Referat Als
Referat Als
PATOFISIOLOGI
Jalur molekuler yang tepat menyebabkan degenerasi motor neuron dalam
ALS tidak diketahui, tetapi sebagai dengan penyakit neurodegenerative lain,
kemungkinan untuk menjadi interaksi yang kompleks antara berbagai mekanisme
patogenik selular yang mungkin tidak saling eksklusif ini termasuk:
1. Faktor Genetik
ALS sporadis dan familial secara klinis dan patologis serupa,
sehingga ada kemungkinan memiliki patogenesis yang sama.
Walaupun hanya 2% pasien penderita ALS memiliki mutasi pada
SOD1, penemuan mutasi ini merupakan hal penting pada penelitian
ALS karena memungkinkan penelitian berbasis molekular dalam
pathogenesis ALS. SOD1, adalah enzim yang memerlukan tembaga,
mengkatalisasi konversi radikals superoksida yang bersifat toksik
menjadi hidrogen peroksida dan oksigen. Atom tembaga memediasi
proses katalisis yang terjadi. SOD1 juga memiliki kemampuan
prooksidasi, termasuk peroksidasi, pembentukan hidroksil radikal, dan
nitrasi tirosin. Mutasi pada SOD1 yang mengganggu fungsi
antioksidan menyebabkan akumulasi superoksida yang bersifat toksik.
Hipotesis penurunan fungsi sebagai penyebab penyakit ternyata tidak
terbukti karena ekspresi berlebihan dari SOD1 yang termutasi (di mana
alanin mensubstitusi glisin pada posisi 93 SOD1 (G93A) menyebabkan
penyakit pada saraf motorik walaupun adanya peningkatan aktivitas
SOD1. Oleh karena itu, mutasi SOD1 menyebabkan penyakit dengan
toksisitas yang mengganggu fungsi, bukan karena penurunan aktivitas
SOD1
TERAPI LAMA
Direkomendasikan riluzole (suatu antagonis glutamat) 50 mg dua kali
sehari, dengan pemantauan teratur. Pemberian 100 mg riluzole oral setiap hari
setelah 18 bulan memperpanjang harapan hidup penderita ALS sekitar tiga bulan.
Efek samping riluzole adalah fatigue dan asthenia. Hingga kini, belum ada terapi
efektif untuk ALS (Anurogo, 2013).
Berbagai obat yang sedang memasuki trial fase II/III: arimoclomol,
ceftriaxone, edaravone, IGF-1 polypeptide, minocycline, sodium phenylbutyrate,
tamoxifen, thalidomide. Sedangkan obat yang sedang dipertimbangkan dan
direncanakan memasuki trial fase III: AEOL 10150, celastrol, coenzyme Q10,
copaxone, IGF-1 viral delivery, memantine, NAALADase inhibitor, nimesulide,
ritonavir, hydroxyurea, scriptaid, talampanel, trehalose (Anurogo, 2013).
Status nutrisi penderita ALS juga perlu dievaluasi, mengingat sering
terjadi disfagia, hipermetabolisme, serta beragam penyakit. Tatalaksana nutrisi
termasuk diet, strategi menelan, kemungkinan dipasang selang makanan langsung
ke lambung (gastrostomy tube placement), dan suplementasi berupa vitamin dan
mineral (Anurogo, 2013).
Medikasi simtomatis untuk mengatasi spastisitas yang mengganggu
aktivitas harian adalah pemberian baclofen atau diazepam. Untuk mengatasi
produksi saliva berlebihan (sialorrhea) dapat diberi trihexyphenidyl atau
amitriptyline. Bila refrakter, dapat diberi injeksi botulinum toxin type B di
kelenjar parotid dan submandibular, amitriptyline, atau antikolinergik (Anurogo,
2013).
Depresi diatasi dengan antidepresan, misalnya: amitriptyline atau
golongan SSRI. Insomnia diatasi dengan amitriptyline atau golongan hipnotik,
seperti: zolpidem, diphenhydramine. Cemas (anxiety) diatasi dengan bupropion
atau diazepam 0,5 mg 2-3 kali sehari, atau lorazepam sublingual (Anurogo, 2013).
Pseudobulbar affect, menangis-tertawa berlebihan, atau gangguan ekspresi
emosional involunter dialami 2050% penderita ALS, terutama pada kasus
pseudobulbar palsy. Kombinasi 30 mg dextromethorphan dan 30 mg quinidine
BID efektif mengatasi pseudobulbar affect. Efek samping yang sering terjadi
adalah dizziness, nausea, dan somnolen (Anurogo, 2013).
