Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

Tonsilitis Kronik Hipertrofi

Pembimbing :
Dr. Pramusinto Adhy, Sp.THT-KL

Disusun Oleh:
Putri Intan Nurrahma
2012730147

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PENYAKIT THT


RUMAH SAKIT UMUM DERAH SEKARWANGI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
PERIODE 5 JUNI 9 JULI 2017
1
BAB I
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. US
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 37 tahun
Agama : Islam
Suku bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Parung Kuda, Sukabumi, Jawa Barat

B. Anamnesis
1. Keluhan utama:
Nyeri tenggorokan

2. Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang ke Poliklinik THT RSUD Sekarwangi dengan keluhan nyeri menelan sejak
5 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien merasa nyeri saat menelan makanan. Pasien
merasa ada yang mengganjal pada tenggorokan. Apabila tenggorokan sedang terasa nyeri,
telinga kanan juga terasa nyeri dan badan terasa demam. 3 minggu belakangan pasien
merasa dada terasa sesak. Terdapat batuk, tidak ada pilek, nafsu makan menurun.

3. Riwayat penyakit dahulu:


Pasien pernah mengalami hal yang sama sejak 2 tahun sebelumnya dan keluhan
tersebut dirasakan memberat 5 bulan terakhir, setiap bulan minimal 2x kambuh.
Pasien memiliki riwayat gastritis.
Riwayat Hipertensi dan Diabetes mellitus disangkal.

2
4. Riwayat penyakit keluarga:
Tidak ada keluhan yang sama di keluarga

5. Riwayat alergi:
Riwayat alergi makanan, debu, cuaca dan obat-obatan disangkal

6. Riwayat pengobatan:
Pasien sudah berobat ke dokter namun tidak ada perubahan

7. Riwayat Psikososial
Pasien seorang ibu rumah tangga, sehari-hari pasien sering mengkonsumsi makanan yang
pedas dan berminyak. Pasien juga sering mengkonsumsi minuman dingin seperti es.
Pasien tidak merokok dan mengkonsumsi alkohol.

C. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum : Baik


2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Berat badan : 57 Kg
4. Tanda Vital
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Penafasan : 20 x/menit, teratur
Nadi : 92 x/menit, teratur, kuat angkat
Suhu : 37.3C

Status Generalis

1. Kepala : Normocephal (+), rambut berwarna hitam (+), distribusi rata (+)
2. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+)
isokor 3mm
3. Telinga : Lihat status lokalis
4. Hidung : Lihat status lokalis
5. Mulut : Mukosa bibir lembab, sianosis (-), stomatitis (-)
6. Tenggorok : Lihat status lokalis
7. Leher : Lihat status lokalis
8. Thorax
a. Inspeksi : Kedua hemithoraks tampak simetris, retraksi sela iga (-)
b. Palpasi : Kedua hemithoraks terangkat simetris
c. Perkusi : Sonor pada semua lapang paru
d. Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
3
9. Jantung
a. Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
b. Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 5 linea midclavicularis sinistra
c. Perkusi : Batas jantung relatif dalam batas normal
d. Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular
10. Abdomen
a. Inspeksi : Simetris, cembung
b. Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (+)
c. Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran abdomen
d. Auskultasi : Bising usus (+) normal
11. Ekstremitas

a. Superior : Akral hangat, udema (-/-), RCT < 2 detik (+)


b. Inferior : Akral hangat, udema (-/-), RCT < 2 detik (+)

D. Status lokalis THT


1. Telinga

Tabel 1. Pemeriksaan Telinga

4
AD AS

Normotia, hematoma (-), Aurikula Normotia, hematoma (-),


perikondritis (-), helix sign (-), perikondritis (-), helix sign (-)
edema (-) edema (-)

Preaurikula
Peradangan (-), pus (-), nyeri Peradangan (-), pus (-), nyeri
tekan (-), Pembesaran KGB (-) tekan (-), Pembesaran KGB (-)

Retroaurikula
Peradangan (-), pus (-), nyeri Peradangan (-), pus (-), nyeri
tekan (-), Pembesaran KGB (-) tekan (-), Pembesaran KGB (-)

MAE
Hiperemis (-), udem(-), Hiperemis (-), udem(-),
serumen(-), sekret (-), serumen(-), sekret (-),
massa(-) massa(-)

Hiperemis (-), udem(-), Hiperemis (-), udem(-),


serumen(+) kering, sekret (-), KAE serumen(+) kering, sekret (-),
massa(-) massa(-)

Membran timpani
Intak, refleks cahaya (+) di jam Intak, refleks cahaya (+) di jam
5, hiperemis (+), retraksi (-) 7, hiperemis (-), retraksi (-)

+ Uji Rinne +

Lateralisasi (-) Uji Weber Lateralisasi (-)

Sama dengan pemeriksa Uji Schwabach Sama dengan pemeriksa

Interpretasi : Membran timpani aurikula dextra hiperemis


5
2. Hidung
a. Rinoskopi Anterior
Tabel 2. Pemeriksaan Hidung

Dextra Rhinoskopi anterior Sinistra

Hiperemis (-) Mukosa Hiperemis (-)


- Sekret -
Hipertrofi (-) Konka inferior Hipertrofi (-)
Deviasi (-) Septum Deviasi (-)
(-) Massa (-)
Normal Passase udara Normal

b. Sinus paranasal
Inspeksi : Pembengkakan kedua pipi (-), kemerahan kelopak mata bawah mata (-),
pembengkakan kelopak mata atas (-)
Palpasi : Nyeri tekan pipi (-), nyeri ketuk pipi (-), nyeri tekan medial atap orbita (-),
nyeri tekan kantus medius (-)

c. Tes penciuman
- Kanan : 11 cm, normal dengan kopi dan tembakau
- Kiri : 15 cm, normal dengan kopi dan tembakau
- Kesan : NDS normosmia

d. Transiluminasi
- Sinus maksilaris
Dekstra : Terang
Sinistra : Terang
Berbentuk seperti bulan sabit
- Sinus frontalis
Dekstra : Terang
Sinistra : Terang
Berbentuk seperti sarang tawon
- Kesan : sinus maksilaris dan sinus frontalis normal

