Anda di halaman 1dari 23

A.

MUZARAAH

1. Pengertian Muzaraah
Muzaraah memiliki arti suatu kerjasama dalam bidang pertanian antara
pihak pemilik tanah dan penggarap tanah. Kata muzaraah berasal dari wazan
mufaalah dari akar kata zaraa yang sinonimnya anbata, seperti dalam kalimat
:
Allah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan: artinya Allah menumbuhkannya dan
mengembangkannya.
Dalam pengertian istilah, muzaraah adalah suatu cara untuk menjadikan
tanah pertanian menjadi produktif dengan bekerja sama antara pemilik dan
penggarap dalam memproduktifkannya, dan hasilnya dibagi di antara mereka
berdua dengan perbandingan (nisbah) yang dinyatakan dalam perjanjian atau
berdasarkan urf (adat kebiasaan), sedangkan benih (bibit) tanaman berasal dari
pemilik tanah. Bila dalam kerja sama ini bibit disediakan oleh pekerja, maka
secara khusus kerja sama ini disebut dengan mukhabarah. Menurut
Abdurrahaman Isa, sebagaimana dikutip oleh Masjpuk Zuhdi, mengenai hak dan
kewajiban masing-masing dari pemilik lahan dan penggarap tanah bisa diatur
sebaik-baiknya berdasarkan musyawarah mufakat baik menurut adat istiadat
setempat maupun menurut perundang-undangan yang berlaku.
Kesimpulannya adalah bahwa muzaraah adalah suatu akad kerjasama
dalam usaha pertanian dimana pemilik lahan pertanian menyerahkan lahannya
berikut bibit yang diperlukan kepada pekerja atau petani untuk diolah, sedangkan
hasil yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama, seperti setengah,
sepertiga, atau lebih dari itu. Hanya saja dalam definisi muzaraah ulama
Syafiiyah mensyaratkan bibit tanaman harus dikeluarkan oleh pemilik tanah,
apabila bibit dikeluarkan oleh penggarap maka istilahnya bukan muzaraah
melainkan mukhabarah.

2. Perbedaan Muzaraah, Mukhabarah dan Musaqat


a. Muzaraah
Bentuk kerjasama antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan
perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedangkan
benih tanaman berasal dari pemilik tanah.
b. Mukhabarah
Mukhabarah ialah bentuk kerja sama anata pemilik tanah dan penggarap
dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara keduanya menurut
kesepakatan bersama, sedangkan biaya dan benihnya dari penggarap tanah.
c. Musaqat
Bentuk kerja sama antara pemilik kebun dan petani penggarap dengan
tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang

1
maksimal. Kemudian hasil tersebut dibagi diantara mereka berdua sesuai dengan
kesepakatan sebelumnya. Kerjasama dalam bentuk musaqat ini berbeda dengan
mengupah tukang kebun untuk merawat tanaman, karena hasil yang diterimanya
adalah upah yang telah pasti ukurannya dan bukan dari hasilnya yang belum tentu.
Perbedaan tersebut dapat disimpulkan, yaitu:
Muzaraah : benih dari pemilik lahan
Mukhabaroh : benih dari penggarap
Musaqat : perawatan tanaman atau pepohonan
Dari penjelasan singkat diatas, dapat diketahui letak perbedaan antara
muzaraah dan mukhabarah adalah dari sisi asal benih, sedangkan
musaqat adalah kerjasama dalam pemeliharaan dan perawatan pepohonan
dalam sebidang kebun.

3. Dasar Hukum Muzaraah


Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum
muzaraah adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
dari Ibnu Abbas. Sesungguhnya Nabi SAW menyatakan tidak mengharamkan
bermuzaraah bahkan beliau menyuruhnya supaya yang sebagian menyayangi
sebagian yang lain, dengan katanya, barang siapa yang memiliki tanah maka
hendaklah ditanaminya atau memberikan faedahnya kepada saudarnya jika ia
tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu
Dalam membahas hukum muzaraah para pakar fikih berbeda pendapat
mengenai hal tersebut. Beberapa ulama yang memperbolehkannya seperti Abu
Yusuf, Muhammad bin Hasan, Malik, Ahmad serta Dawud Az-Zhahiri didasarkan
pada hadis Nabi berikut. Dari Ibnu Umar bahwa Rasullullah melakukan kerja
sama (penggarapan tanah) dengan penduduk Khaibar dengan imbalan separuh
dari hasil yang keluar dari tanah tersebut, baik buah-buahan maupun tanaman.
(Muttafaq alaih)
Mereka yang memperbolehkan akad muzaraah berdasarkan pendapat
bahwa muzaraah merupakan akad syirkah antara modal (tanah) dan
pekerjaan sebagaimana akad mudarabah yang hukumnya juga diperbolehkan
karena adanya hajat yang mendesak (dibutuhkan). Akad muzaraah tersebut
diperbolehkan sebagaimana akad ijarah dari segi kerjasama dalam hal
penggarapan tanah. Adapun upah dari muzaraah adalah ditentukan dari hasil
pengelolaan tanah tersebut.
Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Zufar, serta Imam asy-Syafii tidak
membolehkannya. Hal ini didasari oleh hadis Nabi. Dari Tsabit bin Adh-Dhahhak
bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW melarang untuk melakukan muzaraah,
dan memerintahkan untuk melakukan muajarah (sewa-menyewa). (HR.
Muslim)

