Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Penyebab utama kematian neonatus adalah asfiksia neonatorum, infeksi,


dan berat lahir rendah. Infeksi yang sering terjadi adalah sepsis dan tetanus
neonatorum. Angka kematian tetanus neonatorum masih sangat tinggi (50% atau
lebih)1.

Tetanus adalah penyakit akut, paralisis yang spastik yang disebabkan


neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani, termasuk kuman anaerob
gram negatif. Bentuk obligat berupa spora yang mempunyai habitat alami ditanah,
debu dan traktus alimetarius beberapa hewan. Spora Clostridium Tetani sangat
tahan terhadap panas, kimia dan antibiotik tetapi akan mati dengan autoclave,
sehingga dalam bentuk spora akan mampu bertahan bertahun-tahun di debu
maupun ditanah. C.Tetani bukan merupakan kumanyang bersifat menginvasi
jarinagn.kumain ini dapat menyebabkan sakit karena toksin yang dihasilkan.
Dalam bentuk vegetatif, pada kondisi anaerob akan menghasilkan 2 bentuk toksin,
tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin merupakan eksotoksin poten yang
mempunyai afinitas tinggi dengan jaringan saraf 2.

Penyakit tetanus pada neonatus disebabkan oleh spora Clostridium Tetani


yang masuk melalui luka tali pusat, karena perawatan atau tindakan yang tidak
memenuhi syarat kebersihan, misalnya pemotongan tali pusat dengan bambu atau
gunting yang tidak steril, atau setelah tali pusat dipotong dibubuhi tanah, abu,
minyak, daun-daunan dan sebagainya3.

Tetanus neonatorum mulai 3-10 hari sesudah lahir dan bersifat


generalisata. Kesukaran dalam menghiap, menangis berlebihan, kesukaran dalam
menelan, kekauan, kotraksi tonik, dan opistototnus sering ditemukan4.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

2.2 EPIDEMIOLOGI

Secara global hampir 14% penyebab kematian neonatus adalah tetanus


neonatorum. Tetatus neonatorum bertanggung jawab terhadap 50% kematian
neonatus yang disebabkan olah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Tetanus neonatorum dapat dicegah dengan imunisasi dan atau pelayanan
persalinan dan pasca persalinan yang bersih.

Beberapa penelitian komunitas di awal tahun 1970-1980 di negara Amerika


Latin dan beberapa negara berkembang menunjukkan kematian neonatal antara <5
sampai 60 kasus per 1000 kelahiran hidup. Di beberapa Negara berkembang
kematian tetanus neonatorum merupakan 23-72% dari total kematian neonatal.

Tetanus neonatorum masih merupakan masalah di Indonesia dan negara


berkembang lain, meskipun beberapa tahun terakhir kasusnya sudah jarang di
Jakarta. Angka kematian tetanus neonatorum tinggi dan merupakan 45-75% dari
kematian seluruh penderita tetanus. Penyebab kematian terutama akibat
komplikasi antara lain radang paru dan sepsis, makin muda umur bayi saat timbul
gejala, makin tinggi pula angka kematian.

2.3 ETIOLOGI

Clostridium tetani adalah obligat anaerob pembentuk spora, gram-positif oleh


Bakteri yang dikenal dengan nama Clostridium tetani, hidup dan berkembang
pada tanah, debu, kotoran hewan, dan sebagainya. Luka yang terkontaminasi
adalah mata rantai di mana bakteri tetanus berkembang biak. Luka tusuk seperti
yang disebabkan oleh paku, pecahan, atau gigitan serangga adalah kasus klasik
penyebab tetanus yang banyak menginfeksi. Bakteri juga dapat tertular melalui
luka bakar, luka injeksi, dan lain-lain.

2
Tetanus juga bisa menjadi bahaya untuk kedua ibu dan anak yang baru lahir
(melahirkan dan melalui tunggul tali pusat). Racun kuat yang dihasilkan ketika
bakteri tetanus berkembang biak adalah penyebab utama penyakit ini. Gejala
tetanus yang ditimbulkan secara umum adalah kejang.

