Anda di halaman 1dari 40

HALAMAN SAMPUL DEPAN

UPAYA ADMINISTRATIF PADA ADMINISTRASI PEMERINTAH


(Studi Pada Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
penetapan penyalahgunaan wewenang)

Proposal Penelitian Tesis

Oleh:
Darajatun Indra Kusuma Wijaya, S.H.
NIM: 146010100111008

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2016
A. Kajian Pustaka

1. Administrasi Pemerintahan

Dalam rangka hukum administrasi, pemerintahan terdapat

pengertian yaitu fungsi pemerintahan atau sebagai kegiatan pemerintah

dan organisasi pemerintahan atau kumpulan dari kesatuan-kesatuan

pemerintahan. Kandungan dari fungsi pemerintahan sedikit banyak

ditentukan didalam penempatannya dengan fungsi perundang-undangan

dan peradilan. Maka segala macam kegiatan pemerintah diluar

ketentuan perundang-undangan dan peradilan dapat dirumuskan

menjadi pemerintah yang negatif.

Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun

2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, dinyatakan bahwa

Administrasi Pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan

keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat

pemerintahan.

Administrasi Pemerintahan dapat pula dibagi menjadi dua

yaitu:1

a. Administrasi sipil, yaitu seluruh aktifitas yang dilakukan oleh

departemen, direktorat, sub direktorat sampai kepada aktivitas

camat dan lurah;

1
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka
1989), Hlm. 42.
2

b. Administrasi Militer yang terdiri dari:

c. Administrasi militer (Angkatan Darat)

d. Administrasi militer ( Angkatan Laut )

e. Administrasi militer ( Angkatan Udara )

f. Administrasi Kepolisian Negara.

Menurut beberapa pakar hukum Administrasi Negara,

administrasi pemerintahan diilustrasikan sebagai berikut:

a. Administrasi pemerintahan menurut JM Baron de Gerando bahwa

objek hukum administrasi adalah peraturan perturan yang mengatur

hubungan timbal balik antara pemerintah dan rakyat.

b. Menurut Jhon M. Pffifner dan RobertnV. Prestus :2

1) Administrasi Pemerintahan meliputi implementasi

kebijaksanaan pemerintah yang telah ditetapkan oleh badan-

badan perwakilan politik.

2) Administrasi pemerintahan dapat didefinisikan kordinasi

usaha-usaha perorangan dan kelompok untuk melaksanakan

kebijakansanaan pemerintah. Hal ini terutama meliputi

pekerjaan sehari-hari pemerintah.

3) Secara global, administrasi pemerintahan adalah suatu proses

yang bersangkutan dengan pelaksanaan kebijaksanaan-

kebijaksanaan pemerintah, pengarahan percakapan dan teknik-

2
H. Inu Kencana Syafiie dan Welasari, Ilmu Administrasi, (Yogyakarta: Pustaka pelajar
2015), Hlm. 49.
3

teknik yang tidak terhingga jumlahnya, memberikan arah dan

maksut terhadap usaha sejumlah orang.

c. Menurut George J. Gordon, Administrasi Negara ( pemerintahan )

dapat dirumuskan sebagai seluruh proses baik yang dilakukan

organisasi maupun perseorangan yang berkaitan dengan penerapan

atau pelaksanaan hukum dan peraturan yang dikeluarkan oleh badan

legislative, eksekutif serta peradilan.3

Dari pendapat-pendapat diatas penulis berpendapat bahwa

administrasi adalah proses pelaksanaan dari keputusan-keputusan yang

telah diambil dan pelaksanaan itu pada umumnya dilakukan dua orang

atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

Maka menurut penulis, administrasi Negara atau administrasi

pemerintahan adalah keseluruhan proses dalam menjalankan kebijakan-

kebijakan Negara dalam mencapai tujuan suatu Negara. Seperti kita

ketahui pemerintah memegang peranan sentral dalam pembangunan

nasionalnya terlebih dalam penetapan kebijaksanaan-kebijaksanaannya,

maka proses penetapan kebijaksanaan dan peaksanaan kegiatan

pemerintahan tersebut dinamakan administrasi Negara atau dapat juga

dikatakan administrasi pemerintahan.

2. Tata Usaha Negara

a. Keputusan Tata Usaha Negara

Pengertian keputusan administratif merupakan suatu yang

sangat umum dan abstrak, karena dalam praktiknya bentuk keputusan-


3
Ibid, hlm. 51.
4

keputusan administratif sangat berbeda. Meskipun bentuk keputusan-

keputusan administratif berbeda-beda, suatu keputusan administratif

tersebut masih tetap mengandung ciri-ciri yang sama, oleh karenanya

dalam teori hanya ada satu pengertian yaitu keputusan administratif.

Pemahaman mengenai pengertian keputusan administratif sangatlah

penting, oleh karena itu di dalam praktik keputusan/tindakan-tindakan

tertentu sebagai keputusan administratif perlu dipahami dan dicermati.

Dan hal itu diperlukan karena pada keputusan-keputusan tersebut

hukum positif mengikatkan akibat-akibat hukum tertentu. Sifat norma

hukum keputusan adalah individual-konkrit. Berikut beberapa contoh

bentuk keputusan tata usaha Negara yang ada didalam pemerintahan

Indonesia.

1) SK Pengangkatan Pegawai;

2) Izin Usaha Industri;

3) Surat Keterangan Kelakuan Baik;

4) Akte Kelahiran;

5) Surat Ijin Mengemudi (SIM);

6) Sertifikat Hak Atas Tanah dll

Keputusan tata usaha merupakan norma penutup di dalam

rangkaian norma hukum, Sebagai contoh dapat dikemukakan sebagai

ijin mendirikan bangunan. Dengan adanya PERDA tentang garis

sempadan atau PERDA Bangunan, maka tanpa adanya izin mendirikan


5

bangunan, seseorang tidak dibenarkan mendirikan suatu bangunan yang

pada hakekatnya adalah suatu keputusan tata usaha Negara.

