Anda di halaman 1dari 16

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Hemoptisis adalah ekspektorasi darah dari saluran napas. Darah bervariasi
dari dahak disertai bercak/lapisan darah hingga batuk berisi darah saja.2
Hemoptisis atau batuk darah ialah darah atau dahak berdarah yang dibatukkan,
berasal dari saluran pernapasan bagian bawah (mulai dari glottis kearah distal).1

B. Epidemiologi
Pada tahun 1930-1960 penyebab batuk darah tersering di Amerika adalah
bronkiektasis dan tuberculosis (TB) paru. Smiddy dan Elliot melakukan
pengamatan dengan pemeriksaan BSOL (Bronkoskop serat optic lentur) pada
tahun 1971-1972 menemukan penyebab tersering batuk darah adalah bronchitis
kronik atau bronkiektasis diikuti dengan karsinoma bronkus.

Dibeberapa negara berkembang penyebab batuk darah tersering masih


didominasi oleh penyakit infeksi. Lim dkk melakukan penelitian sejak tahun
1993-1998 pada sebuah rumah sakit di Singapura, menemukan penyebab batuk
darah massif dengan laju perdarahan > 150 ml dalam 24 jam adalah TB paru
(40%), kanker paru (10%), bronkiektasis (8%) dan sekuenstrasi paru (2%).

Indonesia termasuk ke dalam 22 negara yang dikategorikan oleh WHO


sebagai High Burden Countries (HBCs) yang sebagian besar adalah negara-negara
di Asia dan Afrika dengan endemisitas tuberkulosis (TB) yang tinggi.
Diperkirakan setiap tahun di Indonesia terdapat 528.000 kasus TB baru pada lebih
dari 70% usia produktif, dengan kematian sekitar 91.000 orang. Pengendalian
tuberkulosis di Indonesia telah mendekati target Millenium Development Goals
(MDGs), yaitu 222 per 100.000 penduduk pada tahun 2015. Walaupun telah
banyak kemajuan yang dicapai dalam penanggulangan TB di Indonesia, tetapi
tantangan masalah TB ke depan masih besar, terutama dengan meningkatnya
perkembangan HIV dan Multi Drugs Resistancy (MDR). 6

Manajemen Kasus II-Interna 10


C. Klasifikasi/Berat Ringannya
Didasarkan dari perkiraan jumlah darah yang dibatukkan5

1. Bercak (Streaking)
Darah bercampur dengan sputum merupakan hal yang sering terjadi, paling
umum pada bronchitis. Volume darah kurang dari 15-20 mL/24 Jam.

2. Hemoptisis
Hemoptisis dipastikan ketika total volume darah dibatukkan 20-600 mL di
dalam 24 jam. Walaupun tidak spesifik untuk penyakit tertentu, hal ini berarti
perdarahan dari pembuluh darah lebih besar dan biasanya karena kanker paru,
pneumonia (necrotizing pneumonia), TB paru atau emboli paru.

3. Hemoptisis massif
Darah yang dibatukkan dalam waktu 24 jam lebih dari 600 mL- biasanya
karena kanker paru, kavitas pada TB paru atau bronkiektasis. Batuk darah massif
adalah batuk darah lebih dari 100 mL hingga lebih dari 600 mL darah dalam 24
jam.2

4. Pseudohemoptisis
Pseudohemoptisis adalah batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas
(diatas laring) atau dari saluran cerna atas (gastrointestinal) atau hal ini dapat
berupa perdarahan buatan (factitious). Perdarahan yang terakhir biasanya karena
luka disengaja di mulut, faring atau rongga hidung.

D. Etiologi
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, hemoptisis atau batuk darah
merupakan tanda dan gejala dan penyakit yang mendasarinya. Penyakit atau
keadaan yang menyebabkan batuk darah sangat beragam sehingga anamnesis,
pemeriksaan fisis serta berbagai pemeriksaan penunjang perlu dilakukan dengan
teliti agar dapat menentukan etiologinya. 6

Upaya menduga etiologi hemoptisis dapat dilakukan dari pendekatan


massif atau tidak masifnya hemoptisis. Pada dasarnya semua penyebab hemoptisis
dapat menyebabkan hemoptisis massif, akan tetapi penyebab terseringnya adalah