3. Tenggorok
Tabel 3. Pemeriksaan Nasofaring

Naofaring (Rhinoskopi posterior)

Konka superior tidak dilakukan

Torus tubarius tidak dilakukan

6
Fossa Rossenmuller tidak dilakukan

Plika salfingofaringeal tidak dilakukan

Tabel 4. Pemeriksaan Orofaring

Dextra Pemeriksaan Orofaring Sinistra


Mulut
Hiperemis Mukosa mulut Hiperemis
Simetris (normal) bersih Lidah Simetris (normal) bersih
Simetris (normal) bersih Palatum molle Simetris (normal) bersih
Lubang (+) Gigi geligi Lubang (+)
Simetris (normal) bersih Uvula Simetris (normal) bersih
Tonsil
Hiperemis Mukosa Hiperemis

TIV Besar TIII

Melebar Kripta Melebar


+ Detritus +
- Perlengketan -
Faring
Tenang Mukosa Tenang
- Granula -
- Post nasal drip -

Tes Pengecapan

Manis Normal

Asin Normal

Asam Normal

Pahit Normal

7
C. Laringofaring

Tabel 5. Pemeriksaan Laringofaring

Laringofaring (Laringoskopi indirect)

Epiglotis tidak dilakukan

Plika ariepiglotika tidak dilakukan

Plika ventrikularis tidak dilakukan

Plika vokalis tidak dilakukan

Rima glotis tidak dilakukan

8
4. Pemeriksaan Maksilofasial
Tabel 6. Pemeriksaan Maksilofasial

Dextra Nervus Sinistra

I. Olfaktorius
Normosmia
Normosmia Penciuman
II. Optikus
(+)
(+) Daya penglihatan (+)

(+) Refleks pupil

III. Okulomotorius

(+) Membuka kelopak mata (+)

(+) Gerakan bola mata ke superior (+)

(+) Gerakan bola mata ke inferior (+)

(+) (+)
Gerakan bola mata ke medial
(+) (+)
Gerakan bola mata ke

laterosuperior
IV. Troklearis
(+)
(+) Gerakan bola mata ke lateroinferior
V. Trigeminal

Tes sensoris

(+) Cabang oftalmikus (V1) (+)

(+) Cabang maksila (V2) (+)

(+) Cabang mandibula (V3) (+)


VI. Abdusen
(+)
(+) Gerakan bola mata ke lateral
VII. Fasial

9
(+) Mengangkat alis (+)

(+) Kerutan dahi (+)

(+) Menunjukkan gigi (+)

(+) (+)
Daya kecap lidah 2/3 anterior
VIII. Akustikus
Normal
Normal Tes garpu tala
IX. Glossofaringeal
(+)
(+) Refleks muntah (+)
Daya kecap lidah 1/3 posterior
(+)
X. Vagus
(+)
(+) Refleks muntah dan menelan (-)
Simetris
(-) Deviasi uvula

Simetris Pergerakan palatum


XI. Assesorius

(+) Memalingkan kepala (+)

(+) Kekuatan bahu (+)


XII. Hipoglossus

(-) Tremor lidah (-)

(-) Deviasi lidah (-)

5. Leher
Tabel 7. Pemeriksaan Kelenjar Tiroid dan Kelenjar Getah Bening (KGB)

Dextra Pemeriksaan Sinistra

Pembesaran (-) Tiroid Pembesaran (-)

Pembesaran (-) Kelenjar submental Pembesaran (-)

Pembesaran (+) Kelenjar submandibula Pembesaran (-)

Pembesaran (-) Kelenjar jugularis superior Pembesaran (-)


10
Pembesaran (-) Kelenjar jugularis media Pembesaran (-)

Pembesaran (-) Kelenjar jugularis inferior Pembesaran (-)

Pembesaran (-) Kelenjar suprasternal Pembesaran (-)

Pembesaran (-) Kelenjar supraklavikularis Pembesaran (-)

E. Resume
Perempuan berusia 37 tahun, datang dengan keluhan nyeri menelan sejak 5 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Pasien merasa nyeri saat menelan makanan. Pasien merasa ada
yang mengganjal pada tenggorokan. Apabila tenggorokan sedang terasa nyeri, telinga kanan
juga terasa nyeri dan badan terasa demam. 3 minggu belakangan pasien merasa dada terasa
sesak. Batuk (+), pilek (-), nafsu makan menurun. Pasien pernah mengalami hal yang sama
sejak 2 tahun sebelumnya dan keluhan tersebut dirasakan memberat 5 bulan terakhir, setiap
bulan 2x kambuh. Pasien sering mengkonsumsi makanan yang pedas dan berminyak serta
minuman dingin.
Pada pemeriksaan fisik status generalis dalam batas normal. Status THT hasil
pemeriksaan telinga kanan tampak hiperemis pada membran timpani dan pemeriksaan
tenggorok menunjukkan tonsil tampak hiperemis, besar derajat tonsil kanan dan kiri T IV/TIII,
kripta tampak melebar, detritus (+). Terdapat pembesaran KGB submandibula dekstra.
F. Diagnosis Banding
1. Tonsillitis kronik hipertrofi
2. Abses peritonsiller dekstra

