adanya ketosis kelaparan metabolism lemak tidak sempurna sehingga
benda keton tertimbun dalam tubuh, terjadi penimbunan asam laktat karena adanya
anoksia jaringan, produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak
dapat dikeluarkan oleh ginjal, pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler ke dalam
cairan intraseluler.
c. Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi pada 2 3% dari anak anak yang menderita diare. Pada
anak-anak dengan gizi cukup/baik, hipoglikemia ini jarang terjadi, lebih sering
terjadi pada anak yang sebelumnya sudah menderita kekurangan kalori protein
(KKP). Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa darah menurun sampai
40 mg % pada bayi dan 50 mg % pada anak-anak. Gejala hipoglikemia tersebut
dapat berupa : lemas, apatis , tremor, berkeringat, pucat, syok, kejang sampai

9
koma.
d. Gangguan gizi
Sewaktu anak menderita diare, sering terjadi gangguan gizi dengan akibat
terjadinya penurunan berat badan dalam waktu yang singkat. Hal ini disebabkan
karena makanan sering dihentikan oleh orang tua. Walaupun susu diteruskan,
sering diberikan pengenceran. Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna
dan diabsorbsi dengan baik karena adanya hiperperistaltik.
e. Gangguan sirkulasi
Sebagai akibat diare dengan/disertai muntah dapat terjadi gangguan sirkulasi
darah berupa renjatan atau syok hipovolemik. Akibatnya perfusi jaringan berkurang
dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat mengakibatkan perdarahan
dalam otak, kesadaran menurun dan bila tidak segera ditolong penderita dapat
meninggal.
1.6 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan diare terdapat lima lintas tatalaksana, yaitu:
(Suraatmaja, 2007; Mc Graw Hill, 2007; Mandal, 2008; Daldiyono, 2009)
a. Rehidrasi
Diare cair membutuhkan penggantian cairan dan elektrolit tanpa melihat
etiologinya. Jumlah cairan yang diberi harus sama dengan jumlah cairan yang telah
hilang melalui diare dan atau muntah, ditambah dengan banyaknya cairan yang hilang
melalui keringat, urin, pernapasan dan ditambah dengan banyaknya cairan yang
hilang melalui tinja dan muntah yang masih terus berlangsung. Jumlah ini
tergantung pada derajat dehidrasi serta berat badan masing-masing anak atau
golongan umur. Berdasarkan derajat dehidrasi maka terapi pada penderita diare dibagi
menjadi tiga, yaitu rencana pengobatan A, B dan C.
Rencana tersebut dapat dijelaskan dibawah ini, yaitu (Suraatmaja, 2007):
i. Rencana pengobatan A
Berikan kepada anak cairan lebih banyak dari biasanya untuk mencegah
dehidrasi, cairan yang dapat diberikan contohnya : larutan garam gula, air
tajin, air sayur bayam dan apabila anak masih menyusui asi harus tetap diteruskan
dan pemberian makan dengan menu yang baru harus disiapkan makanan yang
dianjurkan bubur dengan daging atau ikan, frekuensi pemberian makan harus
ditingkatkan menjadi setiap 3 4 jam sekali (6x sehari) dengan jumlah porsi yang

10
lebih sedikit.
ii. Rencana pengobatan B
Pada dehidrasi tidak berat, cairan rehidrasi oral diberikan dengan pemantauan
yang dilakukan di Pojok Upaya Rehidrasi Oral selama 4-6 jam.

Tabel II.2 Jumlah Rehidrasi Oral Yang Diberikan Selama 4 Jam Pertama (Suraatmaja, 2007)
Umur Lebih dari 4 4-12 bulan 12 bulan 2 2-5 tahun

Berat badan < 6 kg 6 - <12 kg 10 - <12 kg 12-19 kg


Dalam ml 200-400 400 700 700-900 900-1400

Tunjukkan kepada orang tua bagaimana cara memberikan rehidrasi oral.


Setelah 4 jam nilai ulang kembali derajat dehidrasi anak tentukkan
tatalaksana yang tepat untuk melanjutkan terapi, mulai beri makan anak di
klinik.
iii. Rencana pengobatan C
Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi berat. Pertama-
tama berikan cairan intravena, nilai setelah 3 jam. Jika keadaan anak sudah
cukup baik maka berikan oralit. Setelah 1-3 jam berikutnya nilai ulang anak
dan pilihlah rencana pengobatan yang sesuai. Diberikan 100 ml/kgbb cairan
Ringer Laktat (RL) sebagai berikut.
Tabel II.3 Jumlah Cairan Ringer Laktat (RL) yang Diberikan (Suraatmaja, 2007)
Kelompok umur Pemberian pertama 70 ml/kg dalam
30
Bayi < 1th 1 jam 5 jam
Anak 1-5 th 30 menit 2,5jam

b. Nutrisi
Makanan harus diteruskan bahkan ditingkatkan selama diare untuk
menghindarkan efek buruk pada status gizi. Agar pemberian diet pada anak
dengan diare akut dapat memenuhi tujuannya, serta memperhatikan faktor yang
mempengaruhi keadaan gizi anak, maka diperlukan persyaratan diet sebagai
berikut yakni, pasien segera diberikan makanan oral setelah rehidrasi yakni 24 jam