2
Obyek akad dalam muzaraah dinilai memiliki dimensi spekulatif yang
tidak jelas kadarnya, karena yang dijadikan imbalan untuk petani adalah hasil
panen yang belum ada (madum) dan tidak jelas (jahalah) ukurannya,
sehingga keuntungan yang akan dibagikan tidak jelas. Boleh jadi panen gagal dan
si petani tidak mendapat apa-apa dari garapannya, sehingga akad ini berpotensi
untuk terjadinya kerugian. Mereka membantah dalil yang melegitimasi keabsahan
akad muzaraah dari para ulama Malikiyah dengan mengatakan bahwa
perbuatan Rasulullah SAW dengan penduduk Khaibar, bukanlah muzaraah ,
melainkan al-kharraj al-muqasamah, yaitu ketentuan pajak yang harus
dibayarkan kepada Rasulullah SAW setiap kali panen dalam presentase tertentu.
Adapun menurut jumhur ulama fikih hukum muzaraah adalah
diperbolehkan. Dasar kebolehannya secara khusus merujuk pada hadis Nabi dari
Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari yang mengatakan: Bahwasanya
Rasulullah memperkerjakan penduduk Khaibar dalam pertanian dengan imbalan
bagian dari apa yang dihasilkannya dalam bentuk tanaman atau buah-buahan.
(HR.Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasai).
Selain itu dalam kitab Subul as-Salam dijelaskan bahwa larangan
tersebut terjadi pada awal Islam, kemudian setelah nabi dan para sahabatnya
hijrah ke Madinah, merekapun sangat membutuhkan pekerjaan tersebut dan
sangat bermanfaat untuk kebelangsungan kehidupan mereka. Oleh karena itu,
hadis tentang larangan muzaraah tersebut memiliki batasan, yakni jika dalam
perjanjianya terdapat peraturan yang menekan salah satu pihak, sehingga
memberatkannya.
Akad muzaraah ini dalam operasionalnya menyerupai akad syirkah
dan ijarah. Muzaraah menyerupai akad syirkah dalam bersepakat
pembagian penghasilan antara pemilik tanah dan penggarap dari segi pengelolaan
tanah seperti kesepakatan untuk membagi setengah atau seperempat untuk
penggarap. Muzaraah juga menyerupai akad ijarah dan upahnya adalah
bagian yang telah ditentukan dari yang dihasilkan.
Adapun bentuk muzaraah yang diharamkan oleh Islam menurut al-
Qaradlawi sebagaimana yang dikemukakan dalam al-Halal wa al-Haram
adalah muzaraah yang didalamnya terdapat unsur penipuan dan ketidak jelasan
yang membawa kepada perselisihan. Pada praktik tersebut terdapat unsur
penipuan dan ketidakjelasan, karena mungkin saja bagian lahan yang disyaratkan
untuk pemilik lahan tersebut menghasilkan lebih banyak dari pada yang
dihasilkan oleh petani penggarap sehingga akan membawa kepada perselisihan
antara keduanya. Misalnya, dari luas 1.000 m persegi yang disepakati, pemilik
lahan menetapkan bahwa dia berhak atas tanaman yang tumbuh di area 300 m
tertentu. Sedangkan tenaga buruh tani berhak atas hasil yang akan didapat pada
700 m tertentu.

3
Cara seperti ini adalah cara muzaraah yang diharamkan. Inti
larangannya ada pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah satu pihak akan
dirugikan. Misalnya, bila panen dari lahan yang 300 m itu gagal, maka pemilik
lahan akan dirugikan. Sebaliknya, bila panen di lahan yang 700 m itu gagal, maka
buruh tani akan dirugikan. Maka yang benar adalah bahwa hasil panen keduanya
harus disatukan terlebih dahulu, setelah itu baru dibagi hasil sesuai dengan
perjanjian prosentase.

4. Rukun dan Syarat Muzaraah


a) Menurut Ulama Hanafiyah
Rukun muzaraah menurut ulama Hanafiyah hanya berupa ijab
(ungkapan penyerahan lahan dari pemilik lahan) dan qabul (pernyataan
menerima lahan untuk diolah dari petani) yang keduanya harus diucapakan secara
jelas.
b) Menurut Ulama Hanabilah
Adapun ulama Hanabilah tidak mensyaratkan adanya qabul. secara
lafadz, namun cukup dengan suatu tindakan saja yang menunjukkan adanya
qabul. Dengan demikian qabulnya hanya berupa perbuatan dari penggarap.
Adapun jumhur ulama yang membolehkan akad muzaraah
mengemukakan beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga akad
dianggap sah. Rukun muzaraah menurut mereka adalah:
1. Pemilik lahan
2. Petani penggarap
3. Objek muzaraah yaitu antara manfaat dan hasil kerja petani. Apabila
bibit berasal dari petani maka objeknya adalah manfaat lahan dan apabila
bibit berasal dari pemilik lahan maka objeknya adalah hasil kerja petani.
4. Ijab dan qabul. Namun dalam hal ini, ulama mazhab Hanabilah
mangatakan bahwa penerimaan (qabul) akad muzaraah tidak perlu
dengan ungkapan, tetapi boleh juga dengan tindakan, yaitu petani
langsung mengolah lahan tersebut.
Menururt Hanafiah akad muzaraah adalah sama dengan akad syirkah
lainnya, yakni termasuk akad yang ghairu lazim (tidak mengikat). Menurut
Malikiyah, apabila sudah dilakukan penanaman bibit, maka akad menjadi lazim
(mengikat). Akan tetapi menurut pendapat yang kuat di kalangan Malikiyah,
semua syirkah amwal hukumnya lazim dengan telah terjadinya Ijab qabul.
Sedangkan menurut Hanabilah muzaraah dan musaqah merupakan akad
yang ghairu lazim yang bisa dibatalkan oleh masing-masing pihak dan akad
menjadi batal karena meninggalnya salah satu pihak.
Adapun penjelesan mengenai syarat muzaraah, secara singkat Ali Abd
ar-Rasul menjelaskan dalam karyanya al-Mabadi al-Iqtisadi fi al-Islam,
bahwa syarat sah muzaraah ada delapan, antara lain:

4
A. Adanya dua pihak yang berakad
B. Adanya lahan yang subur untuk pertania
C. Jelasnya asal benih
D. Jelasnya bagian orang yang tidak membawa benih
E. Pemilik lahan tidak ikut campur dalam pengelolaan tanah tersebut
(pengelolaan doserahkan sepenuhnya pada penggarap)
F. Jelasnya jenis benih yang akan ditanam
G. Ketentuan bagian dari hasil pengelolaan lahan
Sedangkan syarat-syarat muzaraah menurut jumhur ulama adalah ada
yang menyangkut orang yang berakad, benih yang yang akan ditanam, lahan yang
dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dan yang menyangkut jangka waktu
berlakunya akad.
1. Untuk orang yang melakukan akad disyaratkan bahwa keduanya harus
orang yang telah baligh dan berakal, karena kedua syarat inilah yang
membuat seseorang dianggap telah cakap bertindak hukum. Pendapat lain
dari kalangan ulama mazhab Hanafi menambahkan bahwa salah seorang
atau keduanya bukan orang yang murtad, karena tindakan orang yang
murtad dianggap mauquf (tidak punya efek hukum sampai ia masuk
Islam kembali). Akan tetapi Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-
Syaibani tidak menyetujui syarat tambahan tersebut, karena akad
muzaraah boleh dilakukan antara muslim dan non muslim.
2. Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga
sesuai dengan kebiasaan tanah itu, benih yang ditanam tersebut jelas dan
akan menghasilkan.
3. Adapun syarat yang menyangkut lahan pertanian adalah:
Menurut adat dikalangan para petani, lahan tersebut bisa diolah dan
menghasilkan. Jika lahan tersebut adalah lahan yang tidak potensial
untuk ditanami karena tandus dan kering, sehingga tidak
memungkinkan dijadikan lahan pertanian, maka akad muzaraah
tidak sah.
Batas-batas lahan itu jelas.
Lahan itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk diolah. Apabila
disyaratkan bahwa pemilik lahan ikut mengolah pertanian itu, maka
akad muzaraah tidak sah.
4. Adapun syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen adalah :
Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.
Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa ada
unsur dari luar.
Pembagian hasil panen itu ditentukan pada awal akad untuk
menghindari perselisihan nantinya.

