Anda di halaman 1dari 68

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap kegiatan manusia akan menghasilkan limbah. Air limbah domestik atau air buangan
merupakan air yang tidak terpakai yang berasal dari usaha atau kegiatan pemukiman, restoran,
perkantoran, perniagaan, apartemen, serta asrama. Bila tidak dikelola, air buangan akan
mencemari lingkungan termasuk badan air penerima seperti sungai, danau, laut dan sebagainya
yang pada akhirnya menyebabkan beberapa masalah seperti kerusakan keseimbangan ekologi di
aliran sungai, mssalah kesehatan penduduk yang memanfaatkan air sungai secara langsung,
sehingga menurunkan derajat kesehatan masyarakat dan meningkatkan angka kematian akibat
penyakit infeksi air, bertambahnya biaya pengolahan air minum oleh Perusahaan Air Minum serta
kerusakan perikanan di muara.
Pengelolaan air buangan adalah upaya penyaluran dan pengolahan air buangan sebelum
dibuang ke badan air penerima. Debit air buangan tergantung pada pemakaian air bersih sehari-
hari, sedangkan pemakaian air besarnya selalu meningkat sesuai dengan pertambahan penduduk,
kemajuan teknologi, dan tingkat sosial. Oleh karena itu, sistem penyaluran air buangan yang akan
direncanakan senantiasa mengacu pada pemakaian air minum dan pertumbuhan penduduk daerah
tersebut.
Kondisi sanitasi di Kabupaten Semarang masih tergolong kurang yang dilihat dari padatnya
jumlah penduduk dan penyakit diare. Oleh karena itu perlu adanya sebuah perencanaan untuk
penyaluran dan pengolahan air buangan di Kabupaten Semarang tersebut.

1.2 Maksud dan Tujuan


Adapun tujuan dari penulisan tugas ini dibagi menjadi dua, yakni tujuan umum dan
khusus.
1.2.1 Tujuan Umum
Mampu merencanakan pengembangan suatu sistem penyaluran air buangan yang
terarah dan terpadu, yang melayani sejumlah penduduk di suatu wilayah dan sesuai
dengan kebutuhan pemerintahan maupun masyarakat.

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Mampu memahami dan dapat membuat suatu dokumen perencanaan yakni
Rencana Induk (master Plan) sebagai dasar perencanaan pelaksanaan
pengembangan sistem prasarana dan sarana air limbah untuk periode 20 tahun
2. Mampu memaparkan dan mempresentasikan rencana induk (master plan) yang
dibuat
3. Mampu merencanakan suatu studi kelayakan terhadap perencanaan
pengembangan sistem penyaluran air buangan yang dibuat.

1.3 Ruang Lingkup


Perumusan masalah mengacu kepada point-point penting yang perlu dikaji secara
lebih detail dan mendalam, untuk mendapatkan pemecahan (solusi) masalah yang
diharapkan. Dalam hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perencanaan pengelolaan air buangan di Kota Salatiga ?
2. Bagaimanakah arah pembagian sarana dan prasarana air ?
3. Bagaimanakah rencana induk air limbah Kota Salatiga ?

1.4 Landasan Hukum


Dalam merencanakan rencana induk air limbah Kabupaten Semarang , perlu adanya
landasan hukum sehingga dalam pelaksanaannya sah secara hukum yang berlaku .
Adapun landasan hukum yang digunakan adalah:
1. UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
2. UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
3. Materi Diseminasi Keteknikan Bidang Air Limbah, Direktorat
Pengembangan PLP, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementrian
Pekerjaan Umum, 2011.
4. Peraturan menteri Pekerjaan Umum No 16/PRT/M/2008 tentang Kebijakan
dan Strategi Nasional Pengembangan Sstem Pengololaan Air Limbah
Pemukiman.
5. Perda Kabupaten Semarang no 6 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Semarang Tahun 2011-2031.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Air Buangan


Air buangan adalah limbah hasil buangan dari perumahan, bangunan perdagangan, pertokoan
dan sarana sejenisnya. Air limbah domestik juga diartikan sebagai air buangan yang tidak dapat
digunakan lagi untuk tujuan semula baik yang mengandung kotoran manusia (tinja) atau dari
kamar mandi, aktivitas dapur dan mencuci, yang kualitasnya antara 60%80% dari rata-rata
pemakaian air bersih.
Air limbah adalah air bekas pemakaian, baik dari bekas pemakaian rumah tangga, maupun dari
bekas pemakaian industri. Air bekas rumah tangga dapat disebut dengan Air Limbah Domestik
berasal dari aktivitas sehari-hari manusia. Air limbah domestik ini tidak hanya berasal dari rumah
tinggal tetapi dapat juga berasal dari instansi-instansi seperti perkantoran, sekolah-sekolah, rumah
sakit, dan lain sebagainya serta dapat juga dari daerah komersil yaitu perhotelan, tempat hiburan,
mall, pasar, dan lain lain-lain. Sedangkan air bekas pemakaian proses industri disebut dengan Air
Limbah Industri.
Air bekas pemakaian pasti telah terkontaminasi oleh bahan-bahan yang dipakainya, yang
kemungkinan bersifat fisik, air menjadi keruh, berbau, berwarna. Bersifat kimiawi, air
mengandung bahan-bahan kimia yang dapat mengganggu kesehatan. Bersifat organo-biologis, air
mengandung mikroba/zat organik yang bersifat pathogen dan lain sebagainya. Cemaran air limbah
domestik umumnya bersifat organo-biologis, sedangkan air limbah industri lebih cenderung
bersifat fisiko-kimiawi karena didalamnya terdapat bahan-bahan berbahaya dan beracun (B3) yaitu
logam berat yang sebelum dibuang ke badan sungai harus diolah secara tepat agar tidak mencemari
lingkungan.
2.2 Sumber dan Karakteristik Air Buangan

2.2.1 Sumber Air Buangan


Sumber air buangan secara umum dibedakan menjadi tiga yaitu :

2.2.1.1 Air Buangan Domestik

Air buangan yang berasal dari aktivitas kegiatan penghunian, seperti rumah tinggal,
kampus, pasar, hotel, pertokoan, sekolah dan fasilitas-fasilitas/pelayanan umum dapat
dikategorikan dalam air buangan domestik (Soeparman, 2000).
Air buangan domestik dapat dikelompokkan menjadi :
1. Air buangan kamar mandi
2. Air buangan dapur dan cuci
3. Air buangan WC : air kotor dan air tinja
Air buangan domestik didominasi oleh kontaminan organik yang langsung dapat diolah
secara biologis (Moduto, 2000). Menurut Tjokrokusumo (1995), air limbah domestik umumnya
banyak mengandung zat organik sehingga memungkinkan timbulnya bakteri patogen.

2.2.1.2 Air Buangan Non Domestik

Air buangan non domestik adalah air bekas pemakaian yang berasal dari daerah non
pemukiman, yaitu daerah komersial, institusional, perkantoran, rumah sakit, industri, laboraturium
dan lainnya (Moduto, 2000).
Air buangan non domestik yang didominasi oleh bahan anorganik berasal dari industri-
industri dan dapat dikategorikan sebagai air buangan domestik, yang pengolahannya tidak dapat
diolah secara langsung dengan proses biologis. Karena sifatnya yang korosif, maka sistem
penyaluran air buangan yang berasal dari industri menggunakan saluran khusus yang tahan
terhadap korosi. Jika air buangan industri setelah diolah dalam tingkat pra pengolahan atau
pengolahan pendahuluan (pre-treatment) telah memenuhi standar yang sama dengan air domestik,
maka sistem penyalirannya dapat diijinkan bersama-sama dengan saluran air buangan domestik.
Namun, apabila pada tingkat pengelolaan pendahuluan tidak dapat menurunkan kadarkontaminan
sehingga memenuhi standar yang sama dengan air buangan domestik, maka air buangan industri
harus ditangani secara khusus dan individual oleh industri itu sendiri dengan instalasi penglolahan
air limbah industri.
(Moduto, 2000)

2.2.1.3 Air Limpasan dan Rembesan Air Hujan

Air buangan limpasan dan rembesan air hujan adalah air buangan yang melimpas diatas
permukaan tanah dan meresap ke dalam tanah sebagai akibat terjadinya banjir.
(Sanropie, Djasio, 1984)

2.2.2 Karakteristik Air Buangan


2.2.2.1 Kuantitas
Penentuan kuantitas air buangan secara tepat sangat sulit ditentukan, hal ini disebabkan
karena faktor yang mempengaruhi. Faktor yang mempengaruhi air buangan adalah (Moduto, 2000)
:
a. Jumlah air bersih yang dibutuhkan perkapita akan mempengaruhi jumlah air limbah yang
dihasilkan.
b. Keadaan masyarakat di daerah tersebut, yang dibedakan berdasarkan :
1. Tingkat perkembangan suatu daerah. Jumlah air limbah dikota lebih banyak dari pada
di daerah pedesaaan.
2. Daerah yang mengalami kekeringan akan berbeda cara membuang limbahnya jika
dibandingkan dengan daerah yang tidak mengalami kekeringan.
3. Pola hidup masyarakat, terutama cara membuang limbahnya.
Besaran air buangan yang sering digunakan dalam perencanaan (Moduto, 2000) :
1. Amerika : 100200 liter/orang/hari
2. Eropa : 40225 liter/orang/hari
3. Indonesia : 100150 liter/orang/hari
Untuk air limbah dari WC besaran yang sering digunakan dalam perencanaan tangki septik
peresapan adalah 25 liter/orang/hari. Menurut Babbit (1969), kuantitas air limbah domestik
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
a. Jumlah Penduduk, semakin tinggi jumlah penduduk, maka jumlah air limbah yang
dihasilkan semakin tinggi karena 60%-80 % dari air bersih akan menjadi air limbah.
b. Jenis aktifitas, semakin tinggi penggunaan air bersih dalam suatu kegiatan maka air limbah
yang dihasilkan juga semakin banyak.
c. Iklim, pada daerah beriklim trofis dan kuantitas hujannya tinggi cenderung menghasilkan air
limbah yang lebih tinggi.
d. Ekonomi, pada tingkat ekonomi yang lebih tinggi kecenderungan pemakaian air bersih akan
lebih tinggi. Hal ini tentu saja akan menghasilkan air limbah yang lebih tinggi pula.
e. Infiltrasi, adanya infiltrasi baik dari air hujan ataupun air permukaan lainnya akan
mempengaruhi jumlah air limbah yang ada pada suatu perkotaan.
Jenis saluran pengumpul, bila saluran pengumpul yang digunakan saluran terbuka, maka
jumlah air limbah yang dihasilkan akan banyak karena kemungkinan terjadi infilterasi dari air
hujan ataupun dari sumber lain lebih besar. Bila jenis saluran pengumpul yang digunakan adalah
berupa jaringan perpipaan maka kemungkinan terjadi infilterasi lebih kecil.

2.2.2.2 Kualitas
Menurut Babbit (1969) faktor yang mempengaruhi kualitas air limbah adalah :
a. Musim/Cuaca, negara yang mengalami 4 musim debit maksimum terjadi biasanya pada musim
dingin, karena terjadi penggelontoran yang cukup besar untuk mencegah terjadinya
pembekuan didalam pipa.
b. Waktu harian, konsumsi air bersih tiap jamnya dalam sehari sangat bervariasi. Hal ini sangat
berpengaruh terhadap debit air limbah yang diterima oleh bangunan pengolah. Konsumsi air
ini mengalami puncak rata-rata ada jam 06.00-08.00 dan jam 16.00 18.30.
c. Waktu perjalanan, Waktu konsumsi puncak air belum tentu sama dengan waktu puncak
timbulnya air limbah yang diterima oleh badan pengolahan, karena adanya waktu perjalanan
dari sumber ke unit pengolahan. Semakin dekat perjalanan maka semakin dekat perbedaan
puncak konsumsi air dengan waktu puncak timbulnya air limbah.
d. Jumlah Penduduk, semakin banyak populasi yang akan dilayani semakin besar pula debit air
limbah yang timbul.
e. Jenis aktifitas atau sumber penggunaan air bersih yang dihasilkan dari suatu tempat memiliki
kualitas yang bermacam-macam. Misalnya air limbah dari pasar memiliki kandungan organik
lebih tinggi dari pada air limbah dari perkantoran.
f. Jenis saluran pengumpul air limbah yang digunakan, jika menggunakan sistem tercampur
maka air limbah akan lebih buruk karena partikulat. Dalam sistem terpisah kontaminan yang
ada pada air limbah memiliki konsenterasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan dengan
sistem tercampur karena adanya pengenceran oleh air hujan.
Kualitas air buangan dapat diketahui dari karakteristik fisik, karakteristik kimia dan karakteristik
biologi (Tchobanoglous dan Burton, 1991).
a. Karateristik fisik
Beberapa sifat fisik air buangan adalah :
1. Suhu air buangan biasanya lebih tinggi dari pada suhu air bersih.
2. Tercium bau busuk saat air limbah terurai secara anaerob.
3. Zat padat yang menyebabkan kekeruhan berupa : zat padat tersuspensi, terapung dan
terlarut.
4. Warna air limbah dapat digunakan untuk memperkirakan umur air limbah:
a. Cokelat muda, mengindikasikan air limbah berumur 6 jam.
b. Abu-abu tua, mengindikasikan air limbah sedang mengalami pembusukan.
c. Hitam, mengindikasikan air limbah yang telah membusuk oleh penguraian bakteri
anaerob.
Klasifikasi karakteristik fisik air buangan dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2 1 Karakteristik Fisik Air Buangan
Sifat-sifat Sumber

Suhu Limbah industri dan domestik.

