Anda di halaman 1dari 29

BERITA ACARA PERSENTASI PORTOFOLIO

Pada hari ini tanggal, 7 Januari 2016 telah dipresentasikan portofolio oleh:

Nama Peserta : dr. Merie Octavia

Dengan Judul/Topik : Fraktur Patologis

Nama Pembimbing : dr. Arifandi Wijaya, Sp.OT

Nama Wahana : RSUD KOTA MATARAM

No. Nama peserta presentasi No Tanda Tangan


1. 1.
2. 2.
3. 3.
4. 4.
5. 5.
6. 6.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Pendamping

(dr. Ita Patriani, MARS)

No. ID dan Nama Peserta: dr. Merie Octavia


No. ID dan Nama Wahana: IGD RSUD KOTA MATARAM

1
Topik: Fraktur Patologis
Tanggal (kasus): 4 Januari 2016 (06.00)
Nama Pasien: Ny. R
Tanggal Presentasi: 7 Januari 2016
Obyek Presentasi:
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi: Ny. R, 66 tahun datang dengan keluhan nyeri kaki kanan terutama pada pergelangannya sejak subuh pukul
01.00 SMRS. Pasien sebelumnya sedang berjalan biasa keluar kamar namun tiba-tiba merasa nyeri dan terjatuh.
Posisi jatuh pasien tidak ingat. Pasien merasa ada perubahan posisi pada kaki kanannya. Suara kretek-kretek
disangkal. Trauma dan benturan sebelumnya juga disangkal.

Tujuan: Menjelaskan tentang diagnostik dan tatalaksana fraktur patologis


Bahan bahasan Tinjauan pustaka Riset Kasus Audit
Cara membahas Diskusi Presentasi dan diskusi E-mail Pos
Data Pasien: Nama: Ny. R No. Registrasi: 17-64-XX
Nama Wahana: IGD RSUD KOTA MATARAM
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Ny. R, 66 tahun datang dengan keluhan nyeri kaki kanan terutama pada pergelangannya sejak subuh pukul 01.00 SMRS. Pasien
sebelumnya sedang berjalan biasa keluar kamar namun tiba-tiba merasa nyeri dan terjatuh. Posisi jatuh pasien tidak ingat. Pasien merasa
ada perubahan posisi pada kaki kanannya. Suara kretek-kretek disangkal. Trauma dan benturan sebelumnya juga disangkal.

2. Riwayat pengobatan:
Cartylo
Insulin 14 unit

2
Glimepirid
Amlodipin
Alpentin
Megabal
Revolan

3. Riwayat penyakit dahulu: DM 20 tahun (suntik insulin 3 minggu terakhir), Stroke 5 tahun lalu , Hipertensi 1 tahun lalu . Riwayat tumor
(kegananan), penyakit jantung, dan ginjal disangkal pasien.

4. Riwayat keluarga: dikeluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit yang sama.
5. Riwayat pekerjaan: pasien adalah seorang pensiunan PNS. Kini tidak bekerja.
Daftar Pustaka:
1. Soeharso, Penyakit-penyakit Orthopaedie dalam Pengantar Ilmu Bedah Orthopaedie, Yayasan Essentia Medica, Yogyakarta, 2003, hal :
53-207.

2. Eisenberg, RL, Fractures and Joint Injuries in Diagnostic Imaging in Surgery, McGraw-Hill Book Company, New York, 2007, pp. 707.

3. Douglas, MA, Fracture in Dorland`s Illustrated Medical Dictionary, 28th Edition, W.B. Saunders Company, Philadelphia, 2004, pp. 662.

4. Rasjad C, Trauma dalam Pengantar Ilmu Bedah Orthopaedi, Bintang Lamumpatue Ujung Pandang, 2008, hal : 343-525

5. Carter MA, Anatomi dan Fisiologi Tulang dan Sendi dalam Price SA, Wilson LM, Patofisiologi Konsep-konsep Klinis Proses- proses
Penyakit, Buku II, edisi 4, EGC, Jakarta, 2004, hal 1175-80.

6. Aston, JN, Prinsip-prinsip Umum Cedera Tulang dan Sendi dalam Kapita Selekta Traumatologik dan Ortopedik, Edisi 3, EGC, Jakarta,

3
2003, hal : 31- 48.