Adapun pembagian keputusan tata usaha sebagai norma

penutup, dilihat dari dampak keputusan terhadap orang, yang

kepadanya keputusan itu ditujukan:

a) Keputusan dalam rangka ketentuan-ketentuan larangan atau

ketentuan-ketentuan perintah;

Keputusan tata usaha ini merupakan suatu keputusan-

keputusan yang paling biasa. Perizinan merupakan kategori suatu

putusan yang paling penting. Sistemnya adalah bahwa Undang-

Undang melarang suatu tindakan tertentu atau tindakan-tindakan

tertentu yang saling berhubungan. Larangan ini tidak dimaksutkan

secara mutlak, namun untuk dapat bertindak dan mengendalikan

masyarakat dengan cara mengeluarkan izin, khususnya dengan

menghubungkan peraturan-peraturan pada izin tersebut. Disamping

peraturan-peraturan tersebut, terdapat juga bentuk-bentuk hukum

dispensasi atau konsesi. Pada saat kita berbicara tentang dispensasi,

dapat kita ilustrasikan sebagai berikut, apabila larangan dalam

Undang-Undang yang bersangkutan memang secara tegas

dimaksutkan sebagai larangan dan hanya secara kekecualian dapat

diberikan pembebasan. Berikut pula pada saat kita berbicara

tentang konsesi, maka si penerima konsensi dituntut untuk

memenuhi kegiatan-kegiatan umum (misalnya mengeksploitasi


6

barang-barang tambang tertentu; pengangkutan bus yang teratur di

daerah atau trayek tertentu)

b) Keputusan-keputusan yang menyediakan sejumlah uang;

Sangat sering keputusan-keputusan ini terjadi, guna

melancarkan kegiatan-kegiatan masyarakat tertentu, subsidi-

subsidi diberikan oleh penguasa guna melancarkan kegiatan

masyarakat (misalnya seperti dana bantuan pemerintah untuk

biaya pendidikan, kemudian subsidi pada pembangunan jalan)

c) Keputusan-keputusan yang membebankan suatu kewajiban

keuangan;

Contoh yang sangat jelas dalam keputusan ini adalah

penetapan pajak, seperti di Negara Nederland misalnya

masyarakatnya masih harus dibebani oleh premi-premi

berdasarkan asuransi-asuransi social dan asuransi-asuransi rakyat.

d) Keputusan-keputusan yang memberikan suatu kedudukan;

Keputusan-keputusan ini diartikan atau dapat menyebabkan

diberlakukannya beberapa peraturan saling berkaitan bagi

seseorang mengenai kedudukan tertentu maupun suatu denda

tertentu, misalkan keputusan pengangkatan pegawai negri sipil

dalam Undang-Undang Kepegawaian Negri.

e) Keputusan penyitaan;

Keputusan merupakan suatu kewenangan pemerintah.

Melalui jalan hukum publik penguasa dapat melakukan penyitaan


7

atas barang-barang dari para warga atau digunakan demi

keuntungan umum atau untuk pencegahan suatu contoh didalam

Undang-Undang mengenai pencabutan Hak Milik No. 20/1961

dan membinasakan ternak yang telah tertular penyakit

berdasarkan Undang-Undang peternakan.

Dan kemudian masih ada pembagian dari Undang-Undang

Umum Hukum Pemerintahan yang berperan penting dalam

pembagiannya sebagai berikut:

a) Keputusan-keputusan yang bebas dan yang terikat;

Sangat perlu di perhatikan bahwa suatu keputusan yang

bebas terikat merupakan suatu keputusan yang saling terhimpit,

dan yang demikian itu tidak terdapat di dalam praktiknya. Namun

dalam praktiknya suatu keputusan-keputusan ini selalu menjadi

keputusan yang kurang atau lebih terikat atau bebas. Sebetulnya

hal ini tidak menyangkut keputusan-keputusan yang bebas dan

terkait, namun merupakan kewenangan membuat keputusan yang

bebas atau terikat. Maksut dari keputusan-keputusan bebas

tersebut dapat diartikan bilamana saat penguasa mempunyai

kebebasan dalam bertindak atau membuat suatu keputusan.

Sementara itu yang dimaksut keputusan-keputusan terikat ialah

apabila keputusan tersebut dapat dibaca langsung dari Undang-

Undang dan kapan keputusan itu harus diberikan.


8

b) Keputusan-keputusan yang memberi keuntungan dan yang memberi

beban;

Secara teoritis keputusan ini memiliki perbedaan dan

letaknya saling terhimpit, suatu keputusan secara umum

memberikan suatu keuntungan maupun beban salah satu contoh

dalam hal praktik perizinan, pemegang izin diperbolehkan

melakukan tindakan-tindakan yang mendatangkan keuntungan

(keuntungan), sekaligus pula dalam izin tersebut juga mengikat

yang mendapatkan izin dengan peraturan-peraturan tertentu

(beban). Dan tak lupa bahwa seringkali keputusan yang memberi

keuntungan bagi seseorang juga berbalik memberi beban bagi

orang lain. Sangat penting untuk dipertanyakan dalam keputusan

ini mengenai masa berlakunya kapan keputusan ini dapat ditarik

kembali, diubah atau kapan keputusan yang memberi keuntungan

dapat berlaku surut. Oleh karena itu pemberian dalam keputusan

ini perlu dilakukan terlebih dahulu suatu penelitian yang cermat

dan diadakan pula penimbangan terhadap kepentingan-kepentigan

antara orang-orang yang diberi keuntungan dan orang yang diberi

beban. Dan yang sangat penting adalah pemberian motifasi

terhadap orang-orang yang terbebani oleh suatu keputusan

tersebut.

c) Keputusan-keputusan yang seketika akan berakhir dan yang lama

berjalan terus;
9

Keputusan yang berkaitan dengan masa berlakunya dapat

berakhir seketika dan sebaliknya dapat berlaku dalam kurun

waktu yang sangat lama atau tidak dapat ditentukan berakhirnya

dapat kita ambil suatu contoh pada keputusan izin bangunan yang

berkaitan dengan izin membangun, maka masa berlaku dalam izin

ini dapat berakhir seketika setelah selesai pembangunannya.

