Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

SINDROM NEFROTIK

Disusun Oleh:

Raysilva Chuneva Alros

110.2012.230

Pembimbing:

dr. Didiet Pratignyo, Sp.PD-FINASIM

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD CILEGON

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

PERIODE NOVEMBER 2016 FEBRUARI 2017


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum.

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan
para sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman. Karena atas rahmat dan ridho-Nya, penulis
dapat menyelesaikan referat ini dengan judul SINDROM NEFROTIK sebagai salah satu
persyaratan mengikuti ujian kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Cilegon.

Berbagai kendala yang telah dihadapi penulis hingga referat ini selesai tidak terlepas dari
bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Atas bantuan yang telah diberikan, baik moril maupun
materil, maka selanjutnya penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang
tulus kepada dr. Didiet Pratignyo, Sp.PD-Finasim selaku konsulen SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Cilegon yang telah memberikan bimbingan, ilmu, saran dan kritik kepada penulis dalam
penyelesaian presentasi kasus ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan presentasi kasus ini, kesalahan dan
kekurangan tidak dapat dihindari, baik dari segi materi maupun tata bahasa yang disajikan. Untuk
itu penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan yang dibuat. Semoga presentasi
kasus ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan pembaca dalam memberikan sumbang
pikir dan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia kedokteran.
Akhir kata, dengan mengucapkan Alhamdulillah, semoga Allah SWT selalu merahmati kita
semua.

Cilegon, Januari 2017

Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.. 1

Daftar Isi... 2

Bab I. Pendahuluan... 3

Bab II. Tinjauan Pustaka.............. 4

2.1 Anatomi ginjal. 4


2.2 Sindrom Nefrotik............................. 5
2.2.1 Definisi.. 5
2.2.2 Epidemiologi..... 5
2.2.3 Etiologi.. 5
2.2.4 Patofisiologi....... 9
2.2.5 Manifestasi Klinis... 14
2.2.6 Diagnosis..... 14
2.2.7 Tatalaksana...... 15
2.2.8 Komplikasi....... 21
2.2.9 Prognosis.. 22

Bab III. Kesimpulan......... 23

Daftar Pustaka.............. 24

2
BAB I

PENDAHULUAN

Sindroma Nefrotik merupakan penyakit yang sering ditemukan dari beberapa penyakit
ginjal dan saluran kemih. Sindroma Nefrotik (SN) dapat terjadi secara primer dan sekunder, primer
apabila tidak menyertai penyakit sistemik. Sekunder apabila timbul sebagai bagian daripada
penyakit Sistemik atau yang berhubungan dengan obat / toksin. Sindrom nefrotik primer biasanya
terjadi pada anak-anak dan sindrom nefrotik sekunder sering terjadi pada orang dewasa.6

Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas
glomerulus terhadap protein plasma yang menimbulkan proteinuria (> 3,5 g / 24 jam),
hipoalbuminemia (<30 g / L), edema dan hiperlipidemia.12

Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang


berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder
yang disebabkan oleh penyakit tertentu, di antaranya penyakit infeksi, keganasan, obat-obatan,
penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit herediter-
familial, toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis, obesitas masif.3
Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab SN. Hal
ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin serum dan rasio
neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien SN yang
mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T.
Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut
harus ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang
disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga
berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia,
hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan
metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN.8,9

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI GINJAL

Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang tanah, terdapat sepasang dan
posisinya retroperitoneal. Ginjal terletak di bagian belakang abdomen atas pada dua costa
terakhir yaitu costa 11 dan 12. Ukuran normal ginjal : 12x6x2 cm dengan berat 130 gram.
Posisi ginjal kanan lebih rendah daripada ginjal kiri karena ada hati yang mendesak ginjal
kanan. Ginjal kanan terletak pada tepi atas vertebra thoracal 12 sampai tepi atas vertebra
lumbal 4, sedangkan ginjal kiri terletak pada pertengahan vertebra thoracal 11 sampai
pertengahan vertebra lumbal 3. Perbedaan panjang kedua ginjal adalah 1,5cm.4,5

Bagian-bagian ginjal antara lain: ektremitas superior/polus cranial, extremitas


inferior/polus caudalis, margo medialis (menuju ke belakang ) dan margo lateralis (menuju
kedepan). Pada margo medialis terdapat hilum renalis yang merupakan tempat keluar-
masuknya ureter, arteri&vena renalis, nervus dan vasa limphatica. Pada bagian atas ginjal
terdapat topi yang disebut grandula suprarenal. Ginjal kanan berbentuk pyramid dan kiri
berbentuk bulan sabit.4,5
Ginjal dilapisi oleh capsula fibrosa yang berikatan longgar dengan jaringan dibawahnya
yaitu fascies renalis. Fascies renalis terbagi dua yaitu: lamina anterior didepan dan lamina
posterior dibelakang. Bagian kanan dan kiri menyatu dengan fascies transversus abdominalis
membentuk rongga yang dilapisi lemak disebut corpus adiposum. Lemak-lemak itu sendiri
dibungkus oleh capsula adipose.4,5
Vaskularisasi ginjal berasal dari aorta abdominalis bercabang menjadi arteri renalis
kanan/kiri masuk hillus bercabang menjadi arteri lobaris seterusnya bercabang jadi arteri
interlobaris kemudian membentuk arteri arquata (antara cortex dan medulla) kemudian
bercabang sebagai arteri afferen berakhir masuk glomerulus (Capsulla Bowman) disini terjadi
filatrasi darah. Sebagian hasil ekskresi (urine) dikeluarkan melalui tubullli (papila renalis)
masuk calices minor kemudian calices mayor bermuara ke pelvis renalis dan diteruskan ke
ureter. Selanjutnya darah pada cortex dikembalikan melalui arteria efferent selanjutnya ke vena

4
interlobaris diteruskan ke vena lobaris kemusian ke vena renalis dan masuk ke vena cava
inferior menuju atrium dextra.5
Ginjal dipersyarafi oleh Plexus renalis, N. Testicularis , N. Hypogastricus, Serabut afferen
akan berjalan dengan saraf simpatis ke medulla spinalis melalui (L1 , L2).