7. Ekayuda, I, Tumor Tulang dan Lesi yang Menyerupai Tumor Tulang dalam Rasad, dkk, Radiologi Diagnostik, Gaya Baru, Jakarta, 2000,
hal : 74-84

8. Aston, JN, Neoplasma dalam Kapita Selekta Traumatologik dan Ortopedik, Edisi 3, EGC, Jakarta, 2003, hal :207-221,287-302.

9. Siregar, PUT, Osteomielitis dalam Reksoprodjo, S dkk, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI, Penerbit Binarupa Aksara, Jakarta, 2005, hal
: 472-484.
Hasil Pembelajaran:
1. Memahami tanda dan gejala fraktur patologis dari anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang
2. Memahami kriteria diagnosis fraktur patologis , mekanisme terjadinya fraktur patologis, serta hubungannya dengan penyakit kronik
penyerta.
3. Memahami tatalaksana medikamentosa , non-medikamentosa, serta intervensi operatif pada fraktur patologis

RANGKUMAN HASIL PEMBELAJARAN PORTOFOLIO


1. Subjektif
Keluhan Utama :
Ny. R, 66 tahun, nyeri pergelangan kaki kanan sejak subuh tadi SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :

4
Pasien mengeluh nyeri kaki kanan terutama pada pergelangannya sejak subuh pukul 01.00 SMRS. Pasien sebelumnya sedang berjalan
biasa keluar kamar namun tiba-tiba merasa nyeri dan terjatuh. Posisi jatuh pasien tidak ingat. Pasien merasa ada perubahan posisi pada kaki
kanannya. Suara kretek-kretek disangkal. Trauma dan benturan sebelumnya juga disangkal.
Pasien memang sering merasakan nyeri sendi kaki kanannya mulai dari sendi lutut hingga pergelangan kaki kanan dan rutin konsumsi
analsik yang dibeli di apotek. Merokok, terpapar sinar karsinogen disangkal pasien. Kejadian seperti ini baru pertama kali dialami. Pasien
sudah menopause kurang lebih 10 tahun lalu.

Riwayat Penyakit Dahulu:


DM 20 tahun (suntik insulin 3 minggu terakhir), Stroke 5 tahun lalu , Hipertensi 1 tahun lalu . Riwayat tumor (kegananan), penyakit
jantung, dan ginjal disangkal pasien.

Riwayat Obat-Obatan:

Cartylo
Insulin 14 unit
Glimepirid
Amlodipin
Alpentin
Megabal
Revolan

Riwayat Penyakit Keluarga:

5
Dikeluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit yang sama seperti pasien. DM (-), HT (-), penyakit jantung dan ginjal (-)

Riwayat Sosial :
Pasien pensiunan PNS, sekarang tidak bekerja. Pasien tidak merokok dan minum alcohol. Pasien mengaku rutin minum obat dan kontrol
penyakitnya

2. Objektif
a. Keadaan Umum: Sakit sedang
b. Kesadaran: Compos Mentis, E4V5M6
c. Vital sign:
- Tekanan Darah: 140/90 mmHg
- Nadi: 90x/menit
- RR: 20x/menit
- Suhu: 36,5oC
d. Status generalis:
Kepala :
Bentuk normal, rambut berwarna hitam bercampur rambut putih, terdistribusi merata, tidak mudah dicabut, tidak teraba benjolan.

Mata :
Bentuk normal, kedudukan kedua bola mata simetris, palpebra superior et inferior tidak edema, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik, kornea keruh, pupil bulat dan isokor.

Telinga :

6
Bentuk normal, Meatus Akustikus Eksterna lapang, sekret -/-, serumen -/-

Hidung :
Sekret (-), hipertrofi konka inferior (-), konka pucat (-)

Mulut :
Bentuk normal, sianosis (-), bibir tidak kering, lidah tidak kotor, faring tidak hiperemis.

Leher
Bentuk normal, Kelenjar Tiroid dan Kelenjar Getah Bening tidak teraba membesar.