G. Diagnosa Kerja
Tonsillitis kronik hipertrofi

H. Pemeriksaan Penunjang
Hematologi rutin: Hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit, masa
perdarahan, dan masa pembekuan

I. Penatalaksanaan
1. Nonmedikamentosa
Menghindari minum es, makan makanan pedas, dan gorengan
Makan makanan 4 sehat 5 sempurna
Menjaga kebersihan mulut
11
2. Medikamentosa
Coamoksiklav tablet 500 mg 2 x 1
Parasetamol tablet 500 mg 3 x 1
Ambroksol 30 mg 2 x 1
Cetirizine 10 mg 1 x 1 (malam)
3. Rencana Tindakan
Tonsillektomi diseksi
(Indikasi relatif operasi)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Faring

Gambar 1. Potongan sagital rongga hidung, rongga mulut, faring, dan laring.

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di
bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus
12
menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan
dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui
ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan
ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang
dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang.
Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput lendir, fasia faringobasiler,
pembungkus otot, dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring,
orofaring, dan laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir
(mucous blanket) dan otot.1
1. Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofaring
karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedamng epitelnya
torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan
laringofaring, karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya berlapis gepeng dan tidak
bersilia. 1
Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak
dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial. Oleh
karena itu faring dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan. 1
2. Palut lendir (mucous blanket)
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung. Di
bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak di atas silia dan bergerak
sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini mengandung enzim lysozyme
yang penting untuk proteksi. 1
3. Otot
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang
(longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m. Konstriktor faring superior, media,
dan inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar. Otot-otot ini berbentuk kipas dengan
tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di sebelah
depan, otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu pada jaringan ikat
yang disebut rafe faring (raphe pharyngis). Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan
lumen faring. Otot-otot ini dipersarafai oleh n.Vagus (n.X). 1
13
Otot-otot yang longitudinal adalah m.Stilofaring dan m. Palatofaring. Letak otot-
otot ini di sebelah dalam. M.Stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan menarik
laring, sedangkan m.palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian
bawah faring dan laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai elevator. Kerja kedua otot itu
penting sewaktu menelan. M. Stilofaring dipersarafi oleh n.IX sedangkan m. Palatofaring
dipersarafi oleh n.X. 1
Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu
sarung fasia dari mukosa yaitu m. Levator veli palatini, m. Tensor veli palatini, m.
Palatoglosus, m. Palatofaring, dan m. Azigos uvula. 1
a. M.Levator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan kerjanya untuk
menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba Eustachius. Otot ini
dipersarafi oleh n. X.
b. M.Tensor veli palatini membentuk tenda palatum mole dan kerjanya untuk
mengencangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba Eustachius. Otot ini
dipersarafi oleh n. X.
c. M.Palatoglosus membentuk arkus anterior faring dan kerjanya menyempitkan ismus
faring. Otot ini dipersarafi oleh n. X.
d. M.Palatofaring membentuk arkus posterior faring. Otot ini dipersarafi oleh n. X.
e. M.Azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek dan menaikkan
uvula ke belakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n. X.

Gambar 2. Rongga mulut

14
Pendarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang
utama berasal dari cabang a. Karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang fasial) serta
dari cabang a. Maksila interna yakni cabang palatina superior. 1
Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus daring yang ekstensif.
Plesksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.Vagus, cabang dari n. Glososfaring dan serabut
simpatis. Cabang faring dari n. Vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif
ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali m. Stilofaring yang dipersarafi langsung
oleh cabang n. Glosofaring (n.IX). 1

Kelenjar getah bening


Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior, media, dan
inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar getah
bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-
digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar
getah bening dalam bawah. 1

Pembagian faring

Gambar 3. Pembagian nasofaring


15
Berdasarkan letaknya faring dibagi atas:
1. Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah
palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah verrtebra
servikal. 1
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan dengan beberapa
struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan
resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan
invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus Tubarius, suatu refleksi mukosa
faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen Jugulare, yang dilalui
oleh n. Glosofaring, n.Vagus, dan n.Asesorius spinal saraf kranial dan v.Jugularis interna,
bagian petrosus os.Temporalis dan foramen laserum, dan muara tuba Eustachius. 1
2. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atanya adalah palatum mole,
batas bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke
belakang adalah vertebra servikal. 1
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterio faring, tonsil
palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual, dan
foramen sekum. 1

Dinding posterior faring


Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat dalam radang
akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian
tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole
berhubungan dengan gangguan n. Vagus. 1

Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya
adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole)
terdapat suatu ruang kecil yang dinamanakan fosa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan
ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses.
Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring, dan disebut
kapsul yang sebenarnya bukan merupakan kapsul yang sebenarnya. 1

16
Tonsil

Gambar 4. Cincin Waldeyer

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan
ikat dengan kriptus di dalamnya. 1
Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina, dan
tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer.
Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub
atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring
yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan medial
tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Di dalam
kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri, dan sisa
makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut
kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring sehingga mudah dilakukan
diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari a. Palatina minor, a. Palatina
asendens, cabang tonsil a. Maksila eksterna, a. Faring asendens, dan a. Lingualis dorsal.
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
Glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum
pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-
kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat
penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus. 1
3. Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior
ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior adalah vertebra servikal.
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak
17
langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur
pertama yang tampak di bawah dasar lidah adalah valekula. Bagian ini merupakan dua
buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum
glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga kantong pil (pills pocket),
sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu. 1
Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan
pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil
(bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat
menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak
langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi
(proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut
menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. 1
Nervus Laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian analgesia lokal di faring
dan laring pada tindakan laringoskopi langsung. 1