2.2 SINDROM NEFROTIK

2.2.1 Definisi

Sindrom Nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit gromerular yang
ditandai dengan proteinuri masif >3.5 gram/ 24 jam/ 1.73 m2 disertai hipoalbuminemia,
edema anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas1

2.2.2 Epidemiologi
Sindrom nefrotik yang tidak meneyrtai penyakit sistemik disebut sindrom nefrotik
primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus-kasus ini adalah SN tipe Finlandia, suatu
penyakit yang diturunkan secara resesif autosom. Kelompok responsif steroid sebagai besar
terdiri dari anak-anak dengan sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM). Pada penelitian di
jakarta di antara 364 pasien SN yang dibiopsi 44,2% menunjukkan KM. Kelompok tidak
responsif steroid atau resisten steroid terdiri dari anak-anak dengan kelainan glomerulus lain.
Disebut sindrom nefrotik sekunder apabila penyakit dasarnya adalah penyakit sistemik karena,
obat-obatan, alergen dan toksin, dll. Sindrom nefrotik dapat timbul dan bersifat sementara pada
tiap penyakit glomerulus dengan keluarnya protein dalam jumlah yang cukup banyak dan cukup
lama. Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda dengan
data-data di luar negeri.

2.2.3 Etiologi
I. Sindrom nefrotik pada anak-anak / infantil.
Sindrom nefrotik infantil adalah sindrom nefrotik yang terjadi pada usia tiga bulan
sampai satu tahun, sedangkan jika terjadi sebelum usia tiga bulan disebut sebagai sindrom
nefrotik kongenital. Indonesia dilaporkan ada enam per 100.000 anak per tahun menderita
sindrom nefrotik.

5
a. Sindrom nefrotik infantil
Sangat jarang ditemukan, sindrom ini dapat disebabkan nail patella syndrome,
pseudohermaphroditism, XY gonadal disgenesis, tumor Wilms, intoksikasi merkuri,
sindrom hemolitik uremik, dan infeksi seperti sifilis, virus sitomegalo, hepatitis, rubela,
malaria, dan toksoplasmosis. Prognosis sindrom nefrotik infantil umumnya buruk tetapi
masih lebih baik daripada prognosis sindrom nefrotik kongenital2
b. Sindrom nefrotik kongenital.
Merupakan penyakit familial, timbul dalam beberapa hari/ minggu setelah lahir. Biasa
menimbulkan kematian sebelum bayi berusia satu tahun.

II. Sindrom nefrotik pada dewasa:


a. Glomerulonefritis primer (Sebagian besar tidak diketahui sebabnya).
1) Glomerulonefritis membranosa
Jarang menjadi penyebab SN pada anak tetapi sering pada dewasa. Hampir semua
pada orang dewasa. Pada mikroskop biasa terlihat gambaran penebalan dinding kapiler,
pada mikroskop elektron terlihat kelainan membrana basalis. Kelainan ini jarang
memberikan respon terhadap steroid dan prognosis mortalitas lebih kurang 50%.3

Gambar 1: Histopatologi Glomerulonefritis Membranosa

6
2) Glomerulonefritis Kelainan Minimal
Merupakan penyebab utama SN anak-anak, Pada dewasa hanya 20%. Dengan
mikroskop biasa tidak tampak kelainan yang jelas pada glomerulus sedangkan ada
mikroskop elektron dapat dilihat sel epitel kapiler glomerulus yang membengkak dan
bervakuol. Fungsi ginjal biasanya tidak banyak terganggu dan tidak ada hipertensi3
Penampakan yang tidak biasa yaitu hipertensi (30% pada anak-anak dan50% pada
dewasa), hematuri (20% pada anak-anak dan 30% pada dewasa) dan penurunan fungsi
ginjal (kurang dari 5% pada anak-anak dan 30% pada dewasa). Prognosis kelainan ini
relatif paling baik. Pengobatannya ialah dengan pemberian steroid. Sering mengalami
remisi spontan, akan tetapi sering pula kambuh.2,3

3) Glomerulonefritis membranoproliferatif
Biasa ditemukan pada anak besar dan orang dewasa muda. Perjalanan penyakit
progresif lambat, tanpa remisi dan berakhir dengan payah ginjal. Ciri khasnya adalah
kadar komplemen serum yang rendah

Glomerulonefritis membranoproliferatif, penipisan membran basal kapiler perifer telah


ditandai dengan pewarnaan trichrome masson.

