Anda di halaman 1dari 23

TUGAS KELOMPOK 4

MATA KULIAH PSIKOLOGI KOGNITIF

PERKEMBANGAN KOGNITIF

Dosen:
Dr.Abadi,M.Sc.
Dr. Siti Khabibah, M.Pd

Oleh
Andi Mariani Ramlan (21070936018)
Ari Suningsih (21070936019)

PROGAM STUDI S3 PENDIDIKAN MATEMATIKA


PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2021
PERKEMBANGAN KOGNITIF

Pendahuluan

Proses konstruksi pengetahuan dimulai sejak dini di lingkungannya yang terus


berkembang seiring pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya sebagai suatu organisme yang
utuh. Sebagaimana aspek perkembangan lainnya, kognitif juga mengalami perkembangan tahap
demi tahap menuju kesempurnaan atau kematangannya. Sederhananya, kognitif dimengerti
sebagai kemampuan untuk berpikir lebih kompleks serta kemampuan melakukan penalaran dan
pemecahan masalah. Menurut teori konstruktivisme bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkan
begitu saja dari pikiran seseorang atau guru kepada siswanya, kecuali karena keaktifan siswa itu
sendiri dalam pembentukan pengetahuannya. Minat dalam pengembangan kognisi sepanjang
rentang hidup seseorang pada awalnya dirangsang oleh karya Jean Piaget dari Swiss dan
warisan teoretis ditinggalkan oleh karya-karya pemikiran Lev S. Vygotsky dari Rusia. dalam
bab ini disajikan akomodasi, assimilasi dan yang terkait dengan konstruksi pengetahuan,
pemahaman dan jenis-jenis pemahaman.

Jean Piaget (1896-1980)


Jean Piaget  (lahir di Swiss, 9 Agustus 1896 – meninggal 16 September 1980 pada
umur 84 tahun) adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan psikolog perkembangan Swiss, yang
terkenal karena hasil penelitiannya tentang anak-anak dan teori perkembangan
kognitifnya. Jean Piaget mengadopsi perspektif yang unik tentang cara terbaik untuk memahami
sifat pikiran orang dewasa adalah mempelajari aktivitas mental sejak lahir, mengamati
perkembangannya dan perubahan adaptasinya terhadap lingkungan. Jean Piaget mengembangkan
teori perkembangan kognitifnya berdasarkan penelitian yang bersubjek anak-anak.  Sehingga ia
dikenal atas Teori Pembelajaran Kognitif melalui Pengamatan (the theory of cognitive
observational learning).
Terkait dengan bagaimana anak mengkonstruk atau membangun pengetahuannya, Piaget
memiliki keyakinan bahwa anak dalam membangun pengetahuannya melalui interaksi dengan
lingkungannya. Anak bukanlah objek pasif dalam menerima pengetahuan, anak sangat aktif
dalam membangun pengetahuannya. Melalui interaksi anak dengan lingkungannya mereka terus
memperbaiki struktur mental yang dimilikinya sehingga tercipta struktur mental yang kompleks.
Ada tiga konsep yang digunakan oleh Piaget dalam mendeskripsikan proses kognitif anak
terbentuk yaitu asimilasi (assimilation), akomodasi (accommodation), dan ekuilibrium
(equilibrium), lebih lanjut (Brewer, 2007, p. 14) mendeskripsikan aspek-aspek yang terlibat
dalam proses terbentuknya kognitif pada anak yaitu skema (schemes), asimiliasi (assimilation),
akomodasi (accommodation), organisasi (organization) dan ekuilibrium (equilibrium).
Dalam teori Piaget, Scema (schemes) merupakan Tindakan atau representasi mental yang
mengatur pengetahuan. Skema-skema berkembang didalam otak anak didasarkan pada
pengalaman yang diperoleh anak. Skema yang berkembang pada anak meliputi skema yang
berkaitan dengan aktivitas fisik (physical activity) atau skema perilaku (behavior scheme) dan
skema yang berkaitan dengan aktivitas kognitif (cognitive activity) atau skema mental (mental
scheme) (Santrock, 2010, p. 172).

Asimilasi dan Akomodasi

Dalam teori Piaget, asimiliasi (assimilation) yaitu menempatkan informasi kedalam


skema atau kategori yang sudah ada. konsep asimilasi ini memberikan penjelasan yang mudah
dipahami untuk mendeskripsikan bagaimana anak mengkonstruk pengetahuannya. Asimilasi
juga diartikan sebagai proses dimana kita mengambil informasi dari dunia luar dan
mengasimilasikannya dengan pengetahuan dan perilaku yang ada. Bagaimana individu
berinteraksi dengan lingkungannya akan bergantung pada jenis struktur kognitif yang ada. Dalam
kenyataannya, seberapa besar lingkungan dapat dipahami, atau direspons, akan bergantung pada
berbagai skemata yang tersedia bagi individu. Dengan kata lain, struktur kognitif menentukan
apa aspek dari lingkungan fisik yang dapat “eksis” untuk individu. Proses merespons lingkungan
sesuai struktur kognitif seseorang dinamakan assimilation (asimilasi), yakni jenis pencocokan
atau penyesuaian antara struktur kognitif dengan lingkungan fisik. Asimilasi mengacu pada
menyesuaikan realita eksternal dengan struktur kognitif yang telah ada. Ketika kita
berinterpretasi, menganalisis, dan merumuskan, kita mengubah sifat realita untuk membuatnya
sesuai dengan struktur kognitif kita. Jelas, jika asimilasi adalah satu-satunya proses kognitif,
maka tak akan ada perkembangan intelektual sebab individu hanya akan mengasimilasikan
pengalamannya ke dalam struktur kognitif.
Proses penting kedua yang menghasilkan mekanisme untuk perkembangan intelektual
yaitu accomodation (akomodasi), proses memodifikasi struktur kognitif. Akomodasi adalah
mengubah struktur- struktur internal untuk memberikan konsistensi dengan realitas eksternal.
Kita berakomodasi ketika kita menyesuaikan ide-ide kita untuk memahami realita. Asimilasi dan
akomodasi berfungsi bersama-sama dalam menghadapi lingkungan (beradaptasi) pada semua
tingkat fungsi intelek. Misalnya bila bayi sudah tahu bahwa ia dapat menggengam setiap benda
yang dilihatnya. Namun bila benda itu besar, diperlukan akomodasi (penyesuaian) untuk dapat
menggenggam benda tersebut, misalnya dengan menggunakan kedua tangannya. Begitu
sebaliknya, bila ia menggenggam benda yang lebih kecil. Jadi apabila ia menyadari bahwa cara
berpikirnya bertentangan dengan kejadian lingkungan, ia akan mengorganisasikan cara berpikir
sebelumya. Reorganisasi inilah yang akan mengorganisasikan cara berpikir yang lebih tinggi
Akomodasi melibatkan perubahan (menyesuaikan) skema lama untuk memproses yang
baru informasi dan objek di lingkungan (Santrock, 2010: 172-173) Melalui asimilasi ini skema
anak yang memiliki kategori yang sama akan terus berkembang kearah yang lebih kompleks.
Skema-skema ini akan terus berkembang dan semakin kompleks apabila anak terus secara aktif
mengeksplorasi lingkungannya. Informasi yang diperoleh anak dari hasil eksplorasi akan
memperkaya struktur kognitif pada skema anak. Apabila dalam proses asimiliasi tidak ditemukan
skema yang cocok untuk menempatkan informasi baru yang diperoleh anak maka akan muncul
skema baru dalam otak anak untuk mengakomodasi informasi tersebut. Peristiwa seperti ini
dalam teori Piaget disebut dengan akomodasi (accommodation). Misalnya pada waktu
berinterkasi dengan lingkungan ada satu objek yang dilihatnya dan objek tersebut belum
diketahui sebelumnya atau hal baru, maka dia akan membetuk skema baru dalam otaknya untuk
mengakomodasi informasi baru tersebut.
Ekuilibrium (equilibrium) merupakan mekanisme yang diusulkan Piaget untuk
menjelaskan bagaimana anak-anak bergeser dari satu tahap berpikir ketahap berpikir berikutnya.
Pergeseran ini terjadi saat anak-anak mengalami konflik kognitif, atau disekuilibrium dalam
mencoba memahami lingkungannya (Santrock, 2010, p. 173). Ekuilibrium juga diartikan sebagai
keseimbangan yang dicapai setiap kali informasi atau pengalaman ditempatkan kedalam skema
yang sudah ada atau skema baru dibuat untuknya. Proses berpindahnya atau bergeraknya dari
disekuilibrium ke ekuilibrium disebut dengan ekuilibrasi (ekuilibration). Ekuilibrium terjadi
apabila ada suatu informasi baru yang diperoleh anak namun informasi tersebut menimbulkan
kebingungan pada anak atau memicu munculnya konflik kognitif, hal ini disebabkan karena
informasi baru tersebut merupakan objek yang dikenalnya namun karakteristik objek tersebut
tidak sesuai dengan informasi yang ada didalam skemanya.
Terjadinya disekuilibrium tentunya akan menambah informasi yang lebih banyak lagi
pada struktur mental anak dan hal ini akan mendorong terjadinya perubahan kognitif pada anak.
Proses kognitif sangatlah kompleks tidak sesederhana yang dijelaskan diatas, namun demikian
penjelasan diatas dapat memberikan informasi yang bermanfaat tentang bagaimana sebenarnya
proses kognitif tersebut bekerja pada diri seseorang. Berikut adalah diagram alir yang
menunjukkan teori Piaget:

