Anda di halaman 1dari 10

REFERAT KULIAH PENGAYAAN

AGEN ANALGETIK, SEDATIF, DAN INOTROPIK-VASOAKTIF

Oleh :
Ahimsa Yoga Anindita

Supervisor :
dr. Pudjiastuti, Sp. A(K)

PPDS ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2017

1
I. Analgetik
Analgetik adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi rasa
sakit atau nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Obat penghalang nyeri (analgetik)
bekerja dengan mempertinggi ambang kesadaran akan perasaan sakit, sedangkan
narkotik menekan reaksi-reaksi psikis yang diakibatkan oleh rangsangan sakit.1
Secara garis besar dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
1. Analgetik Nonopioid
Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu
enzim siklooksigenase (COX). Enzim ini berperan dalam sintesis mediator
nyeri, salah satunya adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik
jenis ini adalah blokade pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi
enzim COX pada daerah yang terluka dengan demikian mengurangi
pembentukan mediator nyeri.2,3
a. Antiinflamasi Nonsteroid (AINS)
Bersifat analgetik dan antiinflamasi dengan menghambat
produksi prostaglandin ke jalur siklooksigenase. Obat yang paling
sering dipakai adalah ibuprofen dan ketorolac. Dosis ibuprofen untuk
berat badan (BB) kurang dari 60 kg adalah 6-10 mg/kgBB/6 jam,
dengan dosis harian maksimal 30 mg/kgBB/hari. Jika BB lebih dari
60 kg 200-600 mg/6 jam, dengan dosis harian maksimal 2.4 g/hari.
Dosis ketorolac yang aman terutama pada bayi adalah dosis awal
0.930.14 mg/kgBB/kali selanjutnya 0.440.09 mg/kgBB/6-8 jam.4
b. Asetaminofen
Secara spesifik bekerja sebagai COX-3 inhibitor. Obat
golongan ini adalah parasetamol.2 Dosis parasetamol untuk BB
kurang dari 60 kg adalah 10-15 mg/kgBB/4 jam, pada BB lebih dari
60 kg adalah 650-1000 mg/4 jam. Dosis maksimal berdasarkan usia,
yaitu kurang dari 3 bulan 60 mg/kgBB/hari, 3 bulan-12 tahun 90
mg/kgBB/hari, dan lebih dari 12 tahun 4 g/hari.
c. Sukrose
Obat ini jarang digunakan, hanya digunakan untuk bayi
kurang dari 6 bulan saat prosedur minor.
2. Analgetik Opioid
Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat
berikatan dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgesia
2
narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri
saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan. Semua analgesik opioid
menimbulkan adiksi/ketergantungan. Reseptor opioid sebenarnya tersebar
luas diseluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak
tengah yaitu di sistem limbik, thalamus, hipothalamus corpus striatum,
sistem aktivasi retikuler dan di corda spinalis yaitu substantia gelatinosa dan
dijumpai pula di pleksus saraf usus.5
Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-
endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan
efek. Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor
akan tetapi dengan afinitas yang berbeda dan dapat bekerja sebagai agonis,
antagonis, dan campuran.
a. Morfin dan hidromorfin
Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk
meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat
diobati dengan analgesik non-opioid. Dosis anjuran untuk
menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang adalah 0.1-0.2
mg/kgBB (pada BB kurang dari 60 kg), pada BB lebih dari 60 kg
digunakan dosis 5-10 mg/kali. Pada infus diberikan 10-60
ug/kgBB/jam (pada BB kurang dari 60 kg), jika BB lebih dari 60
kg diberikan dosis 0.8-3 mg/jam.
b. Fentanyl
Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten.
Sebagai suatu analgesik, fentanil 75-125 kali lebih poten
dibandingkan dengan morfin. Dosis anjuran adalah 1-2 ug/kgBB
(pada BB kurang dari 60 kg), pada BB lebih dari 60 kg digunakan
dosis 50-200 ug/kali. Pada infus diberikan 4-10 ug/kgBB/jam
(pada BB kurang dari 60 kg), jika BB lebih dari 60 kg diberikan
dosis 25-100 ug/jam.
c. Methadone
Merupakan opioid kerja panjang untuk mengatasi
withdrawal akibat opioid.

3
d. Maperidine (Petidin)
Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif
terhadap nyeri neuropatik. Meperidin hanya digunakan untuk
menimbulkan analgesia. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg
BB/kali.