4) Glomerulonefritis pasca streptokok

7
Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer

b. Glomerulonefritis sekunder akibat:


1) Infeksi
i. HIV, hepatitis virus B dan C
ii. Sifilis, malaria, skistosoma
iii. Tuberkulosis, lepra
2) Keganasan
Adenokarsinoma paru, kanker payudara, kolon, bronkus, limfoma hodgkin, myeloma
multiple, dan karsinoma ginjal
3) Penyakit jaringan penghubung
Lupus eritematosus sistemik, arthritis reumatoid, MCTD (Mixed connective tissue
disease)
4) Efek Obat dan Toksin
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAIN), preparat emas, penisilamin, kaptopril,
heroin
5) Lain-lain: Diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklampsia, rejeksi alograf kronik,
refluks vesikoureter, atau sengatan lebah.6

8
Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab yang paling sering. Perlu
diingat bahwa penyakit-penyakit yang termasuk golongan nefrosis, yaitu penyakit yang
terutama mengenai tubulus, tidak ada yang menyebabkan sindrom nefrotik.6
Menurut tinjauan dari Robson pada lebih dari 1400 kasus, beberapa jenis
glomerulonefritis primer merupakan penyebab dari 78% sindrom nefrotik pada orang dewasa
dan 93% pada anak-anak. Pada 22% orang dewasa keadaan ini disebabkan oleh gangguan
sistemik (terutama diabetes, amiloidosis, dan thrombosis vena renalis), dimana ginjal terlibat
secara sekunder atau karena mengalami respon abnormal terhadap obat atau alergen lain.

2.2.4 Patofisiologi
1. Proteinuria
Proteinuria umunya diterima kelainan utama pada SN, sedangkan gejala klinis lainnya
dianggap sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria dinyatakan berat untuk membedakan
dengan proteinuria yang lebih ringan pada pasien yang bukan sindrom nefrotik. Eksresi protein
sama atau lebih besar dari 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan, dianggap proteinuria berat.10

2. Selektivitas protein
Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi bergantung pada kelainan
dasar glomerulus. Pada SNKM protein yang keluar hampir seluruhnya terdiri atas albimin dan
disebut sebagai proteinuria selektif. Derajat selektivitas proteinuria dapat ditetapkan secara
sederhana dengan membagi rasio IgG urin terhadap plasma (BM 150.000) dengan rasio urin
plasma transferin (BM 88.000). Rasio yang kurang dari 0.2 menunjukkan adanya proteinuria
selektif. Pasien SN dengan rasio rendah umumnya berkaitan dengan KM dan responsif terhadap
steroid. Namun karena selektivitas protein pada SN sangat bervariasi maka agak sulit untuk
membedakan jenis KM dan BKM (Bukan kelainan minimal) dengan pemeriksaan ini dianggap
tidak efisien.10

3. Perubahan pada filter kapiler glomerulus


Umumnya karakteristik perubahan permeabilitas membran basal bergantung pada tipe
kelainan glomerulus pada SN. Pada SNKM terdapat penurunan klirens protein netral dengan

9
semua berat molekul, namun terdapat peningkatan klirens protein bermuatan negatif seperti
albumin. Keadaan ini menunjukkan bahwa di samping hilangnya sawar muatan negatif juga
terdapat perubahan pada sawar ukuran celah pori atau kelainan pada kedua-duanya.10,11

Proteoglikan sulfat heparan yang menimbulkan muatan negatif pada lamina rara interna
dan eksterna merupakan sawar utama penghambat keluarnya molekul muatan negatif, seperti
albumin. Dihilangkannya proteoglikan sulfat heparan dengan hepartinase mengakibatkan
timbulnya albuminaria.

Di samping itu sialoprotein glomerulus yaitu polianion yang terdapat pada tonjolan kaki
sel epitel, tampaknya berperan sebagai muatan negatif di daerah ini yang penting untuk
mengatur sel viseral epitel dan pemisahan tonjolan-tonjolan kaki sel epitel. Suatu protein
dengan berat molekul 140.000 dalton, yang disebut podocalyxin rupanya mengandung asam
sialat ditemukan terbanyak kelainan pada model eksperimenal nefrosisis aminonkleosid. Pada
SNKM, kandungan sialoprotein kembali normal sebagai respons pengobatan steroid yang
menyebabkan hilangnya proteinuria.10,11

4. Hipoalbuminemia
Jumlah albumin di dalam ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan pengeluaran
akibat degradasi metabolik, eksresi renal dan gastrointestinal. Dalam keadaan seimbang, laju
sintesis albumin, degradasi ini hilangnya dari badan adalah seimbang. Pada anak dengan SN
terdapat hubungan terbalik antara laju sekresi protein urin dan derajat hipoalbuminemia. Namun
keadaan ini tidak responsif steroid, albumin serumnya dapat kembali normal atau hampri
normal dengan atau tanpa perubahan pada laju ekskresi protein. Laju sintesis albumin pada SN
dalam keadaan seimbang ternyata tidak menurun, bahkan meningkat atau normal.10,11

Jumlah albumin absolut yang didegradasi masih normal atau di bawah normal,
walaupun apabila dinyatakan terhadap pool albumin intravaskular secara relatif, maka
katabolisme pool fraksional yagn menurun ini sebetulnya meningkat. Meningkatnya
katabolisme albumin di tubulus renal dan menurunnya katabolisme ekstrarenal dapat
menyebabkan keadaan laju katabolisme absolut yagn normal albumin plasma yang rendah
tampaknya disebabkan oleh meningkatnya eksresi albumin dalam urin dan meningkatnya
katabolisme fraksi pool albumin (terutama disebabkan karena meningkatnya degradasi di dalam

10
tubulus renal) yang melampaui daya sintesis hati. Gangguan protein lainnya di dalam plasma
adalah menurunnya - 1 globulin, (normal atau rendah), dan - 2-globulin, B globulin dna
figrinogen meningkat secara relatif atau absolut. Meningkatnya - 2 globulin disebabkan oleh
retensi selektif protein berberat molekul tinggi oleh ginjal dengan adanya laju sintesis yang
normal. Pada beberapa pasien, terutama mereka dengan SNKM, IgM dapat meningkat dan IgG
menurun.11