Tahap-tahap Perkembangan Kognitif Piaget


Proses asimilasi dan akomodasi memengaruhi struktur kognitif. Perubahan struktur
kognitif merupakan fungsi dari pengalaman, dan kedewasaan anak terjadi melalui tahaptahap
perkembangan tertentu. Menurut Piaget, proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-
tahap perkembangan sesuai dengan umur. Pola dan tahap-tahapa ini bersifat hirarkhis, artinya
harus dilalui berdasarkan urutan tertantu dan seseorang tidak dapat belajar sesuatu yang berada
di luar tahap kognitif. Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif menjadi empat yaitu:

1). Tahap Sensorikmotor (Umur 0—2 tahun)


Tingkat sensori-motor menempati dua tahun pertama dalam kehidupan. Selama periode
ini, anak mengatur alamnya dengan indra (sensori) dan tindakannya (motor). Dalam tahapan
sensorikmotor, tindakan-tindakan anak spontan dan menunjukan usaha untuk memahami dunia.
Pertumbuhan kemampuan anak tampak dari kegiatan motorik dan persepsinya yang sederhana.
Periode ini ditandai dengan perubahan cepat. Anak-anak secara aktif berekulibrasi meskipun
levelnya masih sangat dasar. Struktur-struktur kognitif mereka dibangun dan diubah, dan
motivasi untuk melakukan hal ini sifatnya internal. Ciri pokok perkembangannya berdasarkan
tindakan dan dilakukan langkah demi langkah. Pada akhir tahapan sensorikmotor, anak-anak
telah mencapai perkembangan kognitif yang memadai untuk berlanjut ke karakteristik pikiran
konseptual-simbolik dari tahapan pra-operasional. Kemampuan yang dimilikinya antara lain: (a)
melihat dirinya sendiri sebagai makhluk berbeda dengan objek di sekitarnya; (b) mencari
ransangan melalui sinar lampu dan suara; (c) suka memperhatikan sesuatu lebih lama; (d)
mendefenisikan sesuatu dengan memanipulasinya; (e) memperhatikan objek sebagai hal yang
tetap, lalu ingin merubah tempatnya.

2) Tahap Praoperasional (umur 2—7 tahun)


Anak-anak pada tahapan pra- operasional mampu membayangkan masa mendatang dan
berpikir tentang masa yang telah lewat, meskipun persepsi anak masih sangat berorientasi pada
masa sekarang. Anak juga belum mapu berpikir dengan lebih dari satu dimensi pada suatu saat.
Anak-anak pada tahapan pra- operasional memerlihatkan ireversibilitas; yaitu ketika sesuatu
telah dilakukan, sesuatu tersebut tidak dapat diubah (misalnya; kotak yang telah diratakan tidak
bisa dibuat kotak lagi). Anak kesulitan membedakan fantasi dan kenyataan. Ciri pokok
perkembangan pada tahap ini adalah pada pengunaan simbol atau bahasa tanda, dan mulai
berkembangnya konsep-konsep intuitif. Tahap pra-operasional terdiri atas dua sub tahap. Sub
tahap pertama antara 2 hinga 4 tahun yang disebut subtahap pralogis (preoperasional). Pada
subtahap pralogis, penalaran anak adalah transduktif. Menurut Piaget, berpikir anak itu bukan
deduksi atau induksi. Anak bergerak dari khusus ke khusus, tanpa menyentuh umum. Anak itu
melihat hubungan hal hal tertentu yang sebenarnya tidak ada. Pada subtahap ini, anak telah
mampu menggunakan bahasa dalam mengembangkan konsepnya, walaupun masih sangat
sederhana. Maka sering terjadi kesalahan dalam memahami objek. Karakteristik tahap ini adalah:
(a) self counter nya sangat menonjol; (b) dapat mengklasifikasikan objek pada tingkat dasar
secara tunggal dan mencolok; (c) tidak mampu memusatkan perhatian pada objek-objek yang
berbeda; (d) mampu mengumpulkan barang- barang menurut kriteria, termasuk kriteria yang
benar; (e) dapat menyusun benda-benda secara berderet, tetapi tidak dapat menjelaskan
perbedaan antara deretan. Sub tahap kedua ialah antara 4—7 tahun yang disebut tingkat berpikir
intuitif. Anak telah memeroleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yan agak abstrak. Dalam
menarik kesimpulan sering tidak diungkapkan dengan kata-kata. Oleh sebab itu, pada usia ini
anak telah dapat mengungkapkan isi hatinya secara simbolik terutama bagi mereka yang
memiliki pengalaman yang luas. Karakteristik tahap ini adalah: (a) anak dapat membentuk kelas-
kelas atau kategori objek, tetapi kurang disadarinya; (b) anak mulai mengetahui hubungan secara
logis terhadap hal-hal yang lebih kompleks; (c) anak dapat melakukan sesuatu terhadap sejumlah
ide; (d) anak mampu memeroleh prinsip- prinsip secara benar.
Anak pada tingkat pra- operasional tidak dapat berpikir reversibel, yitu kemampuan
berpikir kembali pada titik permulaan, menuju pada satu arah dan mengadakan kompensasi
dengan menuju pada arah yang berlawanan. Anak pra- operasional tidak memunyai kemampuan
untuk memecahkan masalah yang memerlukan berpikir reversibel. Pikiran anak praoperasional
adalah irreversibel. Hal lain tentang anak praoperasional, yaitu sifat egosentris. Menurut Piaget
anak praoprasional bersifat egosentris, yang berarti anak itu memunyai kesulitan untuk menerima
pendapat orang lain. Selanjutnya anak praoperasional lebih memfokuskan diri pada aspek statis
tentang suatu peristiwa dari pada transformasi dari satu keadaan pada keadaan lain.

