MUZARAAH
1. Pengertian Muzaraah
Muzaraah memiliki arti suatu kerjasama dalam bidang pertanian antara
pihak pemilik tanah dan penggarap tanah. Kata muzaraah berasal dari wazan
mufaalah dari akar kata zaraa yang sinonimnya anbata, seperti dalam kalimat
:
Allah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan: artinya Allah menumbuhkannya dan
mengembangkannya.
Dalam pengertian istilah, muzaraah adalah suatu cara untuk menjadikan
tanah pertanian menjadi produktif dengan bekerja sama antara pemilik dan
penggarap dalam memproduktifkannya, dan hasilnya dibagi di antara mereka
berdua dengan perbandingan (nisbah) yang dinyatakan dalam perjanjian atau
berdasarkan urf (adat kebiasaan), sedangkan benih (bibit) tanaman berasal dari
pemilik tanah. Bila dalam kerja sama ini bibit disediakan oleh pekerja, maka
secara khusus kerja sama ini disebut dengan mukhabarah. Menurut
Abdurrahaman Isa, sebagaimana dikutip oleh Masjpuk Zuhdi, mengenai hak dan
kewajiban masing-masing dari pemilik lahan dan penggarap tanah bisa diatur
sebaik-baiknya berdasarkan musyawarah mufakat baik menurut adat istiadat
setempat maupun menurut perundang-undangan yang berlaku.
Kesimpulannya adalah bahwa muzaraah adalah suatu akad kerjasama
dalam usaha pertanian dimana pemilik lahan pertanian menyerahkan lahannya
berikut bibit yang diperlukan kepada pekerja atau petani untuk diolah, sedangkan
hasil yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama, seperti setengah,
sepertiga, atau lebih dari itu. Hanya saja dalam definisi muzaraah ulama
Syafiiyah mensyaratkan bibit tanaman harus dikeluarkan oleh pemilik tanah,
apabila bibit dikeluarkan oleh penggarap maka istilahnya bukan muzaraah
melainkan mukhabarah.
1
maksimal. Kemudian hasil tersebut dibagi diantara mereka berdua sesuai dengan
kesepakatan sebelumnya. Kerjasama dalam bentuk musaqat ini berbeda dengan
mengupah tukang kebun untuk merawat tanaman, karena hasil yang diterimanya
adalah upah yang telah pasti ukurannya dan bukan dari hasilnya yang belum tentu.
Perbedaan tersebut dapat disimpulkan, yaitu:
Muzaraah : benih dari pemilik lahan
Mukhabaroh : benih dari penggarap
Musaqat : perawatan tanaman atau pepohonan
Dari penjelasan singkat diatas, dapat diketahui letak perbedaan antara
muzaraah dan mukhabarah adalah dari sisi asal benih, sedangkan
musaqat adalah kerjasama dalam pemeliharaan dan perawatan pepohonan
dalam sebidang kebun.
2
Obyek akad dalam muzaraah dinilai memiliki dimensi spekulatif yang
tidak jelas kadarnya, karena yang dijadikan imbalan untuk petani adalah hasil
panen yang belum ada (madum) dan tidak jelas (jahalah) ukurannya,
sehingga keuntungan yang akan dibagikan tidak jelas. Boleh jadi panen gagal dan
si petani tidak mendapat apa-apa dari garapannya, sehingga akad ini berpotensi
untuk terjadinya kerugian. Mereka membantah dalil yang melegitimasi keabsahan
akad muzaraah dari para ulama Malikiyah dengan mengatakan bahwa
perbuatan Rasulullah SAW dengan penduduk Khaibar, bukanlah muzaraah ,
melainkan al-kharraj al-muqasamah, yaitu ketentuan pajak yang harus
dibayarkan kepada Rasulullah SAW setiap kali panen dalam presentase tertentu.
Adapun menurut jumhur ulama fikih hukum muzaraah adalah
diperbolehkan. Dasar kebolehannya secara khusus merujuk pada hadis Nabi dari
Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari yang mengatakan: Bahwasanya
Rasulullah memperkerjakan penduduk Khaibar dalam pertanian dengan imbalan
bagian dari apa yang dihasilkannya dalam bentuk tanaman atau buah-buahan.
(HR.Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasai).