5. Kelainan metabolisme lipid


Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan kenaikan ini tampak lebih nyata
pada pasien dengan KM. Umumnya terdapat korelasi tebalik antara konsentrasi albumin serum
dan kolesterol. Kadar trigliserid lebih bervariasi dan bahkan dapat normal pada pasien dengan
hipoalbuminemia ringan. Pada pasien SN konsentrasi lipoprotein densitas sangat rendah
(VLDL) dan lipoprotien densitas rendah (LDL) meningkat, dan kadang-kadang sangat
mencolok. Lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya normal atau meningkat pada anak-anak
dengan SN walaupun rasio kolesterol-HDL terhadap kolesterol total tetap rendah. Seperti pada
hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang meningkat atau karena
degradasi yang menurun. Bukti menunjukkan bahwa keduanya abnormal. Meningkatnya
produksi lipoprotein di hati, diikuti dengan meningkatnya sintesis albumin dan sekudner
terhadap lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan. Namun meningkatnya kadar lipid dapat
pula terjadi pada laju sintesis albumin yang normal. Menurunnya aktivitas ini mungkin
sekunder akibat hilangnya -glikoprotein asam sebagai perangsang lipase. Apabila albumin
serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka
umumnya kelainan lipid ini menjadi normal kembali. Gejala ini mungkin akibat tekanan
onkotik albumin serumnya, karena ofek yang sama dapat ditimbulkan dengan pemberian infus
pilivinilpirolidon tanpa mengubah keadaan hipoalbuminemianya. Pada beberapa pasien, HDL
tetap meningkat walaupun terjadi remisi pada SN-nya pada pasien lain VLDL dan LDL tetap
meningkat pada SN relaps frekuensi yang menetap bahkan selama remisi. Lipid dapt juga
ditemukan di dalam urin dalam bentuk titik lemak oval dan maltase cross. Titik lemak itu
merupakan tetesan lipid di dalam sel tubulus yang berdegenerasi. Maltese cross tersebut adalah
ester kolesterol yang berbentuk bulat dengan palang di tengah apbila dilihat dengan cahaya
polarisal.

11
6. Edema
Keterangan klinik pembentukan edema pada sidnrom nefrotik sudah dianggap jelas dan
secara fisiologik memuaskan, namun beberapa data menunjukkan bahwa mekanisme hipotesis
ini tidak memberikan penjelasan yang lengkap. Teori klasik mengenai pembentukan edema ini
(underfilled theory) adalah menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan
cairan merembes keruang interstisial. Dengan meningkatnya permealiblitas kapiler glomerulus,
albumin keluar menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia.4

Hipoalbuminemia menyebabkan menurunya tekanan onkotik koloid plasma


intravaskular. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan transudat melewati dinding
kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstial yang menyebabkan terbentuknya edema.

Sebagai akibat pergeseran cairan volume plasma total dan volume darah arteri dalam
peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif. Menurunnya volume plasma
atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal.
Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha badan untuk menjaga volume dan tekanan
intravaskular agar tetap normal dan dapat dianggap sebagai peristiwa kompensasi sekunder.
Retensi cairan, yang secara terus-menerus menjaga volume plasma, selanjutnya akan
mengencerkan protein plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma dan
akhirnya mempercepat gerak cairan masuk ke ruang interstisial. Keadaan ini jelas memperberat
edema sampai terdapat keseimbangan hingga edema stabil.4,6

Dengan teori underfilled ini diduga terjadi kenaikan kadar renin plasma dan aldosteron
sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal ini tidak ditemukan pada semua pasien dengan
SN. Beberapa pasien SN menunjukkan meningkatnya volume plasma dengan tertekannya
aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbul konsep teori overfilled. Menurut
teori ini retensi natrium renal dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak
bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan
ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat
overfilling cairan ke dalam ruang interstisial. Teori overfilled ini dapat menerangkan adanya
volume plasma yang tinggi dengan kadar renin plasma dan aldosteron menurun sekunder
terhadap hipervolemia. 4,6

12
Terdapat 2 bentuk patofisologi SN, yaitu tipe nefrotik dan tipe nefritik. Tipe nefrotik
ditandai dengan volume plasma rendah dan vasokonstriksi perifer denan kadar renin plasma
dan aldosteron yang tinggi. Laju filtrasi glomerulus (LFG) masih baik dengan kadar albumin
yang rendah dan biasanya terdapat pada SNKM. Karakteristik patofisiologi kelompok ini sesuai
dengan teori tradisional underfilled yaitu retensi natrium dan air merupakan fenomena
sekunder. Di pihak lain, kelompok kedua atau tipe nefritik, ditandai dengan volume plasma
tinggi, tekanan darah tinggi dan kadar renin plasma dan aldosteron rendah yang meningkat
sesudah persediaan natrium habis. kelompok kedua ini dijumpai pada glomerulonefritis kronik
dengan LFG yang relatif lebih rendah dan albumin plasma lebih tinggi dari kelompok petama.
Karakteristik patofisiologi kelompok keduaini sesuai dengan teori overfilled pada SN dengan
retensi air dan natrium yang merupakan fenomena primer intrarenal.4,6
Skema Mekanisme Underfill Skema Mekanisme Overfill

Pembentukan edema pada SN merupakan suatu proses yang dinamis dan mungkin saja
kedua proses underfilled-overfilled berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada
individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin suatu kombinasi
rangsangan yang lebih dari satu dan ini dapat menimbulkan gambaran nefrotik dan nefritis. Akibat
mengecilnya volume intravaskular akan merangsang keluarnya renin dan menimbulkan

13
rangsangan non osmotik untuk keluarnya hormon volume urin yang sedikit dan pekat dengan
sedikit natrium.

