Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang
bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf
pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena
terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA.
Istilah NAPZA umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitik beratkan
pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. NAPZA sering
disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan
perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran (Sadock BJ et al.,2010).
Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya (NAPZA)
atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika dan Bahan/
Obat berbahanya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya
penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner,
multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara
berkesinambungan, konsekuen dan konsisten (Sadock BJ et al.,2010).
Berdasarkan data penelitian pengguna NAPZA di dunia, dilaporkan hampir 40%
penduduk di dunia pernah menggunakan NAPZA dalam hidup mereka. Beberapa substansi
tersebut menyebabkan kelainan status mental secara internal, seperti menyebabkan
perubahan mood, secara eksternal menyebabkan perubahan perilaku. Substansi tersebut juga
dapat menimbulkan problem neuropsikiatrik yang masih belum ditemukan penyebabnya,
seperti skizofrenia dan gangguan mood, sehingga kelainan primer psikiatrik dan kelainan
yang disebabkan oleh NAPZA menjadi sangat berhubungan (Elvira SD, 2013).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI NAPZA


NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang bila
masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat,
sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi
kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA. Istilah
NAPZA umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitik beratkan pada
upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. NAPZA sering disebut
juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan
perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran (Sadock BJ et al.,2010).
2.1.1. Narkotika
Menurut UU RI No 22 tahun 1997, Narkotika adalah zat/obat yang berasal dari
tanaman/bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai dengan
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika terbagi
menjadi 3 golongan, yaitu (Kemenkes RI, 2014):
- Golongan I : hanya digunakan untuk ilmu pengetahuan dan tidak untuk terapi,
berpotensi sangat tinggi untuk menimbulkan ketergantungan. Contoh: heroin/putaw,
kokain, ganja.
- Golongan II : berkhasiat pengobatan, sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan
untuk terapi ataupun ilmu pengetahuan dan berpotensi tinggi menimbulkan
ketergantungan. Contoh: morfin, petidin.
Golongan III : berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan untuk terapi maupun untuk
tujuan ilmu pengetahuan dan berpotensi ringan dalam menimbulkan ketergantungan. Contoh:
kodein.
2.1.2. Psikotropika
Menurut UU RI No 5 tahun 1997, psikotropika adalah zat/obat, baik alamiah maupun
sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Psikotropika terbagi menjadi 4 golongan, yaitu (Kemenkes RI, 2014):
- Golongan I : berpotensi amat kuat dalam menimbulkan ketergantungan. Contoh:
ekstasi, shabu, LSD
- Golongan II : berpotensi kuat dalam menimbulkan ketergantungan. Contoh:
amfetamin, metilfenidat/ritalin
- Golongan III : berpotensi sedang dalam menimbulkan ketergantungan, banyak
digunakan untuk terapi. Contoh: pentobarbital, flunitrazepam.
- Golongan IV : berpotensi ringan dalam menimbulkan ketergantungan, sangat luas
digunakan untuk terapi. Contoh : diazepam, bromazepam, fenobarbital, klonazepam,
klordiazepoksid, nitrazepam, pil BK, pil koplo, Dum, MG.

2.1.3. Zat Adiktif Lainnya


1. Minuman beralkohol
Yaitu minuman yang mengandung etanol.
Terbagi menjadi 3 golongan:
Golongan A mengandung etanol 1%-5% (bir)
Golongan B mengandung etanol 5%-20% (berbagai jenis minuman anggur)
Golongan C mengandung etanol 20%-45% (whiskey, vodka, TKW, manson house,
johny walker, kamput)
2. Inhalansia
Gas yang mudah dihirup dan solven (pelarut) yang mudah menguap berupa senyawa
organic pada berbagai alat rumah tangga. Contoh: lem, thinner, penghapus cat kuku, bensin.
3. Tembakau

2.2. PENGGOLONGAN NAPZA


Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA dapat digolongkan
menjadi tiga golongan (Elvira SD, 2013) :
1. Golongan Depresan (Downer)
Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini
menbuat pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan bahkan membuatnya tertidur
dan tidak sadarkan diri. Golongan ini termasuk Opioida (morfin, heroin/putauw,
kodein), Sedatif (penenang), hipnotik (otot tidur), dan tranquilizer (anti cemas) dan
lain-lain.
2. Golongan Stimulan(Upper)
Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan
kegairahan kerja. Jenis ini membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan
bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini adalah : Amfetamin (shabu, esktasi),
Kafein, Kokain
3. Golongan Halusinogen
Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat merubah
perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda
sehingga seluruh perasaan dapat terganggu. Golongan ini tidak digunakan dalam
terapi medis. Golongan ini termasuk : Kanabis (ganja), LSD, Mescalin.

2.3. EPIDEMIOLOGI
Jumlah kasus narkoba berdasarkan penggolongannya yang masuk dalam kategori
narkotika terus mengalami peningkatan dalam 5 tahun terakhir sedangkan yang masuk dalam
kategori psikotropika jumlah kasusnya kian menurun, hal ini terlihat jelas pada tahun 2009
jumlah kasus psikotropika 8.779 kasus dan tahun 2010 jumlah kasus psikotropika menurun
secara signifikan menjadi 1.181 kasus (Kemenkes RI, 2014).
2.4. KLASIFIKASI
2.4.1. ALKOHOL
DEFINISI
Alkohol adalah salah satu dari sekelompok senyawa organik yang dibentuk dari
hidrokarbon-hidrokarbon oleh pertukaran satu atau lebih gugus hidroksil dengan atom-atom
hidrogen dalam jumlah yang sama; istilah ini meluas untuk berbagai hasil pertukaran yang
bereaksi netral dan mengandung satu atau lebih gugus alkohol (Klagenberg KF et al., 2007).
EPIDEMIOLOGI
Kira-kira 85% dari semua penduduk Amerika Serikat pernah menggunakan minuman
yang mengandung alkohol sekurang-kurangnya satu kali dalam hidupnya. Dan kira-kira 51%
dari semua orang dewasa di Amerika Serikat merupakan pengguna alkohol saat ini
(American Psychiatric Association, 2013).
ETIOLOGI
Faktor Psikoanalisis
Teori psikoanalisis tentang gangguan berhubungan dengan alkohol telah dipusatkan
pada hipotesis superego yang sangat bersifat menghukum dan fiksasi pada stadium oral dari
perkembangan psikoseksual. Menurut teori psikoanalisis, orang dengan superego yang keras
yang bersifat menghukum diri sendiri berpaling ke alkohol sebagai cara menghilangkan stres
bawah sadar mereka. Kecemasan pada orang yang terfiksasi pada stadium oral mungkin
diturunkan dengan menggunakan zat seperti alkohol melalui mulutnya. Beberapa dokter
psikiatrik psikodinamika menggambarkan kepribadian umum dari seseorang dengan
gangguan berhubungan dengan alkohol adalah pemalu, terisolasi, tidak sabar, iritabel, penuh
kecemasan, hipersensitif, dan terrepresi secara seksual (Sadock BJ et al.,2010).
Faktor Sosial dan Kultural
Beberapa lingkungan sosial menyebabkan minum yang berlebihan. Asrama
perguruan tinggi dan basis militer adalah dua contoh lingkungan dimana minum berlebihan
dipandang normal dan perilaku yang diharapkan secara sosial. Sekarang ini, perguruan tinggi
dan universitas mencoba mendidik mahasiswanya tentang resiko kesehatan dari minum
alkohol yang berlebihan (Sadock BJ et al.,2010).
Faktor Perilaku dan Pembelajaran
Sama seperti faktor kultural, faktor perilaku dan pembelajaran juga dapat
mempengaruhi kebiasaan minum, demikian juga kebiasaan didalam keluarga, khususnya
kebiasaan minum pada orang tua dapat mempengaruhi kebiasaan minum. Tetapi beberapa
bukti menunjukkan bahwa, walaupun kebiasaan minum pada keluarga memang
mempengaruhi kebiasaan minum pada anak-anaknya, kebiasaan minum pada keluarga
kurang langsung berhubungan dengan perkembangan gangguan berhubungan dengan
alkohol seperti yang dianggap sebelumnya, walaupun hal tersebut memang memiliki peranan
penting. Dari sudut pandang perilaku, ditekankan pada aspek pendorong positif dari alkohol,
alkohol yang dapat menimbulkan perasaan sehat dan euforia pada seseorang. Selain itu,
konsumsi alkohol dapat menurunkan rasa takut dan kecemasan yang dapat mendorong
seseorang untuk minum lebih lanjut (Sadock BJ et al.,2010).
FARMAKOKINETIK
Absorpsi
Kira-kira 10% alkohol yang dikonsumsi diabsorpsi di lambung, dan sisanya di usus
kecil. Konsentrasi puncak alkohol didalam darah dicapai dalam waktu 30-90 menit, biasanya
dalam 45-60 menit, tergantung apakah alkohol diminum saat lambung kosong, yang
meningkatkan absorbsi atau diminum bersama makanan yang memperlambat absorbsi.
Waktu untuk mencapai konsentrasi puncak dalam darah juga merupakan suatu faktor selama
mana alkohol dikonsumsi, waktu yang singkat menurunkan waktu untuk mencapai
konsentrasi puncak. Absorbsi paling cepat 15-30% (kemurnian -30 sampai -60). Tubuh
memiliki alat pelindung terhadap masuknya alkohol. Sebagai contoh, jika konsentrasi
alkohol menjadi terlalu tinggi didalam lambung, mukus akan disekresikan dan katup pilorik
ditutup, hal tersebut akan memperlambat absorbsi dan menghalangi alkohol masuk ke usus
kecil. Jadi, sejumlah besar alkohol dapat tetap tidak terabsorbsi didalam lambung selama
berjam-jam. Selain itu, pilorospasme sering kali menyebabkan mual dan muntah (Katzung
BG, 2014).
Metabolisme
Kira-kira 90% alkohol yang diabsorbsi dimetabolisme di hati, sisanya dieksresikan
tanpa diubah oleh ginjal dan paru-paru. Kecepatan oksidasi di hati konstan dan tidak
tergantung pada kebutuhan energi tubuh. Tubuh mampu memetabolisme kira-kira 15 mg/dl
setiap jam dengan rentan berkisar antara 10-34 mg/dl per jamnya (Katzung BG, 2014).
Alkohol dimetabolisme dengan bantuan 2 enzim yaitu alkohol dehidrogenase (ADH)
dan aldehida dehidrogenase. ADH mengkatalisasi konversi alkohol menjadi asetilaldehida
yang merupakan senyawa toksik. Aldehida dehidrogenase mengkatalisasi konversi
asetaldehida menjadi asam asetat. Aldehida dehidrogenase diinhibisi oleh disulfiram (An-
tabuse), yang sering digunakan dalam pengobatan gangguan terkait alkohol (Katzung BG,
2014).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada wanita memiliki ADH yang lebih
rendah dari pada laki-laki, yang mungkin menyebabkan wanita cenderung menjadi lebih
terintoksikasi dibanding laki-laki setelah minum alkohol dalam jumlah yang sama.
Penurunan fungsi enzim yang memetabolisme alkohol akan menyebabkan mudahnya
seseorang terjadi intoksikasi alkohol dan gejala toksik (Katzung BG, 2014).
MANIFESTASI KETERGANTUNGAN DAN MASALAH ALKOHOLISME
a. Manifestasi klinis
Sekitar 80% pasien yang dirujuk akibat ketergantungan alkohol memiliki masalah
medis yang serius. Gejala putus obat umumnya timbul saat pasien sadar. Gambaran
komplikasi spesifik sangat bervariasi (Warninghoff JC et al.,2009);
- Gastrointestinal : hepatitis, sirosis, gastritis, perdarahan gastrointestinal,
pankreatitis
- Kardiovaskuler : hipertensi ( menyebabkan meningkatkan kejadian penyakit
kanker mulut, esophagus, hati bahkan payudara)
- Obstetri :sindrom alkohol fetus
- Neurologis : sinkope, kejang, neuropati, status konfusional akut, perdarahan
subdural, ensefalopati
- Muskuloskeletal : gout
b. Manifestasi psikiatrik (Sadock BJ et al.,2010).
- Depresi : semua bentuk depresi dapat dicetuskan oleh alkohol. Depresi sendiri
dapat menyebabkan alkoholisme dengan memacu orang untuk minum sebagai
usaha untuk mengurangi gejala-gejala depresi.
- Ansietas : gejala sering muncul pada saat putus obat parsial. Seperti halnya
depresi, ansietas atau gangguan panik merupakan predisposisi konsumsi alkohol
secara berlebihan sebagai usaha mengurangi gejala
- Perubahan kepribadian : penurunan standar kepekaan sosial dan perawatan diri
sendiri
- Disfungsi seksual : impotensi, ejakulasi lama
- Halusinasi : baik auditorik maupun visual biasanya selama putus obat tetapi dapat
pula terjadi tanpa gambaran delirium lainnya
- Halusinasi alkoholik : halusinasi auditorik yang mengganggu tapi jarang dan
terjadi saat sadar.
Progresifitas penyakit ini bergantung kepada banyak faktor diantaranya usia, zat
psikoaktif pilihannya, gender, dan predisposisi faali. Progresifitas adiksi lebih cepat pada
remaja daripada orang dewasa. Progresifitas pada perempuan lebih cepat daripada pada laki-
laki (Allen KM, 2010).