11
pertama, makanan cukup energi dan protein, makanan tidak merangsang, makanan
diberikan bertahap mulai dengan yang mudah dicerna, makanan diberikan
dalam porsi kecil dengan frekuensi sering. Pemberian ASI diutamakan pada
bayi, pemberian cairan dan elektolit sesuai kebutuhan, pemberian vitamin dan
mineral dalam jumlah yang cukup. Khusus untuk penderita diare karena
malabsorbsi diberikan makanan sesuai dengan penyebabnya, antara lain:
Malabsorbsi lemak berikan trigliserida rantai menengah, Intoleransi laktosa
berikan makanan rendah atau bebas laktosa. Parenteral nutrisi dapat dimulai
apabila ternyata dalam 5-7 hari masukan nutrisi tidak optimal.
c. Suplementasi Zinc
Zinc merupakan mikronutrien yang penting sebagai kofaktor lebih dari 90
jenis enzim. Saat ini zinc digunakan dalam pengelolaan diare. Awal mula
penggunaan zinc dalam pengelolaan diare dilatarbelakangi oleh suatu fakta
bahwa ORS meskipun dapat menangani dehidrasi namun tidak mampu
menurunkan volume, frekuensi, dan durasi diare.
d. Antibiotik Selektif
Antibiotik tidak diberikan pada kasus diare cair akut kecuali dengan indikasi
yaitu pada diare berdarah dan kolera. Hal khusus mengenai tatalaksana disentri
adalah pemberian antibiotika oral selama 5 hari yang masih sensitif terhadap
Shigella sp. menurut pola kuman setempat, obat pengobatan disentri adalah
dengan quinolon seperti siprofloksasin dengan dosis 30-50 mg/kgbb/hari dibagi
dalam 3 dosis selama 5 hari. Dapat juga berikan metronidazol 7,5 mg/kgbb 3x
sehari untuk kasus amebiasis dan metronidazol 5mg/kgbb 3 kali sehari
untuk kasus giardiasis selama 5 hari, pemberian antibiotik yang tidak rasional
justru akan memperpanjang lamanya diare karena akan mengganggu keseimbangan
flora usus dan Clostridium difficile yang akan tumbuh dan menyebabkan diare sulit
disembuhkan. Selain itu pemberian antibiotik yang tidak rasional akan mepercepat
resistensi kuman terhadap antibiotik serta menambah biaya pengobatan yang tidak
perlu.
e. Edukasi Orang tua
Beritahu kepada orang tua atau pengasuh untuk kembali segera jika ada
demam, tinja berdarah, muntah berulang, makan atau minum sedikit, sangat
haus, diare makin sering, atau belum membaik dalam 3 hari. Indikasi rawat

12
inap pada penderita diare akut berdarah adalah malnutrisi usia kurang dari 1
tahun, menderita campak pada 6 bulan terakhir, adanya dehidrasi dan disentri
yang datang dengan komplikasi.
1.7 Pencegahan Diare
Tindakan dalam pencegahan diare menurut Depkes (2002). Beberapa hal
yang dapat dilakukan untuk melakukan pencegahan diare, yaitu:
a. Pemberian ASI
Pemberian makanan berupa ASI sampai bayi mencapai usia 4-6 bulan, akan
memberikan kekebalan kepada bayi terhadap berbagai macam penyakit karena
ASI adalah cairan yang mengandung zat kekebalan tubuh yang dapat melindungi
bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, jamur dan parasit. Oleh karena
itu, dengan adanya zat anti infeksi dari ASI, maka bayi ASI eksklusif
akan terlindungi dari berbagai macam infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri,
virus, jamur dan parasit. Air susu ibu (ASI) sebagai makanan alamiah adalah
makanan terbaik yang dapat diberikan oleh seorang ibu kepada anak yang
dilahirkannya. Selain komposisinya yang sesuai untuk pertumbuhan bayi yang bisa
berubah sesuai dengan kebutuhan pada setiap saat, ASI juga mengandung zat
pelindung yang dapat menghindari bayi dari berbagai penyakit infeksi.

b. Makanan Pendamping ASI


MP-ASI adalah makanan yang diberikan pada bayi selain ASI. Untuk
menyesuaikan kemampuan bayi terhadap makanan tersebut, maka pemberian
MP-ASI dilakukan secara bertahap baik maupun macamnya. Sedangkan kejadian
diare pada bayi dapat disebabkan oleh kesalahan dalam pemberian makan,
dimana bayi sudah diberi makan selain ASI sebelum berusia 6 bulan. Perilaku
tersebut sangat beresiko bagi bayi untuk terkena diare karena alasan sebagai
berikut:
1. Pencernaan bayi belum mampu mencerna makanan selain ASI
2. Bayi kehilangan kesempatan untuk mendapatkan zat kekebalan yang
hanya dapat diperoleh dari ASI
3. Adanya kemungkinan makanan yang diberikan bayi sudah
terkontaminasi oleh bakteri karena alat yang digunakan untuk memberikan
makanan atau minuman kepada bayi tidak steril.

13
c. Sumber air bersih
Air merupakan suatu sarana utama untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat, karena air merupakan salah satu media dari berbagai macam penularan,
terutama penyakit saluran pencernan. Air merupakan bagian penting dari tubuh
sehingga konsumsinya harus diperhatikan tingkat kebersihannya.
Mutu atau kualitas air minum, merupakan syarat mutlak untuk air agar dapat
diminum dengan aman tanpa mengganggu kesehatan. WHO telah memberikan
petunjuk mengenai standar kualitas air minum antara lain meliputi standar fisika,
kimia, mikrobiologis, dan radioaktifitas.
d. Mencuci tangan
Dari aspek kesehatan masyarakat, khususnya pola penyebaran penyakit
menular, cukup banyak penyakit yang dapat dicegah melalui kebiasan atau
perilaku higienes dengan Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS), seperti misal penyakit
diare, tipus, cacingan, flu burung, dan bahkan flu babi. Seperti halnya perilaku
buang air besar sembarangan, perilaku cuci tangan, terutama cuci tangan pakai
sabun merupakan masih merupakan sasaran penting dalam promosi kesehatan,
khususnya terkait perilaku hidup bersih dan sehat. Hal ini disebabkan perilaku
tersebut masih sangat rendah, dimana baru:
12% masyarakat yang cuci tangan pakai sabun setelah buang air besar,
hanya 9% ibu-ibu yang mencuci tangan pakai sabun setelah
membersihkan tinja bayi dan balita.
Hanya sekitar 7% masyarakat yang cuci tangan pakai sabun
sebelum memberi makan kepada bayi.
Baru 14% masyarakat cuci tangan pakai sabun sebelum makan. Perilaku
mencuci tangan yang benar adalah menggunakan sabun dan air bersih
yang mengalir sehingga dapat menurunkan angka kejadian diare sampai
45%. Perilaku mencuci tangan memakai sabun ternyata bukan
merupakan perilaku yang biasa dilakukan sehari-hari oleh masyarakat
pada umumnya.
e. Imunisasi campak
Campak diare dan disentri sering terjadi dan berakibat berat pada anak- anak yang
sedang menderita campak dalam waktu 4 minggu terakhir. Hal ini, sebagai akibat
dari penurunan kekebalan tubuh penderita. Pada campak, diare terjadi selama

14
fase akut campak dan selama 2-3 bulan sesudahnya karena daya tahan terhadap
infeksi menurun. lakukan imunisasi campak karena campak bisa
menyebabkan diare dengan bersarang di mukosa.

2. Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku


2.1 Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu. Dalam hal ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu yang mana penginderaan ini
terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa, dan raba yang sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh dari mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Bloom (1956), pengetahuan adalah pemberian bukti seseorang melalui
proses pengingatan atau pengenalan informasi, ide yang sudah diperoleh
sebelumnya. Bloom mengelompokkan pengetahuan ke dalam ranah kognitif dan
psikomotor dan menempatkannya sebagai urutan pertama dari ranah kognitif
karena pengetahuan merupakan unsur dasar untuk pembentukkan tingkatan-
tingkatan ranah kognitif berikutnya yang meliputi tingkat pemahaman
(comprehension), penerapan (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis),
dan penilaian (evaluation) (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan dibagi menjadi 6 tingkat yang
dicapai dalam domain kognitif, yaitu:
1. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik
dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab
itu, ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Untuk mengukur
bahwa seseorang, tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan,
menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
2. Memahami (Comprehention)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar, orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan
sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

15
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya, aplikasi ini diartikan dapat
sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus metode, prinsip, dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (Analysis)
Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam
komponen-komponen tetapi masih dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada
kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisa ini dapat dilihat dari penggunaan kata
kerja dapat menggambarkan, membedakan, mengelompokkan, dan seperti
sebagainya. Analisis merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi, memisahkan,
dan sebagainya.
5. Sintesa (Synthesis)
Adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menggabungkan bagian-
bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis
adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-
formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat menggunakan, dapat
meringkas, dapat menyesuaikan, dan sebagainya, terhadapa suatu teori atau rumusan-
rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu
kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang
menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau ukur dapat
disesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut di atas.
a) Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan, yaitu (Notoatmodjo,
2003):
i. Faktor Internal
Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap
perkembangan orang lain menuju ke arah cita-cita tertentu yang

16
menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk
mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Menurut YB Mantra yang
dikutip Notoatmodjo (2007), pendidikan dapat mempengaruhi seseorang
termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam
memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan
(Nursalam, 2003) pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang
makin mudah menerima informasi.
Pekerjaan
Pekerjaan adalah kebutuhan yang harus dilakukan terutama untuk
menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. Bekerja bagi ibu-ibu
akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga.
Usia
Usia adalah individu yang terhitung mulai daat dilahirkan sampai
berulang tahun. Menurut Hulok (1998) semakin cukup umur, tingkat
kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir
dan bekerja.
ii. Faktor Eksternal
Faktor Lingkungan
Lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada di sekitar
manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan
perilaku orang atau kelompok.
Sosial Budaya
Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat
mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Dari pengalaman dan
penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan
lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.
Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi
perilaku baru (berperilaku baru), dalam diri orang tersebut terjadi proses yang
berurutan, yakni (Notoatmodjo, 2007):
a) Awareness, di mana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

17
b) Interest, terhadap stimulus atau objek tersebut.
c) Evaluation, terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi
dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
d) Trial, di mana subjek sudah mulai mencoba melakukan
sesuatu dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap
stimulus.
e) Adoption, di mana subjek telah berperilaku baru
sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap
stimulus.
Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan
bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut. Tetapi,
apabila penerima perilaku atau adopsi perilaku proses seperti ini, di mana
didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif maka perilaku
tersebut akan bersifat lebih tahan lama (long lasting) (Notoatmodjo, 2007).
2.2 Sikap (attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap
suatu stimulus atau objek. Sikap mempunyai 3 komponen pokok, yakni
(Wawolumaya, 2001; Notoatmodjo, 2003):
a) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek
b) Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek
c) Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave)
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang
utuh, pengetahuan berpikir, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni:
a) Menerima (Receiving)
Menerima, diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
b) Merespons (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk
menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu
benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.
c) Menghargai (Valuing)

18
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain
terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
d) Bertanggung jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Pengukuran sikap dilakukan dengan secara langsung dan tidak langsung.
Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan
responden terhadap suatu objek. (Wawolumaya, 2001).
2.3 Perilaku
Perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat
diamati secara langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang (organisme)
terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makanan serta lingkungan.
Skiner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan perilaku merupakan
respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh
karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme
tersebut merespons, maka teori Skiner ini disebut teori S-O-R atau Stimulus
Organisme Respons (Notoatmodjo, 2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan menjadi dua,
yakni :
a) Faktor interen
Mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi, dan sebagainya
yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar.
b) Faktor ekstern
Meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupin nonfisik seperti : iklim, manusia,
sosial-ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya.
Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon organisme atau
seseorang terhadap rangsangan dari luar objek tersebut. Respon ini berbentuk dua
macam yakni:
a) Bentuk pasif adalah bentuk respons interna, yaitu yang terjadi di
dalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang
lain, misalnya berpikir, tanggapan, atau sikap batin dan pengetahuan.

19
Misalnya, seorang ibu tahu bahwa imunisasi itu dapat mencegah
suatu penyakit tertentu, meskipun ibu tersebut tidak membawa
anaknya ke Puskesmas untuk diimunisasi.
b) Bentuk aktif, yaitu perilaku itu jelas dapat diobservasi secara
langsung. Misalnya, seorang ibu sudah membawa anaknya ke Puskesmas
untuk imunisasi. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
pengetahuan dan sikap merupakan respons seseorang terhadap
stimulus atau rangsangan yang masih bersifat terselubung.

