Anda di halaman 1dari 68

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu hal yang ikut serta menunjang keberhasilan pembangunan

ekonomi adalah stabilnya sektor perbankan. Sektor perbankan merupakan

jantung dalam sistem perekonomian sebuah Negara dan sebagai alat dalam

melaksanakan kebijakan moneter.

Berdasarkan fungsi dasarnya sebagai penghimpun dana juga

penyalur atas dana, maka bank akan selalu berkepentingan dengan pihak-

pihak yang kelebihan dana dan juga pihak-pihak yang kekurangan atau

membutuhkan dana, yang sering disebut kreditur. Dalam aktifitasnya, bank

akan dihadapkan dengan berbagai permasalahan seputar fungsi dasar

perbankan.

Hubungan bank sebagai penyedia jasa perbankan bagi masyarakat


dan nasabah sebagai konsumen atau pelanggan sering menimbulkan
masalah bagi kedua belah pihak. Hubungan antara bank dan nasabah
didasarkan pada 2 (dua) unsur yang saling terkait yaitu hukum dan
kepercayaan. Suatu bank hanya bisa melakukan kegiatan dan
mengembangkan banknya apabila masyarakat menaruh kepercayaan
untuk menempatkan uangnya melalui produk perbankan yang
ditawarkan oleh bank tersebut berdasarkan kepercayaan masyarakat
tersebut, bank dapat memodalisir dana dari masyarakat untuk
ditempatkan di banknya, dan bank akan dapat memberikan jasa-jasa
perbankan.1

Persoalan disektor jasa keuangan menjadi kasus aduan masyarakat

paling dominan. Kedepan, persoalannya bisa makin banyak serta beragam

1
Ronny Sautama Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan
dan Deposito (Suatu Tinjuan Hukum Terhadap Perlindungan Deposan Di Indonesia Dewasa Ini),
Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1994, hlm.34
2

seiring dengan meningkatnya kegiatan transaksi perdagangan yang linier

dengan pengguna jasa keuangan.

Transaksi elektronik kini telah menjadi hal umum dalam kehidupan

di hampir setiap harinya. Dengan ATM, nasabah bisa melakukan transaksi

keuangan dengan mudah hingga memberikan suatu nilai tersendiri bagi

nasabah yaitu nilai kepuasan terhadap layanan yang diberikan bank.

Semua dimaksudkan untuk kemudahan nasabah dalam bertransaksi

karena dengan metode transaksi elektronik ini, nasabah tidak perlu membawa

uang tunai yang notabene memiliki resiko kejahatan.

Pelayan terbaik merupakan peran penting bank terhadap nasabah,

namun dewasa ini kejahatan bank banyak terjadi yaitu salah satunya kejahatan

Anjungan Tunai Mandiri (ATM).2

Hal ini telah meresahkan nasabah, karena telah memakan banyak

kerugian akibat kejahatan card skimming. Card skimming merupakan kegiatan

menggandakan data kartu nasabah karena pada saat bertransaksi menggunakan

mesin ATM telah terpasang alat skimmer di depan mulut card reader.

Belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan

terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya

pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi.

Berdasarkan dasar perlindungan konsumen diatur dalam Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor: 1/POJK.07/2013 tanggal 26 Juli 2013

tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan pada Pasal 1 angka (2)

menjelaskan bahwa:
2
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, hlm.120
3

Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya


dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa
Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar
Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana
Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.

Pasal 1 angka (3) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor:

1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan:

Perlindungan Konsumen adalah perlindungan terhadap Konsumen


dengan cakupan perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan.

Pasal 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013

tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, mencantumkan

bahwa perlindungan konsumen menerapkan prinsip:

a. transparansi;
b. perlakuan yang adil;
c. keandalan;
d. kerahasiaan dan keamanan data/ informasi Konsumen; dan
e. penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa Konsumen
secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.

Berdasarkan Pasal tersebut di atas terlihat bahwa perlindungan

konsumen sangat penting untuk kita perhatikan bersama, bukan hanya

masyarakat saja selaku konsumen yang mendapatkan perlindungan, namun

pelaku usaha juga mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan

perlindungan, masing-masing ada hak dan kewajiban.

Sejalan dengan hal tersebut dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor

21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan bahwa Otoritas

Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam

sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel

dan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan


4

dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen maupun

masyarakat.

Perlindungan konsumen menjadi sangat penting karena kebutuhan

dan semakin tergantungnya masyarakat terhadap penggunaan Automatic

Teller Machine (ATM), telah melahirkan kejahatan-kejahatan dengan bentuk

yang baru, salah satunya adalah pembobolan rekening nasabah melalui ATM.

Kejahatan ini sangat meresahkan masyarakat khususnya nasabah dan telah

menimbulkan kerugian yang besar bagi nasabah yang menjadi korban

pembobolan rekening nasabah melalui ATM.

Dalam dunia perbankan, keamanan bertransaksi menjadi jaminan bagi

setiap nasabah. Hal ini dikarenakan kedudukan pihak nasabah sebagai

konsumen dan pihak bank sebagai pelaku usaha menjadikan bank harus

bertanggung jawab terhadap kerugian yang dialami nasabahnya, hal ini dapat

terjadi karena bank kurang menjalankan kegiatan usaha dengan prinsip kehati-

hatian, dan kurang memiliki pengawasan internal yang cukup untuk

kompleksitas kegiatan usahanya.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, dalam Pasal 29 ayat (5) Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan bahwa:

Untuk kepentingan nasabah, bank menyediakan informasi mengenai


kemungkinan timbulnya resiko kerugian bagi transaksi nasabah yang
dilakukan melalui bank.

Pada Pasal tersebut tidak terlihat mengenai perlindungan hukum

terhadap nasabah bank. Jika dilihat dalam penjelasan Pasal tersebut tidak

terdapat penjelasan dan pengertian secara menyeluruh mengenai apa dan


5

bagaimana perlindungan kepentingan nasabah yang dirugikan akibat

pengguanaan jasa bank dalam kegiatan transaksi nasabah.

Jika dilihat berdasarkan pengertiannya nasabah bank pengguna kartu

ATM adalah konsumen sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 angka (2)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen

mengenai pengertian konsumen yaitu setiap orang pemakai barang

dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri

sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk

diperdagangkan.

Selain itu, dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen disebutkan mengenai hak-hak konsumen

yaitu :3

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam


mengkonsumsi barang dan atau jasa;
2. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan
atau jasa yang digunakan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
serta jaminan yang barang dan atau jasa;
4. Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
5. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
6. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
7. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan atau
penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Sejalan dengan hal tersebut, apabila terjadi masalah dalam

penggunaan kartu ATM sehingga mengakibatkan kerugian yang dalam hal

bukan dikarenakan kesalahan dari nasabah maka pihak bank wajib mengganti
3
Celina Tri Siwi Kristiyanti , Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta,
2008, hlm.31
6

kerugian sebagaimana hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 7 huruf f dan huruf

g yang menyebutkan bahwa :

Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian


akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan dan memberi kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Selain itu juga terdapat dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi:

Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas


kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
perdagangkan.

Masalah yang terjadi pada umumnya adalah masyarakat tidak

mengetahui tanggung jawab yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Masyarakat juga pada

umumnya tidak mengetahui hak dan kewajiban sebagai nasabah apabila

terjadi masalah dalam penggunaan kartu ATM. Kurangnya sosialisasi terhadap

aturan-aturan hukum yang terjadi jika dilihat pada masalah yang ada dalam

nasabah sehingga masyarakat tidak memahami perlindungan hukum apabila

masyarakat mengalami kerugian terutama masalah kartu ATM dan

penyelesaian masalah yang dihadapi nasabah dalam pengguna kartu ATM,

karena para pihak tidak selamanya selalu merujuk pada peradilan tetapi pihak

juga dapat diselesaikan diluar peradilan.

Berdasarkan uraian diatas maka penyusun terdorong untuk

mengakaji lebih lanjut mengenai Tinjauan Yuridis Penyelesaian Sengketa


7

Akibat Skimming Pada Sektor Perbankan. Dan penyusun juga ingin

mengkaji upaya-upaya dalam penyelesaian sengketa didalam sektor keuangan.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa

permasalahan yang akan dikaji yaitu:


1. Bagaimana perlindungan hukum bagi nasabah pengguna kartu ATM dalam

sistem hukum perbankan Indonesia?


2. Bagaimana penyelesaian sengketa akibat skimming pada sektor

perbankan?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengkaji dan menganalisis perlindungan hukum bagi nasabah

penguna kartu ATM dalam sistem hukum perbankan Indonesia


b. Untuk mengkaji dan menganalisis penyelesaian hukum sengketa akibat

skimming pada sektor perbankan

2. Manfaat Penelitian
a. Secara Teoritis
Dapat mengetahui perlindungan hukum bagi nasabah penguna kartu

ATM dalam sistem hukum perbankan Indonesia dan penyelesaian

sengketa akibat skimming pada sektor perbankan.


b. Secara Praktis
Pembahasan ini diharapkan dapat menjadi tambahan materi bagi para

pembacanya, baik masyarakat pada umumnya maupun para akademisi

pada khususnya, yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai proses

penyelesaian jika terjadi sengketa antara nasabah dengan pelaku usaha

jasa keuangan.
D. RUANG LINGKUP PENELITIAN
Untuk menghindari penyimpangan serta pembiasan dari pokok

permasalahan, maka perlu diberikan batasan batasan mengenai ruang lingkup


8

permasalahan yang akan dibahas. Adapun ruang lingkup dari penelitian ini

adalah mengenai Tinjauan Yuridis Penyelesaian Sengketa Akibat Skimming

Pada Sektor Perbankan.

BAB II

TINJ AUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Perbankan


1. Pengertian Bank
Apabila ditelusuri sejarah dari terminologi Bank, maka
ditemukan bahwa kata bank berasal dari kata Italia Banca yang
berarti bance, yaitu suatu bangku tempat duduk. Sejak pada masa
zaman pertengahan, pihak bangkir Itali yang memberikan
pinjaman-pinjaman melakukan usahanya tersebut dengan duduk
di bangku-bangku halaman pasar.4

Pengertian bank umum menurut Pasal 1 butir (2) Undang-

Undang Nomor 10 tahun 1998, Bank adalah badan usaha yang

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan

menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-

bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.


Sedangkan menurut G. M. Verryn Stuart di dalam bukunya Bank
Politik mengatakan bahwa: bank adalah suatu badan yang
bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-
alat pembayaran sendiri, dengan uang yang diperolehnya dari
orang lain, maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat
penukar uang berupa uang giral.5

Berdasarkan pengertian diatas terlihat bahwa bank didirikan

dalam bentuk badan usaha. Hal ini terlihat jelas dalam ketentuan Pasal 21

4
A. Abdurachman, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1993, hlm.80
5
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, hlm.10
9

Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang

menentukan bentuk hukum bank, yaitu perusahaan persero, perusahaan

daerah, koperasi, dan perseroan terbatas. Bank dalam menjalankan

aktivitasnya harus selalu mengacu kepada peraturan perundang-undangan

yang berlaku mengenai tentang perbankan. Pasal 5 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang membagi bank

dalam dua jenis yaitu, Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Bank

Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara

konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam

kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk

hukum Bank Umum dapat berupa Perseroan Terbatas, Koperasi, dan

Perusahaan Daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut maka telah jelas suatu

bank haruslah didirikan dalam bentuk badan hukum dan tidak boleh

berbentuk usaha perseorangan.


2. Fungsi dan Tujuan Bank
Peran Perbankan Nasional dalam membangun ekonomi

kerakyatan perbankan merupakan salah satu sektor yang dihadapkan

berperan aktif dalam menunjang kegiatan pembangunan nasional atau

regional.
Di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 diatur tentang

fungsi perbankan, yaitu dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa:


Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun
dan penyalur dana masyarakat.

Dari ketentuan ini tercermin fungsi bank sebagai perantara pihak-

pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak-pihak

kekurangan dan memerlukan dana (lacks of funds).


10

Selain tugas yang tercantum dalam Pasal tersebut di atas, di


Indonesia Lembaga Keuangan bank memiliki misi dan fungsi
khusus selain fungsi yang lazim seperti apa yang telah diuraikan
di atas. Bank diarahkan untuk berperan sebagai agen
pembangunan ( agent of development ), yaitu sebagai lembaga
yang bertujuan mendukung pelaksanaan pembangunan nasional
dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-
hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah
peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Hal tersebut menunjukan
bahwa perbankan di Indonesia selain memiliki tugas-tugas
tradisional, yaitu menghimpun dana dan memberikan kredit, juga
dapat berfungsi untuk menjaga kestabilan moneter.6

Menurut Thomas Suyatno, tugas pokok bank adalah membantu


pemerintah dalam mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan
nilai rupiah, serta mendorong kelancaran produksi dan
pembangunan dalam memperluas kesempatan kerja, guna
meningkatkan taraf hidup.7 Dengan demikian terlihat bahwa
fungsi perbankan tidak hanya sekadar sebagai wadah
penghimpun dan penyalur dana masyarakat atau perantara
penabung dan investor, tetapi fungsinya akan diarahkan kepada
peningkatan taraf hidup rakyat banyak, agar masyarakat menjadi
lebih baik dan sejahtera dari pada sebelumnya.8

Sedangkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perbankan menyebutkan bahwa:


Perbankan Indonesia bertujuan untuk menunjang pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan,
pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak.