B. Fisiologi Faring
Fungsi faring yang utama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi
suara, dan untuk artikulasi. 1,7
1. Fungsi menelan
Terdapat 3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase faringeal, dan
fase esofageal. Fase oral (voluntary), bolus makanan dari mulut menuju ke faring.
Fase faringeal (involuntary) yaitu pada waktu transpor bolus makanan melalui
faring. Fase esofagal (involuntary) yaitu pada waktu bolus makanan bergerak
secara peristaltik di esofagus menuju lambung. 1
2. Fungsi faring dalam proses bicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot
palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole ke
arah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan
melibatkan mula-mula m. Salfingofaring dan m. Palatofaring, kemudian m.
Levator veli palatini bersama-sama m. Konstriktor faring superior. Pada gerakan

18
penutupan nasofaring m. Levator veli palatini menarik palatum mole ke atas
belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi
oleh tonjolan Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam
mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m. Palatofaring
(bersama m. Salfingofaring) dan oleh kontraksi aktif m.Konstriktor faring
superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu yang bersamaan. 1
Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode
fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang
secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum. 1

A. Anatomi Tonsil
Tonsil atau yang lebih sering dikenal dengan amandel adalah massa yang terdiri
dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya, bagian
organ tubuh yang berbentuk bulat lonjong melekat pada kanan dan kiri tenggorok.
Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil lingual
yang membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil terletak dalam sinus
tonsilaris diantara kedua pilar fausium dan berasal dari invaginasi hipoblas di tempat ini.
Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak didalam fosa tonsil. 1
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan arkus faring posterior. Arkus
faring anterior dibentuk oleh muskulus Palatoglosus yang kerjanya menyempitkan ismus
faring, otot ini dipersarafi oleh nervus Vagus (N.X). Sedangkan arkus faring posterior
dibentuk oleh muskulus palatofaring, otot ini juga dipersarafi oleh nervus Vagus (N.X).
Batas lateral fosa tonsil adalah muskulus Konstriktor faring superior. Pada batas atas
yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fosa
supra tonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah
memecah keluar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian
dari fasia bukofaring, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan kapsul yang
1
sebenarnya.

19
Gambar 5. Cincin Waldeyer

Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa
kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut
kriptus. Epitel yang melapisi tonsil adalah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. 1
Didalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas,
bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering
juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah
dilakukan diseksi pada tonsillektomi. Tonsil mendapat darah dari arteri Palatina minor,
arteri Palatina asendens, cabang tonsil arteri Maksila eksterna, arteri Faring asendens dan
arteri Lingualis dorsal. 1
Tonsil lingual terletak didasar lidah dan dibagi menjadi 2 oleh ligamentum
glosoepiglotika. Digaris tengah, disebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum
pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-
kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat
penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglossus. 1

Tonsil diperdarahi oleh beberapa cabang pembuluh darah, yaitu: 1


- A. Palatina ascenden, cabang A. Fasialis, memperdarahi daerah postero-inferior
- A. Tonsilaris, cabang A. Fasialis, memperdarahi daerah antero-inferior

20
- A. Lingualis dorsalis, cabang A. Maksilaris interna, memperdarahi daerah antero-
media
- A. Faringeal ascenden, cabang A. Karotis eksterna, memperdarahi daerah postero-
superior
- A. Palatida descenden dan cabangnya, A. Palatina mayor dan A. Palatina minor,
memperdarahi daerah antero-superior
Daerah vena dialirkan melalui pleksus venosus perikapsular ke V. Lingualis dan
pleksus venosus faringeal, yang kemudian bermuara ke V. Jugularis interna. Pembuluh
darah vena tonsil berjalan dari palatum, menyilang bagian lateral kapsula dan selanjutnya
menembus dinding faring. 1

Gambar 6. Vaskularisasi tonsil

Tonsil tidak mempunyai sistem limfatik aferen. Aliran limfe dari parenkim tonsil
ditampung pada ujung pembuluh limfe eferen yang terletak pada trabekula yang
kemudian membentuk pleksus pada permukaan luar tonsil dan berjalan menembus M.
konstrikstor faringeus superior, selanjutnya menembus fasia bukofaringeus dan akhirnya
menuju kelenjar servikalis profunda yang terletak sepanjang pembuluh darah besar leher,
dibelakang dan di bawah arkus mandibula. Kemudian aliran limfe ini dilanjutkan ke
nodulus limfatikus daerah dada, untuk selanjutnya bermuara ke duktus toraksikus. 1

21
Gambar 7. Aliran limfe tonsil

Inervasi tonsil terutama melalui N. Palatina mayor dan minor (cabang N. V2) dan
N. Lingualis (cabang N. IX). Nyeri pada tonsillitis sering menjalar ke telinga, hal ini
terjadi karena N. IX juga mempersarafi membran timpani dan mukosa telinga tengah
melalui Jacobsons nerve. 1
Peranan tonsil dalam mekanisme pertahanan tubuh masih diragukan meskipun
fungsinya memproduksi sel-sel limfosit. Berdasarkan penelitian, ternyata tonsil
memegang peranan penting dalam fase-fase awal kehidupan, terhadap infeksi mukosa
nasofaring dari udara pernafasan sebelum masuk kedalam saluran nafas bagian bawah. 1
Hasil penelitian, mengenai kadar antibodi tonsil menunjukkan bahwa parenkim
tonsil memang mampu memproduksi antibodi. Penelitian terakhir menyatakan bahwa
tonsil memegang peranan dalam memproduksi IgA, yang menyebabkan jaringan lokal
resisten terhadap organisme patogen. 1
Sewaktu baru lahir tonsil secara histologis tidak mempunyai centrum
germinativum, biasanya berbentuk kecil. Setelah antibodi ibu habis, barulah mulai
terjadi pembesaran tonsil dan adenoid, yang pada permulaan kehidupan masa kanak-
kanak dianggap normal dan dipakai sebagai indeks aktifitas sistem imun. Pada waktu

