Anda di halaman 1dari 24

PRESENTASI KASUS

???

Oleh :
?????

Pembimbing :
Dr. Reviono, dr., SpP(K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN PARU


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR.MOEWARDI
SURAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberculosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun
2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun
2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Setiap
detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB
terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila
dilihat dari jumlah pendduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk.Di
Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000
pendduduk Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat tuberculosis pada
tahun 2002. Jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu
625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk.
Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk,
dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat
kasus TB yang muncul. Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) tahun 2001 didapatkan bahwa penyakit pada system
pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah system sirkulasi.
Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab
kematian kedua, sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis
adalah penyebab kematian laporan yang masuk ke subdit TB P2MPL
Departemen Kesehatan tahun ,2001 terdapat 50.443 penderita BTA positif yang
diobati (23% dari jumlah perkiraan penderita BTA positif ). Tiga perempat dari
kasus TB ini berusia 15-49 tahun. Pada tahun 2004 WHO memperkirakan
setiap tahunnya muncul 115 orang penderita tuberkulosis paru menular (BTA
positif) pada setiap 100.000 penduduk. Saat ini Indonesia masih menduduki
urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China.
B. DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex

FOLLOW UP PASIEN
A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
a. Nama Pasien
b.

A. Pemeriksaan Tanggal 15 Maret 2017 (DPH I)


S :Sesak nafas (+), batuk (+), nyeri dada (+)
O : KU : sesak, compos mentis
VS : Tekanan darah : 100/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit, isi dan tegangan cukup, irama teratur
Respirasi : 25 x/menit
Suhu : 36,5C per aksiler
SiO2 : 97% dengan O2 2 lpm
Kulit :
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechiae (-), venektasi (-),
spider naevi (-).
Kepala :
Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut ada,
atrofi otot (-).
Mata :
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil
isokor (3 mm/ 3 mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-).
Hidung :
Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-).
Telinga :
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-).
Mulut :
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), tonsil T1-T1, faring
hiperemis (-), stomatitis (-), mukosa pucat (-),gusi berdarah (-), papil
lidah atrofi (-).
Leher :
Simetris, trakhea di tengah, JVP tidak meningkat, limfonodi tidak
membesar, nyeri tekan (-), benjolan (-).

Thoraks :
Retraksi (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi : Konfigurasi jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, regular, bising (-
), gallop (-)
Paru ( anterior )
Inspeksi statis : Simetris, dinding dada kiri = kanan
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri < kanan
Palpasi : Fremitus raba kiri < kanan
Perkusi : Sonor/redup
Auskultasi : Suara dasar vesikuler dextra (+), Suara dasar
vesikuler sinistra menurun di SIC II, ronki basah
kasar(-/-), wheezing (-/-)
Paru ( posterior )
Inspeksi statis : Simetris, dinding dada kiri = kanan
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri < kanan
Palpasi : Fremitus raba kiri < kanan
Perkusi : Sonor/redup
Auskultasi : Suara dasar vesikuler dextra (+), Suara dasar
vesikuler sinistra (++) di SIC II, ronki basah kasar(-
/-), wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada.
Auskultasi : bising usus (+) 14 x/menit
Perkusi : timpani.
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.
Ekstremitas
Edema ekstremitas Akral dingin
- - - -
- - - -
Assessment :
TB paru kasus relaps MTB low detected (gen Expert) dalam terapi OAT
kategori II bulan I
Planning Terapi :
O2 dengan nasal kanul 2 lpm
Diet TKTP 1700 kkal
IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
Ranitidin 5mg/12 jam
Curcuma 3x1
Vitamin B 1x1
OAT

Planning Diagnostik
Kultur sputum BTA
Kultur BTA cairan pleura

Pemeriksaan Tanggal 16 Maret 2017 (DPH II)