Manajemen Kasus II-Interna 11


infeksi (terutama tuberculosis), bronkiektasis dan keganasan. Pada aspergiloma,
fibrosis kistik serta berbagai penyakit parenkimal paru difus umumnya terjadi
hemoptisis masif bila terinfeksi. Kelainan imunologi juga dapat menyebabkan
perdarahan intrapulmonary difus yang harus dipertimbangkan pada hemoptisis
massif tanpa etiologi lain yang jelas. Fistula arteri trakeal sering terjadi sebagai
kompliasi dari trakeostomi. Sementara itu rupture arteri pulmonalis bisa terjadi
pada kateterisasi dengan pengembangan balon. Harus diingat bahwa 2 hingga
32% kasus hemoptisis tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik. Hemoptisis
idiopatik disebut juga hemoptisis esensial. Hemoptisis esensial umumnya
menyebabkan hemoptisis tidak massif, walaupun pada hemoptisis massif <5%
adalah idiopatik.4

Sebab Insidensi

Infeksi: 60%

Tuberkulosis, abses paru, bronkitis, bronkiektasis, infeksi


jamur, parasit, necrotizing pneumonia

Neoplasma: 20%

Ca. bronkogenik, lesi metastasis, adenoma bronkus

Peny. Kardiovaskuler: 5-10%

Emboli paru, Stenosis mitral, malformasi arteriovena,


aneurisma aorta, edema paru

Lainnya: 5-10%

Bronkolitiasis, hemosiderosis idiopatik, sindrom Goodpasture,


terapi antikoagulan, adenoma bronkus

Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V

Manajemen Kasus II-Interna 12


Secara umum penyebab penyebab batuk darah dapat dikelompokkan
sebagai berikut:

Sumber: American Family Physician

E. Patogenesis
Patogenesis terjadinya batuk darah yang disesabkan oleh berbagai
penyakit yang mendasarinya pada prinsipnya hampir sama, yaitu bila terjadi
penyakit/kelainan pada parenkim paru, system sirkulasi bronchial atau pulmoner,
maupun pleura sehingga terjadi perdarahan pada kedua sistem sirkulasi tersebut.6

Arteri-arteri bronkialis adalah sumber darah utama bagi saluran nafas (dari
bronkus utama hingga bronkiolus terminalis), pleura, jaringan limfoid intra
pulmonalis yang pada dasarnya adalah membawa darah dari vena sistemik,
memperdarahi jaringan parenkim paru, termasuk brnkiolus respiratorius.
Anastomosis arteri dan vena bronkopulmoner, yang merupakan hubungan antara
ke-2 sumber perdarahan di atas, terjadi di dekat persambungan antara bronkiolus
respiratorius dan terminalis. Anastomosis ini memungkinkan ke-2 sumber darah

Manajemen Kasus II-Interna 13


untuk saling mengimbangi. Apabila aliran dari salah satu system meningkat maka
system yang lain akan menurun. Studi arteriografi menunjukkan bahwa 92%
hemoptisis berasal dari arteri-arteri bronkialis.4

Patogenesis hemoptisis bergantung dari tipe dan lokasi dari kelainan.


Secara umum bila perdarahan berasal dari lesi endobronkial, maka perdarahan
adalah dari sirkulasi bronkialis, sedang bila lesi di parenkim maka perdarahan
adalah dari sirkulasi pulmoner. Pada keadaan kronik dimana terjadi perdarahan
berulang maka perdarahan sering kali berhubungan dengan peningkatan
vaskularitas di lokasi yang terlibat.4

E.1. Tuberkulosis

Ekspektorasi darah dapat terjadi akibat infeksi tuberculosis yang masih


aktif ataupun akibat kelainan yang ditimbulkan akibat penyakit TB yang telah
sembuh. Susuna parenkim paru dan pembuluh darahnya dirusak oleh penyakit ini
sehingga sering terjadi bronkiektasis dengan hipervaskularisasi, pelebarab
pembuluh darah bronchial, anastomosis pembuluh darah bronchial dan pulmoner.

Penyakit TB juga dapat mengakibatkan timbulnya kaviti dan terjadinya


pneumonitis TB akut dapat menyebabkan ulserasi bronkus disertai nekrosis
pembuluh darah di sekitarnya dan alveoli bagian distal. Pecahnya pembuluh darah
tersebut mengakibatkan ekspektorasi darah dalam dahak, ataupun batuk darah
massif. 6

Ruptur aneurisma Rassmussen telah diketahui sebagai penyebab batuk


darah massif pada penderita TB ataupun pada bekas penderita TB. Kematian
akibat batuk darah massif pada penderita TB berkisar antara 5-7%.