22
pubertas atau sebelum masa pubertas, terjadi kemunduran fungsi tonsil yang disertai
proses involusi. 1
Organisme-organisme patogen yang terdapat pada flora normal tonsil dan faring
tidak menimbulkan peradangan, karena pada daerah ini terdapat mekanisme pertahanan
dan hubungan timbal balik antara berbagai jenis organisme. 1
B. Tonsillitis
Tonsillitis adalah inflamasi pada tonsila palatina yang disebabkan oleh infeksi
virus atau bakteri. Saat bakteri dan virus masuk ke dalam tubuh melalui hidung atau
mulut, tonsil berfungsi sebagai filter/penyaring menyelimuti organisme yang berbahaya
tersebut dengan sel-sel darah putih. Hal ini akan memicu sistem kekebalan tubuh untuk
membentuk antibody terhadap infeksi yang akan datang. Tetapi bila tonsil sudah tidak
dapat menahan infeksi dari bakteri atau virus tersebut maka akan timbul tonsillitis. Dalam
beberapa kasus ditemukan 3 macam tonsillitis, yaitu tonsillitis akut, tonsillitis
membranosa, dan tonsillitis kronis.3
1. Tonsilitis akut
a. Etiologi
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus
hemolitikus, Pneumokokus, Streptokokus viridans, dan Streptokokus pyogenes.
Hemophylus influenzae merupakan penyebab tonsillitis akut supuratif. 3
b. Patofisiologi
Penularan penyakit ini terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi
lapisan epitel, kemudian bila kuman ini mengikis maka jaringan limfoid
superficial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan
leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini
mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kuning. 2,3
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis
folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur

23
maka akan terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar
sehingga terbentuk membran semu (pseudomembrane) yang menutupi tonsil. 2,3
Gambar 8. Tonsillitis akut

c. Manifestasi klinik
Gejala dan tanda-tanda yang ditemukan dalam tonsillitis akut ini meliputi
demam dengan suhu tubuh yang tinggi, nyeri tenggorok dan nyeri sewaktu
menelan, nafas yang berbau, rasa lesu, rasa nyeri di persendian, tidak nafsu
makan, dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri ditelinga ini karena nyeri
alih (referred pain) melalui saraf n.Glosofaringius (n.IX). 3
Pada pemeriksaan juga akan nampak tonsil membengkak, hiperemis, dan
terdapat detritus berbentuk folikel, lacuna atau tertutup oleh membrane semu.
Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan. 3
d. Komplikasi
Otitis media akut (pada anak-anak), abses peritonsil, abses parafaring,
toksemia, septicemia, bronchitis, nefritis akut, miokarditis, dan arthritis. 3
e. Pemeriksaan
1) Tes Laboratorium
Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan apakah bakteri yang ada
dalam tubuh pasien merupakan bakteri grup A, karena grup ini disertai dengan
demam reumatik, glomerulonefritis. 3
2) Pemeriksaan penunjang
Kultur dan uji resistensi bila diperlukan. 3
f. Perawatan
Perawatan yang dilakukan pada penderita tonsillitis biasanya dengan
perawatan sendiri dan dengan menggunakan antibiotic.Tindakan operasi hanya
dilakukan jika sudah mencapai tonsillitis yang tidak dapat ditangani sendiri. 3
1) Perawatan sendiri
Apabila penderita tonsillitis diserang karena virus sebaiknya biarkan virus itu
hilang dengan sendirinya. Selama satu atau dua minggu sebaiknya penderita
banyak istirahat, minum minuman hangat.
24
2) Antibiotik
Jika tonsillitis disebabkan oleh bakteri maka antibiotic yang akan berperan
dalam proses penyembuhan. Antibiotik oral perlu dimakan selama setidaknya
10 hari.
3) Tindakan operasi
Tonsillektomi biasanya dilakukan jika pasien mengalami tonsillitis selama
tujuh kali atau lebih dalam setahun, pasien mengalami tonsillitis lima kali atau
lebih dalam dua tahun, tonsil membengkak dan berakibat sulit bernafas,
adanya abses.

25
2. Tonsilitis Membranosa

Tonsillitis membranosa adalah radang akut tonsil disertai pembentukan selaput atau
membrane pada permukaan tonsil yang dapat meluas kesekitarnya. Bila eksudat yang
menutupi permukaan tonsil yang bengkak menyerupai membran. Membran ini biasanya
mudah diangkat atau dibuang dan berwarna putih kekuning-kuningan. 3

a. Tonsillitis difteri

Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada bayi dan
anak. Penyebab tonsillitis difteri ialah kuman Coryne bacterium diphteriae, kuman yang
termasuk dalam gram positif dan hidung disaluran nafas bagian atas yaitu hidung, faring,
dan laring. 3

Tonsillitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan
frekuensinya tertinggi pada usia 2 5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin
menderita penyakit ini. 3

Gejala dan Tanda

Dibagi kedalam tiga golongan: 3

a. Gejala umum, sama seperti dengan gejala infeksi lainnya seperti; kenaikan suhu, tidak
nafsu makan, badan lemah, nyeri kepala, nyeri menelan, dan nadi melambat.
b. Gejala Lokal, tampak tonsil membengkak ditutupi oleh bercak putih kotor yang semakin
lama semakin meluas dan membentuk membrane semu, kemudian meluas hingga
palatume mole, uvula, nasofaring, laring, trakea, dan bronkus yang dapat menghambat
saluran nafas. Bila penyakit ini berkembang terus kelenjar limfe leher akan membengkak
dan disebut dengan bull neck ( leher sapi ).
c. Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman yang dapat menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh seperti jantung menjadi miokarditis sampai dekompensasi
kordis, kemudian mengenai safar cranial yang dapat menyebabkan kelumpuhan otot
palatum dan otot-otot pernafasan dan ginjal menimbulkan albuminuria.