DIAGNOSIS
DSM-V menuliskan gangguan berhubungan dengan alkohol dan menyebutkan
kriteria diagnostik untuk intoksikasi alkohol dan putus alkohol.
Gangguan terkait alkohol
Gangguan penggunaan alkohol
Ketergantungan alkohol
Penyalahgunaan alkohol
Gangguan akibat alkohol
Intoksikasi alkohol
Putus alkohol
Sebutkan jika
dengan gangguan persepsi
Delirium intoksikasi alkohol
Delirium putus alkohol
Demensia menetap akibat alkohol
Gangguan psikotik akibat alkohol, dengan waham
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi
Dengan onset selama putus
Gangguan psikotik akibat alkohol, dengan halusinasi
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi
Dengan onset selama putus
Gangguan mood akibat alkohol
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi
Dengan onset selama putus
Gangguan kecemasan akibat alkohol
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi
Dengan onset selama putus
Disfungsi seksual akibat alkohol
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi
Gangguan tidur akibat alkohol
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi
Dengan onset selama putus zat
Gangguan terkait alkohol yang tidak ditentukan
Tabel didasarkan dari DSM-V, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, ed 5.
Hak cipta American Psyciatric Association, Washington 2013.
Ketergantungan Alkohol dan Penyalahgunaan Alkohol
Diagnosis dan gambaran klinis:
Pola penggunaan alkohol sering kali disertai dengan perilaku berikut ini (Rusadi M, 2013):
a. Ketidakmampuan memutuskan atau berhenti minum
b. Usaha berulang untuk mengontrol atau menurunkan minum yang berlebihan dengan
tidak minum minuman keras (periode abstinensia temporer) atau membatasi minum
pada waktu tertentu
c. Pesta minuman keras (tetap terintoksikasi sepanjang hari untuk sekurangnya dua hari)
d. Mengkonsumsi kadang-kadang 5 takaran minuman keras (atau ekuivalennya pada bir
atau anggur)
e. Periode amnestik untuk peristiwa yang terjadi selama terintoksikasi (blackout)
f. Terus minum walaupun adanya suatu gangguan fisik serius yang telah diketahuinya
dieksaserbasi oleh penggunaan alkohol
g. Minum alkohol yang bukan minuman, seperti bahan bakar atau produk komersial
yang mengandung alkohol
Disamping itu orang dengan ketergantungan alkohol dan penyalahgunaan alkohol
menunjukkan gangguan fungsi sosial dan pekerjaan karena penggunaan alkohol, seperti
kekerasan saat terintoksikasi, tidak hadir kerja, kehilangan pekerjaan, masalah hukum
(contoh: ditahan karena perilaku terintoksikasi atau kecelakaan lalu lintas saat terintoksikasi),
dan perdebatan atau kesulitan dengan keluarga atau teman karena penggunaan alkohol yang
berlebihan (Rusadi M, 2013).
Intoksikasi Alkohol.
Kriteria Diagnostik untuk Intoksikasi Alkohol
A. Baru saja menggunakan alkohol
B. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
(misalnya, perilaku seksual atau agresif yang tidak tepat, labilitas mood, gangguan
pertimbangan, gangguan fungsi sosial atau pekerjaan) yang berkembang selama atau
segera setelah ingesti alkohol
C. Satu (atau lebih) tanda berikut ini, yang berkembang selama atau segera setelah
pemakaian alkohol
1) Bicara cadel
2) Inkoordinasi
3) Gaya berjalan tidak mantap
4) Nistagmus
5) Gangguan atensi atau daya ingat
6) Stupor atau koma
D. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan mental lain
Tabel didasarkan dari DSM-V, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, ed 5.
Hak cipta American Psyciatric Association, Washington 2013.