5
Hasil tanaman harus berupa bagian yang belum dibagi di antara orang-
orang yang melakukan akad. Apabila ditentukan bahwa bagian tetentu
diberikan kepada salah satu pihak maka akadnya tidak sah.

5. Bentuk-Bentuk Akad Muzaraah


Abu Yusuf dan Muhammad Hasan asy-Syaibani menyatakan bahwa dilihat
dari segi sah atau tidaknya akad muzaraah . Maka ada empat bentuk
muzaraah tersebut, yaitu:
Apabila lahan dan bibit dari pemilik lahan, kerja dan alat dari petani,
sehingga yang menjadi objek muzaraah adalah jasa petani, maka
hukumnya sah.
Apabila pemilik lahan hanya menyediakan lahan, sedangkan petani
menyediakan bibit, alat, dan kerja, sehingga yang menjadi objek
muza>raah adalah manfaat lahan, maka akad muzaraah juga sah.
Apabila lahan, alat, bibit, dari pemilik lahan dan kerja dari petani,
sehingga yang menjadi objek muzaraah adalah jasa petani, maka akad
muzaraah juga sah.
Apabila lahan pertanian dan alat disediakan pemilik lahan sedangkan bibit
dan kerja dari petani maka akad ini tidak sah. Menurut Abu Yusuf dan
Muhammad menentukan alat pertanian dari pemilik lahan membuat akad
ini jadi rusak, karena alat pertanian tidak bisa mengikut pada lahan.
Menurut mereka, manfaat alat pertanian itu tidak sejenis dengan manfaat
lahan, karena lahan adalah untuk menghasilkan tumbuh-tumbuhan dan
buah, sedangkan manfaat alat hanya untuk mengolah lahan. Alat pertanian
menurut mereka harus mengikut pada petani penggarap bukan kepada
pemilik lahan.

6. Akibat Akad Muzaraah


Menurut jumhur ulama yang membolehkan akad muzaraah, apabila
akad ini telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka akibat hukumnya adalah:
Petani (penggarap) bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan
biaya pemeliharaan pertanian tersebut.
Biaya pertanian seperti biaya pupuk, penuaian serta pembersihan tanaman
ditanggung oleh petani dan pemilik lahan sesuai dengan persentase bagian
masing-masing.
Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak
Pengairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak .
apabila tidak ada kesepakatan maka berlaku kebiasaan di tempat masing-
masing.

6
Apabila salah satu pihak meninggal dunia sebelum panen, maka akad tetap
berlaku sampai panen, dan yang meninggal diwakili oleh ahli warisnya.
Menurut Hanafiah ada beberapa ketentuan untuk muzaraah yang fasid
atau tidak memenuhi salah satu syarat yang ditentukan diatas, antara lain:
Tidak ada kewajiban apapun bagi muzari (penggarap) dari pekerjaan
muzaraah karena akadnya tidak sah.
Hasil yang diperoleh dari tanah garapan semuanya untuk pemilik benih,
baik pemilik tanah mauun penggarap. Dalam hal ini malikiyah dan
Hanabilah sepakat dnegan Hanafiah, yaitu bahwa apabila akdnya fasid
maka hasil tanaman untuk pemilik benih.
Apabila benihnya dari pihak pemilik tanah maka pengelola memperoleh
upah atas pekerjaannya, karena fasidnya akad muza>raah tersebut.
Apabila benihnya berasal dari penggarap maka pemilik tanah berhak
memperoleh sewa atas tanahnya, karena dalam dua kasus ini status
akadnya menjadi sewa-menyewa.
Dalam muzaraah yang fasid, apabila muzari telah menggarap tanah
tersebut maka ia wajib diberi upah yang sepadan (ujrah al-misli),
meskipun tanah yang digarap tidak menghasilkan apa-apa. Hal ini karena
muzaraah statusnya sebagai akad ijarah (sewa-menyewa). Adapun
dalam muzaraah yang shahih, apabila tanah garapan tidak
menghasilkan apa-apa, maka muzari dan pemilik tanah sama sekali tidak
mendapatkan apa-apa.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf, upah yang sepadan dalam
muzaraah yang fasid harus ditetapkan dengan jumlah yang
disebutkan, sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan
menurut Muhammad bin Hasan, upah yang sepadan harus dibayar penuh,
karena ia merupakan ukuran harga (nilai) manfaat yang telah dipenuhi
oleh penggarap.

7. Perjanjian Bagi Hasil Pertanian di Indonesia


Pada dasarnya, baik muzaraah, mukhabarah dan musaqat adalah
konsep kerja sama bagi hasil dalam pengelolaan pertanian antara petani pemilik
lahan dengan petani penggarap. Dalam praktiknya, sebenarnya muzaraah
sudah menjadi tradisi masyarakat petani di pedesaan yang dikenal istilah bagi
hasil. Khususnya di tanah Jawa, praktik ini biasa disebut dengan maro, mertelu
dan mrapat. Penerapan sistem ini pada umumnya dapat dilihat pada masyarakat
pedesaan yang hidupnya mengandalkan pertanian. Karena sistem ini akan
membentuk kerjasama antara pemilik lahan dan petani penggarap yang didasari
rasa persaudaraan antara kedua belah pihak, dan juga sangat membantu mereka

7
yang memiliki lahan tapi tidak mempunyai waktu untuk menggarapnya dan
mereka yang tidak memiliki lahan tapi memiliki keahlian dalam bertani.
Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan bagi
hasil adalah perjanjian pengolahan tanah, dengan upah sebagian dari hasil yang
diperoleh. Perjanjian bagi hasil dalam konteks masyarakat Indonesia bukanlah
suatu hal yang baru, yakni sudah dikenal di dalam hukum adat. Konsep perjanjian
bagi hasil pengolahan tanah pertanian telah diadopsi ke dalam hukum positif
dengan dituangkan dalam undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Bagi
Hasil Tanah Pertanian. Dalam keentuan Pasal 1 undang-undang ini disebutkan
bahwa:
Perjanjian bagi hasil ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang
diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada
pihak lain, yang dalam undang-undang ini disebut penggarap berdasrkan
perjanjian mana penggerap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk
menyelenggrakan usaha pertanian di atas pemilik, dengan pembagian hasilnya
antara kedua belah pihak

Adapun yang menjadi tujuan utama lahirnya undang-undnag ini


sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan umum poin 3 disebutkan:
Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan oenggarapnya dilakukan
atas dasar yang adil.
Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan
penggarap agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para
penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu berada dalam
kedudukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersdia
tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya
adalah sangat besar.
Dengan terselenggaranya apa yang tersebut pada a dan b di atas, maka
akan bertambah bergembiralah para petani penggarap, hal mana akan
berpengaruh baik pula pada produksi tanah yang bersangkutan, yang
berarti suatu langkah maju dalam melaksanakan program akan melengkapi
sandang pangan rakyat.