Diagnosis

26
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemerikasaan refarat
kuman yang diambil dari permukaan membrane semu dan didapatkan kuman
Corynebacterium diptheriae. 3

Gambar 9. Tonsillitis difteri

Terapi 3

- Antibiotik Penisilin / Eritromisin 25 50 mg/ kgBB dalam 3 dosis selama 14 hari


- Kortikosteroid 1,2 mg/kgBB per hari
- Anti difteri serum (ADS) diberikan tanpa menunggu hasil kultur dengan dosis 20.000
sampai dengan 100.000 ribu unit, tergantung dari umur dan berat penyakit

Komplikasi

Dapat terjadi laryngitis difteri dengan cepat, membrane semu menjalar ke laring
dan menyebabkan sumbatan. Makin muda usia pasien makin cepat timbul komplikasi.
Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata akomodasi , otot faring serta otot laring.
Albuminemia sebagai akibat komplikasi ke ginjal. 3

27
b. Tonsilitis Septik

Penyebab tonsillitis septik adalah Streptococcus hemoliticus yang terdapat dalam


susu sapi sehingga dapat timbul epidemic. Oleh karena di Indonesia susu sapi dimasak
dulu dengan cara pasteurisasi sebelum diminum. Gejalanya antara lain demam tinggi,
sakit sendi, malaise, nyeri kepala, mual dan muntah. Tanda klinis yaitu mukosa faring dan
tonsil hiperemis, bercak putih, edema sampai uvula, mulut bau. Terapi yaitu pemeberian
antibiotic dan terapi simptomatik. 3

Gambar 10. Tonsillitis septik

c. Angina Plaut Vincent ( Stomatitis Ulsero Membranosa )

Penyebabnya adalah bakteri spinochaeta atau triponema yang didapatkan pada


penderita dengan hygiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C. 3

Gejala

Demam sampai 39 C, nyeri kepala, badan lemah, gangguan pencernaan, nyeri


dimulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah. 3

Pemeriksaan

28
Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membrane putih keabuan diatas
tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveoluris, mulut berbau dan kelenjar sub
mandibula membesar. 3

Gambar 11. Angina plaut vincent

Terapi

Antibiotika spectrum luas selama 1 minggu. Memperbaiki hygiene mulut. Vitamin


C dan vitamin B kompleks. 3

d. Penyakit Kelaianan Darah

Tidak jarang tanda pertama leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi
mononucleosis timbul difaring atau di tonsil yang tertutup membrane semu. Kadang
kadang terdapat perdarahan di selaput lender dan mulut dan faring serta pembesaran
submandibula. 3

Leukemia Akut

Gejala pertama berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan di bawah
kulit sehingga bercak kebiruan. Tonsil bengkak ditutupi membrane semu tetapi tidak
hiperemis dan rasa nyeri yang hebat di tenggorok. 3

29
Angina Agranulositosis

Penyebabnya adalah akibat keracunan obat dari golongan amidopirin, sulfa dan
asren. Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan faring serta di sekitar ulkus
tampak gejala radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan di genitalia dan saluran cerna. 3

Gambar 12. Angina agranulositosis

Infeksi Mononukleosis

Pada penyakit ini terjadi tonsilo faringitis ulsero membranosa bilateral. Membran
semu yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan. Terdapat
pembesaran kelenjar limfa leher, ketiak dan regioinguinal. Gambaran darah khas yaitu
terdapat leukosit mononukleus dalam jumlah besar. Tanda khas lain adalah kesanggupan
serum pasien untuk beraglutinasi terdapat sel darah merah domba ( reaksi Paul Bunnel ). 3

30
Gambar 13. Infeksi mononukleosis

3. Tonsilitis kronis
a. Etiologi
Bakteri penyebab tonsillitis kronis sama halnya dengan tonsillitis akut ,
namun terkadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan Gram negatif. 3
b. Faktor predisposisi
Higien mulut yang buruk, pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat,
rangsangan kronik karena rokok maupun makanan. 3
c. Patofisiologi
Karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jarinagan limfoid
terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan
jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok
melebar yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas hingga menembus kapsul
dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. 3
d. Pemeriksaan
1) Terapi
Terapi mulut (terapi lokal) ditujukan kepada higien mulut dengan
berkumur atau obat isap. 3

31
Terapi radikal dengan tonsillektomi bila terjadi infeksi yang berulang atau
kronik, gejala sumbatan serta curiga neoplasma. 3
2) Faktor penunjang
Kultur dan uji resistensi kuman dari sedian apus tonsil.