3. Tanggung Jawab Bank

6
H. Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi, Yogyakarta, 2005, hlm.14

7
Thomas Suyatno, Kelembagaan Perbankan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996,
hlm.207
8
Lukman Santoso Az, Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank, Pustaka Yustisia, 2011,
hlm. 43
11

Dalam bahasa Inggris, kata tanggung jawab digunakan dalam

beberapa kata, yaitu liability, responsibility, dan accountability.9


Kamus Bahasa Inggris-Indonesia mengartikan liability adalah
pertanggungjawaban, sedangkan responsibility adalah
pertanggungan jawab atau tanggung jawab, dan accountability
adalah keadaan untuk dipertanggung jawabkan atau keadaan
dapat dimintai pertanggung jawab.10 Pengertian tanggung jawab
dalam Kamus Umum Bahasa Besar Indonesia adalah keadaan
dimana wajib menanggung segala sesuatu, sehingga
berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala
sesuatunya atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya.

Dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perbankan menjelaskan bahwa bank harus memberikan infomasi

kemungkinan timbulnya risiko kerugian transaksi nasabanya dalam

kegiatan usaha bank tersebut. Selain itu dalam Pasal 37B Undang-Undang

Perbankan menjelaskan bahwa setiap bank wajib menjamin dana

masyarakat yang disimpan dalam bank tersebut.


Masalah tanggung jawab perdata atas kelalaian atau kesalahan
yang terjadi pada bank dapat dihubungkan dengan kepengurusan
bank tersebut. Pengurus bank yaitu pihak yang bertindak
mewakili badan hukum bank tersebut berdasarkan ketentuan
aggaran dasar perusahaan. Dengan demikian tanggung jawab
pengurus terhadap perbuatannya menjadi dua bentuk yakni
tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab perusahaan.
Tanggung jawab pribadi ada apabila si pengurus bertindak di luar
kewenangan yang telah ditentukan dalam anggaran dasar
perusahaan sewaktu pemberian kuasa perwakilan tersebut. Tetapi
apabila perbuatan pengurus masih dalam pelaksanaan dan
wewenang yang tertuang dalam anggaran dasar perusahaan maka
itu merupakan tanggung jawab perusahaan.11

4. ATM (Anjungan Tunai Mandiri) Sebagai Produk Bank

9
Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen,
Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2007, hlm.95
10
Ibid, hlm.128.
11
Mahesa Jati Kusuma, Hukum Perlindungan Nasabah Bank, Nusa Media, Bandung,
2012, hlm.125
12

ATM (bahasa Indonesia: Anjungan Tunai Mandiri atau dalam

bahasa Inggris: Automated Teller Machine) adalah sebuah alat elektronik

yang mengijinkan nasabah bank untuk mengambil uang dan mengecek

rekening tabungan mereka tanpa perlu dilayani oleh seorang "teller"

manusia.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009

tentang Penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan kartu

menyebutkan bahwa Pengertian kartu ATM sendiri adalah APMK yang

dapat digunakan untuk melakukan penarikan tunai dan/atau pemindahan

dana dimana kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan

mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada bank atau

lembaga selain bank yang berwenang untuk menghimpun dana sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.


ATM merupakan mesin dengan sistem komputer yang diaktifkan

dengan kartu magnetik bank yang berkode atau bersandi; melalui mesin

tersebut nasabah dapat menabung, mengambil uang tunai, transfer dana

antar-rekening, dan transaksi rutin; ATM dipasang secara nasional ataupun

internasional sehingga memudahkan nasabah mendapatkan uang tunai dari

ATM di negara tempat nasabah berada dengan menggunakan kode atau

sandi ATM yang diterbitkan oleh bank yang bersangkutan dan nomor jati

diri nasabah. Menggunakan ATM, pelanggan dapat mengakses akun bank

mereka untuk membuat penarikan, uang tunai melalui kartu debit, dan

memeriksa saldo rekening mereka serta membeli kredit ponsel prabayar.


13

ATM sering ditempatkan di lokasi-lokasi strategis, seperti restoran, pusat

perbelanjaan, bandar udara, pasar, dan kantor-kantor bank itu sendiri.


Pemegang Kartu ATM wajib menjaga kerahasiaan PIN (Personal
Identification Number) ATM-nya kepada orang lain dan harus
menyimpannya dengan hati-hati untuk mencegah PIN ATM
tersebut diketahui orang lain. Dalam hal PIN ATM diberitahukan
kepada atau diketahui oleh pihak lain, Pemegang kartu harus
segera merubah PIN ATM-nya.12

Selain itu pemegang kartu ATM juga memiliki hak-hak, yaitu


Pemegang Kartu ATM berhak menerima catatan atas seluruh
transaksi yang telah dilakukan dengan menggunakan Kartu, dan
catatan tersebut merupakan bukti yang bersifat final dan
mengikat bagi Pemegang Kartu namun demikian tidak
menghalangi Bank untuk dari waktu ke waktu melakukan koreksi
atas catatan Bank tersebut. Apabila Pemegang Kartu
mempersoalkan transaksi tertentu, Pemegang Kartu memahami
bahwa Bank dengan pertimbangannya sendiri berhak sepenuhnya
baik untuk tidak mengkreditkan ataupun untuk
mengkreditkannya kembali terlebih dahulu ke rekening
Pemegang Kartu sejumlah dana sesuai dengan transaksi yang
dipersoalkan.13

B. Tinjauan Umum Tentang Nasabah Penyimpan Dana


1. Pengertian Nasabah
Pada lembaga perbankan, nasabah memiliki peran penting.

Nasabah bagai nafas yang menentukan apakah siklus perbankan tetap

berlanjut atau tidak. Undang-Undang Perbankan secara singkat

merumuskan bahwa nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank.


Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/PBI/2005, pengertian

nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank, termasuk pihak yang

tidak memiliki rekening namun memanfaatkan jasa bank untuk melakukan

transaksi keuangan.
Pengertian nasabah terdapat pada Pasal 1 Angka (15) Undang-

Undang Otoritas Jasa Keuangan yang menyebutkan bahwa Konsumen

12
www.citybank.co.id, Diakses Pada Tanggal 11 Februari 2017, Pukul 09.00 Wita
13
Ibid
14

adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan

pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah

pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada

Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan

perundang-undangan di sektor jasa keuangan.


Pengertian nasabah juga diatur dalam Pasal 1 ayat (16) Undang-

Undang Perbankan menyebutkan rumusan nasabah yaitu, sebagai pihak

yang menggunakan jasa bank. Rumusan ini kemudian diperinci pada butir

berikutnya, yaitu sebagai berikut:


a. Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan
dananya di Bank dalam bentuk simpanan berdasarkan
perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.
b. Nasabah peminjam (debitur)

2. Nasabah Penyimpan Dana


Nasabah dalam Perbankan, setiap orang yang memiliki rekening
dalam suatu bank, orang yang menggunakan jasa penyimpanan
benda pada bank dan termasuk juga pengiriman rekening antar
bank, seperti letter of credit, melakukan permohonan kredit untuk
kepentingan nasabah. Nasabah atau Customer suatu pihak orang
atau perusahaan yang mengatakan deposito atau memiliki
rekening Koran atau hal-hal serupa lainnya pada sebuah bank
istilah untuk ini lebih tepat Nasabah.14

Atas pengertian diatas, maka dapat dikatakan bahwa setiap orang

maupun perusahaan yang bertransaksi dengan bank yang menjadikan bank

tersebut untuk menempatkan dananya atau memanfaatkan jasa-jasa

layanan yang dimiliki oleh bank adalah merupakan nasabah bank.


Sedangkan ada dua masalah dominan yang sering dikeluhkan
konsumen jasa perbankan. Pertama, pengaduan soal produk
perbankan, seperti ATM (Automatic Teller Machine), Kartu
Kredit, dan aneka ragam jenis tabungan, termasuk keluhan
produk perbankan terkait dengan janji hadiah dan iklan produk
perbankan. Kedua, pengaduan soal cara kerja petugas yang tidak
14
Sudarsono dan Edilius, Kamus Ekonomi: Uang dan Bank, PT.Rineka Cipta,
Jakarta, 2007, hlm 74
15

simpatik dan kurang professional khususnya petugas service


point, seperti teller, customer service, dan satpam.15

Dalam Pasal 1 butir (5) Undang-Undang Perbankan

menyebutkan bahwa Nasabah penyimpan merupakan nasabah yang

menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan

perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Nasabah Penyimpan

menempatkan dananya pada bank dalam bentuk simpanan. Simpanan

adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan

perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito, Sertifikat

Deposito, Tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan

itu.
Berdasarkan Pada Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen menyebutkan bahwa Nasabah

berhak mendapatkan perlindungan atas tabungan atau rekening yang

disimpan pada suatu bank. Selain itu pada Pasal 29 ayat (4) menjelaskan

bahwa nasabah berhak mendapatkan informasi yang berkaitan dengan

kemungkinan terjadinya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi

nasabah yang dilakukan melaui bank dan nasabah juga berhak

mendapatkan ganti kerugian atas dana atau rekening yang hilang atau

dicuri dari pihak bank pemegang hak simpanan.


Karena ada kaitan antara kepentingan nasabah penyimpan dana
dan bank, para penyimpan dana perlu mengetahui jumlah
simpanannya di bank dari waktu ke waktu. Hal tersebut antara
lain dapat diketahui melalui neraca dan perhitungan laba/rugi
dari bank tersebut. Kewajiban memenuhi untuk mengumumkan
neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan tersebut sesuai dengan

15
Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,
1999, hlm.19-20
16

ketentuan Undang-Undang Perbankan yang telah ditetapkan oleh


Bank Indonesia. Pada hakekatnya prinsip keterbukaan dalam
kegiatan usaha perbankan merupakan salah satu cara untuk
memberikan perlindungan kepada nasabah penyimpan dana.16

Dalam dunia perbankan pihak nasabah merupakan unsur yang

sangat berperan sekali, mati hidupnya dunia perbankan bersandar kepada

kepercayaan dari pihak masyarakat atau nasabah.17Karena itu pemerintah

harus melindungi masyarakat dari tindakan lembaga atau oknum pegawai

bank atau pihak ketiga di luar bank yang tidak bertanggung jawab.

Besarnya risiko yang dapat terjadi apabila menurunnya kepercayaan

masyarakat pada lembaga perbankan, maka perlindungan hukum dalam

jasa perbankan perlu mendapatkan perhatian khusus.


3. Hubungan Hukum Nasabah dan Bank
Dalam perkembangannya, perjanjian bukan lagi sebagai
perbuatan hukum melainkan merupakan hubungan hukum
(rechtsverhouding). Pandangan ini dikemukakan oleh Van Dunne
yang mengatakan bahwa perjanjian adalah perbuatan hukum
merupakan teori klasik atau teori konvensional.18

Hubungan antara nasabah dan bank didasarkan pada dua unsur

yang paling terkait, yakni hukum dan kepercayaan. Suatu bank hanya bisa

melakukan kegiatan dan mengembangkan bank, apabila masyarakat

percaya untuk menyimpan uangnya pada produk-produk perbankan yang

ada pada bank tersebut.

16
Ratna Syamsiar, Hukum Perbankan, Justice Publisher, Bandar Lampung, 2014, hlm. 75

17
Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2006, hlm.282.
18
Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, PT.Alumni,
Bandung, 2003, hlm.5
17

Berdasarkan kepercayaan masyarakat tersebut, bank dapat

memobilisasi dana dari masyarakat untuk ditempatkan pada banknya dan

bank akan memberikan jasa-jasa perbankan.19


Hubungan yang timbul di antara nasabah, meliputi:20
a. Kepercayaan (fiduciary relation) berarti bank berkedudukan
sebagai bagian dari sistem moneter yang terpercaya.
b. Kerahasiaan (confidential relation) artinya ada keterikatan
bank terhadap kewajiban menyimpan rahasia bank yang
diperlukan untuk kepentingan bank sendiri demi menjaga
kepercayaan nasabah penyimpan.
c. Kehati-hatian (prudential relation) artinya bank tidak
mempunyai kebebasan mutlak untuk menggunakan uang
simpanan nasabah, artinya harus terjamin kepastian bahwa
bank nantinya akan mampu membayar kembali dana
masyarakat yang disimpan.

