Anda di halaman 1dari 12

TEORI BELAJAR PIAGET

Pendahuluan

Dewasa ini masih banyak ditemukan di sekolah-sekolah bahwa strategi

pembelajaran di kelas masih didominasi oleh paham strukturalisme atau

behaviorisme atau objektivisme yang tujuannya agar siswa mengingat informasi

faktual. Buku teks dirancang, siswa membaca atau diberi informasi, lalu terjadi

proses memorisasi. Demikian pula tujuan pembelajaran dirumuskan sejelas mungkin

untuk keperluan merekam informasi. Pelaksanaan pembelajaran dilakukan dengan

mengikuti urutan kurikulum secara ketat. Aktifitas belajar mengikuti buku teks.

Tujuan pembelajaran menekankan pada penambahan pengetahuan. Demikian pula,

seseorang dikatakan telah belajar apabila ia mampu mengungkapkan kembali apa

yang telah dipelajarinya.

Paham konstruktivisme tidak demikian halnya. Manurut paham ini,

pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas

melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak terjadi begitu saja.. Pengetahuan

bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan

diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui

pengalaman nyata. Oleh karena itu, pengetahuan adalah konstruksi manusia dan

secara konstan manusia mengalami pengalaman-pengalaman baru, karena itu

pengetahuan tidak pernah stabil. Pemahaman yang kita peroleh senantiasa


bersifat tentatif dan tidak lengkap. Pemahaman kita akan semakin mendalam

dan kuat jika diuji melalui pengalaman-pengalaman baru.

Dalam proses pembelajaran matematika, siswa perlu dibiasakan

untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan

bekerja dengan ide-ide.Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan

pada siswa. Siswa harus dapat mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka

sendiri. Ini sesuai dengan esensi dari teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa

harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain,

dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri.

Dengan dasar itu, pembelajarann matematika harus dikemas menjadi proses

mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran

matematika sangat diharapkan siswa membangun sendiri pengetahuan mereka

melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar (Labinowiez,1985;

Confrey,1994}.

Salah satu tokoh pencetus kontruktivisme adalah Jean Piaget. Jean Piaget

sering disebut ahli ilmu jiwa dan Biologi dari Swiss. Dari hasil penelitianya itu

timbullah teori belajarnya yang biasa disebut teori perkembangan mental atau teori

kognitif. Teori ini menetapkan ragam dari tahap-tahap perkembangan intelektual

manusia dari lahir sampai dewasa serta ciri-cirinya dari setiap tahap itu (Ruseffendi,

2006: 132).
Teori Belajar Piaget

Pandangan konstruktivisme, bahwa pengetahuan tumbuh dan berkembang

melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat

apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Menurut Piaget(1980), bahwa manusia

memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-

masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda. Pengalaman yang sama bagi

beberapa orang akan dimaknai berbeda-beda oleh masing-masing individu dan

disimpan dalam kotak yang berbeda. Setiap pengalaman baru dihubungkan dengan

kotak-kotak (struktur pengetahuan) dalam otak manusia. Struktur pengetahuan

dikembangkan dalam otak manusia melalui dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi.

Asimilasi, maksudnya struktur pengetahuan baru dibuat atau dibangun atas dasar

struktur pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi, maksudnya struktur pengetahuan

yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung dan menyesuaikan dengan hadirnya

pengalaman baru.

Menurut Piaget (Ruseffendi, 2006 : 133) ada tiga dalil pokok dalam

perkembangan mental manusia, yaitu :

1. Perkembangan intelektual terjadi melaui tahap-tahap beruntun yang selalu

terjadi dengan urutan yang sama.

2. Tahap-tahap itu didefinisikan sebagai kluster dari operasi-operasi mental yang

menunjukkan adanya tingkah laku intelektual


3. Gerak melalui tahap-tahap itu dilengkapkan oleh adanya keseimbangan

(ekuilibration) proses pengembangan yang menguraikan tentang in interaksi

antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).