3) Tahap Operasional Konkret (umur— 11 tahun)


Tahap ini merupakan permulaan berpikir rasional, yang berarti anak memiliki operasi-
operasi logis yang dapat diterapkan pada masalah- masalah yang konkret. Tahapan operasional
konkret ditandai dengan pertumbuhan kognitif yang luar biasa dan merupakan tahapan formatif
dalam pendidikan sekolah, karena ini masanya bahasa dan penguasaan keterampilan dasar anak-
anak bertambah cepat secara dramatis. Anak mulai menunjukan beberapa pemikiran abstrak
meskipun biasanya didefenisikan dengan karakter-karakter atau tindakantindakan. Anak pada
tahap operasional konkret memerlihatkan pikiran yang sudah lebih tidak egosentris tetapi lebih
sosiosentris dalam berkomunikasi di mana bahasanya menjadi makin bersifat sosial, berusaha
mengerti orang lain, menerima pendapat orang lain dan menggunakan perasaan serta Jurnal
Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-9, Cetakan ke-20 41 gagasan mereka pada orang
dewasa dan teman-teman. Cara berpikir anak pada tahapan operasional konkret tidak lagi
didominasi oleh persepsi di mana anak dapat menggunakan pengalaman mereka sebagai acuan
dan tidak selalu bingung dengan apa yang mereka pahami.

4) Tahap operasional formal (umur 11—dewasa )


Tahapan operasional formal mengembangkan pikiran operasional konkret. Pikiran anak
pada tahapan ini tidak lagi hanya terfokus pada hal-hal yang dapat dilihat; anak mampu berpikir
tentang situasi-situasi hipotesis atau pengandaian. Kemajuan utama pada anak selama periode ini
adalah anak tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda atau peristiwa konkret karena anak
memunyai kemampuan untuk berpikir abstrak.

Teori Vygotsky
Lev Vygotsky (1896 -1934) adalah seorang psikolog asal Rusia yang dikenal atas
kontribusinya dalam teori perkembangan anak. Salah satu hasil kerjanya yang dikenal di bidang
psikologi anak adalah merumuskan konsep "zone of proximal development". Vygotsky
mempunyai teori perkembangan kognitif yang disebut Teori Sosiokultural (the sociocultural
theory). Sama halnya dengan Piaget, Vygotsky banyak membahas tentang pertumbuhan dan
perkembangan manusia. Kedua tokoh ini memiliki sudut pandang yang khas terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak.
Sudut pandang Vygotsky terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak diwarnai oleh
lingkungan social atau budaya, maka pendekatan konstruktivisnya disebut dengan konstruktivis
social (social constructivist). Tidak seperti Piaget yang beranggapan bahwa anak secara
individual aktif mengkonsturk pengetahuannya melalui interaksi dengan lingkungannya. Piaget
lebih menekannya interaksi anak dengan lingkungan fisik. Sedikit berbeda dengan Piaget,
Vygotsky beranggapan bahwa anak mengkonstruk pengetahuannya dalam sebuah kontek social.
Anak mengkonstruk secara aktif pengetahuanya secara mandiri dalam konteks interaksi dengan
pengasuh, keluarga atau komunitas dan masyarakat (Brewer, 2007, p. 15).
Vygotsky percaya bahwa Bahasa memiliki peran penting dalam perkembangan kognitif
anak. Bahasa sebagai alat komunikasi yang digunakan untuk berinteraksi dengan orang-orang
yang ada dilingkungan sosialnya (pengasuh, orang tua, teman). Bahasa akan banyak membantu
anak menyelesaikan persoalan-persoalannya yang tidak dapat ia selesaikan dengan sendiri.
Dengan Bahasa, anak akan mengkomunikasikan permasalahan-permasalahan yang dia hadapi
kepada orang lain yang dia anggap memiliki kemampuan untuk membantunya menyelesaikan
masalah yang dihadapinya. Salah satu element dari teori Vygotsky yaitu Zone of proximal
development (ZPD).
ZPD adalah celah antara apa yang anak dapat kerjakan secara mandiri dan apa yang dia
tidak dapat dikerjakan bahkan dengan bantuan seseorang (seperti orang dewasa atau teman
sebaya) yang lebih terampil dari dia. (Brewer, 2007, p. 16). Hal yang sama dikemukakan oleh
Santrock (2010: 190) yang menyatakan bahwa ZPD yaitu istilah yang digunakan oleh Vygotsky
untuk berbagi tugas yang terlalu sulit untuk dikuasai oleh anak sendiri tetapi dapat dipelajari
dengan bimbingan dan bantuan orang dewasa atau anak-anak yang lebih terampil. Berdasarkan
penjelasan tersebut diatas dapat diketahui bahwa ada zona dimana anak bisa belajar secara
mandiri tanpa bantuan orang lain tapi disisi lain apabila anak tidak mampu belajar secara mandiri
diperlukan bantuan orang lain. Untuk meningkatkan keterampilan atau kemampuan anak kearah
yang lebih tinggi diperlukan bantuan orang lain yang memiliki kemampuan lebih tinggi darinya.
Dalam konteks belajar materi yang akan ajarkan harus sesuai dengan tingkat kemampuan yang
anak miliki. Element kedua dari teori Vygotsky yaitu Scaffolding. Scaffolding berarti merubah
tingkat dukungan. Pada saat anak belajar seorang guru, orang tua agar menyesuaikan materi
tersebut dengan kinerja anak saat ini. Saat anak belajar konsep baru, orang dewasa (guru, orang
tua) dapat terlibat langsung untuk membantu anak belajar menguasai konsep baru tersebut