Subsistem hukum perdata, fungsi perbankan melalui


hubungan hukum antara bank dengan nasabah tunduk pada
pengaturan hukum perdata. Hubungan hukum tersebut dapat
dikualifikasikan dalam 2 (dua) bentuk. Pertama, hubungan
hukum antara bank dengan nasabah penyimpan disebut
perjanjian simpanan. Kedua, hubungan hukum antara bank
dengan nasabah debitur disebut perjanjian kredit bank.21

Menurut bentuknya, hubungan hukum nasabah dengan bank

dapat dibagi menjadi:


a. Hubungan Kontraktual
Hubungan yang paling utama dan lazim antara bank dan
nasabah adalah hubungan kontraktual. Hal ini berlaku hampir
terhadap semua nasabah baik nasabah debitur, nasabah
deposan, ataupun nasabah nondebitur-nondeposan.22Basis
hubungan hukum antara bank dan para nasabahnya adalah
hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual ini terjadi pada
saat nasabah menjalin hubungan hukum dengan pihak bank,
setelah nasabah melakukan hubungan hukum seperti nasabah

19
Ronny Sautama Hotma Bako, Op.Cit., hlm 32

20
Ibid hlm.40
21
Tan Kamello, Op.Cit., hlm.7

22
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
hlm.100
18

membuka rekening tabungan, deposito, dan produk


perbankan lainnya.23

b. Hubungan Nonkontraktual
Selain hubungan kontraktual seperti yang telah disebutkan di
atas maka berikut ini kita akan lihat apakah ada hubungan
hukum yang lain antara pihak bank dan pihak nasabah,
terutama antara nasabah deposan dan nasabah nondeposan-
nondebitur.24

Ada 6 (enam) jenis hubungan hukum antara bank dan nasabah

selain dari hubungan kontraktual sebagaimana disebutkan di atas, yaitu:25


a. Hubungan Fidusia (Fiduciary Relation)
b. Hubungan Konfidensial,
c. Hubungan Bailor-Bailee,
d. Hubungan Principal-Agent,
e. Hubungan Morgagor-Mortagagee, dan
f. Hubungan Trustee-Benefciary

C. Tinjauan Umum tentang Penyelesaian Sengketa Akibat Skimming Pada


Sektor Perbankan

1. Pengertian Card Skimming Pada Kartu ATM


Selain memberikan manfaat, memiliki ATM juga memiliki
resiko. Salah satu resiko yang dapat terjadi adalah hilangnya
simpanan nasabah karena ulah para kriminal dengan cara
kejahatan teknologi skimming. Pengertian Card Skimming
adalah menggandakan data kartu nasabah pada saat trasnsaksi di
ATM karena telah terpasang alat skimmer di depan card reader.
Dengan modus skimming ini informasi yang tersimpan secara
magnetis pada kartu ATM dapat dibajak melalui perangkat
khusus yang ditempatkan dimulut kartu ATM yang kemudian
disalin pada kartu duplikat. Setelah itu, kartu dibuat
duplikatnya.26

Setelah itu para pelaku kejahatan menggunakan kartu duplikat

tersebut untuk melakukan transaksi di mesin ATM.

23
Ronny Sautama Hotma, Op.Cit., hlm.33

24
Munir Fuady, Op.Cit., hlm.102
25
Ibid

26
Pulo Siregar, Resiko Kartu ATM (Manfaat dan Tips Aman Bertransaksi Dengan Kartu
ATM), Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2010, hlm 47.
19

2. Pengertian Sengketa
Sengketa atau konflik dapat berasal dari berbagai sumber
pemicu. Istilah konflik berasal dari bahasa Inggris conflict dan
dispute yang berarti perselisihan, percekcokan, atau
pertentangan. Perselisihan atau percekcokan tentang sesuatu
terjadi antara dua orang atau lebih. Konflik muncul karena
adanya perbedaan kepentingan yang tidak dapat
dikomunikasikan dengan baik. Konflik nyaris tak dapat
terpisahkan dari setiap individu baik terhadap dirinya sendiri
maupun dengan orang lain.27

Sengketa dalam pengertian yang luas (termasuk perbedaan

pendapat, perselisihan, ataupun konflik) adalah hal yang lumrah dalam

kehidupan bermasyarakat, yang dapat terjadi saat dua orang atau lebih

berinteraksi pada suatu peristiwa dan mereka memiliki presepsi,

kepentingan, dan keinginan yang berbeda terhadap peristiwa tersebut.


Sengketa juga merupakan suatu situasi dimana ada pihak yang

merasa dirugikan oleh pihak lain, yang kemudian pihak tersebut

menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua. Jika situasi

menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadi lah apa yang dinamakan

dengan sengketa.
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti
pertentangan atau konflik, konflik berarti adanya oposisi atau
pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau
organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada
dengan itu Winardi mengemukakan: Pertentangan atau konflik
yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok
yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas
suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum
antara satu dengan yang lain. Sedangkan menurut Ali Achmad
berpendapat: Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak
atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu
kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat
hukum bagi keduanya.28

27
Intan Nur Rahmawanti dan Rukiyah Lubis, Win-Win Solution Sengketa Konsumen,
Pustaka Yustisia, Yogyakarta,2014, hlm.33
20

Dari kedua pendapat tersebut maka dapat dikatakan bahwa

sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang

dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi

hukum bagi salah satu diantara keduanya.


Perlu diketahui bahwa sengketa muncul dikarenakan berbagai

alasan dan masalah yang melatar belakanginya, terutama karena adanya

Conflict of Interest diantara para pihak. Sengketa yang timbul diantara

para pihak yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan bisnis atau

perdagangan dinamakan sengketa ekonomi.


Apabila para pihak dapat menyelesaikan masalahnya dengan
baik, maka sengketa tidak akan terjadi. Namun bila terjadi
sebaliknya para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan
mengenai solusi pemecahan masalahnya maka sengketa yang
timbul.29

Sengketa keuangan biasanya ditafsirkan sebagai sebuah problem

yang terjadi dalam ranah perekonomian sebuah Negara, secara khusus

sengketa keuangan diartikan sebagai sebuah konflik atau pertentangan

yang terjadi berkaitan masalah-masalah keuangan.

BAB III
METODE PENELITIAN

28
http://nevacipid.blogspot.co.id/2011/03/pengertian-sengketa.html?m=I, Diakses Pada
Hari Senin Tanggal 26 Desember 2016 Pukul 20.59 Wita
29
Wirdyaningsih, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005,
hlm.273
21

Metode penelitian dalam sebuah penelitian mempunyai peranan yang

sangat penting karena dapat dipergunakan guna mempermudah dalam

mempelajari, menganalisa dan memahami permasalahan yang sedang diteliti.

Sehingga akan mendapatkan suatu kesimpulan yang sesuai dengan hasil penelitian

yang diharapkan.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah

penelitian normatif dengan mengkaji bahan hukum termasuk di dalamnya

asas-asas hukum, norma-norma hukum, teori-teori hukum, pendapat para ahli

dan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalah yang diteliti.


2. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah:
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan untuk

meneliti norma-norma hukum yang terkandung didalamnya terkait satu

sama lain secara logis, dan apakah norma hukum tersebut cukup mampu

menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak ada

kekurangan hukum dan apakah proses norma-norma hukum tersebut

tersusun secara hierarkis.


b. Pendekatan Konseptual (conceptual approach) Yaitu pendekatan yang

dilakukan dengan mengkaji teori, pendapat para ahli yang ada kaitannya

dengan permasalan yang dikaji dan beranjak dari Perundang-undangan dan

doktrin-doktrin dalam ilmu hukum sehingga melahirkan pengertian,

konsep, dan asas hukum yang relevan dengan isu hukum yang dihadapi.

Dimana pemahaman dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin

tersebut akan menjadi sandaran penyusun untuk membangun suatu

argumentasi hukum dalam memecahkan isu hukum yang dihadapi.


3. Sumber Dan Jenis Bahan Hukum
22

Sumber dan jenis bahan hukum yang digunakan adalah :


a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan

Perundang-Undangan yang terkait dengan masalah yang diteliti seperti:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perbankan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.


b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, yaitu :


1) Buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini
2) Pendapat para ahli/doktrin
3) Karya tulis/jurnal
4) Istilah hukum yaitu istilah yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sakunder,

seperti kamus, ensiklopedia.30

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Untuk mendapatkan bahan hukum yang diperlukan, alat

pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi dokumentasi, yaitu

teknik pengumpulan bahan hukum dengan cara menghimpun dan mengkaji

data kepustakaan yang terdiri dari Peraturan Perundang-undangan, literatur-

literatur serta pendapat para sarjana yang terkait dengan pokok permasalahan

yang ada. Studi dokumen yang dilakukan meliputi bahan hukum primer dan

sekunder yang memiliki keterkaitan dengan pokok permasalahan dari

penelitian ini.

5. Analisa Bahan Hukum

30
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta, 2012, hlm. 32.
23

Adapun bahan hukum yang diperoleh yaitu peraturan perundang-

undangan dan literatur yang dimaksud, diuraikan secara sistematis dan logis

guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Adapun cara analisis

bahan hukum dilakukan secara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu

permasalahan yang bersifat umum menjadi khusus sehingga dapat

memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Pengguna Kartu ATM Dalam


Sistem Hukum Perbankan Indonesia
Suatu hal yang wajar apabila kepentingan nasabah terhadap bank

memperoleh pelindungan hukum. Hal ini dikarenakan nasabah pengguna kartu

ATM akan mengalami berbagai masalah terkait dengan penggunaan jasa

perbankan. Selain itu, kepercayaan merupakan inti perbankan sehingga bank

harus menjaganya. Di tataran Undang-Undang maupun Peraturan Bank

Indonesia terdapat pengaturan untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada


24

perbankan dan sekaligus dapat memberikan perlindungan hukum bagi

nasabah.

Perlindungan hukum bagi nasabah dapat dilakukan dengan 2 (dua)

cara yaitu : 31

1. Perlindungan tidak langsung, yaitu perlindungan hukum yang


diberikan kepada nasabah terhadap semua resiko kerugian yang
mungkin timbul akibat suatu kebijaksanaan atau kegiatan usaha
bank.
2. Perlindungan langsung, yaitu perlindungan secara langsung
terhadap nasabah terhadap kemungkinan resiko kerugian yang
timbul dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank.

Selain itu, Undang-undang memberikan perlindungan hukum bagi

orang yang dirugikan dengan menuntut pihak yang menyebabkan kerugian

tersebut untuk memberikan ganti rugi atas apa yang telah diperbuatnya.

Dengan demikian bank harus memberikan ganti rugi kepada nasabah

pengguna kartu ATM yang merasa dirugikan akibat kesalahan dari pelayanan

jasa Perbankan.

Melihat begitu besarnya resiko yang dapat terjadi kepada nasabah

pengguna ATM, maka diperlukan suatu regulasi atau perhatian khusus untuk

melindungi kepentingan nasabah. Seiring dengan kajian yang penyusun

lakukan, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan

tidak mengatur secara eksplisit tentang perlindungan penggunaan pelayanan

jasa Perbankan termasuk penggunaan ATM. Namun, dalam rangka usaha

untuk melindungi konsumen, dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

31
Hermansyah, Op.Cit., hlm.154
25

Maka berdasarkan hal tersebut diatas, dalam mengkaji perlindungan

hukum bagi nasabah pengguna kartu atm dalam sistem hukum perbankan

Indonesia penyusun akan menjabarkannya dalam pembahasan di bawah ini

melalui perlindungan hukum bagi nasabah menurut Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011

Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

1. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Menurut Undang-Undang


Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 secara eksplisit

memberikan perlindungan hukum kepada nasabah penyimpan bahwa

simpanannya dijamin oleh bank melalui pembentukan lembaga penjamin

simpanan masyarakat yang bersifat permanen, sebagaimana tertuang

dalam Pasal 37 B Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.


Rumusan Pasal 37 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998:

1) Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada


bank yang bersangkutan.
2) Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan.
3) Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) berbentuk badan hukum Indonesia.
4) Ketentuan mengenai penjamin dana masyarakat dan Lembaga
Penjamin Simpanan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) merupakan badan hukum

yang mempunyai kedudukan sebagai lembaga yang independen,

transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.


26

Sejalan dengan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1998 mengamanatkan dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

dan mewajibkan setiap bank untuk menjamin dana masyarakat yang

disimpan dalam bank yang bersangkutan. Amanat tersebut telah

direalisasikan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Fungsinya adalah menjamin

simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas

sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.


Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana tersebut di atas,

LPS mempunyai wewenang:32


1. Menetapkan dan memungut premi penjaminan;
2. Menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank
pertama kali menjadi peserta;
3. Melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS;
4. Mendapatkan data simpanan nasabah,data kesehatan bank,
laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank
sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank;
5. Melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/atau konfirmasi atas
data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan
keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank;
6. Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran
klaim;
7. Menunjuk, menguasakan, dan atau menugaskan pihak lain
untuk bertindak bagi kepentingan dan atau atas nama LPS,
guna melaksanakan sebagian tugas tertentu;
8. Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang
penjaminan simpanan; dan
9. Menjatuhkan sanksi administratif.
Adapun kewenangan LPS lainnya meliputi penjaminan simpanan
(deposit guarantee) dan upaya meningkatkan kepercayaan nasabah
penyimpan terhadap bank yang memang sangat diperlukan stabilitas
sistem perbankan.33

32
Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan.
33
Rizal Ramadhani, Likuidasi Terhadap Bank Yang Berbentuk Hukum Perusahaan Daerah,
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 4 Nomor 3, Desember 2006, hlm 25
27

Kewenangan yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)


tersebut dimaksudkan agar dengan dilakukannya pengambilan
segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan
wewenang RUPS, LPS dapat melakukan pemberesan aset dan
kewajiban dari bank yang dicabut izinnya oleh Lembaga
Pengawasan Perbankan (untuk saat ini oleh Bank Indonesia).
Kewenangan melakukan pemberesan aset dan kewajiban
dimaksudkan untuk memaksimalkan pengembalian (recovery)
dana penjaminan. Di samping itu, dengan kewenangan yang
sama LPS dapat melakukan pengelolaan dan pengurusan bank
yang diputuskan untuk diselamatkan.34

Berdasarkan hal tersebut di atas, LPS melakukan perlindungan

langsung terhadap nasabah manakala bank tempat nasabah menyimpan

mengalami kegagalan, maka LPS akan mengganti dana tersebut.

2. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Berdasarkan Undang-Undang


Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Berdasarkan pembahasan di atas, nasabah bank pengguna kartu

ATM merupakan konsumen jasa perbankan. Sebagaimana yang disebutkan

dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang

Perlindungan Konsumen mengenai pengertian konsumen yaitu:


Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain maupun makhluk hidup lainnya, dan tidak untuk
diperdagangkan

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjabarkan tentang Asas-

asas perlindungan konsumen yaitu :


1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa
segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen
harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

34
Ibid, hlm 139
28

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat


dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan
kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara
adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha
dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan
untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen dalam penggunaan,pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha
maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.

Perlindungan hukum bagi nasabah berdasarkan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen dapat dilihat dalam

Pasal 7 huruf f yang menyebutkan bahwa memberi kompensasi, ganti rugi

dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan

pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Sejalan dengan

hal tersebut dalam Pasal 7 huruf g menyebutkan bahwa memberi

kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa

yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Berdasarkan hal tersebut di atas, apabila terjadi masalah dalam

penggunaan kartu ATM sehingga mengakibatkan kerugian yang dalam hal

bukan dikarenakan kesalahan dari nasabah maka pihak bank wajib

mengganti kerugian yang dialami oleh nasabah.

Selain itu juga terdapat Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi:


29

Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas


kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.

Ganti kerugian yang dapat diberikan berupa pengembalian uang

atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya.

Dengan demikian apapun alasannya, pelaku usaha harus bertanggung

jawab apabila ternyata produk yang dihasilkannya cacat atau berbahaya.

Informasi akurat dan lengkap merupakan hak konsumen. Apabila

kewajiban ini tidak dipenuhi, maka sudah semestinya pelaku usaha

dimintai pertanggungjawaban.

3. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Berdasarkan Undang-Undang


Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawas jasa


keuangan seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana,
perusahaan pembiayaan, dana pensiun, dan asuransi yang sudah
harus terbentuk pada tahun 2010. Keberadaan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) ini sebagai suatu lembaga pengawas sektor
keuangan di Indonesia perlu untuk diperhatikan, karena harus
dipersiapkan dengan baik segala hal untuk mendukung
keberadaan OJK tersebut.35
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011

tentang Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan:

Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat dengan


OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur
tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini

Dengan kata lain, dapat diartikan bahwa Otoritas Jasa Keuangan

adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan seperti

35
Siti Sundari, Laporan Kompendium Hukum Bidang Perbankan, (Kementerian Hukum
dan HAMRI, 2011), hlm.44
30

industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan

pembiayaan, dana pensiun dan asuransi.36

Pasal 4 Undang-Undang OJK menyebutkan bahwa Otoritas Jasa

Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa

keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil,

transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan

yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi

kepentingan konsumen dan masyarakat.

Perlindungan konsumen yang diberikan OJK dianggap penting

mengingat begitu kompleknya aktifitas dalam sektor jasa keuangan.

Perlindungan konsumen yang difasilitasi OJK dapat berupa tindakan

pencegahan kerugian konsumen, pelayanan pengaduan konsumen dan

pembelaan hukum.

Alasan lainnya yang menjadi dasar untuk pembentukan OJK,


yaitu adanya amanat dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah
yang mengamanatkan pembentukan lembaga pengawasan sektor
jasa keuangan yang mencakup perbankan, asuransi, dana
pensiun, sekuritas, modal ventura dan perusahaan pembiayaan,
serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana
masyarakat. Dengan terbentuknya satu lembaga yang terpadu,
independen, dan akuntabel tersebut, diharapkan kegiatan sektor
jasa keuangan mampu mewujudkan perekonomian nasional yang
mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan
terselenggara secara teratur, adil, transparan, serta akuntabel.37

36
Zainal Asikin, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2016, hlm.49
37
Muhamad Djumhana, Op.Cit., hlm.39
31

Setelah diberlakukannya Undang-Undang OJK, tugas pengaturan

dan pengawasan bank yang sebelumnya menjadi kewenangan BI akan

beralih menjadi kewenangan OJK. Menurut Pasal 6 Undang-Undang OJK

dirumuskan bahwa OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan

terhadap:38

a. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;


b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.
Untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, OJK diberi
kewenangan untuk melakukan tindakan pencegahan kerugian
konsumen dan masyarakat, melakukan pelayanan pengaduan
konsumen, tindakan perlindungan dengan melakukan pembelaan
dan mengajukan gugatan untuk memperoleh ganti rugi. Dengan
demikian, kewenangan OJK dalam perlindungan konsumen
meliputi 2 hal yaitu mencegah terjadinya kerugian konsumen jasa
keuangan nasabah yaitu perlindungan yang dilakukan sebelum
melakukan transaksi (perlindungan pra-transaksi) dan melakukan
tindakan pembelaan hukum atas kerugian yang diderita oleh
nasabah (perlindungan pasca-transaksi).39

Dari ketentuan tersebut tampak bahwa nasabah telah memperoleh


perlindungan hak-haknya karena adanya OJK yang bertindak
sebagai wakil nasabah dalam menghadapi lembaga jasa
keuangan. Dengan adanya Undang-Undang Otoritas Jasa
Keuangan, pengaturan tentang penyelesaian pengaduan nasabah
telah memperoleh legitimasi. Begitu pula tentang penyelesaian
sengketa, adanya Undang-Undang OJK yang memberi
kewenangan OJK untuk melakukan pembelaan kepentingan
nasabah sehingga secara normatif, hak-hak nasabah atas
penyelesaian sengketa telah mendapatkan perlindungan hukum.40

Berdasarkan hal tersebut di atas, perlindungan hukum terhadap

nasabah yang menggunakan jasa perbankan berdasarkan Undang-Undang

38
Uswatun Hasanah, Op.Cit., hlm.111
39
Ibid., hlm.113

40
Ibid., hlm.114
32

Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan adalah mencegah

terjadinya kerugian yang diderita oleh nasabah terhadap pelayanan jasa

perbankan dan mendapatkan pembelaan hukum atas kerugian yang telah

diderita oleh nasabah.

B. Penyelesaian Sengketa Akibat Skimming Pada Sektor Perbankan

Sengketa merupakan suatu situasi dimana ada pihak yang merasa

dirugikan oleh pihak lain, yang kemudian pihak tersebut menyampaikan

ketidakpuasan ini kepada pihak kedua. Berdasarkan pengertian tersebut, bila

dikaitkan dengan sengketa perbankan, ketidakpuasan tersebut dapat

diakibatkan oleh tuntutan nasabah yang tidak dipenuhi bank baik seluruhnya

maupun sebagian mengingat lembaga pengaduan nasabah berada pada internal

bank tempat nasabah melakukan kegiatan transaksi keuangan. Apabila dalam

proses penyelesaian pengaduan tersebut bank tidak memberikan solusi seperti

yang diinginkan nasabah maka akan timbul permasalahan yang berpotensi

terjadinya sengketa.

Seiring dengan kajian yang penyusun lakukan, pada dasarnya

pengertian di atas berhubungan erat dengan beberapa prinsip dasar dalam

perlindungan hukum bagi nasabah, khususnya dalam hal terjadi sengketa

antara nasabah dengan bank. Hal ini diatur melalui PBI Nomor

10/10/PBI/2008 perubahan atas PBI Nomor 7/7/PBI/2005 tentang


33

Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan PBI Nomor 10/01/PBI/2008 Perubahan

atas PBI Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.

Pasal 1 angka (4) PBI Nomor 10/10/PBI/2008 tentang Penyelesaian

Pengaduan Nasabah, mendefinisikan pengaduan sebagai ungkapan

ketidakpuasan Nasabah yang disebabkan oleh adanya potensi kerugian

finansial pada Nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian Bank.

Sesuai dengan Pasal 2 PBI Nomor 10/10/PBI/2008, maka bank wajib

menetapkan kebijakan dan memiliki prosedur tertulis tentang penerimaan

pengaduan, penangangan dan penyelesaian pengaduan, serta pemantauan

penanganan dan penyelesaian pengaduan.

Ketentuan mengenai kebijakan dan prosedur tertulis dimaksud diatur

dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) Nomor 7/24/DPNP antara lain

sebagai berikut:

1. Kewajiban Bank untuk menyelesaikan pengaduan mencakup


kewajiban menyelesaikan pengaduan yang diajukan secara lisan
dan atau tertulis oleh Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah,
termasuk yang diajukan oleh suatu lembaga, badan hukum, dan
atau bank lain yang menjadi Nasabah bank tersebut.
2. Setiap Nasabah, termasuk walk-in customer, memiliki hak untuk
mengajukan pengaduan.
3. Pengajuan pengaduan dapat dilakukan oleh Perwakilan Nasabah
yang bertindak untuk dan atas nama Nasabah berdasarkan surat
kuasa khusus dari Nasabah.
Selain itu, penyelesaian sengketa antara nasabah bank sebagai

konsumen dengan bank dapat didasarkan pada Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Khusunya diatur dalam Bab X

yang terdiri dari empat Pasal yaitu Pasal 45, 47, 48 dan Pasal 49.
34

Bentuk penyelesaian sengketa menurut Pasal 45 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat

ditempuh melalui 2 cara yaitu melalui peradilan atau litigasi dan melalui luar

peradilan atau non litigasi.

Berdasarkan bentuk penyelesaian sengketa tersebut, pihak yang

bersengketa dapat melakukan berbagai pilihan tindakan dengan tujuan agar

sengketa tersebut dapat diselesaikan. Penyelesaian ini harus dilakukan

menurut hukum atau berdasarkan kesepakatan awal di antara para pihak.

Sehingga dalam mengkaji penyelesaian sengketa akibat skimming

pada sektor perbankan penyusun akan menjabarkannya dalam pembahasan di

bawah ini melalui penyelesaian sengketa melalui penyelesaian sengketa di

luar pengadilan dan melalui pengadilan.

1. Penyelesaian Sengketa Nasabah di Luar Pengadilan

Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan

diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan

besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk

menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali

kerugian yang diderita oleh konsumen sebagaimana yang dijelaskan dalam

Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau lebih dikenal


dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) dapat ditempuh
dengan berbagai cara. ADR tersebut dapat berupa arbitrase,
35

mediasi, konsiliasi, minitrial, summary jury trial. Settlement


conference serta bentuk lainnya.41

Setelah dibentuknya Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa

(LAPS) di sektor jasa keuangan, maka penyelesaian jika terjadi sengketa

keuangan terlebih dahulu harus di selesaikan melalui Lembaga Alternatif

Penyelesaian Sengekta.

Pengelolaan sengketa sangat penting diketahui oleh para pihak


untuk mengetahui sejauh mana cara penyelesaian sengketa yang
dihadapi sesuai dengan sengketa yang ada, dan hasil apa yang
diharapkan melalui metode penyelesaian sengketa yang dipilih.
Untuk sengketa-sengketa yang lebih menekankan pada hal
kepastian hukum dan kemenangan, metode penyelesaian yang
tepat adalah litigasi melalui pengadilan atau arbitrase.
Sebaliknya, jika lebih menekankan pada hal membina hubungan
bisnis, metode penyelesaian yang tepat adalah melalui negosiasi,
mediasi, atau konsiliasi.42

Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor

01/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di

Sektor Jasa Keuangan, apabila terjadi sengketa keuangan dapat

diselesaikan melalui LAPS. Penyelesaian sengketa khususnya

penyelesaian sengekta akibat skimming pada sektor perbankan, LAPS

sendiri telah membentuk lembaga yang khusus menangani persoalan pada

sektor perbankan. Penyelesaian sengketa tersebut, yaitu pada Lembaga

Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI).

41
Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm.186
42
Nurnaningsih Amriani, MEDIASI Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, PT.Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm19
36

Berikut penulis akan memaparkan proses penyelesaian sengketa

akibat skimming pada sektor perbankan oleh Lembaga Alternatif

Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI):43

1. Mediasi

Mediasi LAPSPI adalah cara penyelesaian sengketa di luar


pengadilan melalui proses perundingan di LAPSPI untuk
memperoleh kesepakatan perdamaian dengan dibantu
mediator. Mediator LAPSPI adalah pihak netral yang
membantu para pihak dalam proses perundingan dalam
mediasi LAPSPI guna mencari berbagai solusi penyelesaian,
namun Mediator tidak diperbolehkan memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian. Mediator tidak
memberikan keputusan atau penetapan pembayaran, namun
hanya memfasilitasi pertemuan dalam kerangka mediasi para
pihak yang bersengketa untuk memahami perspektif, posisi
dan kepentingan masing-masing pihak atas masalah yang
dihadapi, untuk mencari alternatif penyelesaian secara adil,
cepat, murah dan efisien. Melalui mediasi diharapkan dapat
tercapai perdamaian di antara para pihak yang bersengketa.44
a) Alasan Mengapa Memilih Mediasi

Beberapa pertimbangan untuk menyelesaikan permasalahannya:

1. Adanya keyakinan dari para pihak bahwa mediator LAPSPI


mampu membantu menyelesaikan permasalahan para pihak
secara adil, cepat, murah, dan efisien.
2. Mediator LAPSPI adalah para professional di bidang industry
perbankan yang memahami dengan baik dunia perbankan dan
mempunyai keahlian mediasi serta telah mempunyai sertifikat
mediator nasional.
3. Adanya keinginan para pihak untuk menyelesaikan
permasalahan mereka tanpa saling merugikan (win-win
solution).
4. Adanya keinginan para pihak untuk saling mempertahankan
hubungan bisnis jangka panjang (long-term relationship) dari
pada penyelesaian secara hukum yang mengedepankan antara
yang salah dan benar (jalur litigasi).