Toksin tetanus mempengaruhi mata rantai interaksi antara saraf dan otot.
Daerah ini disebut sambungan neuromuskuler. Penyebab tetanus dapat
mengeluarkan toksin tetanus sehingga memperkuat sinyal kimia dari saraf ke otot,
yang menyebabkan otot-otot untuk memperketat kontraksi atau spasme. Hal ini
mengakibatkan baik kejang otot lokal atau umum. Toksin Tetanus dapat
mempengaruhi neonatus menyebabkan kejang otot. Ini biasanya terjadi dalam dua
minggu pertama setelah kelahiran dan dapat dikaitkan dengan metode sanitasi
yang buruk dalam merawat tunggul tali pusat dari neonatus. Dari catatan, karena
program vaksinasi tetanus, hanya tiga kasus tetanus neonatal dilaporkan sejak
tahun 1990, dan dalam setiap kasus adalah ibu-ibu yang tidak lengkap
di imunisasi tetanus toksoid.

Clostridium tetani adalah jenis bakteri yang bertanggung jawab untuk


penyakit tetanus. Bakteri penyebab tetanus ini ditemukan dalam dua bentuk:
sebagai spora (aktif) atau sebagai sel vegetatif (aktif) yang dapat berkembang
biak. Sel bakteri aktif merilis dua exotoxins, tetanolysin dan tetanospasmin.
Fungsi tetanolysin tidak jelas, tetapi tetanospasmin bertanggung jawab untuk
penyakit tetanus.

2.4 KLASIFIKASI

Klasifikasi Ablett untuk derajat manifestasi klinis tetanus derajat:

I Ringan Trismus ringan sampai sedang;spastisitas umum tanpa


spasme atau gangguan pernapasan;tanpa disfagia atau
disfagia ringan
II Sedang Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai
sedang dalam waktu singkat; laju napas>30x/menit;

3
disfagia ringan
III Berat Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai
sedang dalam waktu singkat; laju napas>30x/menit;
disfagia ringan
IV Sangat Berat (derajat III + gangguan sistem otonom termasuk
kardiovaskular) Hipertensi berat dan takikardia yang dapat
diselang-seling dengan hipotensi relatif dan bradikardia

2.5 PATOFISIOLOGI

Penyakit tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti luka tertusuk
paku, pecahan kaca, atau kaleng, luka tembak, luka baker, luka yang kotor dan
pada bayi dapat melalui tali pusat. Organisme multiple membentuk dua toksin
yaitu tetanuspasmin yang merupakan toksin kuat dan atau neurotropik yang dapat
menyebabkan ketegangan dan spasme otot, dan mempengaruhi sistem saraf pusat.
Eksotoksin yang dihasilkan akan mencapai pada sistem saraf pusat dengan
melewati akson neuron atau sistem vaskuler. Kuman ini menjadi terikat pada satu
saraf atau jaringan saraf dan tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik.
Namun toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh
antititoksin.

Hipotesa cara absorbsi dan bekerjanya toksin adalah pertama toksin diabsorbsi
pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawa ke kornu anterior
susunan saraf pusat. Kedua, toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk
kedalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk kedalam susunan saraf pusat.
Toksin bereaksi pada myoneural junction yang menghasilkan otot-otot manjadi
kejang dan mudah sekali terangsang. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan
rata-rata 10 hari.