Konsep APOS
Teori APOS adalah teori yang diperkenalkan oleh Dubinsky. Menurut Dubinsky teori
APOS menguraikan tentang bagaimana kegiatan mental seorang anak yang berbentuk aksi
(actions), proses (processes), objek (objects), dan skema (schema) ketika mengkonstruksi konsep
matematika (Dubinsky, 2001). Teori APOS adalah suatu teori pembelajaran yang
mengintegrasikan penggunaan komputer, belajar dalam kelompok, dan memperhatikan
konstruksi mental yang dilakukan oleh siswa dalam memahami suatu konsep matematis
(Sholihah & Mubarok, 2016:127).
Teori APOS diawali dengan hipotesis yang dinyatakan oleh Dubinsky & McDonald
(2001) yakni: “Pengetahuan matematika individu adalah kecenderungannya untuk menanggapi
persepsi situasi matematika yang bermasalah dengan membangun tindakan mental, proses, dan
objek dan mengaturnya dalam skema untuk memahami situasi dan memecahkan masalah.
Mengacu pada konstruksi mental ini disebut Teori APOS”. Menurut (Anwar, 2016) sudah
banyak dilakukan penelitian tentang penggunaan teori APOS pada pembelajaran tingkat tinggi,
terutama yang berkaitan dengan peningkatan hasil belajar secara umum.
Pembelajaran matematika di sekolah banyak dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme.
Konstruktivisme saat ini sangat populer tidak hanya dalam bidang pendidikan, juga dalam
bidang psikologi perkembangan, ilmu sosial, psychology of gender, dan teknologi komputer.
Konstruktivisme lahir dari gagasan Piaget dan Vygotsky. Keduanya menekankan bahwa
perubahan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami sebelumnya diolah
melalui suatu proses disequilibrium dalam upaya memahami informasi-informasi baru.
Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan merupakan hasil konstruksi kognitif melalui
aktivitas seseorang. Menurut pandangasn konstruktivisme, pengetahuan perlu dikonstruk atau
dibangun sendiri oleh individu yang ingin tahu atau perlu memahaminya (Mulyono, 2011:37).
Teori APOS muncul dengan tujuan untuk memahami mekanisme abstraksi reflektif yang
diperkenalkan oleh Piaget yang menjelaskan perkembangan berpikir logis matematika untuk
anak-anak. Ide tersebut kemudian dikembangkan untuk konsep matematika yang lebih luas,
terutama untuk membentuk perkembangan berpikir logis bagi mahasiswa. Teori APOS juga
dapat digunakan secara langsung dalam membandingkan keberhasilan atau kegagalan individu
yang berkaitan dengan konstruksi mental yang telah terbentuk untuk suatu konsep matematika.
Misalkan ada dua individu yang kelihatannya sama-sama menguasai suatu konsep matematika,
Dengan teori APOS dapat dideteksi lebih lanjut siapa yang penguasaan konsep matematikanya
lebih baik, yaitu jika seseorang dapat menjelaskan lebih lanjut konsep tersebut maka ia berada
pada tingkat yang lebih baik daripada yang satunya. Disamping itu, jika konstruksi mental
APOS, yaitu action, process, object, dan schema untuk suatu konsep matematika telah
dikonstruksi oleh individu dengan baik, maka dapat dipakai untuk membuat prediksi yang
mantap dari individu tersebut akan berhasil menggunakan konsep matematika tersebut dalam
menyelesaikan suatu persoalan (Khairani, 1980:48-49).
Bagaimana individu mengkonstruk sebuah konsep matematika? Teori APOS muncul
sebagai upaya untuk mempelajari hal ini. Teori ini memperluas ide Piaget tentang abstraksi
reflektif. Teori ini mengemukakan bahwa individu mengkonstruksi konsep matematika melalui
empat tahap, yaitu: aksi, proses, objek, dan skema (Mulyono, 2011:37).
Ada dua macam abstraksi berdasarkan teori Piaget, yaitu: abstraksi sederhana dan
abstraksi reflektif. 1) Abstraksi sederhana adalah abstraksi yang didasarkan pada objek itu
sendiri. Dalam abstraksi ini, orang menemukan pengertian sifat-sifat objek itu sendiri secara
langsung. Pengetahuan tersebut merupakan abstraksi langsung atas objek itu yang juga disebut
pengetahuan eksperimental atau empiris. 2) Abstraksi reflektif adalah abstraksi yang didasarkan
pada koordinasi, relasi, operasi, dan penggunaan yang tidak langsung keluar dari sifat-sifat dari
objek itu sendiri, tetapi dari tindakan terhadap objek itu. Inilah yang disebut abstraksi logis atau
matematis. Misalnya, berhadapan dengan 7 kelereng, seorang anak menghitung kelereng itu
sampai 7. Ia menjajarkannya dan menghitungnya, tetap sama 7. Ia meletakkan kelereng di dalam
kaleng, dihitung lagi, hasilnya tetap 7. Ia mengubah-ubah susunan kelereng dan dihitung,
hasilnya tetap 7. Anak itu menemukan prinsip komutatif bahwa jumlah kelereng tetap sama
meskipun susunannya diubah-ubah. Ia juga menemukan pengertian tentang angka 7. Sifat
tersebut tidak terdapat pada kelereng, tetapi pada aksi terhadap kelereng. Pengetahuan ini adalah
pengetahuan matematis, bukan fisis. Teori APOS ini muncul sebagai usaha untuk memahami
mekanisme dari abstraksi reflektif yang diperkenalkan oleh Piaget untuk menggambarkan
perkembangan berpikir logis pada anak-anak, dan mengembangkan ide ini ke konsep matematika
yang lebih lanjut (Mulyono, 2011:38-39).

Teori Brunner
Teori belajar penemuan menurut Bruner merupakan belajar untuk pengembangan
kognitif peserta didik. Jika Piaget menyatakan pengembangan kognitif menyebabkan
perkembangan bahasa peserta didik, sebaliknya menurut Bruner perkembangan bahasa peserta
didik besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif. Ini sangat beralasan karena bahasa
adalah alat untuk membuka cakrawala pengetahuan dunia. Menurut Bruner perkembangan
kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat kondisi
lingkungan. Yang pertama tahap enaktif, yaitu tahap dimana seseorang melakukan aktivitas-
aktivitas dalam usahanya memahami lingkungan, tahap ini lebih didominani pada usia anak 5 s.d
7 tahun, misalkan seorang anak secara enaktif mengetahui bagaimana mengendarai sepeda
motor, yang kedua tahap ikonik yaitu tahap dimana seseorang melihat dunia melalui gambar-
gambar dari visualisasi verbal, misalkan pada pengenalan konsep pira mida dll, dan yang ketiga
tahap simbolik yaitu dahap dimana gagasan-gagasan abstrak banyak dipengaruhi oleh bahasa dan
logika, misalkan pada pengenalan timbangan melalui permainan jungkak-jungkik (Halamid,
2007:34)
Menurut Bruner untuk mengembangkan kognitif siswa perlu proses transformasi
informasi yang benar secara bertahap, tahapan-tahapan terebut menurutnya ada tiga yaitu sebagai
berikut: 1) Perolehan informasi, yaitu tahap permulaan, dimana infromasi diterima dari luar,
informasi secara sederhana diartikan adalah sebagai ilmu pengetahuan; 2) Pengolahan informasi,
yaitu penyesuaian informasi-informasi yang telah diperoleh berupa pengklasifikasian secara
objeltif; 3) Checking atau mengadakan “test kecukupan” atau kebenaran terhadap informasi yang
telah diolahnya tersebut (Mahala, 2002:21).
Berbagai sumber yang ada, maka teori belajar penemuan yang ditemukan oleh Bruner
adalah memahami konsep, arti, dan hubungan melalui proses intuitif (yang disesuiakan dengan
kemampuan masing-masing) untuk akhirnya sampai kepada sesuatu kesimpulan yang disebut
dengan istilah discovery learning. Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan
pencarian pengetahuan secara aktif oleh pelajar, dan dengan sendirinya memberikan hasil yang
paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah, menghasilkan pengetahuan
yang benar-benar bermakna bagai pembelajaran khususnya bagi peserta didik. Selain teori
discovery, teori ini juga dikenal sebagai teori intruksi yang dimabil dari makna proses perolehan
kognitif itu sendiri. Menurutnya suatu teori intruksi hendaknya meliputi beberapa hal berikut: a)
Pengalaman-pengalaman optimal bagi siswa untuk mau dan dapat belajar; b) Penstrukturan
pengetahuan untuk pemahaman optimal; c) Perincian urutan-urutan penyajian materi pelajaran
secara optimal; d) Bentuk dan pemberian reinforsemen (hadiah dan hukuman) (Buto, 2010:61-
62).