Putus Alkohol
Kriteria Diagnostik untuk Putus Alkohol
A. Penghentian (atau penurunan) pemakaian alkohol yang telah lama dan berat
B. Dua (atau lebih) tanda berikut ini yang berkembang dalam beberapa jam sampai
beberapa hari setelah kriteria A
1) Hiperaktivitas otonomik (misalnya, berkeringat atau kecepatan denyut nadi
lebih dari 100)
2) Peningkatan tremor tangan
3) Insomnia
4) Mual dan muntah
5) Halusinasi atau ilusi penglihatan, raba atau dengar yang transien
6) Agitasi psikomotor
7) Kecemasan
8) Kejang grand mal
C. Gejala dalam kriteria B menyebabkan penderitaan yang serius secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya.
D. Gejala tidak disebabkan suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan
oelh gangguan mental lain.
Sebutkan jika:
dengan gangguan persepsi
Tabel didasarkan dari DSM-V, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, ed 5.
Hak cipta American Psyciatric Association, Washington 2013.
Medikasi utama untuk mengendalikan gejala putus alkohol adalah benzodiazepin.
Penelitian menunjukkan bahwa benzodiazepin membantu mengontrol aktivitas kejang,
delirium, kecemasan, dan tremor yang berhubungan dengan putus alkohol. Benzodiazepin
dapat diberikan peroral maupun parenteral. Diazepam (Valium) ataupun chlordiazepoxide
(Librium) tidak boleh diberikan IM karena adanya absorbsi yang menentu dari obat jika
diberikan dengan cara tersebut. Benzodiazepin dititrasi mulai dosis tinggi dan menurunkan
dosis saat pasien pulih. Benzodiazepin dalam jumlah yang cukup harus digunakan untuk
menjaga pasien tetap tenang dan tersedasi (Warninghoff JC et al.,2009).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa carbamazepine (Tegretol) dalam dosis 800
mg sehari sama efektifnya dengan benzodiazepin dan mempunyai manfaat tambahan
kemungkinan penyalahgunaan yang minimal (Warninghoff JC et al.,2009).
Terapi obat untuk intoksikasi dan putus alcohol.
Masalah klinis Obat Jalur Dosis Keterangan
Gemetaran dan chlordiazepoxide Oral 25-100 mg tiap 4-6 Dosis awal dapat
agitasi ringan jam diulangi tiap 2 jam
sampai sedang sampai pasien tenang;
dosis selanjutnya
harus ditentukan
secara individual dan
dititrasi
Halusinosis Diazepam Oral 5-20 mg tiap 4-6 Berikan sampai
Agitasi parah Lorazepam Oral jam pasien tenang; dosis
chlordiazepoxide Intravena 2-10 mg tiap 4-6 selanjutnya harus
jam
ditentukan secara
0,5 mg/kg pada 12,5
indivisual dan dititrasi
mg/mnt
Kejang putus Diazepam Intravena 0,15 mg/kg pada 2,5
mg/mnt
Delirium Lorazepam Intravena 0,1 mg/kg pada 2,0
tremens mg/mnt
Delirium
Delirium putus alkohol merupakan suatu kegawatdaruratan medis yang dapat
meningkatkan mortalitas dan morbiditas yang bermakna. Pasien delirium sangat berbahaya
bagi dirinya sendiri dan orang lain karena perilaku yang tidak dapat diperkirakan. Pasien
mungkin akan menyerang atau bunuh diri. Delirium tremens yang tidak diobati, dapat
meningkatkan mortalitas sekitar 20%, biasanya bersamaan dengan penyakit medis lainnya
seperti pneumonia, penyakit ginjal, insufisiensi hati atau gagal jantung (Warninghoff JC et
al.,2009). Ciri penting dari sindroma delirium adalah terjadi dalam 1 minggu setelah
seseorang menghentikan minum alkohol. Disamping itu terdapat ciri-ciri berupa
(Warninghoff JC et al.,2009) :
1. Hiperaktifitas otonomik, seperti takikardia, diaforesis, demam, kecemasan,
insomnia, dan hipertensi
2. Distorsi perseptual, yang paling sering adalah halusinasi visual atau taktil
3. Fluktuasi tingkat aktivitas psikomotor, rentangnya dari hipereksitabilitas sampai
letargi.
Kira-kira 5% dari semua pasien yang dirawat di rumah sakit karena alkoholik
mengalami DTs. Episode DTs biasanya mulai pada usia 30-40an setelah minum berat selama
5-15 tahun. Pengobatan terbaik untuk DTs adalah pencegahan. Pasien yang putus dari
alkohol yang menunjukkan salah satu fenomena putus alkohol harus mendapatkan terapi
benzodiazepin, seperti chlordiazepoxide 25-50 mg tiap 2-4 jam hingga pasien lepas dari
bahaya. Tetapi jika tanda delirium terlihat, berikan chlordiazepoxide 50-100 mg tiap 4 jam
peroral atau lorazepam intravena jika medikasi oral tidak memungkinkan (Warninghoff JC
et al.,2009).
Pada pengobatan berikan diet tinggi kalori, tinggi karbohidrat, dan multivitamin.
Pasien dengan DTs jika diikat fisiknya akan berbahaya karena pasien dapat berontak terhadap
pengikatan sampai mengalami kelelahan yang berbahaya. Jika pasien tidak dapat
dikendalikan maka pasien harus ditempatkan diruangan isolasi. Pasien dapat mengalami
dehidrasi yang disebabkan diaforesis dan demam, hal ini dapat dikoreksi dengan pemberian
cairan oral maupun intravena. Diare, muntah dan anoreksia sering terjadi selama putus
alkohol (Warninghoff JC et al.,2009).
Demensia Menetap akibat Alkohol
Keabsahan demensia akibat alkohol (alkohol-induced persisting dementia) masih
kontroversial, karena beberapa klinisi dan peneliti masih sulit untuk membedakan antara efek
toksik dari penyalahgunaan alkohol dengan kerusakan sistem saraf pusat akibat nutrisi yang
buruk, trauma multipel, dan kerusakan sistem saraf pusat yang terjadi setelah malfungsi
organ tubuh lainnya (hati, pankreas dan ginjal). Walaupun beberapa penelitian telah
menemukan adanya pembesaran ventrikel dan atrofi kortikal pada seseorang dengan
demensia dan riwayat ketergantungan alkohol, namun penelitian tersebut belum bisa
menjelaskan apa sebenarnya penyebab demensia (Allen KM, 2010).
Gangguan Amnestik Menetap Akibat Alkohol
Kriteria diagnostik untuk gangguan amnestik menetap akibat alkohol (alkohol-
induced persisting amnestic disorder) berada dalam kategori DSM-V untuk gangguan
amnestik menetap akibat zat.ciri penting gangguan amnestik menetap akibat alkohol adalah
gangguan daya ingat jangka pendek yang diakibatkan penggunaan alkohol berat dalam
jangka waktu yang lama. Gangguan ini jarang terjadi pada usia dibawah 35 tahun (American
Psychiatric Association, 2013).
Gangguan Psikotik Akibat Alkohol
Kreteria diagnostik untuk gangguan psikotik akibat alkohol (alkohol-induced
psycotik disorder) (sebagai contoh halusinasi dan waham) ditemukan di dalam kategori
DSM-V tentang gangguan psikotik akibat zat (subtance-induced psycotic disorder). DSM-
V memungkinkan lebih jauh untuk menentukan onset (selama intoksikasi atau putus alkohol)
dan apakah halusinasi atau waham ditemukan. Istilah untuk halusinasi yang terjadi selama
putus alkohol yang digunakan didalam DSM-III R tetapi tidak lagi digunakan dalam DSM-
V adalah halusinasi alkohol. Halusinasi yang paling sering adalah auditorik, biasanya berupa
suara-suara, tetapi suara tersebut sering kali tedak terstruktur. Suara-suara karakteristiknya
adalah memfitnah, mencela, atau mengancam. Walaupun beberapa pasien dilaporkan bahwa
suara-suara itu adalah menyenangkan dan tidak menganggu. Halusinasi biasanya
berlangsung selama kurang dari 1 minggu walaupun selama minggu tersebut gangguan test
realitas adalah sering. Setelah episode, sebagian besar pasien menyadari sifat halusinasi dari
gejalanya (American Psychiatric Association, 2013).
Halusinasi setelah putus alkohol dianggap merupakan gejala yang jarang, dan
sindrom adalah beberapa dari delirium putus alkohol. Halusinasi dapat terjadi pada semua
usia, tetapi biasanya berhubungan dengan orang yang telah melakukan penyalahgunaan
alkohol dalam jangka waktu yang lama. Walaupun biasanya halusinasi menghilang dalam 1
minggu, tapi pada beberapa kasus dapat menetap. Halusinasi berhubungan dengan putus
alkohol harus dibedakan dengan skizofren yang berhubungan dengan temporal dengan putus
alkohol, tidak adanya riwayat klasik skizofrenia dan halusinasinya biasanya singkat.
Halusinasi berhubungan dengan putus alkohol dibedakan dari DTs oleh karena adanya
sensorium yang jernih pada pasien (American Psychiatric Association, 2013).
Pengobatan halusinasi berhubungan dengan putus alkohol sama dengan DTs yaitu
dengan benzodiazepin, nutrisi yang adekuat, dan cairan jika diperlukan. Jika regimen gagal
dan pada kasus jangka panjang, antipsikotik dapat digunakan (American Psychiatric
Association, 2013).
Gangguan Berhubungan dengan Alkohol Lainnya
Gangguan mood akibat alkohol (alkohol-induced mood disorder). DSM-V
memungkinkan diagnosis gangguan mood akibat alkohol dengan ciri manik, depresif atau
campuran. Gangguan kecemasan akibat alkohol (alkohol-induced anxiety disorder). DSM-V
memungkinkan diagnosis gangguan kecemasan akibat alkohol. DSM-V selanjutnya
menganjurkan agar diagnosis menyebutkan apakah gejala merupakan apakah gejala
merupakan kecemasan menyeluruh, serangan panik, gejala obsesif-kompulsif, atau gejala
fobik dan apakah onset selama intoksikasi atau selama putus alkohol (American Psychiatric
Association, 2013).
Kategori gangguan terkait alkohol yang tidak ditentukan adalah gangguan yang berhubungan
dengan pemakaian alkohol yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai ketergantungan alkohol,
penyalahgunaan alkohol, intoksikasi alkohol, putus alkohol, delirium putus alkohol,
demensia menetap akibat alkohol, gangguan psikotik akibat alkohol, gangguan mood akibat
alkohol, gangguan kecemasan akibat alkohol, disfungsi seksual akibat alkohol, atau
gangguan tidur akibat alkohol (American Psychiatric Association, 2013).
TATALAKSANA
Psikoterapi
Psikoterapi memusatkan pada alasan seseorang mengapa minum. Fokus spesifik
adalah dimana pasien minum, dorongan premotivasi dibelakang minum, hasil yang
diharapkan dari minum, dan cara alternatif untuk mengatasi situasi tersebut. Melibatkan
pasangan yang tertarik dan bekerja sama dalam terapi bersama untuk sekurangnya satu sesion
adalah sangat efektif (Warninghoff JC et al.,2009).
Medikasi
Disulfiram
Disulfiram (antabuse) menghambat secara kompetitif enzim aldehida dehidrogenase,
sehingga biasanya minuman segelaspun biasanya menyebabkan reaksi toksik karena
akumulasi asetaldehida didalam darah. Pemberian obat tidak boleh dimulai sampai 24 jam
setelah minuman terakhir pasien. Pasien harus dalam kesehatan yang baik, sangat
termotivasi, dan bekerja sama. Dokter harus memberitahukan pasien akibat meminum
alkohol saat menggunakan obat dan selama 2 minggu setelahnya (Warninghoff JC et
al.,2009).
Merekan yang menggunakan alkohol sambil meminum disulfiram 250 mg setiap
harinya akan mengalami kemerahan dan perasaan panas pada wajah, sklera, anggota gerak
atas dan dada. Mereka akan menjadi pucat, hipotensif dan mual juga mengalami malaise yang
serius. Pasien juga akan mengalami rasa pusing, pandangan kabur, palpitasi, sesak dan mati
rasa pada anggota gerak. Dengan dosis lebih dari 250 mg maka dapat terjadi gangguan daya
ingat dan konfusi (Warninghoff JC et al.,2009).
Psikotropika
Obat antiansietas dan antidepresan dapat mengobati gejala kecemasan pada pasien
dengan gangguan terkait alkohol (Warninghoff JC et al.,2009).
Terapi Perilaku
Terapi perilaku mengajarkan seseorang dengan gangguan terkait alkohol untuk
menurunkan kecemasan. Latihan ditekankan pada latihan relaksasi, latihan ketegasan,
keterampilan mengendalikan diri, dan strategi baru untuk menguasai lingkungan. Sejumlah
program pembiasaan perilaku (operant conditioning) membiasakan orang dengan gangguan
terkait alkohol untuk memodifikasi perilaku minum mereka atau untuk berhenti minum.
Dorongan berupa hadiah keuangan, kesempatan untuk tinggal dalam lingkungan rawat inap
yang baik, dan jalur untuk memasuki interaksi sosial yang menyenangkan (Sadock BJ et
al.,2010).
Halfway House
Pemulangan seorang pasien dari rumah sakit sering kali memiliki masalah
penempatan yang serius. Rumah dan lingkungan keluarga lainnya mungkin menghalangi,
tidak mendukung, atau terlalu tidak berstruktur. Halfway house adalah suatu sarana
pengobatan yang penting yang memberikan bantuan emosional, konseling, dan
pengembalian progresif ke dalam masyarakat (Sadock BJ et al.,2010).