2.6 FAKTOR RESIKO

Faktor risiko utama terjadinya tetanus neonatorum, yaitu:

4
a. Faktor Risiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik
Lingkungan yang mempunyai sanitasi yang buruk akan memyebabkan
Clostridium tetani lebih mudah berkembang biak. Kebanyakan penderita
dengan gejala tetanus sering mempunyai riwayat tinggal di lingkungan
yang kotor. Penjagaan kebersihan diri dan lingkungan adalah amat penting
bukan sahaja dapat mencegah tetanus, malah pelbagai penyakit lain.

b. Faktor Alat Pemotongan Tali Pusat


Penggunaan alat yang tidak steril untuk memotong tali pusat
meningkatkan risiko penularanpenyakit tetanus neonatorum. Kejadian
inimasih lagi berlaku di negara-negara berkembang dimana bidan-bidan
yang melakukan pertolongan persalinan masih menggunakan peralatan
seperti pisau dapur atau sembilu untuk memotong tali pusat bayi baru lahir
(WHO, 2008).

c. Faktor Cara Perawatan Tali Pusat


Terdapat sebagian masyarakat di negara-negara berkembang masih
menggunakan ramuanuntuk menutup luka tali pusat seperti kunyit dan abu
dapur. Seterusnya, tali pusat tersebut akandibalut dengan menggunakan
kain pembalut yang tidak steril sebagai salah satu ritual untuk menyambut
bayi yang baru lahir. Cara perawatan tali pusat yang tidak benar ini akan
meningkatkan lagi risiko terjadinya kejadian tetanus neonatorum.

2.7 MANIFESTASI KLINIS

Masa inkubasi berkisar antara 3-14 hari, tapi bisa lebih pendek atau lebih
panjang. Prognosis dipengaruhi oleh masa inkubasi, semakin pendek masa
inkubasi biasanya semakin jelek prognosisnya. Diagnosis tetanus neonatorum
biasanya dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis. Manifestasi klinis
meliputi gejala progresif adanya kesulitan minum (menghisap dan menelan), peka
rangsang dan bayi menangis terus menerus. Gejala khas lain adalah adanya

5
kekauan dan spasme otot. Kekauan otot melibatkan otot masseter, otot-otot perut
dan tulang belakang. Spasme otot bersifat intermiten dengan interval waktu yang
berbeda-beda tergantung dari tingkat keparahan penyakit.

Trismus disebabkan oleh adanya spasme pada otot massester dan terjadi
pada lebih dari separuh pasien tetanus neonatorum beberapa hari setelah lahir.
Gejala ini diikuti dengan kekakuan pada otot leher dan kesulitan dalam menelan.
Bayi menjadi rewel, gelisah dan sulit minum. Spasme pada oto facial
menyebabkan risus sardonicus. Kontraksi tonik klonik oto abdomen dan lumbal
menghasilkan gejala opissthototnus dan diikuti dengan fleksi dan adduksi tangan
serta kepala tangan seperti petinju. Spasme pada awalnya terjadi beberapa detik
dan memanjang seiring dengan semakin memberatnya penyakit. Pasien sadar dan
menangis karena nyeri akibat spasme otot. Spasme otot sangat mudah dicetuskan
oleh rangsangan taktil, visual maupun auditorial. Adanya demam kemungkinan
akibat aktivitas otot yang berlebihan. Spasme otot laringeus dan respiratorius
menyebabkan obstruksi, asfiksia dan sianosis.

Perjalanan alamiah tetanus neonatorum adalah adanya peningkatan


keparahan penyakit pada 7 hari pertama diikuti kondisi yang tetap pada minggu
kedua dan berkurang secara bertahap pada 2-6 minggu berikutnya. Tetanus sering
menyebabkan kematian sekitar 60-90%.

2.8 TATA LAKSANA

Tujuan dari terapi adalah menetralkan toksin yang beredar sebelumtoksin


masuk ke dalam sistem saraf pusat, menurunkan produksi toksin yang elbih
banyak, mengontrol gejala neuromuskuler dan otonom yang muncul serta
mempertahankan kondisi pasien sampai efek toksin menghilang. Efikasi terapi
dipengaruhi oleh faktor prognostik seperti masa inkubsi, jangka waktu antara
gejala pertama yang muncul dan spasme yang pertama (interval onset), frekuensi
dan durasi spasme, demam dan komplikasi respiratorius yang terjadi.