Konsep PMRI
Di Indonesia digunakan nama selengkapnya “Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia” (PMRI) dalam bentuk pendek adalah “Pendidikan Matematika Realistik”, sedangkan
secara operasional juga sering disebut “Pembelajaran Matematika Realistik” (PMR). Dengan
demikian dapat kiranya didefinisikan bahwa PMRI adalah Pendidikan Matematika sebagai hasil
adaptasi dari Realistic Mathematics Education yang TELAH DISELARASKAN dengan kondisi
budaya,geografi dan kehidupan masyarakat Indonesia umumnya.
Mempelajari pembelajaran ini yang juga sejalan dengan pembelajaran konstruktivis,
pembaca diharapkan dapat memahami matematika dalam pendidikan yang harus memperhatikan
perkembangan jiwa anak dan matematika dalam penerapannya. PMR sangat memperhatikan
bahwa objek kajian matematika adalah abstrak, tidak dapat ditawar, sedangkan perkembangan
jiwa anak menuntut adanya langkah-langkah yang mengantar untuk memahami yang abstrak itu.
Langkah-langkah itu adalah melalui hal-hal konkret dulu setapak demi setapak
mengarah ke abstrak.
Pendidikan Matematika Realistik (PMR) yang dipelopori oleh Hans Freudenthal
merupakan inovasi pendidikan matematika disebut juga inovasi pendekatan pembelajaran
matematika yang sejalan dengan teori konstruktivis. Dalam PMR lebih diperhatikan adanya
potensi pada diri anak atau siswa yang justru harus dikembangkan. Keyakinan guru akan
adanya potensi itu akan mempunyai dampak kepada bagaimana guru harus mengelola
pembelajaran matematika. Itupun juga akan berdampak kepada bagaimana siswa membiasakan
melakukan kegiatan yang diharapkan muncul sesuai kemampuan diri yang dimilikinya.
Keduanya akan berpengaruh kepada budaya guru dalam “mengajar” dan bagaimana budaya
anak atau siswa harus “belajar” (Soedjadi, 2007:1-2).

Aplikasi Teori Pembelajaran Kontemporer


Guru atau pendidik perlu memperhatikan konsep awal dan aplikasi teori pembelajaran
sebelum mengajar. Agar berhasil menanamkan konsep yang benar, bahkan dapat memunculkan
sumber kesulitan proses belajar selanjutnya. Mengajar bukan hanya untuk meneruskan gagasan-
gagasan pendidik kepada peserta didik, melainkan sebagai proses mengubah konsepsi peserta
didik yang sudah ada, yang mungkin salah. Jika ternyata konsepsi-konsepsi tersebut benar, maka
pendidik harus membantu peserta didik dalam mengkonstruksi konsepsi tersebut agar lebih
matang.
Berdasarkan permasalahan tersebut, menjadi sangat perlu untuk mengetahui bagaimana
aplikasi teori pembelajaran konstruktivisme agar bisa mengembangkan keaktifan peserta didik
dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Sehingga dengan pengetahuan yang dimiliki
tersebut siswa lebih bisa memaknai pembelajaran karena dihubungkan dengan konsepsi awal
yang dimilikinya dan pengalaman diperoleh dari lingkungan kehidupannya sehari-hari. Dengan
kata lain peserta didik lebih mudah memahami konsep belajar dan apa yang sedang dipelajarinya
dengan mudah dari pengalaman yang diperolehnya sehari-hari.
a. Aplikasi Teori Konstruktivisme di Dalam Kelas Secara Umum
Lingkungan pembelajaran konstruktivisme mengutamakan dan memfasilitasi peran aktif
peserta didik dalam belajar, dengan mengubah fokus dari penyebaran informasi oleh pendidik,
yang mendorong peran aktif peserta didik. Stategi-strategi pembelajaran aktif menganjurkan
aktivitas-aktivitas pembelajaran yang didalamnya peserta didik diberi otonomi dan kontrol yang
luas untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas pembelajaran aktif meliputi pemecahan masalah,
bekerja dalam bentuk kelompok kecil, pembelajaran kolaboratif, kerja investigatif, dan
pembelajaran eksperiential.
Pergeseran paradigma pembelajaran konstruktivisme ini disasarkan pada gagasann bahwa
secara alamiah para pembelajar sebenarnya sudah memiliki sikap aktif dan rasa ingin tahu,
dimana kedua sifat ini kemudian menjadikan metode ceramah (lecture) dan buku ajar (textbook)
bukan sebagai penekanan utama dalam pembelajaran kelas.
Cara-cara mengajar yang harus dilakukan pendidik di dalam kelas adalah menyediakan
beragam contoh dan representasi materi pembelajaran pada para pembealjar. Selain itu, guru juga
harus mendorong tingkat interaksi dalam pembelajaran di kelas, serta mampu menghubungkan
materi pembelajaran dengan dunia nyata.
Aktivitas-aktivitas pemecahan masalah dalam ruang kelas, beserta dengan komponen-
komponen teori konstruktivisme lain yang berpusat pada siswa, dibangun berdasarkan filsafat
John Dewey (1906-1938), seorang filsuf dari Amerika yang paling berpengaruh. Sebelum
Dewey, pendidikan di Amerika Serikat masih bertujuan untuk memfasilitasi perolehan
pengetahuan siswa. Namun, seiring dengan munculnya teori-teori Dewey dan metode reflektif,
para pendidik kemudian sangat tertarik pada kemampuan siswa dalam berpikir mengenai
informasi dan melibatkan diri mereka dalam pemecahan masalah yang nyata. Para guru yang
menerapkan teori-teori Dewey lebih menekankan kurikulum yang berpusat pada siswa dan
berorientasi pada aktivitas.
Teori-teori konstruktivisme mengenai pembelajaran juga dipengaruhi oleh teori-teori
pengembangan Piaget (1952-1959) dan teori-teori pembelajaran sosialnya Vygotsky. Kajian
Piaget fokus pada pengalaman-pengalaman individu langsung yang menggerakkan pembelajaran
secara berurutan pada periode waktu tertentu untuk membangan pengetahuan perseptual,
konkret, dan pada akhirnya abstrak. Sedangkan kajian Vygotsky menekankan pentingnya
interaksi social saat siswa berpartisipasi dalam tugas-tugas pembelajaran.
Pembelajaran kooperatif sebagai salah satu strategi pembelajaran kerja kelompok yang
umum diimplememtasikan, guru berperan mendorong pembelajar dengan menekankan pada
kerja team atau kelompok. Guru dalam peran ini dapat memfasilitasi usaha siswa untuk
mengkonstruksi pengetahuan. Pembelajaran berkelompok besar, yang dilakukan secara efektif
dapat mendorong konstruksi pemahaman, sementara pembelajaran kooperatif, yang dijalankan
dengan kurang maksimal, tidak dapat mendorong konstruksi pemahaman.
Penerapan konsep ini di dalam kelas yakni: 1) mendorong kemandirian dan inisiatif siswa
dalam belajar; 2) guru mengajukan pernyataan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa
waktu kepada siswa untuk merespons; 3) mendorong siswa berpikir tingkat tinggi; 4) siswa
terlibat aktif dalam dialog atau diskusi dengan guru dan siswa lainnya; 5) siswa terlibat dalam
pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi; 6) guru menggunakan data
mentah, sumber-sumber utama dan materi-materi interaktif. Sedangkan aplikasi mengajar guru di
kelas hendaknya mengikuti tahapan yakni: 1) apersepsi, 2) eksplorasi; 3) diskusi dan penjelasan
konsep; serta 4) pengembangan dan aplikasi.
b. Aplikasi Teori Konstruktivisme bagi Pembelajaran Orang Dewasa
Konstruktivisme merupakan salah satu pendekatan dalam tiga dekade terakhir dijadikan
landasan dalam pengembangan dan penelitian pembelajaran. Pendekatan ini lebih banyak
dibicarakan dalam konteks pembelajaran bagi anak-anak, sementara pembelajaran bagi orang
dewasa lebih sering menggunakan pendekatan learning cycle. Hal ini karena orang dewasa
cenderung belajar dengan cepat tanpa terlibat langsung dalam proses refleksi dan eloborasi
seperti pada teori konstruktivisme. Karena itu tidak banyak yang menerapkan konsep
konstruktivisme daam pembelajaran orang dewasa.
Meski demikian, orang dewasa pun sebenarnya terjadi keterlibatan prior knowledge yang
dimanipulasi sehingga terbangun pengetahuan baru. Pada kondisi inilah terbuka peluang bagi
penerapan teori konstruktivisme sebagai pendekatan dalam pembelajaran orang dewasa (orang
yang sanggup belajar secara mandiri dan bisa dengan cepat melakukannya).
Ahli yang dianggap pendahulu melakukan kajian mengenai pembelajaran orang dewasa
(adult learning) adalah Eduard Lindeman dan Malcolm Knewles. Malcolm Knewles adalah
orang yang pertama kali meluncurkan istilah andragogi sebagai istilah pendekatan pembelajar
bagi orang dewasa. Knowles, dkk (1988) kemudian mengajukan enam prinsip andragogi, yakni:
1) Orang deawasa memiliki keinginan belajar mandiri. Mereka sudah memiliki pengetahuan
mengenai bagaimana belajar harus dilakukan, harus belajar seperti apa, dan mengapa belajar
penting. 2) Orang dewasa bersifat self direct learning artinya mereka memiliki teknik dan tujuan
belajar. 3) Orang dewasa memiliki pengalaman yang luas mengenai apa yang dipelajari. 4)
Orang dewasa memiliki kesiapan untuk belajar; 5) Orang dewasa lebih senang belajar bersifat
pemecahan masalah. Artinya mereka akan belajar dengan baik ketika apa yang dipelajari terkait
dengan konteks keseharian. 6) Orang dewasa memiliki motivasi tinggi untuk belajar, selama apa
yang dipelajarinya sesuai dengan apa yang diharapkan.

