Anda di halaman 1dari 18

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tonsila Palatina


a. Anatomi
Dalam bidang THT dikenal tiga buah tonsil, yaitu tonsila palatina, tonsila
faringeal dan tonsila lingualis. Dalam pengertian sehari-hari, yang dikenal sebagai
tonsil adalah tonsila palatina, sedangkan tonsila faringeal dikenal sebagai adenoid.
Tonsil terletak dalam fossa tonsilaris, berbentuk oval dengan ukuran pada
orang dewasa panjang 20-25 mm, lebar 15-20 mm, tebal 15 mm dan berat sekitar
1,5 gram. Fossa tonsilaris, di bagian depan dibatasi oleh pilar anterior (arkus
palatina anterior), sedangkan di bagian belakang dibatasi oleh pilar posterior
(arkus palatina posterior), yang kemudian bersatu di pole atas dan selanjutnya
bersama-sama dengan m. Palatina membentuk palatum molle.4
Permukaan lateral tonsil dilapisi oleh kapsula fibrosa yang kuat dan
berhubungan dengan fascia faringobasilaris yang melapisi m. Konstriktor
Faringeus. Kapsul tonsil tersebut masuk ke dalam jaringan tonsil, membentuk
septa yang mengandung pembuluh darah dan saraf tonsil.4

Gambar 2.1 Tonsila Palatina


4

Permukaan tonsil mempunyai lekukan yang merupakan muara kripta tonsil.


Kripta tonsil berjumlah sekitar 10-20 buah, berbentuk celah kecil yang dilapisi
oleh epitel berlapis gepeng. Kripta yang paling besar terletak di pole atas, sering
menjadi tempat pertumbuhan kuman karena kelembaban dan suhunya sesuai
untuk pertumbuhan kuman, dan juga karena tersedianya substansi makanan di
daerah tersebut.4
Pole bawah tonsil melekat pada lipatan mukosa yang disebut plika
triangularis dimana pada bagian bawahnya terdapat folikel yang kadang
membesar. Plika ini penting karena sikatriks yang terbentuk setelah proses
tonsilektomi dapat menarik folikel tersebut ke dalam fossa tonsilaris, sehingga
dapat dikelirukan sebagai sisa tonsil.4
Pole atas tonsil terletak pada cekungan yang berbentuk bulan sabit, disebut
sebagai plika semilunaris. Pada plika ini terdapat massa kecil lunak, letaknya
dekat dengan ruang supratonsil dan disebut glandula salivaris mukosa dari Weber,
yang penting peranannya dalam pembentukan abses peritonsil. Pada saat
tonsilektomi, jaringan areolar yang lunak, antara tonsil dangan fossa tonsilaris
mudah dipisahkan.4
Di sekitar tonsil terdapat tiga ruang potensial yang secara klinik sering
menjadi tempat penyebaran infeksi dari tonsil, yaitu4 :
1. Ruang peritonsil (ruang supratonsil)
Berbentuk hampir segitiga dengan batas-batas :
o Anterior : M. Palatoglossus
o Lateral dan Posterior : M. Palatofaringeus
o Dasar segitiga : Pole atas tonsil
Dalam ruang ini terdapat kelenjar salivari Weber, yang bila terinfeksi dapat
menyebar ke ruang peritonsil, menjadi abses peritonial.
2. Ruang retromolar
Terdapat tepat di belakang gigi molar tiga berbentuk oval, merupakan sudut
yang dibentuk oleh ramus dan korpus mandibula. Di sebelah medial terdapat
m. Buccinator, sementara pada bagian posteromedialnya terdapat m.
Pterigoideus Internus dan bagian atas terdapat fasikulus longus
5