Perawatan suportif sangat penting,menjaga jalan napas tetap terbuka untuk


mendapatkan ventilasi yang adekuat merupakan langkah yang sangat penting.

6
Pemasangan kateter bisa dilakukan bila terjadi retensi urin. Manajemen lainnya
yang penting adalah perawatan untuk mencegah pneumonia aspirasi dan
atelektasis serta menurunkan rangsangan yang dapat mencetuskan kejang. Pasien
paling baik dirawat pada bangsal terbuka yang mudah dilihat, terdapat akses
terhadap tindakan keperawatan yang cepat dan peralatan resusitasi. ASI harus
tetap diberikan dan ibu harus didorong untuk berpartisipasi dalam observasi dan
perawatanpasien. ASI dapat diberikan melalui pipa lambung diantara periode
spasme. Pemberian ASI dimulai dengan stetngah kebutuhan per hari dan
dinaikkan bertahap sehinggga mencapai jumlah yang mencukupi kebutuhannya
dalam 2 hari.

Metronidzole merupakan obat pilihan untuk eliminasi bentuk vegetatif


Clostridium tetani, biasanya diberikan selama 10-14 hari. Penicillin G 100.000
unit/kg/hari sebagai pilihan kedua dapat diberikan selama 10 hari. Infeksi lain
yang terjadi bersamaan dapat diberikan terapi antibiotik spektrum luas.

Antitoksin tetanus 5000 U intramuskular atau human tetanus immunoglobullin


500 U intramuskular dapat diberikan untuk menetralkan toksin yang beredar dan
tak terikat. Antitoksin tetatus tidak memiliki efek terhadap toksin yang terikat
pada sistem saraf pusat. Meskipun sistem saraf pusat sering terpengaruh oleh
toksin sebelum gejala muncul namun pasien yang diberikan antitoksin
menunjukkan kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan pasien yang tidak
diberikan antitoksin. Dosis masif serum antitetanus tidak menunjukkan
keuntungan dibandingkan dengan dosis yang lebih kecil. Pemberian serum
antitetanus 1500 unit secara intrathecal pada saat awal mulainya penyakit
mungkin dapat memberikan keuntungan. Angka kematian lebih rendah pada
kelompok bayi dengan terapi intratechal (45%) dibandingkan dengan kelompok
kontrol dengan terapi intramuskular (82%). Kelompok bayi yang menerima serum
antitetanus intratechal menunjukkan komplikasi yang lebih sedikit.

Terapi medikamentosa pilihan untuk menghentikan spasme adlah diazepam


dengan dosis 10mg/kg/hari secara Intravena dalam 24 jam atau dengan bolus

7
intravena setiap 3 jam dengan dosis 0,5 mg/kg/hari per kali pemberian dengan
maksimum dosis 40 mg/kg/hari.bila jalur intravena tidak terpasang, diazepam
dapat diberikan melalui pipa lambung atau melalui rektal. Bila perlu, dapat
diberikan dosis tambahan 10 mg/kg/hari. Pemberian diazepam harus dihentikan
apabila frekuensi napas < 30 kali/menit, kecuali jika tersedia ventilator mekanik.
Pemberian kortikostreroid pada tatalaksanan tetanus belum terbukti.

2.9 PENCEGAHAN

Beberapa hasil penetlitian menunjukkan bahwa Tetanus neonatorum dapat


dicegah dengan tindakan aseptik pada saat pertolongan persalinan pasca natal
termasuk pemotongan dan perawatan tali pusat.

Imunisasi aktif wanita hamil dengan dosis tetatus toksoid 0,5 ml dengan jarak
penyuntikan 2 bulan dapat mencegah terjadinya penyakit tetanus neonatorum.
Imunisasi pasif padakelompok neonatus berisiko merupakan tindakan preventif
yang paling sering dilakukan dalam praktek pelayanan kesehatan anak. Pemberian
750 unit serum antitetanus terhadap bayi berisiko tinggi dapat memberikan
perlindungan.