Tabel Perbandingan Konstruktivisme dan Pembelajaran Dewasa


Konstruktivisme Pembelajaran Orang Dewasa
Belajar merupakan proses aktif (active Belajar berdasarkan pengalaman (exprential
learning). learning).
Belajar harus melalui pengalaman langsung Memiliki pengetahuan dan pengalaman yang
(real life learning) banyak.
Pengetahuan awal (prior knowledge) sangat Refleksi kritis (critical reflection).
bermakna karena akan menjadi landasan Belajar dengan cara bertukar pengalaman
untuk membangun pengetahuan baru. (experience sharing).
Belajar melalui proses penalaran (reasoning Belajar dengan cara sendiri (self directed
process). learning).
Dalam konstruktivisme sosial belajar terjadi Memiliki motivasi belajar mandiri (motivation
melalui interaksi sosial (social interaction). to learn).
Pentngnya proses pendampingan dalam Belajar sepanjang hayat (life long learning).
belajar (dalam konsep ZPD) Memiliki kesiapan untuk belajar (readiness to
learn).
Memiliki kekhasan individu (individual
differences).

(Cahyono, 2013:173-189)

Jenis-jenis Pengetahuan dan Pemahaman


1. Pengetahuan dan Jenis-jenisnya
Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah merupakan pengetahuan yang
memenuhi syarat-syarat keilmuan dan dengan demikian dapat disebut pengetahuan ilmiah atau
ilmu. Pengetahuan ilmiah memiliki perbedaan yang cukup tegas dengan pengetahuan sehari-hari.
Perbedaan yang paling jelas adalah pengetahuan ilmiah tidak menerima begitu saja segala
pengetahuan yang diterima tanpa melewati suatu proses yang cukup ketat. Proses tersebut harus
bertitik tolak dari fakta-fakta keseharian dan berakhir pada suatu teori yang dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah (Surajiyo & Sriyono, 2017).
Jenis-jenis pengetahuan juga dapat dilihat pada pendapat Plato dan Aristoteles. Plato
membagi pengetahuan menurut tingkatan-tingkatan pengetahuan sesuai dengan karakteristik
obyeknya. Pembagiannya adalah sebagai berikut:
- Pengetahuan Eikasia (khayalan).
Tingkatan yang paling rendah disebut pengetahuan Eikasia, ialah pengetahuan yang
obyeknya berupa bayangan atau gambaran. Pengetahuan ini isinya adalah hal-hal yang
berhubungan dengan kesenangan atau kesukaan serta kenikmatan manusia yang berpengetahuan.
Pengetahuan dalam tingkatan ini misalnya seseorang yang menghayal bahwa dirinya pada saat
tertentu mempunyai rumah yang mewah, besar dan indah serta dilengkapi kendaraan dan lain-
lain sehingga khayalannya ini terbawa mimpi. Di dalam mimpinya betul-betul merasa
mempunyai dan menempati rumah itu. Apabila seseorang itu dalam keadaan sadar dan
menganggap bahwa khayal dan mimpinya itu betul-betul berupa suatu fakta yang ada dalam
dunia kenyataan.
- Pengetahuan Pistis (substansial)
Satu tingkat di atas eikasia adalah tingkatan pistis atau pengetahuan substansial.
Pengetahuan ini adalah pengetahuan mengenai hal-hal yang tampak dalam dunia kenyataan atau
hal-hal yang dapat diinderai secara langsung. Obyek pengetahuan pistis biasa disebut zooya oleh
karena demikian itu isi pengetahuan semacam ini mendekati suatu keyakinan (kepastian yang
bersifat sangat pribadi atau kepastian subyektif) dan pengetahuan ini mengandung nilai
kebenaran apabila mempunyai syarat-syarat cukup bagi suatu tindakan mengetahui; misalnya
mempunyai pendengaran yang baik, penglihatan normal serta indera yang normal.

- Pengetahuan Dianoya (Matematik)


