Anda di halaman 1dari 12

LIMFOGRANULOMA VENEREUM

DEFINISI
Limfogranuloma venereum (LGV) adalah penyakit menular seksual yang
disebabkan oleh bakteri obligat intraseluler Chlamydia trachomatis (C.
trachomatis) sub tipe L1, L2, dan L3. Bentuk yang tersering adalah sindrom
inguinal, sindrom tersebut berupa limfadenitis dan periadenitis beberapa kelenjar
getah bening inguinal medial dengan kelima tanda radang akut dan disertai gejala
konstitusi, kemudian akan mengalami perlunakan yang tak serentak. 1

SINONIM
Limfogranuloma venereum disebut juga limfopatia venereum atau
limfogranuloma inguinale yang dilukiskan pertama kali oleh Nicolas, Durand, dan
Favre pada tahun 1913, karena itu juga disebut penyakit Nicholas-Favre. 1

EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini terutama terdapat di negara tropik dan sub tropik, dan masih
merupakan infeksi endemik di beberapa lokasi, sampai tahun 2005 seperti Afrika,
Asia Tenggara, tengah, dan Amerika Selatan, serta karibia. Kasus di Indonesia,
belum pernah dilaporkan, hal ini mungkin luput dari pengamatan karena
pemeriksaan penunjang yang tidak lengkap, atau karena pelaporan kasus yang
kurang baik. Jumlah kasus laki-laki dengan sindrom inguinal lebih banyak
daripada perempuan, sebenarnya hal itu disebabkan karena perbedaan
patogenesis. Kini penyakit ini jarang ditemukan. 1

ETIOLOGI
Penyebabnya ialah Chlamydia trachomatis sub tipe L1, L2 dan L3.2
C.trachomatis merupakan famili dari Chlamydiaceae, yang diklasifikasikan
menjadi tiga, yakni C.trachomatis, C.pneumoniae, dan C.psittaci.
C.trachomatis adalah bakteri obligat intraseluler, yakni bergantung pada
sel host untuk melakukan produksi ATP dan melakukan replikasi. Kolonisasi
C.trachomatis diawali dengan perlekatan reseptor asam sialic pada mukosa
genitalia
PATOGENESIS DAN GEJALA KLINIS
Masa tunas penyakit ini ialah 1-4 minggu. Gejala konstitusi timbul
sebelum penyakitnya mulai dan biasanya menetap selama sindrom inguinal.
Gejala tersebut berupa malaise, nyeri kepala, artralgia, anoreksia, nausea, dan
demam. Gambaran klinisnya dapat dibagi menjadi bentuk dini, yang terdiri atas
afek primer serta sindrom inguinal, dan bentuk lanjut yang terdiri atas sindrom
genital, anorektal dan uretral. Waktu terjadinya afek primer hingga sindrom
inguinal 3-6 minggu, sedangkan dari bentuk dini hingga bentuk lanjut satu tahun
hingga beberapa tahun. 1

Afek primer
Afek primer berbentuk tak khas dan tak nyeri, dapat berupa erosi, papul,
miliar, vesikel, pustul, dan ulkus yang tidak nyeri. Umumnya soliter dan cepat
hilang karena itu penderita biasanya tidak datang berobat pada saat ini, tetapi pada
waktu terjadi sindrom inguinal.
Pada laki-laki umumnya afek primer berlokasi di genitalia eksterna,
terutama di sulkus koronarius, batang penis, dan dapat pula di uretra, meskipun
sangat jarang serta anus dan rektum. Pada perempuan biasanya afek primer tidak
terdapat pada genitalia eksterna, tetapi pada vagian bagian dalam dan serviks.