Sebaliknya, suatu izin berdasarkan ordonasi gangguan staatsblad

No. 226 tahun 1926 yang dimaksutkan untuk waktu yang tidak

tertentu dan tindakan yang tidak tertentu dan berlaku pula pada

tindakan yang tidak tertentu pula. Mengenai suatu keputusan yang

menguntungkan dan berlaku hanya satu kali saja, keputusan

tersebut tidak dapat ditarik kembali terkecuali keputusan tersebut

merupakan sanksi apabila pihak yang diberikan izin tersebut

dapat dipersalahkan dengan memberikan informasi yang tidak

sesuai dalam pengajuan permohonan izinnya. Dan pada keputusan

yang masa berlakunya lama dengan kebijakan baru maka

keputusan tersebut dapat ditarik kembali atau sebagai akibat dari

diubahnya kebijaksanaan dalam putusan tersebut.

d) Keputusan-keputusan yang bersifat perorangan dan yang bersifat

kebendaan;

Keputusan yang tergantung pada sifat-sifat pribadi

seseorang atau pemohon merupakan suatu keputusan yang

bersifat perorangan sebagai contoh pada saat dimintanya ijasah-

ijasah, surat keterangan kelakuan baik kepada pemohon sebagai


10

bukti sifat-sifat pribadinya. Dan kemudian keputusan yang

bersifat kebendaan merupakan keputusan yang tergantung pada

sifat obyek yang bersangkutan contohnya adalah dalam hal izin

Ordonasi Gangguan dan juga pada Izin Mendirikan Bangunan,

maka terdapat perbedaan antara keputusan yang bersifat

perorangan dengan keputusan yang bersifat kebendaan yaitu

keputusan yang bersifat perorangan tidak dapat dialihkan

sedangkan pada keputusan yang bersifat kebendaan dapat

dialihtangankan kepada orang lain. Sebagai contoh Surat Izin

Mengemudi tidak dapat dialihtangankan kepada orang lain

sedangkan Ordonasi Gangguan dapat dialihtangankan kepada

pemegang lain sebagai salah satu contoh pada saat penjualan

suatu perusahaan maka secara otomatis Ordonasi Gangguan ikut

serta pada perusahaan-perusahaan yang mempunyai kewajiban-

kewajiban Ordonasi Gangguan.

b. Sengketa Tata Usaha Negara

Sebelum melakukan tahapan langkah-langkah penyelesaian

sengketa Tata Usaha Negara, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai

pangkal sengketa Tata Usaha Negara, tolok ukur sengketa Tata Usaha

Negara adalah tolok ukur subjek dan pangkal sengketa. Tolok ukur

subjek adalah para pihak yang bersengketa di bidang hukum

administrasi Negara, sedangkan tolok ukur pangkal sengketa, yaitu


sengketa administrasi yang diakibatkan oleh ketetapan sebagai hasil

perbuatan administrasi Negara.4

Kemudian sengketa administrasi dapat dibedakan menjadi dua

yaitu sengketa intern dan sengketa ekstern. Sengketa intern sendiri

merupakan sengketa antara administrasi Negara yang terjadi dalam

lingkungan administrasi Tata Usaha Negara itu sendiri, baik sengketa

antar satu departemen itu sendiri maupun sengketa antar departemen

lain atau instansi lain.

Maka sengketa intern dapat meliputi permasalahan kewenagan

pejabat Tata Usaha Negara yang dapat disengketakan didalam satu

instansi atau kewenangan suatu departemen atau instansi terhadap

instansi lainnya yang disebabkan tumpang tindihnya kewenangan antar

departemen tersebut sehingga terjadinya kekaburan wewenang.

Kemudian yang kedua adalah sengketa administrasi Negara

dengan rakyat, sengketa administrasi dengan rakyat sebagai subjek

yang berperkara tersebut ditimbulkan sebagai akibat dikeluarkannya

keputusan Tata Usaha Negara, kemudian di syaratkan minimal dua

pihak dan sekurang-kurangnya salah satu pihak harus administrasi

Negara.5

Sengketa administrasi dapat terjadi sebagai akibat dari perbuatan

administrasi Negara berupa, mengeluarkan keputusan dalam hal ini

dilakukan oleh penguasa, mengeluarkan peraturan-peraturan dalam hal


4
Sjachran Basah, Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan (HAPLA),
(Jakarta: Rajawali Pers, 1989), hlm.15.
5
Sjachran Basah, op.cit., hlm.32
12

ini juga perbuatan dari penguasa atau pemerintah dan yang terakhir

adalah melakukan perbuatan materiil dapat dilakukan oleh individu

maupun penguasa. Dalam hal perbuatan-perbuatan tersebut tidak jarang

terjadi perselisihan atau penyimpangan dan melawan hukum sehingga

terjadi kerugian bagi orang atau badan instansi yang terkena dampak

keputusan tersebut.

3. Upaya Administratif

Administratif beroep, quasi rechtspraak atau peradilan

administratif semu merupakan istilah yang lazim digunakan untuk

menyebutkan mengenai Upaya administrative didalam kepustakaan

hukum Tata Usaha Negara6. Ketentuan tentang upaya administratif

tersebut merupakan dan dimaksudkan sebagai kontrol atau pengawasan

yang bersifat intern dan represif di lingkungan Tata Usaha Negara

terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara7.

Menurut R Wiyono, SH terdapat beberapa petunjuk terkait

upaya administrative sebagai berikut :

a. Upaya administrasi sebagai penyelesaian sengketa Tata Usaha

Negara yang sudah ada tetap dipertahankan, bahkan kini terbuka

6
S.F. Maarbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia,
cetakan I, (Yogyakarta: Liberty, 1997), hlm. 65.
7
R.Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara., Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
Hlm. 109.
13

kemungkinan untuk mengajukan lebih lanjut ke pengadilan di

lingkungan pengadilan Peradilan Tata Usaha Negara;

b. Dengan dipergunakannya kalimat Sengketa Tata Usaha Tertentu,

maka penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara melalui melalui

upaya administratif tidak berlaku untuk semua sengketa Tata Usaha

Negara, tetapi hanya sengketa Tata Usaha Negara yang

penyelesaiannya tersedia upaya administratif saja;

c. Pengadilan dilingkungan Peradilan Tata Usah Negara baru

mempunyai wewenang untuk memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara yang tersedia upaya

administratif, jika seluruh upaya administratif tersebut telah

digunakan dan mendapatkan keputusan.