B. Penelitian Terkait
Berdasarkan penelitian Srimurni BR Ginting (2011), berjudul Hubungan antara
kejadian diare pada balita dengan sikap dan pengetahuan ibu tentang perilaku
hidup bersih dan sehat di Puskesmas Siantan Hulu Pontianak, Kalimantan
Barat. Jenis penelitian analitik korelasional dengan desain cross sectional sebagai
populasinya semua ibu yang membawa balita ke Puskesmas Siantan Hulu Pontianak
dan sampelnya ibu yang membawa balita ke Puskesmas Siantan Hulu Pontianak
untuk berobat dengan total sampel, yaitu 136 orang. Instrumen yang digunakan
adalah kuesioner dan untuk menganalisis hubungan antara variabel menggunakan
uji Chi Square. Hasil penelitian didapatkan jumlah balita yang menderita diare
adalah sebanyak 40 balita (29,41%) dan adanya hubungan yang bermakna antara
kejadian diare pada balita dengan sikap dan pengetahuan ibu tentang perilaku hidup
bersih dan sehat dengan (p < 0,005).
Kemudian penelitian Erlina Nasution (2012), berjudul Pengaruh perilaku ibu
tentang pola makan anak balita terhadap kejadian diare di Kecamatan Tanjung
Morawa. Jenis penelitian menggunakan analitik observasional dengan
populasinya semua ibu yang mempunyai balita berusia 1 - 5 tahun selama 3 bulan
terakhir (April - Juni 2011) berjumlah 176 balita dan sampelnya sebanyak 85
balita. Pengambilan data menggunakan kuesioner penelitian dan analisis data
dengan uji regresi logistik berganda. Hasil penelitian diperoleh bahwa sikap dan
tindakan ibu tentang pola makan anak balita berpengaruh terhadap kejadian diare di
Puskesmas Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011.
Tindakan ibu dominan mepengaruhi kejadian diare. Pengetahuan ibu tentang pola
makan anak balita tidak berpengaruh terhadap kejadian diare

20
C. Kerangka Teori Penelitian

Bagan II.I. Kerangka Teori Penelitian

21
D. Kerangka Konsep Penelitian

Bagan II.II Kerangka Konsep Penelitian

E. Hipotesis
H1: ada hubungan antara faktor pengetahuan dengan angka kejadian
diare pada balita.
H2: ada hubungan antara faktor sikap dengan angka kejadian diare
pada balita.
H3: ada hubungan antara faktor perilaku dengan angka kejadian diare
pada balita.

22
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan studi
cross-sectional yaitu peneliti mencari hubungan antara variabel bebas
(faktor resiko) dengan variabel terikat (efek) dengan melakukan pengukuran
pada waktu observasi. Pada peneltian analitik peneliti berupaya mencari
hubungan antar variabel. Pada penelitian jenis ini dilakukan analisis terhadap
data yang telah terkumpul, oleh karena itu pada penelitian analitik perlu dibuat
hipotesis dan data dalam hasil harus diuji hipotesis. Perlu diingatkan pula
bahwa penelitian analitik selalu diawali dengan deskripsi subyek penelitian
terlebih dahulu sebelum dilakukan analisis (Sastroasmoro, 2011).

B. Lokasi dan Waktu penelitian


Penelitian dilakukan di Puskesmas Remu, Kelurahan Remu Selatan,
Distrik Sorong Manoi, Kota Sorong, Provinsi Papua Barat, pelaksanaan
penelitian pada bulan Maret 2017.

C. Subjek Penelitian
Penelitian ini mengambil subjek dari ibu yang mempunyai balita usia 1 5
tahun yang datang berobat ke Puskesmas Remu pada bulan Maret 2017
dengan jumlah 140 orang.

D. Teknik Sampling
1. Populasi
Merupakan sejumlah besar subjek yang memiliki karakteristik tertentu
(Sastroasmoro, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang
memiliki anak yang datang berobat ke Puskesmas Remu.
2. Sampel
Bagian (subset) dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu hingga di

23
anggap dapat mewakili populasinya (Sastroasmoro, 2011). Berdasarkan hasil
tabel Krejcie, maka sampel yang akan diperoleh minimal sebesar 136 dari
210 orang. Metode pengambilan sampel menggunakan tabel Krejcie:
Tabel III.1 Tabel Krejcie

Menggunakan system nonprobability sampling yaitu consecutive


sampling, semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria
pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang
diperlukan terpenuhi.
3. Kriteria inklusi:
a. Anak balita usia 1 - 5 tahun yang datang berobat ke puskesmas
bersama dengan ibu pada bulan Maret 2017
b. Ibu yang bersedia menjadi responden
4. Kriteria eksklusi:
a. Anak balita usia 1 - 5 tahun yang datang berobat ke puskesmas
bersama dengan ibu pada bulan Maret 2017 dan sudah mengisi
kuesioner sebelumnya

24
b. Tidak mengisi kuesioner secara lengkap

E. Identifikasi variabel penelitian


Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
pengetahuan, sikap dan perilaku ibu terhadap angka kejadian diare pada
anak balita usia 1 5 tahun di Puskesmas Remu pada Maret 2017.
Penelitian ini terdiri dari 2 variabel yaitu (Dahlan, 2008) :
1. Variabel bebas (independent variabel)
Variabel bebas adalah variabel yang bila dalam suatu saat berada
bersama dengan variabel lain, variabel yang terakhir ini berubah dalam
variasinya. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. pengetahuan ibu tentang penyakit diare pada balita
b. sikap ibu terhadap kejadian diare pada balita
c. perilaku ibu terhadap kejadian diare pada balita
2. Variabel terkait (dependent variabel)
Kejadian diare pada balita usia 1 5 tahun di Puskesmas Remu.

F. Rancangan penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan studi
cross-sectional yaitu peneliti mencari hubungan antara variabel bebas
(faktor risiko) dengan variabel terkait (efek) dengan melakukan pengukuran
pada waktu observasi secara bersamaan yang dilakukan satu kali untuk
memperkecil kemungkinan manipulasi hasil pengukuran (Sastroasmoro, 2011).

G. Instrumen penelitian
Mengumpulkan hasil pengisian kuesioner yang telah dibagikan kepada
pasien, yaitu data primer. Data primer adalah data langsung yang didapat
oleh peneliti dari objek penelitiannya. Kemudian data yang telah diperoleh
akan diolah dan dianalisis untuk menentukan apakah terdapat hubungan atau
tidak.

H. Langkah-Langkah Pengumpulan Data

25
1. Mengajukan permohonan dilakukannya penelitian kepada
Pembimbing Internship.
2. Mengajukan kuesioner yang akan diberikan kepada
Pembimbing Internship.
3. Mengajukan surat permohonan ijin kepada Puskesmas Remu sebagai
tempat penelitian.
4. Mengambil data primer yang dibutuhkan sesuai dengan penelitian.

