PERKEMBANGAN KOGNITIF
Dosen:
Dr.Abadi,M.Sc.
Dr. Siti Khabibah, M.Pd
Oleh
Andi Mariani Ramlan (21070936018)
Ari Suningsih (21070936019)
Pendahuluan
Teori Vygotsky
Lev Vygotsky (1896 -1934) adalah seorang psikolog asal Rusia yang dikenal atas
kontribusinya dalam teori perkembangan anak. Salah satu hasil kerjanya yang dikenal di bidang
psikologi anak adalah merumuskan konsep "zone of proximal development". Vygotsky
mempunyai teori perkembangan kognitif yang disebut Teori Sosiokultural (the sociocultural
theory). Sama halnya dengan Piaget, Vygotsky banyak membahas tentang pertumbuhan dan
perkembangan manusia. Kedua tokoh ini memiliki sudut pandang yang khas terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak.
Sudut pandang Vygotsky terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak diwarnai oleh
lingkungan social atau budaya, maka pendekatan konstruktivisnya disebut dengan konstruktivis
social (social constructivist). Tidak seperti Piaget yang beranggapan bahwa anak secara
individual aktif mengkonsturk pengetahuannya melalui interaksi dengan lingkungannya. Piaget
lebih menekannya interaksi anak dengan lingkungan fisik. Sedikit berbeda dengan Piaget,
Vygotsky beranggapan bahwa anak mengkonstruk pengetahuannya dalam sebuah kontek social.
Anak mengkonstruk secara aktif pengetahuanya secara mandiri dalam konteks interaksi dengan
pengasuh, keluarga atau komunitas dan masyarakat (Brewer, 2007, p. 15).
Vygotsky percaya bahwa Bahasa memiliki peran penting dalam perkembangan kognitif
anak. Bahasa sebagai alat komunikasi yang digunakan untuk berinteraksi dengan orang-orang
yang ada dilingkungan sosialnya (pengasuh, orang tua, teman). Bahasa akan banyak membantu
anak menyelesaikan persoalan-persoalannya yang tidak dapat ia selesaikan dengan sendiri.
Dengan Bahasa, anak akan mengkomunikasikan permasalahan-permasalahan yang dia hadapi
kepada orang lain yang dia anggap memiliki kemampuan untuk membantunya menyelesaikan
masalah yang dihadapinya. Salah satu element dari teori Vygotsky yaitu Zone of proximal
development (ZPD).
ZPD adalah celah antara apa yang anak dapat kerjakan secara mandiri dan apa yang dia
tidak dapat dikerjakan bahkan dengan bantuan seseorang (seperti orang dewasa atau teman
sebaya) yang lebih terampil dari dia. (Brewer, 2007, p. 16). Hal yang sama dikemukakan oleh
Santrock (2010: 190) yang menyatakan bahwa ZPD yaitu istilah yang digunakan oleh Vygotsky
untuk berbagi tugas yang terlalu sulit untuk dikuasai oleh anak sendiri tetapi dapat dipelajari
dengan bimbingan dan bantuan orang dewasa atau anak-anak yang lebih terampil. Berdasarkan
penjelasan tersebut diatas dapat diketahui bahwa ada zona dimana anak bisa belajar secara
mandiri tanpa bantuan orang lain tapi disisi lain apabila anak tidak mampu belajar secara mandiri
diperlukan bantuan orang lain. Untuk meningkatkan keterampilan atau kemampuan anak kearah
yang lebih tinggi diperlukan bantuan orang lain yang memiliki kemampuan lebih tinggi darinya.
Dalam konteks belajar materi yang akan ajarkan harus sesuai dengan tingkat kemampuan yang
anak miliki. Element kedua dari teori Vygotsky yaitu Scaffolding. Scaffolding berarti merubah
tingkat dukungan. Pada saat anak belajar seorang guru, orang tua agar menyesuaikan materi
tersebut dengan kinerja anak saat ini. Saat anak belajar konsep baru, orang dewasa (guru, orang
tua) dapat terlibat langsung untuk membantu anak belajar menguasai konsep baru tersebut
Konsep APOS
Teori APOS adalah teori yang diperkenalkan oleh Dubinsky. Menurut Dubinsky teori
APOS menguraikan tentang bagaimana kegiatan mental seorang anak yang berbentuk aksi
(actions), proses (processes), objek (objects), dan skema (schema) ketika mengkonstruksi konsep
matematika (Dubinsky, 2001). Teori APOS adalah suatu teori pembelajaran yang
mengintegrasikan penggunaan komputer, belajar dalam kelompok, dan memperhatikan
konstruksi mental yang dilakukan oleh siswa dalam memahami suatu konsep matematis
(Sholihah & Mubarok, 2016:127).