m.temporalis. Bila terjadi abses hebat pada daerah ini akan menimbulkan
gejala utama trismus disertai sakit yang amat sangat, sehingga sulit
dibedakan dengan abses peritonsilar.
3. Ruang parafaring (ruang faringomaksilar;ruang pterigomandibula)
Merupakan ruang yang lebih besar dan luas serta banyak terdapat pembuluh
darah besar, sehingga bila terjadi abses berbahaya sekali. Adapun batas-
batas ruang ini adalah :
a. Superior : basis cranii dekat foramen jugulare
b. Inferior : os hyoid
c. Medial : m. Konstriktor faringeus superior
d. Lateral : ramus asendens mandibula, tempat m. Pterigoideus Interna
dan bagian posterior kelenjar parotis
e. Posterior : otot-otot prevertebra.
Ruang parafaring ini terbagi 2 (tidak sama besar) oleh prosessus styloideus
dan otot-otot yang melekat pada prosessus styloideus tersebut.
a. Ruang pre-styloid, lebih besar, abses dapat timbul oleh karena : radang
tonsil, mastoiditis, parotitis, karies gigi atau tindakan operatif.
b. Ruang post-styloid, lebih kecil, di dalamnya terdapat : A. Karotis
Interna, V. Jugularis, N. Vagus dan saraf-saraf simpatis.

Gambar 2.2 Tonsila Palatina dan struktur sekitarnya


6

b. Vaskularisasi Tonsil
Tonsil diperdarahi oleh beberapa cabang pembuluh darah, yaitu4,5 :
1. A. Palatina asendens, cabang A. fasialis memperdarahi bagian postero
inferior.
2. A. Tonsilaris, cabang A. Fasialis memperdarahi daerah antero inferior.
3. A. Lingualis dorsalis, cabang A. Maksilaris interna memperdarahi daerah
antero media.
4. A. Faringeal asendens, cabang A. Karotis eksterna memperdarahi daerah
postero superior.
5. A. Palatina desendens dan cabangnya, A. Palatina mayor dan minor
memperdarahi daerah antero superior.
Darah vena dialirkan melalui pleksus venosus perikapsular ke V. Lingualis
dan pleksus venosus faringeal, yang kemudian bermuara ke V. Jugularis interna.
Pembuluh vena tonsil berjalan dari palatum, menyilang bagian lateral kapsula dan
selanjutnya menembus dinding faring.4

Gambar 2.3 Vaskularisasi Tonsil

c. Aliran Limfe Tonsil


Tonsil tidak mempunyai sistem limfatik aferen. Aliran limfe dari parenkim
tonsil ditampung pada ujung pembuluh limfe eferen yang terletak pada trabekula,
yang kemudian membentuk pleksus pada permukaan luar tonsil dan berjalan
7

menembus m. Konstriktor faringeus superior, selanjutnya menembus fascia


bucofaringeus dan akhirnya menuju kelenjar servikalis profunda yang terletak
sepanjang pembuluh darah besar leher, di belakang dan di bawah arkus
mandibula. Kemudian aliran limfe dilanjutkan ke nodulus limfatikus daerah dada
untuk selanjutnya bermuara ke dalam duktus torasikus.5

Gambar 2.4 Aliran Limfe Tonsil

d. Inervasi Tonsil
Terutama melalui N. Palatina mayor dan minor (cabang N. V) dan N.
Lingualis (cabang N. IX). Nyeri pada tonsilitis sering menjalar ke telinga, hal ini
terjadi karena N. IX juga mempersarafi membran timpani dan mukosa telinga
tengah melalui Jacobsons Nerve.5
8

Gambar 2.5 Inervasi Tonsil


e. Histologi Tonsil
Kapsul tonsil terutama terdiri dari jaringan ikat dan serabut elastin yang
meliputi dua pertiga bagian permukaan lateral tonsil. Kapsul ini pada beberapa
tempat masuk menjorok ke dalam tonsil, membentuk kerangka penyokong
struktur di dalam tonsil yang disebut trabekula. Trabekula merupakan tempat
lewatnya pembuluh darah, pembuluh limfatik eferen, dan saraf. Di dalam kapsul
dapat dijumpai serabut-serabut otot serta pulau-pulau kartilago hialin, yang
merupakan sisa jaringan embrional arkus brakialis. Membrana mukosa tonsil
terdiri dari epitel berlapis gepeng dan pada beberapa tempat, lapisan mukosa ini
akan mengadakan invaginasi ke dalam massa tonsil, membentuk saluran buntu
yang disebut kripta. Kripta ini berbentuk tidak teratur dan bercabang-cabang.
Lapisan epitel mukosa kripta lebih tipis bila dibandingkan dengan epitel mukosa
tonsil, bahkan pada beberapa tempat, kripta ini tidak dilapisi mukosa sam sekali.
Komposisi terbesar dari jaringan tonsil adalah jaringan limfoid yang pada
beberapa tempat berkelompok, berbentuk bulat atau oval yang disebut folikel,
dengan diameter sekitar 1-2 cm. Di dalam folikel, terdapat sel-sel limfosit dalam
berbagai stadium pertumbuhan, dengan pusat pertumbuhannya disebut sentrum
9