II. Hipnotik Sedatif


Obat-obatan hipnotik sedatif adalah istilah untuk obat-obatan yamg mampu
mendepresi sistem saraf pusat. Sedatif adalah substansi yang memiliki aktifitas
moderate yang memberikan efek menenangkan, sementara hipnotik adalah substansi
yang dapat memberikan efek mengantuk dan yang dapat memberikan onset serta
mempertahankan tidur.6
1. Benzodiazepin
Efek farmakologi benzodiazepin merupakan akibat aksi gamma-
aminobutyric acid (GABA) sebagai neurotransmiter penghambat sehingga
kanal klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi post sinaptik membran sel
dan mendorong post sinaptik membrane sel tidak dapat dieksitasi. Efek
sedatif timbul dari aktivasi reseptor GABAA subunit alfa-1 yang merupakan
60% dari reseptor GABA di otak (korteks serebral, korteks sereblum,
thalamus). Sementara efek ansiolitik timbul dari aktifasi GABA subunit
alpha 2 (hipokampus dan amigdala).6
Ada berbagai macam jenis obat, antara lain midazolam, diazepam,
dan lorazepam. Namun pembahasan dosis secara spesifik hanya pada
midazolam untuk kepentingan sedatif, yaitu jika BB kurang dari 60 kg
diberikan 0.1-0.2 mg/kgBB/kali, jika BB lebih dari 60 kg 5 mg/kali.
2. Barbiturat
Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif
sebagai hipnotik dan sedative. Namun sekarang kecuali untuk beberapa
penggunaan yang spesifik, barbiturate telah banyak digantikan dengan
benzodiazepin yang lebih aman, pengecualian fenobarbital yang memiliki
anti konvulsi yang masih sama banyak digunakan. Obat golongan ini saat ini
lebih sering untuk antikonvulsi.

4
3. Nonbenzodiazepin-nonbarbiturat
a. Propofol
Propol relatif selektif dalam mengatur reseptor GABA dan
tidak terlalu mengatur ligand-gate ion channel lainnya. Propofol
dianggap memiliki efek sedatif hipnotik melalui interaksinya
dengan reseptor GABA. GABA adalah salah satu neurotransmitter
penghambat di SSP. Ketika reseptor GABA diaktivasi, penghantar
klorida transmembran meningkat dan menimbulkan hiperpolarisasi
di membran sel post sinaps dan menghambat fungsi neuron post
sinaps.7
Interaksi propofol (termasuk barbiturat dan etomidat) dengan
reseptor komponen spesifik reseptor GABA menurunkan
neurotransmitter penghambat. Ikatan GABA meningkatkan durasi
pembukaan GABA yang teraktifasi melalui chloride channel
sehingga terjadi hiperpolarisasi dari membrane sel.7 Dosis bolus 5
ug/kgBB/menit selama 5 menit dilanjutkan 5-50 ug/kgBB/menit.
b. Ketamin
Ketamin bersifat non-kompetitif phenycyclidine di reseptor
N-Methyl D Aspartat (NMDA). Ketamin juga memiliki efek pada
reseptor lain termasuk reseptor opioid, reseptor muskarinik,
reseptor monoaminergik, kanal kalsium tipe L dan natrium
sensitive voltase. Tidak seperti propofol dan etomidat, kaeamin
memiliki efek lemah pada reseptor GABA.
4. Dexmedetomidin
Obat ini bekerja sebagai agonis alfa-2 selektif. Sering digunakan
sebagai sedasi pada pasien dengan ventilator mekanik jangka pendek. Dosis
1 ug/kgBB dalam 10 menit, kemudian dilanjutkan 0.2-0.7 ug/kgBB/jam.8,9

III.Inotropik dan Vasoaktif


Saat terjadi keadaan hipotensi meskipun pemberian cairan telah kita lakukan,
agen vasopresor atau vasoaktif sering kita gunakan. Tujuan penggunaan agent
vasopressor adalah untuk meningkatkan mean arterial pressure (MAP). Indikasi
pemberian agent vasopressor adalah pada keadaan septik syok yang refrakter terhadap
resusitasi volume yang adekuat. Vasopresor akan meningkatkan resistensi vaskular