8. Zakat Muzaraah
Zakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang
punya benih, maka dalam muzaraah yang wajib zakat adalah pemilik tanah,
karena dialah yang menanam, sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja.
Adapun dalam mukhabarah yang wajib zakat adalah penggarap (petani), karena
dialah hakikatnya yang menanam, sedangkan pemilik tanag seolah-olah

8
mengambil sewa tanahnya. Jika benih berasal dari keduanya maka zakat
diwajibkan kepada keduanya jika sudah senisab sebelum pendapatn dibagi dua.
Menurut Yusuf Qaradhawi, bila pemilik itu menyerahkan penggarapan
tanahnya kepada orang lain dengan imbalan seperempat, sepertiga, atau setengah
hasil sesuai dengan perjanjian, maka zakat dikenakan atas kedua bagian
pendapatan masing-masing bila cukup senisab. Bila bagian salah seorang cukup
senisab, sedangkan yang seorang lagi tidak, maka zakat wajib atas yang memiliki
bagian yang cukup senisab, sedangkan yang tidak cukup senisab tidak wajib
zakat. Tetapi Imam Syafii berpendapat bahwa keduanya dipandang satu orang
yang oleh karena itu wajib secara bersamaan menanggung zakatnya bila jumlah
hasil sampai lima wasq, masing-masing mengeluarkan 10% dari bagiannya.

9. Berakhirnya Akad Muzaraah


Muzaraah terkadang berakhir karena telah terwujudnya maksud dan
tujuan akad, misalnya tanaman telah selesai dipanen. Akan tetapi terkadang akad
muzaraah berakhir sebelum terwujudnya tujuan muzaraah karena sebab-
sebab berikut:
Jangka waktu yang disepakati berakhir, akan tetapi apabila jangka waktu
sudah habis sedangkan hasil penen belum layak panen maka akad tersebut
tidak dibatalkan sampai panen tiba, dan hasilnya dibagi sesuai kesepakatan
bersama diwaktu akad. Oleh sebab itu, dalam waktu menunggu panen
tersebut, menurut jumhur ulama petani berhak mendapatkan upah sesuai
dengan upah minimum yang berlaku bagi petani setempat. Selanjutnya,
dalam masa menunggu masa panen tersebut biaya tanaman seperti pupuk,
biaya pemeliharaan, dan pengairan merupkana tanggung jawab bersama
pemilik lahan dan petani sesuai persentase pembagian masing-masing.
Menurut ulama mazhab Hanafi dan mazhab Hanabila, apabila salah
seorang yang berakad wafat, maka akad muzaraah berkahir, karena
mereka berpendapat bahwa akad muzaraah tidak dapat diwariskan.
Akan tetapi ulama mazhab Maliki dan mazhab Syaafii berpendaat bahwa
akad muzaraah dapat diwariskan. Oleh sebab itu, akad tidak berkahir
dengan wafatnya salah satu pihak yaang berakad.
Adanya uzur salah satu pihak, baik dari pemilik lahan maupun dari pihak
petani yang menyebabkan mereka tidak bisa melanjutkan akad
muzaraah tersebut. Uzur yang dimaksud antara lain adalah:
Pemilik lahan terbelit hutang, sehngga lahan pertanian tersebut harus ia
jual, karena tidak ada harta lain yang dapat me;unasi hutang tersebut.
Pembatalan ini harus dilaksanakan melalui campur tangan hakim.
Akan tetapi apabila tumbuh-tumbuhan tersebut telah berbuah, tetapi
belum layak panen, maka lahan tersebut boleh dijual sebelum panen.

9
Adanya uzur petani, seperti sakit atau harus melakukan perjalanan ke
luar kota, atau sakit yang tidak dimungkinkan untuk bisa sembuh
sehingga ia tidak mampu melaksanakan pekerjaannya.

B. MUSAQAH

1. Pengertian
Musaqah berasal dari kata al-saqa, yakni seseorang yang bekerja mengurus
pohon anggur, kurma, tamar, atau lainnya supaya mendatangkan kemaslahatan
dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalannya.
Musaqah secara istilah adalah mempekerjakan manusia untuk mengurus
pohon dengan menyiram dan memeliharanya serta hasil yang direzekikan Allah
SWT. dari pohon itu untuk mereka berdua (pendapat Syekh Syihab ad-Din al-
Qalyubi dan Syekh Umarah).

2. Dasar Hukum
Dasar hukum Musaqah berdasarkan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan
Imam Muslim dari Ibnu Amr, r.a bahwa Rasulullah saw. Bersabda yang artinya:
Memberikan tanah khaibar dengan separoh dari penghasilan, baik buah-buahan
maupun pertanian (tanaman). Pada riwayat lain dinyatakan bahwa Rasul
menyerahkan tanah khaibar itu kepada Yahudi, untuk diolah dan modal dari
hartanya, penghasilan separohnya untuk Nabi.

3. Rukun dan Syarat Musaqah


Rukun musaqah meliputi beberapa hal:
1) Antara pemilik kebun dan tukang kebun (penggarap) hendaknya orang
yang sama-sama berhak bertasaruf (membelanjakan harta keduanya).
2) Kebun dan semua pohon yang berbuah boleh diparokan (bagi hasil),
baik yang berbuah tahunan (satu kali dalam satu tahun) maupun yang
berbuah hanya satu kali kemudian mati, seperti jagung dan padi.
Syarat musaqah adalah sebagai berikut:
A. Ahli dalam akad.
B. Menjelaskan bagian penggarap.
C. Membebaskan pemilik dari pohon.
D. Hasil dari pohon dibagi dua antara pihak-pihak yang melangsungkan
akad sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir.
Tidak disyaratkan untuk menjelaskan mengenai jenis benih, pemilik benih,
kelayakan kebun, serta ketetapan waktu.

4. Hikmah Musaqah

10
Memberi kesempatan pada orang lain untuk bekerja dan menikmati hasil
kerjanya, sesuai dengan yang dikerjakan. Sementara itu, pemilik kebun/ tanah
garapan memberikan kesempatan kerja dan meringankan kerja bagi dirinya.