germinativum. Kadang-kadang di sepanjang epitel dapat ditemukan sel-sel


limfosit yang bermigrasi atau mengadakan infiltrasi melalui mukosa yang tipis.4,5

f. Fisiologi Tonsil
Berdasarkan penelitian, ternyata tonsil mempunyai peranan penting dalam
fase-fase awal kehidupan, terhadap infeksi mukosa nasofaring dari udara
pernapasan sebelum masuk ke dalam saluran napas bagian bawah. Hasil penelitian
juga menunjukkan bahwa parenkim tonsil mampu menghasilkan antibodi. Tonsil
memegang peranan dalam menghasilkan Ig-A, yang menyebabkan jaringan lokal
resisten terhadap organisme patogen.6
Sewaktu baru lahir, tonsil secara histologis tidak mempunyai centrum
germinativum, biasanya ukurannya kecil. Setelah antibodi dari ibu habis, barulah
mulai terjadi pembesaran tonsil dan adenoid, yang pada permulaan kehidupan
masa anak-anak dianggap normal dan dapat dipakai sebagai indeks aktifitas
sistem imun. Pada waktu pubertas atau sebelum masa pubertas, terjadi
kemunduran fungsi tonsil yang disertai proses involusi. Terdapat dua mekanisme
pertahanan, yaitu spesifik dan non spesifik.6
f.1 Mekanisme Pertahanan Non-Spesifik
Mekanisme pertahanan non-spesifik berupa lapisan mukosa tonsil dan
kemampuan limfoid untuk menghancurkan mikroorganisme. Pada beberapa
tempat lapisan mukosa ini sangat tipis, sehingga menjadi tempat yang lemah
dalam pertahanan dari masuknya kuman ke dalam jaringan tonsil. Jika kuman
dapat masuk ke dalam lapisan mukosa, maka kuman ini dapat ditangkap oleh sel
fagosit. Sebelumnya kuman akan mengalami opsonisasi sehingga menimbulkan
kepekaan bakteri terhadap fagosit.6
Setelah terjadi proses opsonisasi maka sel fagosit akan bergerak
mengelilingi bakteri dan memakannya dengan cara memasukkannya dalam suatu
kantong yang disebut fagosom. Proses selanjutnya adalah digesti dan mematikan
bakteri. Mekanismenya belum diketahui pasti, tetapi diduga terjadi peningkatan
konsumsi oksigen yang diperlukan untuk pembentukan superoksidase yang akan
membentuk H2O2, yang bersifat bakterisidal. H2O2 yang terbentuk akan masuk ke
10

dalam fagosom atau berdifusi di sekitarnya, kemudian membunuh bakteri dengan


proses oksidasi.6
Di dalam sel fagosit terdapat granula lisosom. Bila fagosit kontak dengan
bakteri maka membran lisosom akan mengalami ruptur dan enzim hidrolitiknya
mengalir dalam fagosom membentuk rongga digestif, yang selanjutnya akan
menghancurkan bakteri dengan proses digestif.6
f.2 Mekanisme Pertahanan Spesifik
Merupakan mekanisme pertahanan yang terpenting dalam pertahanan tubuh
terhadap udara pernapasan sebelum masuk ke dalam saluran napas bawah. Tonsil
dapat memproduksi Ig-A yang akan menyebabkan resistensi jaringan lokal
terhadap organisme patogen. Disamping itu tonsil dan adenoid juga dapat
menghasilkan Ig-E yang berfungsi untuk mengikat sel basofil dan sel mastosit,
dimana sel-sel tersebut mengandung granula yang berisi mediator vasoaktif, yaitu
histamin.6
Bila ada alergen maka alergen itu akan bereaksi dengan Ig-E, sehingga
permukaan sel membrannya akan terangsang dan terjadilah proses degranulasi.
Proses ini menyebabkan keluarnya histamin, sehingga timbul reaksi
hipersensitifitas tipe I, yaitu atopi, anafilaksis, urtikaria, dan angioedema.6
Dengan teknik immunoperoksidase, dapat diketahui bahwa Ig-E dihasilkan
dari plasma sel, terutama dari epitel yang menutupi permukaan tonsil, adenoid,
dan kripta tonsil. Mekanisme kerja Ig-A adalah mencegah substansi masuk ke
dalam proses immunologi, sehingga dalam proses netralisasi dari infeksi virus, Ig-
A mencegah terjadinya penyakit autoimun. Oleh karena itu Ig-A merupakan barier
untuk mencegah reaksi imunologi serta untuk menghambat proses bakteriolisis.6
11