43
https://lapspi.org/profile/, Diakses Pada Tanggal 06 Maret 2017 Pukul 22.40 Wita.

44
https://lapspi.org/mediasi/, Diakses Pada Tanggal 06 Maret 2017 Pukul 22.50 Wita.
37

5. Mediasi melalui LAPSPI dilakukan secara tertutup untuk


umum.

b) Penggunaan Mediasi

Mediasi dapat digunakan pada setiap tahapan


penyelesaian sengketa, yakni pada saat:

1. Setelah musyawarah mufakat mengalami kegagalan;


2. Ketika Arbiter tunggal/ Majelis Arbitrase
menawarkan upaya perdamaian pada siding pertama;
3. Sebelum Hakim Pengadilan memulai siding
pemeriksaan perkara (sesuai Peraturan Mahkamah
Agung No.1/2008)
4. Selama proses Arbitrase/persidangan selama belum
dijatuhkan putusan.

c) Pendaftaran Permohonan Mediasi

Mediasi diselenggarakan berdasarkan permohonan yang

diajukan pendaftarannya oleh Para Pihak atau salah satu Pihak

kepada LAPSPI. Permohonan diajukan secara tertulis kepada

LAPSPI untuk Ketua LAPSPI dan dialamatkan ke kantor LAPSPI.

Permohonan mediasi tersebut paling kurang harus memuat:

1. Nama lengkap, dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para


pihak
2. Jenis perkara
3. Permintaan kepada LAPSPI untuk diselenggarakan Mediasi
4. Resume perkara. Resume perkara dibuat oleh masing-masing
pihak jika tidak dimungkinkan untuk dibuat secara bersama-
sama
5. Fotokopi dokumen-dokumen atau bukti-bukti pendukung.

d) Syarat Penyelesaian Melalui Mediasi

Adapun syarat penyelesaian sengketa melalui mediasi


LAPSPI harus memenuhi semua kriteria di bawah ini:

1) Merupakan sengketa perdata di bidang Perbankan


dan/ atau berkaitan dengan bidang Perbankan.
38

2) Sengketa mengenai hak yang menurut hukum dan


peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya
oleh pihak yang bersengketa.
3) Sengketa yang menurut peraturan perundang-
undangan dapat diadakan perdamaian.
4) Sengketa yang telah menempuh upaya musyawarah
tetapi para pihak tidak berhasil mencapai perdamaian,
dan
5) Antara para pihak terkait dalam Perjanjian Mediasi.

e) Verifikasi Permohonan

Atas permohonan mediasi yang telah diterima, pengurus


LAPSPI melakukan langkah langkah sebagai berikut:

1) Pengurus memeriksa kelengkapan dokumen apakah memenuhi


persyaratan untuk diselesaikan melalui mediasi atau tidak.
2) Pengurus menyampaikan konfirmasi penerimaan atau
penolakan terhadap pendaftaran Permohonan Mediasi kepada
para pihak dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung
setelah tanggal pengajuan.
3) Apabila Permohonan Mediasi dinyatakan ditolak, maka surat
sebagaimana tersebut diatas (butir 2) harus memuat alasan
penolakan. Para pihak dapat mengajukan kembali Permohonan
Mediasi setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
4) Apabila Permohonan Mediasi diterima, maka surat
sebagaimana tersebut diatast (butir 2) memuat pula :
a. Pemberitahuan mengenai dimulainya penunjukan
Mediator.
b. Pemberitahuan mengenai nama Sekretaris yang ditunjuk
oleh pengurus untuk perkara yang bersangkutan.
c. Informasi mengenai biaya-biaya mediasi atas perkara yang
bersangkutan.
5) Terhadap Permohonan Mediasi yang diterima sebagaimana
dimaksud butir 4, maka Seketariat pada tanggal yang sama
dengan tanggal konfirmasi dimaksud mencatatkan permohonan
tersebut dalam buku register perkara LAPSPI.

f) Perjanjian Mediasi

Adapun syarat terpenting untuk dapat mengajukan

permohonan penyelesaian permasalahan melalui mediasi LAPSPI

adalah adanya kesepakatan para pihak bahwa permasalahan akan


39

diselesaikan melalui mediasi LAPSPI. Tanpa adanya kesepakatan

tersebut maka permasalahan tidak dapat diajukan kepada mediasi

LAPSPI.

Perjanjian Mediasi dapat dibuat dengan cara sebagai


berikut:

1) Tertuang dalam klausula penyelesaian sengketa dari perjanjian


pokok;
2) Dibuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh Para
Pihak;
3) Dalam bentuk pernyataan Para Pihak di hadapan persidangan
Arbitrase LAPSPI.

Dalam hal pengajuan Mediasi dibuat dalam bentuk

pernyataan sebagaimana dimaksud dalam butir 3 diatas, maka

perjanjian tersebut cukup dibuktikan dengan Berita Acara

Persidangan Arbitrase LAPSPI.

Perjanjian Mediasi memuat pernyataan bahwa Para Pihak

bersedia untuk terikat, tunduk dan melaksanakan setiap dan semua

kesepakatan yang mungkin dicapai dalam Mediasi LAPSPI, serta

menanggung biaya-biaya yang diperlukan dalam Mediasi. LAPSPI,

atas permintaan salah satu Pihak, dapat memfasilitasi pertemuan

antara Para Pihak dalam rangka membuat Perjanjian Mediasi.

g) Syarat Menjadi Mediator

Untuk dapat menjadi Mediator LAPSPI, harus orang yang

sudah diangkat oleh Pengurus sebagai Mediator tetap LAPSPI.

Seseorang dapat diangkat menjadi Mediator Tetap LAPSPI setelah


40

melalui proses yang diputuskan dalam Rapat Pengurus berdasarkan

pemahaman Pengurus mengenai integritas dan kapabilitas dari

calon yang bersangkutan sesuai dengan persyaratan yang

ditetapkan. Dalam menjalankan tugasnya, mediator harus

menjunjung tinggi kode etik, bersikap adil, netral dan mandiri,

bebas dari pengaruh dan tekanan pihak manapun, serta bebas dari

benturan kepentingan, baik dengan salah satu pihak manapun

dengan permasalahan yang bersangkutan. Apabila hal-hal tersebut

dilanggar maka Mediator yang bersangkutan harus berhenti atau

diberhentikan dari tugasnya.

h) Perundingan, Kaukus dan Dengar Pendapat

Perundingan Mediasi harus dimulai selambat-lambatnya 7

(tujuh) hari terhitung setelah tanggal menerima surat keputusan

pengangkatan Mediator, dan berlangsung paling lama 30 (tiga

puluh) hari, yang dapat diperpanjang atas kesepakatan Para Pihak

dan Mediator paling lama 30 (tiga puluh) hari lagi. Proses mediasi

dilaksanakan secara efisien dan sungguh-sungguh sehingga Para

Pihak mencapai Kesepakatan Perdamaian. Mediator harus

mengambil inisiatif untuk memulai pertemuan, mengusulkan

jadwal dan agenda pertemuan kepada Para Pihak untuk dibahas

dan disepakati. Disamping itu Mediator harus mendorong Para

Pihak utnuk secara langsung terlibat dan berperan aktif dalam:

1) Proses Mediasi secara keseluruhan;


2) Menelusuri dan menggali kepentingan Para Pihak; dan
41

3) Mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi Para


Pihak.

Apabila menganggap perlu, Mediator dapat melakukan

Kaukus dengan persetujuan terlebih dahulu Para Pihak, dan dengan

persetujuan dan biaya Para Pihak, Mediator dapat mengundang 1

(satu) atau lebih ahli dalam bidang tertentu dan/atau pihak ketiga

lainnya untuk memberikan keterangan Para Pihak harus

menghadiri pertemuan perundingan yang diselenggarakan oleh

Mediator dan tidak boleh diwakilkan hanya oleh kuasa hukumnya.

Jika dipandang perlu oleh Mediator untuk kelancaran proses

perundingan, Mediator dapat membatasi kehadiran kuasa hukum

Para Pihak.

Dalam hal suatu pihak merupakan badan hukum, maka

harus diwakili oleh pengurusnya dan/atau pegawainya yang sah

dan berwenang atau berdasarkan surat kuasa khusus, untuk:45

1) Mewakili badan hukum


2) Mengambil keputusan untuk dan atas nama badan hukum dan
3) Membuat perdamaian untuk dan atas nama badan hukum.

Acara perundingan, kaukus dan mendengar keterangan

ahli atau pihak ketiga dapat dilakukan dalam bentuk pertemuan

tatap muka langsung atau melalui sarana tehnologi informasi

(seperti telepon, telekoferensi, dan/atau video koferensi). Selama

belum tercapai Kesepakatan Perdamaian, salah satu pihak dapat

menyatakan mundur dari proses Mediasi kepada Mediator, dengan

45
Ibid
42

tembusan pihak lain dan pengurus, jika terdapat alasan dan bukti

yang kuat bahwa pihak lain menunjukan itikad tidak baik dalam

menjalani proses mediasi.

i) Akta Perdamaian

Dalam proses mediasi ada 2 kemungkinan, yakni berhasil

atau gagal. Mediasi dikatakan berhasil apabila proses Mediasi

berujung kepada ditandatanganinya Kesepakatan Perdamaian di

antara para pihak. Apabila para pihak menghendaki Kesepakatan

Perdamaian tersebut memiliki kekuatan eksekutorial (yang

dituangkan dalam Kesepakatan Perdamaian), maka Kesepakatan

Perdamaian tersebut dapat dituangkan ke dalam Akta Perdamaian

oleh Majelis Arbitrase/Arbiter Tunggal apabila Mediasi tersebut

dilaksanakan dalam kerangka proses Arbitrase Akta Perdamaian

tersebut memiliki kekuatan hukum sebagaimana layaknya putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Namun apabila proses Mediasi berlangsung di luar

proses Arbitrase, dan para pihak menghendaki Kesepakatan

Perdamaian tersebut memiliki kekuatan eksekutorial (lebih dari

sekedar kekuatan suatu perjanjian), maka salah satu pihak dapat

mengajukan permohonan Arbitrase kepada LAPSPI yang di dalam

petitumnya meminta kepada Majelis Arbitrase/ Arbiter Tunggal

untuk menghukum para pihak menaanti kesepakatan perdamaian

yang telah dibuat oleh para pihak.


43

Selanjutnya Majelis Arbitrase/Arbiter Tunggal akan

menjatuhkan putusan dengan amar sebagaimana yang dituntut oleh

pemohon, sehingga perdamaian tersebut memiliki kekuatan

eksekutorial karena tertuang dalam putusan Arbitrase. Jika Para

Pihak tidak menghendaki Kesepakatan Perdamaian dikuatkan

dalam bentuk akta perdamaian, maka Kesepakatan Perdamaian

harus memuat klausula pencabutan gugatan dan/atau klausula yang

menyatakan perkara telah selesai. Mediasi dikatakan gagal apabila

perundingan mengalami jalan buntu (deadlock) dan para pihak

tidak mau melanjutkannya. Apabila kegagalan ini terjadi, maka

proses penyelesaian diserahkan kembali kepada masing-masing

pihak, apakah selanjutnya akan memilih jalur Arbitrase atau

pengadilan. Apabila mediasi tersebut diselenggarakan dalam

kerangka proses Arbitrase/Arbiter Tunggal melanjutkan kembali

persidangan Arbitrase

j) Pelaksanaan Kesepakatan Perdamaian

Apabila ada Pihak yang tidak mematuhi atau

melaksanakan Kesepakatan Perdamaian dalam jangka waktu yang

disepakati tersebut Pihak lain dapat melakukan teguran tertulis

kepada Pihak yang ingkar dengan tembusan LAPSPI. Setelah

menerima tembusan surat tersebut maka Pengurus akan

menyampaikan teguran tertulis kepada Pihak yang ingkar, dengan


44

tembusan kepada Pihak lain dan kepada Asosiasi Perbankan serta

Otoritas Jasa Keuangan

k) Jangka Waktu Pemeriksaan.