Gambar 14. Tonsilitis kronik


e. Komplikasi
Timbul rhinitis kronis, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum,
endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitus, dermatitis, pruritus,
urtikaria, dan furunkulosis. 3
f. Indikasi Tonsillektomi
Tonsilektomi menurut American Academy of Otolaryngology (AAO) adalah: 3
1) Indikasi Absolut
a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia
berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner.
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase.
c. Tonsillitis yang menimbulkan kejang demam.
d. Tonsillitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi
2) Indikasi Relatif
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat.
b. Halitosis akibat tonsillitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian
terapi medis.
32
c. Tonsillitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik -laktamase resisten
g. Teknik-Teknik Tonsillektomi
1. Guillotine
Tonsilektomi caraguillotine dikerjakan secara luas sejak akhir abad ke 19,
dan dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk mengangkat tonsil.
Namun tidak ada literatur yang menyebutkan kapan tepatnya metode ini mulai
dikerjakan. Tonsilotom modern atau guillotine dan berbagai modifikasinya
merupakan pengembangan dari sebuah alat yang dinamakan uvulotome.
Uvulotome merupakan alat yang dirancang untuk memotong uvula yang
edematosa atau elongasi.5
Kepustakaan lama menyebutkan beberapa keuntungan teknik ini yaitu
cepat, komplikasi anestesi kecil, biaya kecil. 5
2. Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Di
negara-negara Barat, terutama sejak para pakar bedah mengenal anestesi
umum dengan endotrakeal pada posisi Rose yang mempergunakan alat
pembuka mulut Davis, mereka lebih banyak mengerjakan tonsillektomi
dengan cara diseksi. Cara ini juga banyak digunakan pada pasien anak. 5
Walaupun telah ada modifikasi teknik dan penemuan peralatan dengan
desain yang lebih baik untuk tonsillektomi, prinsip dasar teknik tonsillektomi
tidak berubah. Pasien menjalani anestesi umum (general endotracheal
anesthesia). Teknik operasi meliputi: memegang tonsil, membawanya ke garis
tengah, insisi membran mukosa, mencari kapsul tonsil, mengangkat dasar
tonsil dan mengangkatnya dari fossa dengan manipulasi hati-hati. Lalu
dilakukan hemostasis dengan elektokauter atau ikatan. Selanjutnya dilakukan
irigasi pada daerah tersebut dengan salin. 5
Bagian penting selama tindakan adalah memposisikan pasien dengan
benar dengan mouth gag pada tempatnya. Lampu kepala digunakan oleh ahli
bedah dan harus diposisikan serta dicek fungsinya sebelum tindakan
dimulai.Mouth gag diselipkan dan bilah diposisikan sehingga pipa endotrakeal
33
terfiksasi aman diantara lidah dan bilah. Mouth gag paling baik ditempatkan
dengan cara membuka mulut menggunakan jempol dan 2 jari pertama tangan
kiri, untuk mempertahankan pipa endotrakeal tetap di garis tengah lidah.
Mouth gag diselipkan dan didorong ke inferior dengan hati-hati agar ujung
bilah tidak mengenai palatum superior sampai tonsil karena dapat
menyebabkan perdarahan. Saat bilah telah berada diposisinya dan pipa
endotrakeal dan lidah di tengah, wire bail untuk gigi atas dikaitkan ke gigi dan
mouth gag dibuka.Tindakan ini harus dilakukan dengan visualisasi langsung
untuk menghindarkan kerusakan mukosa orofaringeal akibat ujung bilah.
Setelah mouth gag dibuka dilakukan pemeriksaan secara hati-hati untuk
mengetahui apakah pipa endotrakeal terlindungi adekuat, bibir tidak terjepit,
sebagian besar dasar lidah ditutupi oleh bilah dan kutub superior dan inferior
tonsil terlihat. Kepala di ekstensikan dan mouth gag dielevasikan. Sebelum
memulai operasi, harus dilakukan inspeksi tonsil, fosa tonsilar dan palatum
durum dan molle. 5,6
Mouth gag yang dipakai sebaiknya dengan bilah yang mempunyai alur
garis tengah untuk tempat pipa endotrakeal (ring blade). Bilah mouth gag
tersedia dalam beberapa ukuran. Anak dan dewasa (khususnya wanita)
menggunakan bilah no. 3 dan laki-laki dewasa memerlukan bilah no. 4. Bilah
no. 2 jarang digunakan kecuali pada anak yang kecil.Intubasi nasal trakea
lebih tepat dilakukan dan sering digunakan oleh banyak ahli bedah bila tidak
dilakukan adenoidektomi. 5,6
3. Electrosurgery (Bedah listrik)
Awalnya, bedah listrik tidak bisa digunakan bersama anestesi umum,
karena mudah memicu terjadinya ledakan.Namun, dengan makin
berkembangnya zat anestetik yang nonflammable dan perbaikan peralatan
operasi, maka penggunaan teknik bedah listrik makin meluas. 5
Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik (energi
radiofrekuensi) untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang
digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0.1 hingga 4 MHz.
Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan
34
konduksi saraf atau jantung. Pada teknik ini elektroda tidak menjadi panas,
panas dalam jaringan terbentuk karena adanya aliran baru yang dibuat dari
teknik ini.Teknik ini menggunakan listrik 2 arah (AC) dan pasien termasuk
dalam jalur listrik (electrical pathway). 4,5
Teknik bedah listrik yang paling paling umum adalah monopolar blade,
monopolar suction, bipolar dan prosedur dengan bantuan mikroskop. Tenaga
listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W untuk memotong, menyatukan
atau untuk koagulasi.Bedah listrik merupakan satu-satunya teknik yang dapat
melakukan tindakan memotong dan hemostase dalam satu prosedur. Dapat
pula digunakan sebagai tambahan pada prosedur operasi lain. 5
4. Radiofrekuensi
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke jaringan.
Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuat
kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6
minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan
berkurang. Pengurangan jaringan juga dapat terjadi bila energi radiofrekuensi
diberikan pada medium penghantar seperti larutan salin.Partikel yang
terionisasi pada daerah ini dapat menerima cukup energi untuk memecah
ikatan kimia di jaringan. Karena proses ini terjadi pada suhu rendah (40 C -
70 C), mungkin lebih sedikit jaringan sekitar yang rusak. 5,6
Alat radiofrekuensi yang paling banyak tersedia yaitu alat Bovie, Elmed
Surgitron system (bekerja pada frekuensi 3,8 MHz), the Somnus somnoplasty
system (bekerja pada 460 kHz), the ArthroCare coblation system dan Argon
plasma coagulators. Dengan alat ini, jaringan tonsil dapat dibuang
seluruhnya, ablasi sebagian atau berkurang volumenya.Penggunaan teknik
radiofrekuensi dapat menurunkan morbiditas tonsilektomi.Namun masih
diperlukan studi yang lebih besar dengan desain yang baik untuk
mengevaluasi keuntungan dan analisa biaya dari teknik ini. 5,6
5. Skalpel harmonic
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan
mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan jaringan minimal. Teknik ini
35
menggunakan suhu yang lebih rendah dibandingkan elektrokauter dan laser.
Dengan elektrokauter atau laser, pemotongan dan koagulasi terjadi bila
temperatur sel cukup tinggi untuk tekanan gas dapat memecah sel tersebut
(biasanya 150 C 400 C), sedangkan dengan skalpel harmonik temperatur
disebabkan oleh friksi jauh lebih rendah (biasanya 50 C - 100 C). Sistem
skalpel harmonik terdiri atas generator 110 Volt, handpiece dengan kabel
penyambung, pisau bedah dan pedal kaki. 5,6
Alatnya memiliki 2 mekanisme memotong yaitu oleh pisau tajam yang
bergetar dengan frekuensi 55,5 kHz sejauh lebih dari 80 m (paling penting),
dan hasil dari pergerakan maju mundur yang cepat dari ujung pemotong saat
kontak dengan jaringan yang menyebabkan peningkatan dan penurunan
tekanan jaringan internal, sehingga menyebabkan fragmentasi berongga dan
pemisahan jaringan. Koagulasi muncul ketika energi mekanik ditransfer
kejaringan, memecah ikatan hidrogen tersier menjadi protein denaturasi dan
melalui pembentukan panas dari friksi jaringan internal akibat vibrasi
frekuensi tinggi. 5,6
Dibandingkan dengan teknik diseksi standar dan elektrokauter, teknik ini
mengurangi nyeri pascaoperasi. 5,6
6. Coblation
Teknik coblation juga dikenal dengan nama plasma-mediated tonsillar
ablation, ionised field tonsillar ablation; radiofrequency tonsillar ablation;
bipolar radiofrequency ablation; cold tonsillar ablation. 5
Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe untuk menghasilkan
listrik radiofrekuensi (radiofrequency electrical) baru melalui larutan natrium
klorida. Keadaan ini akan menghasilkan aliran ion sodium yang dapat
merusak jaringan sekitar. Coblationprobe memanaskan jaringan sekitar lebih
rendah dibandingkan probe diatermi standar (suhu 60 C (45 - 85 C)
dibanding lebih dari 100 C). 5
National Institute for clinical excellence menyatakan bahwa efikasi teknik
coblationsama dengan teknik tonsilektomi standar tetapi teknik ini bermakna
mengurangi rasa nyeri, tetapi komplikasi utama adalah perdarahan. 5
36
7. Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial yang
dilakukan dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi. Meskipun
mikrodebrider endoskopi bukan merupakan peralatan ideal untuk tindakan
tonsillektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat menyamai ketepatan dan
ketelitian alat ini dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai
kapsulnya. 5
Pada tonsillektomi intrakapsular, kapsul tonsil disisakan untuk
menghindari terlukanya otot-otot faring akibat tindakan operasi dan
memberikan lapisan pelindung biologis bagi otot dari sekret. Hal ini akan
mencegah terjadinya perlukaan jaringan dan mencegah terjadinya peradangan
lokal yang menimbulkan nyeri, sehingga mengurangi nyeri pasca operasi dan
mempercepat waktu pemulihan. Jaringan tonsil yang tersisa akan
meningkatkan insiden tonsillar regrowth. Tonsillar regrowth dan tonsilitis
kronis merupakan hal yang perlu mendapat perhatian khusus dalam teknik
tonsilektomi intrakapsuler.Tonsilitis kronis dikontraindikasikan untuk teknik
ini. 5
Keuntungan teknik ini angka kejadian nyeri dan perdarahan pasca operasi
lebih rendah dibanding tonsilektomi standar.Tetapi masih diperlukan studi
dengan desain yang baik untuk menilai keuntungan teknik ini. 5

DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono, Bambang Hermani. Nyeri Tenggorok. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: FKUI, 2014. h. 190
194
2. Standar Pelayanan Medis 10 Penyakit Terbanyak. RSHS Bandung. 2004. h. 68 69
3. Rusmarjono, Soepardi Efiaty A. Faringitis Tonsilitis,dan Hipertrofi Adenoid. Dalam:
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ketujuh.
Jakarta: FKUI, 2014. h. 195 203
4. Adam, Goerge L.1997. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring dalam: Boeis Buku
Ajar Penyakit THT Edisi 6. EGC. Jakarta

37
5. Ballenger JJ. Diseases of the oropharynx. In: Otorhinolaryngology head and the neck
surgery. 15th Ed. Lea Febiger Book. Baltimore, Philadelphia, Hongkong, London,
Munich, Sydney, Tokyo, 1995:236-44.
6. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, dan
Tenggorok. Edisi III. RSUD Dr. Soetomo. Surabaya. 2005. h. 46 47
7. Ganong, Williem S. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta. 2003.

38

Anda mungkin juga menyukai