II.2 Tonsilitis Tuberkulosa


Tonsilitis adalah peradangan umum dan pembengkakan dari jaringan tonsil
yang biasanya disertai dengan pengumpulan leukosit, sel-sel epitel mati, dan
bakteri patogen dalam kripta. Tonsilitis tuberkulosa adalah peradangan pada
jaringan tonsil yang disebabkan bakteri M. Tuberculosa. Terjadi sekunder setelah
penyakit tuberkulosa aktif dalam paru-paru, menyebar ke tonsil melalui kontak
langsung dengan sputum, inhalasi, hematogenik. Pada mukosa faring dan tonsil
akan terdapat ulserasi irregular yang dangkal dan mengandung jaringan granulasi
yang pucat serta mengandung basil tahan asam tuberkel. Juga akan nampak
pembesaran kelenjar getah bening.2,7

II.3 Etiologi dan Penularan


Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosa dan Mycobacterium bovis. Mycobacterium
tuberculosa ditemukan oleh Robert Koch dalam tahun 1882. Basil tuberkulosis
dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering, tetapi
dalam cairan pada suhu 60oC mati dalam 15-20 menit. Fraksi protein basil
tuberkulosis menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan lemaknya menyebabkan
sifat tahan asam dan merupakan faktor penyebab terjadinya fibrosis dan
terbentuknya sel epiteloid dan tuberkel. Basil tuberkulosis tidak membentuk
toksin (baik endotoksin maupun eksotoksin).8
Penularan Mycobacterium tuberculosa biasanya melalui udara, hingga
sebagian besar fokus primer tuberkulosis terdapat dalam paru. Selain melalui
udara penularan dapat peroral misalnya minum susu yang mengandung basil
tuberkulosis, biasanya Mycobacterium bovis. Cara infeksi ini disebut cara
eksogen. Sedangkan cara endogen yaitu penyebaran melalui darah (hematogen)
pada tuberkulosis miliaris dan melalui aliran limfe (limfogen).8

II.3 Insidensi Tonsilitis Tuberkulosa


Tonsilitis tuberkulosa merupakan penyakit yang jarang terjadi dengan
prevalensi kurang dari 5%. Angka kejadian tonsilitis tuberkulosa relatif tinggi
12

pada masa pra-pasteurisasi karena infeksi Mycobacterium bovis melalui konsumsi


susu sapi yang tidak dipasteurisasi. Pada tahun 1963, Miller menyimpulkan bahwa
dengan munculnya susu yang terpasteurisasi, menurunkan angka kejadian
tonsilitis tuberkulosa. Tonsil adalah jaringan limfoid yang terletak di tempat di
mana ia terus-menerus terkena sputum/air liur yang terinfeksi namun kejadian
tonsilitis tuberkulosa tetap rendah. Hal ini disebabkan karena8:
a. Saliva yang bersifat antiseptik dan membersihkan.
b. Adanya saprophytes di rongga mulut mengakibatkan sulitnya terjadi
kolonisasi basil tuberkulosis.
c. Lapisan epitel skuamosa berlapis tebal yang menutupi tonsil yang tahan
terhadap kolonisasi oleh M. tuberkulosis.
d. Resistensi tonsil terhadap tuberkulosis.
Setelah ditemukannya obat antituberkulosis yang sangat efektif (OAT),
angka kejadian tonsilitis tuberkulosa menurun bahkan menjadi nol, namun
kejadiannya. Meskipun begitu tonsilitis tuberkulosa dapat ditemukan pada pasien
dengan imunitas yang buruk akibat alkoholisme, infeksi HIV, dan sebagainya.
Kebersihan gigi yang buruk, ekstraksi gigi, periodontitis, dan leukoplakia adalah
faktor predisposisi untuk tuberkulosis oral primer.8