Gambar 1. Ulkus pada Prepusium Penis

Sindrom inguinal
Sindrom inguinal merupakan sindrom yang tersering dijumpai. Sindrom
tersebut terjadi pada laki-laki, jika afek primernya di genitalia eksterna, umumnya
unilateral, kira-kira 80%. Pada perempuan, sindrom ini hanya terjadi jika afek
primer ada di genitalia eksterna dan vagina 1/3 bawah. Itulah sebabnya lebih
sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan, karena pada umumnya afek
primer pada wanita terjadi pada tempat yg lebih dalam, yakni di vagina 2/3 atas
dan serviks. Jika afek primernya pada tempat tersebut, maka yang mengalami
peradangan adalah kelenjar Gerota.1
Pada sindrom ini, yang terserang adalah kelenjar getah bening inguinal
medial, karena kelenjar tersebut merupakan kelenjar regional bagi genitalia
eksterna. Kelenjar yang dikenal adalah beberapa dan dapat diketahui karena
permukaannya berbenjol-benjo, kemudian akan berkonfluensi. Karena LGV
merupakan penyakit sub akut, maka akan tampak kelima tanda radang akut, yakni
dolor, rubor, kalor, tumor, dan fungsio lesa. Selain limfadenitis, terjadi pula
periadenitis yang menyebabkan perlekatan dengan jaringan sekitarnya. Kemudian
terjadi perlunakan yang tidak serentak, yang mengakibatkan konsistensinya
menjadi bermacam-macam, yakni keras, kenyal, dan lunak (abses). Perlunakan
biasanya di tengah, dan dapat terjadi abses dan fistel yang multipel. 1
Sering terlihat pula dua atau tiga kelompok kelenjar yang berdekatan dan
memanjang seperti sosis di bagian proksimal dan distal ligamentum Poupati dan
dipisahkan oleh sulkus. Gejala tersebut disebut stigma of groove. Terbentuknya
abses di dalam limfo nodi yang meradang, disebut “Bubo”, yang dapat ruptur
secara tiba-tiba atau membentuk sinus. Bubo yang ruptur akan mengalirkan
eksudat selama beberapa minggu dan menyembuh. Limfo nodi yang tidak ruptur
akan membentuk massa yang mengalami indurasi dan akan menyembuh dalam
satu bulan.2 Pada stadium lanjut terjadi penjalaran ke kelenjar limfo nodi di fosa
iliaka yang disebut “Bubo bertingkat atau Etage Bubonen), kadang juga ke
kelenjar femoralis. 1
Gambar 2. Bubo yang Belum Ruptur (Kiri)
dan Bubo yang Telah Ruptur (Kanan)

Gambar 3. Pembesaran Kelenjar Limfonodi Ingunal dan Femoral yang


Dipisahkan oleh Ligamentum Inguinale (Groove Sign)

Sindrom genital
Jika sindrom inguinal tidak diobati, maka terjadi fibrosis pada kelenjar
inguinal medial, sehingga aliran getah bening terbendung serta terjadi edema dan
elefantiasis. Elefantiasis dapat bersifat vegetatif, dapat terbentuk fistel-fistel dan
ulkus-ulkus. Pada laki-laki, elefantiasis terdapat di penis dan skrotum, sedangkan
pada perempuan di labia dan klitoris, disebut estiomen. Jika meluas terbentuk
elefantiasis genito-anorektalis dan disebut sindrom Jersild.
a
b
Gambar 4.a. Eschiomene pada perempuan
b. Elefantiasis pada labia dan klitoris

Gambar 5. Groove Sign Bilateral dan Elefantiasis Penoscrotal (11)