I. Definisi operasional
Tabel III.2 Tabel Definisi Operasional
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
1. Pengetahuan Hasil Tahu Kuesioner Wawancara 1. Baik (>80%) Ordinal
setelah 2. Cukup (60-
mengadakan 80%)
penginderaan 3. Kurang
terhadap (<60%)
objek
2. Sikap Respons Kuesioner Wawancara 1. Baik (>80%) Ordinal
terhadap 2. Cukup (60-
suatu stimulus 80%)
atau objek 3. Kurang
(<60%)
3. Perilaku Respons Kuesioner Wawancara 1. Baik (>80%) Ordinal
tindakan yang 2. Cukup (60-
diamati dan 80%)
mempunyai 3. Kurang
tujuan (<60%)

Pengukuran Penelitian
a) Pengetahuan
Variabel ini akan menggambarkan tentang seberapa besar pengetahuan ibu
mengenai penyakit diare itu sendiri, baik dari segi penyebab, gejala, komplikasi
serta penatalaksanaan.
Diukur dengan : kuesioner
Skala pengukuran : ordinal

26
Kategori :
Selanjutnya hasil ukur dengan menggunakan skala ukur menurut
(Wawolumaya, 2001)
a. baik : bila skor jawaban > 80%
b. cukup : bila skor jawaban 60 80 %
c. kurang : bila skor jawaban < 60 %
b) Sikap
Variabel ini menggambarkan reaksi atau respon ibu yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek, hasil kuesioner di nilai dengan
menggunakan skala Likert.
Diukur dengan:
kuesioner
Skala pengukuran :
ordinal
Kategori :
o 4 = sangat setuju
o 3 = setuju
o 2 = tidak setuju
o 1 = sangat tidak
setuju
Selanjutnya hasil ukur dengan menggunakan skala ukur
menurut (Wawolumaya, 2001) dengan kategori:
a. baik : bila skor jawaban > 80%
b. cukup: bila skor jawaban 60 80 %
c. kurang: bila skor jawaban < 60 %
c) Perilaku
Variabel ini menggambarkan kebiasaan ibu sehari hari yang
dapat berperan terhadap terjadinya diare pada balita.
Diukur dengan : kuesioner
Skala pengukuran : ordinal
Kategori :
Selanjutnya hasil ukur dengan menggunakan skala ukur menurut

27
(Wawolumaya, 2001)
a. baik : bila skor jawaban > 80%
b. cukup : bila skor jawaban 60 - 80%
c. kurang : bila skor jawaban < 60%
d) Status diare
Pengkategorian status diare yang merupakan kejadian diare pada
balita.
Diukur dengan: kuesioner
Skala pengukuran: ordinal
Kategori: a. 1 : Tidak
b. 2 : Ya

J. Protokol penelitian

Bagan III.1 Protokol Penelitian

K. Etika penelitian
a. Kerahasiaan Nama (Anonimity)
Dalam menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan
nama responden pada lembar pengumpulan data, cukup dengan

28
memberikan inisial pada masing-masing responden tersebut.
b. Kerahasiaan (Confidentiality)
Kerahasiaan informasi responden dijamin peneliti dengan cara peneliti
tidak mencantumkan data responden pada pengolahan dan interpretasi
hasil.

L. Rencana pengolahan data dan analisis


a. Pengolahan data
Kegiatan dalam pengolahan data adalah sebagai berikut :
1. Pemeriksaan data (Editing)
Dilakukan pemeriksaan dari data yang telah dikumpulkan, meliputi:
Penjumlahan
Menjumlah dengan menghitung banyak lembar daftar pertanyaan yang
telah diisi untuk mengetahui apakah sesuai dengan jumlah yang telah
ditentukan
Koreksi
Proses membenarkan atau menyelesaikan hal hal yang salah atau
kurang jelas
2. Pemberian code (coding)
Pemberian kode pada seluruh variabel untuk memudahkan dalam
pengolahan data.
3. Penyusunan data (tabulating)
Pengorganisasian data sedemikian rupa agar dengan mudah dapat
dijumlah, disusun dan ditata untuk disajikan dan dianalisis dengan
program statistik dari komputer.
b. Analisis data
Data dianalisis dan diinterpretasikan dengan menguji hipotesa dengan
menggunakan program statistik dari komputer dengan langkah sebagai berikut
(Dahlan, 2008):
1. Analisis univariat
Analisis ini dilakukan pada masing-masing variabel untuk
mengetahui karakteristik masing-masing variabel. Selain itu digunakan

29
untuk menentukan prevalensi angka kejadian diare pada balita.
2. Analisis bivariat
Dalam analisis bivariat ini digunakan chi-square untuk mengetahui
gambaran hubungan dua variabel kategorik yang terdiri dari
variabel bebas dan variabel terikat dengan rumus:

Keterangan: X = chi square hitung


O = frekuensi observasi (observed)
E = frekuensi harapan
Keputusan uji chi square, Ho ditolak apabila p < a (0,05),
artinya ada hubungan antara variabel dependen dengan variabel
independen. Ho gagal ditolak/diterima apabila p > a (0,05),
artinya tidak ada hubungan antara variabel dependen dengan
variabel independen.

M. Skema Alur Penelitian

Koordinasi Alokasi Subyek:


Puskesmas Subyek yang akan diteliti adalah para ibu yang mempunyai anak
balita yang berkunjung ke Puskesmas Remu pada Maret 2017

Desain Penelitian:
Cross-sectional di mana sampel diobservasi hanya sekali dan
pengukuran variabel dilakukan saat itu

Teknik Pengambilan Sampel:


Dilakukan dengan consecutive sampling di mana semua subyek yang
datang dan memenuhi kriteria dimasukkan dalam penelitian

Informed Pengumpulan Data:


consent Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer berupa kuesioner
dengan yang dibagikan kepada ibu yang mempunyai balita
responden

Pengolahan dan Analisis Data

Bagan III.2 Skema alur penelitian

30
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi hasil penelitian


1. Geografi Lokasi Penelitian
Puskesmas Remu, terletak di Jl. Selat Kabui No. 1, Kelurahan Remu Selatan,
Distrik Sorong Manoi.
Batas-batas Puskesmas:
Utara: Distrik Sorong Utara
Selatan: Distrik Sorong Kepulauan
Timur: Distrik Sorong Timur
Barat: Distrik Sorong Barat
1.1 Lingkup/Cakupan Wilayah Kerja Puskesmas Remu
Puskesmas Remu memiliki wilayah kerja sebanyak 5 kelurahan:
a. Kelurahan Klawalu
b. Kelurahan Klamana
c. Kelurahan Remu Selatan
d. Kelurahan Klasabi
e. Kelurahan Remu Utara

B. Analisis hasil penelitian


2. Uji Univariat
Dilakukan untuk memperoleh distribusi frekuensi masing-masing variabel
tentang variabel dependen maupun independen.