C. WASIAT

1. Pengertian
Wasiat (jamak, wasaaya) secara etimologis bermakna menyambung
sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam terminologi syariah ia memiliki
beberapa arti sbb:
a. Pemberian seorang manusia pada yang lain dalam bentuk benda, atau
hutang, atau manfaat untuk dimiliki oleh penerima wasiat (al-musho
lahu) atas hibah itu setelah kematian pewasiat.
b. Amal kebaikan dengan harta setelah matinya pewasiat.
c. Kepemilikan yang disandarkan pada sesuatu setelah kematian dengan
cara syar'i.

2. Dasar Hukum
a. Quran Surah Al-Baqarah 2:180 yang artinya: Diwajibkan atas kamu,
apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.
b. QS An-Nisa' 4:11
c. QS Al-Maidah 5:106
d. Hadits Riwayat (HR) Bukhari dan Muslim yang artinya: Tidaklah
seseorang mewasiatkan suatu hak untuk seorang muslim, lalu
wasiatnya belum ditunaikan hingga dua malam, kecuali wasiatnya itu
diwajibkan di sisinya
e. HR Bukhari dan Muslim dari Saad bin Abi Waqqash yang artinya:
Aku berkata, Wahai Rasulullah, aku mau berwasiat untuk
menyerahkan seluruh hartaku (kepada putrid tunggalku, pent.). Beliau
bersabda, Tidak boleh. Aku berkata, Kalau setengahnya? Beliau
bersabda, Tidak boleh. Aku berkata, Kalau sepertiganya? Beliau
bersabda: Ia sepertiganya dan sepertiga itu sudah banyak.
Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan
kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam
keadaan miskin lalu mengemis kepada manusia dengan
menengadahkan tangan-tangan mereka.

11
f. Hukum wasiat adalah sunnah muakkad menurut ijmak ulama
(kesepakatan ulama)
Melaksanakan wasiat itu wajib dan berdosa bagi al-musho ilaih kalau tidak
menyampaikan wasiat. Sedangkan hukum wasiat bagi pewasiat (al-washi/ al-
mushi) ada 4 (empat) yaitu wajib, sunnah, makruh dan haram.
1. Wasiat Wajib
Wajib apabila manusia mempunyai kewajiban syara yang
dikhawatirkan akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti
adanya titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia.
Misalnya dia mempunyai kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau
haji yang belum dilaksanakan, atau amanat yang harus disampaikan,
atau dia mempunyai hutang yang tidak diketahui sselain dirinya, atau
dia mempunyai titipan yang tidak dipersaksikan.
2. Wasiat Sunnah
Wasiat adalah Sunnah mu'akkad menurut ijmak (kesepakatan) ulama.
Walaupun bersedekah pada waktu hidup itu lebih utama. Dan apabila
diperuntukkan bagi kebajikan, karib kerabat, orang-orang fakir dan
orang-orang saleh. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam yang empat,
yaitu Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin
Hambal
3. Wasiat Makruh
Makruh apabila orang yang berwasiat sedikit harta, sedang dia
mempunyai seorang atau banyak ahli waris yang membutuhkan
hartanya. Dan (ii) wasiat kepada orang yang fasik jika diketahui atau
diduga keras bahwa mereka akan menggunakan harta itu di dalam
kefasikan dan kerusakan.
4. Wasiat Haram
a. Wasiat yang lebih dari 1/3 (sepertiga)
b. Wasiat kepada ahli waris.
c. Haram jika ia merugikan ahli waris. Wasiat yang maksudnya
merugikan ahli waris seperti ini adalah batil, sekalipun wasiat itu
mencapai sepertiga harta.
d. Diharamkan juga mewasiatkan khamar, membangun gereja, atau
tempat hiburan.
5. Wasiat Mubah (boleh)
Wasiat hukumnya mubah apabila ia ditujukan kepada orang yang kaya,
baik orang yang diwasiati itu kerabat ataupun orang jauh (bukan
kerabat). Menurut Imam Rafi'i mubahnya wasiat karena bukan
transaksi ibadah.

3. Syarat dan Rukun Wasiat


Rukun wasiat ada empat yaitu:

12
a. Pewasiat (Al-Mushi)
b. Harta yang diwasiatkan (musho bih)
c. Penerima wasiat (musho lah)
d. Penerima amanah menyampaikan wasiat (musho ilaih)
Adapun syarat dari keempat unsur di atas adalah sbb:
1. Syarat benda yang diwasiatkan (musho bih)
Wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 (sepertiga). Apabila lebih, maka
untuk kelebihan dari 1/3 harus atas seijin ahli waris.
Wasiat tidak boleh diberikan pada salah satu ahli waris kecuali atas
seijin ahli waris lain.
Boleh berupa benda yang sudah ada atau yang belum ada seperi
wasiat buah dari pohon yang belum berbuah.
Boleh berupa benda yang sudah diketahui atau tidak diketahui
seperti susu dalam perut sapi.
Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
2. Syarat Pewasiat/ Pemberi Wasiat (Al-Washi)
Akil baligh,
Berakal sehat
Atas kemauan sendiri.
Boleh orang kafir asal yang diwasiatkan perkara halal.
3. Syarat Penerima Wasiat
Penerima wasiat ada dua macam:
Wasiat umum seperti wasiat pembangunan masjid
Wasiat khusus yaitu wasiat kepada orang/ benda tertentu.
Kalau wasiat bersifat umum, maka tidak boleh untuk hal yang
mengandung dosa (maksiat). Contoh, wasiat harta untuk pembangunan masjid
boleh tetapi wasiat untuk membangun klab malam tidak boleh.
Untuk wasiat khusus maka syaratnya adalah sbb:
Penerima wasiat hidup (orang mati tidak bisa menerima wasiat)
Penerima wasiat diketahui (jelas identitas orangnya)
Dapat memiliki.
Penerima wasiat tidak membunuh pewasiat.
Penerima wasiat menerima (qabul) pemberian wasiat dari pewasiat.
Kalau menolak, maka wasiat batal.

D. HIBAH

1. Pengertian
Secara bahasa hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan menurut
istilah hibah yaitu akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti
ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.

13
Didalam syara sendiri menyebutkan hibah mempunyai arti akad yang
pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu
dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada
orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak kepemilikan
maka harta tersebut disebutiaarah (pinjaman).

2. Hukum Hibah
Hibah disyariatkan dan dihukumi mandub (sunat) dalam Islam. Dan Ayat-
ayat Al quran maupun teks dalam hadist juga banyak yang menganjurkan
penganutnya untuk berbuat baik dengan cara tolong menolong dan salah satu
bentuk tolong menolong tersebut adalah memberikan harta kepada orang lain
yang betul-betul membutuhkannya, dalam firman Allah: dan tolong
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa..( QS: Al Maidah:
2).
Adapun barang yang sudah dihibahkan tidak boleh diminta kembali
kecuali hibah orang tua kepada anaknya dalam sabda Nabi: Tidak halal bagi
seseorang yang telah memberi sesuatu pemberian atau menghibahkan suatu hibah
atau menarik kembali kecuali orang tuua yang memberi kepada anaknya. (HR.
Abu Daud).