S :Sesak nafas (+), batuk (+), nyeri dada (+), nyeri kaki (+)
O : KU : sedang, compos mentis
VS : Tekanan darah : 100/80 mmHg
Nadi : 86 x/menit, isi dan tegangan cukup, irama teratur
Respirasi : 26 x/menit
Suhu : 36,5C per aksiler
SiO2 : 98% dengan O22 lpm
Kulit :
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechiae (-), venektasi (-),
spider naevi (-).
Kepala :
Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut ada,
atrofi otot (-).
Mata :
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil
isokor (3 mm/ 3 mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-).
Hidung :
Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-).
Telinga :
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-).
Mulut :
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), tonsil T1-T1, faring
hiperemis (-), stomatitis (-), mukosa pucat (-),gusi berdarah (-), papil
lidah atrofi (-).
Leher :
Simetris, trakhea di tengah, JVP tidak meningkat, limfonodi tidak
membesar, nyeri tekan (-), benjolan (-).

Thoraks :
Retraksi (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi : Konfigurasi jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, regular, bising (-
), gallop (-)
Paru ( anterior )
Inspeksi statis : Simetris, dinding dada kiri = kanan
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri < kanan
Palpasi : Fremitus raba kiri < kanan
Perkusi : Sonor/redup
Auskultasi : Suara dasar vesikuler dextra (+), Suara dasar
vesikuler sinistra menurun di SIC II, ronki basah
kasar(-/-), wheezing (-/-)
Paru ( posterior )
Inspeksi statis : Simetris, dinding dada kiri = kanan
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri < kanan
Palpasi : Fremitus raba kiri < kanan
Perkusi : Sonor/redup
Auskultasi : Suara dasar vesikuler dextra (+), Suara dasar
vesikuler sinistra (++) di SIC II, ronki basah kasar(-
/-), wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada.
Auskultasi : bising usus (+) 14 x/menit
Perkusi : timpani.
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.
Ekstremitas
Edema ekstremitas Akral dingin
- - - -
- - - -
Assessment :
TB paru kasus relaps MTB low detected (gene Expert) dalam terapi OAT
kategori II bulan I
Planning Terapi :
O2 dengan nasal kanul 2 lpm
Diet TKTP 1700 kkal
IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
Ranitidin 5mg/12 jam
Curcuma 3x1
Vitamin B 1x1
OAT

Planning Diagnostik
Kultur sputum BTA
Kultur BTA cairan pleura

TINJAUAN PUSTAKA
1. Tuberkulosis
a. Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacteria. Pada manusia kebanyakan yang menginfeksi adalah
Mycobacterium tuberculosis. Selain itu terdapat juga Mycobacterium bovis,
Mycobacterium africanum, Mycobacterium canetti, dan Mycobacterium microti.
Biasanya tuberkulosis menyerang paru, namun dapat juga menyerang Central
Nervus System, sistem limfatikus, sistem urinaria, sistem pencernaan, tulang,
sendi dan lainnya.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang
pleomorfik gram positif, berukuran 0,4 3 , mempunyai sifat tahan asam, dapat
hidup selama berminggu-minggu dalam keadaan kering, serta lambat
bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis
bakteri yang bersifat intracellular pathogen pada hewan dan manusia.
b. Patogenesis
Penularan TB biasanya melalui udara, yaitu dengan inhalasi droplet
nukleus yang mengandung basil TB. Hanya droplet nukleus ukuran 1-5 mikron
yang dapat melewati atau menembus sistem mukosilier saluran napas sehingga
dapat mencapai dan bersarang di bronkiolus maupun alveolus.