Teori APOS diawali dengan hipotesis yang dinyatakan oleh Dubinsky & McDonald
(2001) yakni: “Pengetahuan matematika individu adalah kecenderungannya untuk menanggapi
persepsi situasi matematika yang bermasalah dengan membangun tindakan mental, proses, dan
objek dan mengaturnya dalam skema untuk memahami situasi dan memecahkan masalah.
Mengacu pada konstruksi mental ini disebut Teori APOS”. Menurut (Anwar, 2016) sudah
banyak dilakukan penelitian tentang penggunaan teori APOS pada pembelajaran tingkat tinggi,
terutama yang berkaitan dengan peningkatan hasil belajar secara umum.
Pembelajaran matematika di sekolah banyak dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme.
Konstruktivisme saat ini sangat populer tidak hanya dalam bidang pendidikan, juga dalam
bidang psikologi perkembangan, ilmu sosial, psychology of gender, dan teknologi komputer.
Konstruktivisme lahir dari gagasan Piaget dan Vygotsky. Keduanya menekankan bahwa
perubahan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami sebelumnya diolah
melalui suatu proses disequilibrium dalam upaya memahami informasi-informasi baru.
Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan merupakan hasil konstruksi kognitif melalui
aktivitas seseorang. Menurut pandangasn konstruktivisme, pengetahuan perlu dikonstruk atau
dibangun sendiri oleh individu yang ingin tahu atau perlu memahaminya (Mulyono, 2011:37).
Teori APOS muncul dengan tujuan untuk memahami mekanisme abstraksi reflektif yang
diperkenalkan oleh Piaget yang menjelaskan perkembangan berpikir logis matematika untuk
anak-anak. Ide tersebut kemudian dikembangkan untuk konsep matematika yang lebih luas,
terutama untuk membentuk perkembangan berpikir logis bagi mahasiswa. Teori APOS juga
dapat digunakan secara langsung dalam membandingkan keberhasilan atau kegagalan individu
yang berkaitan dengan konstruksi mental yang telah terbentuk untuk suatu konsep matematika.
Misalkan ada dua individu yang kelihatannya sama-sama menguasai suatu konsep matematika,
Dengan teori APOS dapat dideteksi lebih lanjut siapa yang penguasaan konsep matematikanya
lebih baik, yaitu jika seseorang dapat menjelaskan lebih lanjut konsep tersebut maka ia berada
pada tingkat yang lebih baik daripada yang satunya. Disamping itu, jika konstruksi mental
APOS, yaitu action, process, object, dan schema untuk suatu konsep matematika telah
dikonstruksi oleh individu dengan baik, maka dapat dipakai untuk membuat prediksi yang
mantap dari individu tersebut akan berhasil menggunakan konsep matematika tersebut dalam
menyelesaikan suatu persoalan (Khairani, 1980:48-49).
Bagaimana individu mengkonstruk sebuah konsep matematika? Teori APOS muncul
sebagai upaya untuk mempelajari hal ini. Teori ini memperluas ide Piaget tentang abstraksi
reflektif. Teori ini mengemukakan bahwa individu mengkonstruksi konsep matematika melalui
empat tahap, yaitu: aksi, proses, objek, dan skema (Mulyono, 2011:37).