Karena pasien dengan hipovolemia disertai renin dan aldosteron yang tinggi umumnya
menderita penyakit SNKM dan responsif steroid, sedangkan mereka dengan volume darah
normal atau meningkat disertai renin dan aldosteron rendah umumnya menderita kelainan BKM
dan tidak responsif steroid, maka pemeriksaan renin dapat merupakan petanda yang berguna
untuk menilai seorang anak dengan SN responsif terhadap steroid atau tidak disamping adanya
SNKM. Namun derajat tumpang tindihya terlalu besar, sehingga sukar untuk membedakan
pasien antara kedua kelompok histologis tersebut atas dasar pemeriksaan renin. Peran peptida
natriuretik atrial (ANP) dalam pembentukan edema dan diuresis masih belum pasti.4,6

2.2.5 Manifestasi Klinis

Gejala utama yang ditemukan adalah edema anasarka. Pada awalnya dijumpai edema
terutamanya jelas pada kaki, namun dapat juga pada daerah periorbital, skrotum atau labia.
Bisa juga terjadi asites dan efusi pleura. Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif
(anasarka). Proteinuria > 3,5 g/hari pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hari pada anak anak.
Hipoalbuminemia < 20-30 mg/dl. Hiperlipidemia atau hiperkolesterolemia > 250mg/dl .
Pada sebagian pasien dapat ditemukan gejala lain yang jarang, seperti hipertensi,
hematuria, diare, anorexia, fatigue atau malaise ringan, nyeri abdomen atau nyeri perut, berat
badan meningkat, hiperkoagulabilitas.3

2.2.6 Diagnosis

1) Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditanyakan tanda-tanda retensi cairan seperti bengkak di kedua
kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh, peningkatan berat badan, dan rasa penuh di
perut hingga dapat menyebabkan sesak. Tanyakan juga mengenai riwayat buang air kecil,
dalam 24 jam sudah berapa yang keluar, adakah oligouria. Keluhan lain juga dapat ditemukan
seperti urin berwarna kemerahan. Kemudian ditanyakan penyakit yang mengarah ke penyebab
penyakit ginjal seperti hipertensi. 3,6

14
2) Pemeriksaan fisik
Dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata (puffy eyelids), tungkai atau adanya ascites
atau edema skrotum atau labia. Kadang-kadang ditemukan., tanda-tanda hipertensi, dan striae pada
kulit akibat edema.3,6

3) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu diagnosis antara lain hitung darah lengkap,
kimia darah, penentuan kreatinin dan protein urin. Pada urinalisis ditemukan masif proteinuria (3+
sampai 4+), glikosuria, sel-sel granular, sel hialin, dan sel-sel lemak. Biasanya sedimen urin
normal namun bila didapati hematuria mikroskopik (>20eritrosit/LPB) bisa dicurigai adanya lesi
glomerular (misal : sklerosis glomerulus fokal). Dari makroskopis, urin tampak berbuih. Pada
pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemi (<3 g/dl), hiperkolesterolemia lebih dari 200
mg/dl.3,6,7
Jika rasio protein urin terhadap kreatinin urin lebih dari 2, pasien dianggap menderita
sindrom nefrotik. Pasien anak yang kehilangan protein pada tingkat lebih atau setara dengan 50
mg/kg dalam 24 jam juga dianggap mengalami sindrom nefrotik. Pemeriksaan tambahan seperti
venografi diperlukan untuk menegakkan diagnosis trombosis vena yang dapat terjadi akibat
hiperkoagula-bilitas. Pada SN primer, untuk menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang
menentukan prognosis dan respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.3,7

2.2.7 Penatalaksanaan
Pengobatan SN terdiri dari terapi umum pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap
penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema dan
mengobati komplikasi.3,6
Terapi non spesifik:
a. Pengobatan untuk edema
1) Diet
Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap kontraindikasi
karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolism protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus. Jadi cukup diberikan diit protein

15
0,8 g/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet
protein disesuaikan hingga 0,6 g/kgBBideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam.6,12
Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1 2 gram/hari. Menggunakan garam
secukupnya dalam makanan dan menghindari makanan yang diasinkan, hanya diperlukan selama
anak menderita edema. Diet rendah kolesterol < 600 mg/hari. Pembatasan asupan cairan terutama
pada penderita rawat inap 900 sampai 1200 ml/ hari. 6,12
Pengukuran berat badan dilakukan setiap hari untuk mengevaluasi edema dan
keseimbangan cairan harus dicatat. BB diharapkan turun 0,5-1 kg/hari.Bila perlu tirah baring,
terutama untuk orang tua dengan edema tungkai berat karena kemungkinan adanya insufisiensi
venous. 3,6
2) Diuretik
Restriksi cairan diperlukan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretik
seperti furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila diperlukan dikom-binasikan dengan spironolakton
(antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgBB/hari. Pada pemakaian diuretik lebih
lama dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah (kalium dan natrium). Bila
pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema, biasanya disebabkan oleh hipovolemia atau
hipoalbuminemia berat (kadar albumin 1 gram/dl), dapat diberikan infus albumin 20-25%
dengan dosis 1 gram/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstitial, dan
diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB. 6,12
Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20
ml/kgBB/hari secara perlahan-lahan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi
dekompensasi jantung. Bila diperlukan, albumin dan plasma dapat diberikan selang sehari untuk
memberikan kesempatan pergeseran dan mencegah overload cairan. Perlu diperhatikan bahwa
pemberian diuretikum harus memperhatikan kadar albumin dalam darah, apabila kadar albumin
kurang dari 2 gr/l darah, maka penggunaan diuretikum tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan syok hipovolemik. Volume dan warna urin serta muntahan bila ada, harus dipantau
secara berkala. 6
3) Pengobatan untuk proteinuria
Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid, untuk mengurangi proteinuri
digunakan terapi simptomatik. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) paling sering
digunakan, cara kerjanya menghambat vasokonstriksi pada arteriol eferen, misal kaptopril atau