Gambar 2. Tuberkulosis menyebar lewat udara

Di bronkiolus dan alveolus inilah basil tuberkulosis berkembang biak dan


menyebar melalui saluran limfe dan aliran darah tanpa perlawanan yang berarti
dari pejamu karena belum ada kekebalan awal. Di dalam alveolus makrofag akan
memfagositosis sebagian basil tuberkulosis tetapi belum mampu membunuhnya.
Sebagian basil TB dalam makrofag umumnya dapat tetap hidup dan berkembang
biak dan menyebar melalui saluran limfe regional maupun melalui aliran darah
sehingga dapat mencapai berbagai organ tubuh. Di dalam organ tersebut akan
terjadi transfer antigen ke limfosit.
Basil TB hampir selalu dapat bersarang di sumsum tulang, hepar dan limfe
tetapi tidak selalu dapat berkembang biak secara luas. Basil TB di lapangan atas
paru, ginjal, tulang, dan otak lebih mudah berkembang biak terutama sebelum
imunitas spesifik terbentuk.
Imunitas spesifik yang terbentuk biasanya cukup kuat untuk menghambat
perkembangbiakan basil TB lebih lanjut. Dengan demikian lesi TB akan sembuh
dan tidak ada tanda dan gejala klinis. Pada sebagian kasus imunitas spesifik yang
terbentuk tidak cukup kuat sehingga terjadi penyakit TB dalam 12 bulan setelah
infeksi dan pada sebagian penderita TB terjadi setelah lebih dari 12 bulan setelah
infeksi.
Kurang lebih 10% individu yang terkena infeksi TB akan menderita
penyakit TB dalam beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi.
Kemungkinan menjadi sakit TB lebih besar pada balita, pubertas dan akil balik.
Keadaan yang menyebabkan turunnya imunitas memperbesar kemungkinan sakit
TB, misalnya karena infeksi HIV dan pemakaian kortikosteroid atau obat
imunosupresif lainnya yang lama, demikian juga pada diabetes melitus.
Hipersensitivitas terhadap beberapa komponen basil TB dapat dilihat pada
uji kulit dengan tuberkulin yang biasanya terjadi 2-10 minggu setelah infeksi.
Dalam waktu 2-10 minggu ini juga terjadi cell-mediated immune response.
Setelah terjadi infeksi pertama, basil TB yang menyebar ke seluruh badan suatu
saat di kemudian hari dapat berkembang biak dan menyebabkan penyakit.
Penyakit TB dapat timbul dalam 12 bulan setelah infeksi, tapi dapat juga setelah 1
tahun atau lebih. Lesi TB paling sering terjadi di lapangan atas paru.
Tuberkulosis post primer dimulai dengan serangan dini, yang umumnya
terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun anterior. Sarang dini mula-
mula berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan
mengikuti salah satu jalan berikut :
1. Direabsorbsi kembali dan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat.
2. Sarang tadi mula-mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan
dengan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri, menjadi
lebih keras, terjadi perkapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran.
Sebaliknya dapat juga terjadi bahwa sarang tadi menjadi aktif kembali,
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitas, bila jaringan keju
dibatukan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).
Kavitas mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya akan menjadi
tebal (kavitas sklerotik). Yang kemudian akan terjadi :
- Mungkin belum kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru,
sarang ini akan mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan di atas.
- Dapat memadati dan membungkus diri (encapsulated) dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi
mungkin juga aktif kembali mencair lagi dan menjadi kavitas lagi.
- Kavitas bisa juga menjadi bersih dan menyembuh dengan
membungkus diri dan akhirnya mengecil. Mungkin berakhir sebagai
kavitas yang terbungkus, dan menciut kelihatan seperti bintang
(stellate shaped).
- Sarang-sarang aktif, eksudatif.
- Sarang-sarang yang terletak antara aktif dan sembuh.

Gambar 3. Tuberkel

Apabila kavitas yang terbentuk ini pecah maka akan terjadi pneumotoraks
di mana udara dari dalam paru akan masuk ke dalam rongga pleura sehingga paru
menjadi kolaps.
Efusi pleura dapat terjadi setiap saat setelah infeksi primer. Efusi biasanya
terjadi karena tuberkuloprotein dari paru masuk ke rongga pleura sehingga terjadi
reaksi inflamasi dan terjadi pengumpulan cairan jernih di dalamnya.
TB milier dapat terjadi pada masa dini, tetapi dapat juga terjadi setelah
beberapa waktu kemudian akibat erosi fokus di dinding pembuluh darah. TB
milier dapat mengenai banyak organ misalnya selaput otak, sehingga terjadi
meningitis TB, dapat juga mengenai tulang, ginjal dan organ lain.
Pada individu normal, respons imunologik terhadap infeksi tuberkulosis
cukup memberi perlindungan terhadap infeksi tambahan berikutnya. Risiko
terjadinya reinfeksi tergantung pada intensitas terpaparnya dan sistem imun
individu yang bersangkutan.
Pada pasien dengan infeksi HIV terjadi penekanan pada imun respons. Jadi
kalau terkena TB sering terjadi TB yang berat dan sering gambaran klinik TB
dengan HIV berbeda dengan TB biasa.

