Pembimbing :
Disusun Oleh :
1
KATA PENGANTAR
Penyusun
2
DAFTAR ISI
Halaman
3
BAB I
PENDAHULUAN
Tumor hidung dan sinus paranasal (sinonasal) merupakan tumor yang jarang
ditemukan dan sampai saat ini diagnosis secara dini dan pengobatan masih
merupakan tantangan. Gejala dan tandanya hampir sama dengan proses inflamasi
daerah hidung dan sinus, sehingga pasien biasanya datang sudah dalam stadium
lanjut. Keganasan ini juga merupakan tumor yang sulit untuk diobati sehingga
prognosisnya sering buruk. Keadaan ini disebabkan lokasi anatomi hidung dan
tumor ganas di tubuh, dan 3 % dari keganasan di kepala dan leher, sinus maksila
merukan tempat tersering (60-80%) diikuti kavum nasi 20-30% dan sinus etmoid
15%, sedangkan sinus frontal dan sfenoid sangat jarang dijumpai (kurang dari
4
BAB II
PEMBAHASAN
a. Hidung Luar
hidung, dorsum nasi, pangkal hidung (bridge), kolumela, ala nasi dan lubang
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os
nasalis) dan prosesus frontalis maksila, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri
dari beberapa buah tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung. (6,7)
depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)
5
Bagian dari rongga hidung yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit
(vibrissae). (6)
c. Pendarahan
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan
berasal dari a. karotis interna. (6,7) Bagian bawah rongga hidung mendapat
pendarahan dari cabang a. maksila interna. (6,7). Bagian depan hidung mendapat
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis. (6)
d. Persarafan
6
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
etmoid anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n.
belakang dan sedikit diatas dari ujung posterior konka media. (6,7)
7
SINUS PARANASAL
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus
sfenoid. Sinus paranasal berbentuk rongga didalam tulang yang sesuai dengan
namanya dan semuanya mempunyai muara (ostium) didalam rongga hidung. (6)
2.2 DEFINISI
arah ganas yang mengenai hidung dan lesi yang menyerupai tumor pada rongga
8
2.3 EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI
tumor ganas di tubuh, dan 3 % dari keganasan di kepala dan leher, sinus maksila
merukan tempat tersering (60-80%) diikuti kavum nasi 20-30% dan sinus etmoid
15%, sedangkan sinus frontal dan sfenoid sangat jarang dijumpai (kurang dari
1%),1,2 dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 2:1. Keganasan ini sering
terdiagnosis pada usia 50 sampai 70 tahun.2,5 Keganasan ini dengan angka yang
Etiologi tumor sinus belum diketahui, namun kontak dengan debu kayu
diketahui merupakan faktor risiko utama yang berhubungan dengan keganasan ini.
Peningkatan risiko keganasan ini juga didapatkan pada pekerja pemurnian nikel
dan pabrik pigmen kromat. Disamping itu, dilaporkan bahwa merokok juga
Gejala tergantung asal tumor primer dan arah perluasannya, tumor dalam
sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor telah
mendestruksi tulang dan meluas ke kavum nasi, rongga mulut, pipi atau orbita.2
1. Gejala nasal, berupa obstruksi hidung unilateral dan rinore, kadang disertai
9
mengevaluasi CT scan pasien dengan proptosis, mendapatkan sebagian besar
alveolaris, sering nyeri gigi sebagai gejala awal yang membawa pasien ke dokter
hebat, oftalmoplegi, gangguan visus, kadang dapat timbul liquore serta mengenai
saraf-saraf kranial.
2.5 KLASIFIKASI
T1 : Tumor terbatas pada mukosa antrum tanpa erosi atau destruksi tulang.
T3 : Tumor meluas sampai ke kulit pipi, dinding belakang sinus maksila, dasar
orbita atau sinus etmoid anterior.
10
N0 : Tidak ada metastasis ke kelenjar limfe regional.
N2a : Metastasis tunggal pada kelenjar ipsilateral dengan diameter terbesar lebih
dari 3 cm tetapi tidak lebih dari 6 cm.