Thorax anterior
Paru
Inspeksi : Bentuk normal, gerak simetris dalam statis dan dinamis, retraksi suprasternal (-)
Palpasi : Taktil fremitus kanan kiri sama kuat
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru.
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Ichtus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di sela iga V garis midklavikula kiri
Perkusi : Batas kanan : sela iga V garis sternalis kanan
Batas kiri : sela iga V satu jari diatas garis axillaris anterior

7
Batas atas : sela iga II garis parasternal kiri
Auskultasi : BJ I & BJ II regular. Murmur (-). Gallop (-)

Thorax posterior
Inspeksi : Bentuk simetris, lordosis (-), kifosis (-), skoliosis (-) gerak nafas simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : Vokal fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
Auskultasi : SN vesikuler Ronki -/-, wheezing -/-

Abdomen
Inspeksi : datar, scar (-), tidak tampak massa
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), distensi (-), liver & spleen tidak teraba. Tidak teraba massa abdomen.
Perkusi : timpani
Auskultasi : BU (+) normal

Anggota Gerak
Lengan
Kanan Kiri
Otot
- Tonus Normotonus Normotonus
- Massa Eutrofi Eutrofi
Sendi Normal Normal
Gerakan Aktif Aktif

8
Kekuatan 5 5
Lain-Lain - -

Tungkai Dan Kaki


sendi panggul dan lutut
look : tidak tampak luka, kulit tidak sianosis atau ikterik, tidak tampak deformitas dan massa
feel : teraba hangat, tidak ada nyeri, pulsasi teraba
move: dalam batas normal
pergelangan kaki
look : luka (ulkus diabetikum) pada ibu jari dan telunjuk kaki Dextra dan ibu jari Sinistra, tampak deformitas dan pembengkakan pada
ankle Dextra
feel : nyeri pada perabaan ankle Dextra, teraba pembengkakan dan hangat, pulsasi (+), sensorik (+), ankle Sinistra dalam batas normal
move : ROM terbatas Dextra
Refleks
Kiri Kanan
Tendon + +
Bisep + +
Trisep + +
Patela + +
Archilles + +
Kremaster Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks Kulit Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks - -
Patologis

9
Pemeriksaan Penunjang
EKG:

Irama : Sinus Rythm


Rate : 96X/MNT
Axis: Normal
P : normal
Pr : normal
Qrs : normal
T : normal
U : tidak ada

10
Kesimpulan: sinus rhythm dg rate 96x/mnt

Rontgen Thoraks:
Cor : tidak tampak cardiomegaly
Pulmones : hila tidak melebar, tidak tampak infiltrat dikedua paru, corakan bronchovasculer tak meningkat, plura tidak tampak kelainan.

Foto Ankle Dextra AP/Lateral


Hasil bacaan:
Fraktur complete Os Fibula kanan 1/3 distal
Fraktur processus styloideus Os Tibia kanan
Suspek osteoporosis

11
Laboratorium:

12
Pemeriksaan Darah Nilai
Rujukan
21/1/16

Hgb (g/dl) 14,0 11,0-14,7


Hct (%) 39 35,2-46,7
Rbc (106/uL) 4,76 3,69-5,46
Wbc (103/uL) 11.04 3,37-8,38
Plt (103/uL) 305 172-378
Ureum (mg/dl) 35,9 17-43
Kreatinin (mg/dl) 1,0 0,6-1,1
3. Assesment
PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai
negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktiviti, akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu

13
aktiviti bahkan kegiatan harian. Produktiviti menurun akibat mangkir kerja atau sekolah, dan dapat menimbulkan disability (kecacatan),
sehingga menambah penurunan produktiviti serta menurunkan kualiti hidup.1
Kemajuan ilmu dan teknologi di belahan dunia ini tidak sepenuhnya diikuti dengan kemajuan penatalaksanaan asma, hal itu
tampak dari data berbagai negara yang menunjukkan peningkatan kunjungan ke darurat gawat, rawat inap, kesakitan dan bahkan
kematian karena asma. Berbagai argumentasi diketengahkan seperti perbaikan kolektif data, perbaikan diagnosis dan deteksi perburukan
dan sebagainya. Akan tetapi juga disadari masih banyak permasalahan akibat keterlambatan penanganan baik karena penderita maupun
dokter (medis). Kesepakatan bagaimana menangani asma dengan benar yang dilakukan oleh National Institute of Heallth National
Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) bekerja sama dengan World Health Organization (WHO) bertujuan memberikan petunjuk bagi
para dokter dan tenaga kesehatan untuk melakukan penatalaksanaan asma yang optimal sehingga menurunkan angka kesakitan dan
kematian asma. Petunjuk penatalaksanaan yang telah dibuat dianjurkan dipakai di seluruh dunia disesuaikan dengan kondisi dan
permasalahan negara masing-masing.1
EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in
Childhood (ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma meningkat dari 4,2% menjadi 5,4%.
Asma dapat ditemukan pada laki laki dan perempuan di segala usia, terutama pada usia dini. Perbandingan laki laki dan
perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa. Laki-laki
lebih memungkinkan mengalami penurunan gejala di akhir usia remaja dibandingkan dengan perempuan. Berdasarkan data Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), hingga saatini jumlah penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orangdan diperkirakan angka ini
akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025.2
DEFINISI
Definisi asma bermacam-macam tergantung kriteria mana yang dianut. Menurut PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia)
asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan

14
peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan
batuk-batuk terutama malam atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.1
Menurut GINA (Global Initiative for Asthma) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran nafas dengan
banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode
mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari.3
Asma dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan lingkungan, mengingat patogenesisnya tidak jelas, asma didefinisikan secara
deskripsi yaitu penyakit inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan,
dengan gejala episodik berulang berupa batuk, sesak napas, mengi dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari, yang
umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan.1,2
PATOFISIOLOGI
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi
respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh
antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada
orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada
asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan
bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian
berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam
mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan
menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos
bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-
15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang

15
bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan allergen dan bertahan selama 16-24
jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell
(APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.2
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin
juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast
dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga
meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat
terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi
asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik
senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya
bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.2
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung,
yang merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus
tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.2
KLASIFIKASI
Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi,
gejala malam hari, pemberian obat inhalasi -2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis
obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu
penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang
sangat penting dalam penatalaksanaannya. Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut).4
1. Asma saat tanpa serangan
Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari intermitten; persisten ringan; persisten sedang; dan persisten berat.4

16
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang dewasa

2. Asma saat serangan


Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-
ringannya serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis,
uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi
asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat. Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma
(aspek akut). Sebagai contoh: seorang pasien asma persisten berat dapat mengalami serangan ringan saja, tetapi ada kemungkinan pada
pasien yang tergolong episodik jarang mengalami serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan
kematian.4
Tabel 2. Klasifikasi asma menurut derajat serangan

17
DIAGNOSIS
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang
dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan
batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit.
Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis.
Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal,
pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu.
Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan
pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang.1,2
Anamnesis

18
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata
gatal, merah, dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit
akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering
terbangun pada malam hari atau berat dada yang memburuk pada malam hari atau secara musiman, riwayat keluarga (riwayat asma,
rinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam
rumah.1,2
Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak
barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain
yang merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid. Hal lain yang
perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit adalah riwayat keluarga (atopi), riwayat alergi / atopi, penyakit lain yang memberatkan,
perkembangan penyakit dan pengobatan.1,2

Tabel 3. Gejala-gejala kunci diagnosis asma

19
Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering
ditemukan adalah mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif
(faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi
dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi
menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan
hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar

20
(silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi,
hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.1,2
Vital Sign Fitur umum dicatat selama serangan asma akut tingkat pernapasan cepat (sering 25 sampai 40 napas per menit),
takikardia, dan pulsus paradoksus. Pada pemeriksaan thorak pasien yang mengalami serangan asma dapat dijumpai:
a. Inspeksi : sesak (napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi suprasternal)
b. Palpasi : biasanya tidak ditemukan kelainan, pada serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus
c. Perkusi : biasanya tidak ditemukan kelainan
d. Auskultasi : ekspirasi memanjang,wheezing
Pemeriksaan Penunjang
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai asmanya, demikian pula dokter tidak selalu akurat
dalam menilai dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk menyamakan persepsi
dokter dan penderita, dan parameter objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai obstruksi jalan napas,
reversibiliti kelainan faal paru, variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan napas.
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah
pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).
1. Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi
paksa melalui prosedur yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi
operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible
dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.1,2
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma:
a. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.