2.10 KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi adalah bronkopneumonia, pneumonia aspirasI
atelektasis, sepsis neonatorum. Angka kematian dapat menurun dengan adanya
perawatan intensif dan ventilator.
2.11 PENGENDALIAN TETANUS DAN ELIMINASI

Konferensi Internasional Tetanus ke-8 pada tahun 1987 menyadari bahwa


tetanus membunuh sekitar 800.000 bayi tiap tahun di negaraberkembang.
Rekomendasi untuk pengendalian dan eliminasi tetanus neonatorum pada
pertemuan tersebut meliputi melakukan imunisasi pada seluruh wanita usia subuh
dengan 5 dosis tetanus toksoid, melaksanakan persalinan bersih dan perawatan tali
pusat melalui pelatihan dan pengawasan penolong persalinan, serta menyelidiki
kasus tetanus untuk menentukan tindakan pencegahan yang dpat diambil.

8
2.12 PROGNOSIS

Kematian karena tetanus sekitar 45-55%, sedang pada tetanus neonatorum


sekitar 80%. Terdapat hubungan terbalik antara lamanya masa kematian inkubasi
dengan beratnya penyakit. Resiko kematian sekitar 58% pada masa inkubasi 2-10
hari dan 17-35% pada masa inkubasi 11-22 hari. Bila interval antara gejala
pertama dengan timbulnya kejang cepat, prognosis lebih buruk.

9
BAB III

KESIMPULAN

Penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas,
setelah 2 hari pertama bayi hidup, menangis dan menyusui secara normal, pada
hari ke 3 atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh yang di tandai dengan
kesulitan membuka mulut dan menetek, disusul denagn kejang-kejang.

Penyebab tetanus neonatorum adalah clostridium tetani yang merupakan


kuman gram positif, anaerob, bentuk batang dan ramping.

Tindakan pencegahan yang paling efektif adalah melakukan imunisasi


dengan tetanus toksoid (TT) pada wanita calon pengantin dan ibu hamil. Selain
itu, tindakan memotong dan merawat tali pusat harus secara steril.

10
LAPORAN STATUS PASIEN

1. Identitas Pasien
Nama : Munzir
Umur : 04 Oktober 2016
(14 hari)
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Tanggal masuk rumah sakit : 18 Oktober 2016
(Pukul: 00.30 wib)

Status Orang Tua


Nama Ayah : Saifudin
Umur : 47 tahun
Pekerjaan : Petani

Nama Ibu : Nurhayati


Umur : 43 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

2. Anamnesa

Keluhan Utama : Kejang-kejang


Telaah :

Pasien datang ke Rumah Sakit Umum Daerah Kota Langsa rujukan


dari RS Zubir Mahmud Perlak dengan keluhan kejang. Dimana kejang yang
dirasakan sejak 1 hari yang lalu dan secara mendadak tanpa adanya penyebab
yang jelas, frekuensi kejang 8 x/ hari dengan durasi 5 menit. Kejang yang
dirasakan seluruh tubuh dengan tubuh terhentak-hentak, dan sewaktu
terjadinya kejang pasien mengalami penurunan kesadaran, bibir kebiruan (+),
bibir kaku (+), sesak nafas (+), kejang rangsang (+), tali pusat bernanah (+),
demam (+) dengan suhu 37,9C.

11
RPD : Disangkal.

RPK : Dikeluarga pasien belum ada mengeluhkan keluhan yang sama


seperti pasien.

RPO : Pasien belum mendapatkan obat dari RS Zubir Mahmud.

Riwayat kehamilan : Selama kehamilan, ibu tidak pernah suntik TT, ibu sering
periksa kehamilannya di bidan desa.