Selain itu dalam kitab Subul as-Salam dijelaskan bahwa larangan
tersebut terjadi pada awal Islam, kemudian setelah nabi dan para sahabatnya
hijrah ke Madinah, merekapun sangat membutuhkan pekerjaan tersebut dan
sangat bermanfaat untuk kebelangsungan kehidupan mereka. Oleh karena itu,
hadis tentang larangan muzaraah tersebut memiliki batasan, yakni jika dalam
perjanjianya terdapat peraturan yang menekan salah satu pihak, sehingga
memberatkannya.
Akad muzaraah ini dalam operasionalnya menyerupai akad syirkah
dan ijarah. Muzaraah menyerupai akad syirkah dalam bersepakat
pembagian penghasilan antara pemilik tanah dan penggarap dari segi pengelolaan
tanah seperti kesepakatan untuk membagi setengah atau seperempat untuk
penggarap. Muzaraah juga menyerupai akad ijarah dan upahnya adalah
bagian yang telah ditentukan dari yang dihasilkan.
Adapun bentuk muzaraah yang diharamkan oleh Islam menurut al-
Qaradlawi sebagaimana yang dikemukakan dalam al-Halal wa al-Haram
adalah muzaraah yang didalamnya terdapat unsur penipuan dan ketidak jelasan
yang membawa kepada perselisihan. Pada praktik tersebut terdapat unsur
penipuan dan ketidakjelasan, karena mungkin saja bagian lahan yang disyaratkan
untuk pemilik lahan tersebut menghasilkan lebih banyak dari pada yang
dihasilkan oleh petani penggarap sehingga akan membawa kepada perselisihan
antara keduanya. Misalnya, dari luas 1.000 m persegi yang disepakati, pemilik
lahan menetapkan bahwa dia berhak atas tanaman yang tumbuh di area 300 m
tertentu. Sedangkan tenaga buruh tani berhak atas hasil yang akan didapat pada
700 m tertentu.
3
Cara seperti ini adalah cara muzaraah yang diharamkan. Inti
larangannya ada pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah satu pihak akan
dirugikan. Misalnya, bila panen dari lahan yang 300 m itu gagal, maka pemilik
lahan akan dirugikan. Sebaliknya, bila panen di lahan yang 700 m itu gagal, maka
buruh tani akan dirugikan. Maka yang benar adalah bahwa hasil panen keduanya
harus disatukan terlebih dahulu, setelah itu baru dibagi hasil sesuai dengan
perjanjian prosentase.
4
A. Adanya dua pihak yang berakad
B. Adanya lahan yang subur untuk pertania
C. Jelasnya asal benih
D. Jelasnya bagian orang yang tidak membawa benih
E. Pemilik lahan tidak ikut campur dalam pengelolaan tanah tersebut
(pengelolaan doserahkan sepenuhnya pada penggarap)
F. Jelasnya jenis benih yang akan ditanam
G. Ketentuan bagian dari hasil pengelolaan lahan
Sedangkan syarat-syarat muzaraah menurut jumhur ulama adalah ada
yang menyangkut orang yang berakad, benih yang yang akan ditanam, lahan yang
dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dan yang menyangkut jangka waktu
berlakunya akad.
1. Untuk orang yang melakukan akad disyaratkan bahwa keduanya harus
orang yang telah baligh dan berakal, karena kedua syarat inilah yang
membuat seseorang dianggap telah cakap bertindak hukum. Pendapat lain
dari kalangan ulama mazhab Hanafi menambahkan bahwa salah seorang
atau keduanya bukan orang yang murtad, karena tindakan orang yang
murtad dianggap mauquf (tidak punya efek hukum sampai ia masuk
Islam kembali). Akan tetapi Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-
Syaibani tidak menyetujui syarat tambahan tersebut, karena akad
muzaraah boleh dilakukan antara muslim dan non muslim.
2. Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga
sesuai dengan kebiasaan tanah itu, benih yang ditanam tersebut jelas dan
akan menghasilkan.
3. Adapun syarat yang menyangkut lahan pertanian adalah:
Menurut adat dikalangan para petani, lahan tersebut bisa diolah dan
menghasilkan. Jika lahan tersebut adalah lahan yang tidak potensial
untuk ditanami karena tandus dan kering, sehingga tidak
memungkinkan dijadikan lahan pertanian, maka akad muzaraah
tidak sah.