2.4.2. HEROIN
Heroin (INN: diacetylmorphine, BAN: diamorphine) adalah semi sintetik opioid yang
di sintesa dari morphin yang merupakan derivat dari opium. Pada kadar yang lebih rendah
dikenal dengan sebutan putaw. Heroin didapatkan dari pengeringan ampas bunga opium
(Papaverum somniferum) yang mempunyai kandungan morfin dan kodein yang merupakan
penghilang rasa nyeri yang efektif. Heroin merupakan 3.6-diacetyl ester dari morphine (oleh
karena itu disebut juga diasetilmorphine). Nama lain dari heroin: smack, junk, china ehirte,
chiva, black tar, speed balling, dope, brown, dog,negra, nod, white hores, stuff (Elvira SD,
2013).
FARMAKOKINETIK
Absorpsi
Heroin diabsorpi dengan baik di subkutaneus, intramuskular dan permukaan mukosa
hidung atau mulut (Katzung BG, 2014)
Distribusi
Heroin dengan cepat masuk ke dalam darah dan menuju ke dalam jaringan.
Konsentrasi heroin tinggi di paru-paru, hepar, ginjal dan limpa, sedangkan di dalam otot
skelet konsentrasinya rendah. Konsentrasi di dalam otak relatif rendah dibandingkan organ
lainnya akibat sawar darah otak. Heroin menembus sawar darah otak lebih mudah dan cepat
dibandingkan dengan morfin atau golongan opioid lainnya (Katzung BG, 2014).
Metabolisme
Heroin didalam otak cepat mengalami hidrolisa menjadi monoasetilmorfin dan
akhirnya menjadi morfin, kemudian mengalami konjugasi dengan asam glukuronik menjadi
morfin 6-glukoronid yang berefek analgesik lebih kuat dibandingkan morfin sendiri.
Akumulasi obat terjadi pada pasien gagal ginjal (Katzung BG, 2014).
Ekskresi
Heroin/morfin terutama diekskresi melalui urine (ginjal). 90% diekskresikan dalam
24 jam pertama, meskipun masih dapat ditemukan dalam urine 48 jam (Katzung BG, 2014).
FARMAKODINAMIK
Opioid agonis menimbulkan analgesia akibat berikatan dengan reseptor spesifik yang
berlokasi di otak dan medula spinalis, sehingga mempengaruhi transmisi dan modulasi nyeri.
Terdapat 3 jenis reseptor yang spesifik, yaitu reseptor (mu), (delta) dan (kappa). Di
dalam otak terdapat tiga jenis endogeneus peptide yang aktivitasnya seperti opiat, yaitu
enkephalin yang berikatan dengan reseptor , endorfin dengan reseptor dandynorpin
dengan resptor . Reseptor merupakan reseptor untuk morfin (heroin). Ketiga jenis reseptor
ini berhubungan dengan protein G dan berpasangan dengan adenilsiklase menyebabkan
penurunan formasi siklik AMP sehingga aktivitas pelepasan neurotransmitter terhambat
(Katzung BG, 2014).
Menurut National Institute Drug Abuse (NIDA), dibagi menjadi efek segera
(shortterm) dan efek jangka panjang (long term).
Tabel 2.2 Efek jangka pendek dan jangka panjang dari heroin
Short term Long term
Gelisah Adiksi
Depresi pernafasan HIV, hepatitis
Fungsi mental berkabut Kolaps vena
Mual dan muntah Infeksi bakteri
Menekan nyeri Penyakit paru (pneumonia, TBC)
Abortus spontan Infeksi jantung dan katupnya
Pengaruh heroin terhadap wanita hamil:
Menimbulkan komplikasi serius, abortus spontan, lahir prematur
Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik memiliki resiko tinggi untuk terjadinya
SIDS (Sudden Infant Death Syndrome)
Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik dapat mengalami gejala with drawl dalam
24-36 jam setelah lahir. Gejalanya bayi tambah gelisah, agitasi, sering menguap,
bersin dan menangis, gemetar, muntah, diare dan pada beberapa kasus terjadi kejang
umum.
MANIFESTASI KLINIS
Efek pemakaian heroin yaitu kejang-kejang, mual, hidung dan mata yang selalu
berair, kehilangan nafsu makan dan cairan tubuh, mengantuk, cadel, bicara tidak jelas, tidak
dapat berkonsentrasi. Sakaw atau sakit karena putaw terjadi apabila si pecandu putus
menggunakan putaw. Sebenarnya sakaw salah satu bentuk detoksifikasi alamiah yaitu
membiarkan si pecandu melewati masa sakaw tanpa obat, selain didampingi dan dimotivasi
untuk sembuh. Gejala sakaw yaitu mata dan hidung berair, tulang terasa ngilu, rasa gatal di
bawah kulit seluruh badan, sakit perut/diare dan kedinginan. Tanda-tanda dari seseorang
yang sedang ketagihan adalah kesakitan dan kejang-kejang, keram perut dan menggelepar,
gemetar dan muntah-muntah, hidung berlendir, mata berair, kehilangan nafsu makan,
kekurangan cairan tubuh (Sadock BJ et al.,2010).
Intoksikasi Akut (Over Dosis)
Dosis toksik, 500 mg untuk bukan pecandu dan 1800 mg untuk pecandu narkotik.
Gejala over dosis biasanya timbul beberapa saat setelah pemberian obat (Sadock BJ et
al.,2010).
Gejala intoksikasi akut (overdosis):
Kesadaran menurun, sopor - koma
Depresi pernafasan, frekuensi pernafasan rendah 2-4 kali semenit, dan pernafasan
mungkin bersifat Cheyene stokes
Pupil kecil (pin poiny pupil), simetris dan reaktif
Tampak sianotik, kulit muka kemerahan secara tidak merata
Tekanan darah pada awalnya baik, tetapi dapat menjadi hipotensi apabila pernafasan
memburuk danterjadi syok
Suhu badan rendah (hipotermia) dan kulit terasa dingin
Bradikardi
Edema paru
Kejang
Kematian biasanya disebabkan oleh depresi pernafasan. Angka kematian meningkat
bila pecandu narkotik menggabungkannya dengan obat-obatan yang menimbulkan reaksi
silang seperti alkohol, tranquilizer (Sadock BJ et al.,2010).
Intoksikasi Kronis
Adiksi heroin menunjukkan berbagai segi (Sadock BJ et al.,2010):
1. Habituasi, yaitu perubahan psikis emosional sehingga penderita ketagihan akan obat
tersebut.
2. Ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan obat tersebut oleh karena faal dan biokimia
badan tidak dapat berfungsi lagi tanpa obat tersebut
3. Toleransi, yaitu meningkatnya kebutuhan obat tersebut untuk mendapat efek yang
sama. Walaupun toleransi timbul pada saat pertama penggunaan opioid, tetapi manifes
setelah 2-3 minggu penggunaan opioid dosis terapi. Toleransi akan terjadi lebih cepat
bila diberikan dalam dosis tinggi dan interval pemberian yang singkat. Toleransi silang
merupakan karakteristik opioid yang penting, dimana bila penderita telah toleran
dengan morfin, dia juga akan toleran terhadap opioid agonis lainnya, seperti metadon,
meperidin dan sebagainya.
Gejala Putus Obat
Gejala putus obat (Sadock BJ et al.,2010) :
6 12 jam , lakrimasi, rhinorrhea, bertingkat, sering menguap, gelisah
12 - 24 jam, tidur gelisah, iritabel, tremor, pupil dilatasi (midriasi), anoreksia
24-72 jam, semua gejala diatas intensitasnya bertambah disertai adanya kelemahan,
depresi, nausea, vornitus, diare, kram perut, nyeri pada otot dan tulang, kedinginan
dan kepanasan yang bergantian, peningkatan tekanan darah dan denyut
jantung,gerakan involunter dari lengan dan tungkai dehidrasi dan gangguan elektrolit
Selanjutnya, gejala hiperaktivitas otonom mulai berkurang secara berangsurangsur
dalam 7-10 hari, tetapi penderita masih tergantung kuat pada obat. Beberapa gejala
ringan masih dapat terdeteksi dalam 6 bulan. Pada bayi dengan ibu pecandu obat akan
terjadi keterlambatan dalam perkembangan dan pertumbuhan yang dapat terdeteksi
setelah usia 1 tahun.
TATALAKSANA
a. Intoksikasi akut (over dosis)
Perbaiki dan pertahankan jalan nafas sebaik mungkin
Oksigenasi yang adekuat
Naloxone injeksi, dosis awal 0,4 2,0 mg IV (anak-anak 0,01 mg/kgBB)
Efek naloxane terlihat dalam 1 3 menit dan mencapai puncaknya pada 5-10 menit. Bila
tidak ada respon naloxane 2 mg dapat diulang tiap 5 menit hingga maksimum 10 mg.
Naloxone efektif untuk memperbaiki derjat kesadaran, depresi pernafasan, ukuran pupil.
Pasien masih harus diobservasi terhadap efek naloxone dalam 2-3 jam. Oleh karena duration
of action yang pendek. Untuk mencegah rekulensi efek opiat dapat diberikan infus naloxone
0,4-0,8 mg/jam hingga gejala minimal (menghilang) (Warninghoff JC et al.,2009).
b. Intoksikasi kronis
Hospitalisasi
Hospitalisasi dilakukan untuk pasien pasien adiksi zat, terutama ditujukan untuk:
1. Terapi kondisi withdrawl
2. Terapi detoksifikasi
3. Terapi rumatan (maintenance)
4. Terapi komplikasi
5. Terapi aftercare
Dengan masuknya pasien adiksi ke RS, evaluasi medis fisik perlu mendapat prioritas.
Disamping pemeriksaan urine drug screen (untuk mengetahui apakah pasien menggunakan
zat lain yang tidak diakuinya), pemeriksaan laboratorium rutin (termasuk fungsi faal hati,
ginjal, danjantung), juga dilakukan foto thorak. Terapi detoksifikasi bertujuan agar pasien
memutuskan penggunaan zatnya dan mengembalikan kemampuan kognitifnya. Tidak ada
bentuk terapi lain yang harus dilakukan sebelum kedua tujuan tersebut berhasil dicapai.
Tujuan hospitalisasi lainnya adalah membantu pasien agar dapat mengidentifikasi
konsekwensi yang diperoleh sebagai akibat penggunaan zat dan memahami resikonya bila
terjadi relaps. Dari segi mental, hospitalisasi membatu mengendalikan suasana perasaannya
seperti depressi, paranoid, quilty feeling karena penyesalan perbuatannya dimasa lalu,
destruksi diri dan tindak kekerasan (Warninghoff JC et al.,2009).
Hospitalisasi jangka pendek sangat disarankan bagi adiksi zat yang memang harus
mendapatkan perawatan karena kondisinya. Selama perawatan jangka pendek, pasien
dipersiapkan untuk mengikuti terapi rumatan. Untuk kondisi adiksinya, pasien tidak pernah
disarankan untuk perawatan jangka panjang (Warninghoff JC et al.,2009).
c. Terapi Withdrawal Opioid
Withdrawal opioid tidak mengancam jiwa, tetapi berhubungan dengan gangguan
fisikologis dan distress fisik yang cukup berat. Kebanyakan pasien dengan gejala putus obat
yang ringan hanya membutuhkan lingkungan yang mendukung mereka tanpa memerlukan
obat. Klonidin dapat digunakan untuk mengurangi gejala putus obat dengan menekan
perasaan gelisah, lakrimasi, rhinorrhea dan keringat berlebihan. Dosis awal diberikan 0,1-0,2
mg tiap 8 jam. Kemudian dapat dinaikkan bila diperlukan hingga 0,8 1,2 mg/hari,
selanjutnya dapat ditappering off setelah 10-14 hari (Allen KM, 2010). Terapi non spesifik
(simptomatik) yakni (Allen KM, 2010) :
1. Gangguan tidur (insomnia) dapat diberikan hipnotik sedatif
2. Nyeri dapat diberikan analgetik
3. Mual dan muntah dapat diberikan golongan metoklopamide
4. Kolik dapat diberikan antispasmolitika
5. Gelisah dapat diberikan antiansietas
6. Rhinorrhea dapat diberikan golongan fenilpropanolamin
Terapi detoksifikasi adiksi opioid
Metadon merupakan drug of choice dalam terapi detoksifikasi adiksi opioid. Namun
bila dosis metadon diturunkan, kemungkinan relaps sering terjadi. Kendala lain adalah
membutuhkan waktu lama dalam terapi detoksifikasi, dan bila menggunakan opioid
antagonis maka harus menunggu gejala abstinensia selama 5-7 hari. Dosis metadon yang
dianjurkan untuk terapi detoksifikasi heroin (morfin) adalah 2-3 x 5-10 mg perhari peroral.
Setelah 2-3 hari stabil dosis mulai ditappering off dalam 1-3 minggu. Buprenorphine dosis
rendah (1,5-5 mg sublingual setiap 2-3 x seminggu) dilaporkan lebihefektif dan efek
withdrawl lebih ringan dibandingkan metadone. Terapi alternatif lain yang disarankan adalah
rapid detoxification yang mempersingkat waktu terapi deteksifikasi dan memudahkan pasien
untuk segera masuk dalam terapi opiat antagonis. Jenis teknik rapid deteksifikasi antara lain
klinidin naltrexon (Allen KM, 2010).