Ada dua macam abstraksi berdasarkan teori Piaget, yaitu: abstraksi sederhana dan
abstraksi reflektif. 1) Abstraksi sederhana adalah abstraksi yang didasarkan pada objek itu
sendiri. Dalam abstraksi ini, orang menemukan pengertian sifat-sifat objek itu sendiri secara
langsung. Pengetahuan tersebut merupakan abstraksi langsung atas objek itu yang juga disebut
pengetahuan eksperimental atau empiris. 2) Abstraksi reflektif adalah abstraksi yang didasarkan
pada koordinasi, relasi, operasi, dan penggunaan yang tidak langsung keluar dari sifat-sifat dari
objek itu sendiri, tetapi dari tindakan terhadap objek itu. Inilah yang disebut abstraksi logis atau
matematis. Misalnya, berhadapan dengan 7 kelereng, seorang anak menghitung kelereng itu
sampai 7. Ia menjajarkannya dan menghitungnya, tetap sama 7. Ia meletakkan kelereng di dalam
kaleng, dihitung lagi, hasilnya tetap 7. Ia mengubah-ubah susunan kelereng dan dihitung,
hasilnya tetap 7. Anak itu menemukan prinsip komutatif bahwa jumlah kelereng tetap sama
meskipun susunannya diubah-ubah. Ia juga menemukan pengertian tentang angka 7. Sifat
tersebut tidak terdapat pada kelereng, tetapi pada aksi terhadap kelereng. Pengetahuan ini adalah
pengetahuan matematis, bukan fisis. Teori APOS ini muncul sebagai usaha untuk memahami
mekanisme dari abstraksi reflektif yang diperkenalkan oleh Piaget untuk menggambarkan
perkembangan berpikir logis pada anak-anak, dan mengembangkan ide ini ke konsep matematika
yang lebih lanjut (Mulyono, 2011:38-39).
Teori Brunner
Teori belajar penemuan menurut Bruner merupakan belajar untuk pengembangan
kognitif peserta didik. Jika Piaget menyatakan pengembangan kognitif menyebabkan
perkembangan bahasa peserta didik, sebaliknya menurut Bruner perkembangan bahasa peserta
didik besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif. Ini sangat beralasan karena bahasa
adalah alat untuk membuka cakrawala pengetahuan dunia. Menurut Bruner perkembangan
kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat kondisi
lingkungan. Yang pertama tahap enaktif, yaitu tahap dimana seseorang melakukan aktivitas-
aktivitas dalam usahanya memahami lingkungan, tahap ini lebih didominani pada usia anak 5 s.d
7 tahun, misalkan seorang anak secara enaktif mengetahui bagaimana mengendarai sepeda
motor, yang kedua tahap ikonik yaitu tahap dimana seseorang melihat dunia melalui gambar-
gambar dari visualisasi verbal, misalkan pada pengenalan konsep pira mida dll, dan yang ketiga
tahap simbolik yaitu dahap dimana gagasan-gagasan abstrak banyak dipengaruhi oleh bahasa dan
logika, misalkan pada pengenalan timbangan melalui permainan jungkak-jungkik (Halamid,
2007:34)
Menurut Bruner untuk mengembangkan kognitif siswa perlu proses transformasi
informasi yang benar secara bertahap, tahapan-tahapan terebut menurutnya ada tiga yaitu sebagai
berikut: 1) Perolehan informasi, yaitu tahap permulaan, dimana infromasi diterima dari luar,
informasi secara sederhana diartikan adalah sebagai ilmu pengetahuan; 2) Pengolahan informasi,
yaitu penyesuaian informasi-informasi yang telah diperoleh berupa pengklasifikasian secara
objeltif; 3) Checking atau mengadakan “test kecukupan” atau kebenaran terhadap informasi yang
telah diolahnya tersebut (Mahala, 2002:21).
Berbagai sumber yang ada, maka teori belajar penemuan yang ditemukan oleh Bruner
adalah memahami konsep, arti, dan hubungan melalui proses intuitif (yang disesuiakan dengan
kemampuan masing-masing) untuk akhirnya sampai kepada sesuatu kesimpulan yang disebut
dengan istilah discovery learning. Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan
pencarian pengetahuan secara aktif oleh pelajar, dan dengan sendirinya memberikan hasil yang
paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah, menghasilkan pengetahuan
yang benar-benar bermakna bagai pembelajaran khususnya bagi peserta didik. Selain teori
discovery, teori ini juga dikenal sebagai teori intruksi yang dimabil dari makna proses perolehan
kognitif itu sendiri. Menurutnya suatu teori intruksi hendaknya meliputi beberapa hal berikut: a)
Pengalaman-pengalaman optimal bagi siswa untuk mau dan dapat belajar; b) Penstrukturan
pengetahuan untuk pemahaman optimal; c) Perincian urutan-urutan penyajian materi pelajaran
secara optimal; d) Bentuk dan pemberian reinforsemen (hadiah dan hukuman) (Buto, 2010:61-
62).