5
sistemik dengan meningkatkan tonus arteri. Sedangkan agen inotropik merupakan
agen yang memiliki efek meningkatkan kontraktilitas jantung. Kontraktilitas jantung
yang terganggu dapat menurunkan curah jantung sehingga tidak dapat memberikan
perfusi maupun hantaran oksigen yang cukup ke jaringan.10
1. Katekolamin
Efek yang ditimbulkan oleh katekolamin pada sistem kardiovaskular
adalah melalui reseptor alfa-1, beta-1, beta-2, dan dopaminergik yang
semuanya adalah reseptor adrenergik. Terutama aktivasi pada reseptor beta-
1 akan meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung melalui fasilitasi
kompleks aktin-miosin dan troponin C melalui ion kalsium (Ca2+). Stimulasi
reseptor beta-2 akan menyebabkan vasodilatasi otot vaskular dan ambilan
ion kalsium oleh retikulum sitoplasma. Stimulasi reseptor alfa-1 pada otot
vaskular arteri akan menyebabkan kontraksi dan peningkatan tahanan
vaskular sistemik. Dan stimulasi reseptor dopaminergik D1 dan D2 akan
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal dan mesenterik melalui
aktivasi sistem second messenger.10,11
a. Dopamin
Dopamin merupakan immediate metabolic precursor dari
norepinefrin yang mengaktifkan reseptor D1 di vaskular sehingga
menyebabkan vasodilatasi. Aktivasi reseptor prasinaptik D2
mampu menekan release norepinefrin. Dopamin dapat
mengaktifkan reseptor 1 di jantung. Pada dosis rendah, tahanan
perifer dapat menurun. Namun pada pemberian infus dengan
kecepatan tinggi, dapat mengaktifkan reseptor pembuluh darah,
menyebabkan vasokonstriksi, termasuk di vaskular ginjal,
sehingga menyerupai efek epinefrin.
Dopamin memiliki efek dopaminergik dominan pada dosis
sangat rendah (<3 g/kgBB/menit intravena) dan mampu
menimbulkan dilatasi pada sirkulasi hepatosplanchnic dan renal.
Efek adrenergik dopamin bervariasi berdasarkan dosis. Pada dosis
rendah, 3-10 g/kgBB/menit intravena, efek adrenergik
mendominasi sehingga aliran darah meningkat secara bersama-
sama dengan tekanan darah. Pada dosis yang lebih tinggi, efek
adrenergik menjadi sangat poten, sehingga sangat berperan pada

6
kasus-kasus hipotensi berat. Dopamin meningkatkan tekanan
arterial terutama dengan meningkatkan cardiac index, sebagai
konsekuensi meningkatnya stroke volume dan heart rate, dengan
efek tahanan vaskuler sistemik yang minimal. Dopamin juga
memiliki kekurangan, diantaranya adalah dopamin tergolong agen
yang relatif lemah, sehingga membutuhkan epinefrin atau
norepinefrin untuk mengontrol keadaan hipotensi. Dopamin dapat
meningkatkan aliran darah lebih efektif dibandingkan dengan
vasopressor lainnya, namun juga meningkatkan heart rate. Dosis
umum adalah 2-15 g/kgBB/menit.10
b. Dobutamin
Dobutamin merupakan katekolamin sintetik bekerja agonis
selektif 1 adrenergik. Dobutamin merupakan agen inotropik
pilihan pertama pada pasien dengan cardiac output yang rendah
dimana telah mendapatkan resusitasi cairan yang adekuat.
Meskipun memiliki dominasi aktivitas adrenergik, dobutamin
juga memiliki efek adrenergik yang membatasi peningkatan
heart rate. Awal mula pemberian dengan dosis kecil dapat
meningkatkan cardiac output secara signifikan. Dobutamin
mengalami metabolisme secara cepat, sehingga pemberian infus
kontinyu 2-10 g/kgBB/menit diperlukan untuk mempertahankan
konsentrasi terapeutik plasma. Dosis besar melebihi 20
g/kgBB/menit intravena jarang digunakan karena hanya memberi
keuntungan minimal dengan efek takikardi yang berlebihan.
Dobutamin memiliki efek minimal terhadap tekanan darah arterial.
Tekanan darah arterial akan meningkat perlahan bila abnormalitas
primer yaitu gagal jantung telah diatasi.
Dobutamin menunjukkan efek agonis adrenergik poten
pada dosis <5g/kg/menit. Dobutamin meningkatkan kontraktilitas
miokard (reseptor 1) dan menyebabkan vasodilatasi perifer
derajat sedang (reseptor 2). Dosis umum adalah 2-10
g/kgBB/menit.10,11