Benda padat Limbah domestik, limbah industri, erosi tanah, inflow/


infiltrasi.

Bau Dekomposisi air limbah, limbah industri.

Warna Limbah domestik dan limbah industri, penguraian material


organik.

Sumber: Tchobanoglous dan Burton, 1991.


b. Karakteristik kimia
Klasifikasi karakteristik kimia meliputi zat organik dan zat anorganik.
1. Zat organik
Sumber utama zat organik berasal dari kotoran limbah manusia yaitu 8090 gram/orang/hari.
Pada prinsipnya kategori zat organik yang dapat terdegradasi dalam air limbah adalah protein,
karbohidrat, dan lipid (Sundstrom & Klei, 1979). Zat organik dalam air limbah jumlahnya cukup
dominan, karena 75% dari zat padat tersuspensi dan 40% dari zat padat tersaring merupakan bahan
organik. Selanjutnya bahan organik ini dikelompokkan menjadi 40-60% berupa protein, 25-50%
berupa karbohidrat, 10% berupa lemak/minyak dan urea. Urea sebagai kandungan bahan terbanyak
di dalam urine, merupakan bagian lain yang penting dalan bahan organik (Hindarko, 2003).
a. Protein, senyawa kombinasi dari bermacam-macam asam amino ini dijumpai pada makanan
manusia dan hewan seperti kacang-kacangan mengandung sekitar 16 % unsur nitrogen
sehingga bersama dengan urea protein menjadi sumber nitrogen dalam air limbah. Proses
penguraian protein menimbulkan bau busuk.
b. Karbohidrat, dijumpai dalam gula, selulosa, serat kayu dan lain-lain. Dalam air limbah terdiri
atas senyawa C,H, dan O. Sejenis karbohidrat yang berbentuk gula, mudah larut dan
mengalami penguraian oleh mikroba menjadi alkohol dan CO2.
c. Lemak dan Minyak, tidak mudah diuraikan oleh mikroba melainkan oleh asam mineral
sehingga terjadi gliserin dan asam jenuh. Minyak dan olie yang berasal dari hasil tambang
masuk ke dalam air limbah melalui bengkel kendaraan bermotor dan tidak dapat diuraikan
oleh mikroba serta menutupi permukaan air limbah sehingga menganggu proses selanjutnya.
Sehingga minyak dan olie harus disingkirkan melalui bangunan penangkap minyak/olie.
d. Surfactant (surface active agent) yang berasal dari detergen pencuci pakaian. Deterjen adalah
golongan dari molekul organik yang digunakan sebagai penganti sabun untuk pembersih
supaya mendapatkan hasil yang lebih baik. Pada IPAL membentuk busa yang stabil sehingga
sangat menganggu operasi instalasi ini. Keberadaannya dapat dideteksi oleh methylene blue.
e. Pestisida, penggunaan dalam tanaman harus dikendalikan agar tidak terbawa oleh limpasan air
hujan. Zat organik ini tergolong beracun dan bisa mematikan ikan dan mencemari sumber air
bersih.
2. Zat anorganik
Sumber dari zat anorganik meliputi : pH, Klorida, Nitrogen, Phospor, Kebasaan (Alkalinitas)
dan Belerang (Hindarko, 2003).
a. pH, parameter ini sangat penting untuk menentukan kehidupan mikroorganisme di dalam air
limbah, pH pada pengolahan air digunakan sebagai kontrol korosi pada pipa dan bangunan
pengolahan. Pada pengolahan air limbah yang menggunakan proses biologi pH perlu dikontrol
agar berada pada kisaran yang memungkinkan organisme berkembang. Pada kondisi asam (
pH < 4) atau alkali (pH > 9,5) bakteri akan mati. Menurut PP No.82 tahun 2001 tentang
pengelolan kualitas air dan pengendalian pencemaran air kisaran pH yang diperbolehkan
adalah 6 9.
b. Nitrogen, dalam pengolahan air limbah diperlukan zat hara dalam bentuk protein yang elemen
utamanya adalah nitrogen, phospor, dan zat besi. Nitrogen yang terkandung dalam tubuh
mahluk hidup diuraikan oleh bakteri menjadi ammonia, tetapi ada juga yang mengambil bentuk
urea dalam air kencing yang diuraikan menjadi ammonia.
c. Phosfor, bila kandungannya dalam air permukaan tidak terkontrol maka phosfor merupakan
nutrien bagi tumbuhan seperti eceng gondok, ganggang sehingga permukaan air itu dipenuhi
tumbuhan air. Hal ini menganggu kegiatan pelayaran, perikanan. Kandungan phospor dibatasi
antara 4 15 mg/liter.
d. Logam berat dan senyawa beracun, seperti Hg, Pb, Ni, Cr, dan lain-lain. Kehadiran unsur ini
perlu untuk menunjang kehidupan biota, dan ganggang. Namun kadar yang tinggi dapat
menebarkan zat beracun. Crom dan Nikel sebaiknya tidak melebihi kadar 500 mg/liter.
e. Belerang, unsur ini dibutuhkan untuk sintesa protein. Disamping itu pada kondisi anaerobik
bakteri desulfovibrio dapat menguraikan zat organik bersama sulfat menjadi sulfida reaksinya
Zat organik + SO4-2 S-2 + H2O + CO2
S-2 + 2 H + H2S
f. Gas H2S biasanya berkumpul pada bagian atas pipa air limbah dan bila terdapat cukup bakteri
Thiobacillus, maka gas ini dapat dioksidasi menjadi asam sulfat.
Reaksinya: H2S + O2
Bakteri hiobacillus
H2SO4
g. H2SO4 yang terbentuk dapat merusak mahkota pipa yang terbuat dari beton, asbes, dan besi.
Gas H2S yang tercampur bersama gas CH4 dan gas CO2 bersifat sangat korosif terhadap pipa
dan bila terbakar dalam mesin dapat menimbulkan letupan yang dapat merusak mesin tersebut.
h. Klorida
Masuknya klorida dalam air limbah bisa berasal dari intrusi air laut yang berinfiltrasi ke dalam
pipa, tinja manusia yang mengandung 6 gram/orang/hari. Pengolahan air limbah tidak dapat
menurunkan kadar klorida. Sehingga pencegahan dini masuknya klorida lebih bermanfaat
daripada mengeluarkan klorida yang ada.
c. Karakteristik biologi
Aspek biologi ini mencakup mikroorganisme yang ditemukan pada air limbah. Organisme ini
digunakan sebagai indikator polusi dan untuk mengetahui metode pengolahan yang tepat. Setiap
manusia mengeluarkan 100-400 milyar coliform/hari. Coliform digunakan sebagai indikator
mikroorganisme pathogen (Anomin, 1998). Beberapa macam mikroorganisme yang banyak
terdapat dalam air limbah domestik adalah :
1. Jamur, membutuhkan zat asam dan mendapatkan makanan dari mahluk yang telah mati.
Tugas utamanya menguraikan senyawa karbon bila di alam ini tidak ada jamur maka siklus
senyawa karbon akan terhenti dan zat organik akan menumpuk.
2. Ganggang, banyak terlihat didalam sungai, danau dimana ada limpahan air limbah.
Limpahan ini membawa zat nutrient biologis yang menyebabkan pertumbuhan ganggang
dengan pesat yang diikuti bau tertentu.
3. Organisme patogen, dalam air limbah yang berasal dari tubuh manusia yang terinfeksi
penyakit, seperti typhus, kolera, disentri dan sebagainya. Dan bila sanitasi daerah kurang
sehat standar yang ada, maka organisme ini akan menimbulkan angka kesakitan yang
cukup tinggi.
Bakteri coli sebagai indikator bibit penyakit, berasal dari tinja manusia yang memasuki air limbah.
Untuk menganalisa bakteri patogen digunakan parameter mikrobiologis dengan perkiraan terdekat
jumlah golongan coliform dalam 100 ml air limbah serta perkiraan terdekat jumlah golongan
coliform tinja dalam 100 ml air limbah.

2.3 Sistem Pengelolaan Air Buangan


Sistem penyaaluran air buangan dipengaruhi oleh letak dan topografi daerah yang dilayani.
Menurut Soeparman (2002), berdasarkan sistem pengalirannya penyaluran air limbah dibagi
menjadi 3, yaitu :
a. Sistem gravitasi, sistem ini digunakan bila badan air berada dibawah elevasi daerah penyerapan
dan memberikan energi potensial yang tinggi terhadap derah pelayanan terjauh.
b. Sistem pemompaan, sistem pemompaan digunakan apabila elevasi badan air diatas elevasi
daerah pelayanan.
c. Sistem kombinasi, sistem kombinasi digunakan apabila air limbah dari daerah pelayanan
dialirkan ke bangunan pengolahan dengan bantuan pompa/reservoir.

Menurut Fair Gordon, 1996, sistem pengaliran air limbah domestik dapat dibagi menjadi 4,
yaitu:
1. Pola Interceptor
Pola interceptor adalah pola sistem campuran terkendali ke dalam pipa riol hulu
dimasukkan porsi tertentu air hujan dengan pemasukan terkendali. Pada waktu air hujan
masuk, aliran pipa riol hulu penuh dan bertekanan dari awal hingga pipa riol interceptor.
Karena tidak ada gradien hidrolis maka terjadi peluapan air balik pada pelengkapan saniter
pada daerah pelayanannya. Ujung akhir riol hulu didesain melintasi atas riol interceptor.
Pada perlintasan itu keduanya dihubungkan dengan pipa tegak. Kecepatan aliran pada
musim kering didesain agar tidak dapat meloncati lubang pipa tegak dan seluruh aliran, masuk
ke dalam pipa riol interceptor. Kecepatan aliran saat musim hujan menjadi besar. Air limbah
domestik didesain dapat meloncati pipa lubang tegak langsung menuju ke badan air penerima
terdekat. Jadi riol interceptor hanya terisi sewaktu tidak air hujan atau saat kecepatannya tidak
dapat meloncati lubang pipa tegak. Riol interceptor dipandang sejajar dengan sungai besar
sebagai badan air penerima dan berakhir pada bangunan pengolahan air limbah domestik.

District boundary or divide

Pumping
Intercepter station

overflow overflow overflow overflow Pumping


station
Tidal estuary

outfall

Gambar 2 1 Pola Interseptor


Sumber: Fair Gordon, 1996

2. Pola Zona
Pola zona merupakan pola yang biasa diaplikasikan pada daerah pelayanan yang terbagi
oleh sungai, sehingga pipa penyeberangan atau pelintasannya sulit dibangun. Bangunan
pengolahan air limbah domestik dibangun pada akhir riol.

High level interceptor

Intermediate level interceptor

Treatment
works
Low level interceptor

River

Gambar 2 2 Pola Zona


Sumber: Fair Gordon, 1996

3. Pola Kipas
Pola kipas adalah pola yang biasa diaplikasikan pada daerah pelayanan yang terletak
disuatu lembah.

lateral

submain

ou
trunk tfa
ls
sewer ew
er
Treatment works
outfall
lake
Gambar 2 3 Pola Kipas
Sumber: Fair Gordon, 1996

4. Pola Radial
Pola radial adalah pola yang biasa diaplikasikan pada daerah pelayanan yang terletak di
daerah bukit.

Irrigation
fields
Treatment
works
Treatment
works
Irrigation
fields

Riv Treatment works


er

Gambar 2 4 Pola Radial


Sumber: Fair Goordon, 1996

2.3.1 Dasar-Dasar Perencanaan


Hal-hal yang perlu diperhatikan dan menjadi bahan pertimbangan adalah:
1. Jaringan sistem pengumpul harus melayani semua daerah pelayanan
2. Sistem perpipaan merupakan saluran yang tertutup, sehingga terhindar dari gangguan
terhadap lingkungan di sekitarnya dan saluran tidak terganggu oleh kegiatan di sekitarnya.
3. Air bekas dibuang sejauh mungkin dari pemukiman penduduk agar tidak mengganggu
keindahan dan kesehatan lingkungan yang ditimbulkan oleh proses penguraian maupun
lalat dan binatang lain yang mungkin di lokasi pengolahan.
4. Waktu pengaliran air buangan dari titik terjauh ke lokasi pengolahan tidak boleh lebih dari
18 jam untuk menghindari terjadinya proses penguraian dalam saluran.
5. Penyaluran air buangan dilakukan dengan cara gravitasi dalam saluran tidak bertekanan.