Secara khusus norma konstitusi mengenai hubungan antara

Negara dan Warga Masyarakat teraktualisasi dengan adanya Undang-

Undang Administrasi Pemerintahan. Undang-undang ini merupakan

instrument penting dari Negara hukum yang demokratis, di dalam

pengaturan administrasi pemerintahan. dimana Keputusan dan/atau

Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau

Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya yang meliputi

lembaga-lembaga di luar eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang

menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang memungkinkan untuk

diuji melalui Pengadilan. Hal inilah yang merupakan nilai-nilai ideal

dari sebuah negara hukum. Penyelenggaraan kekuasaan negara harus

berpihak kepada warganya dan bukan sebaliknya.


14

Pasal 48 UU Nomor 5 tahun 1986 ayat (1) disebutkan mengenai

Upaya Administratif yaitu dalam hal pejabat tata usaha diberi

wewenang oleh atau berdasarkan peraturan Perundang undangan yang

berlaku untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha

negara tertentu, maka sengketa tata usaha tersebut harus diselesaikan

melalui upaya administratif yang tersedia, maka Upaya Administratif

merupakan suatu prosedur yang harus terlebih dahulu di tempuh oleh

seseorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap

suatu keputusan tata usaha negara.

Mengenai upaya administratif tersebut ada dua yaitu

a. Keberatan

Keberatan merupakan suatu tindakan yang dilakukan

terhadap keputusan administrasi negara yang dianggap merugikan

warga masyarakat dan diajukan langsung terhadap pejabat yang

mengeluarkan keputusan administrasi negara tersebut. Dan

prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum

perdata yang tidak puas terhadap keputusan Tata Usaha Negara,

yang penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara sebagai akibat

dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksut.8

Dalam hal penyelesaiannya dilakukan oleh instansi yang sama,

yaitu badan atau pejabat tata usaha Negara yang mengeluarkan

8
Ibid, Hlm. 110.
15

keputusan tata usaha Negara, maka prosedur yang ditempuh

disebut keberatan.9

b. Banding Administratif

Prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan

hukum perdata yang tidak puas terhadap keputusan Tata Usaha

Negara, yang penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara sebagai

akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara tersebut,

dilakukan oleh atasan dari badan atau pejabat Tata Usaha Negara

yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara atau instansi lain

dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan

keputusan Tata Usaha Negara.10 Banding Administrasi dilakukan

setelah proses keberatan dilakukan terlebih dahulu. Banding

Administrasi dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada

atasan dari pejabat yang mengeluarkan keputusan administrasi

negara.

9
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cet. 10, ( Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2008 ),hlm. 317.
10
Ibid, hlm. 111.
16

4. Penyalahgunaan Wewenang

Undang-Undang Administrasi Pemerintah bertujuan untuk

memberikan jaminan dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan

pemerintahan di Indonesia. UUAP memberikan ruang kepada Badan

dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya

untuk memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat

dalam penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu, UU Administrasi

Pemerintah juga memberikan perlindungan hukum terhadap Badan

dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya

dalam melaksanakan fungsi pemerintahan dalam hal ini penggunaan

wewenang.

Lahirnya UU Administrasi Pemerintah diharapkan dapat

menjadikan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara

negara lainnya merasa terlindungi dari kriminalisasi terkait dengan

penyalahgunaan kewenangan, karena selama ini yang terjadi apabila

sedikit saja kesalahan administrasi dalam penyelenggaraan

pemerintahan padahal didalam pelaksanannya tidak ada sedikitpun niat

jahat untuk melakukan penyalahgunaan kewenangan sudah langsung

dijerat dengan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (UUPTPK).
17

Perlindungan hukum didalam UUAP terhadap Badan dan/atau

Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya terkait

penyalahgunaan wewenang sangat penting guna lancarnya

pemerintahan yang bertujuan untuk pembangunan, sebagaimana

diketahui pejabat atau pemegang kewenangan selama ini tidak leluasa

menggunakan kewenangannya dikarenakan selalu dihantui dengan

perasaan takut terjerat tindak pidana korupsi sehingga serapan anggaran

pemerintahan menjadi rendah dan pembangunan menjadi terhambat.

Kejelasan tanggung jawab terhadap kewenangan sebagai salah satu

upaya kejelasan tanggung jawab dan tanggung gugat terhadap

pelaksanaan kewenangan. UU administrasi Negara mengatur larangan

penyalahgunaan wewenang, sehingga badan atau pejabat pemerintahan

dalam membuat keputusan atau tindakan sesuai dengan batas

kewenangan yang dimiliki.

Dalam UU No 30 Tahun 2014 dibedakan menjadi 2 konsep yaitu

wewenang dan kewenangan.

1. Wewenang

Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh badan atau pejabat

pemerintahan atau penyelenggaraan negara lainnya untuk

mengambil keputusan atau tindakan dalam penyelenggaraan

pemerintahaan (pasal 1 ayat 5).

2. Kewenangan

Kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat


18

Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak

dalam ranah hukum publik (pasal 1 ayat 6).11

Larangan penyalahgunaan wewenang tersebut dijelaskan dalam

bagian ketujuh pasal 17 -21 UU No 30 Tahun 2014.

Pasal 17 UU No 30 Tahun 2014 yang berbunyi sebagai berikut:

1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan

Wewenang.

2) Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) meliputi:

a) larangan melampaui Wewenang;

b) larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau

c) larangan bertindak sewenang-wenang.

Pasal 18 UU No 30 Tahun 2014 yang berbunyi sebagai berikut:

1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan melampaui

Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a

apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:

a) melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya

Wewenang;

b) melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang; dan/atau

c) bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan

mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal

11
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
Hal. 2
19

17 ayat (2) huruf b apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang

dilakukan:

a) di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan;

dan/atau

b) bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan.

3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak

sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)

huruf c apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:

a) tanpa dasar Kewenangan; dan/atau

b) bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan

hukum tetap.