Gunakan oksigen hanya pada kasus hipoksia simtomatis. Untuk mengatasi
terminal restlessness dan confusion karena hypercapnia, digunakan neuroleptik
(chlorpromazine 12,5 mg setiap 4 hingga 12 jam p.o., i.v. atau p.r.). Untuk
dyspnoea dan/atau nyeri refrakter, digunakan opioid dosis tunggal atau
dikombinasi dengan benzodiazepine jika disertai cemas. Titrasi dosis tidak akan
mengakibatkan depresi saluran pernapasan (Anurogo, 2013).
TERAPI BARU
Terapi Recombinant human insulin-like growth factor (rhIGF-I) - protein
manusia yang dimodifi kasi secara genetik - diharapkan dapat meningkatkan dan
memperkuat kelangsungan hidup neuron motorik pada ALS. Diberikan setiap hari
melalui injeksi subkutan. Terapi stem cell menjanjikan, namun efektivitasnya
masih memerlukan riset lanjutan (Anurogo, 2013).
Komplikasi pernafasan adalah penyebab umum morbiditas dan mortalitas
penderita ALS. Tatalaksana insufisiensi saluran pernapasan dengan ventilasi
noninvasif meningkatkan kualitas dan kelangsungan hidup penderita ALS. Terapi
radiasi dengan dosis 77,5 Gy bilateral efektif mengurangi produksi saliva, namun
ada efek samping, seperti: erythema, sore throat, dan mual (Anurogo, 2013).
KOMPLIKASI
ALS dapat menyebabkan terjadi berbagai komplikasi, yaitu: aspirasi,
penurunan kemampuan perawatan diri, gagal paru-paru, berat badan menurun,
pressure sores, dan pneumonia (Anurogo, 2013).
Diafragma dan otot respirasi lainnya selalu terpengaruh, dan kebanyakan
pasien meninggal karena koplikasi pernapasan. Hal ini terjadi terutama dari
ketidakmampuan pasien untuk bernapas karena kelemahan otot pernafasan. Pada
pasien dengan kelemahan bulbar, aspirasi sekresi atau makanan dapat terjadi dan
pneumonia, karena itu, manajemen pernafasan diperlukan dalam perawatan
komprehensif pasien dengan ALS. Rutin mengukur kapasitas vital dalam posisi
duduk dan telentang. Paling sering, pengukuran berbaring menurun sebelum
pengukuran duduk. Gravitasi membantu dalam menurunkan diafragma sebagai
sudut pasien kecenderungan meningkat (Carmel, 2016).
Kelemahan pernafasan berlangsung, pasien telah meningkatkan kesulitan
dengan gerakan diafragma ketika telentang karena penghapusan efek ini dari
gravitasi. Hal ini menyebabkan hipoventilasi alveolar dan desaturasi
oksihemoglobin utama. Kesulitan tidur dapat menjadi gejala pertama
hipoventilasi. Pasien harus dipertanyakan tentang kebiasaan tidur secara rutin, dan
jika gangguan tidur mengembangkan, mengukur kapasitas penting duduk dan
terlentang. Selain itu, melakukan monitoring saturasi oksigen semalam untuk
menilai hipoksemia malam dan kebutuhan untuk ventilasi tekanan positif
intermiten malam noninvasif (IPPV) (Carmel, 2016).
PROGNOSIS
ALS adalah penyakit yang fatal. Hidup rata-rata adalah 3 tahun dari onset
klinis kelemahan. Namun, kelangsungan hidup yang lebih panjang tidak langka.
Sekitar 15% dari pasien dengan ALS hidup 5 tahun setelah diagnosis, dan sekitar
5% bertahan selama lebih dari 10 tahun. Kelangsungan hidup jangka panjang
dikaitkan dengan usia yang lebih muda saat onset, laki-laki, dan anggota tubuh
daripada bulbar onset gejala. Laporan Langka remisi spontan ada (Lechtzin,
2012).
Penyakit motorneuron yang terbatas seperti PMA, PBP, PLS yang tidak
berkembang menjadi ALS klasik memiliki progresifitas yang lebih lambat dan
kelangsungan hidu yang lebih panjang (Lechtzin, 2012).
DAFTAR PUSTAKA
Agamanolis, Dimitri P. 2015. Neuropathology: An illustrated interactive course
for medical students and residents: Motor Neuron Disease. Available at
(http://neuropathology-web.org/chapter9/chapter9fALS.html). [diakses: 2
April 2016].