Sindrom anorektal
Dapat terjadi pada laki-laki yang melakukan kontak seksual anogenital
dengan laki-laki. Pada perempuan hal yang sama dapat terjadi dengan dua cara.
Pertama, jika kontak seksual secara anogenital. Kedua,jika afek primer terdapat
pada 2/3 atas atau serviks, sehingga terjadi penjalaran ke kelenjar perirektal
(kelenjar Gerota) yang terletak antara uterus dan rektum. Pembesaran kelenjar
hanya dapat diketahui dengan pemeriksaan bimanual. Proses berikutnya hampir
sama dengan sindrom inguinal, yakni terjadi limfadenitis dan periadenitis, lalu
mengalami perlunakan hingga terbentuk abses. Kemudian abses memecah
sehingga menyebabkan gejala keluarnya darah dan pus saat defekasi, kemudian
terbentuk fistel. Abses dan fistel dapat berlokasi di perianal dan perirektal.
Selanjutnya muara fistel meluas menjadi ulkus yang kemudian
menyembuh dan menjadi sikatriks, terjadilah retraksi hingga mengakibatkan
striktura rekti. Kelainan tersebut umumnya mengenai seluruh lingkaran rektum
sepanjang 4-10 cm dan berlokasi 3-6 cm atau lebih di atas anus. Keluhannya ialah
obstipasi, tinja kecil-kecil disertai perdarahan saat defekasi. Akibat lain ialah
terjadi proktitis yang menyebabkan gejala tenesmus dan keluarnya darah dan pus
dari rektum. Kecuali kelenjar Gerota, dapat pula terjadi penjalaran ke
kelenjariliaka dan hipogastrika.

Sindrom uretral
Terjadi jika terbentuk infiltrat di uretra posterior, yang kemudian menjadi
abses, lalu memecah dan menjadi fistel. Dapat terjadi striktur, hingga OUE
berubah bentuk seperti mulut ikan dan disebut fish mouth urethra dan penis
melengkung seperti pedang Turki.

Kelainan Lain pada Limfogranuloma Venereum


Kelainan tersebut lebih sering terdapat pada manifestasi dini daripada
manifestasi lanjut, dan jarang ditemukan. Pada kulit dapat timbul eksantema,
berupa eritema nodosum dan eritema multiformis. Fotosensitivitas dapat terjadi
pada 10-30% kasus pada bentuk dini dan 50% pada bentuk lanjut.1
Kelainan pada mata dapat berupa konjungtivitis, biasanya unilateral
disertai edema dan ulkus pada palpebra. Sering pula bersama-sama dengan
pembesaran kelenjar getah bening regional dan demam. Sindrom tersebut disebut
“Sindrom Okuloglandular PARINAUD”. Selain itu dapat pula menimbulkan
kelainan pada fundus, berupa pelebaran pembuluh darah yang berliku-liku dan
disertai edema periapilar. 1
Susunan saraf pusat dapat pula mengalami kelainan berupa
meningoensefalitis. Kelainan lain ialah hepatosplenomegali, peritonitis, dan
uretritis. Uretritis tersebut dapat disertai ulkus-ulkus pada mukosa, dapat pula
bersama-sama dengan sistitis dan epididimitis. 1

PEMBANTU DIAGNOSIS
Diagnosis LGV ditegakkan baik melalui gejala klinis ataupun melalui
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang berguna untuk menyingkirkan
diagnosis banding dan membedakan sub tipe C.trachomatis pada LGV dengan
sub tipe lain diluar LGV. Terdapat beberapa macam pemeriksaan penunjang,
diantaranya adalah :
1. Pemeriksaan Darah
Pada pemeriksaan darah tepi biasanya leukosit normal, sedangkan LED
meningkat. Peningkatan ini menunjukkan keaktifan penyakit, jadi tidak khas
untuk LGV, namun lebih berati untuk menilai proses penyembuhan, jika
menyembuh LED akan menurun.
Sering terjadi hiperproteinemia berupa peningkatan globulin, sedangkan
albumin normal atau menurun, sehingga perbandingan albumin-globulin
menjadi terbalik. Immunoglobulin yang meningkat adalah IgA dan tetap
meningkat selama penyakit masih aktif, sehingga bersama-sama dengan LED
menunjukkan keaktivan penyakit.