16
enalapril dosis rendah, dan dosis ditingkatkan setelah 2 minggu. ACEI berfungsi untuk menurun-
kan pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan konsentrasi lemak dalam darah.
Tetapi pada penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai berat, obat tersebut
dapat meningkatkan kadar kalium darah sehingga tidak dianjurkan bagi penderita dengan
gangguan fungsi ginjal. 12
Bisa juga diberikan obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), misal indometasin 3x50mg.
Obat antiinflamasi non-steroid dapat digunakan pada pasien nefropati membranosa dan
glomerulosklerosis fokal segmental untuk menurunkan sintesis prostaglandin. Hal ini
menyebabkan vasokonstriksi ginjal, penurunan tekanan kapiler glomerulus, area permukaan
filtrasi dan mengurangi proteinuria sampai 75%. Selain itu OAINS dapat mengurangi kadar
fibrinogen, fibrin-related antigenic dan mencegah agregasi trombosit. Namun demikian perlu
diperhatikan bahwa OAINS menyebabkan penurunan progresif fungsi ginjal pada sebagian pasien.
Obat ini tidak boleh diberikan bila klirens kreatinin < 50 ml/menit. 6
Angiotensin receptor blocker (ARB) mempunyai efektivitas yang sama dengan ACEI,
dapat memperbaiki proteinuri karena menghambat inflamasi dan fibrosis interstisium,
menghambat pelepasan sitokin, faktor pertumbuhan, adesi molekul akibat kerja angiotensin II
lokal pada ginjal. Kombinasi ACEI dan ARB dilaporkan memberi efek antiproteinuri lebih besar
pada glomerulonefritis primer dibandingkan pemakaian ACEI atau ARB saja. 6,12

4) Koreksi hipoproteinemia
Untuk memelihara keseimbangan nitrogen yang positif dibutuhkan peningkatan kadar
protein serum, tetapi pemberian diit tinggi protein selain sulit dipenuhi penderita (anoreksia) juga
terbukti meningkatkan ekskresi protein urin. Untuk penderita SN diberikan diit tinggi
kalori/karbohidrat (untuk memaksimalkan penggunaan protein yang dimakan) dan protein cukup
(0,8-1mg/ kgBB/hr). 3

5) Terapi hiperlipidemia
Walaupun belum ada bukti yang jelas bahwa hiperlipidemia pada SN meningkatkan resiko
penyakit kardiovaskular, tetapi apa yang terjadi pada populasi umum perlu dipakai sebagai
pertimbangan untuk menurunkan kadar lipid pada penderita SN. Untuk mengatasi hiperlipidemi
dapat digunakan penghambat hidroxymethyl glutaryl co-enzyme A (HMG Co-A) reductase yang

17
efektif menu-runkan kolesterol plasma. Obat golongan ini dikatakan paling efektif dengan efek
samping minimal. Gemfibrozil, bezafibrat, klofibrat menurunkan secara bermakna kadar
trigliserid dan sedikit menurunkan kadar kolesterol. 6,12
Klofibrat dapat toksis pada kadar biasa karena kadar klofibrat bebas yang meningkat
menyebabkan kerusakan otot dan gagal ginjal akut. Probukol menurunkan kadar kolesterol total
dan kolesterol LDL, tetapi efeknya minimal terhadap trigliserid. Asam nikotinat (niasin) dapat
menurunkan kolesterol dan lebih efektif jika dikombinasi dengan gemfibrozil.
Kolestiramin dan kolestipol efektif menurunkan kadar kolesterol total dan
kolesterol LDL, namun obat ini tidak dianjurkan karena efeknya pada absorbsi vitamin D di usus
yang memperburuk defisiensi vitamin D pada SN.
6) Hiperkoagulabilitas
Masih terdapat silang pendapat mengenai perlunya pemberian anti-koagulasi jangka
panjang pada semua penderita SN guna mencegah terjadinya resiko thrombosis, tetapi bila telah
terjadi thrombosis atau emboli paru maka perlu dipertimbangkan antikoagulasi jangka panjang,
seperti warfarin. (4)
7) Pengobatan infeksi
Antibiotik yang tepat hanya diberikan bila ada tanda-tanda infeksi sekunder. Di beberapa
negara, pasien SN dengan edema dan ascites diberikan antibiotik profilaksis dengan penicilin oral
125-250 mg, 2 kali sehari, sampai edema berkurang. Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian
antibiotik profilaksis, tetapi perlu dipantau secara berkala, dan bila ditemukan tanda-tanda infeksi
segera diberikan antibiotik. (4, 8)
8) Pengobatan hipertensi
Bila terdapat hipertensi dapat diberikan ACEI, Non Dihydropiridin Calcium Channel
Blocker (CCB). Pemberian diuretik dan pembatasan diit garam juga ikut berperan dalam
pengelolaan hipertensi. (4)

Terapi Spesifik
Patogenesis sebagian besar penyakit glomerular dikaitkan dengan gangguan imun, dengan
demikian terapi spesifiknya adalah dengan pemberian imunosupresif. (4)
Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang memberikan
respon terapi yang baik terhadap steroid. Peneliti lain menemukan bahwa pada lomerulosklerosis