Konsep PMRI
Di Indonesia digunakan nama selengkapnya “Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia” (PMRI) dalam bentuk pendek adalah “Pendidikan Matematika Realistik”, sedangkan
secara operasional juga sering disebut “Pembelajaran Matematika Realistik” (PMR). Dengan
demikian dapat kiranya didefinisikan bahwa PMRI adalah Pendidikan Matematika sebagai hasil
adaptasi dari Realistic Mathematics Education yang TELAH DISELARASKAN dengan kondisi
budaya,geografi dan kehidupan masyarakat Indonesia umumnya.
Mempelajari pembelajaran ini yang juga sejalan dengan pembelajaran konstruktivis,
pembaca diharapkan dapat memahami matematika dalam pendidikan yang harus memperhatikan
perkembangan jiwa anak dan matematika dalam penerapannya. PMR sangat memperhatikan
bahwa objek kajian matematika adalah abstrak, tidak dapat ditawar, sedangkan perkembangan
jiwa anak menuntut adanya langkah-langkah yang mengantar untuk memahami yang abstrak itu.
Langkah-langkah itu adalah melalui hal-hal konkret dulu setapak demi setapak
mengarah ke abstrak.
Pendidikan Matematika Realistik (PMR) yang dipelopori oleh Hans Freudenthal
merupakan inovasi pendidikan matematika disebut juga inovasi pendekatan pembelajaran
matematika yang sejalan dengan teori konstruktivis. Dalam PMR lebih diperhatikan adanya
potensi pada diri anak atau siswa yang justru harus dikembangkan. Keyakinan guru akan
adanya potensi itu akan mempunyai dampak kepada bagaimana guru harus mengelola
pembelajaran matematika. Itupun juga akan berdampak kepada bagaimana siswa membiasakan
melakukan kegiatan yang diharapkan muncul sesuai kemampuan diri yang dimilikinya.
Keduanya akan berpengaruh kepada budaya guru dalam “mengajar” dan bagaimana budaya
anak atau siswa harus “belajar” (Soedjadi, 2007:1-2).
(Cahyono, 2013:173-189)
DAFTAR PUSTAKA.
Anshari, E. S.. 1987. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu Offset. cet. Vii.
Anwar, Y. S. (2016). Penerapan Teori Apos (Action, Process, Object, Schema) untuk
Meningkatkan Pemahaman Konsep Program Linier Bagi Mahasiswa Program Studi
Pendidikan Matematika Tahun Akademik 2015/2016. Paedagoria, 14(2), 53–60.
Buto, Z. A. (2010). Implikasi Teori Pembelajaran Jerome Bruner dalam Nuansa Pendidikan
Modern. Millah, ed(khus), 55–69. https://doi.org/10.20885/millah.ed.khus.art3
Dubinsky, E. (2001). Using a Theory of Learning in College.
Mulyono. (2011). Teori Apos dan Implementasinya dalam Pembelajaran. JMEE, I(1), 10–22.
Rusuli, I., & Daud, Z. F. M. (2015). Ilmu Pengetahuan dari John Locke ke al-Attas. Jurnal
Pencerahan, 9(1), 12–22.
Sholihah, U., & Mubarok, D. A. (2016). Analisis Pemahaman Integral Taktentu Berdasarkan
Teori Apos (Action, Process, Object, Scheme) Pada Mahasiswa Tadris Matematika (TMT)
IAIN Tulungagung. Cendekia, 14(1), 123–136.
Surajiyo, & Sriyono. (2017). Struktur Pengetahuan Ilmiah dan Sikap Ilmiah Ilmuwan. Prosiding
Diskusi Panel Pendidikan “Menjadi Guru Pembelajar,” April, 12–22.