Terapi rumatan (maintenance) adiksi opioid


Metadon dan Levo alfa acetyl;methadol (LAAM) merupakan standar etrapi rumatan
adiksi opioid. Metadon diberikan setiap hari, sedangkan LAAM hanya 3 kali seminggu.
Pemberian metadon dan LAAM pada terapi rumatan sangat membantu menekan perilaku
kriminal. Untuk terapi maintenance, dosis metadon dapat ditingkatkan (biasanya 40-100
mg/hari). Untuk menjaga pasien tetap menyenangkan dan diturunkan secara perlahan-lahan.
Buprenorphine dapat pul adigunakan sebagai terapi rumatan dengan dosis antara 2 mg-20
mg/hari. Naltrexone digunakan untuk adiksi opioid yang mempunyai motivasi tinggi untuk
berhenti. Naltrexone diberikan setiap hari 50-100 mg peroral untuk 2 3 kali seminggu
(Allen KM, 2010).
Terapi after care
Meliputi upaya pemantapan dalam bidang fisik, mental, keagamaan, komunikasi-
interaksi sosial,edukasional, bertujuan untuk mencapai kondisi perilaku yang lebih baik dan
fungsi yang lebih baik dari seorang mantan penyalahguna zat. Peranan keluarga pada saat ini
sangat diperlukan (Allen KM, 2010).

