PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
2.2 EPIDEMIOLOGI
2.3 ETIOLOGI
2
Tetanus juga bisa menjadi bahaya untuk kedua ibu dan anak yang baru lahir
(melahirkan dan melalui tunggul tali pusat). Racun kuat yang dihasilkan ketika
bakteri tetanus berkembang biak adalah penyebab utama penyakit ini. Gejala
tetanus yang ditimbulkan secara umum adalah kejang.
Toksin tetanus mempengaruhi mata rantai interaksi antara saraf dan otot.
Daerah ini disebut sambungan neuromuskuler. Penyebab tetanus dapat
mengeluarkan toksin tetanus sehingga memperkuat sinyal kimia dari saraf ke otot,
yang menyebabkan otot-otot untuk memperketat kontraksi atau spasme. Hal ini
mengakibatkan baik kejang otot lokal atau umum. Toksin Tetanus dapat
mempengaruhi neonatus menyebabkan kejang otot. Ini biasanya terjadi dalam dua
minggu pertama setelah kelahiran dan dapat dikaitkan dengan metode sanitasi
yang buruk dalam merawat tunggul tali pusat dari neonatus. Dari catatan, karena
program vaksinasi tetanus, hanya tiga kasus tetanus neonatal dilaporkan sejak
tahun 1990, dan dalam setiap kasus adalah ibu-ibu yang tidak lengkap
di imunisasi tetanus toksoid.
2.4 KLASIFIKASI
3
disfagia ringan
III Berat Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai
sedang dalam waktu singkat; laju napas>30x/menit;
disfagia ringan
IV Sangat Berat (derajat III + gangguan sistem otonom termasuk
kardiovaskular) Hipertensi berat dan takikardia yang dapat
diselang-seling dengan hipotensi relatif dan bradikardia
2.5 PATOFISIOLOGI
Penyakit tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti luka tertusuk
paku, pecahan kaca, atau kaleng, luka tembak, luka baker, luka yang kotor dan
pada bayi dapat melalui tali pusat. Organisme multiple membentuk dua toksin
yaitu tetanuspasmin yang merupakan toksin kuat dan atau neurotropik yang dapat
menyebabkan ketegangan dan spasme otot, dan mempengaruhi sistem saraf pusat.
Eksotoksin yang dihasilkan akan mencapai pada sistem saraf pusat dengan
melewati akson neuron atau sistem vaskuler. Kuman ini menjadi terikat pada satu
saraf atau jaringan saraf dan tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik.
Namun toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh
antititoksin.
Hipotesa cara absorbsi dan bekerjanya toksin adalah pertama toksin diabsorbsi
pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawa ke kornu anterior
susunan saraf pusat. Kedua, toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk
kedalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk kedalam susunan saraf pusat.
Toksin bereaksi pada myoneural junction yang menghasilkan otot-otot manjadi
kejang dan mudah sekali terangsang. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan
rata-rata 10 hari.
4
a. Faktor Risiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik
Lingkungan yang mempunyai sanitasi yang buruk akan memyebabkan
Clostridium tetani lebih mudah berkembang biak. Kebanyakan penderita
dengan gejala tetanus sering mempunyai riwayat tinggal di lingkungan
yang kotor. Penjagaan kebersihan diri dan lingkungan adalah amat penting
bukan sahaja dapat mencegah tetanus, malah pelbagai penyakit lain.
Masa inkubasi berkisar antara 3-14 hari, tapi bisa lebih pendek atau lebih
panjang. Prognosis dipengaruhi oleh masa inkubasi, semakin pendek masa
inkubasi biasanya semakin jelek prognosisnya. Diagnosis tetanus neonatorum
biasanya dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis. Manifestasi klinis
meliputi gejala progresif adanya kesulitan minum (menghisap dan menelan), peka
rangsang dan bayi menangis terus menerus. Gejala khas lain adalah adanya
5
kekauan dan spasme otot. Kekauan otot melibatkan otot masseter, otot-otot perut
dan tulang belakang. Spasme otot bersifat intermiten dengan interval waktu yang
berbeda-beda tergantung dari tingkat keparahan penyakit.
Trismus disebabkan oleh adanya spasme pada otot massester dan terjadi
pada lebih dari separuh pasien tetanus neonatorum beberapa hari setelah lahir.
Gejala ini diikuti dengan kekakuan pada otot leher dan kesulitan dalam menelan.
Bayi menjadi rewel, gelisah dan sulit minum. Spasme pada oto facial
menyebabkan risus sardonicus. Kontraksi tonik klonik oto abdomen dan lumbal
menghasilkan gejala opissthototnus dan diikuti dengan fleksi dan adduksi tangan
serta kepala tangan seperti petinju. Spasme pada awalnya terjadi beberapa detik
dan memanjang seiring dengan semakin memberatnya penyakit. Pasien sadar dan
menangis karena nyeri akibat spasme otot. Spasme otot sangat mudah dicetuskan
oleh rangsangan taktil, visual maupun auditorial. Adanya demam kemungkinan
akibat aktivitas otot yang berlebihan. Spasme otot laringeus dan respiratorius
menyebabkan obstruksi, asfiksia dan sianosis.
6
Pemasangan kateter bisa dilakukan bila terjadi retensi urin. Manajemen lainnya
yang penting adalah perawatan untuk mencegah pneumonia aspirasi dan
atelektasis serta menurunkan rangsangan yang dapat mencetuskan kejang. Pasien
paling baik dirawat pada bangsal terbuka yang mudah dilihat, terdapat akses
terhadap tindakan keperawatan yang cepat dan peralatan resusitasi. ASI harus
tetap diberikan dan ibu harus didorong untuk berpartisipasi dalam observasi dan
perawatanpasien. ASI dapat diberikan melalui pipa lambung diantara periode
spasme. Pemberian ASI dimulai dengan stetngah kebutuhan per hari dan
dinaikkan bertahap sehinggga mencapai jumlah yang mencukupi kebutuhannya
dalam 2 hari.