Supaya saluran tetap berfungsi baik dalam keadaan debit maksimum maupun minimum, ada
beberapa faktor seperti:
a. Luas penampang saluran
b. Kemiringan saluran serta kekasarannya
c. Kondisi pengaliran
d. Belokan atau rintangan lain
e. Karakteristik efluen
(Dept. KimPrasWil, 2003)

2.3.2 Sistem Penyaluran Air Buangan


2.3.2.1 Sistem Pengelolaan Air Limbah Setempat ( On Site System )
Sistem pengelolaan air limbah setempat sebagai sistem dimana fasilitas pengolahan air
limbah berada dalam persil atau batas tanah yang dimiliki. Sistem setempat (on site) merupakan
sistem penyaluran air buangan yang dialirkan ke dalam suatu tempat penampungan seperti tangki
septik sebagai tempat pengolahan. Sistem ini biasanya digunakan dalam skala kecil (keluarga),
tetapi ada juga yang digunakan dalam skala besar (WC Umum). Sistem ini biasanya digunakan
pada daerah yang tidak ada riol kota. Untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat maka jenis
yang baik untuk digunakan adalah jenis tangki septik (septik tank). Tetapi bagi masyarakat yang
berpenghasilan rendah masih menggunakan sistem pembangunan yang sederhana yaitu cubluk.
Kriteria perencanaan untuk sistem setempat (on site) meliputi :
a. Kemampuan ekonomi rendah.
b. Pemakaian air kurang dari 120 liter/orang/hari.
c. Jumlah penduduk yang terlayani kurang dari 200 jiwa/ha.
d. Pendapatan ekonomi penduduk rendah.
e. Persyaratan badan air penerima rendah.
Dalam pemilihan sistem ini harus mempengaruhi hal-hal di bawah ini :
a. Waktu detensi adalah waktu tinggal dalam suatu tangki septik sekurang-kurangnya 1 (satu)
hari dan maksimal 3 (tiga) hari.
b. Periode pengurasan lumpur 2-5 tahun.
c. Banyaknya lumpur yang mengendap antara 30-40 liter/orang/hari.
d. Kuantitas air limbah yang dibuang ke dalam tangki sesuai dengan penggunaan air bersihnya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan tangki septik yang baik agar tidak
mecemari air tanah di sekitarnya, yaitu:
a. Dinding tangki septik hendaknya dibuat dari bahan yang rapat air.
b. Untuk membuang air limbah hasil pencemaran dari tangki septik perlu dibuat daerah
peresapan.
c. Tangki septik derencanakan untuk membuang kotoran rumah tangga dengan volume sebesar
100 liter/orang/hari.
d. Waktu tinggal air di dalam tangki septik diperkirakan minimal selama 24 jam.
e. Besarnya ruang lumpur diperkirakan untuk menampung lumpur yang dihasilkan proses
pencerna dengan standar banyaknya lumpur sebesar 30 liter/orang/tahun, sedangkan
pengambilan lumpur diperhitungkan minimal selama 4 tahun.
f. Lantai dasar tangki septik harus dibuat miring kearah ruang lumpur.
g. Pipa air masuk (inlet) ke dalam tangki septik hendaknya selalu lebih tinggi 2,5 cm dari pipa
keluarnya.
h. Tangki septik hendaknya dilengkapi dengan lubang pemeriksa (manhole) dan lubang udara
(vent) untuk membuang gas hasil pencemaran.
i. Untuk menjamin tercapainya bidang peresapan, maka pemasangan siphon otomatis adalah
sangat bermanfaat agar air limbah yang dibuang ke daerah peresapan terbuang secara berkala.
Jarak minimum suatu bangunan, sumur maupun pipa air bersih dari tangki septik dan bangunan
peresapan dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2 2 Jarak Minimum Bangunan dengan Tangki Septik dan Peresapan


No. Jarak Tangki Septik Banguan Peresapan

1 Bangunan peresapan 1,5 m 1,5 m


2 Sumur 10,0 m 10,0 m

3 Pipa air bersih 3,0 m 3,0 m

DAPUR SARANA TRANSPORTASI TINJA


INSTALASI
KAKUS PENGOLAHAN
TINJA

PRASARANA TRANSPORT
AIR LIMBAH DARI KAKUS
KE TANGKI SEPTIK
TANGKI SEPTIK

SANITASI SETEMPAT

TANGKI SEPTIK & CUBLUK


BIDANG REMBESAN

PENGOSONGAN LUMPUR DAPAT DIKOSONGKAN DENGAN DIKOSONGKAN MANUAL


TINJA DILAKUKAN DENGAN TRUK "VACUM" MANUAL SEMENTARA SATU CUBLUK DIKOSONGKAN
BANTUAN TRUK TINJA BIASA SEMENTARA CUBLUK DIKOSONGKAN YANG LAIN BISA DIGUNAKAN
CUBLUK TIDAK BISA DIGUNAKAN

Gambar 2 5 Sistem Pembuangan Air Limbah On-Site

Pemakaian Sistem ini terdapat kelebihan dan kekurangan.


Kelebihan sistem pengelolaan air limbah setempat yaitu :
a. Menggunakan teknologi sederhana
b. Memerlukan biaya yang rendah
c. Masyarakat dan tiap-tiap keluarga dapat menyediakan sendiri
d. Pengoperasian dan pemeliharaan oleh masyarakat
Kekurangan sistem pengelolaan air limbah setempat yaitu :
a. Tidak dapat diterapkan pada tiap daerah, bergantung pada sifat permeabilitas tanah, tingkat
kepadatan, dan lain-lain
b. Fungsi terbatas hanya dari buangan kotoran manusia, tidak melayani air limbah kamar
mandi dan air bekas mesin cuci
c. Operasi dan pemeliharaan sulit dilaksanakan
(Dept. KimPrasWil, 2003)

2.3.2.2 Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat ( Off Site System )


Sistem pengelolaan air limah terpusat adalah sistem pengelolaan air limbah dengan
menggunakan suatu sistem jaringan perpipaan untuk menampung dan mengalirkan air limbah ke
suatu tempat untuk selanjutnya diolah. Sistem penyaluran terpusat adalah fasilitas sanitasi yang
berada duluar persil. Contoh sistem ini adalah sistem penyaluran air limbah yang kemudian
dibuang ke suatu tempat pembuangan (disposal site) yang aman dan pembuangan air limbah
domestik di daerah kepadatan penduduk tinggi, kemiringan tanah di daerah tersebut > 1%, rumah
yang sudah dilengkapi dengan tangki septik tetapi tidak mempunyai cukup lahan untuk bidang
resapan atau bidang resapan tidak efektif atau karena permeabilitas tanah tidak memenuhi syarat.
Sedangkan Jaringan sistem pipa pengumpul terpusat (Off Site System) terdiri dari: (Moduto, 2000)
:
1. Conventional Sewer
Merupakan jaringan penyaluran air limbah domestik yang terdiri dari pipa persil, pipa
service, pipa lateral dan pipa induk. Sistem ini melayani daerah pelayanan yang cukup luas. Karena
pembangunan sistem penyaluran secara konvensional merupakan pilihan yang memerlukan biaya
tinggi, maka hanya cocok bila tidak ada pilihan lain. Penerapan untuk sistem ini adalah:
a. Pusat kota dengan kepadatan tinggi.
b. Penduduk umumnya menggunakan air tanah, permeabilitas tanah rendah, air tanah sudah
tercemar dan lahan terbatas.
c. Pendapatan penduduk tinggi sehingga mampu memikul biaya operasi dan pemeliharaan.
2. Shallow Sewer
Shallow sewerpada prinsipnya sama dengan conventional sewer, hanya pada pemasangan pipa
kemiringannya lebih landai daripada conventional sewer.Sistem ini bergantung pada pembilasan
air limbah yang diperlukan untuk mendorong limbah padat.
Biaya pembuatan shallow sewerlebih rendah dari pada conventional sewer dan lebih cocok
sebagai saluran sekunder di daerah kampung dengan kepadatan tinggi. Sistem ini melayani air
limbah dari kamar mandi, cuci, dapur dan kakus. Jaringan salurannya terdiri dari pipa persil, pipa
service dan pipa lateral, tetapi tanpa pipa induk. Penerapan sistem ini adalah:

a. Pada daerah yang mempunyai kemiringan kurang dari 2 %.


b. Luas satu unit pelayanan maksimum sekitar 4 unit luas daerah layanan retikulasi. Setiap unit
daerah rekulasi jumlah sambungan rumah maksimum 800 rumah dengan ukuran riol terbesar
225 mm. Jadi ada 4 lajur pipa induk dengan diameter 225 mm dari 4 x 800 rumah.
c. Daerah pelayanan shallow sewer mempunyai luas maksimum 4 x 25 Ha = 100 Ha dengan
kepadatan penduduk rata-rata 160 jiwa/Ha
d. Daerah pemukiman yang masyarakatnya mendapatkan pelayanan dari PDAM, permeabilitas
tanah rendah, air tanah sudah tercemar dan sulit memperoleh lahan untuk pembuatan prasarana
sanitasi setempat.
3. Small Bore Sewerage
Sistem ini merupakan penyaluran air limbah dengan menggunakan saluran berdiameter kecil.
Saluran ini digunakan untuk menerima air limbah dari kamar mandi, cuci, dapur dan limpahan air
dari tangki septik (bukan tinjanya) serta bebas dari benda padat.
Sistem ini cocok diterapkan untuk daerah pelayanan yang relatif lebih kecil dari jaringan
saluran konvensional sewerage. Sistem ini tepat untuk menangani pembuangan air limbah
domestik di daerah kepadatan penduduk tinggi, kemiringan tanah di daerah tersebut > 1%, rumah
yang sudah dilengkapi dengan tangki septik tetapi tidak mempunyai cukup lahan untuk bidang
resapan atau bidang resapan tidak efektif atau karena permeabilitas tanah tidak memenuhi syarat.

PADAT
( PUPUK )

DAPUR KAKUS
KAMAR MANDI

SEWERAGE CAIR
(TRANSPORT) ( SUNGAI )
INSTALASI PENGOLAHAN
LIMBAH TERPUSAT
Gambar 2 6 Sistem Pembuangan Air Limbah Off-Site

Pemakaian Sistem ini terdapat kelebihan dan kekurangan antara lain:


Kelebihan sistem pengelolaan air limbah terpusat yaitu:
a. Menyediakan pelayanan yang terbaik
b. Sesuai untuk daerah dengan kepadatan tinggi
c. Pencemaran terhadapa air tanah dan badan air dapat dihindari
d. Memiliki masa guna yang lebih lama
e. Dapat menampung semua air limbah
Kekurangan dari sisem pengelolaan air limbah terpusat yaitu:
a. Memerlukan biaya investasi, operasi dan pemeliharaan tinggi
b. Menggunakan teknologi tinggi
c. Tidak dapat dilakukan perseorangan
d. Waktu yang, lama dalam perencanaan dan pelaksanaan
e. Memerlukan pengelolaan, operasi dan pemeliharaan yang baik
(Dept. KimPrasWil, 2003)

2.3.3 Pemilihan Sistem Pengelolaan Air Buangan


Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan sistem pengelolaan air limbah adalah:
a. Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk merupakan hal yang paling menentukan dalam hal penyediaan lahan
untuk pembangunan fasilitas pengolahan air limbah aik dalam sistem terpusat maupun pada
sistem setempat. Makin tinggi angka kepadatan penduduknya, teknologi yang dipakai juga
akan semakin mahal baik dalah investasi maupun operasi dan pemeliharaannya. Strategi
nasional juga telah mengklasifikasikan tingkat kepaatan sebagai berikut :
- tingkat kepadatan sangat tinggi : 500 jiwa/Ha
- tingkat kepadatan penduuk tinggi : 300-400 jiwa/Ha
- tingkat kepadatan sedang : 150-300 jiwa/Ha
- tingkat kepadatan rendah : < 150 jiwa/Ha
Tingkat kepdatan ini berkaitan erat dengan tingkat pencemaran yang dapat ditimbulkan pada
air permukaan.
- kepadatan rendah 100 jiwa/Ha = BOD 0-30 mg/L
- kepadatan sedang 100-300 jiwa/Ha = BOD 30-80 mg/L
- kepadatan tinggi 300 jiwa/Ha = BOD 80-200 mg/L

