Anda di halaman 1dari 3

Melihat Banser dari Dekat

Sepulang dari harlah GP Ansor di Kutai Timur, teman saya mengirimi screencapture
lewat Whatsapp. Jagad Twitter tiba-tiba ramai soal Barisan Ansor Serbabisa (Banser).
Trending topic nomer satu dan dua milik Banser, #BanserJagaNKRI dan
#Banserbubarinpengajianlagi. Nama Banser memang sedang terkerek dengan
berbagai aksinya. Awal mula ramainya, dari catatan saya, ketika membubarkan
pengajian Khalid Bassalamah di Sidoarjo beberapa bulan lalu. Diikuti dengan
pembubaran acara-acara HTI di banyak kota.

Apa yang dilakukan Banser hanyalah refleks spontan atas kegelisahan jamiyyah
Nahdlatul Ulama (NU). Misal tentang keributan di Sidoarjo waktu itu, sebabnya
karena Ustadz Khalid Bassalamah menyerang amalan Nahdliyin secara agresif lewat
video yang diedarkan di Youtube juga menimbulkan kegelisahan di banyak kalangan,
kejadian di Sidoarjo juga bukan pertama kali penolakan sebenarnya. Juga ketika HTI
ingin merongrong Pancasila dengan agenda Khilafahnya, tentu saja NU meradang.
Sudah sejak jaman baheula NU menyatakan Pancasila adalah final dan NKRI harga
mati.

Banyak celemongan negatif tentang Banser, di media sosial kebanyakan akun anonim
yang dioperasikan para pengecut. Bahkan ada kenalan saya yang mengaku anggota
GP Ansor, padahal bukan, menyuarakan negativitasnya pada Banser. Ketika
dikonfirmasi dan ditanya dia pengurus mana, dia mengeper, khas netizen tidak mutu.
Sebenarnya cemoohan sudah eksis sedar tahun kapan, semenjak Banser menjaga
Gereja, melindungi orang-orang yang ingin khusyuk beribadah. Saya tidak bisa
membayangkan kawan-kawan beribadah di bawah bayang-bayang ancaman bom,
mungkin serupa tapi tak sama dengan kegelisahan muslim Amerika paska terpilihnya
Trump sebagai Presiden. Banser mengupayakan itu salah satunya, mencontohkan
Islam yang rahmatan lil alamin dengan perbuatan, bukan cuma jeplak seringan mulut
komentator nyinyir. Dari kegiatan penjagaan Gereja pun sudah jatuh korban dari
kalangan Banser. Tapi bukan Banser kalau begitu saja lalu kendor. Sahabat Riyanto
yang gugur karena bom di Gereja saat penjagaan menjadi inspirasi, komentar negatif
menjadi pelecut sekaligus evaluasi (kalau memang patut dijadikan bahan renungan).

Lalu, apakah simpati internal NU berkurang pada Banser dengan sikap kontra itu?
Tidak juga, malah tambah sayang dan bangga sepertinya. Nyatanya, rekrutmen
anggota Banser terakhir di Samarinda melampaui angka seratus lima puluh pendaftar.
Ingat, Samarinda bukan kantong NU seperti di Jawa. Begitu pula saya bertanya pada
instruktur Nasional yang mengampu acara kemarin, hampir dua minggu sekali, atau
bahkan tiap minggu, mereka terbang ke berbagai penjuru Indonesia untuk
pengkaderan. Kalaupun ada yang kurang sreg dengan sikap Banser, ya perlu tabayun
soal ini, supaya semua jelas. Kalau perlu, disiapkan dalil naqli dan aqli-nya

Citra Banser bagi kalangan luar NU terkesan sangar. Memang iya. Tapi Banser tentu
punya sisi lain yang jarang beredar di luar NU. Banyak cerita, beberpa di antaranya
amat berkesan. Bahkan sampai saya ulang berkali kali masih tetap membuat saya
terpingkal atau terenyuh.

Saya mengenal Banser jauh sebelum saya menjadi fungsionaris Ansor, sejak saya
masih sekolah dasar malah. Sebagai Nahdliyin sejak masih dalam rahim, saya
bertemu mereka mulai dari pengajian sampai walimah pernikahan, tugasnya sebagai
pengaman VVIP sampai yang pengamanan di parkiran. Meski gagah, saya tidak
pernah merasa ada hawa mencekam dari Banser. Perasaan yang hadir justru perasaan
merasa diayomi, dilindungi.

Banser tidak dibayar barang sepeserpun. Jadi kurang pas, kalau ada adegan di film
Tanda Tanya besutan Hanung Bramantyo yang edar beberapa tahun lalu Banser
dideskripsikan sebagai pekerjaan. Jangankan dibayar, sepatu lars saja beli kadang
mencicil, baju lengkap Banser pun seringkali anggota menunggu jatah. Semua
benar-benar sukarela.
Apakah kegiatan Banser, pengamanan dan pengawalan contohnya, Banser dibayar?
Tidak selalu. Kalau ada konsumsi malah seringnya dapat paling paling akhir, tamu
didahulukan. Jika yang punya hajat orang berpunya, baru mereka dapat amplopan,
tapi ini tak sering. Bahkan ada cerita, anggota Banser membawa amplop dari rumah,
supaya istrinya tenang karena suaminya bertugas bisa bawa amplop dari tempat acara,
padahal bukan. Mirip-mirip kisah khalifah Umar bin Khattab bertemu ibu yang
memasak batu di air mendidih untuk mengelabui anaknya yang kelaparan.

Lalu, darimana Banser mendapatkan biaya untuk penghidupan sehari-hari? Pekerjaan


sehari-hari tentunya. Ada yang tukang panggul, buruh tani, buruh pabrik, guru, ustadz
madrasah diniyah, dan lain sebagainya. Bayangkan saja, siang bekerja mencari nafkah,
lalu malam melakukan tugasnya sebagai Banser (meski juga ada dosen, pedagang,
bahkan doktor di kalangan Banser, dan biasanya golongan ini yang menjadi
penyumbang rokok dan jajanan Banser). Rela mereka berpayah-payah untuk Kyai,
padahal bisa jadi di rumahnya hanya ada beberapa liter beras. Sampai-sampai ada
guyonan dari alm. K.H. Hayim Muzadi, mereka hanya mampu membeli rokok eceran.
Gagah begitu rokoknya eceran.

Banyak hal lain yang menjadikan NU sayang dan bangga memiliki Banser. Hal-hal di
atas sedikit dari bejibun cerita, tak akan cukup enam ribu karakter menampungnya.
Maka saya mengaminkan doa dari Rais Syuriah K.H. Ubaidillah Shodaqoh, semoga
amalmu diterima Gusti Allah, dan rizqimu lancar sehingga dapat memondokkan atau
menyekolahkan anakmu samai jadi professor, dan yang jelas semoga rokokmu tidak
dibeli dengan harga eceran.

Anda mungkin juga menyukai