2.4.3. KANABINOID
Kanabis adalah nama singkat untuk tanaman rami Cannabis sativa. Semua bagian dari
tanaman mengandung kanabinoid psikoaktif, dimana (-)-9-tetrahydrocannabinol (9-THC)
adalah yang paling banyak. Tanaman kanabis biasanya dipotong, dikeringkan, dipotong
kecil-kecil, selanjutnya digulung menjadi rokok (biasanya disebut joints), yang selanjutnya
dihisap seperti rokok. Nama yang umum untuk kanabis adalah mariyuana, grass, pot, weed,
tea, dan Mary Jane. Nama lain untuk kanabis yang menggambarkan tipe kanabis dalam
berbagai kekuatan, adalah hemp, chasra, bhang, ganja, dagga, dan sinsemilla. Bentuk kanabis
yang paling poten berasal dari ujung tanaman yang berbunga atau dari eksudat resin yang
dikeringkan dan berwarna cokelat-hitam yang berasal dari daun, yang disebut sebagai
hashish atau hash.
Efek euforia dari kanabis telah dikenali selama beribu-ribu tahun. Efek medis yang
potensial dari kanabis sebagai analgesik, antikonvulsan, dan hipnotis telah lama dikenali
pada abad ke-19 dan ke-20. belakangan ini kanabis dan komponen aktifnya yang utama, 9-
THC, telah berhasil digunakan untuk mengobati mual sekunder karena obat terapi kanker
dan untuk menstimulasi nafsu makan pada pasien dengan sindrom imunodefisiensi (AIDS).
Beberapa laporan yang kurang meyakinkan adalah tentang penggunaan 9-THC dalam
pengobatan glaukoma.
Neurofarmakologi
Seperti yang disebutkan sebelumnya, komponen utama dari kanabis adalah 9-THC;
tetapi, tanaman kanabis mengandung lebih dari 400 zat kimia, yang kira-kira 60 buah
diantaranya secara kimiawi berhubungan dengan 9-THC. Pada manusia 9-THC secara
cepat dikonversi menjadi 11-hidroksi-9-THC, suatu metabolit yang aktif di dalam sistem
saraf pusat.
Suatu reseptor spesifik untuk kanabiol telah diidentifikasi, diklon (clonned), dan
dikarakterisasi. Reseptor adalah anggota dari keluarga reseptor yang berkaitan dengan
protein G. Reseptor kanabinoid diikat dengan protein G inhibitor (Gi), yang berikatan dengan
adenilil siklase di dalam pola menginhibisi. Reseptor kanabinoid ditemukan dalam
konsentrasi yang tertinggi di ganglia basalais, hipokampus, dan serebelum, dengan
konsentrasi yang lebih rendah di korteks serebral. Reseptor tidak ditemukan di batang otak,
suatu kenyataan yang konsisten dengan efek kanabis yang minimal pada fungsi pernafasan
dan jantung. Penelitian pada binatang telah menemukan bahwa kanabinoid mempengaruhi
neuron monoamin dan gamma-aminobutyric acid (GABA).
Sebagian besar penelitian telah menunjukkan bahwa binatang tidak menggunakan
kanabinoid dengan sendirinya, seperti yang mereka lakukan dengan zat yang disalahgunakan
lainnya. Selain itu, suatu perdebatan tentang apakah kanabinoid menstimulasi yang disebut
pusat kesenangan (reward centers) di otak, seperti neuron dopaminergik dari area tegmental
ventralis. Tetapi, toleransi terhadap kanabis memang terjadi, dan ketergantungan fisikologi
adalah tidak kuat. Gejala putus kanabis pada manusia adalah terbatas samapi peningkatan
ringan dalam iritabilitas, kegelisahan, insomnia, anoreksia, dan mual ringan; semua gejala
tersebut ditemukan hanya jika seseorang menghentikan kanabis dosis tinggi secara
mendadak.
Jika kanabis digunakan seperti rokok (smoked), efek euforia tampak dalam beberapa
menit, mencapai puncak dalam kira-kira 30 menit, dan berlangsung 2 sampai 4 jam. Beberapa
efek motorik dan kognitif berlangsung selama 5 sampai 12 jam. Kanabis juga dapat digunak
peroral jika disiapkan dalam makanan, seperti brownies dan cakes. Kira-kira harus digunakan
dua sampai tiga kali lebih banyak kanabis yang digunakan peroral untuk sama kuatnya
dengan kanabis yang digunakan melalui inhalasi asapnya. Banyak variabel yang
mempengaruhi sifat psikoakttif dari kanabis, termasuk potensi penggunaan kanabis, jalur
pemberian, teknik mengisap, efek pirolisis dari kandungan kanabinoid, dosis, lingkungan,
pengalaman masa lalu pemakai, harapan pemakai, dan kerentanan biologis unik dari pemakai
terhadap efek kanabinoid.

Diagnosis dan gambaran klinis


Diagnosis gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kanabis dapat
ditegakkan berdasarkan PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
di Indonesia, Edisi III) dan DSM-IV (diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders,
Fourth Edition).
Efek fisik yang paling sering dari kanabis adalah dilatasi pembuluh darah konjungtiva
(yaitu, mata merah) dan takikardi ringan. Pada dosis tinggi, hipotensi ortostatik dapat
terjadi.peningkatan nafsu makan-sering kali disebut sebagai pengunyah-dan mulut kering
adalah efek intoksikasi kanabis yang sering lainnya. Belum pernah dicatat secara jelas kasus
kematian yang disebabkan oleh intoksikasi kanabis saja, yang mencerminkan tidak adanya
efek dari zat pada kecepatan pernafasan. Efek merugikan potensial yang paling serius dari
dari penggunaan kanabis berasal dari inhalasi hidrokarbon karsinogenik yang sama-sama
ditemukan dalam tembakau konvensional, dan beberapa data menyatakan bahwa penggunaan
kanabis yang berat berada dalam risiko mengalami penyakit pernafasan kronis dan kanker
paru-paru. Praktik mengisap rokok yang yang mengandung kanabis sampai sangat habis,
yang disebut lipas (roach), meningkatkan lebih lanjut asupan tar (yaitu, materi partikel).
Banyak laporan menyatakan bahwa penggunaan kanabis jangka panjang berhubungan
dengan atrofi serebral, kerentanan kejang, kerusakan kromosom, defek kelahiran, gangguan
reaktivitas kekebalan, perubahan konsentrasi testosteron, dan disregulasi siklus menstruasi;
tetapi, laporan tersebut belum secara pasti ditegakkan, dan hubungan antara efek tersebut
dengan penggunaan kanabis tidak pasti.
Diagnostic and Statistical Manual of MentalDisorders edisi keempat (DSM-IV)
menuliskan gangguan berhubungan dengan kanabis tetapi mempunyai kriteria spesifik dalam
bagian gangguan berhubungan dengan kanabis hanya untuk intoksikasi kanabis. Kriteria
diagnostik untuk gangguan berhubungan dengan kanabis lainnya ditemukan di dalam bagian
DSM IV yang memusatkan pada gejala fenomenologi utama- sebagai contoh, gangguan
psikotik akibat kanabis, dengan waham, di dalam bagian DSM- IV tentang gangguan psikotik
akibat zat.
Ketergantungan Kanabis dan Penyalahgunaan Kanabis
DSM-IV memasukkan diagnosis ketergantungan kanabis dan penyalahgunaan
kanabis. Data eksperimental dengan jelas menunjukkan toleransi terhadap banyak efek
kanabis; tetapi, data kurang mendukung adanya ketergantungan fisik. Ketergantungan
psikologis pada pemakaian kanabis terjadi pada pemakai jangka panjang.
Gangguan Berhubungan Kanabis
Gangguan pemakaian kanabis
Ketergantungan kanabis
Penyalahgunaan kanabis
Gangguan akibat kanabis
Intoksikasi kanabis
Sebutkan jika: dengan gangguan persepsi
Delirium intoksikasi kanabis
Gangguan psikotik akibat kanabis, dengan waham
Sebutkan jika : dengan onset selama intoksikasi
Gangguan kecemasan akibat kanabis
Sebutkan jika: dengan onset selama intoksikasi
Gangguan berhubungan kanabis yang tidak ditentukan
Intoksikasi Kanabis
DSM-IV meresmikan kriteria diagnostik untuk intoksikasi kanabis. Kriteria
diagnostik menyebutkan bahwa diagnosis dapat diperkuat dengan kalimat dengan gangguan
persepsi. Jika tes realitas yang intak tidak terdapat, diagnosis adalah gangguan psikotik
akibat kanabis.
Intoksikasi kanabis sering kali meninggikan kepekaan pemakai terhadap stimuli
eksternal, mengungkapkan perincian yang baru, membuat warna-warna tampak lebih terang
dari pada sebelumnya dan perlambatan waktu secara subjektif. Pada dosis tinggi, pemakai
mungkin juga merasakan depersonalisasi dan derealisasi.
Keterampilan motorik terganggu oleh pemakaian kanabis, dan gangguan pada
keterampilan motorik tetap ada setelah efek euforia dan subjektif telah menghilang. Selama
8 sampai 12 jam setelah menggunakan kanabis, pemakai mengalami suatu gangguan
keterampilan motorik yang mengganggu operasi kendaraan bermotor dan mesin mesin berat
lainnya. Selain itu, efek tersebut adalah aditif dengan efek alkohol, yang sering kali
digunakan dalam kombinasi dengan kanabis.
Kriteria Diagnostik untuk Intoksikasi Kanabis menurut DSM IV-TR
A. Pemakaian kanabis yang belum lama
B. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
(misalnya, gangguan koordinasi motorik, euforia, kecemasan, sensasi waktu menjadi
lambat, gangguan pertimbangan, penarikan sosial) yang berkembang segera, atau
segera setelah, pemakaian kanabis
C. Dua (atau lebih) tanda berikut, berkembang dalam 2 jam pemakaian kanabis:
(1) injeksi konjungtiva
(2) peningkatan nafsu makan
(3) mulut kering
(4) takikardi
D. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak diterangkan lebih baik
oleh gangguan mental lain.
Sebutkan jika: dengan gangguan persepsi

Gangguan Psikotik Akibat Kanabis

Gangguan Psikotik Akibat Kanabis adalah didiagnosis dengan adanya psikosis akibat
kanabis. Gangguan psikotik akibat kanabis jarang terjadi, tetapi ide paranoid sementara
adalah lebih sering. Psikosis yang jelas agak sering di negara-negara di mana orang-orangnya
mempunyai jalur untuk mendapatkan kanabis dengan potensi yang tinggi. Episode psikotik
sering kali disebut sebagai kegilaan rami (hemp insenity). Penggunaan kanabis jarang disertai
dengan pengalaman khayalan buruk (bad-trip), yang sering kali menyertai intoksikasi
halusinogen. Jika gangguan psikotik akibat kanabis memang terjadi, keadaan ini mungkin
berhubungan dengan gangguan kepribadian yang telah ada sebelumnya pada orang yang
terkena.

Kriteria Diagnostik Intoksikasi Kanabis menurut PPDGJ II


A. Baru menggunakan kanabis
B. Takikardia
C. Paling sedikit terdapat satu dari gejala psikologik di bawah ini yang timbul dalam
waktu 2 jam sesudah penggunaan zat itu :
1. Euforia
2. Perasaan intensifikasi persepsi secara subjektif
3. Perasaan waktu berlalu dengan lambat
4. Apati
D. Paling sedikit terdapat satu dari gejala fisik di bawah ini yang timbul dalam waktu 2
jam sesudah penggunaan zat itu :
1. Kemerahan konjungtiva
2. Nafsu makan bertambah
3. Mulut kering
E. Efek tingkah laku maladaptif, misalnya kecemasan berlebihan, kecurigaan atau ide
ide paranoid, hendaya daya nilai, halangan dalam fungsi sosial atau pekerjaan.
F. Tidak disebabkan oleh gangguan fisik atau mental lainnya.