b. Sumber Air yang Ada


Merupakan faktor penting dalam perencanaan pemakaan sewerage terutama yang
diencanakan membawa buangan padat disamping limbah airnya. Pemakaian sewerage lebih
disarankan untuk daerah yang mempunyai jaringan air bersih dengan pemakaian > 60
liter/orang/hari
c. Permeabilitas Tanah
Kisaran permeabilitas yang efektif adalah 2,7 x 10-4 L/m2/dt 4,2 x 10-3 L/m2/dt
d. Kedalaman Muka Air Tanah
Perlu dipertimbangkan untuk menghindari kemungkinan pencemaran air tanah oleh fasilitas
sanitasi yang diperlukan
e. Kemiringan Tanah
Daerah dengan kemiringan 1 % lebih memberikan biaya ekonomis dalam pembangunannya
dibandingkan dengan aerah yang datar
f. Kemampuan Membiayai
Adanya potensi peran serta masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembiayaan operasi dan
pemeliharaan
(Dept. KimPrasWil, 2003)
2.3.3.1 Tangki Septik dan Bangunan Resapannya
Merupakan bangunan kedap air untuk mengolah air buangan.
Fungsi utama:
1. Sedimentasi / Pengendapan : memisahkan padatan dan cairan, solid ke dasar
2. Penyimpanan : tangki direncanakan untuk dapat menampung solid / padatan minimum 2 tahun
3. Proses biologis : penguraian secara anaerobik-biologis
Proses di dalam tangki septik memudahkan infiltrasi cairan, tapi efisiensi pengolahan dengan
tangki septik sebagai pengolahan tingkat 1 tidak terlalu baik karena umumnya effluent masih
mengandung 10.000 coliform/ml. Tidak disarankan membuang effluent ke saluran terbuka.
Peresapan dalam tanah merupakan salah satu alternatif yaitu resapan yang jauh dari sumber air
minum.
Untuk daerah-daerah yang mengandalkan sumber air bersihnya dari sumur dangkal, maka
sistem ini sebaiknya diterapkan untuk kepadatan penduduk yang lebih kecil dari 100 jiwa/ha.
Tangki septik dengan bidang resapan dapat dikembangkan menjadi sistem small bore sewerage.
Parameter-parameter desain:
- Debit air buangan (liter/hari)
- Waktu tinggal buangan cair (hari)
- Akumulasi lumpur (liter/orang/hari)
- Waktu pengurasan (tahun)
Desain tangki septik didasarkan kepada asumsi bahwa padatan (lumpur dan buih) dan
cairannya akan mengalir ke dalam tangki dimana
Volume = (P x S x N) + (P x Q x T)
Dimana,
P = jumlah orang pemakai tangki septik (orang)
S = akumulasi lumpur (liter/orang/yahun )
*25 liter/orang/tahun hanya untuk tinja saja
*40 liter/orang/tahun untuk tinja dan buangan rumah tangga
N = waktu penguraian (tahun)
Q = debit air buangan (liter/orang/hari)
T = waktu tinggal buangan cair di tangki septik (hari)
T = 2,5 0,3 log (PQ) > 0,5 hari untuk buangan tinja saja
T = 1,5 3 log (PQ) > 0,2 hari untuk tinja dan buangan cair

2.3.3.2 Proyeksi Jumlah Penduduk


Dalam perancangan sistem penyaluran air buangan ini masalah yang jumlah penduduk yang
ada di daerah perencanaan merupakan hal yang utama. Jumlah penduduk ini akan berpengaruh
pada jumlah air buangan yang dihasilkan serta pada perencanaan dimensi perpipaan saluran air
buangan. Jumlah penduduk ini perlu diproyeksikan untuk mengetahui jumlah penduduk sampai
akhir periode perancangan.
Untuk memproyeksikan jumlah penduduk pada daerah perencanaan dibandingkan dengan tiga
metode proyeksi. Kemudian, dari ketiga metode tersebut dipilih yang paling sesuai untuk
karakteristik daerah yang ditinjau.Adapun metode-metode yang dipakai dalam memproyeksikan
jumlah penduduk untuk diperbandingkan antara lain:
a. Metode Aritmatik
Jika metode proyeksi menggunakan metode ini, maka pertambahan penduduk daerah
perencanaan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Pt = Pi + Ka (tf ti)
Pt Pi
Ka =
tf ti
dimana : Pt = jumlah penduduk akhir tahun proyeksi
Pi = jumlah penduduk awal tahun proyeksi
Ka = konstanta aritmatik
tf - ti = jumlah tahun proyeksi
b. Metode Geometrik
Jika metode yang digunakan adalah metode geometrik, maka pertambahan penduduk dapat
dihitung dengan rumus :
log Pt = log Pi + Kg (tf ti)
log pf log pi
Kg =
tf ti
Dimana : Pt = jumlah penduduk akhir tahun proyeksi
Pi = jumlah penduduk awal tahun proyeksi
Kg = konstanta geometrik
tf - ti = jumlah tahun proyeksi
c. Metode Eksponensial
Jika metode yang digunakan adalah metode eksponensial, maka pertambahan penduduk dapat
dihitung dengan rumus :
ln Pt = ln Pi + Kg (tf ti)
ln pf ln pi
Kg =
tf ti

Dimana : Pt = jumlah penduduk akhir tahun proyeksi


Pi = jumlah penduduk awal tahun proyeksi
Kg = konstanta geometrik
tf - ti = jumlah tahun proyeksi
d. Metode Least Square Aritmatic
Jika metode yang digunakan adalah metodeLeast Square Aritmatic , maka pertambahan
penduduk dapat dihitung dengan rumus :
y = a + bx

a+b
x - y=0
n n

x xy = 0
2

a+b -
n n
Dimana : y = laju pertumbuhan (%)
x = jumlah populasi tahun ke-x
e. Metode Least Square Geometric
Jika metode yang digunakan adalah metodeLeast Square Geometric, maka pertambahan
penduduk dapat dihitung dengan rumus :
log y = a + bx
Dimana : y = laju pertumbuhan (%)
x = jumlah populasi tahun ke-n
Pemilihan metode proyeksi penduduk daerah perencanaan dilakukan dengan cara pengujian
statistik, yaitu dengan koefisien korelasi. Metode proyeksi yang paling tepat adalah metode yang
memberikan nilai R2 mendekati atau sama dengan 1. Setelah itu, metode tersebut dipakai untuk
memproyeksikan jumlah penduduk yang diinginkan.

2.3.3.3 Aspek-Aspek Hidrolika Air Buangan


1. Jenis aliran
Terdapat dua jenis pengaliran di dalam sistem penyaluran air limbah, yaitu pengaliran
bertekanan (under pressure flow) dan aliran tidak bertekanan. Aliran bertekanan disebabkan
oleh gaya luar, seperti tekanan hidraulik atau pemompaan, sedangkan pengaliran tidak
bertekanan dilakukan secara gravitasi, dengan tekanan dalam sama dengan tekanan luar.
Dalam aliran air buangan kondisi bertekanan hanya dijumpai pada instalasi pemompaan dan
siphon, sedangkan dalam perpipaan disyaratkan yang tidak bertekanan.
Kondisi aliran pada sistem penyaluran air buangan dibedakan atas aliran tunak (steady),
yaitu bila debit tetap konstan dengan waktu; dan aliran tak tunak (unsteady), bila debit berubah
dengan waktu. Walaupun aliran dalam riol umumnya tidak tunak, analisa hidrolis alirannya
disederhanakan dengan asumsi keadaan aliran tunak. Tetapi dalam desain stasiun pompa,
aliran dalam pipanya jelas aliran tidak tunak, khusus dalam hal ini tidak boleh diabaikan.
Aliran saluran terbuka, tunak, merupakan aliran dalam pipa riol. Aliran seragam bila kecepatan
dan kedalamannya tetap sama dari titik ke titik sepanjang pipa. Sebaliknya, aliran tidak
seragam bila kecepatan dan kedalamannya berubah. Aliran dalam pipa riol, sering tidak
seragam, namun diasumsikan seragam.
Perhitungan rinci aliran tidak seragam dalam pipa riol, biasanya hanya dilakukan untuk
transisi mayor, outfalls, dan mungkin pipa utama dalam stasiun pompa.
(Hardjosuprapto, 2000)
2. Kedalaman air dalam pipa
Kedalaman aliran air sangat berpengaruh terhadap kelancaran aliran, oleh karena itu
ditetapkan kedalaman mimimum yang harus dipenuhi dalam penyaluran air buangan.
Kedalaman air buangan ini disamakan dengan kedalaman berenangnya tinja. Di Indonesia
kedalaman berenang ditetapkan 5 cm pada pipa halus dan 7,5 cm pada pipa kasar. Jika
kedalaman kedalaman minimum kurang dari kedalaman berenang maka saluran tersebut harus
digelontor.
Kedalaman aliran air limbah dalam saluran tidak boleh terlalu kecil, karena dapat
mengakibatkan materi air limbah yang berbentuk padat akan tertahan, sehingga akan
menyumbat aliran. Untuk menghindari hal ini, maka:
- Pada pipa cabang dan pipa induk, kedalaman aliran di awal saluran diperhitungkan sebesar
60% dari diameter pipa atau d/D = 0.6
- Pada saat debit puncak, di akhir saluran d/D maks = 0.8
- Kedalaman 7.5-10 cm untuk pipa beton, > 5 cm untuk pipa yang lebih halus (PVC,
fiberglass, dll). Kedalaman berenang adalah kedalaman yang dianggap masih membawa
partikel berenang mengikuti aliran pada saat kecepatan minimum
- Pada saat debit minimum, tidak tercapai kedalaman berenang, maka saluran harus
digelontor.
1. Kecepatan Pengaliran
a. Kecepatan yang Dianjurkan
Kriteria pengaliran dalam desain jalur pipa adalah dengan Kecepatan Swa-Bersih
(self cleaning velocity), yaitu pada waktu debit maksimum, Qpb, kecepatannya vpb
ditetapkan antara 0.60-0.75 m/det atau lebih (menurut WHO, pada daerah beriklim panas,
dianjurkan vpb 0.90 m/det). Penetapan kecepatan vpb itu harus dicek sewaktu
kedalaman air mencapai kedalaman berenang, db (swimming depth), dimana kecepatan
alirannya vb, harus masih dapat menghanyutkan pasir dan kricak (grit), sehingga pasir
dan kricak tidak mengendap. Dianjurkan vb > 0.30 m/det. Jika setelah ditetapkan pada
Qpb, kecepatan vpb, misal 0.60 m/det, tetapi setelah dicek ternyata kecepatan vb nya <
0.30 m/det, maka penetapan vpb = 0.60 m/det itu harus diperbesar, misal vpb diubah
menjadi = 0.75 m/det, dan seterusnya, sedemikian rupa sehingga setelah dicek lagi pada
kedalaman db, harga vb sedikit > 0.30 m/det, misal 0.35 m/det. Sebaliknya, jika setelah
dicek pada kedalaman db vb>> 0.30 m/det, penetapan vpb di atas dapat diperkecil.
(Hardjosuprapto, 2000)

b. Kecepatan pengaliran maksimum


Kecepatan pengaliran maksimum ditetapkan sebagai berikut:
Untuk aliran yang mengandung pasir, kecepatan maksimum 2.0 2.4 m/dtk
Untuk aliran yang tidak mengandung pasir, kecepatan maksimum 3.0 m/dtk
Batas kecepatan pengaliran di atas ditetapkan berdasarkan pertimbangan:
Saluran harus dapat mengantarkan air limbah secepatnya menuju instalasi
pengolahan air limbah
Pada kecepatan tersebut penggerusan terhadap pipa belum terjadi, sehingga
ketahanan pipa dapat dijaga
c. Kecepatan pengaliran minimum
Kecepatan pengaliran minimum yang diijinkan adalah sebesar 60 cm/dtk, dan
diharapkan pada kecepatan ini aliran mampu untuk membersihkan diri sendiri.
Pertimbangan lain adalah untuk mencegah aliran limbah terlalu lama dalam pipa,
sehingga dapat terjadi pengendapan dan penguraian air buangan yang akan menaikkan
konsentrasi sulfur. Konsentrasi sulfur yang tinggi merupakan media yang baik untuk
berkembang biaknya bakteri dan dapat mengubah sulfur menjadi sulfida. Sulfida akan
membentuk Hidrogen Sulfida, yang jika konsentrasinya tinggi melampaui kejenuhan
dalam larutan, akan keluar dari larutan dan membentuk gas H2S yang sangat berbau dan
berbahaya bagi kesehatan. Jika gas ini, dalam pipa mengalami oksidasi, maka akan
terbentuk asam sulfat yang sangat korosif terhadap pipa.

d. Kecepatan penuh
Kecepatan penuh adalah kecepatan dalam keadaan pipa penuh tetapi tanpa tekanan.
Dalam penyaluran tidak boleh terjadi aliran penuh, sehingga istilah kecepatan penuh
hanya untuk media perhitungan. Perhitungan kecepatan penuh (Vf) ini berguna untuk
menentukan diameter pipa, kemiringan lajur pipa, dan kedalaman air pipa. Persaman
untuk kecepatan penuh adalah (Masduki, 2000):

vf = 1,364 . D0,5
Keterangan :
vf : kecepatan penuh (m/dt)
D : diameter pipa (m)

1. Kemiringan saluran air limbah


Untuk mendapatkan kecepatan yang dapat membersihkan sendiri itu kemiringan saluran
harus dihitung berdasarkan kontrol sulfida dan kontrol endapan.
a. Kontrol Sulfida
Kontrol sulfida dilakukan untuk mendapatkan kemiringan saluran yang dapat
mengikis lendir yang timbul akibat adanya bakteri sulfida yang menempel di dinding
saluran (Supeno, 1987). Formula yang digunakan dalam perhitungan kemiringan
saluran (slope) adalah:
2
3.EBOD.P
S 1/ 3
Z.Qp .b
Keterangan:
S : kemiringan saluran (m/m)
EBOD : BOD efektif (mg/l)
: dirumuskan sebagai BOD (5,20) = 1,07T-20
P : keliling basah saluran pada debit total (m)
b : lebar saluran bagian atas pada debit total
Z :Indeks Pameroy, menunjukkan besarnya aliran yang terjadi
Z = 10.000 : banyak lendir
Z = 7.500 : cukup (biasa dipakai dalam perencanaan)
Z = 5.000 : bersih sekali
Qp : debit aliran pada kondisi puncak (L/dt)

b. Kontrol Endapan
Kontrol endapan dilakukan untuk mendapatkan kemiringan yang memberikan
kecepatan pembersihan sendiri, yang dapat membersihkan endapan dari dasar saluran
(Supeno, 1987). Kemiringan saluran berdasarkan kontrol endapan diformulasikan
sebagai berikut:
16
13