Batas-batas lahan itu jelas.
Lahan itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk diolah. Apabila
disyaratkan bahwa pemilik lahan ikut mengolah pertanian itu, maka
akad muzaraah tidak sah.
4. Adapun syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen adalah :
Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.
Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa ada
unsur dari luar.
Pembagian hasil panen itu ditentukan pada awal akad untuk
menghindari perselisihan nantinya.
5
Hasil tanaman harus berupa bagian yang belum dibagi di antara orang-
orang yang melakukan akad. Apabila ditentukan bahwa bagian tetentu
diberikan kepada salah satu pihak maka akadnya tidak sah.
6
Apabila salah satu pihak meninggal dunia sebelum panen, maka akad tetap
berlaku sampai panen, dan yang meninggal diwakili oleh ahli warisnya.
Menurut Hanafiah ada beberapa ketentuan untuk muzaraah yang fasid
atau tidak memenuhi salah satu syarat yang ditentukan diatas, antara lain:
Tidak ada kewajiban apapun bagi muzari (penggarap) dari pekerjaan
muzaraah karena akadnya tidak sah.
Hasil yang diperoleh dari tanah garapan semuanya untuk pemilik benih,
baik pemilik tanah mauun penggarap. Dalam hal ini malikiyah dan
Hanabilah sepakat dnegan Hanafiah, yaitu bahwa apabila akdnya fasid
maka hasil tanaman untuk pemilik benih.
Apabila benihnya dari pihak pemilik tanah maka pengelola memperoleh
upah atas pekerjaannya, karena fasidnya akad muza>raah tersebut.
Apabila benihnya berasal dari penggarap maka pemilik tanah berhak
memperoleh sewa atas tanahnya, karena dalam dua kasus ini status
akadnya menjadi sewa-menyewa.
Dalam muzaraah yang fasid, apabila muzari telah menggarap tanah
tersebut maka ia wajib diberi upah yang sepadan (ujrah al-misli),
meskipun tanah yang digarap tidak menghasilkan apa-apa. Hal ini karena
muzaraah statusnya sebagai akad ijarah (sewa-menyewa). Adapun
dalam muzaraah yang shahih, apabila tanah garapan tidak
menghasilkan apa-apa, maka muzari dan pemilik tanah sama sekali tidak
mendapatkan apa-apa.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf, upah yang sepadan dalam
muzaraah yang fasid harus ditetapkan dengan jumlah yang
disebutkan, sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan
menurut Muhammad bin Hasan, upah yang sepadan harus dibayar penuh,
karena ia merupakan ukuran harga (nilai) manfaat yang telah dipenuhi
oleh penggarap.
7
yang memiliki lahan tapi tidak mempunyai waktu untuk menggarapnya dan
mereka yang tidak memiliki lahan tapi memiliki keahlian dalam bertani.
Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan bagi
hasil adalah perjanjian pengolahan tanah, dengan upah sebagian dari hasil yang
diperoleh. Perjanjian bagi hasil dalam konteks masyarakat Indonesia bukanlah
suatu hal yang baru, yakni sudah dikenal di dalam hukum adat. Konsep perjanjian
bagi hasil pengolahan tanah pertanian telah diadopsi ke dalam hukum positif
dengan dituangkan dalam undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Bagi
Hasil Tanah Pertanian. Dalam keentuan Pasal 1 undang-undang ini disebutkan
bahwa:
Perjanjian bagi hasil ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang
diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada
pihak lain, yang dalam undang-undang ini disebut penggarap berdasrkan
perjanjian mana penggerap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk
menyelenggrakan usaha pertanian di atas pemilik, dengan pembagian hasilnya
antara kedua belah pihak
8. Zakat Muzaraah
Zakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang
punya benih, maka dalam muzaraah yang wajib zakat adalah pemilik tanah,
karena dialah yang menanam, sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja.
Adapun dalam mukhabarah yang wajib zakat adalah penggarap (petani), karena
dialah hakikatnya yang menanam, sedangkan pemilik tanag seolah-olah
8
mengambil sewa tanahnya. Jika benih berasal dari keduanya maka zakat
diwajibkan kepada keduanya jika sudah senisab sebelum pendapatn dibagi dua.