18
fokal segmental sampai 40% pasien memberi respon yang baik terhadap steroid dengan remisi
lengkap. Schieppati dan kawak menemukan bahwa pada kebanyakan pasien nefropati membranosa
idiopatik, dengan terapi simptomatik fungsi ginjalnya lebih baik untuk jangka waktu lama dan
dapat sembuh spontan. Oleh karena itu mereka tidak mendukung pemakaian glukokortikoid dan
imunosupresan pada nefropati jenis ini.
Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya prednison
125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis dikurangi bertahap dan dihentikan
setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat diulangi. Regimen lain pada orang dewasa adalah
prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan
selang 1 hari selama 4 minggu. Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-
24 minggu, namun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan.6
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap, remisi parsial
dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuri minimal (< 200 mg/24 jam), albumin serum
>3 g/dl, kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang. Remisi parsial jika
proteinuri <3,5 g/hari, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang
lancar dan masih edema. Dikatakan resisten jika klinis dan hasil lab tidak memperlihatkan
perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid. 3,6
Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus SN nefropati lesi
minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% SN nefropati membranosa dan 20%-40% pada
glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu diperhatikan efek samping pemakaian kortikosteroid
jangka lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes melitus.

1) Pengobatan Relaps
Diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan
prednison dosis alternating selama 4 minggu. Pada SN yang mengalami proteinuria 2+ kembali
tetapi tanpa edema, sebelum dimulai pemberian prednison terlebih dahulu dicari pemicunya,
biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila ada infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila setelah
pemberian antibiotik kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps.
Bila sejak awal ditemukan proteinuria 2+ disertai edema, maka didiagnosis sebagai relaps. 3,6
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial, sangat penting,
karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya. Berdasarkan relaps yang terjadi dalam

19
6 bulan pertama pasca pengobatan steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa golongan :
(8)

a. Tidak ada relaps sama sekali (30%)


b. Relaps jarang : jumlah relaps <2
c. Relaps sering : jumlah relaps 2 kali (40-50%)

2) Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid


Bila pasien telah dinyatakan sebagai SN relaps sering atau dependen steroid, setelah
mencapai remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid alternating dengan dosis
yang diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan
relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/ kgBB alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat
diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Bila terjadi relaps pada dosis
prednison rumat >0,5 mg/kgBB alternating, tetapi <1,0>2. 3
Cyclophosphamide biasa digunakan untuk penderita yang mengalami relaps setelah steroid
dihentikan (steroid-dependent) atau mengalami relaps >3 kali dalam setahun (frequently relapsing)
bisa diberikan cyclophosphamide 2mg/kgBB/hr selama 8-12 minggu. Pada penggunaan
cyclophosphamide perlu diwaspadai terjadinya efek samping berupa infertilitas, cystitis, alopecia,
infeksi, malignansi. Chlorambucil digunakan dengan alasan yang sama dengan
cyclophosphamide. Dosis 0,1-0,2/kgBB/hr selama 8-12 minggu. 6
Pada penderita yang mengalami relaps setelah pemberian cyclophosphamide, diberikan
Cyclosporine A (CyA) dengan dosis awal 4-5 mg/kgBB/hari, di mana dosis selanjutnya perlu
disesuaikan dengan kadar CyA dalam darah. Pemberian berlangsung selama 1 tahun kemudian
diturunkan perlahan-lahan. Mengingat CyA mempunyai efek nefrotoksik, perlu memonitor fungsi
ginjal.
3) Pengobatan SN resisten steroid
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Sebelum
pengobatan dimulai, pada pasien SNRS dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi
anatomi ginjal, karena gambaran patologi anatomi tersebut mempengaruhi prognosis. Pengobatan
dengan CPA memberikan hasil yang lebih baik bila hasil biopsi ginjal menunjukkan SNKM
daripada GSFS. Dapat juga diberikan siklosporin, metilprednisolon, dan obat imunosupresif
lainnya. 6

20
Penelitian terbaru mengenai efek pemberian rituximab pada pasien sindrom nefrotik
dengan steroid-dependent. Rituximab adalah antibodi monoklonal yang bekerja menghambat
CD20 - sel B mediasi - sel proliferasi dan diferensiasi. CD20 adalah suatu protein membran pada
sel B yang terdapat pada sel maligna misalnya pada Non Hodgkins Lymphoma. Takashi et al
melaporkan bahwa pada pasien dewasa dengan multi relaps sindrom nefrotik dengan perubahan
minimal sukses menggunakan rituximab sukses menurunkan kejadian remisi sindrom nefrotik

2.2.8 Komplikasi

1. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis. Mekanisme kelainan hemostasis pada sindrom
nefrotik adalah dengan peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:

a. Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein di dalam urin seperti antithrombin III
(AT III), protein S bebas, plasminogen dan antiplasmin.

b. Hipoalbuminemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2.

c. meningkatnya sintesis protein prokoagulan dan tertekannya fibrinolisis.

2. Aktivasi sistem hemostatik di dalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan monosit dan oleh
paparan matriks subendotel pada kapiler glomerolus yang selanjutnya mengakibatkan
pembentukan fibrin dan agregasi trombosit.

3. Infeksi sekunder terutama infeksi kulit oleh streptococcus, staphylococcus,


bronkopneumonia, TBC. Erupsi erisipelas pada kulit perut atau paha sering ditemukan.
Pinggiran kelainan kulit ini batasnya tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan
biasanya tidak ditemukan organisme apabila kelainan kulit dibiakan.
4. Gangguan klirens renali pada pasien sindrom nefrotik mungkin disebabkan kurangnya
reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya hantaran natrium dan air ke ansa
henle tebal. Gangguan pengasaman urin ditandai dengan ketidakmampuan menurunkan pH
urin sesudah pemberian beban asam.

21
5. Gagal ginjal akut terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi filtrasi berkurang, tapi
karena edema interstisial dengan akibatnya meningkatnya tekanan tubulus proksimalis yang
menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG).