S 0,1094

Rm

Rf Qr
3

8

Keterangan:
S : kemiringan saluran (/m)
: gaya geser kritis ( 0,33 << 0,38 kg/m2 )
Rm : jari-jari hidrolis saluran opada kedalaman minimum (m)
Rf : jari-jari hidrolis saluran pada aliran penuh (m)
Qp : debit aliran pada kondisi puncak (L/dt)
2.3.3.4 Perhitungan Hidrolis
Metode dasar analisa aliran dalam pipa riol meliputi pengertian kontinuitas dan energi.
a. Persamaan Kontinuitas
Prinsip kontinuitas menyatakan bahwa debit pada suatu penampang saluran merupakan
perkalian antara luas penampang saluran dengan kecepatan pada penampang saluran
tersebut dan besarnya sama di setiap titik pada satu saluran. Persamaan kontinuitas pada
aliran tunak tak bertekanan diformulasikan dalam bentuk matematik sebagai :
Q = A1 . V1 = A2 . V2 = konstan
Keterangan:
Q = debit aliran (m3/det)
A = luas penampang saluran (m2)
V = kecepatan aliran (m/det)

b. Persamaan Energi
Konsep energi meliputi seluruh pengertian hidrolika. Energi mekanis air adalah akibat
tinggi tempat atau potensi, kecepatan, dan tekanannya. Persamaan umum energi adalah
sebagai berikut :
(V2/2g + P/g + z)1 + Ha = (V2/2g + P/g + z)2 + Hl
Keterangan:
V2/2g = head kecepatan (m)
P/g = head tekanan (m)
Z = ketinggian saluran dari datum (m)
Ha = energi tambahan (m)
Hl = kehilangan tekanan (m)

c. Persamaan Aliran Manning


Persamaan Manning dapat dipergunakan baik dalam aliran penuh maupun aliran tidak
penuh. Manning menampilkan formulasi sebagai berikut :
1 2/3 1/2
V= R S
n
Keterangan:
V = kecepatan aliran rata-rata (m/det)
R = jari-jari hidraulis saluran (m)
S = slope saluran (m/m)
n = koefisien kekasaran Manning
Penggunaan persaman Manning dalam perhitungan disederhanakan dalam bentuk
nomogram. Nomogram hanya dipakai dalam mengecek hasil perhitungan atau
memperkirakan dimensi.

d. Persamaan Geser Aliran


Air yang mengalir dalam pipa atau saluran dipengaruhi oleh gaya gravitasi atau pompa.
Kehilangan energi akibat gesekan sepanjang pipa disebut kehilangan energi mayor sedangkan
perubahan bentuk dan arah mengakibatkan kehilangan energi minor (Masduki, 2000). Beberapa
persamaan yang sering digunakan dalam pipa air limbah yaitu:

e. Persamaan Darcy-Weisbach
v 2 L
h = fD .
2g 4R
R = Ac/P
Keterangan:
h : kehilangan tekanan (m)
fD : faktor gesekan Darcy-Weisbach
v : kecepatan rerata (m/dt)
L : panjang pipa (m)
D : diameter pipa (m)
R : jari-jari hidrolis (m)
Ac : luas penampang basah (m2)
P : keliling basah (m)
f. Persamaan Chezy
V = C (R.s)0,5
Keterangan:
V : kecepatan (m/dt)
C : koefisien geser chezy, untuk pipa penuh C = (8g/fD)0,5
R : jari-jari hidrolis (m)
s : kemiringan gradien hidrolis/kemiringan permukaan air

g. Persamaan Hazen-William
v = 1,318 . Chw . R0,63 . S0,54
Keterangan:
V : kecepatan (m/dt)
C : koefisien Hazen-William
R : jari-jari hidrolis (m)
s : kemiringan gradien hidrolis/kemiringan permukaan air

h. Persamaan Manning
1 2/3 1/2
V= R S
n
Keterangan:
V : kecepatan aliran rata-rata (m/det)S : slope saluran (m/m)
n : koefisien kekasaran ManningR : jari-jari hidraulis saluran (m)

Tabel 2 3 Angka Kekasaran Manning, Hazen-William dan Darcy-Weisbach


Bahan saluran Kekasaran Absolut Manning Hazen-William
(Darcy-Weisbach) (ft) (ft)
(ft)
Pipa asbestos semen 0.001-0.01 0.011-0.015 100-140
Pipa cast iron tanpa lapisan - -
Pipa cast iron cement-Line 0.00055
Pipa beton 0.001-0.01 0.011-0.015 100-140
Pipa PVC 0.001-0.01 0.011-0.015 100-140
Vitrified Clay 0.01 0.011-0.015 100-140
0.001-0.01 0.011-0.015 100-140

Sumber: Supeno, 1987

Hubungan antar elemen hidrolika diatas dapat dicari dengan bantuan grafik seperti dibawah
ini:

Gambar 2 7 Hubungan Antar Elemen Hidrolika


Sumber: Metcalf dan Eddy, 1981
Dari gambar diatas dapat dibuat dalam persamaan untuk mendapatkan nilai yang lebih tepat.
Persamaan tersebut adalah:
A 1 1
cos 1 1 2
A full
P 1
cos 1
Pfull
1
R A P

R full A full Pfull
2/3
V R

V full R full

Q A V

Q full A full V full

Keterangan:
A = potongan melintang area dari aliran (m2)
Afull = potongan melintang area dari aliran pada saat pipa penuh (m2)
= 1-2 (d/D)
d = kedalaman berenang (m)
D = diameter pipa (m)
P = keliling basah (m)
Pfull = keliling basah pada saat pipa penuh (m)
R = jari-jari hidrolik (m)
Rfull = jari-jari hidrolik pada saat pipa penuh (m)
V = kecepatan (m/dt)
Vfull = kecepatan pada saat pipa penuh (m)
Q = debit (m3/dt)
Qfull = debit pada saat pipa penuh (m2/dt)

Penampang melintang pipa air limbah dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

d d
Untuk > 0,5 Untuk < 0,5
D D
Gambar 2 8 Penampang Melintang Pipa Air Limbah
Sumber: Mecalf dan Eddy, 1981

Prinsip Dasar Dalam Penyaluran Air Buangan


a. Prinsip Kontinuitas
Prinsip kontinuitas menyatakan bahwa debit pada suatu penampang saluran merupakan
perkalian antara luas penampang saluran dengan kecepatan pada penampang saluran tersebut,
dan besarnya sama di setiap titik pada suatu saluran.
Persamaan kontinuitas diformulasikan dalam bentuk matematik sebagai :
Q = A1.V1 = A2. V2 = konstan
Q = debit aliran (m3/dt)
A = luas penampang saluran (m2)
V = kecepatan aliran (m/dt)

b. Persamaan Energi
Persamaan umum energi adalah sebagai berikut :
v 2

/ 2 g p / g z 1 Ha v 2 / 2 g p / g z
2 Hl

v2/2g = head kecepatan (m)


p/g = head tekanan (m)
z = ketinggian saluran dari datum (m)
Ha = energi tambahan (m)
Hl = kehilangan energi (m)
(Moduto, 2000)
c. Persamaan Aliran dari Manning
Persamaan Manning dapat dipergunakan baik dalam aliran penuh maupun aliran tidak
penuh. Manning menampilkan formulasi sebagai berikut:
1 2 / 3 1/ 2
v R S
n
v = kecepatan aliran rata-rata (m/dt)
R = jari-jari hidrolis saluran (m)
S = slope saluran (m/m)
N = koefisien kekasaran Manning
Penggunaan persamaan Manning dalam perhitungan disederhanakan dalam bentuk
nomogram. Nomogram hanya dipakai dalam mengecek hasil perhitungan atau memperkirakan
dimensi.
(Moduto, 2000)
2.3.4 Perhitungan Debit Air Buangan
Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam penyaluran air buangan, yaitu :
1. sumber atau asal air buangan
2. besar atau prosentase air buangan dari air minum
3. besarnya curah hujan
Dalam air buangan dikenal beberapa istilah debit, yaitu : debit rata-rata (Qr), debit hari
maksimum (Qmd), debit minimum (Qmin), debit infiltrasi (Qinf), debit puncak (Qpeak), dan debit
air buangan non domestik (Qx).
a. Debit Rata-Rata Air Buangan (Qr)
Debit rata-rata air buangan adalah debit air buangan yang berasal dari rumah tangga,
bangunan umum, bangunan komersial, dan bangunan industri. Dari berbagai sarana di atas, tidak
semua air yang diperlukan untuk kegiatan sehari-hari terbuang ke saluran pengumpul, hal ini
disebabkan beragamnya kegiatan. Berkurangnya jumlah air yang terbuang sebagai air buangan
disebabkan kegiatan-kegiatan seperti mencuci kendaraan, mengepel lantai, menyiram tanaman,
dan lain-lain.
(Moduto, 2000)

b. Debit Hari Maksimum (Qmd)


Debit hari maksimum adalah debit air buangan pada keadaan pemakaian air maksimum.
Besar debit hari maksimum merupakan perkalian faktor peak kali debit air buangan rata-rata.
Harga faktor peak merupakan rasio debit maksimum dan minimum terhadap debit rata-rata. Harga
faktor peak bervariasi tergantung jumlah penduduk kota yang dilayani, dan dirumuskan sebagai
berikut :

18 p 2.5
fp
4 p 0.5
sedangkan debit maksimum dirumuskan sebagai :
Qmd = fp. Qab
Dimana :
Qmd = debit hari maksimum (l/dt)
Fp = faktor peak
Qab = debit air buangan rata-rata (l/dt)
P = jumlah penduduk dalam ribuan (jiwa)
(Moduto, 2000)
c. Debit Minimum (Qmin)
Debit minimum adalah debit air buangan pada saat minimum. Debit minimum ini berguna
dalam penentuan kedalaman minimum, untuk menentukan apakah saluran harus digelontor atau
tidak. Persamaan untuk menghitung debit minimum adalah:
Q min 0,2 p1, 2 qr (l / det) (1 < p < 1000)
(Moduto, 2000)
d. Debit Inflow / Infiltrasi (Qinf)
Debit infiltrasi adalah debit air yang masuk saluran air buangan yang berasal dari air hujan,
infiltrasi air tanah, dan air permukaan. Infiltrasi air dari sumber-sumber di atas biasanya masuk
melalui jalur pipa dan sambungan rumah. Infiltrasi dari sumber-sumber yang disebutkan di atas
tidak dapat dihindari, hal ini disebabkan oleh:
1. pekerjaan sambungan pipa kurang sempurna
2. jenis bahan saluran dan sambungan yang dipergunakan
3. kondisi tanah dan air tanah
4. adanya celah-celah pada tutup manhole
Besar debit infiltrasi/inflow ditentukan berdasarkan :
1. luas daerah pelayanan
2. panjang saluran
3. panjang saluran dan diameter
Besarnya debit inflow berdasarkan luas daerah pelayanan menurut ASCE dan WPCF adalah 400
200000 gpd/acre.
(Moduto, 2000)
e. Debit Puncak (Qpeak)
Debit puncak adalah debit air buangan yang dipergunakan dalam menghitung dimensi
saluran. Debit puncak merupakan penjumlahan dari debit maksimum dan debit infiltrasi / inflow.
Qp 5 p 0,8 qmd Cr. p.qr L / 1000.q inf( l / det)