31
2.1 Pengetahuan
Pengetahuan dalam penelitian ini menggambarkan tentang seberapa besar
pengetahuan ibu mengenai penyakit diare, baik dari segi penyebab, gejala,
komplikasi serta penatalaksanaan. Berdasarkan nilai pengetahuan dari responden
ibu, terdapat 47,0% (66 ibu) responden yang memiliki nilai pengetahuan cukup,
kemudian 29,8% (42 ibu) responden memiliki nilai pengetahuan yang baik,
sedangkan sisanya 23,2% (32 ibu) responden memiliki nilai pengetahuan yang
kurang.
Tabel IV.1 Distribusi Tingkat Pengetahuan Ibu
Pengetahuan Jumlah Persentase (%)
Baik 42 29,8
Cuku 66 47,0
Kuran
p 32 23,2
gTotal 140 100

2.2 Sikap
Sikap dalam penelitian ini menggambarkan tentang reaksi atau respon ibu
yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Berdasarkan dari 140 ibu
responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini terdapat 51,6% (71 ibu)
responden memiliki nilai sikap cukup, kemudian terdapat 25,2% (35 ibu)
responden memiliki nilai sikap kurang, sedangkan sisanya 23,2% (34 ibu)
reponden memiliki nilai sikap baik.
Tabel IV.2 Distribusi Tingkat Sikap Ibu
Sikap Jumlah Persentase (%)
Baik 34 23,2
Cukup 71 51,6
Kuran 35 25,2
gTotal 140 100

2.3 Perilaku
Perilaku dalam penelitian ini menggambarkan kebiasaan ibu sehari hari
yang dapat berperan terhadap terjadinya diare pada balita. Dari 140 ibu responden
ternyata terdapat 48,0% atau sebanyak 67 ibu yang memiliki perilaku yang

32
dinilai cukup. Jumlah ibu yang memiliki perilaku baik hanya sebesar 26,2% atau
sebanyak 37 ibu, sedangkan sisanya 25,8% atau 36 ibu dinilai memiliki perilaku
yang kurang.

Tabel IV.3 Distribusi Tingkat Perilaku


Perilaku Jumlah Persentase (%)
Baik 37 26,2
Cukup 67 48,0
Kurang 36 25,8
Total 140 100

2.4 Kejadian Diare


Kejadian diare dalam penelitian ini menggambarkan tentang status diare
yang terjadi di Puskesmas Remu periode Maret 2017. Dalam penelitian ini terdapat
14.3% atau 20 balita ditemukan mengalami diare, sedangkan sisanya 85,7% atau
120 balita tidak mengalami diare.

Tabel IV.4 Distribusi Kejadian Diare


Kejadian Jumlah Persentase (%)
Tidak
Diare 120 85,7
Ya 20 14,3
Total 140 100

3. Uji Bivariat
Untuk mengetahui hubungan antara dua variable yaitu variabel bebas dan variabel
terikat. Dengan menggunakan uji Chi-square dengan alpha = 0,05. Dengan
menguji kemaknaan hubungan digunakan tingkat kepercayaan 95% sebagai
berikut:
P > 0,05 menunjukkan hasil tidak bermakna
P < 0,05 menunjukkan hasil adalah bermakna
3.1 Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Terhadap Angka Kejadian Diare
Hasil analisis data di bawah ini dari 42 responden ibu dengan pengetahuan baik
terdapat bahwa 4 balita (9,5%) mengalami penyakit diare dan 38 balita (90,5%)
tidak mengalami penyakit diare. Kemudian dari 66 responden ibu dengan
pengetahuan cukup terdapat bahwa 6 balita (9,1%) mengalami penyakit diare dan

33
60 balita (90,9%) tidak mengalami penyakit diare. Sedangkan dari 32
responden ibu dengan pengetahuan kurang terdapat bahwa 10 balita (31,3%)
mengalami penyakit diare dan 22 balita (68,7%) tidak mengalami penyakit diare.
Tabel IV.5 Distribusi Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Angka Kejadian
Diare
Pengetahuan Kejadian Diare Total P value
Ibu Tidak Ya
N % N % N %
Baik 38 90,5 4 9,5 42 100 .000
Cukup 60 90,9 6 9,1 66 100
Kurang 22 68,7 10 31,3 32 100
Jumlah 120 85,7 20 14,3 140 100
Dari hasil pengujian di atas diperoleh hasil nilai signifikansi uji Chi-Square
P = .000 berarti P Value < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu terhadap angka
kejadain diare pada balita.
3.2 Hubungan Sikap Ibu Terhadap Angka Kejadian Diare
Hasil analisis data dibawah ini dari 34 responden ibu dengan sikap baik terdapat
2 balita (5,9%) mengalami penyakit diare dan terdapat 32 balita (94,1%)
tidak mengalami penyakit diare. Kemudian dari 71 responden ibu dengan
sikap cukup terdapat 6 balita (8,5%) mengalami penyakit diare dan terdapat 65
balita (91,5%) tidak mengalami penyakit diare. Sedangkan dari 35 responden
ibu dengan sikap kurang terdapat 12 balita (34,3%) mengalami penyakit
diare dan terdapat 23 balita (65,7%) tidak mengalami penyakit diare.
Tabel IV.6 Distribusi Hubungan Tingkat Sikap Dengan Angka Kejadian Diare
Sikap Ibu Kejadian Diare Total P value
Tidak Ya
N % N % N %
Baik 32 94,1 2 5,9 34 100 .000
Cukup 65 91,5 6 8,5 71 100
Kurang 23 65,7 12 34,3 35 100
Jumlah 120 85,7 20 14,3 140 100
Dari hasil pengujian di atas diperoleh hasil nilai signifikansi uji Chi-Square
P = .000 berarti P Value < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara sikap ibu terhadap angka kejadain diare
pada balita.
3.3 Hubungan Perilaku Ibu Terhadap Angka Kejadian Diare