6. Anemia yang disebabkan protein pengangkut Fe yaitu transferin serum yang menurun akibat
proteinuria. Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi besi yang tipikal, namun resisten
terhadap pengobatan preparat Fe.
7. Peritonitis karena adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk
perkembangan kuman-kuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi streptokokus
pneumonia, E.coli.
8. Gangguan keseimbangan hormon dan mineral.

i. Karena protein pengikat hormon hilang melalui urin . Hilangnya globulin pengikat tiroid
(TBG) dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik dan laju ekskresi globulin umumnya
berkaitan dengan beratnya proteinuria.

ii. Hipokalsemia disebabkan albumin serum yang rendah, dan berakibat menurunkan kalsium
terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap. Disamping itu pasien sering
mengalami hipokalsiuria, yang kembali menjadi normal dengan membaiknya proteinuria.8,9

2.2. 9 Prognosis

Prognosis sindroma nefrotik tergantung dari beberapa faktor antara lain umur, jenis
kelamin, penyulit pada saat pengobatan dan kelainan histopatologi ginjal. prognosis pada umur
muda lebih baik daripada umur lebih tua, pada wanita lebih baik daripada laki-laki. Makin dini
terdapat penyulitnya, biasanya prognosisnya lebih buruk. Kelainan minimal mempunyai
respons terhadap kortikosteroid lebih baik dibandingkan dengan lesi dan mempunyai prognosis
paling buruk pada glomerulonefritis proliferatif. Sebab kematian pada sindroma nefrotik
berhubungan dengan gagal ginjal kronis disertai sindroma uremia, infeksi sekunder (misalnya
pneumonia).

22
BAB III

KESIMPULAN

Sindrom Nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit gromerular yang
ditandai dengan proteinuri masif >3.5 gram/ 24 jam/ 1.73 m2 disertai hipoalbuminemia, edema
anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas. Umumnya menegakkan diagnosis
diperlukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium terhadap sindroma nefrotik tersebut.
Penyebab yang paling sering dijumpai adalah sindroma nefrotik primer. Kelainan minimal
memberikan respons yang baik terhadap pengobatan dan mempunyai prognosis baik. Karena
banyak komplikasi yang dapat timbul dari keadaan ini, misalnya penurunan massa otot karena
gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulasi, osteoporosis, infeksi karena defek faktor -
faktor imunologi, dan gagal ginjal maka penatalaksanaan secara dini akan sangat berguna.
Penatalaksanaannya meliputi pemberian obat imunosupresif, penatalaksanaan edema, diuretic,
pemberian albumin intravena, antibiotik profilaksis, obat anti koagulasi, nutrisi tinggi kalori dan
rendah garam.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Hartoko B., 2008. Art of Therapy. Yogyakarta. Pustaka Cendikia Press


Yogyakarta. Hal. 69-70
2. Pardede S.O., 2002. Sindrom Nefrotik Infantil. Cermin Dunia kedokteran.
No.134. Hal. 32-37
3. Braunwald E., 2008. Sindrom Nefrotic dalam Anthony S.F., Eugene B.,
Dennis L., Kasper S.L. H., Don L.L., Joseph L.,(Eds). Principles of Internal
Medicine. Edisi 17, Volume II. Mc Graw Hill Companies Inc.1874-75
4. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. EGC. Jakarta;
2014
5. Snell, Richard : Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.
Penerbit: EGC. Jakarta 2006.
6. Prodjosudjadi W., 2006. Sindrom Nefrotik dalam Aru W.S., Bambang S.,
Idrus A., Marcellius S.K., Siti S. (Ed).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
III. Edisi IV. Jakarta, Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Hal. 1174 81
7. Israr Y. Sindrom Nefrotik. Riau: Belibis; 2008 [cited. Available from:
www.belibis17.tk.
8. Nephrotic Syndrome in Adults. The National Kidney and Urologic Diseases
Information Clearinghouse. U.S. 2012. National Kidney and Urologic Diseases
Information Clearinghouse. Available at: https://www.niddk.nih.gov/health-
information/health-topics/kidney-disease/nephrotic-syndrome in
adults/Documents/Nephrotic_Syndrome_ Adults_508. pdf
9. Sudoyo AW, Bambang Setiyohadi, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. FK UI.
Jakarta; 2009.
10. Hull RP, Goldsmith DJA. Nephrotic syndrome in adults. .The Merck Manuals
Online Medical Library. 2013. Available at :
www.merckmanuals.com/professional/genitourinary_disorders/glomerulardisorder
s/overview_of_nephrotic_syndrome. html?qt=Nephrotic Syndrome in
Adults&alt=sh
11. Nephrotic Syndrome in Adults. The National Kidney and Urologic Diseases
Information Clearinghouse. U.S. 2012. National Kidney and Urologic Diseases

24
Information Clearinghouse. Available at: https://www.niddk.nih.gov/health-
information/health-topics/kidney-disease/nephrotic-syndrome in
adults/Documents/Nephrotic_Syndrome_ Adults_508. pdf
12. Tanto, C., Hustrini, NM. Sindrom Nefrotik Kapita Selekta Kedoktran. Jilid
II. Edisi IV. Media Aesculapius : Jakarta 2014
13. Takei, T., Itabashi, M., Moriyama, T., Kojima, C., Shiohira, S., Shimizu, A.,
Nitta, K. (2012). Effect of single-dose rituximab on steroid-dependent
minimal-change nephrotic syndrome in adults. Nephrology Dialysis
Transplantation,28(5), 1225-1232. doi:10.1093/ndt/gfs515

25

Anda mungkin juga menyukai