= 5 p 0,8 qmd q inf low


Qp = debit puncak (l/dt)
p = jumlah penduduk dalam ribuan
Qmd = debit satuan hariam maksimum (l/dt.1000 jiwa)
Cr = koefisien infiltrasi di daerah persil
qr = debit satuan harian rata-rata (l/dt.1000 jiwa)
qinf = debit infiltrasi saluran (l/dt.km)
(Moduto, 2000)
f. Debit Air Buangan Non Domestik (Qx)
Debit air buangan non domestik adalah debit air buangan yang berasal dari bangunan
komersial, bangunan industri, bangunan umum/institusi, dan bangunan pemerintahan. Debit air
buangan non domestik tergantung dari pemakaian air dan jumlah penghuni bangunan-bangunan
tersebut. Kecuali air buangan yang berasal dari bangunan industri, semua air buangan yang berasal
dari non domestik dilayani sistem penyaluran air buangan, dengan alasan karakteristik air
buangannya mempunyai kesamaan dengan air buangan domestik.
Dalam perhitungan debit puncak, debit air buangan yang berasal dari bangunan non
domestik diekivalenkan dengan jumlah penduduk yang dilayani pada daerah domestik.
Perhitungan ekivalen debit air buangan non domestik adalah:

qx
pek
qr
pek = jumlah penduduk ekivalen ( jiwa )
qx = total debit air minum non domestik (l/dt)
qr = pemakaian air rata-rata (l/orang/hari)
(Moduto, 2000)
a. Kedalaman Aliran
Kedalaman aliran sangat berpengaruh terhadap keancaran aliran, oleh karena itu ditetapkan
kedalaman minimum yang harus dipenuhi dalam penyaluran air buangan. Kedalaman minimum
ini disamakan dengan kedalaman berenang tinja. Di Indonesia kedalaman berenang ditetapkan 5
cm pada pipa halus, dan 7,5 cm pada pipa kasar. Kedalaman minimum didapat dari nomogram
Design Main Sewer dengan mengetahui debit minimum, jika kedalaman minimum kurang dari
kedalaman berenang maka saluran tersebut harus digelontor. Karena aliran air buangan bersifat
terbuka, maka kedalaman aliran dalam pipa tidak boleh penuh. Kedalaman aliran dalam pipa
dibatasi 0,6 D sampai 0,8 D pada debit puncak. Jika kedalaman saluran sudah melebihi 0,8
diameter, maka diameter pipa harus diperbesar atau kemiringan saluran diperbesar.
(Moduto, 2000)
b. Kedalaman Pemasangan Pipa
Kedalaman pemasangan pipa saluran air buangan bergantung dari fungsi pipa itu sendiri
yang dibagi menjadi : pipa persil, pipa service dan pipa lateral.
1. Kedalaman awal pemasangan pipa
a. Persil = 0,45 meter
b. Service = 0,6 meter
c. Lateral = 1,00 1,20 meter
Kedalaman akhir pemasangan pipa. Kedalaman akhir pemasangan pipa air buangan
diisyaratkan tidak melebihi 7 meter, jika penanaman pipa sudah melebihi 7 meter harus
dipergunakan pompa untuk menaikkan air buangan untuk mendapatkan kedalaman galian yang
disyaratkan

c. Pemilihan Bahan Pipa


Pemilihan bahan pipa harus diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :
1. Harus mengalirkan air buangan sebaik mungkin
2. Kekuatan dan daya tahan harus terjamin baik dari gaya dalam maupun luar pipa
3. Mudah dalam pemasangan
4. Tahan terhadap penggerusan
5. Tahan terhadap korosi asam baik dari air buangan maupun air tanah
6. Ketersediaannya di pasaran terjamin
7. Harus kedap air begitu juga dengan sambungannya
8. Harga pipa
9. Kondisi geologi dan topografinya
BAB III

KONDISI, ANALISIS DAN PREDIKSI KONDISI UMUM DAERAH

3.1 Geomorfologi dan Meteorologi

3.1.1 Geomorfologi
Keadaan Topografi wilayah Kabupaten Semarang dapat diklasifikasikan ke dalam 4
(empat) kelompok, yaitu :

Wilayah datar dengan tingkat kemiringan kisaran 0 - 2% seluas 6.169 Ha.

ilayah bergelombang dengan tingkat kemiringan kisaran 2 - 15% seluas 57.659 Ha.

wilayah curam dengan tingkat kemiringan kisaran 15 - 40% seluas 21.725 Ha.
wilayah sangat curam dengan tingkat kemiringan >40% seluas 9.467,674 Ha.

Ketinggian wilayah Kabupaten Semarang berkisar pada 500 2000 m diatas permukaan laut
(dpl), dengan ketinggian terendah terletak di desa Candirejo Kecamatan Pringapus dan tertinggi di
desa Batur Kecamatan Getasan.

Gambar 3 1 Peta Topografi Kabupaten Semarang


Sumber : BAPPEDA Kabupaten Semarang, 2014

3.1.2 Meteorologi
Berikut merupakan data ketinggian tiap wilayah dan curah hujan tiap kecamatan yang ada
di Kabupaten Semarang tahun 2012 yang dimuat dalam tabel:

Tabel 3 1 Tinggi Tempat & Curah Hujan per Kecamatan di Kabupaten Semarang
Tinggi Tempat dan Curah Hujan Tahun 2012

Kecamatan Tinggi Tempat Curah Hujan (Mm) Hari Hujan (hari)


(Meter)

Getasan 1 450 2 717 147

Tengaran 729 2 093 102


Susukan 497 1 773 92

Kaliwungu 497 - -

Suruh 660 1 781 104

Pabelan 584 1 637 82

Tuntang 480 2 461 92

Banyubiru 478 1 741 126

Jambu 572 1 793 101

Sumowono 900 2 632 128

Ambarawa 514 2 063 124

Bandungan 750 - -

Bawen 650 1 701 72

Bringin 357 1 450 62

Bancak 357 742 28

Pringapus 400 2 165 95

Bergas 400 3 123 134

Ungaran Barat 318 2 286 134

Ungaran Timur 318 - -

Rata - Rata 2 010 101

Sumber : Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kab. Semarang


Gambar 3 2 Peta Klimatologi Kabupaten Semarang
Sumber : BAPPEDA Kabupaten Semarang, 2014
Kondisi tersebut dipengaruhi oleh letak geografis yang dikelilingi oleh pegunungan dan
sungai yaitu:
Gunung Ungaran, letaknya meliputi wilayah Kecamatan Ungaran, Bawen, Ambarawa dan
Sumowono.
Gunung Telomoyo, letaknya meliputi wilayah Kecamatan Banyubiru, Getasan.

Gunung Merbabu, letaknya meliputi wilayah Kecamatan Getasan dan Tengaran.

Pegunungan Sewakul terletak di wilayah KecamatanUngaran.

Pegunungan Kalong terletak di wilayah KecamatanUngaran.

Pegunungan Pasokan, Kredo, Tengis terletak di wilayah KecamatanPabelan.

Pegunungan Ngebleng dan Gunung Tumpeng terletak di wilayah KecamatanSuruh.

Pegunungan Rong terletak di wilayah KecamatanTuntang.

Pegunungan Sodong terletak di wilayah KecamatanTengaran.


Pegunungan Pungkruk terletak di KecamatanBringin.
Pegunungan Mergi terletak di wilayah KecamatanBergas.

Sungai di Kabupaten Semarang antara lain:


Kali garang, yang melalui sebagian wilayah Kecamatan Ungaran dan Bergas.
Rawa Pening meliputi sebagian dari wilayah Kecamatan Jambu, Banyubiru, Ambarawa,
Bawen, Tuntang dan Getasan.
Kali Tuntang, yang melalui sebagian dari wilayah Kecamatan Bringin, Tuntang, Pringapus
dan Bawen.
Kali Senjoyo, melalui sebagian wilayah Kecamatan Tuntang, Pabelan, Bringin, Tengaran
dan Getasan.

3.2 Demografi
Penduduk Kabupaten Semarang hasil registrasi penduduk akhir tahun 2013 tercatat sebanyak
949.815 jiwa. Dibandingkan data penduduk tahun 2013 sebesar 944.277 mengalami peningkatan
sebanyak 5.538 jiwa atau mengalami pertumbuhan penduduk sebesar 0,59%. Seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk Kabupaten Semarang tahun 2013, kepadatan penduduk setiap km
juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2013 kepadatan penduduknya adalah 1000 jiwa di setiap
km, kepadatan penduduk meningkat sebanyak 6 jiwa/km.
Gambar 3 3 Peta Kepadatan Penduduk Kabupaten Semarang
Sumber : BAPPEDA Kabupaten Semarang, 2014

Jumlah penduduk merupakan indikator untuk melihat dan mengkaji sampai sejauh mana
kecenderungan pertumbuhan dan perkembangan di wilayah perencanaan. Jumlah perkembangan
penduduk di wilayah Kabupaten Semarang tahun 2013 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 3 2 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan, Tahun 2013
Kecamatan Luas Kec Jumlah Penduduk Kepadatan
(km) jiwa/km
Getasan 65,80 48.966 744
Tengaran 47,30 64.662 1.367
Susukan 48,87 43.382 888
Kaliwungu 29,95 26.389 881
Suruh 64,02 60.286 942
Pabelan 47,97 37.794 788
Tuntang 56,24 61.755 1.098
Banyubiru 54,41 40.847 751
Jambu 51,63 37.470 726
Sumowono 55,63 30.543 549
Ambarawa 28,22 58.990 2.090
Bandungan 48,23 54.216 1.124
Bawen 46,57 55.986 1.202
Bringin 61,89 41.332 668
Bancak 43,85 20.029 457
Pringapus 78,35 51.131 653
Bergas 47,33 70.191 1.483
Ungaran 35,96 76.215 2.119
Barat
Ungaran 37,99 69.631 1.833
Timur
Sumber :Kabupaten Semarang Dalam Angka 2014

Tabel 3 3 Jumlah Penduduk Kabupaten Semarang tahun 2009-2013


Tahun Jumlah Penduduk
2009 917.745
2010 933.764
2011 938.802
2012 944.277
2013 949.815
Sumber :Kabupaten Semarang Dalam Angka 2014

3.3 Sosial dan Ekonomi


Kondisi sosial budaya menggambarkan keadaan prasarana pendidikan, jumlah penduduk
miskin, serta kawasan kumuh yang terdapat di wilayah Kabupaten Semarang.

3.3.1 Fasilitas Pendidikan


Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Semarang, pada tahun 2013 jumlah sarana
pendidikan di Kecamatan Tingkir terdiri dari 76 TK, 532 SD, 346 MI, 93 SMP, 38 MTS, dan 24
SMA, 8 MA, dan 37 SMK. Rincian fasilitas pendidikan yang terdapat di Kabupaten Semarang
adalah sebagai berikut:

Tabel 3 4 Kawasan Pendidikan Kabupaten Semarang Tahun 2014


Kecamatan TK SD MI SMP MTS SMA MA SMK
Getasan 31 4 4 2 1 - 1
Tengaran 36 14 6 3 1 3 2
Susukan 30 13 5 3 4 1 3
Kaliwungu 26 2 3 1 1 - 2
Suruh 37 21 7 1 1 1 2
Pabelan 25 15 3 3 1 - 2
Tuntang 31 9 5 - 1 - -
Banyubiru 25 6 5 2 1 - 1
Jambu 23 8 4 1 1 - 1
Sumowono 26 3 4 2 1 - 1
Ambarawa 30 6 12 1 4 - 5
Bandungan 25 11 3 5 1 2 1
Bawen 26 4 4 - 1 - 1
Bringin 27 13 4 3 2 - 2
Bancak 13 7 2 1 - - 1
Pringapus 25 4 4 2 - 1 1
Bergas 30 6 4 2 1 - 1
Ungaran Barat 41 8 9 4 2 - 10
Ungaran Timur 24 7 5 4 1 - 1
Sumber : Kabupaten Semarang Dalam Angka 2014
3.3.2 Fasilitas peribadatan
Fasilitas peribadatan yang terdapat di Kabupaten Semarang terdiri dari 1.677 masjid,
3.270 Musola, 250 Gereja Kristen, 28 Gereja Katolik, 5 Pura, 52 Vihara, dan 1 Klenteng.