E.2. Bronkiektasis

Manajemen Kasus II-Interna 14


Bronkiektasis terjadi akibat destruksi tulang rawan pada dinding bronkus
akibat infeksi ataupun penarikan oleh fibrosis alveolar. Perubaha yang terjadi
ternyata juga melibatkan perubahan arteri bronchial yaitu hipertrofi, peningkatan
atau pertambahan jumlah jarring vascular (vascular bed). Perdarahan dapat terjadi
akibat infeksi ataupun proses inflamasi. Pecahnya pembuluh darah bronchial yang
memiliki tekanan sistemik dapat berakibat fatal. 6

E.3. Abses paru

Hemoptisi dapat terjadi pada 11-15% penderita abses paru primer.


Perdarahan massif dapat terjadi pada 20-50% penderita abses paru yang
mengalami hemoptisis. Mekanisme perdarahan adalah akibat proses nekrosis pada
parenkim paru dan pembuluh darahnya. 6

E.4. Stenosis Mitral

Sebelum maraknya valvulotomi dan operasi penggantian katup mitral,


hemoptisis dapat terjadi pada 20-50% penderita dengan stenosis mitral dan
hemoptisis massif dapat terjadi pada 9-18% penderita. Peningkatan tekanan
atrium kiri menyebabkan pleksus submukosa vena bronchial mengalami dilatasi
untuk mengakomodasi peningkatan aliran darah. Varises pembuluh darah tersebut
apabila terpajan pada infeksi saluran napas atas, batuk atau peningaktan volume
intravaskuler seperti pada kehamilan dapat menimbulkan hemoptisis. 6

E.5. Neoplasma

Hemoptisis dapat terjadi akibat proses nekrosis dan infalmasi embuluh


darah pada jaringan tumor. Invasi tumor ke pembuluh darah pulmoner jarang
terjadi. Hemoptisis dapat terjadi pada 7-10% penderita dengan karsinoma
bronkogenik.6

Penderita kanker metastasis ke paru, hemoptisis terjadi akibat lesi


endobronkial. Tumor mediastinum jug dapat menimbulkan batuk darah, terutama
karsinoma esophagus akibat penyebarannya ke pohon trakeobronkial.6

Manajemen Kasus II-Interna 15


Pada adenoma bronchial, perdarahan sering terjadi dari rupture pembuluh-
pembuluh darah permukaan yang menonjol.4

E.6. Infeksi Jamur Paru

Angioinvasi oleh elemen jamur menimbulkan kerusakan pada parenkim


dan struktur vaskuler sehingga dapat menimblkan infark paru dan perdarahan.
Meskipun demikian infeksi jamur paru yang invasive jarang menimbulkan
hemoptisis. Sebaliknya pembettukan misetoma dapat menimbulkan hemoptisis
pada 50-90% penderita misetoma. 6

Misetoma umumnya terbentuk pada penderita dengan penyakit paru


berkaviti, misalnya TB, sarkoidosis, cavitary lung carcinoma, infark paru,
emfisema bulosa, bronkiektasis, penyakit fibrobulosa dari arthritis rematoid dan
ankylosing spondylitis, trauma mekanik akibat pergerakan fungus ball di dalam
kaviti, jejas vaskuler akibat endotoksin Aspergillus, dan kerusakan vaskuler akibat
reaksi hipersensitivitas tipe III merupakan beberapa teori penyebab terjadinya
hemoptisis pada misetoma. Hemoptisis dapat pula terjadi akibat bronkolitiasis dari
adenopati Histoplasma yang mengalami kalsifikasi.

F. Diagnosis
Hal pertama yang harus diketahui dalam mengevaluasi hemoptisis adalah
mengetahui apakah perdarahan berasal dari saluran napas bawah, dari saluran
napas atas (contoh epistaksis), atau dari saluran cerna (hematemesis). Penentuan
sumber perdarahan merupakan hal penting karena akan menentukan langkah
penatalaksanaan selanjutnya. Anamnesis dan pemeriksaan fisis sangat
menentukan di dalam menentukan apakah perdarahan yang terjadi merupakan
hemoptisis, epistaksis atau hematemesis.6