Pasal 19 UU No 30 Tahun 2014 yang berbunyi sebagai berikut:

1) Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan

dengan melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal

17 ayat (2) huruf a dan Pasal 18 ayat (1) serta Keputusan dan/atau

Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan secara sewenang-

wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan

Pasal 18 ayat (3) tidak sah apabila telah diuji dan ada Putusan

Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

2) Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan

dengan mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b dan Pasal 18 ayat (2) dapat

dibatalkan apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang

berkekuatan hukum tetap.


20

Pasal 20 UU No 30 Tahun 2014 yang berbunyi sebagai berikut:

1) Pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan Wewenang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 dilakukan oleh

aparat pengawasan intern pemerintah.

2) Hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a) tidak terdapat kesalahan;

b) terdapat kesalahan administratif; atau

c) terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian

keuangan negara.

3) Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat

kesalahan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,

dilakukan tindak lanjut dalam bentuk penyempurnaan administrasi

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4) Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat

kesalahan administratif yangmenimbulkan kerugian keuangan negara

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dilakukan

pengembalian kerugian keuangan negara paling lama 10 (sepuluh)

hari kerja terhitung sejak diputuskan dan diterbitkannya hasil

pengawasan.

5) Pengembalian kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

dibebankan kepada Badan Pemerintahan, apabila kesalahan

administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terjadi

bukan karena adanya unsur penyalahgunaan Wewenang.


21

6) Pengembalian kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

dibebankan kepada Pejabat Pemerintahan, apabila kesalahan

administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terjadi

karena adanya unsur penyalahgunaan Wewenang.

Pasal 21 UU No 30 Tahun 2014 yang berbunyi sebagai berikut:

1) Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada

atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan

oleh Pejabat Pemerintahan.

2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan

permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada

unsur penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau

Tindakan.

3) Pengadilan wajib memutus permohonan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak

permohonan diajukan.

4) Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

5) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara wajib memutus permohonan

banding sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 21 (dua

puluh satu) hari kerja sejak permohonan banding diajukan.


22

6) Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana

dimaksud pada ayat (5) bersifat final dan mengikat.12

Berdasarkan pasal 21 UU Administrasi Negara, pejabat atau

pemegang kewenangan dapat menguji wewenang yang dilakukannya

apakah perbuatan tersebut termasuk penyalahgunaan wewenang atau

tidak, apabila memang terjadi penyalahgunaan wewenang maka hal

tersebut dapat dijadikan dasar oleh aparat penegak hukum untuk

melakukan penyelidikan ataupun penyidikan dugaan tindak pidana

korupsi terhadap pelaku penyalahgunaan wewenang, sedangkan apabila

didalam pengujian terhadap penyalahgunaan wewenang oleh PTUN

tidak terbukti maka barang tentu perbuatan tersebut tidak dapat dijadikan

dasar untuk melakukan penyelidikan ataupun penyidikan terhadap

pelaku penyalahgunaan kewenangan dalam tindak pidana korupsi

berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hal ini

merujuk kepada tujuan dibentuknya UUAP.

5. Kerangka Teoritik

Dalam penulisan ini, Penulis akan menggunakan 3 (tiga) macam

teori sebagai pisau analisa dalam menganalisis dan mengkaji permasalahan

yang ada, teori teori tersebut diantaranya, teori perlindungan hukum, teori

kepastian hukum dan teori pembentukan peraturan perundang-undangan.

12
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
Hal. 12
23

1. Teori Perlindungan Hukum

Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan

untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai

atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam

menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama

manusia.13

Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi

subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang

berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.

Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk

mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam

peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah

suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-

batasan dalam melakukan sutu kewajiban.

b. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa

sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang

13
Muchsin, 2003. Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia. Surakarta.
Universitas Sebelas Maret. hal. 14
24

diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu

pelanggaran.14

2. Teori Kepastian Hukum

Tema kepastian hukum sendiri, secara historis, merupakan tema

yang muncul semenjak gagasan tentang pemisahan kekuasaan

dinyatakan oleh Montesquieu, bahwa dengan adanya pemisahan

kekuasaan, maka tugas penciptaan undang-undang itu ada di tangan

pembentuk undang-undang, sedangkan hakim (peradilan) hanya

bertugas menyuarakan isi undang-undang.15

Persoalan kepastian karena selalu dikaitkan dengan hukum,

memberikan konsekuensi bahwa kepastian hukum di sini selalu

mempersoalkan hubungan hukum antara warga negara dengan negara.

Sebagai sebuah nilai, kepastian hukum tidak semata-mata selalu

berkaitan dengan negara, karena esensi dari kepastian hukum adalah

masalah perlindungan dari tindakan kesewenang-wenangan. Maka itu,

aktor-aktor yang mungkin melakukan kesewenang-wenangan, tidak

terbatas pada negara saja, tetapi juga oleh sekelompok pihak lain di

luar negara.

Perlindungan terhadap warga negara memang terletak pada

negara, jika negara itu mengakui adanya konsep Rechtstaat. Dalam

konsep ini, suatu negara dianggap menganut prinsip Rechtstaat, apabila

14
Muchsin, 2003. Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia. Surakarta.
Universitas Sebelas Maret. hal. 20
15
Manullang, F. 2007. Mengapai Hukum Berkeadilan. Jakarta: Buku Kompas. Hal. 92-93
25

dalam penyelenggaraan negara itu dilakukan menurut hukum, yang

dituangkan dalam konstitusi. Apabila ada sekelompok pihak di luar

negara yang mempunyai kekuasaan dan berpotensi digunakan secara

sewenang-wenang, negaralah yang pertama-tama bertanggung jawab

untuk memberikan perlindungan bagi warga negaranya, karena negara

adalah subjek yang mendapat perintah dari konstitusi dan hukum untuk

melaksanakan kepentingan umum menurut hukum yang baik. Dengan

adanya negara dan hukum (konstitusi) yang pada dasarnya merupakan

perwujudan dari kehendak bersama rakyat yang berdaulat, oleh sebab

itu nilai kepastian yang berkaitan dengan hukum merupakan nilai yang

pada prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga

negara dari kekuasaan yang bert indak sewenang-wenang, sehingga

hukum memberikan tanggung jawab kepada negara untuk

menjalankannya. Di sinilah letak re lasi antara persoalan kepastian

hukum dengan peranan negara terlihat.16

3. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Pembentukan Undang-Undang berasal dari terjemahan kata