Tabel 3 5 Fasilitas Peribadatan Kabupaten Semarang


Kecamatan Masjid Mushola Gereja Gereja Pura Vihara Klenteng
Kristen Katolik
Getasan 117 73 65 2 1 14 0
Tengaran 114 263 13 1 0 1 0
Susukan 111 266 3 0 0 3 0
Kaliwungu 58 75 32 0 0 8 0
Suruh 142 327 5 1 0 2 0
Pabelan 90 215 10 1 0 0 0
Tuntang 99 216 18 2 0 7 0
Banyubiru 97 118 4 4 0 0 0
Jambu 85 117 2 4 0 3 0
Sumowono 62 108 20 1 0 8 0
Ambarawa 68 89 18 3 3 1 1
Bandungan 78 194 7 2 0 1 0
Bawen 76 108 6 2 1 1 0
Bringin 101 266 3 1 0 1 0
Bancak 67 157 0 0 0 0 0
Pringapus 61 147 5 2 0 1 0
Bergas 79 187 16 1 0 0 0
Ungaran Barat 100 187 16 1 0 0 0
Ungaran Timur 72 157 7 0 0 1 0
Sumber : Kabupaten Semarang Dalam Angka 2014
3.3.3 Fasilitas Perdagangan
Fasilitas perdagangan yang ada di Kabupaten Semarang dilihat pada table dibawah ini
Tabel 3 6 Fasilitas Perdagangan di Kabupaten Semarang
Kecamatan Sarana Perdagangan
Minimarket Toko/Warung Warung/Kedai Restauran/
Kelontong Makan Rumah Makan
Getasan 3 515 32 8
Tengaran 10 422 176 14
Susukan 1 530 58 0
Kaliwungu 2 309 99 0
Suruh 5 459 106 0
Pabelan 2 476 56 0
Tuntang 5 724 133 0
Banyubiru 4 341 32 2
Jambu 4 294 75 2
Sumowono 4 380 36 0
Ambarawa 7 529 261 0
Bandungan 10 622 179 2
Bawen 6 283 97 14
Bringin 5 491 174 0
Bancak 3 243 29 0
Pringapus 5 793 133 0
Bergas 15 653 224 6
Ungaran Barat 18 1.159 342 25
Ungaran Timur 12 631 241 9
Sumber : Kabupaten Semarang Dalam Angka 2014
3.3.4 Fasilitas Perindustrian
Fasilitas perindustrian yang ada di Kabupaten Semarang dapat dilihat pada tabel dibawah:
Tabel 3 7 Fasilitas Perindustrian di Kabupaten Semarang
Kecamatan Klasifikasi Industri
Rumah Kecil Besar
tangga Menengah
Getasan 38 21 2
Tengaran 677 113 16
Susukan 1.015 59 0
Kaliwungu 677 21 3
Suruh 752 37 1
Pabelan 564 34 0
Tuntang 489 129 2
Banyubiru 564 38 3
Jambu 451 71 3
Sumowono 226 24 0
Ambarawa 526 161 1
Bandungan 376 56 0
Bawen 226 68 28
Bringin 1.128 39 0
Bancak 75 7 0
Pringapus 376 79 15
Bergas 301 168 60
Ungaran Barat
1.097 356 51
Ungaran Timur
Sumber : Kabupaten Semarang Dalam Angka 2014
Gambar 3 4 Industri Cimory, Bawen
Sumber: Analisis Penulis, 2014

Gambar 3 5 Industri Sosro, Ungaran


Sumber: Analisis Penulis, 2014

Gambar 3 6 Industri Nissin, Ungaran


Sumber: Analisis Penulis, 2014
3.4 Kesehatan Masyarakat
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang sangat esensial, karena
kondisi kesehatan seseorang akan sangat mempengaruhi kelancaran aktivitasnya. Pola hidup
masyarakat serta jumlah fasilitas kesehatan yang ada di suatu daerah mempengaruhi kualitas
kesehatan masyarakatnya.
Salah satu pola hidup masyarakat yang mempengaruhi kualitas kesehatan adalah kesadaran
masyarakat akan pentingnya sanitasi yang masih minim karena sanitasi dianggap bukan
permasalahan yang mendesak. Terbukti dari Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) masyarakat
masih rendah. Keadaan dan perilaku tidak sehat tercermin dari masih tingginya kasus diare yang
mencapai 411 per 1.000 penduduk (Survei Morbiditas Diare Kemkes, 2010). Mencuci tangan
dengan sabun masih jarang dilakukan, sekitar 47 % rumah tangga masih melakukan buang air
besar di tempat terbuka, dan meskipun hampir semua rumah tangga merebus air untuk minum,
namun 48 persen dari air tersebut masih mengandung bakteri E Coli.
Kepedulian pemerintah terhadap masalah kesehatan diwujudkan antara lain dengan
penyediaan beberapa sarana kesehatan seperti poliklinik, puskesmas, puskesmas pembantu, rumah
bersalin, praktek dokter dan posyandu. Berikut ini adalah rincian sarana kesehatan yang ada di
Kabupaten Semarang :

Tabel 3 8 Jumlah Fasilitas Kesehatan Kabupaten Semarang Tahun 2013


Rumah Rumah Klinik Puskesmas
No. Kecamatan Sakit Puskesmas Sakit Ibu Pemmbantu
Umum dan Anak
1. Getasan 0 2 0 0 4
2. Tengaran 0 1 0 0 5
3. Susukan 0 1 0 0 4
4. Kaliwungu 0 1 0 0 3
5. Suruh 0 2 0 0 5
6. Pabelan 0 2 0 0 7
7. Tuntang 0 2 0 0 3
8. Banyubiru 0 1 0 0 3
9. Jambu 0 1 0 0 3
10. Sumowono 0 1 0 0 6
11. Ambarawa 2 1 0 2 2
12. Bandungan 0 2 0 0 3
13. Bawen 0 1 0 0 2
14. Bringin 0 1 0 0 4
15. Bancak 0 1 0 0 2
16. Pringapus 0 1 0 0 3
17. Bergas 1 1 0 1 4
18. Ungaran Barat 1 2 0 1 2
19. Ungaran Timur 0 2 0 3 3
Jumlah 4 26 0 7 68
Sumber : Kabupaten Semarang dalam Angka 2014

Peningkatan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai memang sangat diperlukan
sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah Kabupaten Semarang tergolong cukup peduli dengan masalah kesehatan bagi
masyarakatnya. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai macam fasilitas kesehatan yang tersedia,
di antaranya Puskesmas, Rumah Sakit Ibu dan Anak, Rumah Sakit Umum (RSU), Klinik,
Puskesmas Pembantu.
BAB IV

KONDISI, ANALISIS, DAN PREDIKSI KONDISI SANITASI DAN LINGKUNGAN


DAERAH

4.1 Kondisi Sarana dan Prasarana Air Limbah


Pengelolaan air limbah domestik di Kabupaten Semarang belum ditangani secara khusus
oleh UPT pada Dinas/Instansi tertentu, akan tetapi baru menjadi bagian dari tugas pokok fungsi
Lembaga Teknis dan Dinas Daerah terkait yaitu Badan Lingkungan Hidup, Dinas Pekerjaan
Umum, dan Dinas Kesehatan.
Peran masyarakat dan swasta baru mulai nampak dalam pembangunan sarana dan
penampungan awal air limbah (tangki septik) karena sebagian besar masyarakat telah menyadari
hal tersebut sebagai suatu kebutuhan. Akan tetapi pengelolaan selanjutnya baik dari pemerintah,
swasta, maupun masyarakat belum tersedia. Kabupaten Semarang belum memiliki IPLT dan
sarana pendukungnya termasuk layanan truk tinja. Selama ini masyarakat menggunakan jasa
layanan swasta dari Kota Semarang bila akan melakukan pengurasan tangki septik.
Sementara IPAL skala kota juga belum ada, sarana IPAL yang terbangun masih terbatas
pada kepentingan tertentu seperti untuk pengelolaan air limbah rumah sakit dan air limbah
perusahaan. Dalam hal pengelolaan pemerintah baru sebatas mengecek kelengkapan utilitas air
limbah dalam pengajuan Izin Mendirikan Bangunan. Dalam hal pengaturan dan pembinaan,
pemerintah bersama-sama dengan masyarakat dan swasta telah berupaya melakukan sosialisasi
tentang pengelolaan air limbah domestik. Sedang dalam hal monitoring dan evaluasi masih
didominasi oleh pemerintah terutama dalam melakukan monitoring terhadap baku mutu air limbah
domestik.
Adapun regulasi yang secara khusus mengatur tentang pengelolaan air limbah domestik
belum pernah diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Semarang. Secara umum pengelolaan air
limbah domestik telah disebutkan dalam rencana pengembangan sistem sanitasi lingkungan Pasal
19 ayat (3) Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 6 Tahun 2011 tentang RTRW
Kabupaten Semarang Tahun 2011-2031.
Pengelolaan air limbah domestik khususnya untuk limbah tinja di Kabupaten Semarang
sebagian besar masih dengan sistem setempat (on site) individual. Sedangkan sistem on site
komunal yang diarahkan untuk wilayah padat penduduk masih belum banyak diterapkan.
Pengelolaan on site komunal dengan tangki septic bersama sejauh ini selain di MCK umum baru
diterapkan untuk Rusunawa, sebagian perkantoran, hotel, penginapan, dan industri.
Saat ini Kabupaten Semarang juga belum mempunyai sarana pengelolaan air limbah
domestik terpusat (off site) karena belum memiliki jaringan perpipaan untuk limbah cair rumah
tangga skala kota. Selain itu, Kabupaten Semarang juga belum memiliki Instalasi Pengolahan
Lumpur Tinja (IPLT). Termasuk penyedia jasa penyedot tinja baik oleh swasta maupun
pemerintah juga belum ada. Sementara ini masyarakat menggunakan jasa penyedot tinja dari
kabupaten/kota sekitar

Gambar 4 1 Diagram Tempat Penyaluran Buangan Akhir Tinja


Sumber : Buku Putih Sanitasi Kabupaten Semarang
Berdasarkan hasil studi EHRA, tempat penyaluran buangan akhir tinja sebagaimana
tampak dalam gambar 4.1 berikut. Terlihat sebagian besar (71,9%) telah menggunakan tangki
septic. Sebanyak 0,6% pengguna pipa sewer adalah mereka yang terhubung dengan sistem on site
komunal. Penyaluran akhir ke cubluk/lubang tanah sebanyak 6,4%. Sedangkan yang disalurkan
langsung ke drainase, sungai/danaui, dan kolam/sawah berturut-turut 0,7%, 5,5%, dan 0,6%.
Sementara perilaku BABS juga masih ada, ditunjukkkan dengan penyaluran buangan akhir di
kebun/tanah lapang dan lainnya sebanyak 0,3% dan 13,9%.
Gambar 4 2 Saluran Air Limbah
Sumber : Analisa Penulis, 2014

4.2 Kondisi Sarana dan Prasana Drainase


Kondisi topografi Kabupaten Semarang yang secara fisik berupa daerah pegunungan, pada
dasarnya memberikan sistem drainase alami yang sangat baik. Air hujan akan diresapkan di dalam
tanah melalui porositas tanah lereng, mengalirkan sebagian air yang melimpas melalui alur-laur
alam dan terbuang ke sungai menuju laut atau danau. Dengan demikian, seharusnya tidak ada
potensi banjir karena air terdistribusi secara baik ke berbagai oulet dengan berbagai cara.
Persoalan mendasar berkaitan dengan drainase adalah masalah manajemen air hujan baik
manajemen dalam hal pemanfaatannya atau menanggulangi bahaya yang ditimbulkan. Manajemen
dalam hal pemanfaatan berkaitan dengan upaya menampung air hujan untuk nantinya
dipergunakan kembali sebagai sumber air baku. Manajemen dalam hal menanggulangi bahaya
berkaitan dengan upaya mengurangi atau bahkan menghilangkan dampak akibat kecepatan
limpasan air hujan seperti longsor, dsb.
Persoalan lainnya adalah kondisi saluran drainase yang belum semuanya diperkeras
sehingga rawan menimbulkan gerusan dinding dan dasar saluran, sehingga berpotensi
menyebabkan sedimentasi di bagian outlet. Kemiringan-kemiringan saluran yang tajam juga
berpotensi menimbulkan masalah akibat kecepatan tinggi terutama jika tidak dilengkapi dengan
bangunan-bangunan pelengkap seperti terjunan dan sejenisnya. Inlet-inlet saluran di tepi jalan di
kawasan perkotaan yang salurannya tertutup seringkali kurang efektif karena jarak antar inlet
terlalu jauh sehingga mengurangi potensi pengaliran air di badan jalan.
Sedangkan pembuangan air limbah (grey water) sebagian menggunakan sumur resapan
sebagai alat tampungan, tetapi sebagian yang lain (ini yang paling banyak terutama di daerah
perkotaan) menggunakan saluran drainase kota atau kawasan sebagai outlet. Pembuangan air
limbah ke saluran drainase kota atau kawasan seringkali tidak disertai dengan perawatan di
saluran, sehingga menimbulkan bau tidak sedap. Dalam kondisi musim kemarau dimana saluran
drainase tidak terisi air hujan, saluran tersebut berubah menjadi saluran limbah yang menjadi
sumber polutan kota.
Drainase di Kabupaten Semarang menggunakan sistem gravitasi karena topografi yang
relatif bergelombang. Melalui saluran-saluran baik yang sudah terbangun maupun yang masih
alami air mengalir ke sungai-sungai sebagai drainase primer. Sekalipun banyak sungai yang dapat
digunakan sebagai saluran primer, namun banyak sistem yang belum saling terhubung dan belum
terbangun. Sebagian besar sistem drainase yang sudah terbangun dan saling terhubung terutama
di kawasan perkotaan.
Saluran drainase sekunder dibangun di kanan kiri sepanjang Jalan Nasional, Jalan Provinsi,
dan Jalan Kabupaten. Di kanan kiri sepanjang Jalan Nasional dan Jalan Provinsi telah terbangun
saluran drainase terutama apabila jalan tersebut melintasi kawasan permukiman. Sedangkan yang
tidak terbangun saluran, maka telah terbangun talud sesuai dengan kondisi dan kebutuhan jalan.
Adapun di kanan kiri sepanjang Jalan Kabupaten telah terbangun saluran drainase kurang lebih
25% panjang jalan.
Drainase sekunder di sepanjang Jalan Kabupaten tersebut terutama terbangun di kawasan
perkotaan Ungaran, Ambarawa, Bandungan, dan Ibu Kota kecamatan lainnya. Sedangkan di luar
kawasan perkotaan diprioritaskan untuk jalan yang melintasi kawasan permukiman dan kawasan
cekungan mengikuti kontur jalan serta keberadaan sungai sebagai drainase primer. Sesuai dengan
topografi Kabupaten Semarang, drainase sekunder sepanjang kanan kiri Jalan Kabupaten yang
semestinya terbangun kurang lebih hanya 35% - 40% panjang jalan. Sedangkan antara 60% 65%
perlu dibangun talud sesuai dengan kondisi dan kebutuhan jalan.
Sementara drainase tersier dibangun di kanan kiri sepanjang jalan lingkungan utamanya di
kawasan permukiman. Saluran tersebut terdiri dari saluran yang telah dibangun permanen, semi
permanen, dan sebagian besar masih berupa parit atau selokan yang belum terbangun. Saluran
yang telah dibangun permanen rata-rata meliputi kurang lebih 28,66%, semi permanen 26,89%,
dan yang belum terbangun 44,46%. Kondisi tersebut hampir merata di seluruh wilayah Kabupaten
Semarang, kecuali kawasan perkotaan di Kecamatan Ungaran Timur, Ungaran Barat, Getasan, dan
Ambarawa serta ibu kota kecamatan lainnya.
Saluran drainase dan air limbah rumah tangga khususnya grey water terhubung dengan
drainase tersier ini. Di sebagian kawasan perkotaan bahkan ada yang terhubung dengan saluran
drainase sekunder. Hal inilah yang berpotensi menimbulkan bau tidak sedap apalagi apabila
saluran tersebut tersumbat. Selain itu, terutama di kawasan perkotaan, terdapat banyak bangunan
yang berada di atas saluran drainase.