Menurut Yusuf Qaradhawi, bila pemilik itu menyerahkan penggarapan
tanahnya kepada orang lain dengan imbalan seperempat, sepertiga, atau setengah
hasil sesuai dengan perjanjian, maka zakat dikenakan atas kedua bagian
pendapatan masing-masing bila cukup senisab. Bila bagian salah seorang cukup
senisab, sedangkan yang seorang lagi tidak, maka zakat wajib atas yang memiliki
bagian yang cukup senisab, sedangkan yang tidak cukup senisab tidak wajib
zakat. Tetapi Imam Syafii berpendapat bahwa keduanya dipandang satu orang
yang oleh karena itu wajib secara bersamaan menanggung zakatnya bila jumlah
hasil sampai lima wasq, masing-masing mengeluarkan 10% dari bagiannya.
9
Adanya uzur petani, seperti sakit atau harus melakukan perjalanan ke
luar kota, atau sakit yang tidak dimungkinkan untuk bisa sembuh
sehingga ia tidak mampu melaksanakan pekerjaannya.
B. MUSAQAH
1. Pengertian
Musaqah berasal dari kata al-saqa, yakni seseorang yang bekerja mengurus
pohon anggur, kurma, tamar, atau lainnya supaya mendatangkan kemaslahatan
dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalannya.
Musaqah secara istilah adalah mempekerjakan manusia untuk mengurus
pohon dengan menyiram dan memeliharanya serta hasil yang direzekikan Allah
SWT. dari pohon itu untuk mereka berdua (pendapat Syekh Syihab ad-Din al-
Qalyubi dan Syekh Umarah).
2. Dasar Hukum
Dasar hukum Musaqah berdasarkan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan
Imam Muslim dari Ibnu Amr, r.a bahwa Rasulullah saw. Bersabda yang artinya:
Memberikan tanah khaibar dengan separoh dari penghasilan, baik buah-buahan
maupun pertanian (tanaman). Pada riwayat lain dinyatakan bahwa Rasul
menyerahkan tanah khaibar itu kepada Yahudi, untuk diolah dan modal dari
hartanya, penghasilan separohnya untuk Nabi.
4. Hikmah Musaqah
10
Memberi kesempatan pada orang lain untuk bekerja dan menikmati hasil
kerjanya, sesuai dengan yang dikerjakan. Sementara itu, pemilik kebun/ tanah
garapan memberikan kesempatan kerja dan meringankan kerja bagi dirinya.
C. WASIAT
1. Pengertian
Wasiat (jamak, wasaaya) secara etimologis bermakna menyambung
sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam terminologi syariah ia memiliki
beberapa arti sbb:
a. Pemberian seorang manusia pada yang lain dalam bentuk benda, atau
hutang, atau manfaat untuk dimiliki oleh penerima wasiat (al-musho
lahu) atas hibah itu setelah kematian pewasiat.
b. Amal kebaikan dengan harta setelah matinya pewasiat.
c. Kepemilikan yang disandarkan pada sesuatu setelah kematian dengan
cara syar'i.
2. Dasar Hukum
a. Quran Surah Al-Baqarah 2:180 yang artinya: Diwajibkan atas kamu,
apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.
b. QS An-Nisa' 4:11
c. QS Al-Maidah 5:106
d. Hadits Riwayat (HR) Bukhari dan Muslim yang artinya: Tidaklah
seseorang mewasiatkan suatu hak untuk seorang muslim, lalu
wasiatnya belum ditunaikan hingga dua malam, kecuali wasiatnya itu
diwajibkan di sisinya
e. HR Bukhari dan Muslim dari Saad bin Abi Waqqash yang artinya:
Aku berkata, Wahai Rasulullah, aku mau berwasiat untuk
menyerahkan seluruh hartaku (kepada putrid tunggalku, pent.). Beliau
bersabda, Tidak boleh. Aku berkata, Kalau setengahnya? Beliau
bersabda, Tidak boleh. Aku berkata, Kalau sepertiganya? Beliau
bersabda: Ia sepertiganya dan sepertiga itu sudah banyak.
Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan
kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam
keadaan miskin lalu mengemis kepada manusia dengan
menengadahkan tangan-tangan mereka.