34
Hasil analisis data dibawah ini dari 37 responden ibu dengan perilaku baik
terdapat 5 balita (13,5%) mengalami penyakit diare dan dari 32 balita
(86,5%) tidak mengalami penyakit diare. Kemudian dari 67 responden ibu
dengan perilaku cukup terdapat 6 balita (9%) mengalami penyakit diare dan
dari 61 balita (91%) tidak mengalami penyakit diare. Sedangkan dari 36
responden ibu dengan perilaku kurang terdapat 9 balita (25%) mengalami
penyakit diare dan dari 27 balita (75%) tidak mengalami penyakit diare.
Tabel IV.7 Distribusi Hubungan Tingkat Perilaku Dengan Angka Kejadian Diare
Sikap Ibu Kejadian Diare Total P value
Tidak Ya
N % N % N %
Baik 32 86,5 5 13,5 37 100 .000
Cukup 61 91 6 9 67 100
Kurang 27 75 9 25 36 100
Jumlah 120 85,7 20 14,3 140 100
Dari hasil pengujian di atas diperoleh hasil nilai signifikansi uji Chi-Square
P = .000 berarti P Value < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara perilaku ibu terhadap angka kejadain diare
pada balita usia.

C. Pembahasan
4. Pembahasan Hasil Analisis Bivariat
4.1 Hubungan Pengetahuan Ibu terhadap Angka Kejadian Diare di
Puskesmas Remu Periode Maret 2017
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada ibu yang berkunjung ke
Puskesmas Remu periode Maret 2017 dari 42 responden ibu dengan pengetahuan
baik terdapat bahwa 4 balita (9,5%) mengalami penyakit diare dan 38 balita
(90,5%) tidak mengalami penyakit diare. Kemudian dari 66 responden ibu dengan
pengetahuan cukup terdapat bahwa 6 balita (9,1%) mengalami penyakit diare dan 60
balita (90,9%) tidak mengalami penyakit diare. Sedangkan dari 32 responden ibu
dengan pengetahuan kurang terdapat bahwa 10 balita (31,3%) mengalami
penyakit diare dan 22 balita (68,7%) tidak mengalami penyakit diare.
Berdasarkan hasil data yang diperoleh menunjukan bahwa tingkat
pengetahuan berpengaruh terhadap angka kejadian diare, pengetahuan merupakan
hasil Tahu setelah seseorang melakukan pengeinderaan terhadap suatu objek
tertentu, dari uraian di atas dapat digambarkan bahwa tingkat pengetahuan tentang

35
diare dapat diketahui dari bagaimana ibu memahami apa yang dimaksud dengan
diare, penyebab, gejala, komplikasi serta penanganan, setelah mengetahui
gambaran di atas bahwa tingkat pengetahuan yang baik dapat mengurangi resiko
terjadinya diare sedangkan tingkat pengetahuan yang kurang dapat meningkatkan
resiko terjadinya diare. Hasil penelitian ini Srimurni BR Ginting (2011) yang
menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian diare pada
balita dengan hasil pengetahuan pada ibu.
Dari hasil pengujian di atas diperoleh hasil nilai signifikansi uji Chi-square P =
.000 berarti P Value < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu terhadap angka kejadain diare
pada balita, menurut penelitian terdahulu Srimurni BR Ginting (2011) bahwa
tingkat pengetahuan ibu mempengaruhi angka kejadian diare (p=0,025).
4.2 Hubungan Sikap Ibu terhadap Angka Kejadian Diare di
Puskesmas Remu Periode Maret 2017
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada ibu yang berkunjung ke
Puskesmas Remu periode Maret 2017 dari 34 responden ibu dengan sikap
baik terdapat 2 balita (5,9%) mengalami penyakit diare dan terdapat 32 balita
(94,1%) tidak mengalami penyakit diare. Kemudian dari 71 responden ibu
dengan sikap cukup terdapat 6 balita (8,5%) mengalami penyakit diare dan
terdapat 65 balita (91,5%) tidak mengalami penyakit diare. Sedangkan dari 35
responden ibu dengan sikap kurang terdapat 12 balita (34,3%)
mengalami penyakit diare dan terdapat 23 balita (65,7%) tidak mengalami
penyakit diare.
Berdasarkan hasil data yang diperoleh menunjukan bahwa sikap
berpengaruh terhadap angka kejadian diare, sikap merupakan reaksi atau respon
seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek dari uraian
di atas dapat digambarkan bahwa sikap ibu tentang diare dapat diketahui dari
bagaimana ibu memahami tentang pentingnya hidup sehat dan bersih, imunisasi,
penanganan diare serta pemberian asi dan makanan pendamping asi, setelah
mengetahui gambaran di atas bahwa sikap yang baik dapat mengurangi
resiko terjadinya diare sedangkan sikap yang kurang baik terhadap
tanggap dapat meningkatkan resiko terjadinya diare.
Hasil penelitian Srimurni BR Ginting (2011) yang menjelaskan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian diare pada balita dengan hasil