Apabila telah lewat masa 7 (tujuh) hari terhitung setelah

tanggal disampaikannya surat teguran masi juga diingkari, maka

Pengurus dan/atau Pihak lain menyampaikan kembali teguran

tertulis kedua kepada Pihak yang ingkar, dengan tembusan kepada

Asosiasi Perbankan serta Otoritas Jasa Keuangan. Pihak yang

berkepentingan atas pelaksanaan Kesepakatan Perdamaian berhak

melakukan upaya hukum terhadap Pihak yang ingkar sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

l) Biaya-Biaya Mediasi

Biaya-biaya dalam layanan Mediasi LAPSPI, terdiri:

1) Biaya Pendaftaran, yakni biaya yang harus dibayar lunas oleh


para pihak pada saat mendaftarakan permohonan Mediasi
LAPSPI.
2) Biaya Sengketa, yakni biaya untuk penyelenggaraan
perundingan/pertemuan dalam rangka proses penyelesaian (at
cost). Biaya sengketa ini dibayar oleh para pihak sebelum
dimulainya pertemuan yang bersangkutan dalam bentuk deposit
sesuai yang ditentukan LAPSPI.
3) Biaya Mediator, yakni biaya atas layanan Mediasi LAPSPI
yang harus dibayar oleh para pihak, yang dihitung atas dasar
persentase tertentu dari nilai sengketa.
Biaya-biaya tersebut menjadi tanggungjawab para pihak

dengan pembagian beban yang disepakati di antara para pihak

sendiri.

2. Ajudikasi
45

Ajudikasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar Arbitrase dan

Peradilan umum yang dilakukan oleh Ajudikator untuk menghasilkan

suatu putusan yang dapat diterima oleh Pemohon sehingga dengan

penerimaan tersebut maka putusan tersebut mengikat Pihak Termohon.

Ajudikator adalah seorang atau lebih yang ditunjuk menurut


Peraturan dan Prosedur Ajudikasi LAPSPI untuk memeriksa
perkara dan memberikan putusan Ajudikasi mengenai sengketa
tertentu yang diajukan penyelesaiannya kepada Ajudikasi
LAPSPI. Dalam pembahasannya mengenai Alternative Dispute
Resolution (ADR), yang termasuk dalam mekanisme Ajudikasi
adalah Pengadilan dan Arbitrase, karena disana ada putusan yang
dijatuhkan oleh Otoritas yang berwenang (Hakim/Arbiter) dan
putusannya bersifat mengikat. Sedangkan yang termasuk dalam
mekanisme Non-Ajudikasi adalah negosiasi, mediasi, konsiliasi,
dan sebagainya, yang di sana tidak ada suatu putusan (melainkan
suatu kesepakatan damai yang dibuat secara sukarela oleh para
pihak).46

Dalam perkembangannya Ajudikasi dipergunakan untuk

mekanisme ADR yang karakteristiknya mirip dengan Arbitrase. Dapat

dikatakan bahwa Ajudikasi adalah mekanisme arbitrase yang

disederhanakan dan kemudian di customised sedemikian rupa sehingga

dapat memenuhi kebutuhan penyelesaian sengketa yang ritel dan kecil

(retail and small claim), karena sengketa ritel dan kecil tersebut akan

sangat tidak efisien jika diselesaikan melalui Arbitrase.

Bisa jadi bahwa sengketa ritel dan kecil tersebut sebelumnya

sudah menempuh upaya Mediasi tetapi tidak berhasil mencapai

kesepakatan damai, sehingga para pihak menghendaki suatu putusan atas

sengketanya melalui mekanisme lain namun tidak melalui Arbitrase,

apalagi pengadilan. Mekanisme Ajudikasi ini berkembang pesat dalam


46
https://lapspi.org/ajudikasi/, Diakses Pada Tanggal 07 Maret 2017 Pukul 21.50 Wita
46

konteks perlindungan konsumen sehingga tidak mengherankan jika

mekanisme tersebut dinilai sesuai untuk penyelesaian sengketa nasabah

atau konsumen ritel dan kecil.

a) Alasan Mengapa Memilih Ajudikasi

Beberapa pertimbangan mengapa Para Pihak memilih

Ajudikasi untuk menyelesaikan sengketanya:

1) Para pihak yang bersengketa sudah tidak dapat lagi melanjutkan


perundingan;
2) Para pihak yang bersengketa menghendaki cara penyelesaian yang
lebih mempertimbangkan benar-salah menurut hukum (right based
procedure/approach).
3) Para pihak yang bersengketa menginginkan putusan yang final dan
mengikat, namun pihak konsumen sebagai pemohon (penggugat)
menghendaki ada opsi baginya untuk memilih apakah menerima
putusan ataukah menolak putusan;
4) Penyedia jasa sebagai termohon (tergugat) ingin memberikan
layanan yang baik bagi konsumennya dengan harapan memberikan
dampak yang positif bagi penyedia dalam persoalan kepercayaan
(loyalitas) konsumen lainnya (termasuk masyarakat luas);
5) Para pihak yang bersengketa ingin mendapatkan jaminan bahwa
orang yang akan memberikan putusan atas sengketa (Ajudikator)
benar-benar memahami dunia perbankan dan mempunyai keahlian
ber-Ajudikasi;
6) Para pihak yang bersengketa ingin menyelesaikan sengketa melalui
forum yang tertutup untuk umum;
7) Para pihak yang bersengketa menghendaki praktek acara yang
bersih.

b) Syarat Penyelesaian Melalui Ajudikasi

Sengketa yang dapat diselesaikan melalui Ajudikasi LAPSPI

harus memenuhi semua kriteria tersebut di bawah ini:

1) Merupakan sengketa di bidang Perbankan dan/atau berkaitan


dengan bidang Perbankan;
2) Sengketa mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa;
47

3) Sengeketa yang menurut peraturan perundang-undangan dapat


diadakan perdamaian;
4) Sengketa yang telah menempuh upaya Mediasi tetapi Para Pihak
tidak berhasil mencapai perdamaian;
5) Antara Pemohon dan termohon terikat dengan Perjanjian Mediasi
6) Pihak Pemohon adalah nasabah Bank Saving Account (BSA) dan
nasabah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dengan nilai
sengketa minimum Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah),
sedangkan Pihak Termohon adalah Bank.

c) Pendaftaran Permohonan Ajudikasi

1) Ajudikasi diselenggarakan berdasarkan permohonan yang diajukan


pendaftarannya oleh Para Pihak atau salah satu Pihak kepada
LAPSPI. Permohonan diajukan secara tertulis kepada LAPSPI,
Ketua LAPSPI dan dialamatkan ke kantor LAPSPI.
2) Permohonan Ajudikasi terdiri atas:
a. Surat tuntutan
b. Lampiran-lampiran.
3) Pengurus melakukan verifikasi terhadap berkas pendaftaran
Permohonan Ajudikasi, atas hasil verifikasi tersebut pengguna
menyampaikan konfirmasi penerimaan atau penolakan terhadap
pendaftaran Permohonan Ajudikasi kepada Pemohon, dengan
tembusan kepada Termohon, dalam waktu paling lama 10
(sepuluh) hari terhitung setelah tanggal pengajuan.
4) Apabila pendaftaran Permohonan Ajudikasi ditolak Pengurus,
maka surat sebagaimana dimaksud pada butir 3 alasan penolakan.
Pemohon dapat mengajukannya kembali dengan memenuhi
persyaratan dalam waktu yang ditetapkan.
5) Apabila pendaftaran Permohonan Ajudikasi dinyatakan diterima,
surat sebagaimana dimaksud pada butir 3 memuat pula:
a. Pemberitahuan bahwa pengurus akan segera membentuk Panel;
b. Pemberitahuan mengenai nama Sekretaris;
c. Salinan Permohonan Ajudikasi untuk Termohon.
6) Terhadap pendaftaran Permohonan Ajudikasi yang diterima, maka
Sekretariat pada tanggal yang sama dengan tanggal konfirmasi
tersebut mencantumkan Permohonan Ajudikasi ke dalam buku
register perkara LAPSPI.
7) Pengurus dapat melimpahkan kewenangan untuk memberikan
konfirmasi terhadap pendaftaran Permohonan Ajudikasi kepada
Sekretariat.

d) Verifikasi Permohonan
48

Terhadap permohonan Ajudikasi yang diterima, maka

pengurus LAPSPI akan memeriksa:47

1) Apakah para pihak telah terikat dengan Perjanjian Ajudikasi;


2) Apakah sengketa yang diajukan adalah sengketa bidang perbankan
atau yang berkaitan dengan bidang perbankan.
3) Apakah Permohonan adalah nasabah Basic Saving Account (BSA)
atau nasabah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dengan
nilai sengketa maksimum Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta
Rupiah), sedangkan Pihak Termohon adalah Bank.
4) Apakah Pemohon telah membayar biaya-biaya yang ditetapkan.
5) Apakah telah ditempuh upaya, Mediasi tetapi Para Pihak tidak
berhasil mencapai perdamaian.
6) Apakah sengketa merupakan sengketa yang menurut peraturan
perundang-undangan dapat diadakan perdamaian.
Atas verifikasi yang telah dilakukan, maka pengurus akan

menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pemohon dan Termohon

dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah

pendaftaran, apakah permohonan Ajudikasi diterima atau ditolak.

Apabila pendaftaran permohonan Ajudikasi memenuhi persyaratan

maka pengurus akan menyampaikan pemberitahuan kepada Pemohon

dan Termohon bahwa pendaftaran permohonan Ajudikasi diterima dan

akan diproses lebih lanjut, sekaligus dicatatkan pada buku perkara

LAPSPI. Proses selanjutnya adalah pembentukan paneh Ajudikasi oleh

pengurus LAPSPI.

e) Penunjukan Ajudikator

Ajudikator adalah seorang atau lebih yang ditunjuk menurut

Peraturan dan Prosedur Ajudikasi LAPSPI untuk memeriksa perkara

dan memberikan Putusan Ajudikasi mengenai sengketa tertentu yang

47
Ibid
49

diajukan penyelesaiannya kepada Ajudikasi LAPSPI. Meskipun

Ajudikator ditunjuk oleh Pengurus LAPSPI, namun para pihak tetap

memilik hak untuk menolak penunjukan tersebut jika Ajudikator

tersebut memiliki benturan kepentingan.

Berbeda dengan Arbitrase LAPSPI yang memungkinkan

menunjuk orang di luar yang tercatat dalam Daftar Arbiter Tetap

LAPSPI sebagai Arbiter dalam suatu perkara, sedangkan dalam

Ajudikasi LAPSPI Pengurus hanya menunjuk Ajudikator yang

tercantum dalam Daftar Ajudikator Tetap LAPSPI saja.

f) Syarat Menjadi Ajudikator

Yang bisa ditunjuk oleh Pengurus LAPSPI menjadi

Ajudikator dalam proses Ajudikasi LAPSPI adalah mereka yang

tercantum di dalam Daftar Ajudikasi Tetap LAPSPI. Dalam

menjalankan tugasnya Ajudikator harus menjunjung tinggi kode etik,

bersikap adil, netral dan mandiri, bebas dari pengaruh dan tekanan

pihak manapun, serta bebas dari benturan kepentingan baik dengan

salah satu pihak yang bersengketa maupun dengan materi sengketa

yang bersangkutan. Adapun hal-hal tersebut dilanggar, maka

Ajudikator yang bersangkutan harus berhenti atau diberhentikan dari

tugasnya oleh Pengurus.

g) Panggilan Dengar Pendapat dan Upaya Perdamaian

1) Dengar pendapat pertama:


a. Panel melalui Sekretaris menyampaikan surat panggilan dengar
pendapat pertama kepada Para Pihak. Dalam surat panggilan
50

tersebut Termohon diminta memberikan tanggapan secara


tertulis (jawaban) pada dengar pendapat pertama tersebut.
b. Apabila pada hari yang telah ditentukan Pemohon tidak dating
tanpa alasan yang sah, maka Panel menunda dengar pendapat
dan melakukan pemanggilan kembali kepada Termohon.
c. Apabila pada hari yang telah ditentukan Termohon tidak datang
tanpa suatu alasan yang sah, maka Panel menunda dengar
pendapat dan melakukan pemanggilan kembali kepada
Termohon.
d. Apabila Termohon tetap tidak datang tanpa alasan sah, maka
pemeriksaan akan diteruskan tanpa kehadiran Termohon.
2) Jawaban disampaikan Termohon kepada Panel dengan dan
dilampirkan alat bukti dan fotokopi/salinan dokumen bukti-bukti.
3) Panggilan untuk dengar pendapat berikutnya ditetapkan oleh Panel
dalam prosedur dengar pendapat, atau melalui surat panggilan
tertulis
4) Dalam prosedur dengar pendapat, Panel memeriksa keterangan
masing-masing Pihak, mengupayakan perdamaian, memeriksa
bukti dan mendengar keterangan saksi.
5) Prosedur dengar pendapat dapat diselenggarakan dalam bentuk
pertemuan tatap muka secara langsung ataupun melalui sarana
teknologi informasi, seperti telekoferensi dan videokoferensi.
6) Apabila selama pemeriksaan Para Pihak setuju untuk melakukan
upaya damai, maka Panel dapat menunda proses pemeriksaan,
untuk memberikan kesempatan kepada Para Pihak mengupayakan
perdamaian sesuai pilihan penyelesaian sengketa yang disepakati
oleh Para Pihak.
7) Dalam hal upaya perdamaian berhasil mencapai perdamaian, maka
kesepakatan tersebut harus memuat klausula pencabutan
Permohonan Ajudikasi dan menyatakan perkara telah selesai. Atas
hal tersebut Pemohon menyatakan mencabut Permohonan
Ajudikasi di hadapan Panel dan selanjutnya Panel menutup
pemeriksaan dan menyatakan Ajudikasi selesai.
8) Pemeriksaan Ajudikasi akan dilanjutkan jika upaya perdamaian
tidak berhasil.

h) Jangka Waktu Pemeriksaan

1) Jangka waktu pemeriksaan Ajudikasi adalah paling lama 60 (enam


puluh) hari terhitung setelah tanggal pembentukan Panel.
2) Panel berwenang untuk memperpanjang jangka waktu.
3) Dalam rangka menjamin kepastian waktu penyelesaian
pemeriksaan Ajudiasi, maka pada dengar pendapat pertama, Panel
menetapkan jadwal pemeriksaan berikutnya sampai dengan
pembacaan Putusan Ajudikasi.
51

4) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud butir 2, maka


dalam dengar pendapat ditetapkan perpanjangan jangka waktu
pemeriksaan paling lama 30 (tiga puluh) hari.
5) Apabila dalam waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada
butir 3 ternyata persidangan Ajudikasi belum juga selesai, Panel
hanya dapat memperpanjang waktu berdasarkan persetujuan Para
Pihak dan Pengurus.
6) Para Pihak sepakat bahwa sengketa harus diselesaikan dengan
itikad baik dan secepat mungkin, dan oleh karena Para Pihak tidak
akan mengulur-ngulur waktu, bersikap dan/atau melakukan
tindakan yang dapat menghambat jalannya proses Ajudikasi.

i) Pengambilan Keputusan

Apabila pemeriksaan sengketa telah dianggap cukup maka

Panel menyatakan pemeriksaan segera ditutup dan Panel menetapkan

hari sidang untuk membacakan Putusan Ajudikasi.