Manajemen Kasus II-Interna 16


sumber: American Family Physician

F.1. Anamnesis

1. Volume dan frekuensi batuk darah menentukan kegawatannya dan hal


tersebut dapat mengarahkan ke suatu penyebab spesifik
2. Sumber paling umum berupa epistaksis (nasofaring). Darah menetes ke
faring, mengiritasi laring dan dibatukkan. Pasein sering dapat menjabarkan
rangkaian ini, maka kesan pasien atas sumber perdarahan umumnya benar.
Misalnya, ketika darah berasal dari salah satu paru, maka pasien akan
menunjukkan bagian paru tersebut dan dapat merasakannya seolah-olah
darah berasal dari paru kanan atau kiri. Pastikan pasien bisa membedakan
dibatukkan dengan dimuntahkan.
3. Riwayat penyakit sebelumnya yang dapat mempengaruhi perdarahan
saluran nafas juga dicari.
4. Gejala lainnya yang berhubungan/terkait dapat membantu dalam
mendiagnosis
a. Demam dan batuk produktif mengisyaratkan infeksi.
b. Timbul tiba-tiba karena sesak dan sakit di dada mengindikasikan
kemungkinan emboli paru atau infark miokard yang idsertai dengan gagal
jantung kongestif.
c. Kehilangan berat badan yang signifikan mengisyaratkan kanker paru atau
infeksi kronik seperti tuberculosis atau bronkiektasis.5
F.2. Pemeriksaan Fisik

Manajemen Kasus II-Interna 17


Pemeriksaan fisik dapat membantu diagnosis penyebab hemoptisis.
Pemeriksaan saluran nafas atas harus dilakukan dengan teliti untuk
menyingkirkan kemungkinan sumber perdarahan selain dari paru atau saluran
napas bawah. Mulut juga perlu diperiksa mengenai kemungkinan laserasi dan
tumor. Pemeriksaan laringoskopi tidak langsung untuk menyingkirkan
kemungkinan perdarahan dari sekitar faring. Bunyi nafas tambahan seperti stridor
atau mengi dapat memberikan petunjuk tumor/benda asing didaerah trakeolaring.
Gambaran saddle nose atau perforasi septum dapat menunjukkan granulomatosis
Wegener. Jari tabuh (clubbing finger) memberikan petunjuk kemungkinan
keganasan intratorakal dan supurasi intratorakal (abses paru, bronkoektasis).6

Tanda-tanda penting. Ketidakstabilan sirkulasi dengan tanda hipotensi dan


takikardia merupakan suatu tanda darurat. Sebabnya dapat berupa kehilangan
darah yang akut pada hemoptisis massif atau penyakit yang
menyebabkan/menyertainya: emboli paru, sepsis, infark miokard dengan edema
paru.5

a. Pemeriksaan nasofaring
Ditujukan untuk mencari sumber perdarahan dan pada hemoptisis massif
untuk memastikan bahwa saluran napas masih paten (terbuka).

b. Pemeriksaan jantung
Dibutuhkan untuk mengevaluasi kemungkinan adanya hipertensi paru akut
(terdapat peninggian komponen paru, suara jantung kedua), kegagalan ventrikel
kiri akut (summation gallop) atau penyakit katup jantung seperti stenosis mitral.
Endokarditis sebelah kanan dapat dideteksi dengan adanya bunyi desiran karena
insufisiensi tricuspid, sering pada penyalahgunaan obat intravena dan dapa
menyebabkan hemoptisis karena emboli septic.

c. Pemeriksaan dinding dan rongga dada


Kelainan disini secara tersendiri jarang mnejadi penyebab hemoptisis; akan
tetapi, temuan tertentu bisa menjadi petunjuk:

Manajemen Kasus II-Interna 18


Trauma dinding dada, coba cari adanya memar parenkim paru (pulmonary
contusion) atau laserasi bronchial.
Adanya ronki setempat, berkurangnya suara napas dan perkusi redup/pekak
(dullness) menunjukkan adanya konsolidasi (disebabkan pneumonia, infark
paru atau atelektasis pascaobstruksi dari benda asing atau kanker paru).
Pleural friction rub dapa didengar pada area di atas infark paru.
Ronki merata (difus, kardiomegali dan nyaring menunjukkan adanya
kemungkinan edema paru kardiogenik.