7
intravena setiap 3 jam dengan dosis 0,5 mg/kg/hari per kali pemberian dengan
maksimum dosis 40 mg/kg/hari.bila jalur intravena tidak terpasang, diazepam
dapat diberikan melalui pipa lambung atau melalui rektal. Bila perlu, dapat
diberikan dosis tambahan 10 mg/kg/hari. Pemberian diazepam harus dihentikan
apabila frekuensi napas < 30 kali/menit, kecuali jika tersedia ventilator mekanik.
Pemberian kortikostreroid pada tatalaksanan tetanus belum terbukti.
2.9 PENCEGAHAN
Imunisasi aktif wanita hamil dengan dosis tetatus toksoid 0,5 ml dengan jarak
penyuntikan 2 bulan dapat mencegah terjadinya penyakit tetanus neonatorum.
Imunisasi pasif padakelompok neonatus berisiko merupakan tindakan preventif
yang paling sering dilakukan dalam praktek pelayanan kesehatan anak. Pemberian
750 unit serum antitetanus terhadap bayi berisiko tinggi dapat memberikan
perlindungan.
2.10 KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi adalah bronkopneumonia, pneumonia aspirasI
atelektasis, sepsis neonatorum. Angka kematian dapat menurun dengan adanya
perawatan intensif dan ventilator.
2.11 PENGENDALIAN TETANUS DAN ELIMINASI
8
2.12 PROGNOSIS
9
BAB III
KESIMPULAN
Penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas,
setelah 2 hari pertama bayi hidup, menangis dan menyusui secara normal, pada
hari ke 3 atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh yang di tandai dengan
kesulitan membuka mulut dan menetek, disusul denagn kejang-kejang.
10
LAPORAN STATUS PASIEN
1. Identitas Pasien
Nama : Munzir
Umur : 04 Oktober 2016
(14 hari)
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Tanggal masuk rumah sakit : 18 Oktober 2016
(Pukul: 00.30 wib)
2. Anamnesa
11
RPD : Disangkal.
Riwayat kehamilan : Selama kehamilan, ibu tidak pernah suntik TT, ibu sering
periksa kehamilannya di bidan desa.
Riwayat kelahiran : Pasien lahir di rumah dengan pertolongan bidan desa secara
normal, pasien segera menangis (+), pernafasan spontan (+), mulut dan hidung
pasien belum di suction.
3. Pemeriksaan fisik
A. Status Present
Keadaan Umum : Lemah
Heart Rate : 134 x/i
Respiratory Rate : 40 x/i
Suhu : 37,9 C
Berat Badan : 2650 gr
Tinggi Badan : 45 cm
B. Status Lokalisata
Kepala : Normochepali
Mata : Anemis (-/-), Ikterik (-/-),
Cekung (-/-)
Hidung : Deviasi Septum Nasal (-/-),
Secret (-/-)
Telinga : Normotia, Serumen (-)
Mulut : Bibir Kering (-), Pucat (+), Sekret (+)
Sianosis (+)
Faring Hiperemis (-)
12
Leher : Trakea Midline, Pembengkakan
KGB (-)
Thorak : I : Simetris
P : Stem Fremitus Ka=Ki
P : Sonor
A : Vesikuler (+), Rh (-), Wh (-)
Abdomen : I : Simetris
P : Soepel
P : Tympani
A : Peristaltik (+) Normal
Genetalia : DBN
Ekstremitas Atas : Oedem (-), Sianosis (-),
Pucat (+)
Ekstremitas Bawah : Oedem (-), Sianosis (-),
Pucat (+)
C. Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap
Hemoglobin : 16,8
Hematokrit : 46,8
Eritrosit : 5,02
Leukosit : 10.740
Trombosit : 233.000
Blood group :B
13
3. Meningoenchepalitis
F. Terapi
- O2 liter
14
Tanggal S O A P
18/10/16 Kejang KU : GT lemah Tetanus - O2 L/i
berulang 8x, HR : 140 x/i Neonatorum - Ivfd dextrose
H1
kejang RR : 40x/i 10% 8 tt/i
rangsang (+) , Temp : 36,9c - Inj.
sesak K-L : anemis (- Metronidazol
(+),demam ),sianosis (+) 20mg/6 jam
(+), saat kejang, - Inj.diazepam
menghisap (-). deviasi (-), 1,5 mg/2 jam
ikterik (-) - Diet asi / pasi
Thorak: 10cc/3 jam/ogt
simetris,
retraksi (-)
Cor : DBN
Pulmonal :
DBN
Abdomen :
Distensi
(+),soepol,BU
(+) N
Ektremitas :
oedem (-),
Sianosis (+),
ikterik (-)
15
Tanggal S O A P
04/11/16 Kejang sekali- KU : GT lemah Tetanus - Ivfd dextrose
sekali, kejang HR : 140 x/i Neonatorum 10% 6 tt/i
H 18
rangsang (-), RR : 44 x/i - Inj.
menghisap Temp : 36,3c Metronidazol
(+). K-L : anemis (- 20 mg/8 jam
),sianosis (-), - Phenytoin 20
deviasi (-), mg/8 jam
ikterik (-) - Inj.diazepam
Thorak: 1,5 mg/1 jam
simetris, - Diet asi / pasi
retraksi (-) 25cc/3 jam/ogt
Cor : DBN
Pulmonal :
DBN
Abdomen :
Distensi (-),
soepol, BU (+)
N
Ektremitas :
oedem (-),
Sianosis (-),
ikterik (-)
16