7
c. Epinefrin
Epinefrin tergolong vasokonstriktor yang sangat kuat dan
cardiac stimulant. Epinefrin merupakan katekolamin endogen yang
dihasilkan oleh medulla adrenal dengan aktivitas dan 1 yang
poten, dan efek 2 yang sedang. Pada dosis yang rendah (0.02-0.3
ug/kgBB/menit), efek menunjukkan dominasi. Pada dosis yang
lebih tinggi (>0.3 ug/kgBB/menit), efek menjadi lebih signifikan.
Epinefrin merupakan aktivator reseptor adrenergik yang paling
kuat. Pada hipotensi yang akut seringkali epinefrin lebih disukai
dibandingkan dengan norepinefrin karena efek adrenergik yang
lebih kuat berperan dalam mempertahakan maupun meningkatkan
cardiac output. Dosis umum adalah 0.01-0.2 ug/kgBB/menit.10
d. Norepinefrin
Norepinefrin merupakan amine endogen dihasilkan oleh
medulla adrenal dan end terminal of post ganglionic nerve fibers.
Norepinefrin menunjukkan dominasi aktivitas adrenergik.
Norepinefrin merupakan agonis yang poten, menimbulkan
vasokonstriksi hebat pada arterial dan vena. Akibatnya, terjadi
peningkatan tahanan perifer dan tekanan darah sistolik dan
diastolik. Namun tidak seperti epinefrin, norepinefrin memiliki
efek agonis reseptor 2 yang kecil.
Aktivitas adrenergik yang lemah dapat membantu
mempertahankan cardiac output. Rentang dosis intravena antara
0,05-2 g/kgBB/menit. Reflek kompensasi vagal cenderung dapat
mengatasi efek langsung kronotropik positif norepinefrin dan efek
inotropik positif jantung tetap dipertahankan. Dosis umum adalah
0.01-0.1 g/kgBB/menit.10,11
2. Inhibitor fosfodiesterase
Phosphodiesterase (PDE) merupakan enzim yang berperan dalam
degradasi cyclic nucleotide, cAMP dan cyclic guanosine monophosphate
(cGMP). Phosphodiesterase inhibitor memperpanjang atau meningkatkan
efek fisiologis yang diperantarai cAMP dan cGMP. Agen PDE inhibitor,
seperti enoximone dan milrinone memiliki efek inotropik dan vasodilatasi.
Obat ini ditoleransi buruk pada pasien dengan hipotensi arterial, dan

8
pemberiannya sulit karena half life yang panjang. Pemberian secara
intermitten lebih disukai dibandingkan dengan infus kontinyu. Pemberian
dosis kecil PDEIII inhibitor dapat memperkuat efek dobutamine. Pemberian
PDEIII inhibitor menimbulkan komplikasi aritmia, khususnya pada pasien
dengan penyakit jantung iskemia, berkaitan dengan efek cAMP dan kadar
Ca2+. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa milrinone memiliki efek anti
inflamasi dan memiliki peran dalam perfusi hepatosplanchnic. Dosis umum
milrinon yang dipakai adalah 0.0375-0.75 ug/kgBB/menit.12
3. Obat-obat baru (Levosimendan)
Levosimendan tergolong agen yang relatif baru, memiliki efek
intropik dengan meningkatkan sensitivitas kalsium miosit dengan berikatan
dengan cardiac troponin C, dan efek vasodilator dengan membuka
(adenosine triphosphate) sensitif channel potasium pada otot polos vaskuler.
Harga Levosimendan tergolong mahal dan memiliki half life yang panjang
yang secara praktik akan membatasi kegunaannya. Levosimendan
menunjukkan perbaikan hemodinamik yang lebih efektif dibandingkan
dobutamin dan dapat menurunkan mortalitas pada pasien gagal jantung
berat.12

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Devlin JW, Roberts RJ. Pharmacology of commonly used analgesics and sedatives
in the ICU: benzodiazepines, propofol, and opioids. Crit Care Clin. 2009;25:431-9.

2. Hamza M, Dionne RA. Mechanisms of non-opioid analgesics beyond


cyclooxygenase enzyme inhibition. Curr Mol Pharmacol. 2009;2:1-14.

3. Kaufman G. Basic pharmacology of non-opioid analgesics. Nurs Stand. 2010;24:55-


6.

4. Moffett BS, Wann TI, Carberry KE, Mott AR. Safety of ketorolac in neonates and
infants after cardiac surgery. Paediatr Anaesth. 2006;16:424-8.

5. Yaksh TL. Pharmacology and mechanisms of opioid analgesic activity. Acta


Anaesthesiol Scand. 1997;41:94-111.

6. Gin T. Hypnotic and sedative drugs--anything new on the horizon? Curr Opin
Anaesthesiol. 2013;26:409-13.

7. Sanger DJ. The pharmacology and mechanisms of action of new generation, non-
benzodiazepine hypnotic agents. CNS Drugs. 2004;18 Suppl 1:9-15; discussion 41,
43-5.

8. Buck ML, Willdon DF. Use of dexmedetomidine in the pediatric intensive care unit.
Pharmacotherapy. 2008;28:51-7.

9. Buck ML. Dexmedetomidine use in pediatric intensive care and procedural sedation.
J Pediatr Pharmacol Ther. 2010;15:1729.

10. Bangash MN, Kong ML, Pearse RM. Use of inotropes and vasopressor agents in
critically ill patients. Br J Pharmacol. 2012;165:2015-33.

11. Bracht H, Calzia E, Georgieff M, Singer J, Radermacher P, Russell JA. Inotropes


and vasopressors: more than haemodynamics. Br J Pharmacol. 2012;165:2009-11.

12. Zhang Z, Chen K. Vasoactive agents for the treatment of sepsis. Ann Transl Med.
2016;4:333-40.

10

Anda mungkin juga menyukai