II.4 Klasifikasi Tonsilitis Tuberkulosa


Irwin Moore mengklasifikasikan tonsilitis tuberkulosa menjadi8:
a. Tonsilitis tuberkulosa primer
Tonsilitis tuberkulosa primer jarang dilaporkan dalam literatur medis.
Tonsilitis tuberkulosa primer terjadi jika ditemukan infeksi Mycobacterium
tuberculosa pada tonsil, tanpa disertai adanya keterlibatan paru. Rute
penyebaran infeksi pada tonsillitis tuberkulosa primer yang saat ini diterima
adalah invasi langsung dari basil tuberkel melalui inhalasi.
b. Tonsilitis tuberkulosa sekunder
Tonsilitis tuberkulosa sekunder terjadi jika ditemukan infeksi tonsil akibat
Mycobacterium tuberculosa yang disertai adanya keterlibatan paru.
Tonsilitis tuberkulosa sekunder merupakan komplikasi dari lesi tuberkulosis
13

paru aktif. Mekanisme penyebaran infeksi ke tonsil dapat berupa


penyebaran langsung di sepanjang saluran pernapasan dari infeksi paru
primer berupa sputum yang mengandung kuman maupun penyebaran
melalui sistem darah ataupun limfatik.

II.5 Gambaran Klinis


Secara klinis, tonsilitis tuberkulosa terdiri dari 4 stadium, yaitu8,9:
1. Stadium infiltrasi
Pertama-tama terjadi pembengkakan dan hiperemis pada mukosa tonsil
bagian posterior. Pada stadium ini mukosa tonsil berwarna pucat. Kemudian
di daerah submukosa terbentuk tuberkel, sehingga mukosa tidak rata,
tampak bintik-bintik yang berwarna kebiruan. Tuberkel ini makin
membesar, serta beberapa tuberkel yang berdekatan bersatu, sehingga
mukosa di atasnya meregang. Pada suatu saat, karena sangat meregang,
maka akan pecah dan timbul ulkus.
2. Stadium ulserasi
Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus ini
dangkal, dasarnya ditutupi oleh perkijuan, serta sangat dirasakan nyeri oleh
pasien. Pada pemeriksaan dapat dijumpai massa pada tonsil dengan
permukaan tidak rata nampak seperti gigitan tikus (mouse bites) disertai
dengan sedikit ulserasi.

Gambar 2.6 Tonsilitis tuberkulosa


14

Gambar 2.7 Tonsilitis tuberkulosa (pasien poli)


3. Stadium perikondritis
Ulkus makin dalam, sehingga terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan
berlanjut dan terbentuk sekuester (squester). Pada stadium ini keadaan
umum pasien sangat buruk dan dapat meninggal dunia. Bila pasien dapat
bertahan maka proses penyakit berlanjut dan masuk dalam stadium terakhir
yaitu stadium fibrotuberkulosis.
4. Stadium fibrotuberkulosis
Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada tonsil.

II.6 Gejala Klinis


Gejala yang sering ditemukan antara lain8,9 :
a. Nyeri waktu menelan (odinofagia) yang lebih hebat bila dibandingkan
dengan nyeri karena radang lainnya, merupakan tanda yang khas.
b. Rasa mengganjal pada tenggorokan
c. Tenggorokan terasa kering dan panas
d. Bau mulut
e. Tidak nafsu makan
f. Rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri di telinga ini dikarenakan nyeri
alih (referred pain) melalui n. Glossopharingeus (n.IX).
Selain itu dapat juga ditemukan gejala-gejala khas pada pasien dengan
tuberkulosa paru pada umumnya seperti10 :
a. Penurunan berat badan
b. Demam
c. Keringat malam
d. Batuk dan hemoptisis
15

e. Keadaan umum buruk


f. Pada pemeriksaan paru (secara klinis dan radiologik) terdapat proses aktif
(biasanya pada stadium eksudatif atau pada pembentukan kaverne)