11
f. Hukum wasiat adalah sunnah muakkad menurut ijmak ulama
(kesepakatan ulama)
Melaksanakan wasiat itu wajib dan berdosa bagi al-musho ilaih kalau tidak
menyampaikan wasiat. Sedangkan hukum wasiat bagi pewasiat (al-washi/ al-
mushi) ada 4 (empat) yaitu wajib, sunnah, makruh dan haram.
1. Wasiat Wajib
Wajib apabila manusia mempunyai kewajiban syara yang
dikhawatirkan akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti
adanya titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia.
Misalnya dia mempunyai kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau
haji yang belum dilaksanakan, atau amanat yang harus disampaikan,
atau dia mempunyai hutang yang tidak diketahui sselain dirinya, atau
dia mempunyai titipan yang tidak dipersaksikan.
2. Wasiat Sunnah
Wasiat adalah Sunnah mu'akkad menurut ijmak (kesepakatan) ulama.
Walaupun bersedekah pada waktu hidup itu lebih utama. Dan apabila
diperuntukkan bagi kebajikan, karib kerabat, orang-orang fakir dan
orang-orang saleh. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam yang empat,
yaitu Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin
Hambal
3. Wasiat Makruh
Makruh apabila orang yang berwasiat sedikit harta, sedang dia
mempunyai seorang atau banyak ahli waris yang membutuhkan
hartanya. Dan (ii) wasiat kepada orang yang fasik jika diketahui atau
diduga keras bahwa mereka akan menggunakan harta itu di dalam
kefasikan dan kerusakan.
4. Wasiat Haram
a. Wasiat yang lebih dari 1/3 (sepertiga)
b. Wasiat kepada ahli waris.
c. Haram jika ia merugikan ahli waris. Wasiat yang maksudnya
merugikan ahli waris seperti ini adalah batil, sekalipun wasiat itu
mencapai sepertiga harta.
d. Diharamkan juga mewasiatkan khamar, membangun gereja, atau
tempat hiburan.
5. Wasiat Mubah (boleh)
Wasiat hukumnya mubah apabila ia ditujukan kepada orang yang kaya,
baik orang yang diwasiati itu kerabat ataupun orang jauh (bukan
kerabat). Menurut Imam Rafi'i mubahnya wasiat karena bukan
transaksi ibadah.
12
a. Pewasiat (Al-Mushi)
b. Harta yang diwasiatkan (musho bih)
c. Penerima wasiat (musho lah)
d. Penerima amanah menyampaikan wasiat (musho ilaih)
Adapun syarat dari keempat unsur di atas adalah sbb:
1. Syarat benda yang diwasiatkan (musho bih)
Wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 (sepertiga). Apabila lebih, maka
untuk kelebihan dari 1/3 harus atas seijin ahli waris.
Wasiat tidak boleh diberikan pada salah satu ahli waris kecuali atas
seijin ahli waris lain.
Boleh berupa benda yang sudah ada atau yang belum ada seperi
wasiat buah dari pohon yang belum berbuah.
Boleh berupa benda yang sudah diketahui atau tidak diketahui
seperti susu dalam perut sapi.
Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
2. Syarat Pewasiat/ Pemberi Wasiat (Al-Washi)
Akil baligh,
Berakal sehat
Atas kemauan sendiri.
Boleh orang kafir asal yang diwasiatkan perkara halal.
3. Syarat Penerima Wasiat
Penerima wasiat ada dua macam:
Wasiat umum seperti wasiat pembangunan masjid
Wasiat khusus yaitu wasiat kepada orang/ benda tertentu.
Kalau wasiat bersifat umum, maka tidak boleh untuk hal yang
mengandung dosa (maksiat). Contoh, wasiat harta untuk pembangunan masjid
boleh tetapi wasiat untuk membangun klab malam tidak boleh.
Untuk wasiat khusus maka syaratnya adalah sbb:
Penerima wasiat hidup (orang mati tidak bisa menerima wasiat)
Penerima wasiat diketahui (jelas identitas orangnya)
Dapat memiliki.
Penerima wasiat tidak membunuh pewasiat.
Penerima wasiat menerima (qabul) pemberian wasiat dari pewasiat.
Kalau menolak, maka wasiat batal.