3. Syarat dan Rukun Hibah


Menurut jumhur ulama rukun hibah ada empat:
a. Wahib (Pemberi)
Wahib adalah pemberi hibah, yang menghibahkan barang miliknya
kepada orang lain.
b. Mauhub lah (Penerima)
Penerima hibah adalah seluruh manusia dalam arti orang yang
menerima hibah.
c. Mauhub
Mauhub adalah barang yang di hibahkan.
d. Shighat (Ijab dan Qabul)
Shighat hibbah adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan ijab dan
qabul.
Hibah menghendaki adanya penghibah, orang yang diberi hibah, dan
sesuatu yang dihibahkan.
a. Syarat-syarat penghibah
Disyaratkan bagi pengbhibah syarat-syarat sebagai berikut:
Penghibah memiliki sesuatu untuk dihibahkan
Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan.
Penghibah itu orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.
Penghibah itu tidak dipaksa, sebab hibah itu akad yang
mempersyaratkan keridhaan dalam keabsahannya.

14
b. Syarat-syarat bagi orang yang diberi hibah
Orang yang diberi hibah disyaratkan benar-benar ada waktu diberi hibah.
Bila tidak benar-benar ada, atau diperkirakan adanya, misalnya dalam bentuk
janin, maka hibah tidak sah. Apabila orang yang diberi hibah itu ada di waktu
pemberian hibah, akan tetapi dia masih atau gila, maka hibah itu diambil oleh
walinya, pemeliharaannya atau orang mendidiknya sekalipun dia orang asing.
c. Syarat-syarat bagi yang dihibahkan
Disyaratkan bagi yang dihibahkan:
Benar-benar ada
Harta yang bernilai
Dapat dimiliki dzatnya, yakni bahwa yang dihibahkan itu adalah apa
yang bisa dimiliki, diterima peredarannya, dan pemilikannya dapat
berpindah tangan. Maka tidak sah menghibahkan air di sungai, ikan di
laut, burung di udara, masjid-masjid atau pesantren-pesantren.
Tidak berhubungan dengan tempat pemilik hibah, seperti
menghibahkan tanaman, pohon, atau bangunan tanpa tanahnya.
Dikhususkan, yakni yang dihibahkan itu bukan untuk umum, sebab
pemegangan dengan tangan itu tidak sah kecuali bila ditentukaan
(dikhususkan) seperti halnya jaminan.
Terdapat dua hal yang hendak dicapai oleh hibah yakni, Pertama, dengan
beri memberi akan menimbulkan suasana akrab dan kasih sayang antara sesama
manusia. Sedangkan mempererat hubungan silaturrahmi itu termasuk ajaran dasar
agama Islam. Kedua, yang dituju oleh anjuran hibah adalah terbentuknya
kerjasam dalam berbuat baik, baik dalam menanggulangi kesulitan saudaranya,
maupun dalam membangun lembaga-lembaga sosial.

E. WARISAN/ FARAID

1. Pengertian
Warisan berasal dari bahasa Arab al-irts atau al-mirats secara umum
bermakna peninggalan (tirkah) harta orang yang sudah meninggal (mayit). Secara
etimologis (lughawi) waris mengandung 2 arti yaitu tetap dan berpindahnya
sesuatu dari suatu kaum kepada kaum yang lain baik itu berupa materi atau non-
materi.
Sedang menurut terminologi fiqih/ syariah Islam adalah berpindahnya
harta seorang (yang mati) kepada orang lain (ahli waris) karena ada hubungan
kekerabatan atau perkawinan dengan tata cara dan aturan yang sudah ditentukan
oleh Islam berdasar QS An-Nisa' 4:11-12.

15
2. Dalil Dasar Hukum Waris
Hukum waris dalam Islam berdasarkan pada nash (teks) dalam Al-Quran sebagai
berikut:
a. QS An-Nisa' 4:11-12 yang artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak
lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana (ayat 11). Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika
isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari
harta yang ditinggalkannya sdsudah dipenuhi wasiat yang mereka buat
atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki
maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-
saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar
dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.(ayat 12)
b. QS An-Nisa' 4:176 yang artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu
(tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang

16
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya
yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia
tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal.

3. Kewajiban Ahli Waris Kepada Pewaris


Sebelum harta dibagi, ahli waris punya kewajiban terdadap pewaris yang wafat
sbb:
a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan,
termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang (tanggung jawab
ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada
jumlah atau nilai harta peninggalannya.);"
c. Menyelesaikan wasiat pewaris;
d. Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.

4. Syarat dan Rukun Waris


Syarat waris Islam ada 3 (tiga) yaitu:
1) Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara
hukum (misalnya dianggap telah meninggal).
2) Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris
meninggal dunia.
3) Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-
masing.
Rukun waris ada 3 (tiga) yaitu:
1) Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia.
2) Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima
harta peninggalan pewaris.
3) Harta warisan.

5. Nama Ahli Waris dan Bagiannya


Dari seluruh ahli waris yang tersebut di bawah ini, yang paling penting
dan selalu mendapat bagian warisan ada 5 yaitu anak kandung (laki-laki dan
perempuan), ayah, ibu, istri, suami. Artinya apabila semua ahli waris di bawah
berkumpul, maka yang mendapat warisan hanya kelima ahli waris di atas.
Sedangkan ahli waris yang lain dapat terhalang haknya (hijab/mahjub)
karena bertemu dengan ahli waris yang lebih tinggi seperti cucu bertemu dengan
anak. Daftar nama ahli waris dan rincian bagian harta warisan yang diperoleh
dalam berbagai kondisi yang berbeda.

17
A. Bagian Waris Anak Laki-laki
Anak laki-laki selalu mendapat asabah atau sisa harta setelah dibagikan
pada ahli waris yang lain. Walaupun demikian, anak laki-laki selalu mendapat
bagian terbanyak karena keberadaannya dapat mengurangi bagian atau
menghilangkan sama sekali (mahjub/hirman) hak dari ahli waris yang lain. Dalam
ilmu faraidh, anak laki-laki disebut ahli waris ashabah binafsih (asabah dengan
diri sendiri).