36
sikap dan pengetahuan pada ibu. Dari hasil pengujian di atas diperoleh hasil
nilai signifikansi uji Chi-square P = .000 berarti P Value < 0,05, maka
dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sikap
ibu terhadap angka kejadian diare pada balita, menurut penelitian terdahulu
Srimurni BR Ginting (2011) bahwa sikap ibu mempengaruhi angka kejadian
diare (p=0,011).
4.3 Hubungan Perilaku Ibu terhadap Angka Kejadian Diare di
Puskesmas Remu Periode Maret 2017
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada ibu yang berkunjung ke
Puskesmas Remu periode Maret 2017 dari 37 responden ibu dengan perilaku
baik terdapat 5 balita (13,5%) mengalami penyakit diare dan dari 32 balita
(86,5%) tidak mengalami penyakit diare. Kemudian dari 67 responden ibu
dengan perilaku cukup terdapat 6 balita (9%) mengalami penyakit diare dan
dari 61 balita (91%) tidak mengalami penyakit diare. Sedangkan dari 36
responden ibu dengan perilaku kurang terdapat 9 balita (25%) mengalami
penyakit diare dan dari 27 balita (75%) tidak mengalami penyakit diare.
Berdasarkan hasil data yang diperoleh menunjukan bahwa perilaku
berpengaruh terhadap angka kejadian diare, perilaku adalah semua kegiatan atau
aktivitas manusia, baik yang dapat diamati secara langsung, maupun yang
tidak dapat diamati oleh pihak luar dari uraian di atas dapat digambarkan
bahwa perilaku ibu tentang diare dapat diketahui dari bagaimana ibu memahami
tentang pentingnya hidup sehat dan bersih seperti cara mencuci peralatan makan,
mencuci tangan, memasak air, imunisasi, penanganan diare serta
pemberian asi dan makanan pendamping asi, setelah mengetahui gambaran
di atas bahwa perilaku yang baik dapat mengurangi resiko terjadinya diare
sedangkan perilaku yang kurang dapat meningkatkan resiko terjadinya diare.
Hasil penelitian Erlina Nasution (2012), yang menjelaskan bahwa perilaku ibu
berpengaruh terhadap angka kejadian diare.
Dari hasil pengujian di atas diperoleh hasil nilai signifikansi uji Chi-square
P = 0.000 berarti P Value < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku ibu terhadap angka kejadain
diare pada balita usia, menurut penelitian terdahulu Srimurni BR Ginting (2011)
bahwa sikap ibu mempengaruhi angka kejadian diare (p=0,000).

37
5. Keterbatasan Penelitian
i. Pada penelitian dengan menggunakan Cross Sectional peneliti akan sulit
menentukan sebab dan akibat karena pengambilan data risiko dan efek
dilakukan pada saat yang bersamaan.
ii. Dibutuhkan jumlah sampel yang cukup banyak terutama jika variabel
yang diteliti banyak.
iii. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kejadian diare pada balita
yang tidak bisa semuanya dapat diteliti dalam penelitian ini.
iv. Data yang diambil dengan menggunakan kuesioner dapat bersifat sangat
subjektif dan bergantung pada kejujuran responden pada saat mengisi
kuesioner.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Ditemukan kejadian diare yang terjadi di Puskesmas Remu periode
Maret 2017 terdapat 14.28% atau 20 balita ditemukan pernah mengalami

38
diare, sedangkan sisanya 85.71% atau 120 balita tidak mengalami diare.
2. Terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu terhadap
angka kejadain diare pada balita menunjukan hasil nilai signifikansi
uji Chi- square dengan hasil sebesar P = .000.
3. Terdapat hubungan yang signifikan antara sikap ibu terhadap angka
kejadain diare pada balita menunjukan hasil nilai signifikansi uji
Chi- square dengan hasil sebesar P = .000.
4. Terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku ibu terhadap angka
kejadain diare pada balita menunjukan hasil nilai signifikansi uji
Chi- square dengan hasil sebesar P = .000.

B. Saran
1. Bagi masyarakat diharapkan dapat lebih meningkatkan pengetahuan, sikap
dan perilaku tentang kesehatan agar dapat menciptakan lingkungan yang lebih
baik sehingga angka kesehatan masyarakat sekitar menjadi tinggi.
2. Bagi orangtua yang telah memiliki pengetahuan, sikap, dan perilaku yang
baik agar mempertahankan dan lebih meningkatkan sikap perilaku tersebut
agar dapat menekan angka terjadinya diare
3. Petugas kesehatan hendaknya lebih aktif dalam memberikan penyuluhan
dan motivasi tentang pencegahan diare kepada masyarakat, sehingga dapat
mempertahankan dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pencegahan
diare.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dahlan, M.S. 2008. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta:


Salemba Medika.
2. Daldiyono. 2013. Gastroenterologi-Hepatologi. Jakarta: Infomedika.
3. Departemen Kesehatan RI. 2009. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
Provinsi Tahun 2007. Jakarta.
4. Departemen Kesehatan RI. 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit
Diare. Jakarta
5. Dewi, V. N. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Jakarta: Salemba Medika.
Ginting, Sri, BR. 2011. Hubungan Antara Kejadian Diare Pada Balita
Dengan

39
6. Sikap Dan Pengetahuan Ibu Tentang PHBS di Puskesmas Siantan Hulu
Pontianak Kalimantan Barat Skripsi, Universitas Airlangga Surabaya.
7. Hassan, R. Alatas, H. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: FKUI.
8. Jawetz, Melnick, & Adelberg. 2008. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
9. Kementrian Kesehatan RI. 2010. Riskesdas 2010. Jakarta.
10. Kumar, Abbas, Fausto. 2010. Dasar Patologis Penyakit. Jakarta: EGC.
11. Lange. 2007. Current Diagnosis and Treatment in Pediatrics 18th edition. USA
: Mc Graw Hill.
12. Mandal, Wilkins, Dunbar, et al. 2008. Lecture Note: Penyakit Infeksi
Edisi keenam. Jakarta: Erlangga.
13. Nasution, Erlina. 2012. Pengaruh Perilaku Ibu Tentang Pola Makan Anak Balita
Terhadap Kejadian Diare di Kecamatan Tanjung MorawaSkripsi
Universitas Sumatra Utara.
14. Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni.
Jakarta: Rineke Cipta.
15. Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta:
Rineka
16. CiptaNursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.
17. Sastroasmoro, S. Ismael, S. 2011. Dasar Dasar Metodologi Penelitian
Klinis Edisi Ke-4. Jakarta: Sagung Seto.
18. Silbernagl, S. Lang, F. 2007. Teks dan Atlas Berwarna Patoisiologi.
Jakarta: EGC.
19. Soegijanto, S. 2002. Ilmu Penyakit Anak. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Sudoyo, A.W. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI.
Suharyono. 2008.
20. Diare akut: Klinik dan Laboratorik. Jakarta: Rineke Cipta.
21. Suraatmaja, S. 2007. Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta:
Sagung Seto..
22. Unicef. 2002. Pedoman Hidup Sehat. New York.
23. Wawan, A. Dewi, M. 2010. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap
dan Perilaku Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika.
24. Wawolumaya, C. 2001. Metodologi Riset Kedokteran: Survei
Epidemiologi Sederhana. Jakarta: Panorama Percetakan.

40

Anda mungkin juga menyukai