Pengetahuan dalam tingkatan ketiga adalah pengetahuan dianoya. Plato menerangkan
tingkat pengetahuan ini ialah tingkat yang ada didalamnya sesuatu yang tidak hanya terletak
pada fakta atau obyek yang tampak tetapi juga terletak pada bagaimana cara berpikirnya. Contoh
yang dituturkan oleh Plato tentang pengetahuan ini ialah para ahli matematika atau geometri,
dimana obyeknya adalah matematik yakni suatu yang harus diselidiki dengan akal budi dengan
melalui gambar-gambar, diagram kemudian ditarik suatu hipotesa. Hipotesa ini diolah terus
hingga sampai pada kepastian. Dengan demikian dapat dituturkan bahwa bentuk pengetahuan
tingkat dianoya ini adalah pengetahuan yang banyak berhubungan dengan masalah matematik
atau kuantitas entah lus, isi, jumlah, berat yang semata-mata merupakan suatu kesimpulan dari
hipotesa yang diolah oleh akal pikir karenanya pengetahuan ini disebut juga pengetahuan pikir.
- Pengetahuan Noesis (Filsafat).
Pengetahuan tingkat tertinggi disebut Noesis, pengetahuan yang obyeknya adalah arche
ialah prinsip-prinsip utama yang mencakup epistemologik dan metafisik. Prinsip utama ini biasa
disebut “IDE”. Plato menerangkan tentang pengetahuan ini adalah hampir sama dengan
pengetahuan pikir tetapi tidak lagi menggunakan pertolongan gambar, diagram melainkan
dengan pikiran yang sungguh-sungguh abstrak. Tujuannya adalah untuk mencapai prinsip-
prinsip utama yang isinya adalah hal-hal yang berupa kebaikan, kebenaran, dan keadilan.
Menurut Plato cara berpikir untuk mencapai tingkat tertinggi dari pengetahuan itu adalah dengan
menggunakan metode dialog sehingga dapat dicapai pengetahuan yang sungguh-sungguh
sempurna yang biasa disebut Episteme. (Abbas Hamami M., 1980:7-8).
Aristoteles mempunyai pendapat yang berbeda. Menurut Aristoteles pengetahuan adalah
harus merupakan kenyataan yang dapat diinderai dan kenyataan adalah sesuatu yang merangsang
budi kita kemudian mengolahnya. Aristoteles tidak membagi pengetahuan menurut tingkatannya
melainkan menurut jenisnya sesuai dengan fungsi dari pengetahuan itu. Pengetahuan yang
umumnya merupakan kumpulan dinamakan Rational Knowledge yang dipisahkan dalam tiga
jenis yaitu: 1) Pengetahuan produksi (seni); 2) Pengetahuan praktis (etika, ekonomi, politik); 3)
Pengetahuan teoritik (fisika, matematika dan metafisika atau filsafat pertama). Selain itu, di sisi
lain pengetahuan juga diartikan sebagai hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala
perbuatan manusia untuk memahami suatu obyek yang dihadapinya, hasil usaha manusia untuk
memahami suatu obyek tertentu. Cabang filsafat yang membahas pengetahuan disebut
Epistemologi. Istilah lain dalam kepustakaan filsafat dari epistemologi adalah Filsafat
pengetahuan, Gnosiologi, Kritika pengetahuan, logika material, teori pengetahuan, kriteriologi.
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber
pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode dan validity pengetahuan
(Surajiyo & Sriyono, 2017).
Ilmu pengetahuan berasal dari dua suku kata; ilmu dan pengetahuan. Secara etimologi,
ilmu dalam bahasa Inggris disebut sebagai science, yang merupakan serapan dari bahasa latin
scientia, yang merupakan turunan dari kata scire, dan mempunyai arti mengetahui (to know),
yang juga berarti belajar (to learn) (Gie, 2000:87). Science juga bermakna pengetahuan yang
mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda dan syarat-syarat yang khas (Anshari, 2002:47). Sementara
pengetahuan dalam bahasa Inggris disebut sebagai knowledge yang mempunyai arti; (1) the fact
or conditioning of being aware of something (kenyataan atau kondisi menyadari sesuatu); (2) the
fact or conditioning of knowing something with familiarity gained through experience or
association (kenyataan atau kondisi mengetahui sesuatu yang diperoleh secara umum melalui
pengalaman atau asosiasi); (3) the sum of is known; the body of truth, information, and
principles acquired by mankind, (sejumlah pengetahuan, susunan kebenaran informasi, dan
prinsip-prinsip yang diperoleh manusia); (4) the fact or condition of having information or of
being learned (kenyataan atau kondisi memiliki informasi yang sedang dipelajari) (Suhartono,
1997:95).
Asal muasal pengetahuan dan bagaimana pengetahuan ditampilkan dalam pikiran. Ada
dua perspektif yang telah diajukan, yakni perspektif empiris dan nativis. Perspektif empiris
memandang pengetahuan diperoleh dari pengalaman sepanjang hidup, sedangkan perspektif
nativis menyatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada karakteristik genetis dalam otak.
Dengan kata lain, menurut pandangan nativis, manusia dilahirkan dengan pengetahuan yang
sudah tersimpan dalam otaknya. Contoh teorema Pythagoras menurut penganut empiris, teorema
tersebut diperoleh dari pengalaman mempelajari geometri di SMU. Pengalaman mengikuti
pelajaran geometri di SMU menyebabkan kita memiliki pengetahuan tentang teorema
Pythagoras. Namun para penganut nativis akan membalas dengan menyatakan bahwa
pengetahuan tentang segitiga sudah tertanam dalam otak kita sebelum kita lahir, dan
pengetahuan bawaan itu menjadi landasan pemahaman kita akan teorema Pythagoras (a 2 + b2 =
c2)
Berdasarkan perspektif ilmiah, kedua perspektif di atas tidak dapat dibuktikan secara
mutlak, sehingga perdebatan terus berlanjut tanpa ada pihak yang menang. Pada masa kini,
kebanyakan orang mengambil perspektif moderat, karena kit amengetahui bahwa informasi yang
diperoleh dari pengalaman akan diproses oleh otak yang secara genetik reseptif, sehingga kita
dapat memperoleh pengalaman-pengalaman kita dan menghasilkan informasi bermakna yang
disebut “pengetahuan” (Solso, dkk., 2008:5).
Pengetahuan dalam prespektif Barat merupakan sebuah gagasan yang bersifat rasional
yang dibangun berdasarkan pengalaman empiris dan teruji kebenarannya. Dari sini ciri-ciri
pengetahuan dalam prespektif Barat adalah sistematis, objektif, general, reliabel, komunitas.
Selanjutnya pengetahuan Barat bersumber dari akal (rasionalisme) dan pengalaman atau panca
indera (empirisme) sehingga berpengaruh terhadap kebenarannya yang bersifat realisme (sesuai
dengan kenyataan) dan idealisme (terdapat pada ide manusia). Dengan demikian, kebenaran
pengetahuan Barat ini bersifat relatif karena pengetahuan akan berkembang terus-menerus
sehingga kebenaran pengetahuan saat ini bisa dipatahkan oleh kebenaran pengetahuan yang
datang berikutnya apabila sudah tidak relevan lagi. Sedangkan pengetahuan dalam Islam yang
terangkum dalam kata “al-ilmu”, yang bermakna sampainya jiwa yang aktif dan kreatif pada
makna sesuatu yang bersumber dari Allah sehingga menghasilkan kebenaran dan realitas melalui
indera, akal maupun aktivitas ilmiah. Adapun sumber pengetahuan dalam Islam ada dua; sumber
ilahi (bersumber dari Tuhan) dan sumber insani (bersumber dari manusia). Sumber ilahi terdiri
dari tiga bagian; al-Qur’an, al-Sunnah, dan intusi (ilham). Sedangkan sumber insani terbagi
menjadi dua; indera dan akal yang sehat. Oleh karena sumber pengetahuan dalam Islam
bermacam-macam, maka kebenaran yang dihasilkan pun bertingkat, yaitu kebenaran mutlak (al-
Qur’an), kebenaran yang asli dan otentik tetapi mempunyai implikasi ganda (al-sunah dan
ilham), dan kebenaran yang masih terbuka peluang untuk diperdebatkan (akal dan indera)
(Rusuli & Daud, 2015:21).