Putusan tersebut akan diucapkan dalam sidang yang tertutup

untuk umum dalam waktu paling lama 20 hari setelah pemeriksaan

dinyatakan ditutup. Apabila salah satu Pihak atau anggota Panel tidak

hadir pada hari sidang yang telah ditentukan, maka pembacaan putusan

Ajudikasi tetap dilaksanakan oleh Ketua Panel. Dalam mengambil

keputusan:

1) Panel bebas dari intervensi pihak manapun, termasuk pengurus


LAPSPI atau Otoritas di bidang Perbankan.
2) Panel mengambil keputusan atas dasar keadilan dan kepatutan.
3) Meskipun diperbolehkan adanya perbedaan, namun keputusan
Panel adalah keputusan kolektif yang diambil atas dasar
musyawarah untuk mufakat. Apabila tidak tercapai musyawarah
mufakat maka keputusan diambil atas dasar suara terbanyak.

j) Biaya-Biaya Ajudikasi

Biaya-biaya dalam layanan Ajudikasi LAPSPI terdiri atas:

1) Biaya Pendaftaran, yakni biaya yang harus dibayar oleh Para Pihak
untuk mendaftarkan penyelesaian melalui layanan Ajudikasi
52

LAPSPI. Biaya ini harus dibayar lunas oleh Pemohon pada saat
pendaftaran.
2) Biaya Sengketa, yakni biaya yang dikeluarkan dalam rangka
penyelenggaraan proses Ajudikasi. Biaya sengketa ini menjadi
beban Pemohon, yang harus disetor berupa deposit sebelum
dimulainya sidang Ajudikasi.
3) Biaya Pelaksanaan Putusan Ajudikasi, yakni biaya yang harus
dikeluarkan terkait dengan pelaksanaan putusan Ajudikasi, antara
lain berupa pengeluaran biaya untuk pendaftaran Putusan Ajudikasi
di Pengadilan Negeri, biaya pengambilan salinan Putusan
Ajudikasi yang sudah didaftarkan di Pengadilan Negeri, dan biaya
lainnya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan hasil putusan
Ajudikasi. Biaya pelaksanaan Putusan ini menjadi beban Pemohon.
4) Biaya Ajudikator, yakni biaya jasa atas layanan Ajudikator yang
harus dibayar di muka seluruhnya oleh Pemohon sebelum sidang
pertama diselenggarakan.
Biaya-biaya tersebut, khususnya biaya pendaftaran, biaya

sengketa dan biaya Ajudikator harus dibayar sebelum proses/sidang

Ajudikasi pertama diselenggarakan. Pengurus dapat menunda

dan/atau menghentikan proses Ajudikasi hingga biaya-biaya

dimaksud dilunasi sesuai Peraturan dan Prosedur yang berlaku.

3. Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata bidang

Perbankan dan yang terkait bidang perbankan di luar peradilan umum,

yang diselenggarakan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa

Perbankan Indonesia (LAPSPI) dengan menggunakan Peraturan dan

Prosedur Arbitrase LAPSPI.

Arbiter adalah seorang atau lebih yang merupakan Arbiter Tetap

LAPSPI atau Arbiter Tidak Tetap LAPSPI yang ditunjuk menurut

Peraturan dan Prosedur LAPSPI sebagai Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase

untuk memeriksa perkara dan memberikan Putusan Arbitrase mengenai


53

sengketa tertentu yang diajukan penyelesaiannya kepada Arbitrase

LAPSPI.

Berdasarkan definisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa

Arbitrase LAPSPI pada hakekatnya mirip dengan Pengadilan. Sedangkan

Arbiter dalam proses Arbitrase adalah mirip hakim pada proses litigasi.

a) Syarat Penyelesaian Melalui Arbitrase LAPSPI

Sengketa yang dapat diselesaikan melalui Arbitrase LAPSPI

harus memenuhi semua kriteria tersebut di bawah ini:

1) Merupakan sengketa di bidang perbankan dan/atau berkaitan


dengan bidang perbankan;
2) Sengketa mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa;
3) Sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan dapat
diadakan perdamaian;
4) Antara Pemohon dan Termohon terkait dengan Perjanjian
Arbitrase.48

b) Pendaftaran Gugatan atau Permohonan Arbitrase

Setelah mennyampaikan notifikasi, salah satu Pihak harus

mengajukan gugatan (Permohonan Arbitrase) secara tertulis kepada

LAPSPI. Pihak yang mengajukam permohonan disebut Pemohon,

atau istilah dalam Pengadilan sama dengan Penggugat. Sedangkan

pihak lawannya disebut Termohon, atau dalam istilah Pengadilan

sama dengan Tergugat.

Isi Permohonan:

1) Informasi mengenal nama, alamat dan kedudukan para Pihak


2) Uraian sengketa/ duduk perkara (posita);
3) Isi tuntutan (petitum).
48
https://lapspi.org/arbitranse/, Diakses Pada Tanggal 08 Maret 2017 Pukul 21.50 Wita
54

Khususnya untuk Permohonan Arbitrase LAPSPI, harus

mengutip dan menyertakan pula Perjanjian Arbitrase , pernyataan

bahwa Pemohon akan terikat dan tunduk serta melaksanakan Putusan

Arbitrase dan tidak akan mengajukan perlawanan dan/atau upaya

hukum lain atas sengketa yang sama di Pengadilan Negeri dan

lembaga peradilan manapun, dan menyertakan akta buktu dan daftar

saksi fakta/saksi ahli, dan bukti lunas Biaya Pendaftaran.

c) Verifikasi Permohonan

Terhadap permohonan Arbitrase LAPSPI yang telah

didaftarkan, Pengurus LAPSPI akan memeriksa:

1) Apakah permohonan telah memenuhi syarat kelengkapan


administrasinya;
2) Apakah para pihak telah terikat dengan Perjanjian Arbitrase yang
menyatakan bahwa persengketaan akan diselesaikan melalui
Arbitrase;
3) Apakah persengketaan yang diajukan adalah mengenai
persengketaan perdata sehubungan dengan kegiatan di bidang
Perbankan;
4) Apakah pemohon telah memabayar Biaya Pendaftaran.
Apabila permohonan sudah memenuhi persyaratan di atas,

Pengurus LAPSPI akan menyampaikan surat pemberitahuan kepada

Pemohon dan Termohon dalam waktu selambat-lambatnya 10

(sepuluh) hari setelah pendaftaran, apakah diterima atau ditolak.

Apabila permohonan dinyatakan ditolak, maka didalam surat

pemberitahuan harus menyebutkan alasan penolakannya, dan Pemohon

dapat mengajukan kembali dengan memenuhi persyaratannya. Apabila

diterima dalam surat pemberitahuan tersebut memuat:

1) Pemberitahuan mengenai dimulainya penunjukan Arbiter.


55

2) Permbertitahuan mengenai nama Sekretaris yang ditunjuk oleh


Pengurus untuk perkara yang bersangkutan.
3) Informasi mengenai biaya-biaya Arbitrase atas perkara yang
bersangkutan
4) Salinan Permohonan Arbitrase untuk termohon.

d) Penunjukan Arbiter

Arbiter adalah orang perorangan yang karena kompetensi dan

integritasnya dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk

memeriksa dan memberikan putusan atas sengketa yang bersangkutan.

Para pihak berhak menunjuk Arbiter, dan Arbiter pun berhak untuk

menerima atau menolak penunjukan tersebut. Dalam proses Arbitrase

LAPSPI para pihak harus menyepakati terlebih dahulu bentuk

Arbitrase, apakah akan berbentuk Arbiter tunggal atau berbentuk

Majelis Arbiter (berjumlah tiga orang Arbiter atau lebih, dan harus

berjumlah ganjil).

f) Syarat Menjadi Arbiter

Pada dasarnya yang bisa ditunjuk oleh Pemohon dan

Termohon sebagai Arbiter di dalam Arbitrase LAPSPI adalah mereka

yang tercantum di dalam Daftar Arbiter LAPSPI. Namun, apabila

Pemohon dan/atau Termohon bermaksud menunjuk Arbiter dari luar

daftar tersebut, maka harus memenuhi persyaratan tertentu dan

mendapatkan persetujuan dari pengurus BAPMI.

Dalam menjalankan tugasnya, Arbiter harus menjunjung

tinggi kode etik, bersikap adil, netral dan mandiri, bebas dari pengaruh

dan tekanan pihak manapun, serta bebas dari benturan kepentingan


56

dari afiliasi, baik dengan salah satu pihak yang bersengketa (termasuk

kuasa hukumnya) maupun dengan persengketaan yang bersangkutan.

Apabila hal-hal tersebut dilanggar, maka Arbiter yang bersangkutan

harus berhenti atau diberhentikan dari tugasnya.

g) Jangka Waktu Pemeriksaan

Pemeriksaan dalam pokok perkara akan berlangsung paling

lama 180 hari terhitung sejak Arbiter tunggal ditunjuk/ Majelis

Arbitrase terbentu, tanpa dihitung keperluan pemeriksaan atas eksepsi

dan tuntutan professional lainnya jika ada. Arbiter Tunggal/Majelis

Arbitrase dapat memperpanjang jangka waktu tersebut berdasarkann

alasan tertentu atau dengan persetujuan Pemohon dan Termohon.

Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan segera

ditutup dan Arbiter menetapkan hari sidang untuk mengucapkan

Putusan Arbitrase paling lama 30 hari.

h) Biaya-Biaya Arbitrase

Biaya dan imbalan untuk proses Arbitrase LAPSPI, terdiri dari:

1) Biaya Pendaftaran, yakni biaya ini harus dibayar lunas oleh


Pemohon pada saat mendaftarkan permohonan Arbitrase LAPSPI.
2) Biaya Pemeriksaan, yakni merupakan pengeluaran nyata untuk
persidangan, antara lain biaya pemakaian ruangan sidang,
tranportasi dan akomodasi pemeriksaan setempat, dan transportasi
dan akomodasi saksi/saksi ahli, penggandaan dokumen, konsumsi
dan lain lain. Biaya pemeriksaan ini dibayar oleh Pemohon dan
Termohon sebelum dimulainya pemeriksaan yang bersangkutan
dalam bentuk deposit yang akan diperhitungkan kemudian.
3) Biaya Arbiter, yakni imbalan atas penggunaan layanan Arbitrase
LAPSPI yang harus dibayar oleh Pemohon dan Termohon secara
pro-rata sebelum sidang pertama dimulai.
57

4) Biaya Pelaksanaan, yakni biaya yang terkait dengan pelaksanaan


Putusan Arbitrase, meliputi biaya pendaftaran putusan sampai
biaya eksekusi apabila Putusan Arbitrase tidak dilaksanakan secara
sukarela sehingga membutuhkan biaya untuk permohonan perintah
eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat.

i) Alasan Memilih Arbitrase LAPSPI

Ada beberapa alasan mengapa para pihak yang bersengketa

memilih Arbitrase LAPSPI untuk menyelesaikan sengketanya:

1) Para pihak yang bersengketa sudah tidak dapat lagi melanjutkan


perundingan;
2) Para pihak yang bersengketa menghendaki cara penyelesaiannya
yang lebih mempertimbangkan benar salah menurut hukum;
3) Para pihak yang bersengketa menginginkan putusan yang final dan
mengikat, namun tidak ingin menempuh jalur litigasi karena akan
memakan waktu yang lama dan biaya yang besar;
4) Para pihak yang bersengketa menghendaki cara yang lebih mudah,
lebih cepat dan lebih efisien;
5) Para pihak yang bersengketa ingin menyelesaikan sengketa melalui
forum yang tertutup untuk umum;
Berdasarkan penjelasan di atas, telah diketahui ada beberapa cara

dalam penyeleseaian sengketa di luar pengadilan yaitu mediasi, ajudikasi, dan

arbitrase. Berikut penjabaran perbedaan alternatif penyelesaian sengketa di

luar pengadilan:

NO MEDIASI AJUDIKASI ARBITRASE


1 Para pihak sukarela Para pihak sukarela Para pihak sukarela
berkehendak berkehendak berkehendak
menyelesaikan sengketa menyelesaikan sengketa menyelesaikan sengketa
2 Yang memutus sengketa Yang memutus sengketa Yang memutus sengketa
adalah para pihak adalah ajudikator, bersifat adalah arbiter, yang
final dan mengikat disepakati oleh para
pihak
58

3 Keterlibatan pihak Keterlibatan pihak ketiga Keterlibatan pihak ketiga


ketiga dikehendaki dikehendaki sebagai dikehendaki sebagai
sebagai penengah pemutus sengketa karena pemutus masalah yang
karena keahliannya di ajudikator ditunjuk disengketakan karena
bidang yang menurut Peraturan dan arbiter yang dipilih
disengketakan Prosedur ajudikasi memang ahli dalam
bidang yang
bersangkutan

2. Penyelesaian Sengketa Nasabah Melalui Pengadilan

Sebagaimana telah dikemukakan, UUPK menyediakan fasilitas

penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan/litigasi dan di luar

pengadilan atau non litigasi.