Stadium IV : T4, N0 atau N1, M0 atau semua T, N2 atau N3, M0 atau semua T,
semua N, M1
11
2.6 DIAGNOSIS
dalam stadium dini. CT Scan merupakan sarana terbaik dalam melihat perluasan
tumor dan destruksi tulang. Foto polos paru diperlukan untuk melihat metastasis
tumor ke paru. 2
unsur
tulang dan jaringan lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus paranasal,
ini dari sudut biaya cukup ekonomis dan pasien hanya mendapat radiasi yang
minimal. 5
Foto ini diambil pada posisi kepala menghadap kaset, bidang midsagital
kepala tegak lurus pada film. 5 Posisi ini didapat dengan meletakkan hidung
12
dan dahi diatas meja sedemikian rupa sehingga garis orbito-meatal (yang
auditorius
eksterna) tegak lurus terhadap film. Sudut sinar rontgen adalah 15 derajat
13
Pemeriksaan CT scan memberikan gambaran yang baik mengenai lokasi
dan perluasan tumor, CT scan dapat menentukan adanya erosi atau destruksi
organ sekitarnya.5
Di sisi lain MRI, memberikan gambaran yang lebih jelas batas tumor dengan
intrakranial. (gambar 2)
14
Gambar 3. CT-Scan potongan koronal dan axial
papilloma. Gambar kanan : tampak massa isodens pada seluruh rongga sinus
maxillaris sinistra dan sebagian rongga sinus maxillaris dextra. Gambar kiri
15
Gambar 5. MRI potongan aksial dengan kontras menunjukkan mucus
16
2.8 PENATALAKSANAAN
dan radiasi memberi manfaat pada keganasan yang lebih lanjut. Terapi paliatif
unresectable, metastasis jauh dan keadaan fisik yang buruk. Untuk tujuan ini
sinonasal. Jenis operasi yang dilakukan tergantung pada lokasi dan perluasan
tumor. Tumor yang berasal dari sinus maksila diangkat dengan maksilektomi.5
2.9 PROGNOSIS
sebagian besar pasien datang pada stadium lanjut. Sampai beberapa dekade
hidup pada seluruh keganasan sinus paranasal. Angka bertahan hidup 5 tahun rata-
rata untuk seluruh keganasan sinus maksila antara 20-50%, hal yang sama juga
17
BAB III
KESIMPULAN
mengenai hidung dan lesi yang menyerupai tumor pada rongga hidung, termasuk
kulit dari hidung luar dan vestibulum nasi. Keganasan hidung dan sinus paranasal
18
hanya merupakan 1% dari seluruh tumor ganas di tubuh, dan 3 % dari keganasan
Etiologi tumor sinus belum diketahui, namun kontak dengan debu kayu
diketahui merupakan faktor risiko utama yang berhubungan dengan keganasan ini.
Pada tumor sinus paranasal, gejalanya tergantung asal tumor primer dan arah
perluasannya, tumor dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul
setelah tumor telah mendestruksi tulang dan meluas ke kavum nasi, rongga mulut,
orbita, dura, otak, arteri karotis dan sinus kavernosus. Operasi pengangkatan
sinus paranasal pada umumnya kurang baik, karena sebagian besar pasien datang
DAFTAR PUSTAKA
1. Carrau RL, Myers EN. Neoplasms of the Nose and Paranasal Sinuses. In :
19
3thed, Vol.2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001.p.1247-
65
AS, Nurbaiti I. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Kepala Leher. Jakarta:
2004: 1-5
5. Wong RJ, Kraus DH. Cancer of the nasal cavity and paranasal sinuses. In:
Shah JP, Patel SG, eds. Cancer of the Head and Neck. London: BC Decker
Inc;2001.p.204-22
Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Kepala Leher. Jakarta: Balai Penerbitan
FKUI; 2012
Nasal Cavity and Paranasal sinus. In: Genden EM, varvares MA. Head and
20
9. Cody, DeSanto et al. Neoplasma of the Nasal Cavity in Cummings
Otolaryngology - Head Neck Surgery 3rd ed. New York : Maple Vail Book
10. Barnes L, Tse LLY, Hunt JL, Gensler MB, Curtin HD, Boffeta P.
12. Giri SPG, Reddy EK, Gerner LS, Krishnan L, Smailey SR, Evans RG.
21