21
b. Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah
pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat
membantu diagnosis asma
c. Menilai derajat berat asma
2. Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak
expiratory flow meter (PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai
tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami baik
oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver
pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.
Manfaat APE dalam diagnosis asma:
a. Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari,
atau respons terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)
b. Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat
digunakan menilai derajat berat penyakit (lihat klasifikasi)
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru lain, di samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi
dengan derajat berat obstruksi. Oleh karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai terbaik sebelumnya, bukan
nilai prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik penderita yang bersangkutan.1,2
Cara pemeriksaan variabiliti APE harian:
Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari untuk mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat
diperoleh melalui 2 cara:

22
a. Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan nilai APE pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam
hari sebelumnya sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah bronkodilator
menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian. Nilai > 20% dipertimbangkan sebagai asma.
APE malam - APE pagi
Variabiliti harian = -------------------------------------------- x 100 %
1/2 (APE malam + APE pagi)
b. Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE pagi sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu,
dinyatakan dengan persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari).
Contoh :
Selama 1 minggu setiap hari diukur APE pagi dan malam , misalkan didapatkan APE pagi terendah 300, dan APE malam tertinggi 400;
maka persentase dari nilai terbaik (% of the recent best) adalah 300/ 400 = 75%. Metode tersebut paling mudah dan mungkin dilakukan
untuk menilai variabiliti.1,2
3. X-ray dada/thorax
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri,
obstruksi saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak
memperlihatkan adanya kelainan.1,2
4. Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal
sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti
rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita
tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas
seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik.1,2
5. Pengukuran Status Alergi

23
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut
mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan
kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan
cara yang tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap
pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan
uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain).
Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi.1,2
6. Analisa Gas Darah
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma berat. Pada fase awal serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnea (PaCO 2 < 35
mmHg) kemudian pada stadium yang lebih berat pada PaCO 2 justru mendekati normal sampai normo-kapnea. Selanjutnya pada asma
yang sangat berat terjadi hiperkapnea (PaCO2 45 mmHg), hipoksemia, dan asidosis respiratorik.5
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi
stabil minimal dalam waktu satu bulan (asma terkontrol, lihat program penatalaksanaan). Dalam menetapkan atau merencanakan
pengobatan jangka panjang untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, terdapat 3 faktor yang perlu
dipertimbangkan :
1. Medikasi (obat-obatan)
2. Tahapan pengobatan
3. Penanganan asma mandiri (pelangi asma)

Medikasi Asma

24
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :

Kortikosteroid inhalasi
a. Kortikosteroid sistemik
b. Sodium kromoglikat
c. Nedokromil sodium
d. Metilsantin
e. Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
f. Agonis beta-2 kerja lama, oral
g. Leukotrien modifiers
h. Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)
i. Lain-lain

Tabel 4. Sediaan dan dosis obat pengontrol asma

25
Pelega (Reliever)

26
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang
berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan
hiperesponsif jalan napas.
Termasuk pelega adalah :
a. Agonis beta2 kerja singkat
b. Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal
tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
c. Antikolinergik
d. Aminofillin
e. Adrenalin

Tabel 5. Sediaan dan dosis obat pelega untuk mengatasi gejala asma

27
4. Plan
Pengobatan yang diberikan pada pasien ini:
- O2 nasal kanul 3 lpm
- IVFD RL 12 tpm
- Cefotaxime 3x1 gram IV
28
- Nebulizer combivent/4 jam
- Drip aminofilin 0,3 mg/kgbb/jam dalam syringe pump
a. Diagnosis: penegakan diagnosis untuk asma dapat menggunakan klasifikasi berdasarkan pada saat tidak datang serangan dan saat pada
serangan akut. Ini berguna untuk menentukan pengobatan asma tersebut. Namun untuk pemeriksaan lebih lanjut dapat melakukan
pemeriksaan:
1. Spirometri
2. Pengukuran status alergi : uji kulit (prick test) dan IgE spesifik serum
3. Analisis gas darah
b. Pengobatan: sudah sesuai dengan pedoman dimana pada asma perlu obat pengontrol dan pelega.
c. Pendidikan: edukasi pasien untuk menghindari faktor pencetus serangan dan tidak melakukan aktivitas fisik berat yang dapat memicu
serangan
d. Konsultasi: pasien perlu pegontrolan dengan melakukan konsultasi ke ahli penyakit dalam atau penyakit paru

29

Anda mungkin juga menyukai