Riwayat kelahiran : Pasien lahir di rumah dengan pertolongan bidan desa secara
normal, pasien segera menangis (+), pernafasan spontan (+), mulut dan hidung
pasien belum di suction.

3. Pemeriksaan fisik
A. Status Present
Keadaan Umum : Lemah
Heart Rate : 134 x/i
Respiratory Rate : 40 x/i
Suhu : 37,9 C
Berat Badan : 2650 gr
Tinggi Badan : 45 cm

B. Status Lokalisata
Kepala : Normochepali
Mata : Anemis (-/-), Ikterik (-/-),
Cekung (-/-)
Hidung : Deviasi Septum Nasal (-/-),
Secret (-/-)
Telinga : Normotia, Serumen (-)
Mulut : Bibir Kering (-), Pucat (+), Sekret (+)
Sianosis (+)
Faring Hiperemis (-)

12
Leher : Trakea Midline, Pembengkakan
KGB (-)

Thorak : I : Simetris
P : Stem Fremitus Ka=Ki
P : Sonor
A : Vesikuler (+), Rh (-), Wh (-)
Abdomen : I : Simetris
P : Soepel
P : Tympani
A : Peristaltik (+) Normal
Genetalia : DBN
Ekstremitas Atas : Oedem (-), Sianosis (-),
Pucat (+)
Ekstremitas Bawah : Oedem (-), Sianosis (-),
Pucat (+)

C. Pemeriksaan Penunjang

Darah lengkap

Hemoglobin : 16,8

Hematokrit : 46,8

Eritrosit : 5,02

Leukosit : 10.740

Trombosit : 233.000

Blood group :B

D. Deferensial Diagnosa : 1. Tetanus neonatorum


2. Sepsis neonatorum

13
3. Meningoenchepalitis

E. Diagnosa : Tetanus neonatorum

F. Terapi

- O2 liter

- IVFD Dex 10% 8 tts/i

- inj. Metronidazole 20 mg / 6 jam

- inj. Diazepam 1 mg / 3 jam

- inj. Transamin 50 mg / 8 jam

- inj. Ranitidin 3 mg / 8 jam

- inj. Norages 40 mg / 8 jam

- Pantau vital sign setian 2 jam.

14
Tanggal S O A P
18/10/16 Kejang KU : GT lemah Tetanus - O2 L/i
berulang 8x, HR : 140 x/i Neonatorum - Ivfd dextrose
H1
kejang RR : 40x/i 10% 8 tt/i
rangsang (+) , Temp : 36,9c - Inj.
sesak K-L : anemis (- Metronidazol
(+),demam ),sianosis (+) 20mg/6 jam
(+), saat kejang, - Inj.diazepam
menghisap (-). deviasi (-), 1,5 mg/2 jam
ikterik (-) - Diet asi / pasi
Thorak: 10cc/3 jam/ogt
simetris,
retraksi (-)
Cor : DBN
Pulmonal :
DBN
Abdomen :
Distensi
(+),soepol,BU
(+) N
Ektremitas :
oedem (-),
Sianosis (+),
ikterik (-)

15
Tanggal S O A P
04/11/16 Kejang sekali- KU : GT lemah Tetanus - Ivfd dextrose
sekali, kejang HR : 140 x/i Neonatorum 10% 6 tt/i
H 18
rangsang (-), RR : 44 x/i - Inj.
menghisap Temp : 36,3c Metronidazol
(+). K-L : anemis (- 20 mg/8 jam
),sianosis (-), - Phenytoin 20
deviasi (-), mg/8 jam
ikterik (-) - Inj.diazepam
Thorak: 1,5 mg/1 jam
simetris, - Diet asi / pasi
retraksi (-) 25cc/3 jam/ogt
Cor : DBN
Pulmonal :
DBN
Abdomen :
Distensi (-),
soepol, BU (+)
N
Ektremitas :
oedem (-),
Sianosis (-),
ikterik (-)

16

Anda mungkin juga menyukai