D. HIBAH
1. Pengertian
Secara bahasa hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan menurut
istilah hibah yaitu akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti
ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.
13
Didalam syara sendiri menyebutkan hibah mempunyai arti akad yang
pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu
dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada
orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak kepemilikan
maka harta tersebut disebutiaarah (pinjaman).
2. Hukum Hibah
Hibah disyariatkan dan dihukumi mandub (sunat) dalam Islam. Dan Ayat-
ayat Al quran maupun teks dalam hadist juga banyak yang menganjurkan
penganutnya untuk berbuat baik dengan cara tolong menolong dan salah satu
bentuk tolong menolong tersebut adalah memberikan harta kepada orang lain
yang betul-betul membutuhkannya, dalam firman Allah: dan tolong
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa..( QS: Al Maidah:
2).
Adapun barang yang sudah dihibahkan tidak boleh diminta kembali
kecuali hibah orang tua kepada anaknya dalam sabda Nabi: Tidak halal bagi
seseorang yang telah memberi sesuatu pemberian atau menghibahkan suatu hibah
atau menarik kembali kecuali orang tuua yang memberi kepada anaknya. (HR.
Abu Daud).
14
b. Syarat-syarat bagi orang yang diberi hibah
Orang yang diberi hibah disyaratkan benar-benar ada waktu diberi hibah.
Bila tidak benar-benar ada, atau diperkirakan adanya, misalnya dalam bentuk
janin, maka hibah tidak sah. Apabila orang yang diberi hibah itu ada di waktu
pemberian hibah, akan tetapi dia masih atau gila, maka hibah itu diambil oleh
walinya, pemeliharaannya atau orang mendidiknya sekalipun dia orang asing.
c. Syarat-syarat bagi yang dihibahkan
Disyaratkan bagi yang dihibahkan:
Benar-benar ada
Harta yang bernilai
Dapat dimiliki dzatnya, yakni bahwa yang dihibahkan itu adalah apa
yang bisa dimiliki, diterima peredarannya, dan pemilikannya dapat
berpindah tangan. Maka tidak sah menghibahkan air di sungai, ikan di
laut, burung di udara, masjid-masjid atau pesantren-pesantren.
Tidak berhubungan dengan tempat pemilik hibah, seperti
menghibahkan tanaman, pohon, atau bangunan tanpa tanahnya.
Dikhususkan, yakni yang dihibahkan itu bukan untuk umum, sebab
pemegangan dengan tangan itu tidak sah kecuali bila ditentukaan
(dikhususkan) seperti halnya jaminan.
Terdapat dua hal yang hendak dicapai oleh hibah yakni, Pertama, dengan
beri memberi akan menimbulkan suasana akrab dan kasih sayang antara sesama
manusia. Sedangkan mempererat hubungan silaturrahmi itu termasuk ajaran dasar
agama Islam. Kedua, yang dituju oleh anjuran hibah adalah terbentuknya
kerjasam dalam berbuat baik, baik dalam menanggulangi kesulitan saudaranya,
maupun dalam membangun lembaga-lembaga sosial.
E. WARISAN/ FARAID
1. Pengertian
Warisan berasal dari bahasa Arab al-irts atau al-mirats secara umum
bermakna peninggalan (tirkah) harta orang yang sudah meninggal (mayit). Secara
etimologis (lughawi) waris mengandung 2 arti yaitu tetap dan berpindahnya
sesuatu dari suatu kaum kepada kaum yang lain baik itu berupa materi atau non-
materi.
Sedang menurut terminologi fiqih/ syariah Islam adalah berpindahnya
harta seorang (yang mati) kepada orang lain (ahli waris) karena ada hubungan
kekerabatan atau perkawinan dengan tata cara dan aturan yang sudah ditentukan
oleh Islam berdasar QS An-Nisa' 4:11-12.
15
2. Dalil Dasar Hukum Waris
Hukum waris dalam Islam berdasarkan pada nash (teks) dalam Al-Quran sebagai
berikut:
a. QS An-Nisa' 4:11-12 yang artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak
lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana (ayat 11). Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika
isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari
harta yang ditinggalkannya sdsudah dipenuhi wasiat yang mereka buat
atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki
maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-
saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar
dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.(ayat 12)
b. QS An-Nisa' 4:176 yang artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu
(tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
16
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya
yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia
tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal.