Disamping itu ada empat konsep dasar Piaget yang dapat diaplikasikan pada

pendidikan matematika, yang berimplikasi pada organisasi lingkungan pendidikan,

isi kurikulum dan urut-urutannya, metode mengajar, dan evaluasi. Keempat konsep

dasar tersebut adalah: (1) Skemata, (2) asimilasi, (3) akomodasi, dan (4) ekuilibrium

(Senduk, 1985: 10-16)

1. Skemata

Manusia selalu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Manusia

cenderung mengorganisasikan tingkahlaku dan berpikirnya. Hal itu mengakibatkan

adanya sejumlah struktur psikologis yang berbeda bentuknya pada setiap fase atau

tingkatan perkembangan tingkah laku dan kegiatan berpikir manusia. Struktur

ini disebut struktur pikiran (intellectual scheme). Dengan demikian, pikiran

harus memiliki suatu struktur yaitu skema yang berfungsi melakukan adaptasi

dengan lingkungan dan menata lingkungan itu secara intelektual.

Secara sederhana, skemata dapat dipandang sebagai kumpulan konsep atau

kategori yang digunakan individu ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya

(Senduk, 1985 : 10). Skemata itu senantiasa berkembang. Artinya, semasa kecil

seorang anak memiliki beberapa skemata saja, tetapi setelah beranjak dewasa

skematanya secara berangsur-angsur menjadi lebih luas, lebih kompleks, dan

beragam. Perkembangan ini dimungkinkan oleh stimulus-stimulus yang dialaminya


yang kemudian diorganisasikan dalam pikirannya. Piaget mengatakan bahwa

skemata orang dewasa berkembang dari skemata anak melalui proses adaptasi sampai

pada penataan atau organisasi. Makin mampu seseorang membedakan satu stimulus

dengan stimulus lainnya, makin banyak skematanya. Dengan demikian, skemata

adalah struktur kognitif yang selalu berkembang dan berubah. Proses yang

menyebabkan adanya perubahan itu adalah asimilasi dan akomodasi.

2. Asimilasi

Asimilasi dimaksudkan sebagai penyerapan informasi baru ke dalam pikiran

(Ruseffendi, 2006 : 133). Proses asimilasi ini dilakukan dengan jalan memadukan

stimulus atau persepsi kedalam skemata atau perilaku yang telah ada. Misalnya,

seorang anak belum pernah diperkenalkan/diajarkan tentang persamaan kuadrat: ax2

+ bx + c = 0, tetapi ia telah diperkenalkan/diajarkan persamaan linear. Dengan

demikian anak itu telah memiliki ‘skemata persamaan linear’ yaitu tentang

pengertian persamaan linear, bentuk umum persamaan linear (ax + b = c), dan teknik

penyelesaiannya. Tetapi belum memiliki ‘skemata persamaan kuadrat’. Ketika ia

melihat persamaan kuadrat, stimulus ‘persamaan kuadrat’ yang dialaminya akan

diolah pada pikirannya, dicocok-cocokkan dengan skemata-skemata yang telah ada

dalam struktur mentalnya. Mungkin saja skemata yang ada atau yang terdekat dengan

karakteristik ‘persamaan kuadrat’ itu adalah skemata ‘persamaan linear’, oleh karena

itu ‘persamaan kuadrat’ dikatakannya ‘persamaan linear’. Ketika diperkenalkan

persamaan kuardat dan dipahaminya bahwa persamaan kuadrat itu bukan persamaan
linear, maka terbentuklah skemata ‘persamaan kuadrat’ dalam struktur pikiran anak

itu.

Asimilasi pada dasarnya tidak mengubah skemata, tetapi mempengaruhi atau

memungkinkan pertumbuhan skemata. Dengan demikian, asimilasi adalah proses

kognitif individu dalam usahanya untuk mengadaptasikan diri dengan lingkungannya.

Asimilasi terjadi secara kontinu, berlangsung terus menerus dalam perkembangan

kehidupan intelektual anak.