B. Bagian Waris Anak Perempuan


Anak perempuan mendapat 1/2 (setengah) harta warisan apabila:
1) Sendirian (anak tunggal)
2) Tidak ada anak laki-laki.
Anak perempuan Mendapat 2/3 (dua pertiga) apabila:
1) Lebih dari satu
2) Tidak ada anak laki-laki.
Anak perempuan mendapat bagian asabah (sisa) apabila ada anak laki-laki.
Dalam keadaan ini maka anak perempuan mendapat setengah atau separuh
dari bagian anak laki-laki. (QS An-Nisa' 4:11)

C. Bagian Waris Ayah


Ayah mendapat 1/3 (sepertiga) bagian bila pewaris tidak meninggalkan
anak.
Ayah Mendapat bagian 1/6 (seperenam) apabila ada keturunan pewaris
yang laki-laki seperti anak atau cucu laki-laki dan kebawah.
Ayah mendapat bagian asabah dan bagian pasti sekaligus apabila ada
keturunan pewaris yang perempuan saja yaitu anak perempuan atau cucu
perempuan dan kebawah. Maka, ayah mendapat 1/6 (seperenam) dan
asabah.
Ayah mendapat bagian waris asobah atau siswa apabila pewaris tidak
memiliki keturunan baik anak atau cucu ke bawah.
Yang terhalang (mahjub) karena ayah adalah saudara laki-laki kandung,
saudara laki-laki sebapak, saudara laki-laki seibu. Semua tidak mendapat warisan
karena adanya Ayah atau Kakek.

D. Bagian Waris Ibu


Ibu mendapat 1/3 (sepertiga) warisan dengan syarat:
1) Tidak ada keturunan pewaris yaitu anak, cucu, dst;
2) Tidak berkumpulnya beberapa saudara laki-laki dan saudara
perempuan;
3) Tidak adanya salah satu dari dua masalah umroh.
Ibu mendapat 1/6 (seperenam) apabila:
1) Pewaris punya keturunan yaitu anak, cucu, kebawah;

18
2) Adanya dua saudara laki-laki dan perempaun atau lebih.
Ibu mendapat 1/3 (sepertiga) sisanya dalam masalah umaritain (umar dua)
yaitu:
1) Istri, Ibu, Bapak. Masalah dari empat: suami 1/4 (satu), ibu 1/3 sisa
(satu), yang lain untuk bapak (dua).
2) Suami, Ibu, Bapak. Masalah dari enam: suami 1/2 (tiga), ibu sisa 1/3
(satu), sisanya untuk bapak (dua).
Ibu mendapat 1/3 dari sisa agar supaya tidak melebihi bagian bapak karena
keduanya sederajat dari awal dan supaya laki-laki mendapat bagian dua kali lipat
dari perempuan. (QS An-Nisa' 4:11).

E. Bagian Waris Suami (Duda)


Suami atau duda yang ditinggal mati istri mendapat 1/2 (setengah) apabila
istri tidak punya keturunan yang mewarisi yaitu anak laki-laki dan
perempuan, cucu lak-laki dan kebawah, sedang cucu perempuan tidak
menerima warisan.
Suami mendapat 1/4 apabila ada keturunan yang mewarisi, baik mereka
berasal dari hubungan dengan suami yang sekarang atau suami yang lain.

F. Bagian Waris Istri (Janda)


Istri atau janda yang ditinggal mati suami mendapat 1/4 (seperempat)
bagian apabila tidak ada keturunan yang mewarisi yaitu anak laki dan
perempuan, cucu laki-laki dan kebawah.
Istri mendapat 1/8 (seperdelapan) bagian apabila suami punya keturunan
yang mewarisi baik dari istri sekarang atau istri yang lain.
Istri yang lebih dari satu harus berbagi dari bagian 1/4 atau 1/8 tersebut.
(QS An-Nisa' 4:12).

G. Bagian Waris Kakek


Kakek mendapat bagian 1/6 (seperenam) dengan syarat:
1) Adanya keturunan yang mewarisi;
2) tidak ada bapak.
Kakek mendapat bagian asabah (siswa) apabila:
1) Mayit atau pewaris tidak punya keturunan yang mewarisi (anak
kandung laki perempuan; cucu laki dan kebawah);
2) Tidak ada bapak.
Kakek mendapat bagian pasti dan asabah sekaligus apabila ada keturunan
yang mewarisi yang perempuan yaitu anak perempuan dan cucu
perempuan anak laki (bintul ibni).
Apabila ada bapak, maka kakek tidak mendapat apa-apa.
Kakek yang mendapat warisan adalah yang tidak ada hubungan
perempuan antara dia dan mayit seperti bapaknya bapak. Bagiannya seperti bagian

19
warisnya bapak kecuali dalam masalah umariyatain dalam kasus terakhir maka
ibu bersama kakek mendapat bagian 1/3 dari seluruh harta sedangkan apabila
bersama ayah mendapat 1/3 dari sisa setelah diberikannya bagian suami/istri.

H. Bagian Waris Nenek


Nenek satu atau lebih mendapat 1/6 (seperenam) dengan syarat tidak ada
ibu. Nenek terhalang (mahjub) alias tidak mendapat apa-apa apabila ada ibu.
Nenek yang mendapat warisan adalah ibunya ibu, ibunya ayah, ibunya kakek dan
keatas dari perempuan, dua dari arah ayah dan satu dari arah ibu.

I. Bagian Waris Cucu Laki-laki


Cucu laki-laki dari anak laki-laki mendapat bagian warisan dengan syarat
dan ketentuan berikut:
Bagian yang didapat adalah sisa tirkah (peninggalan) setelah dibagi
dengan ahli waris lain yang mendapat bagian pasti (ashabul furudh)
Tidak ada anak dari mayit yang masih hidup. Kalau ada anak pewaris yang
masih hidup, maka cucu tidak mendapat hak waris karena terhalang
(mahjub) oleh anak.

J. Bagian Waris Cucu Perempuan dari Anak Laki (Banatul Ibni)


Cucu perempuan dari anak laki (bintul ibni) satu atau lebih mendapat
bagian asabah apabila berkumpul bersama saudaranya yang sederajat yaitu
cucu laki-laki dari anak laki (ibnul ibni)
Bintul ibni mendapat 1/2 (setengah) apabila:
1) Tidak ada saudara laki-laki sederajat;
2) Sendirian atau tidak ada bintul ibni yang lain;
3) Tidak ada keturunan yang mewarisi yaitu anak laki dan anak
perempuan.
Cucu perempuan dua atau lebih mendapat 2/3 (dua pertiga) dengan syarat:
1) Ada dua cucu perempuan dari anak laki atau lebih;
2) Tidak ada ahli waris asabah (ibnul ibni - cucu laki dari anak laki) yaitu
saudara laki-lakinya;
3) Tidak ada keturunan yang mewarisi yang lebih tinggi yaitu anak laki
dan anak perempuan.
4) Cucu perempuan dari anak laki satu atau lebih mendapat bagian 1/6
(seperenam) apabila:
5) Tidak ada ahli waris asabah atau cucu laki-laki;
Tidak ada keturunan yang mewarisi yang lebih tinggi yaitu anak kecuali
anak perempuan (binti) yang mendapat 1/2.