2. Pemahaman dan Jenis-jenisnya


Pemahaman merupakan salah satu aspek dalam taksonomi Bloom pada ranah kognitif.
Bloom (Ruseffendi, (1991) membagi pemahaman atas tiga macam yaitu pemahaman translasi,
pemahaman interpretasi dan pemahaman ekstrapolasi.
1. Pemahaman translasi, adalah kemampuan untuk memahami suatu ide yang ditanyakan
dalam cara lain dibandingkan dengan pernyataan asli yang dikenal sebelumnya, misalnya
mampu mengubah soal kata-kata ke dalam simbol dan sebaliknya.
2. Pemahaman interpretasi adalah kemampuan untuk memahami bahan atau ide yang
direkam, diubah atau disusun dalam bentuk lain (seperti grafik, tabel, diagram).
3. Pemahaman ekstrapolasi adalah keterampilan untuk meramalkan kekontinuan
(kelanjutan) kecenderungan yang ada menurut data tersebut, dengan kondisi yang
digambarkan dalam komunikasi yang asli. Dengan demikian menunjukkan bahwa
pemahaman tidak hanya sekedar memahami suatu informasi tetapi juga keobjektifannya,
sikap dan makna yang terkandung dalam suatu informasi atau dengan kata lain, seorang
siswa dapat mengubah suatu informasi yang ada dalam pikirannya ke dalam bentuk lain
yang lebih berarti.
Skemp (2006) membedakan pemahaman menjadi dua macam yaitu pemahaman
relasional dan pemahaman instrumental. Pemahaman relasional didefinisikan sebagai “knowing
what to do and why” dan pemahaman instrumental didefinisikan sebagai “knowing rules without
reasons.” Pemahaman instrumental artinya mengetahui prosedur tanpa mengetahui mengapa
prosedur tersebut digunakan, sedangkan pemahaman relasional artinya mengetahui apa yang
harus dikerjakan dan mengapa mereka harus melakukan hal itu. Lebih lanjut, Skemp berpendapat
bahwa dengan pemahaman relasional siswa akan mampu menghubungkan suatu konsep terhadap
suatu masalah yang dihadapinya dan mengadaptasikan konsep tersebut ke permasalahan yang
baru.
Proses-proses pemahaman matematik sejalan dengan apa yang telah dikembangkan oleh
Piaget (Ruseffendi, 1991:133), yaitu mengenai proses seorang anak belajar melalui
pengalamannya. Proses pemahaman matematik dalam suatu kegiatan belajar mengajar dapat
digambarkan seperti berikut: a) Menangkap ide yang dipelajari melalui pengamatan yang
dilakukan. Hal – hal yang dapat diamati dapat bersumber dari apa yang dilakukan sendiri
ataupun dari apa yang ditunjukkan oleh orang lain. Hasil pengamatan yang dilakukan secara
berulang – ulang merupakan awal terbentuknya pengetahuan peserta didik tentang konsep
operasi penjumlahan, b) Mengkonstruksi pengetahuan yang baru dengan skema pengetahuan
yang telah ada sebelumnya. Sebagai contoh, siswa yang belajar penjumlahan dan pengurangan
bilangan – bilangan desimal akan mudah mencapai pemahaman apabila siswa telah memiliki
pengetahuan prasyaratnya tentang operasi penjumlahan bilangan bulat dan penjumlahan secara
bersusun, c) Mengorganisasikan kembali pengetahuan yang telah terbentuk dengan cara
mengkoneksikan pengetahuan yang lama dengan pengetahuan baru yang telah terbentuk,
disusun, ditata ulang kembali sehingga terbentuk jaringan peta hubungan pengetahuan yang baru
hasil modifikasi dari
jaringan hubungan – hubungan yang lama. Seperti pada contoh di atas siswa akan memodifikasi
prinsip penjumlahan bilangan bulat untuk digunakan pada penjumlahan bilangan–bilangan
decimal, d) Membangun pemahaman pada setiap belajar matematika akan memperluas
pengetahuan matematika yang dimiliki. Semakin luas pengetahuan tentang ide atau gagasan
matematik yang dimiliki semakin bermanfaat dan memberikan peluang dalam memecahkan
masalah matematik yang dijumpai.
Menurut Alfeld (2004) seseorang memahami matematika maka ia dapat melakukan hal
sebagai berikut: Explain mathematical concepts and facts in terms of simpler concepts and facts,
Easily make logical connections between different facts and concepts, Recognize the connection
when you encounter something new (inside or outside of mathematics) that's close to the
mathematics you understand, dan Identify the principles in the given piece of mathematics that
make everything work. Dengan demikian pemahaman mempunyai tingkat kedalaman yang
berbeda, misalnya bila seorang ahli matematika mengatakan ia memahami suatu teori atau
konsep matematika, maka berarti ia mengetahui banyak hal tentang teori atau konsep tersebut. Ia
tentu mengetahui aspek-aspek pembuktian deduktif teori tersebut, selain itu ia tentu mengetahui
contoh-contoh dan koneksi antara teori itu dengan teori lainnya, ia mengetahui aplikasi-aplikasi
teori tersebut maupun prasyarat-prasyarat untuk menggunakan teori itu. Artinya, ahli tersebut
mengetahui teori matematika secara mendetail, terperinci hingga sekecil-kecilnya. Tetapi,
sebaliknya bila seorang siswa sekolah dasar memahami suatu teori atau konsep matematik, maka
tentu tingkat kedalaman pemahamannya tentang teori tersebut akan berbeda dengan ahli
matematika.

DAFTAR PUSTAKA.

Alfeld, P. (2004). Understanding Mathematics. Utah: Departemen of Mathematics. University of


Utah. Tersedia: http:/www math utah edu/- alfeld/math html.

Anshari, E. S.. 1987. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu Offset. cet. Vii.

Anwar, Y. S. (2016). Penerapan Teori Apos (Action, Process, Object, Schema) untuk
Meningkatkan Pemahaman Konsep Program Linier Bagi Mahasiswa Program Studi
Pendidikan Matematika Tahun Akademik 2015/2016. Paedagoria, 14(2), 53–60.

Buto, Z. A. (2010). Implikasi Teori Pembelajaran Jerome Bruner dalam Nuansa Pendidikan
Modern. Millah, ed(khus), 55–69. https://doi.org/10.20885/millah.ed.khus.art3
Dubinsky, E. (2001). Using a Theory of Learning in College.

Khairani, N. (1980). Pembelajaran Matematika Menggunakan Teori Apos di Perguruan Tinggi.


Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, 1(1), 47–55.

Mulyono. (2011). Teori Apos dan Implementasinya dalam Pembelajaran. JMEE, I(1), 10–22.

Rusuli, I., & Daud, Z. F. M. (2015). Ilmu Pengetahuan dari John Locke ke al-Attas. Jurnal
Pencerahan, 9(1), 12–22.

Sholihah, U., & Mubarok, D. A. (2016). Analisis Pemahaman Integral Taktentu Berdasarkan
Teori Apos (Action, Process, Object, Scheme) Pada Mahasiswa Tadris Matematika (TMT)
IAIN Tulungagung. Cendekia, 14(1), 123–136.

Soedjadi, R. (2007). Inti Dasar-dasar Pendidikan Matematika Realistik Indonesia. Jurnal


Pendidikan Matematika, 1(2), 1–10.

Surajiyo, & Sriyono. (2017). Struktur Pengetahuan Ilmiah dan Sikap Ilmiah Ilmuwan. Prosiding
Diskusi Panel Pendidikan “Menjadi Guru Pembelajar,” April, 12–22.

Anda mungkin juga menyukai