II.7 Patogenesis
Masuknya basil tuberkulosis dalam tubuh tidak selalu menimbulkan
penyakit. Terjadinya infeksi dipengaruhi oleh virulensi dan banyaknya basil
tuberkulosis serta daya tahan tubuh manusia. Infeksi primer biasanya terjadi
dalam paru, penyebaran dapat terjadi secara eksogen yaitu melalui kontak mukosa
tonsil dengan sputum yang mengandung basil tuberkulosa dan secara endogen
yaitu penyebaran basil tuberkulosa melalui aliran darah maupun aliran limfe.
Walaupun biasanya terjadi penyebaran dari infeksi primer di paru-paru tidak
menutup kemungkinan terjadi infeksi primer di tonsil yang berasal dari droplets
langsung dari udara yang masuk. Seperti yang digambarkan pada tuberkulosa
paru, proses peradangan tuberkulosa pada tonsil juga berjalan kronis dengan
perkembangan yang lambat. Basil tuberkulosa akan menimbulkan peradangan
dimulai dari perkembangan biakannya. Dari peradangan tersebut akan dipanggil
sel-sel polimorfonuklear dan makrofag sebagai langkah pertahanan tubuh. Namun
basil tuberkulosa mempunyai pertahanan yang baik dalam menghadapi sistem
pertahanan tubuh manusia (karena lapisan lipid yang tebal dan tahan asam), oleh
karena itu tidak semua basil tuberkulosa mati, sebagian tetap hidup dalam
makrofag dan berkembang biak. Faktor imunitas pasien juga berperan penting,
pada orang dengan pertahan tubuh bagus biasanya basil tuberkulosa akan dorman
dan tidak berkembang. Karena basil tuberkulosa tidak mudah mati, maka tubuh
berusaha menekan infeksinya dengan membentuk jaringan granulosa di sekitar
fokus infeksi, respon ini timbul dari rangsangan sitokin-sitokin yang dikeluarkan
oleh makrofag yang terinfeksi basil tuberkulosa. Jaringan granulosa tersebut akan
berkembang menjadi serat fibrosa dan seakan-akan mengisolasi basil tuberkulosa.
Hal ini bisa dilihat dengan terbentuknya tuberkel-tuberkel tuberkulosa. Di dalam
tuberkel tersebut basil tuberkulosa masih aktif merusak jaringan bahkan
mereplikasi diri. Jika pengobatan tidak adekuat ditambah faktor imunitas yang
16

buruk maka perkembangannya akan terus berlanjut. Pada suatu saat tuberkel dapat
pecah mengeluarkan basil tuberkulosa beserta jaringan nekrotik dan terbentuk
ulkus. Kerusakannya akan semakin dalam jika tidak diobati8,9.

II.8 Diagnosa
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Untuk menegakkan diagnosis disamping dijumpainya
gambaran klinis seperti yang sudah dijabarkan di atas, juga diperlukan
pemeriksaan sputum Basil Tahan Asam (zielh-nelsen) untuk melihat adanya
tuberkulosis paru, selain itu pengambilan swab tenggorokan juga bisa dilakukan.
Foto Thorax PA juga digunakan untuk menilai apakah terdapat infeksi primer
tuberkulosa pada paru dan perkembangannya. Biopsi jaringan yang terinfeksi
untuk menyingkirkan adanya proses keganasan, serta mencari basil tahan asam di
jaringan. Kultur spesimen dapat dilakukan untuk mendeteksi sensitivitas terhadap
antimikroba. Uji tuberkulin hanya efektif pada anak-anak karena pada orang
dewasa sering terjadi false positif10.
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan BTA3,10 :
1. 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan.
2. 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + atau (1+).
3. 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ atau (2+).
4. > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ atau (3+).
Kultur organisme Mycobacterium tuberculosis dari spesimen tonsil pasien
dapat membuat diagnosis definitif untuk tonsilitis tuberkulosa. Namun, kultur
bakteri ini biasanya memakan waktu 2-8 minggu sampai kita mendapatkan
hasilnya, sehingga dinilai terlalu lambat untuk membantu memutuskan rencana
pengobatan. Meskipun pada pemeriksaan radiografi dada menunjukkan hasil
normal, beberapa pasien dengan tuberkulosa ekstra paru memiliki hasil kultur
sputum positif.3,10
Diagnosa tonsilitis tuberkulosa tergantung pada pemeriksaan histologisnya.
Harus ditemukan epithelioid granuloma, nekrosis caseosa, sel datia Langhan dan
tes AFB positif untuk diagnosis histopatologis. Akurasi diagnosa bisa meningkat
17

hasilnya jika uji histologi dan polymerase chain reaction (PCR) dikombinasikan
dengan kultur kuman.3,10

