Kristus memberikan otoritas kepada Gereja yang dimulai
dari para rasul-Nya untuk mengajar dalam nama-Nya.
Gereja akan bertahan sampai pada akhir jaman, dan Kristus oleh kuasa Roh Kudus akan menjaganya dari kesesatan (lih. Mat 16:18; 18:18; 28:19-20; Luk 10:16; Yoh 14:16). Karena itu, Kristus memberikan kuasa wewenang mengajar kepada Magisterium Gereja yang terdiri dari para rasul dan para penerusnya. Magisterium/ Wewenang mengajar ini hanya ada untuk melayani Sabda Allah, sehingga ia tidak berada di atas Kitab Suci maupun Tradisi Suci, namun melayani keduanya. Prinsip fungsi Magisterium ini hanya seperti wasit dalam pertandingan sepak bola: ia tidak mengatasi peraturan, namun hanya menjaga agar peraturan dijalankan semestinya. Hal yang sama ditegaskan oleh Paus Benediktus XVI dalam pengajaran Apostoliknya, Verbum Domini. Paus menegaskan bahwa apa yang tertulis di dalam Kitab Suci bukanlah sesuatu yang dapat diinterpretasikan oleh masing-masing individu dengan bebas tanpa melihat apa yang menjadi pandangan Gereja. Karena Sabda Allah yang bersumber pada Roh Kudus diberikan kepada Gereja. Oleh Roh Kudus menjadi jiwa dari Gereja, Gereja menentukan buku-buku yang masuk ke dalam kanon Kitab Suci. Dengan demikian, Gereja mempunyai otoritas untuk menginterpretasikan Kitab Suci sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan oleh Roh Kudus. ((lih. Verbum Domini, 29-30)) Hal yang sama juga ditegaskan oleh St. Agustinus yang mengatakan I would not believe the Gospel, had not the authority of the Catholic Church led me to do so (((Against the Letter of Mani Called The Foundation 5:6)) Jika kita melihat sejarah, maka kita dapat melihat bahwa Kitab Suci yang ada pada kita sekarang terbentuk pertama kali menurut kanon yang ditetapkan oleh Paus Damasus pada tahun 382, Konsili Hippo (393), Carthago (397) dan Kalsedon/ Chalcedon (451) yang kemudian diteguhkan oleh banyak konsili sampai Konsili Trente (1545- 1563). Maka Gerejalah, atas ilham Roh Kudus, yang menentukan kitab- kitab mana saja yang diinspirasikan oleh Roh Kudus, sehingga dapat termasuk dalam Kitab Suci. Sebelum Kitab Suci ditulis, Gereja mengandalkan Tradisi Suci, yaitu pengajaran lisan para rasul. Ini adalah bukti penerapan ayat 1 Tim 3:15, yaitu bahwa Gereja-lah (bukan Kitab Suci) yang menjadi tiang penopang dan tonggak kebenaran. Jadi mengatakan bahwa Kitab Suci saja cukup atau hanya satu- satunya sebagai pedoman iman, itu tidaklah benar, sebab asal mula Kitab Suci itu sendiri melibatkan Tradisi Suci dan Gereja, yang dipimpin oleh Magisterium.