2. Pemeriksaan dengan NAAT untuk Chlamydia trachomatis


Pemeriksaan memerlukan waktu yang lama, sedangkan lesi harus
segera mendapatkan terapi. Penyebab kelainan ini adalah serovartertentu,
terdapat keterbatasan dalam pemeriksaan. Pemeriksaan dengan NAAT tidak
dapatmembedakan serovartersebut. Pengambilan swab spesimen dengan
dakron, dapat diambil dari bahan usap anus, aspirasi lesi nodus atau drainase
pus yang keluar dari lesi.

3. Tes ikatan komplemen


Tes serologis untuk Chlamydia trachomatis terus dikembangkan. Tes
tersebut lebih peka dan lebih dapat dipercaya dari tes Frei dan lebih cepat
menjadi positif yakni setelah sebulan. Tes ini juga memberi reaksi silang
dengan penyakit yang segolongan. Jika titer 1/64 berarti sedang sakit, tetapi
jika titernya lebih rendah hanya berarti pernah sakit.
4. Tes Frei
Dahulu, dapat dilakukan tes Frei dengan antigen Frei. Frei
memperolehnya dari pus penderita LGV yang mengalami abses yang belum
pecah, kemudian dilarutkan dalam garam faal dan dilakukan pasteurisasi.
Untuk mendapatkan antigen yang tidak terkontaminasi oleh bakteri, dapat
diperoleh dari otak tikus yang telah ditulari. 1
Cara melakukannya seperti pada tes tuberkulin, yakni 0,1 cc
disuntikkan intrakutan pada bagian anterior lengan bawah dan dibaca setelah
48 jam. Jika terdapat infiltrat berdiameter 0,5 cm atau lebih berati positif. Tes
tersebut tidak khas karena penyakit yang segolongan juga memberikan hasil
positif. Kekurangan yang lain adalah tes tersebut baru memberi hasil positif
setelah 5-8 minggu dan jika positif hanya berati sedang atau pernah menderita
LGV. 1
Pada tes Frei terbalik, antigen diambil dari penderita yang diduga
menderita LGV, kemudian disuntikkan pada penderita LGV. Jika positif berati
penderita yang diduga menderita LGV. 1

5. Pemeriksaan Khusus
Pasien dengan proktitis yang berat perlu dirujuk untuk mengevaluasi
gastroenterologi, yakni endoskopi bagian bawah. Temuan klinis LGV pada
sigmoideskopi dan kolonoskopi diantaranya adalah eksudat mukopurulen,
eritema difus, mukosa rektal yang rapuh, ulkus yang khas, dan massa yang
mengalami inflamasi, meskipun hal ini bukan merupakan temuan spesifik pada
LGV.

Gambar 6. Hasil endoskopi pada rektum dua pasien LGV dengan proktitis akut.
Kiri : proktoskopi menujukkan tumor yang luas dengan beberapa eksudat purulen
pada bagian distal rektum. Kanan : Sigmoideskopi menunjukkan ulserasi rektum
yang sirkuler dengan batas yang jelas diantara mukosa yang normal.
DIAGNOSIS BANDING
1. Skrofuloderma
Antara LGV dan skrofuloderma yang mengenai daerah inguinal
terdapat persamaan, yakni keduanya terdapat limfadenitis pada beberapa
kelenjar, periadenitis, perlunakan tidak serentak akibatnya konsistensi kelenjar
bermacam-macam, serta pembentukan abses dan fistel yang multipel. Kecuali
itu, LED meningkat pada keduanya, sedangkan leukosit biasanya normal.
Perbedaannya ialah, pada LGV terdapat kelima tanda radang akut,
sedangkan pada skrofuloderma tidak terdapat kecuali tumor. Lokasinya juga
berlainan, pada LGV di inguinal medial, sedangkan pada skrofuloderma pada
inguinal lateral dan femoral.