II.9 Tatalaksana
Pada umumnya penderita dengan tonsilitis tuberkulosa sebaiknya tirah
baring, pemberian cairan adekuat serta diet tinggi kalori tinggi protein. Analgetik
efektif untuk mengurangi nyeri. Dasar penatalaksanan tonsilitis tuberkulosa sama
dengan tuberkulosa paru. Pengobatan tuberkulosa dilakukan dengan prinsip -
prinsip sebagai berikut10,11:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)11
a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan11
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama.
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.
18

Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) : 2 bulan pertama INH + Rifampisin + Pirazinamid


+ Etambutol, setelah itu 4 bulan berikutnya diberikan INH dan Rifampisin
seminggu 3 kali.
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru
- Pasien baru TB paru BTA positif.
- Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
- Pasien TB ekstra paru
Selain dosis diatas terapi kategori 1 dapat juga diberikan KDT (kombinasi dosis
tetap).

Setelah pemberian terapi anti tuberkulosis selama 2 bulan biasanya dijumpai


perbaikan klinis dan radiologis yang signifikan pada pasien tersebut. Apabila
penatalaksanaan medis atau terapi konservatif gagal untuk meringankan gejala-
gejala pada pasien maka dianjurkan untuk terapi pembedahan pengangkatan tonsil
(tonsilektomi).10
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, Namun
hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap
memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam
pelaksanaannya. Di Amerika Serikat, karena kekhawatiran komplikasi,
tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia, tonsilektomi
19

digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak
sulit. Indikasi dilakukannya tonsilektomi dapat dibagi menjadi2:
1. Indikasi absolut
Infeksi tenggorokan berulang yang terjadi :
a. Tujuh kali atau lebih dalam satu tahun
b. Lima kali per tahun dalam dua tahun
c. Tiga kali per tahun dalam tiga tahun
d. Dua minggu atau lebih tidak masuk sekolah atau kerja dalam satu
tahun
Abses peritonsilar. Pada anak, tonsilektomi dilakukan 4-6 minggu
setelah abses diobati. Pada dewasa, serangan kedua abses peritonsilar
merupakan indikasi asolut.
Tonsilitis yang menyebabkan kejang demam.
Hipertrofi tonsil yang menyebabkan :
a. Obstruksi saluran napas (sleep apnea)
b. Sulit menelan
c. Gangguan artikulasi suara
Suspek keganasan. Pembesaran tonsil unilateral kemungkinan limfoma
pada anak, dan kemungkinan karsinoma epidermoid pada dewasa.
Sebelumnya harus dilakukan dahulu biopsi eksisional.
2. Indikasi relatif
Karies difteri yang tidak respon dengan pemberian antibiotik.
Karies streptococcus, yang mungkin menjadi sumber infeksi lainnya.
Tonsilitis kronis dengan halitosis yang tidak respon dengan terapi
medikamentosa.
Tonsilitis streptococcus berulang pada pasien dengan valvular heart
disease.

II.10 Prognosis
Pasien dengan infeksi kuman Mycobacterium tuberculosa harus mengikuti
petunjuk pengobatan yang benar agar tidak timbul resistensi kuman. Prognosis
biasanya baik dengan pengobatan yang terkontrol. Penderita tuberkulosis yang
telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal 2 tahun setelah sembuh untuk
mengetahui adanya kekambuhan. Evaluasi yang baik mencakup9 :
a. Sputum BTA mikroskopik 3, 6, 12 dan 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.
Dilakukan 2 kali pemeriksaan pagi dan sewaktu, jika keduanya BTA negatif
berarti sembuh.
20

b. Evaluasi foto toraks 6, 12 dan 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.

Anda mungkin juga menyukai