Gangguan Waham Kanabis

Kriteria Diagnostik menurut PPDGJ II


A. Baru menggunakan kanabis
B. Timbul Sindrom Waham Organik di dalam waktu 2 jam sesudah penggunaan zat itu
C. Gangguan itu tidak menetap sesudah lebih dari 6 jam penghentian zat itu
D. Tidak disebabkan oleh gangguan fisik atau mental lainnya.
PENGOBATAN

Pengobatan pemakaian kanabis terletak pada prinsip yang sama dengan pengobatan
penyalah-gunaan substansi lain-abstinensia dan dukungan. Abstinensia dapat dicapai melalui
intervensi langsung, seperti perawatan di rumah sakit, atau melalui monitoring ketat atas
dasar rawat jalan dengan menggunakan skrining obat dalam urine, yang dapat mendeteksi
kanabis selama tiga hari sampai empat minggu setelah pemakaian. Dukungan dapat dicapai
dengan menggunakan psikoterapi individual, keluarga, dan kelompok. Pendidikan harus
merupakan inti untutk program abstinensia dan dukungan, karena pasien yang tidak mengerti
alasan intelektual untuk mengatasi masalah penyalahgunaan substansi menunjukkan sedikit
motivasi untuk berhenti. Untuk beberapa pasien suatu obat antiansietas mungkin berguna
untuk menghilangkan gejala putus zat jangka pendek. Untuk pasien lain penggunaan kanabis
mungkin berhubungan dengan gangguan depresi dasar yang mungkin berespons dengan
terapi antidepresan spesifik.

Prognosis

Ketergantungan kanabis terjadi perlahan, yang mana mereka akan mengembangkan


pola peningkatan dosis dan frekuensi penggunaan. Efek yang menyenangkan dari kanabis
sering berkurang pada penggunaan berat secara teratur.
Sejarah gangguan tingkah laku pada masa anak, remaja, dan gangguan kepribadian
antisosial adalah faktor resiko untuk berkembangnya gangguan terkait zat, termasuk
gangguan terkait kanabis. Sedikit data yang tersedia pada perjalanan efek jangka panjang dari
ketergantungan dan penyalahgunaan kanabis.
2.4.4. AMFETAMIN
DEFINISI
Amfetamin adalah suatu stimulan dan menekan nafsu makan. Amfetamin
menstimulasi sistem saraf pusat melalui peningkatan zat-zat kimia tertentu di dalam tubuh.
Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan heart rate dan tekanan darah, menekan nafsu
makan serta berbagai efek yang lain. Amfetamin biasanya berbentuk bubuk putih, kuning
atau coklat dan kristal kecil berwarna putih. Cara memakai amfetamin yang paling umum
adalah dengan menghirup asapnya (Sadock BJ et al.,2010).
EPIDEMIOLOGI
National Household Survey and Drug Abuse (NHSDA) melporkan pada tahun 1997
terdapat 4,5% dari orang yang berusia 12 tahun atau lebih menggunakan stimulan bukan atas
indikasi medis, hal ini menunjukkan peningkatan yang drastic dari pada tahun sebelumnya.
Persentasi yang paling tinggi setelah penggunaan dalam 1 tahun (1,5%) antara umur 18-25
tahun, kemudian diikuti oleh umur 12-17 tahun. Sample ini tidak cukup luas untuk
mendeteksi peningkatan dalam penggunaan amfetamin ini disesuaikan dengan data dari
ruang emergensi untuk keracunan yang berkaitan dengan amfetamin atau program tes
panghentian obat (Sadock BJ et al.,2010).
ETIOLOGI
Ketergantungan obat, termasuk amfetamin dan zat yang mirip anfetamin dipandang
sebagai suatu hasil dari sebuah proses interaksi dari banyak faktor (social, psikologi, kultural,
dan biologi) yang mempengaruhi kebiasaan penggunaan obat. Proses ini pada beberapa
kasus, kehilangan fleksibilitas yang berkaitan dengan penggunaan obat merupakan tanda
ketergantungan obat. Faktor farmakologi diyakini sangat penting dalam kelanjutan
penggunaan dan menuju ke arah ketergantungan dari obat tersebut. Amfetamin memiliki
potensi untuk meningkatkan mood dan efek euforigenik pada manusia dan efek menguatkan
pada hewan percobaan. Faktor sosial, kultural, dan ekonomi merupakan faktor penentu yang
sangat berpengaruh terhadap alasan pemakaian, pemakaian yang berkelanjutan, dan relaps.
Pemakaian yang berlebihan lebih jauh berkaitan dengan ketersediaan amfetamin atau obat
yang mirip amfetamin (Katzung BG, 2014).
MEKANISME KERJA
Amfetamin bekerja merangsang susunan saraf pusat melepaskan katekolamin
(epineprin, norepineprin, dan dopamin) dalam sinaps pusat dan menghambat dengan
meningkatkan rilis neurotransmiter entecholamin, termasuk dopamin. Sehingga
neurotransmiter tetap berada dalam sinaps dengan konsentrasi lebih tinggi dalam jangka
waktu yang lebih lama dari biasanya. Semua sistem saraf akan berpengaruh terhadap
perangsangan yang diberikan (Katzung BG, 2014).
Efek klinis amfetamin akan muncul dalam waktu 2-4 jam setelah penggunaan.
Senyawa ini memiliki waktu paruh 4-24 jam dan dieksresikan melalui urin sebanyak 30%
dalam bentuk metabolit. Metabolit amfetamin terdiri dari p-hidroksiamfetamin, p-
hidroksinorepedrin, dan penilaseton. Karena waktu paruhnya yang pendek menyebabkan
efek dari obat ini relatif cepat dan dapat segera terekskresikan, hal ini menjadi salah satu
kesulitan tersendiri untuk pengujian terhadap pengguna, bila pengujian dilakukan lebih dari
24 jam jumlah metabolit sekunder yang terdapat pada urin menjadi sangat sedikit dan sulit
terdeteksi (Katzung BG, 2014).
GAMBARAN KLINIK
Pengaruh amfetamin terhadap pengguna bergantung pada jenis amfetamin, jumlah
yang digunakan, dan cara menggunakannya. Dosis kecil semua jenis amfetamin akan
meningkatkan tekanan darah, mempercepat denyut nadi, melebarkan bronkus, meningkatkan
kewaspadaan, menimbulkan euforia, menghilangkan kantuk, mudah terpacu, menghilangkan
rasa lelah dan rasa lapar, meningkatkan aktivitas motorik, banyak bicara, dan merasa kuat.
Dosis sedang amfetamin (20-50 mg) akan menstimulasi pernafasan, menimbulkan tromor
ringan, gelisah, meningkatkan aktivitas montorik, insomnia, agitasi, mencegah lelah,
menekan nafsu makan, menghilangkan kantuk, dan mengurangi tidur. Penggunaan
amfetamin berjangka waktu lama dengan dosis tinggi dapat menimbulkan perilaku
stereotipikal, yaitu perbuatan yang diulang terus-menerus tanpa mempunyai tujuan, tiba-tiba
agresif, melakukan tindakan kekerasan, waham curiga, dan anoneksia yang berat (Elvira SD,
2013).
DIAGNOSIS
Ketergantungan Amfetamin dan Penyalahgunaan Amfetamin
Kriteria DSM-V untuk ketergantungan dan penyalahgunaan dapat diterapkan pada
amfetamin dan zat terkait. Ketergantungan amfetamin dapat mengakibatkan penurunan
spiral yang cepat dari kemampuan seseorang untuk menghadapi kewajiban dan stres
yang berkaitan dengan keluarga dan pekerjaan. Seseorang yang menyalahgunakan
amfetamin membutuhkan dosis tinggi amfetamin yang semakin meningkat untuk
memeroleh rasa tinggi (high) yang biasa, dan tanda fisik penyalahgunaan amfetamin
(contohnya penurunan berat badan dan ide paranoid) hampir selalu timbul dengan
diteruskannya penyalahgunaan (American Psychiatric Association, 2013).
lntoksikasi Amfetamin
Sindrom intoksikasi kokain (menghalangi reuptake dopamin) dan amfetamin
(menyebabkan pelepasan dopamin) sifatnya serupa. Oleh karena penelitian tentang
penyalahgunaan dan intoksikasi kokain dilakukan lebih teliti dan mendalam dibanding
pada amfetamin, literatur klinis tentang amfetamin sangat dipengaruhi temuan klinis
pada penyalahgunaan kokain. Pada DSM-V, kriteria diagnosis intoksikasi amfetamin
dan intoksikasi kokain terpisah namun hampir sama. DSM-V merinci gangguan persepsi
sebagai gejala intoksikasi amfetamin. Bila tidak ada uji realitas yang intak, dipikirkan
diagnosis gangguan psikotik terinduksi amfetamin dengan awitan saat intoksikasi.
Gejala intoksikasi amfetamin sebagian besar pulih setelah 24 jam dan umumnya akan
hilang sepenuhnya setelah 48 jam (American Psychiatric Association, 2013).
Keadaan Putus Amfetamin
Setelah intoksikasi amfetamin, terjadi uash dengan gejala ansietas, gemetar, mood
disforik, letargi, kelelahan, mimpi buruk disertai tidur dengan rapid eye moventent yang
berulang), sakit kepala, berkeringat hebat, kram otot, kram perut, dan rasa lapar yang tak
terpuaskan. Gejala putus zat biasanya memuncak dalam 2 sampai 4 hari dan hilang
dalam I minggu. Gejala putus zat yang paling serius adalah depresii yang terutama dapat
menjadi berat setelah penggunaan amfetamin dosis tinggi terus-menerus dan dapat
dikaitkan dengan ide atau perilaku bunuh diri. Kriteria diagnosis DSM-V untuk keadaan
putus amfetamin merinci bahwa mood disforik dan perubahan fisiologis diperlukan
untuk diagnosis tersebut (American Psychiatric Association, 2013).
Delirium pada lntoksikasi Amfetamin
Delirium yang disebabkan oleh penggunaan amfetamin biasanya muncul akibat
amfetamin penggunaan dosis tinggi atau terus-menerus sehingga deprivasi tidur
memengaruhi tampilan klinis. Kombinasi amfetamin dengan zat lain serta penggunaan
amfetamin oleh orang dengan kerusakan otak yang,telah ada sebelumnya juga dapat
menyebabkan timbulnya de lirium. Tidak jarang mahasiswa universitas yang
menggunakan amfetamin untuk belajar kilat menghadapi ujian menunjukkan delirium
jenis ini (Sadock BJ et al.,2010).
Gangguan Psikotik Terinduksi Amfetamin
Kemiripan klinis psikosis terinduksi amfetamin dengan skizofrenia paranoid telah
memicu penelitian intensif tentang neurokimiawi psikosis terinduksi amfetamin untuk
menguraikan patofisiologi skizofrenia paranoid. Tanda gangguan psikotik terinduksi
amfetamin adalah adanya paranoia. Gangguan psikotik terinduksi amfetamin dapat
dibedakan dengan skizofrenia paranoid dengan sejumlah karakteristik pembeda yang
ditemukan pada gangguan psikotik terinduksi amfetamin, yaitu adanya predominasi
halusinasi visual, afek yang secara umum serasi, hiperaktivitas, hiperseksualitas,
kebingungan dan inkoherensi, serta sedikit bukti gangguan proses pikir (seperti asosiasi
longgar). Pada beberapa studi, peneliti juga mencatat bahwa meski gejala
positilgangguan psikotik terinduksi amfetamin dan skizofrenia mirip, gangguan psikotik
terinduksi amfetamin biasanya tidak memiliki af'ek mendatar dan alogia seperti pada
skizofrenia. Namun, secara klinis, gangguan psikotik terinduksi amf'etamin yang akut
mungkin tidak dapat dibedakan dengan skizofrenia, dan hanya resolusi gejala dalam
beberapa hari atau temuan positif pada uji tapis zat dalam urin yang akhirnya akan
menunjukkan diagnosis yang tepat. Terapi pilihan untuk gangguan psikotik terinduksi
amfetamin adalah penggunaan .jangka pendek obat antipsikotik seperti haloperidol
(Haldol) (Sadock BJ et al.,2010).
Gangguan Mood Terinduksi Amfetamin
Awitan gangguan mood terinduksi amfetarnin dapat terjadi saat intoksikasi atau
putus zat. Umumnya, intoksikasi rnenimbulkan gambaran manik atau mood campuran,
sementara keadaan putus zat menimbulkan gambaran mood depresif (Sadock BJ et
al.,2010).
Gangguan Ansietas Terinduksi Amfetamin
Amfetamin, seperti kokain, clapat menginduksi gejala yang serupa dengan yang
terlihat pada gangguan obsesif-kompulsif, gangguan panik, dan terutama, gangguan
tbbia. Awitan gangguan ansietas terinduksi amfetamin juga dapat terjadi saat inloksikasi
atau putus zat (Sadock BJ et al.,2010).
Disfungsi Seksual Terinduksi Amfetamin
Amfetamin sering digunakan untuk meningkatkan pengalaman seksual; namun,
dosis tinggi dan penggunaan jangka panjang dikaitkan dengan gangguan ereksi dan
disfungsi seksual lain. Disfungsi ini diklasifikasikan dalam DSM-V sebagai disfungsi
seksual terinduksi amletamin (Sadock BJ et al.,2010).
Gangguan Tidur Terinduksi Amfetamin
Intoksikasi amfetamin dapat mer.rimbulkan insomnia dan deprivasi tidur,
sementara orang yang sedang mengalami keadaan putus amfetamin dapat mengalami
hipersomnolen dan mimpi buruk (Sadock BJ et al.,2010).
Gangguan yang Tak-Tergolongkan
Jika suatu gangguan terkait amfetamin (atau lir-amfetamin) tidak memenuhi
kriteria satu atau lebih kategori yang didiskusikan di atas, gangguan tersebut dapat
didiagnosis sebagai gangguan terkait amfetamin yang tak-tergolongkan (Sadock BJ et
al.,2010).
TATALAKSANA
Penatalaksanaan intoksikasi amfetamin (Sadock BJ et al.,2010) :
a. Bila suhu badan naik, berikan kompres dingin, minum air dingin, atau selimut
hipotermik.
b. Bila kejang, berikan diazepam 10-30 mg per oral atau parenteral; atau
klordiazepoksid 10-25 mg per oral secara perlahan-lahan dan dapat diulang setiap
15-20 menit.
c. Bila tekanan darah naik, berikan obat anti hipertensi.
d. Bila terjadi takikardma, berikan beta-blocker, seperti propanolol, yang sekaligus
juga untuk menurunkan tekanan darah.
e. Untuk mempercepat ekskresi amfetamin, lakukan asidifikasi air seni dengan
memberi amonium klorida 500 mg per oral setiap 3-4 jam.
f. Bila timbul gejala psikosis atau agitasi, beri halopendol 3 kali 2-5 mg.
Penatalaksanaan putus amfetamin (Sadock BJ et al.,2010) :
a. Rawat di tempat yang tenang dan biarkan pasien tidur dan makan sepuasnya.
b. Waspada terhadap kemungkinan timbulnya depresi dengan ide bunuh diri.
c. Dapat diberikan anti depresi.
Terapi pada Psikosis Akibat Penggunaan Amfetamin (Sadock BJ et al.,2010).
Psikosis akibat penggunaan amfetamin sangat mirip dengan skizofrenia paranoid. Pada
psikosis akibat penggunaan amfetamin dapat diberikan klorpromazin tiga kali 50-I 50
mg per oral atau 25-50 mg intra muskular yang dapat diulang setiap empat jam. Dapat
juga dipakai halopenidol tiga kali 1-5 mg.
KOMPLIKASI
Penyalahgunaan amfetamin dalam kurun waktu yang cukup lama atau dengan dosis
yang tinggi dapat mengakibatkan timbul banyak masalah seperti psikosis (pikiran menjadi
tidak nyata, jauh dari realitas), kelainan psikologis dan tingkah laku, perubahan mood atau
mental, kesulitan bernapas, kekurangan nutrisi, dan gangguan jiwa. Dalam keadaan
keracunan akut, pengguna amfetamin pada umumnya merasakan euforia, keresahan, agitasi,
dan cemas berlebihan. Kira-kira 5 12% pengguna mengalami halusinasi, keinginan untuk
bunuh diri, dan kebingungan. Sebanyak 3% pengguna amfetamin mengalami kejang-kejang
(Sadock BJ et al.,2010).