2. Limfadenitis piogenik
Pada penyakit ini lesi primer masih tampak, misalnya dermatitis atau
skabies pada genitalia eksterna yang mengalami infeksi oleh piokokus,
sedangkan pada LGV lesi primer umumnya sudah tidak ada, karena cepat
menghilang. Kelima tanda radang akut juga terdapat, tetapi perlunakannya
serentak, sehingga tidak membentuk abses dan fistel yang multipel seperti pada
LGV. Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan leukosit.

3. Limfadenitis karena ulkus mole


Ulkus mole kini jarang terdapat, jika menyebabkan limfadenitis, maka
lesi primer masih tampak. Kelima tanda radang juga terdapat, tetapi
perlunakannya serentak.

4. Limfoma maligna
Penyakit ini, jika masih dini tanpa disertai kelima tanda radang, kecuali
tumor, biasanya tidak melunak. Pada gambaran darah tepi terdapat kelainan
dan gambaran histopatologisnya meberi kelainan yang khas.

5. Hernia inguinalis
Adakalanya hernia inguinalis atau femoralis disangka LGV dan
sebaliknya. Pada hernia tanda-tanda radang tidak ada kecuali tumor, dan saat
pasien mengejan tumor akan membesar.

PENATALAKSANAAN
Pengobatan LGV dengan antibiotik dilakukan selama 21 hari. Antibiotik
yang direkomendasikan adalah doksisiklin oral 100 mg 2 kali sehari selama 21
hari, atau eritromisin oral 500 mg 4 kali sehari selama 21 hari, atau alternatif lain
adalah azitromisin oral 1 gr 1 kali (single dose) selama 21 hari. Doksiksiklin
adalah pengobatan lini pertama pada LGV, sedangkan eritromisin adalah
pengobatan lini kedua. Eritromisin diberikan pada wanita yang sedang hamil dan
menyusui, karena doksisiklin dikontraindikasikan untuk wanita hamil. Eritromisin
efektif untuk mengobati baik LGV maupun ulkus mole, namun penggunaan
eritromisin yang lama tidak direkomendasika untuk LGV.

Regimen Terapi pada Penyakit LGV

Seluruh pasien harus di follow up sampai gejala dan tanda klinis LGV
menyembuh. Hal ini mungkin berlangsung selama 3-6 minggu. 2 Bubo yang
fluktuatif harus diaspirasi karena tidak akan pulih hanya dengan pengobatan
antibiotik. Namun, tindakan insisi atau drainase atau eksisi pada bubo tidak akan
membantu dan akan meperlambat proses penyembuhan. Komplikasi lanjut LGV,
seperti striktur pada rektum akan membaik dengan terapi antibiotik, namun tidak
dapat mengoreksi kerusakan akibat fibrosis. Fistula rekto-vagina, obstruksi usus,
dan esthiomene membutuhkan tindakan bedah dan pengobatan antibiotik. 1 pada
sindroma inguinal dianjurkan pula untuk beristirahat di tempat tidur.
Gambar 7. Aspirasi Bubo pada Kelenjar Inguinal Kanan

Penatalaksanaan LGV tidak hanya terbatas pada pasien saja, tetapi juga
pada partner hubungan seksual. Jika pasien telah didiagnosis LGV, maka partner
hubungan seksual selama 30 hari terakhir juga harus dievaluasi, jika menunjukkan
gejala klinis, maka harus diobati seperti pasien yang telah didiagnosis LGV.
Namun, jika partner hubungan seksual tidak menunjukkan gejala atau
asimtomatik, maka harus diobati dengan doksisiklin oral 100 mg 2 kali sehari
selama 7 hari, atau dosis tunggal 1 gr azitromisin.

PROGNOSIS
Pada sindrom inguinal prognosisnya baik, sedangkan pada bentuk lanjut
prognosisnya buruk.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Nilasari H. Dalam: Menaldi SLS, Bramono K, Indriatmi W,


editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI; 2015. p.484-7.
2. Fitzpatrick TB, et al. Dermatology in General Medicine. 7th ed. United States of
American: The Graw-Hill Companies, Inc; 2008.

Anda mungkin juga menyukai