Belanda wet yang berarti Undang-Undang. Menurut A. Hamid

Attamimi, dalam kepustakaan Belanda terdapat perbedaan antara wet

yang formal dan wet yang material.17 Atas dasar perbedaan tersebut,

maka terdapat istilah wet in formalenzin yang berarti Undang-

16
Manullang, F. 2007. Mengapai Hukum Berkeadilan. Jakarta: Buku Kompas. Hal. 94-95.
17
A.Hamid Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara, (Jakarta: Desertasi UI . 1990), hlm, 197-198.
26

Undang, dan istilah wet in materiele zin yang diartikan sebagai

peraturan perundang-undangan.18

Sementara itu Bagir Manan berpendapat bahwa, dalam ilmu

hukum dibedakan Undang-Undang dalam arti materiil dan Undang-

Undang dalam arti formal. Undang-Undang dalam arti materiil adalah

setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yang berisi aturan

tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum yang dinamakan

peraturan perundang-undangan.19 Sedangkan undang-undang dalam arti

formal adalah peraturan perundang-undangan yang yang dibentuk

presiden dengan persetujuan DPR.20 Atas dasar pengertian tersebut di

atas, jelas bahwa Undang-Undang dalam arti materiil, yaitu bagian dari

peraturan perundang-undangan. Karena peraturan perundang-undangan

mempunyai sifat yang abstrak dan mengikat secara umum, maka

pengertian Undang-Undang dapat dirumuskan, sebagai salah satu

peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh DPR bersama Presiden

yang mempunyai sifat abstrak dan berlaku secara umum.

Sehubungan dengan banyaknya problematik dalam proses

pembentukan Undang-Undang dilihat secara sosiologi hukum

merupakan endapan dari konflik-konflik nilai dan Tarik menarik

kepentingan antara berbagai kelompok. Ketika Undang-Undang

merupakan endapan adu kekuatan politik, menurut Schuyt,21 Undang-

Undang juga memanggil terjadinya konflik-konflik di masyarakat.


18
Ibid, hlm. 3.
19
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, cetakan pertama, (Jakarta,
Ind-Hill. Co, 1992), hlm, 3.
20
Ibid., hlm. 35.
27

Dalam kaitan ini, Satjipto Raharjo menegaskan Undang-Undang dapat

dibuat sebagai sarana penyelesaian konflik, tetapi sekaligus juga bisa

menimbulkan konflik-konflik baru. Suatu Undang-Undang yang pada

saat diundangkan mendapat pujian, tidak menutup kemungkinan

dibelakang hari menimbulkan konflik. Dengan demikian dapatlah

dikatakan bahwa Undang-Undang menyimpan potensi konflik.

Oleh karena itu dengan demikian bahwa suatu proses

pembentkan Undang-Undang harus dilakukan secara cermat

meminimalisasi potensi terjadinya konflik dikemudian hari. Sedangkan

menurut Otto, dkk, bahwa teori tentang pembentukan undang-undang

(legislative theory) memungkinkan untuk mengenali factor-faktor

relefan yang mempengaruhi kualitas hukum (the legal quality) dan

substansi Undang-Undang (the content of the law). Salah satu teorinya

yang kiranya sesuai dan mempunyai kesamaan dengan situasi dan

kondisi pembentukan Undang-Undang di Indonesia adalah the agenda-

building theory.22 Dalam teori ini dikatakan bahwa dalam

pembentukan Undang-Undang berjalan dalam waktu yang lama dan

harus memiliki karakteristik a bottom up approach dikatan oleh

Otto, dkk bahwa the agenda-building theory clarifies that the

lawmaker is not central legal, but that law making is a long, complex

transformation process upon which many different actors and factors

21
Schuyt sebagaimana dikutip oleh Satjipto Raharjo, Penyusun Undang Undang yang
Demokratis, makalah seminar Mencari Model Ideal Penyusun Undang Undang yang
Demokratis dalam Konggres Assosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, ( Fakultas Hukum Undip,
Semarang, tanggal 15-16 April 1998, hlm, 3.
22
Jan Michel Otto, Suzanne Stoter, Julian Arnshedt and Wim Oosterveld, Legislative
Theory to Improve Law and Development Project, dalam jurnal Regel Mat, Vol 2004/4, hlm. 4.
28

can hafe impact. Dengan demikian The Agenda-building Theory

mengandung persamaan unsur-unsur dengan proses pembentukan

Undang-Undang di Indonesia seperti yang diakatakan oleh Satjipto

Raharjo diatas.

B. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian dan Langkah Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian hukum normatif. Menurut Johny Ibrahim,23 penelitian

hukum normatif merupakan suatu prosedur penelitian ilmiah untuk

menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi


24
normatifnya. Sedangkan menurut Peter Mahmud Marzuki,

Penelitian hukum normatif merupakan suatu proses untuk menemukan

aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum

guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Adapun hasil penelitian

hukum ini berupa argumentasi, teori, atau konsep baru sebagai

preskripsi dalam menyelesaikan isu hukum yang diajukan. Karenanya,

menurut Peter Mahmud Marzuki dalam penelitian hukum ini harus

dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: 25

a. mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang


tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak
dipecahkan;
23
Johny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2007), hlm. 57.
24
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. 6, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010), hlm. 35.
25
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. 6, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010), hlm. 171.
29

b. pengumpulan bahan-bahan hukum dan sekiranya dipandang


relevan juga bahan-bahan non-hukum;
c. melakukan telaah atas isu yang diajukan berdasarkan bahan-
bahan yang telah dikumpulkan;
d. menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang
menjawab isu hukum; dan
e. memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah
dibangun dalam kesimpulan.

2. Pendekatan Penelitian

Menurut Peter Mahmud Marzuki,26 di dalam melakukan

penelitian hukum, ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan yaitu

pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus

(case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan

komparatif (comparative approach) dan pendekatan konsep

(conceptual approach). Pendekatan penelitian sendiri merupakan cara

yang digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan informasi dari

berbagai aspek mengenai isu yang diangkat dan sedang dicoba untuk

dipecahkan dan dicarikan jawabannya.

Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini ada 2

(dua), yaitu:

a. pendekatan perundang-undangan (statute approach), digunakan

untuk menjawab isu hukum yang dihadapi dengan melakukan

inventarisasi terhadap berbagai peraturan perundang-undangan

yang terkait dengan isu hukum yang diangkat berdasarkan hierarki

dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan. Melalui

pendekatan ini, dapat dipelajari dasar ontologis lahirnya undang-

26
Ibid, hlm. 93.
30

undang, landasan filosofis undang-undang, dan ratio legis undang-

undang terkait untuk menemukan jawaban atas isu hukum yang

diangkat. Peraturan perundang-undangan yang akan digunakan

melalui pendekatan ini utamanya adalah UU Peradilan TUN dan

UU Administrasi Pemerintahan;

b. pendekatan kasus (case approach), digunakan dengan

menginventarisasi dan menganalisis putusan-putusan hakim terkait

dengan upaya administratif yang pernah terjadi, baik yang di

dasarkan pada mekanisme yang diatur dalam UU Peradilan TUN

maupun UU Administrasi Pemerintahan. Melalui pendekatan ini

akan dianalisis ratio decidendi hakim dalam memeriksa dan

memutus sengketa TUN yang di dalamnya disediakan upaya

administratif.

3. Bahan Hukum

Penelitian ini akan menggunakan bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer

sebagai bahan hukum otoritatif yang dihasilkan oleh lembaga yang

berwenang dalam penelitian ini meliputi peraturan perundang-undangan

maupun putusan pengadilan yang memiliki keterkaitan dengan

penelitian ini, yaitu antara lain:

a. Peraturan Perundang-undangan di Indonesia:

1) UUD NRI Tahun 1945;


31

2) UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

(LNRI Tahun 1986 Nomor 77, TLNRI Nomor 3344),

sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 (LNRI Tahun 2009

Nomor 160, TLNRI Nomor 5079);

3) UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (LNRI

Tahun 2014 Nomor 6, TLNRI Nomor 5494);

4) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

(LNRI Tahun 2014 Nomor 292, TLNRI Nomor 5601);

5) UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara untuk bahan hukum sekunder, segala bentuk

publikasi ilmiah yang terkait atau membahas tentang hukum seperti

buku teks/literatur, naskah akademik, jurnal ilmiah, laporan hasil

penelitian, dan lain sebagainya, khususnya untuk penelitian ini adalah

publikasi ilmiah yang membahas tentang administrasi pemerintahan dan

upaya administratif. Selain itu, akan digunakan juga Kamus Hukum dan

Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai bahan hukum tersier.

4. Prosedur dan Pengumpulan Bahan Hukum

Ketiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini

dihimpun untuk dilakukan inventarisasi dan kategorisasi. Bahan hukum

primer dikumpulkan, diinventarisi, dan dikategorisasi berdasarkan


32

hierarki dan tahun pengundangannya, sedangkan bahan hukum

sekunder dikumpulkan, dinventarisasi, dan dikategorisasi berdasarkan

isu hukum yang ingin dikaji. Bahan hukum sekunder dikumpulkan

melalui penelusuran kepustakaan dan kemudian diinventarisasi dengan

pengelompokan arsip sesuai dengan isu hukum yang akan dibahas.

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Kemudian dari ketiga bahan-bahan tersebut yaitu, hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang telah

diinventarisasi dan dikategorisasi selanjutnya diolah dan dianalisis

dengan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

guna mendapatkan pemecahan atas permasalahan dalam penelitian ini.

Agar dapat menemukan jawaban yang ilmiah, maka pengolahan dan

analisis bahan hukum ini dilakukan melalui langkah-langkah berikut

ini:

a. Identifikasi dilakukan dalam rangka pengolahan dan analisis

terhadap bahan hukum primer, mempelajari, dan mengkaji norma-

norma hukum terkait yang dirumuskan dalam peraturan perundang-

undangan, untuk kemudian dicocokkan dengan teori-teori dan asas-

asas hukum serta konsep hukum mengenai upaya administratif

terhadap Undang-Undang tersebut yaitu, antara Undang-Undang

Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Administrasi

Pemerintahan mengenai disharmonisasi pengaturan upaya

administratif pada permasalahan dalam penelitian ini. Lalu

dilakukan klasifikasi secara sistematis sesuai dengan permasalahan


33

yang ada agar diketahui inti sari dari norma hukum positif tersebut

sehingga dapat digunakan untuk menemukan jawaban atas

permasalahan dimaksud;

b. Pengolahan dan analisis terhadap bahan hukum sekunder dan

tersier dilakukan dengan membuat kartu kutipan yang berisi

pendapat atau teori hukum dari para ahli hukum sesuai dengan

tema dan topik penelitian, lalu dicermati guna memperoleh

gambaran yang utuh dan saling menguatkan antara berbagai

pendapat atau teori tersebut, sehingga dapat dijadikan bahan

argumentasi dalam pemecahan masalah yang diteliti;

c. Langkah selanjutnya adalah mencari benang merah antara bahan-

bahan hukum yang ada, yaitu dengan menghubungkan hasil kajian

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta

tersier dengan menggunakan penalaran deduktif-induktif maupun

Induktif-deduktif, sehingga dapat dihasilkan proposisi, konsep

baru, baik berupa definisi, deskripsi maupun klasifikasi sebagai

hasil penelitian.

C. Sistematika Penulisan

Adapun sitematikan penulisan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagian Awal, yang terdiri atas:

a. Sampul Depan;

b. Halaman Sampul Dalam;


34

c. Halaman Pengesahan;

d. Halaman Ringkasan (dalam bahasa Indonesia), berisi uraian singkat

mulai dari pendahuluan sampai dengan kesimpulan;

e. Halaman Summary (dalam bahasa Inggris), berisi ringkasan tesis

dalam bahasa inggris;

f. Halaman Kata Pengantar;

g. Halaman Daftar Isi;

h. Halaman Daftar Tabel;

i. Halaman Daftar Gambar, Bagan, dan Grafik.