20
Cucu perempuan dari anak laki (bintul ibni) mendapat 1/6 apabila bersama
anak perempuan yang mendapat 1/2 (separuh). Begitu juga, hukumnya cicit
perempuan (bintu ibni ibni) bersama cucu perempuan (bintul ibni), dan seterusnya
ke bawah.

K. Bagian Waris Saudara Laki-laki Kandung


Saudara laki-laki kandung mendapat warisan sisa (asabah) dengan syarat
apabila:
Tidak ada anak laki-laki;
Tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki;
Tidak ada bapak;
Tidak ada kakek (menurut beberapa pendapat). Apabila ada para ahli waris
ini, maka ia tidak mendapat warisan sama sekali karena terhalang
(mahjub).

L. Bagian Waris Saudara Perempuan Kandung


Saudara perempuan kandung mendapat 1/2 (setengah) dengan syarat:
1) Sendirian alias tidak ada saudara perempuan kandung yang lain;
2) Tidak ada saudara kandung laki-laki;
3) Tidak ada bapak atau kakek;
4) Tidak ada anak, atau cucu.
Mendapat 2/3 (dua pertiga) apabila:
1) Lebih dari satu;
2) Tidak ada anak/ cucu;
3) Tidak ada bapak atau kakek;
4) Tidak ada saudara kandung.
Mendapat bagian asabah (sisa) apabila:
1) Bersamaan dengan saudara kandung laki-laki;
2) Bersamaan dengan anak perempuan. Lihat, QS An-Nisa' 4:176
Tidak mendapat bagian (mahjub) apabila ada anak laki-laki; cucu laki-laki
dari anak laki-laki; bapak; kakek.

M. Bagian Waris Saudara Laki-laki Sebapak


Saudara laki-laki sebapak mendapat warisan sisa (asabah) dengan syarat
apabila:
Tidak ada saudara laki-laki kandung;
Tidak ada anak laki-laki;
Tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki;
Tidak ada bapak;
Tidak ada kakek (menurut beberapa pendapat).

N. Bagian Waris Saudara Perempuan Se-Bapak (Se-Ayah) Ukhti li Abi

21
a. Saudara perempuan se-bapak/ se-ayah atau ukhti li abi mendapat bagian
1/2 (setengah) dengan syarat:
Sendirian alias tidak bersamaan dengan ukhti li abi yang lain;
Tidak ada ahli waris asabah atau saudara laki-nya;
Tidak ada orang tua laki ke atas (ayah, kakek) yang mewarisi;
Tidak ada keturunan ke bawah (anak, cucu);
Tidak ada saudara kandung laki atau perempuan.
b. Saudara perempuan sebapak (ukhti li abi) mendapat bagian 2/3 (dua
pertiga) dengan syarat:
Bersamaan dengan ukhti li abi yang lain;
Tidak ada ahli waris asabah atau saudara laki-nya;
Tidak ada orang tua laki ke atas (ayah, kakek) yang mewarisi;
Tidak ada keturunan ke bawah (anak, cucu);
Tidak ada saudara kandung laki atau perempuan.
c. Saudara perempuan sebapak (ukhti li abi) satu atau lebih mendapat bagian
1/6 (seperenam) dengan syarat:
Bersamaan dengan saudara perempuan kandung (ukhti syaqiqah) satu
yang mendapat bagian pasti;
Tidak ada ahli waris asabah atau saudara lakinya;
Tidak ada keturunan yang mewarisi (anak, cucu);
Tidak ada orang tua (aslul waris) yang mewarisi dari pihak laki seperti
ayah, kakek, dst;
Tidak ada saudara kandung satu atau lebih.
d. Saudara perempuan sebapak (ukhti li abi) satu atau lebih mendapat bagian
asabah dengan syarat:
Apabila bersama dengan ahli waris asabah yaitu saudara lakinya, maka
yang laki mendapat dua kali lipat;
Bersamaan dengan keturunan yang mewarisi dari pihak perempuan
seperti anak perempuan.
Apabila tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, yakni apabila ada anak
laki-laki; cucu laki-laki dari anak laki-laki; bapak; kakek, saudara kandung, maka
Saudara perempuan sebapak (ukhti li abi) tidak mendapat bagian waris apapun.

O. Bagian Waris Saudara Laki-laki/ Perempuan Se-Ibu Akhi/ Ukhti li Ummi


Saudara seibu (akh li ummi) baik laki atau perempuan mendapat bagian
1/6 (seperenam) dengan syarat:
1) Tidak ada keturunan yang mewarisi yaitu anak, cucu, dst;
2) Tidak ada orang tua laki-laki yaitu bapak, kakek, dst;
3) Sendirian.
Saudara seibu (akh li ummi) baik laki atau perempuan mendapat bagian
1/3 dengan syarat:
1) Dua atau lebih;
2) Tidak ada keturunan yang mewarisi yaitu anak, cucu, dst;

22
3) Tidak ada orang tua yang mewarisi dari pihak laki yaitu bapak, kakek,
dst. (QS An-Nisa' 4:12).

P. Paman (Ammu Syaqiq - Saudara Laki-laki Kandung Ayah)


Dalam bahasa Arab Paman ada dua, yaitu: Ammu dan Kholi. Ammu
adalah paman sebagai saudara kandung ayah, sedang kholi adalah paman sebagai
saudara kandung ibu. Yang mendapat warisan adalah Ammu.
Ammu adalah saudara kandung dari ayah pewaris. Mendapat asabah atau
sisa. Apabila ada kelebihan setelah pembagian ahli waris dari yang mendapat
bagian pasti (ashabul furud) dan tidak ada penghalang (mahjub) maka ia mendapat
seluruh sisa. Apabila sendiri maka ia mendapat seluruh harta warisan. Paman tidak
dapat warisan sebab terhalang (mahjub) oleh adanya:
Anak laki-laki (ibnu),
Cucu laki-laki dari anak laki-laki (ibnul ibni),
Bapak,
Kakek (ibul jad),
Saudara kandung (akhu syaqiq),
Saudara seayah (akhu li abi),
Anak lelaki saudara seayah (ibnul akhi li abi).

Q. Bibi (Ammah - Saudara Perempuan Kandung Ayah)


Bibi saudara dari ayah (ammah) Termasuk ahli waris dzawil arham. Ada
perbedaan ulama apakah bibi mendapat waris atau tidak, pendapat yang rajih ia
dapat. Ia baru mendapat warisan apabila tidak ada ahli waris bagian pasti dan
asobah. Misalnya, apabila seseorang meninggal yang ada hanya bibi, maka ia
berhak atas seluruh warisan.

23

Anda mungkin juga menyukai