17
A. Bagian Waris Anak Laki-laki
Anak laki-laki selalu mendapat asabah atau sisa harta setelah dibagikan
pada ahli waris yang lain. Walaupun demikian, anak laki-laki selalu mendapat
bagian terbanyak karena keberadaannya dapat mengurangi bagian atau
menghilangkan sama sekali (mahjub/hirman) hak dari ahli waris yang lain. Dalam
ilmu faraidh, anak laki-laki disebut ahli waris ashabah binafsih (asabah dengan
diri sendiri).
18
2) Adanya dua saudara laki-laki dan perempaun atau lebih.
Ibu mendapat 1/3 (sepertiga) sisanya dalam masalah umaritain (umar dua)
yaitu:
1) Istri, Ibu, Bapak. Masalah dari empat: suami 1/4 (satu), ibu 1/3 sisa
(satu), yang lain untuk bapak (dua).
2) Suami, Ibu, Bapak. Masalah dari enam: suami 1/2 (tiga), ibu sisa 1/3
(satu), sisanya untuk bapak (dua).
Ibu mendapat 1/3 dari sisa agar supaya tidak melebihi bagian bapak karena
keduanya sederajat dari awal dan supaya laki-laki mendapat bagian dua kali lipat
dari perempuan. (QS An-Nisa' 4:11).
19
warisnya bapak kecuali dalam masalah umariyatain dalam kasus terakhir maka
ibu bersama kakek mendapat bagian 1/3 dari seluruh harta sedangkan apabila
bersama ayah mendapat 1/3 dari sisa setelah diberikannya bagian suami/istri.
20
Cucu perempuan dari anak laki (bintul ibni) mendapat 1/6 apabila bersama
anak perempuan yang mendapat 1/2 (separuh). Begitu juga, hukumnya cicit
perempuan (bintu ibni ibni) bersama cucu perempuan (bintul ibni), dan seterusnya
ke bawah.
21
a. Saudara perempuan se-bapak/ se-ayah atau ukhti li abi mendapat bagian
1/2 (setengah) dengan syarat:
Sendirian alias tidak bersamaan dengan ukhti li abi yang lain;
Tidak ada ahli waris asabah atau saudara laki-nya;
Tidak ada orang tua laki ke atas (ayah, kakek) yang mewarisi;
Tidak ada keturunan ke bawah (anak, cucu);
Tidak ada saudara kandung laki atau perempuan.
b. Saudara perempuan sebapak (ukhti li abi) mendapat bagian 2/3 (dua
pertiga) dengan syarat:
Bersamaan dengan ukhti li abi yang lain;
Tidak ada ahli waris asabah atau saudara laki-nya;
Tidak ada orang tua laki ke atas (ayah, kakek) yang mewarisi;
Tidak ada keturunan ke bawah (anak, cucu);
Tidak ada saudara kandung laki atau perempuan.
c. Saudara perempuan sebapak (ukhti li abi) satu atau lebih mendapat bagian
1/6 (seperenam) dengan syarat:
Bersamaan dengan saudara perempuan kandung (ukhti syaqiqah) satu
yang mendapat bagian pasti;
Tidak ada ahli waris asabah atau saudara lakinya;
Tidak ada keturunan yang mewarisi (anak, cucu);
Tidak ada orang tua (aslul waris) yang mewarisi dari pihak laki seperti
ayah, kakek, dst;
Tidak ada saudara kandung satu atau lebih.
d. Saudara perempuan sebapak (ukhti li abi) satu atau lebih mendapat bagian
asabah dengan syarat:
Apabila bersama dengan ahli waris asabah yaitu saudara lakinya, maka
yang laki mendapat dua kali lipat;
Bersamaan dengan keturunan yang mewarisi dari pihak perempuan
seperti anak perempuan.
Apabila tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, yakni apabila ada anak
laki-laki; cucu laki-laki dari anak laki-laki; bapak; kakek, saudara kandung, maka
Saudara perempuan sebapak (ukhti li abi) tidak mendapat bagian waris apapun.
22
3) Tidak ada orang tua yang mewarisi dari pihak laki yaitu bapak, kakek,
dst. (QS An-Nisa' 4:12).
23