c Klasifikasi
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
1. Tuberkulosis paru BTA (+) :
a. sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak hasilnya BTA(+)
b. satu spesimen dahak BTA(+) dan radiologis menunjukkan
gambaran tuberkulosis aktif
c. satu spesimen dahak BTA (+) dan biakan (+)
2. Tuberkulosis paru BTA (-)
a. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA (-),
gambaran klinis dan kelainan radiologis menunjukkan
tuberkulosis aktif
b. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA (-) dan
biakan M. Tuberculosis (+)

Berdasarkan tipe pasien


a. Kasus baru
Pasien belum pernah mendapat pengobatan OAT atau pernah mendapat
OAT kurang dari 1 bulan.
b. Kasus relaps
Pasien sebelumnya sudah mendapat pengobatan tuberkulosis kemudian
dinyatakan sembuh, kemudian kembali berobat karena BTA (+) atau
biakan (+)
c. Kasus drop out
Pasien menjalani pengobatan 1 bulan dan tidak mengambil obat
dalam 2 bulan berturut-turut sebelum pengobatan selesai.
d. Kasus gagal pengobatan
Pasien BTA (+) yang masih (+) atau kembali menjadi (+) lagi pada
akhir bulan ke-5 atau pada akhir pengobatan.
e. Kasus kronik
Pasien dengan BTA (+) setelai selesai pengobatan ulang dengan
pengobatan kategori 2 dan dengan pengawasan yang baik
f. Kasus Bekas TB
- Hasil pemeriksaan BTA (-), biakan (-), gambaran radiologis TB
tidak aktif atau foto serial menunjukan gambaran menetap.
Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.
- Pada kasus dengan gambaran radiologis meragukan atau telah
mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang
tidak ada perubahan gambaran radiologis.

Berdasarkan Patogenesis
d. Diagnosis
Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisis, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Gejala Klinis
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala
respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat)
1. Gejala respiratori: Batuk, batuk berdarah, sesak napas, nyeri dada
Gejala ini sering ditemukan. Batuk terjadi karena iritasi bronkus. Batuk
diperlukan untuk membuang produk-produk radang. Karena terlibatnya
bronkus pada setiap penyakit tidak sama, maka munculnya batuk maupun
sifat batuk bisa bermacam-macam. Batuk umumnya lebih dari 3 minggu.
Keadaan lanjut adalah berupa batuk berdarah. Hal itu disebabkan karena
adanya pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk berdarah terjadi
pada kavitas, maupun ulkus dinding bronkus.
2. Gejala sistemik : demam, malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun
3. Gejala TB ekstraparu
Gejala TB ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat misalnya pada
limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari
kelenjar getah bening. Pada meningitis TB akan terlihat gejala meningitis.
Pada pleuritis TB terdapat gejala sesak napas dan kadang dada pada sisi
yang rongga pleuranya terdapat cairan

Pemeriksaan Fisis
Dapat ditemukan konjungtiva anemis, demam, badan kurus, berat badan
menurun. Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apex
paru, bila dicurga adanya infiltrate yang luas, maka pada perkusi akan didapatkan
suara redup, auskultasi bronchial dan suara tambahan ronki basah, kasar, dan
nyaring. Tetapi bila infiltrate diliputi penebalan pleura maka suara nafas akan
menjadi vesicular melemah. Bila terdapat kavitas yang luas akan ditemukan
perkusi hipersonor atau tympani.

Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan identifikasi M. tuberculosis dengan cara:
1. Lowenstein Jensen
Pada identifikasi M. tuberculosis, pemeriksaan dengan media biakan
lebih sensitive dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopis.
Pemeriksaan biakan dapat mendeteksi 10-1000 mycobacterium/ml.
2. Uji tuberculin
Uji ini mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula, atau apabila
kepositifan dari uji yang diadapat besar sekli. Pada malutrisi dan
infeksi HIV uji tuberculin dapat memberikan hasil negative
3. GenXpert MTB/RIF
Xpert MTB/RIF adalah uji diagnostic cartridge-based, otomatis, yang
dapat mengidentifikasi M. tuberculin dan resistensi terhadap
Rifampisin. Lama pengelolaan uji samapai selesai memakan waktu 1-2
jam. Metode ini akan bermanfaat untuk menyaring kasus supek TB
MDR secara cepat dengan bahan pemeriksaan dahak.