DSM-IV-TR: Diagnostic Criteria for Substance Abuse (Penyalahgunaan Zat)


A. A. Suatu pola penggunaan zat yang maladaptif mengarah pada gangguan atau penderitaan yng
bermakna klinis, bermanifestasi sebagai 1 (satu) atau lebih hal-hal berikut yang terjadi dalam
periode 12 bulan:
B.
1. 1.Penggunaan berulang zat menyebabkan kegagalan memenuhi tugas utama ditempat
kerja,sekolah atau dirumah (mis. berulangkali bolos hasil kerja yang buruk karena penggunaan
zat, bolos,diganjar atu dikeluarkan dari sekolah karena penggunaan zat,mengabaikan anak atau
anggota keluarga).
2. 2.Berulangkali menggunakn zat dalm situasi yang membahayakan fisik (mis.mengemudikan
kendaraan atau mengoperasikan mesin saat terganggu oleh pemakaiannya).
3. 3. Berulangkali berurusan dengan hukum karena penggunaan zat (ditangkap karena ulah
berkaitan dengan penggunaannya).
4. meneruskan penggunaan zat meskipun tetap atau berulang memiliki problem sosial atau
interpersonal disebabkan atau kambuhnya efek2 dari zat (mis.berdebat dengan pasangan tentang
akibat intoksikasi,berkaelahi).
B. 4.Gejala-gejalanya tidak memenuhi kriteria Ketergantungan zat yang digunakan.

DSM-IV-TR Diagnostic Criteria for Substance Intoxication (Intoksikasi Zat)


A A.Terjadinya sindroma reversible zat spesifik karena barusan menelannya atau terpapar
olehnya.cat: zat yang berbeda dapat memberi sindroma yang mirip atau sama.
B. B.Tingkah laku maladaptif yang bermakna secara klinis atau perobahan psikologis karena efek
dari zat terhadap sitim saraf pusat (mis. keadaan siap tempur,labilitas mood,gangguan kognitif,
penilaian,sosial dan fungsi pekerjaan) yang terjadi segera setelah penggunaan zat.
C. C.Gejala-gejalanya tidak karena kondisi medis umum ataupun gangguan mental lainnya.
DSM-IV-TR Diagnostic Criteria for Substance withdrawal (Putus Zat)
A. A.Terjadinya sindroma zat spesifik karena penghentian mendadak (atau pengurangan)
penggunaan zat yang lama dan berat.
B. B.Sindroma diatas menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
hal sosial,pekerjaan atau area fungsi-fungsi penting lainnya
C. C.Gejala-gejalanya tidak karena kondisi medis umum ataupun gangguan mental lainnya.

Anda mungkin juga menyukai