Gambar 4 3 Saluran Drainase di Jalan Raya


Sumber: Analisis Penulis, 2014

Gambar 4 4 Saluran Drainase di Kantor PU


Sumber: Analisis Penulis, 2014
Gambar 4 5 Saluran Drainase di Kantor BAPPEDA
Sumber: Analisis Penulis, 2014
Gambar 4.4 menunjukkan kondisi drainase di lingkungan perkantoran tepatnya di depan
kantor Pekerjaan Umum Kabupaten Semarang. Saluran drainase disana terhalang oleh rumput-
rumput liar sehingga akan menyumbat atau menghalangi penyaluran drainasenya. Sedangkan
saluran drainase pada Gambar 4.5, salurannya saat itu kering namun ada kotoran daun-daun kering
yang belum dibersihkan.
Gambar 4 6 Jaringan Drainase Kabupaten Semarang
Sumber : Buku Putih Sanitasi Kabupaten Semarang

4.3 Kondisi Lingkungan Perairan (Pencemaran Limbah Domestik)


Pencemaran karena pembuangan isi tangki septic sangat tinggi hingga mencapai 68,4%.
Pencemaran karena pembuangan isi tangki septic tertinggi ternyata justru terjadi di desa kluster 1
yaitu sebesar 88,2%, disusul klauster 2 sebanyak 83,6%. Pembuangan isi tangki septic suspek
aman dan tidak aman masing-masing kluster selengkapnya sebagaimana tampak dalam gambar
4.6 berikut.
Gambar 4 7 Grafik Pencemaran Karena Pembuangan Isi Tangki Septik
Sumber : Buku Putih Sanitasi Kabupaten Semarang
Berdasarkan hasil pengamatan dalam studi EHRA pula diketahui bahwa pembuangan akhir
air limbah selain tinja sebanyak 46,9% masih bermuara ke sungai. Oleh karenanya pencemaran
karena SPAL diperkirakan sebesar 72,5%. Angka pencemaran yang cukup tinggi tersebut juga
hampir merata untuk semua kluster sebagaimana tampak dalam gambar 4.7 berikut

Gambar 4 8 Grafik Pencemaran Karena SPAL


Sumber : Buku Putih Sanitasi Kabupaten Semarang
Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa pengelolaan air limbah domestik di Kabupaten
Semarang untuk black water sebagaimana tampak dalam tabel 4.1. Diagram Sistem Sanitasi.
Terdapat 3 Sistem Aliran Limbah. Semua aliran limbah tersebut tanpa melalui pengolahan akhir
dan daur ulang. Dua aliran Limbah berakhir di badan air baik itu sungai atapun kolam dan satu
aliran limbah berakhir di badan tanah. Dengan demikian semua aliran limbah berpotensi
menimbulkan pencemaran air dan tanah.
Tabel 4 1 Diagram Sistem Sanitasi Pengelolaan Air Limbah Domestik

Pengumpulan
& Pembuang
Inpu User Pengalira Pengolah Kode/na
penampungan an/Daur
t Interface n an Akhir ma aliran
/Pengolahan ulang
Awal
Blac Kloset Tangki septic Truk - Sungai/laut Aliran
k jongkok/dudu tangki Limbah 1
Wat k leher angsa sedot WC (AL 1)
er
WC Umum
Kloset
jongkok/dudu
k leher angsa
WC Umum Tangki septic
tidak kedap air
WC - - Tanah Aliran
plengsengan Limbah 2
(AL 2)

WC
plengsengan
WC Tanah
Cubluk/Cemp
lung
BABS di
kebun/pekara
ngan
Pengumpulan
& Pembuang
Inpu User Pengalira Pengolah Kode/na
penampungan an/Daur
t Interface n an Akhir ma aliran
/Pengolahan ulang
Awal
Kloset
jongkok/dudu
k leher angsa
WC
plengsengan
BABS di Sungai, saluran - - Badan Air Aliran
sungai/seloka irigasi Limbah 3
n/parit/got (AL 3)
WC
Helikopter
WC Kolam ikan - -
Helikopter
Sumber : Buku Putih Sanitasi Kabupaten Semarang

Aliran limbah 1 (AL1) berupa black water (limbah tinja dan urine) yang berasal dari WC
pribadi maupun umum yang ditampung di tangki septic dan dikuras untuk kemudian dibuang ke
pembuangan akhir. Jumlah ini yang paling sedikit karena dari 71,9% pemilik tangki septic hanya
7,3% saja yang melakukan pengurasan.
Sedangkan aliran limbah 2 (AL2) berupa black water (limbah tinja dan urine) yang berasal
dari WC pribadi (baik yang berupa kloset leher angsa maupun plengsengan) dan WC umum yang
ditampung di tangki septic, namun tidak pernah dikuras. Juga yang berasal dari WC plengsengan
dan WC cubluk/cemplung (sebanyak kurang lebih 7%) yang langsung ditampung di lubang tanah
serta dari BABS di kebun/pekarangan (0,3%). Aliran limbah 2 bermuara terakhir di badan tanah.
Aliran limbah 3 (AL3) berupa black water (limbah tinja dan urine) yang berasal dari WC
pribadi baik itu berupa kloset atau plengsengan yang pembuangannya langsung dialirkan ke
sungai/saluran irigasi karena tidak mempunyai mempunyai septic tank, juga yang berasal dari WC
helicopter serta perilaku BABS di sungai/saluran irigasi/drainase, rawa, dan kolam. Aliran limbah
3 yang bermuara terakhir di badan air ini meliputi 6,8% pengguna.
Sedangkan data dari masing-masing kelompok fungsi dan teknologi yang digunakan dalam
sistem pengelolaan air limbah domestik di Kabupaten Semarang sebagaimana tampak dalam Tabel
4.2 berikut:

Tabel 4 2 Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Di Kabupaten Semarang

Teknologi Jenis
Kelompo (Perkiraan)
yang Data Sumber Data
k Fungsi Nilai Data
Digunakan Sekunder
Black
Water
User Jamban Sehat Jumlah 58,07% Data STBM Dinkes
Interface Permanen (kuantitas)
(Kloset
duduk/jongkok
leher angsa)
KK 165.878 KK Data STBM Dinkes
Tersambu
ng
WC Umum, Jumlah 12,53% Data STBM Dinkes
WC bersama (kuantitas)
KK 35.794 KK Data STBM Dinkes
Tersambu
ng
Jamban Sehat Jumlah 12,23% Data STBM Dinkes
Semi (kuantitas)
Permanen (WC
plengsengan,
Teknologi Jenis
Kelompo (Perkiraan)
yang Data Sumber Data
k Fungsi Nilai Data
Digunakan Sekunder
WC
Cemplung)
KK 34.937 KK Data STBM Dinkes
Tersambu
ng
Lainnya Jumlah 17,17% Data STBM Dinkes
(BABS) (kuantitas)
KK 49.059 KK Data STBM Dinkes
Tersambu
ng
Penampun Tangki Septik Jumlah 117.300 rumah KDA 2012
gan Awal (kuantitas)
Tanpa tangki Jumlah 36.602 rumah KDA 2012
septik (sungai, (kuantitas)
kolam ikan,
tanah/kebun,
pekarangan)
Pengaliran Jasa Truk sedot
WC
Pembuang Sungai Nama
an akhir Sungai
Sumber : Buku Putih Sanitasi Kabupaten Semarang

4.4 Identifikasi Utilitas Penting

4.4.1 Jalan Tol


Jalan Tol Semarang-Solo adalah jalan tol di provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Jalan Tol
Semarang-Solo menghubungkan kota Semarang, Salatiga dengan Surakarta. Melewati 3
kabupaten yaitu Kabupaten Semarang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Sukoharjo. Tol ini
mulai dibangun tahun 2009 oleh Jasa Marga dengan total lintasan sepanjang 72,64 km ini sampai
saat ini pembangunannya masih berlangsung. Jalan tol ini merupakan bagian dari Jalan Tol Trans
Jawa yang menghubungkan . Jalan Tol Semarang dengan Jalan Tol Solo-kertosono yang juga telah
mulai konstruksi. Tol ini terbagi menjadi lima seksi:
Tabel 4 3 Pembagian Jalan Tol Semarang
No Seksi Panjang Status
1 Seksi 1 (Tembalang - Ungaran) 16.3 km Operasi terbatas
2 Seksi 2 (Ungaran - Bawen) 11.3 km Operasi terbatas
3 Seksi 3 (Bawen - Salatiga) 18.2 km Persiapan Konstruksi
4 Seksi 4 (Salatiga - Boyolali) 22.4 km Pembebasan lahan
5 Seksi 5 (Boyolali - Karanganyar) 11.1 km Pembebasan lahan
Sumber : http://www.wikipedia.com, 2014

Gambar 4 9 Jalan Tol Tembalang-Ungaran


Sumber : (http://www.suaramerdeka.com)

Pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo membutuhkan biaya investasi sebesar 6,1 triliun
rupiah, biaya konstruksi 2,4 triliun rupiah, dan biaya pengadaan tanah 800 miliar rupiah.
Konstruksi tol seksi I Semarang (Tembalang)-Ungaran dimulai pada awal tahun 2009. Seksi I
Semarang-Ungarang telah beroperasi sejak November 2011. Sedangkan konstruksi untuk seksi II
Ungaran-Bawen sudah ada sejak tahun lalu 2013.

Gambar 4 10 Jalan Tol Semarang Solo


Sumber : (http://www.wikipedia.com)

4.4.2 Jembatan
Tabel 4 4 Jalan Keluar Masuk Tol Semarang-Solo
Persimpangan Asal/Tujuan Keterangan
Simpang Susun Jalan Tol Semarang Seksi C Half Trumpet
Tembalang Utara : Interchange
Jalan Tol Semarang Jatingaleh/Krapyak
Kaligawe/Pelabuhan Tanjung Emas
Jakarta
Demak/Surabaya
Simpang Susun Gerbang Tol Ungaran , Kota Ungaran Trumpet
Tembalang Utara : Interchange
Banyumanik/Semarang
Selatan :
Bawen/Ambarawa
Magelang/Yogyakarta
Salatiga/Solo
Sumber: Wikipedia, 2014

4.4.3 Jalan Utama


Kabupaten Semarang dilintasi Jalan Negara yang menghubungkan Yogyakarta dan
Surakarta dengan Kota Semarang atau lebih dikenal dengan "JOGLO SEMAR". Angkutan umum
antarkota dilayani dengan bis, yakni di terminal bus Sisemut (Ungaran), Bawen, dan Ambarawa.
Beberapa rute angkutan regional adalah: Semarang-Solo, Semarang-Yogyakarta, dan Semarang-
Purwokerto, sedang rute angkutan lokal adalah Semarang-Ambarawa dan Semarang-Salatiga,
Salatiga-Ambarawa.

Gambar 4 11 Jalan Raya Ungaran


Sumber : Analisa Penulis, 2014
4.4.4 Rel Kereta Api
Bawen merupakan kota persimpangan jalur menuju Solo dan menuju Yogyakarta atau
Purwokerto. Jalur kereta api Semarang-Yogyakarta merupakan salah satu yang tertua di Indonesia,
namun saat ini tidak lagi dioperasikan, sejak meletusnya Gunung Merapi yang merusakkan
sebagian jalur tersebut. Jalur lain yang kini juga tidak beroperasi adalah Ambarawa-Tuntang-
Kedungjati. Di Ambarawa terdapat Museum Kereta Api. Kereta api uap dengan rel bergerigi kini
dugunakan sebagai jalur wisata dengan rute Ambarawa-Bedono, di samping itu telah
dikembangkan kereta wisata Ambarawa - Tuntang PP. dengan menyusuri tepian Rawapening.

Gambar 4 12 Jalan Rel Kereta Api Semarang-Yogyakarta


Sumber : http://www.wikipedia.com, 2014

Anda mungkin juga menyukai