Sumber: American Family Physician

G. Pemeriksaan Penunjang
G.1 Laboratorium

1. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah tepi lengkap. Peningkatan hemoglobin dan hematokrit
menunjukkan adanya kehilangan darah yang akut. Jumlah sel darah putih yang

Manajemen Kasus II-Interna 19


meninggi mendukung adanya infeksi. Trombositopenia mengisyaratkan
kemungkinan koagulopati; trombositosis mengisyaratkan kemungkinan kanker
paru.

2. Kajian koagulasi
Kajian koagulasi, pemeriksaan hemostase berupa waktu protombin (PT) dan
waktu tromboplastin parsial (aPTT) dianjurkan apabila dicurigai adanya
koagulopati atau apabila pasien tersebut menerima warfarin/hepatin.

3. Analisis gas darah


Analisis gas darah arterial harus diukur apabila pasien sesak yang jelas dan
sianosis.

4. Pemeriksaan dahak
Pemeriksaan dahak pasien dengan darah bercampur dahak, pewarnaan gram,
BTA atau preparasi kalium hidroksida dapat mengungkapkan penyebab infeksi
dan pemeriksaan sitopatologik untuk kanker. 5

G.2 Pencitraan (Imaging)

1. Radiografi
Radiografi dada akan menunjukkan adanya massa paru, kavitas atau
infiltrate yang mungkin menjadi sumber perdarahan. 5

2. Arteriografi
Arteriografi bronchial selektif dilakukan bila bronkoskopi tidak dapat
menunjukkan lokasi pedarahan massif. Embolisasi arteri bronchial selektif untuk
mengendalikan perdarahan dapat berfungsi sebagai terapi yang definitive atau
sebagai tindakan antara hingga torakotomi dapat dilakukan. 5

G.3 CT Scan
Pemeriksaan CT-scan dapat memberikan informasi yang lebih jelas dari
foto thoraks, misalnya gambaran bronkiektasis atau karsinoma bronkus yang
berukuran kecil. Pemeriksaan ct-scan dengan resolusi tinggi merupakan metode

Manajemen Kasus II-Interna 20


pilihan dalam diagnosis bronkiektasis. Pemeriksaan ini sebaiknya dikerjakan
sebelum pemeriksaan bronkoskopi, kecuali dalam keadaan kegawatdaruratan.6
G.4 Bronkoskopi

Saluran nafas dapat divisualisasi dengan menggunakan bronkoskop kaku


atau fiberoptik.5

1. Bronkoskopi fiberoptik
Bronkoskopi fiberoptik dengan anastesia topical paling sering digunakan
karena instrument fleksibel ini dapat memvisualisasi bronkus subsegmental dan
saluran nafas sentral serta lebih nyaman bagi pasien. Satu kelemahan alat ini
adalah diameter tempat menghisap cairan perdarahan (suction port) yang kecil
(<2mm). Jika perdarahan itu besar, maka system ini tidak dapat mengevakuasi
darah dengan cepat untuk mempertahankan system lensa ini tetap bersih.
Kebanyakan benda asing tidak bisa dipindahkan dengan instrument ini.

2. Bronkoskopi kaku
Bronkoskopi kaku perlu bagi pasien dengan hemoptisis massif dan ketika
dicurigai terjadi aspirasi benda asing. Kekurangannya adalah biasanya dibutuhkan
anastesia umum dan hanya saluran napas sentral dapat divisualisasikan.

Tindakan bronkoskopi merupakan tindakan yang dapat bersifat diagnostic


untuk mencari penyebab batuk darah namun juga untuk terapeutik. Tindakan
bronkoskopi dapat dilakukan dengan menggunakan bronkoskopi kaku atau
bronkoskopi serat lentur (fiberoptic bronkoskopi).6

G.5 Pemeriksaan Penunjang Lain

Pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi.


Misalnya pada penderita dengan kecurigaan gangguan pembekuan darah atau
kelainan hematologi lainnya dilakukan pemeriksaan faal hemostasis, pada
penderita dengan kecurigaan penyakit autoimun systemic lupus eritomateus (SLE)
dilakukan pemeriksaan anti ds DNA atau ANA (antinuclear antibody).

Manajemen Kasus II-Interna 21


Arteriografi bronchial dan pulmoner dilakukan bila semua pemeriksaan
diatas gagal atau menemukan sumber perdarahan. Arteriografi dapat pula
digunakan sebagai alat terapeutik dengan melaksanaan embolisasi. 6

H. Penatalaksanaan

Manajemen Kasus II-Interna 22


Sumber: Kritek P, Fanta C. Cough and hemoptysis. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL,
Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J, editors. Harrisons principles of internal medicine.
18th ed. New York: McGraw-Hill; 2012 .p.282-6.