Pemeriksaan Radiologis
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia,
gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas
tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka banyangn terlihat berupa
bulatan dengan batas tegas, lesi dikenal sebagai tuberkuloma
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdiniding
tipis. Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis
terlihat bayangan bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya terlihat sebagai
bercak-bercak pada dengan densitas tinggi.
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai TB paru adalah
penebalan pleura, efusi pleura, empiema.

Diagnosis TB paru dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada


pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif
apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif.
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih
lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang.
1. Kalau hasil rontgen mendukung TB, maka penderita didiagnosis
sebagai penderita TB BTA positif.
2. Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak
diulang.

Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spektrum


luas (misalnya Kotrimoksasol atau Amoksilin) selama 1-2 minggu. Bila
tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TB, ulangi
pemeriksaan dahak SPS.
1. Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif
2. Kalau hasil SPS negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk
mendukung diagnosis TB.
- Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita
TB BTA negatif rontgen positif.
- Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan
TB. UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen, penderita dapat
dirujuk untuk foto rontgen dada

Pengobatan TB

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (23 bulan) dan
fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat
utama dan tambahan.
A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
INH
Rifampisin
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin
Amikasin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin +
asam klavulanat
Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :
o Kapreomisin
o Sikloserino
o PAS (dulu tersedia)
o Derivat rifampisin dan INH
o Thioamides (ethionamide dan prothionamide)

Kemasan
- Obat tunggal
Obat disajikan secara terpisah, masingmasing INH, rifampisin,
pirazinamid dan etambutol.
- Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination FDC)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu
tablet
Panduan Obat

Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek
samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
1. Evaluasi klinik
- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan
- Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat
serta ada tidaknya komplikasi penyakit
- Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis.
2. Evaluasi bakteriologik (0 2 6 /9 bulan pengobatan)
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan
Bila ada fasilitas biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji
resistensi
3. Evaluasi radiologik (0 2 6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
- Sebelum pengobatan
- Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
- Pada akhir pengobatan
- Evaluasi efek samping secara klinik
Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi
ginjal dan darah lengkap
Fungsi hati SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum,
kreatinin, dan gula darah , serta asam urat untuk data dasar
penyakit penyerta atau efek samping pengobatan
Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol
(bila ada keluhan)
Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji
keseimbangan dan audiometri (bila ada keluhan)
Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan
pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi
klinis kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi
klinis dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan
efek
samping obat sesuai pedoman
4. Evalusi keteraturan berobat
- Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan
diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting
penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan
berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien,
keluarga dan lingkungannya.
- Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah
resistensi.

Kriteria Sembuh
- BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
- Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan
- Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negative

Evaluasi pasien yang telah sembuh


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi
minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan
untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis
BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopis BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan
(sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto
toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB
kambuh).

Efek samping ringan OAT

Efek samping berat OAT


Komplikasi
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi
lanjut.
Komplikasi dini pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus, Pancets
arthropathy
Komplikasi lanjut Obstruksi jalan napas SOFT (Sindrom Obstruksi
Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat SOPT/fibrosis paru, kor
pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa
(ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.

BAB V
PENUTUP

1. Tuberkulosis merupakan penyakit paru yang memiliki mortalitas dan


morbiditas tinggi
2. Tuberkulosis dapat disebabkan oleh Infeksi Mycobacterium tuberculosis
3. Tatalaksana tuberkulosis menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
4. Diperlukan pemahaman yang baik oleh dokter atau klinisi untuk dapat
mengatasi tuberkulosis
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.


Jakarta : EGC 1997. p. 598.
2. Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus,
Simadibrata. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia 2006. p. 1063.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Jakarta: 2006

Anda mungkin juga menyukai