2. Bagian Utama, yang terdiri atas:

a. Bab I Pendahuluan, yang di dalamnya menguraikan latar belakang,

rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, kerangka

teoritik, metode penelitian, dan terakhir sistematika penulisan

dalam penelitian ini;

b. Bab II Tinjauan Pustaka, yang didalamnya akan diuraikan secara

sistematis mengenai konsep-konsep yang berkaitan dengan

Administrasi Pemerintahan dan Upaya Administratif;

c. Bab III Pembahasan, yang akan mengulas implikasi yuridis terkait

disharmonisasi pengaturan mengenai upaya administratif antara

UU Peradilan TUN dan UU Administrasi Pemerintahan, serta

pengaturan ke depan agar tidak terjadi kerancuan dalam mekanisme

upaya administratif;

d. Bab IV Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.


35

3. Bagian Akhir, yang terdiri atas:

a. Daftar Pustaka;

b. Lampiran.
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan:

Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesi


Tahun 1945.

Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang


Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3344), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5079).

Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang


Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5494).

Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang


Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5601).

Buku:

Abdul Latif. Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi.


Jakarta: Prenada Media Group, 2014.

A. Hamid Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam


Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, (Desertasi UI. Jakarta, 1990)

Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (cetakan pertama,


Ind-Hill. Co, Jakarta, 1992

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
1989

H. Inu Kencana Syafiie dan Welasari. Ilmu Administrasi. Pustaka pelajar.


Yogyakarta 2015.

Manullang, F. 2007. Mengapai Hukum Berkeadilan. Jakarta: Buku Kompas.


37

Muchsin, 2003. Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia.


Surakarta. Universitas Sebelas Maret.

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group,
Jakarta, 2008

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. 6, (Jakarta: Kencana Prenada


Media Group, 2010)

R. Wiyono. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Sinar Grafika. Jakarta
2008

Jurnal, Paper, Makalah dan Laporan Penelitian:

Abdul Rahman. Doing an Injustice of Permit Publication Abuse Effort of


Mineral Mining. International Journal of Science and Research (IJSR),
Volume 3 Issue 12, December 2014, www.ijsr.net, hlm. 2316.

Alfitri. Ideologi Welfare State dalam Dasar Negara Indonesia: Analisis


Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Sistem Jaminan Sosial
Nasional. Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 3, September 2012.

Aritonang, Dinoroy Marganda. The Model of Public Official Dismissal to


Eradicate Corruption in Indonesia, Scholarly Journals, ProQuest
Research Library. Depok: Center of Administrative Studies, 1999. URL
Dokumen: http://search.proquest.com/docview/1459406109?accountid=
46437, diakses tanggal 29 September 2014, pukul 01:34 WIB.

Ateng Syafrudin. Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang


Bersih dan Bertanggungjawab. Jurnal Pro Justitia IV. Bandung:
Universitas Parahyangan, 2000.

Bagir Manan. Penegakan Hukum Dalam Perkara Pidana. Artikel,


Disampaikan di Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung
(UNISULA) Semarang, 20 Januari 2010, Varia Peradilan, Majalah Hukum
Tahun XXV No. 296 Juli 2010.

Cecep Arifudin Perbuatan Melawan Hukum Dan Penyalahgunaan Wewenang


Dalam Pelaksanaan Kontrak Bioremediasi. Artikel, diterbitkan tanggal
03 September 2015, sumber: http://www.fhumj.org/berita_info/berita_
detail/12, diunduh pada hari Rabu, 4 November 2015, pukul 9:20 WIB.

Dani Elpah. Titik Singgung Kewenangan Antara Peradilan Tata Usaha Negara
Dengan Peradilan Umum Dalam Sengketa Pertanahan. Laporan
Penelitian. Jakarta: Puslitbangkumdil Balitbangkumdil MARI, 2014.
38

Paulus Hadisuprapto, Metode Penelitian Hukum Normatif: Pendekatan,


Bahan-Bahan Hukum, Teknik Pengumpulan Bahan-Bahan Hukum
dan Analisis Bahan-Bahan Hukum, Makalah disajikan dalam Forum
Komunikasi Pascasarjana Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya Malang, tanggal 10 Mei 2008.

Philipus M. Hadjon. Pengkajian Ilmu Hukum, Paper. Penataran dan


Lokakarya Sehari Menggagas Format Usulan dan laporan Penelitian
Hukum Normatif, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang 1997.

Mahmud Mulyadi. Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif


Criminal Policy (Corruption Reduction In Criminal Policy
Perspective), Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 8 No. 2. Jakarta: Direktorat
Jenderal Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia, Juni 2011.

Robertson-Snape, Fiona. Corruption, Collusion and Nepotism in Indonesia,


Scholarly Journals, ProQuest Research Library. London: Taylor & Francis
Ltd., 1999, URL Dokumen: http://search.proquest.com/docview/219770
131?accountid=46437, diakses tanggal 29 September 2014, pukul 01:40
WIB.

Yusuf Buchari, Titik Singgung Kewenangan Mengadili, Artikel. Dibuat pada


Selasa, 10 Februari 2009 10:27. Sumber http://www.pa-kendal.go.id/
beranda-mainmenu-1-1/artikel/artikel/titik-singgung-kewenangan-meng-
adili, diunduh pada hari Selasa, 1 Desember 2015, pukul 09:52 WIB.

Wahyudi Thohary, dkk.. Survey Persepsi Korupsi 2015. Laporan Penelitian.


Tanpa Tempat Terbit: Danish Royal Embassy, 2015.

Kamus:

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan


Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), Kamus Versi
Online/Daring (Dalam Jaringan), kbbi.web.id/.

Black, Henry Campbell. Blacks Law Dictionary, Revised Fourth Edition. ST.
Paul, Minn.: West Publishing, 1968.

Echols, John M. dan Hasan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:


Gramedia, 1977.

Susi Moeimam dan Hein Steinhauer. Kamus Belanda-Indonesia. Jakarta:


Gramedia Pustaka, 2005.
39

Wijowasito. Kamus Umum Belanda Indonesia. Jakarta: Iktiar Baru, 1999.

Media Online:

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5514fdcf7f91b/uu-administrasi-peme-
rintahan-trigger-berantas-korupsi, diunduh tanggal 13 April 2015, 11:14
WIB.

Anda mungkin juga menyukai