H.1 Hemoptisis non-masif

Tujuan terapi adalah mengendalikan penyakit dasar.2 Penyebab tersering


hemoptisis non massif terutama yang terjadi akut adalah bronchitis, risiko pasien
ringan dengan gambaran radiologi yang normal. Penatalaksanaa kondisi pasien
seperti ini dapat dengan monitoring airway, breathing dan circulation serta
pengobatan terhadap penyebabnya misalnya dengan pemberian antibiotic bila
diperlukan, tetapi bila batuk darah ini cenderung makin lama, berlangsung terus
atau sulit dijelaskan dianjurkan untuk evaluasi oleh ahli paru.6

1. Terapi dasar.
Pasien harus istirahat total, dengan posisi paru yang mengalami perdarahan
di bawah. Refleks batuk harus ditekan dengan kodein fosfat 30-60 mg
intramuskuler setiap 4-6 jam selama 24 jam.5

2. Terapi spesifik.

Manajemen Kasus II-Interna 23


Terapi spesifik adalah pengobatan atas penyakit dasar penyebab perdarahan
tersebut.5

H.2 Hemoptisis massif

Prinsip penatalaksanaan hemoptisis massif terdiri dari beberapa langkah


yaitu menjaga jalan nafas dan stabilisasi penderita, menentukan lokasi perdarahan
dan memberikan terapi. Langkah pertama merupakan prioritas tindakan awal.
Setelah penderita lebih stabil, langkah kedua ditujukan untuk mencari sumber dan
penyebab perdarahan. Langkah ketiga dimulai setelah periode perdarahan akut
telah teratasi, dan ditujukan untuk mencegah berulangnya hemoptisis dengan
memberikan terapi spesifik sesuai penyebabnya, bila memungkinkan. Penderita
dengan hemoptisis massif harus dimonitor dengan ketat di instalasi perawatan
intensif.6

I. Prognosis
Hemoptisis merupakan suatu gejala dari suatu kelainan dasar. Kebanyakan
penderita memiliki prognosis yang baik. Namun penderita hemoptisis akibat
keganasan dan gangguan pembekuan darah memiliki prognosis yang lebih buruk.

Keberhasilan terapi diartikan sebagia berhentinya perdarahan dan tidak


terjadi kekambuhan. Hasil terapi konservatif mengalami perbaikan sejak
berkembangnya teknik pengendalian perdarahan secara endobronkial dan
embolisasi arteri. Angka kekambuhan pada embolisasi arteri setelah 6 bulan
pengamatan didapatkan sebesar 23%. Kematian akibat asfiksia terjadi pada 16
penderita dari 18 orang penderita yang meninggal, sedangkan 2 penderita lainnya
mengalami perdarahan hebat.

DAFTAR PUSTAKA

Manajemen Kasus II-Interna 24


1. Alsagaff, Hood, Abdul Mukty.Dasar Dasar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya:Airlangga University Press. 2008.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Panduan
Pelayanan Medik. Jakarta : Penerbit PB. PAPDI. 2009.
3. Arief, Nirwan. Kegawatdaruratan Paru. Departemen Pulmonologi Dan
Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI RS PERSAHABATAN. Universitas
Indonesia. 2009.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi V.Jakarta: Internal Publishing. 2009.
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III Edisi V.Jakarta: Internal Publishing. 2009.
6. Kosasih, Alvin, Agus Dwi Susanto dkk. Diagnosis Dan Tatalaksana
Kegawatdaruratan Paru Dalam Praktek Sehari-hari. Jakarta: Sagung Seto.
2008.
7. Bidwell, Jacob L, Robert W. Pachner. Hemoptysis:Diagnosis and
Management. American Family Physician Volume 72, Number 7. October
2005. Di akses di http://www.aafp.org/afp/2005/1001/p1253.html pada
tanggal 9 November 2016.
8. Purwadianto, Agus, Budi Sampurna. Kegawatdaruratan Medik. Jakarta:
Bina Rupa Aksara. 2000.
9. Kritek P, Fanta C. Cough and hemoptysis. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper
DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J, editors. Harrisons principles of
internal medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill; 2012 .p.282-6.

Manajemen Kasus II-Interna 25

Anda mungkin juga menyukai