3. Akomodasi

Terkadang seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru

dengan skema yang telah dimilikinya. Hal ini terjadi karena pengalaman yang baru

itu tidak cocok dengan skema yang sudah ada. Dalam keadaan seperti ini seseorang

akan mengadakan akomodasi.

Akomodasi adalah menyusun kembali struktur fikiran karena adanya informasi

baru, sehingga informasi itu mempunyai tempat (Ruseffendi, 2006 : 133). Proses

kognitif tersebut menghasilkan terbentuknya skemata baru dan berubahnya skemata

lama. Disini nampak terjadi perubahan secara kuantitatif. Jadi, pada hakekatnya

akomodasi menyebabkan terjadinya perubahan atau pengembangan skemata. Dengan

kata lain, asimilasi bersama-sama akomodasi secara terkoordinasi dan terintegrasi

menjadi penyebab terjadinya adaptasi intelektual dan perkembangan struktur

intelektual. Menurut Piaget, proses asimilasi dan akomodasi itu terus berlangsung

dalam diri seseorang.


4. Ekuilibrium (Keseimbangan)

Dalam perkembangan kognitif, diperlukan keseimbangan antara asimilasi dan

akomodasi . Proses ini disebut ekuilibrum, yaitu mengatur keseimbangan proses

asimilasi dan akomodasi, sedangkan disekuilibrum adalah keadaan tidak seimbang

antara asimilasi dan akomodasi. Ekuilibrasi adalah proses bergerak dari keadaan

disekuilibrum ke ekuilibrum. Proses tersebut berjalan terus dalam diri seseorang

melalui proses asimilasi dan akomodasi. Ekuilibrasi membuat seseorang dapat

menyatukan pengalaman luar dengan skema. Bila terjadi ketidakseimbangan,

seseorang dipacu untuk mencari keseimbangan yang baru dengan asimilasi dan

akomodasi.

Menurut teori Piaget, perkembangan mental manusia itu dapat dikelompokkan

dalam empat tahap : (1) tahap sensori motor (umur sekitar 0 - 2 tahun), tahap

preoperasi(umur sekitar 2 - 7 tahun), (3) tahap operasi konkrit (umur sekitar 7-11 atau

12) dan tahap operasi formal(umur sekitar 11 tahun sampai dewasa)(Ruseffendi, 2006

: 134). Perkembangan kognitif manusia ini tumbuh secara kronologis. Dengan kata

lain setiap manusia itu akan mengalami perkembangan mental dengan urutan seperti

di atas dan semuanya akan dilalui. Perbedaan yang terjadi hanya mengenai waktu;

terjadinya itu ada yang cepat dan ada yang lambat.

Kontruktivisme Dalam Pemebelajaran Matematika

Pembelajaran yang mendasarkan pada prinsip konstruktivisme, menganjurkan

pada guru untuk tidak mengajarkan konsep secara jadi. Tetapi sebuah proses belajar

yang menuntut guru untuk mendorong siswanya agar membangun atau menemukan
konsep dengan cara mereka sendiri, sehingga ia meyakini cara yang dilakukan itu

adalah benar dan masuk akal.

Pembelajaran matematika dengan prinsip konstruktivisme, mengarahkan siswa

kepada aktivitas seperti mengobservasi atau mengeksplorasi. Proses pembelajaran

yang menerapkan inquiri mengupayakan penciptaan situasi yang mendorong siswa

untuk dapat berperan seperti seorang ilmuwan. Mengobservasi atau mengeksplorasi

merupakan aktivitas awal yang dilakukan siswa dalam memahami dan mendalami

sebuah persoalan dalam rangka mencari penyelesaiannya. Mendengar dan berbicara

adalah proses interaksi diantara siswa, seperti membicarakan berbagai strategi

penyelesaian, bagaimana masalah diselesaikan, mengkritisi jawaban yang telah ada

sehingga diperoleh jawaban yang lebih baik atau mungkin aktivitas berupa kerja

kelompok kecil, diskusi, dan melakukan pekerjaan yang diawali dengan sebuah

masalah (problem centered approach).