Awalnya setiap sengketa diselesaikan melalui pengadilan,

sehingga pengadilan dijadikan the first and last resort dalam penyelesaian

sengketa. Secara prinsip, penegakan hukum hanya dilakukan oleh

kekuasaan kehakiman yang dilembagakan secara konstitusional yang

lazim disebut sebagai badan yudikatif. Dengan demikian yang berwenang

memeriksa dan mengadili sengketa hanya badan peradilan yang bernaung

di bawah kekuasaan kehakiman yang berpuncak di Mahkamah Agung

Republik Indonesia.

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman :

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana yang


dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
59

Pengadilan Negeri merupakan salah satu peradilan yang

mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa dalam masyarakat

termasuk penyelesaian sengketa akibat skimming pada sektor perbankan.

Tugas pokok pengadilan negeri adalah menerima, memeriksa dan

mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya

(Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970). Tugas pokok

tersebut dapat terlaksana apabila ada pengajuan sengketa atau perkara oleh

pihak yang bersengketa ke pengadilan.

Kartu ATM merupakan produk yang dikeluarkan oleh bank yang

dalam pengoperasiannya berada di bawah pengawasan pihak bank. Oleh

karena itu bank harus bertanggungjawab terhadap keamanan produk yang

dikeluarkannya.

Maraknya kejahatan yang terjadi dalam bidang perbankan,

seperti pencurian dana nasabah bank melalui modus skimming

mempengaruhi stabilitas dan rasa aman bagi nasabah bank. Kemajuan

tehnologi informasi yang menjadi nilai awal dari keberadaan cyber crime,

secara yuridis dapat membawa dampak pada hukum yang mengatur

tentang hal tersebut.

Pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan atau pelanggaran

pelaku usaha melalui pengadilan umum menurut Pasal 46 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

meliputi:
60

a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.


b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhu syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan atau
yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas
bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk
kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan
sesuai dengan anggaran dasarnya.
d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang
besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Dari ketentuan Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di atas diketahui bahwa yang

berwenang untuk mengajukan gugatan ke peradilan umum adalah

konsumen yang dirugikan atau oleh ahli warisnya, sekelompok konsumen

yang mempunyai kepentingan yang sama, Lembaga Perlindungan

Konsumen Swadaya Masyarakat dan Pemerintah.

Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo bahwa penyelesaian

sengketa konsumen melalui peradilan umum hanya memungkinkan

apabila:49

a. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa di luar


pengadilan, atau
b. Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dinyatakan
tidak berhasil oleh salah satu pihak yang bersengketa.

Penyelesaian sengketa konsumen dengan menggunakan hukum

acara baik secara perdata, pidana maupun melalui hukum administrasi

negara, membawa keuntungan dan kerugian bagi konsumen dalam proses

perkaranya. Antara lain tentang beban pembuktian dan biaya pada pihak

yang menggugat.
49
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2007 hlm. 234
61

Pada kasus pencurian dana nasabah melalui modus skimming,

dapat dilihat ada unsur kegagalan bank, baik dari sistem atau tehnologi

yang mereka gunakan. Terbukti dengan kebobolannya mesin ATM

sehingga merugikan nasabah.

Bank sudah menbayar ganti kerugian yang dialami nasabah

akibat skimming tersebut, tetapi nasabah disini telah mengalami kerugian

materil maupun immaterial yaitu salah satunya nasabah mendapatkan

denda karena terlambat membayar cicilan karena kasus skimming tersebut.

Dalam hal ini, pihak bank tidak mau bertanggung jawab karena pihak bank

hanya berkewajiban mengganti kerugian yang diakibatkan oleh skimming

saja, tanpa memikirkan dampak bagi nasabah.

Nasabah merasa sangat dirugikan akan hal ini oleh sebab itu

nasabah yang gagal mendapatkan ganti kerugian dari pihak bank dapat

menempuh penyelesaian sengketa melalui pengadilan.

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan tidak mungkin akan

dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah

pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak

akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang

kalah.

Sengketa yang diselesaikan melalui Pengadilan, ada beberapa hal


yang perlu dipertimbangkan oleh kedua belah pihak selain waktu
dan biaya yang harus dikeluarkan cukup banyak, juga identitas
para pihak yang bersengketa akan diketahui oleh masyarakat.
Masalah lainnya adalah bahwa penyelesaian sengketa melalui
pengadilan prosesnya cukup lama. Hal ini tiada lain karena
proses litigasi ada beberapa tingkatan yang harus dilalui, yakni
tingkat pertama di Pengadilan Negeri (PN); tingkat kedua di
62

Pengadilan Tinggi (PT) untuk tingkat banding, dan tingkat ketiga


adalah Mahkamah Agung (MA) sebagai tingkat kasasi yang
merupakan instansi terakhir dalam hierarki lembaga peradilan.50

Suatu perkara lama selesai karena wilayah hukum dari

Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi itu luas, di samping itu setiap hari

selalu saja terjadi perkara dan perkara tersebut menumpuk di Mahkamah

Agung sehingga butuh waktu yang lama untuk putusannya. Selain itu,

putusan yang diambil oleh hakim belum tentu benar-benar adil, karena

hakim biasanya memiliki pengetahuan umum atas suatu perkara.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan

sebelumnya, maka penulis menarik beberapa kesimpulan atas hasil analisis

tersebut yaitu:

1. Perlindungan hukum bagi nasabah pengguna kartu ATM yang bermasalah

adalah harus berpedoman pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

Tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011

Tentang Otoritas Jasa Keuangan khususnya pada Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Jasa

Keuangan.

50
http://marullohtekindustri.blogspot.co/id/2016/06/penyelesaian-sengketa-perusahaan-
secara.html?m=1, Diakses Pada Tanggal 03 Mei 2017 Pukul 17.08 Wita
63

2. Penyelesaian sengketa akibat skimming pada sektor perbankan adalah

pihak bank akan bertanggung jawab dengan cara mengganti dana atas

kerugian bagi nasabah akibat adanya kejahatan skimming data pada

nasabah, selaian itu, penyelesaian sengketa juga dapat dilakukan pada

Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI)

sesuai dengan arahan Otoritas Jasa Keuangan terkaiat sengketa pada sekor

jasa keuangan.

3.
4.
5.
6. ditempuh melalui jalur non litigasi dan melalui jalur litigasi. Dalam

penyelesaian sengketa para pihak lebih mengutamakan penyelesaian

sengketa melalui non litigasi yaitu apabila benar rekening nasabah tersebut

menjadi korban skimming maka bank akan bertanggung jawab terhadap

pengembalian dana nasabah tersebut. Sedangkan penyelesaian sengketa

melalui jalur litigasi yaitu apabila bank sudah menbayar ganti kerugian

yang dialami nasabah akibat skimming tersebut, tetapi nasabah disini telah

mengalami kerugian materil maupun immaterial yaitu salah satunya

nasabah mendapatkan denda karena terlambat membayar cicilan karena

kasus skimming tersebut. Dalam hal ini, pihak bank tidak mau

bertanggung jawab karena pihak bank hanya berkewajiban mengganti


64

kerugian yang diakibatkan oleh skimming saja tanpa memikirkan dampak

bagi nasabah, akhirnya nasabah yang tidak puas menempuh upaya hukum

melalui pengadilan.

B. Saran

Saran yang dapat dikemukakan berdasarkan permasalahan dan

pembahasan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Agar pemerintah menerbitkan peraturan perundang-undangan yang

mewajibkan pihak bank meningkatkan keamanan mesin ATM yang

dimiliki oleh bank dan menerapkan sanksi yang berat terhadap bank yang

tidak melaksanakan hal tersebut sehingga dapat melindungi nasabah dari

kejahatan penggandaan kartu ATM.


2. Agar bank lebih berhati-hati ketika sedang bekerja sama dengan vendor

yang mungkin lalai.


3. Agar para nasabah agar lebih waspada dan berhati-hati dalam melakukan

transaksi di mesin ATM serta selalu melakukan penggantian nomor PIN

ATM secara berkala untuk meminimalisir kemungkinan resiko menjadi

korban penggandaan kartu ATM.


65

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
A. Abdurachman, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan,
Pradnya Paramita, Jakarta, 1993

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja


Grafindo Persada, Jakarta, 2007

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,


Rajawali Pers, Jakarta, 2012

Celina Tri Siwi Kristiyanti , Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar


Grafika, Jakarta, 2008

H. Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi, Yogyakarta, 2005


Hermansyah ,Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta,
2005

Intan Nur Rahmawanti dan Rukiyah Lubis, Win-Win Solution Sengketa


Konsumen, Pustaka Yustisia, Yogyakarta,2014

Lukman Santoso Az, Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank, Pustaka
Yustisia, 2011

Mahesa Jati Kusuma, Hukum Perlindungan Nasabah Bank, Nusa Media,


Bandung, 2012

Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, PT.Citra Aditya


Bakti, Bandung, 2006

Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, PT.Citra Aditya Bakti,


Bandung, 2003

Nurnaningsih Amriani, MEDIASI Alternatif Penyelesaian Sengketa


Perdata di Pengadilan, PT.Rajagrafindo Persada, Jakarta

Pulo Siregar, Resiko Kartu ATM (Manfaat & Tips Aman Bertransaksi
Dengan Kartu ATM), Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2010
66

Ratna Syamsiar, Hukum Perbankan, Justice Publisher, Bandar Lampung,


2014

Rizal Ramadhani, Likuidasi Terhadap Bank Yang Berbentuk Hukum


Perusahaan Daerah, Buletin Hukum Perbankan dan
Kebanksentralan, Volume 4 Nomor 3, Desember 2006

Ronny Sautama Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap


Produk Tabungan dan Deposito (Suatu Tinjuan Hukum Terhadap
Perlindungan Deposan Di Indonesia Dewasa Ini), Citra Aditya
Bhakti, Bandung, 1994

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta,


2000

Siti Sundari, Laporan Kompendium Hukum Bidang Perbankan,


(Kementerian Hukum dan HAMRI, 2011)

Sudarsono dan Edilius, Kamus Ekonomi: Uang dan Bank, PT.Rineka


Cipta, Jakarta, 2007

Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, PT.Citra Aditya Bakti,


Bandung, 1999

Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang


Didambakan, PT.Alumni, Bandung, 2003

Thomas Suyatno, Kelembagaan Perbankan, Gramedia Pustaka Utama,


Jakarta, 1996

Veithzal Rivai, Bank and Financial Institution Managemen, Rajawali


Pres, Jakarta 2007

Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan


Konsumen, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2007

Wirdyaningsih, Bank Dan Asuransi Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta,


2005

Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan


Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997

Zainal Asikin, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo


Persada, Jakarta, 2016
67

B. Peraturan Perundang-undangan Sumber Lainnya

Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Atas Perubahan Undang-


Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182
Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3821
Indonesia, Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253
Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 10/01/PBI/2008 Atas Perubahan
Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi
Perbankan

C. Sumber Lainnya

www.citybank.co.id

https://lapspi.org/profile/

https://lapspi.org/mediasi/

https://lapspi.org/ajudikasi/

https://lapspi.org/arbitranse/

http://nevacipid.blogspot.co.id/2011/03/pengertian-sengketa.html?m=I
http://www.google.co.id/amp/s/m.tempo.co/amphtml/read/news/2016/10/2
7/058815667/ojk-327-nasabah-bri-mataram-laporkan-pembobolan-
rekening
http://marullohtekindustri.blogspot.co/id/2016/06/penyelesaian-sengketa-
perusahaan-secara.html?m=1
68

Anda mungkin juga menyukai