Belajar matematika bukan sebuah proses pemberian sejumlah konsep atau

algoritma/aturan oleh guru kepada siswa, melainkan sebuah proses mengorganisasi

fakta, konsep, prinsip menjadi sebuah susunan konsep baru melalui aktivitas fisik

maupun mental menurut kemampuan atau cara masing-masing siswa. Begitu pula

proses menyelesaikan tugas-tugas matematika di kelas merupakan proses

mengkonstruksi secara aktif (Steeflan (1991) dalam Widyana, 2004 : 14). Berkenaan

dengan hal ini, Handbury (Herawaty, et.al, 2004 : 21) mengemukakan sejumlah

aspek yang berkaitan dengan pembelajaran matematika, yaitu (1) siswa

mengkontruksi pengetahuan matemátika dengan cara mengeintegrasikan ide yang


mereka miliki, (2) matematika menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3)

strategi siswa lebih bernilai , dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi

dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temanya.

Menurut Hudojo (1998: 7-8) ciri-ciri pembelajaran matematika dalam

pandangan konstruktivisme adalah sebagai berikut:

1. Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang

telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses

pembentukan pengetahuan.

2. Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua

mengerjakan tugas yang sama, misalnya satu masalah dapat dikerjakan

dengan berbagai cara

3. Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan

dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya memahami konsep

matematika melalui pengalaman sehari-hari.

4. Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya

transmisi sosial yaitu terjadi interaksi dan kerja sama seorang dengan orang

lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerja sama antara

siswa, guru, dan siswa-siswa.

5. Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tulisan

sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.

6. Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga matematika menjadi

menarik dan siswa mau belajar.


Penutup

Piaget adalah bapak psikologi kognitif, memandang bahwa pengetahuan

terbentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi. Maksudnya, apabila pada

seseorang diberikan suatu informasi itu langsung berintegrasi (berasimilasi) dengan

struktur kognitif yang sudah ada dan diperoleh pengetahuan baru. Sebaliknya, apabila

informasi itu belum cocok dengan struktur kognitif yang telah dimiliki orang tersebut,

maka struktur kognitif yang sudah ada direstrukturisasi sehingga terjadi penyesuaian

(akomodasi) kemudian diperoleh pengetahuan baru.

Teori belajar kontruktivisme dipelopori oleh Piaget. Menurut Piaget, dalam

proses pembelajaran konstruktivisme, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka

melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Hal ini berarti, siswa

tidak sekedar meniru dan membentuk bayangan dari pengetahuan yang diamati atau

diajarkan oleh guru, tetapi secara aktif menyeleksi, menyaring, memberi arti, dan

menguji kebenaran atas informasi yang diterimanya. Dengan kata lain pengetahuan

yang dikonstruksi siswa merupakan hasil interpretasi siswa itu sendiri terhadap

peristiwa atau informasi yang diterimanya.


DAFTAR PUSTAKA

Confrey, J. (1994). A Theory of Intellectual Development (Part. I). For the Learning
of Mathematics, 14 (3), XIV, 2-8.

Herawati, et.al. (2004). Penerapan Konsep-konsep Psikologi Kognitif dalam


Pembelajaran Matematika (Makalah). Bandung : SPs UPI Bandung.

Hudojo, H. (1998). Pembelajaran Matematika menurut Pandangan Konstruktivisme


(Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika PPS
IKIP Malang). Malang

Labinowicz, E.(1985). Learning from Children: New Beginnings for Teaching


Numerical Thinking: A Piagetian Approach. Menlo Park, CA: Addison-
Wesley.

Piaget, J. (1980). Adaptation and Intelligence: Organic Selection and Phenocopy.


Chicago: University of Chicago Press.

Roeseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan


Kompetensi dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA.
Bandung: Tarsito

Senduk, A.G. (1985). Teori Perkembangan Intelektual Jean Piaget. Bandung: FPS
IKIP Bandung.

Windayana, H. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi


Matematika Siswa SD Melalui Pembelajaran Pembuatan Konteks. Makalah :
SPs UPI Bandung
Lambertus
NIM: 0706855

Anda mungkin juga menyukai