Anda di halaman 1dari 9

Referensi artikel

LEUKOPLAKIA

Oleh :

Sabila Fatimah G99152021

Pembimbing :

drg. Vita Nirmala Ardanari, Sp.Pros, Sp.KG

BAGIAN ILMU KESEHATAN GIGI DAN MULUT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2017
1. LEUKOPLAKIA
a. Definisi
Leukoplakia adalah lesi putih keratosis berupa bercak atau plak pada mukosa
mulut yang tidak dapat diangkat dari mukosa mulut secara usapan atau kikisan
(Rangkuti, 2007).

b. Etiologi dan Patogenesis


Etiologi yang pasti dari leukoplakia sampai sekarang belum diketahui dengan
pasti, tetapi predisposisi terdiri dari berbagai faktor yaitu faktor lokal, faktor sistemik
dan malnutrisi vitamin.
1) Faktor lokal terdiri dari tembakau, alkohol, iritasi mekanis dan kemis, reaksi
elektrogalvanik dan kandidiasis. Penggunaan rokok merupakan faktor risiko
utama penyebab leukoplakia, karena unsur resin dan tar di dalamnya mudah
mengiritasi mukosa.
2) Faktor sistemik terdiri dari defisiensi vitamin A, vitamin B kompleks, sifilis
tertier dan anemia siderofenik. Keadaan ini disertai dengan glossitis atrofik
sehingga pasien-pasien ini mudah sekali terkena leukoplakia dan karsinoma
mulut. Defisiensi vitamin A diperkirakan dapat mengakibatkan metaplasia dan
keratinisasi dari susunan epitel, terutama epitel kelenjar dan epitel mukosa
respiratorius. Beberapa ahli menyatakan bahwa leukoplakia di uvula merupakan
manifestasi dari intake vitamin A yang tidak cukup. Selain itu, pada percobaan
dengan menggunakan binatang tikus, dapat diketahui bahwa kekurangan
vitamin B kompleks akan menimbulkan perubahan hiperkeratotik.
Perubahan patologis mukosa mulut menjadi leukoplakia terdiri dari dua
tahap.Yaitu tahap praleukoplakia dan tahap leukoplakia.Pada tahap praleukoplakia
mulai terbentuk warna plaque abu-abu tipis, bening, translusen, permukaannya halus
dengan konsistensi lunak dan datar. Tahap leukoplakia ditandai dengan pelebaran lesi
ke arah lateral dan membentuk keratin yang tebal sehingga warna menjadi lebih putih,
berfisura dan permukaan kasar sehingga mudah membedakannya dengan mukosa
sekitarnya. (Patterson, 2004).
c. Klasifikasi
Berdasarkan bentuk klinisnya Bucket dalam Patterson (2004) menggolongkan
leukoplakia dalam 3 jenis:
1) Homogenous leukoplakia (leukoplakia kompleks)
Suatu lesi setempat atau bercak putih yang luas, memperlihatkan suatu pola
yang relatif konsisten, permukaan lesi berombak-ombak dengan pola garis-garis
halus, keriput atau papilomatous.
2) Nodular leukoplakia (bintik-bintik)
Suatu lesi campuran merah dan putih, dimana nodul-nodul keratotik yang kecil
tersebar pada bercak-bercak atrofik (eritroplaqueik) dari mukosa.Dua pertiga
dari kasus menunjukkan tanda-tanda displasia epitel atau karsinoma pada
pemeriksaan histopatologik.
3) Verrucous leukoplakia
Lesi putih di mulut, dimana permukaannya terpecah oleh banyak tonjolan
seperti papila yang berkeratinisasi tebal, serta menghasilkan suatu lesi pada
dorsum lidah.

d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan anamnesis lengkap, pemeriksaan
klinis rutin yang teliti (bentuk morfologi lesi, warna, predileksi tempat dan
perubahan-perubahan serta perbedaan-perbedaan dengan jaringan sekitar) dan yang
terakhir dengan pemeriksaan biopsi.
a. Anamnesis
Anamnesis meliputi usia, jenis kelamin, pekerjaan, kesehatan umum, kebiasaan
sehari-hari misalnya merokok, minum alkohol, mengunyah sirih dan menyuntil
tembakau. Dahulu, penderita leukoplakia didominasi oleh usia lanjut akibat
penurunan daya tahan tubuh. Namun sekarang lebih didominasi oleh usia muda
akibat konsumsi rokok. Frekuensi penderita pria dan wanita adalah seimbang
karena sudah banyak wanita yang merokok.
b. Gambaran Klinis
Pada keadaan awal, lesi tidak terasa pada perabaan, agak bening dan putih
keruh. Selanjutnya plaque meninggi dengan tipe yang berkembang tidak teratur.
Lesi berwarna putih kabur. Kemudian lesi menjadi tebal, berwarna putih,
menunjukkan adanya pengerasan, membentuk fisura-fisura dan terakhir adalah
pembentukan ulser.Gambaran klinis leukoplakia bentuk homogen (kecuali yang
didasar mulut) cenderung mempunyai risiko displasia rendah, namun nodular,
speckled dan erosiva mempunyai risiko tinggi, khususnya jika mempunyai
displasia berat. Bentuk-bentuk lesi leukoplakia yang kemudian berubah menjadi
ganas adalah bentuk verukosa dan bentuk nodular.
c. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologis akan membantu menentukan penegakan
diagnosis leukoplakia. Bila diikuti dengan pemeriksaan histopatologi dan
sitologi, akan tampak adanya perubahan keratinisasi sel epitelium, terutama
pada bagian superfisial.Secara mikroskopis, perubahan ini dapat dibedakan
menjadi 5 bagian, yaitu hiperkeratosis, hiperparakeratosis, akantosis,
diskeratosis atau displasia, carcinoma in situ.

Pada hiperkeratosis proses ini ditandai dengan adanya suatu peningkatan


yang abnormal dari lapisan ortokeratin atau stratum corneum, dan pada tempat-
tempat tertentu terlihat dengan jelas. Dengan adanya sejumlah ortokeratin pada
daerah permukaan yang normal maka akan menyebabkan permukaan epitel
rongga mulut menjadi tidak rata, serta memudahkan terjadinya iritasi.

Parakeratosis dapat dibedakan dengan ortokeratin dengan melihat


timbulnya pengerasan pada lapisan keratinnya. Parakeratin dalam keadaan
normal dapat dijumpai di tempat-tempat tertentu di dalam rongga mulut.
Apabila timbul parakeratosis di daerah yang biasanya tidak terdapat penebalan
lapisan parakeratin maka penebalan parakeratin disebut sebagai parakeratosis.
Dalam pemeriksaan histopatologis, adanya ortokeratin, parakeratin, dan
hiperparakeratosis kurang dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya.
Meskipun demikian, pada pemeriksaan yang lebih teliti lagi akan ditemukan
hiperortokeratosis, yaitu keadaan di mana lapisan granularnya terlihat menebal
dan sangat dominan. Sedangkan hiperparakeratosis sendiri jarang ditemukan,
meskipun pada kasus-kasus yang parah.

Akantosis adalah suatu penebalan dan perubahan yang abnormal dari


lapisan spinosum pada suatu tempat tertentu yang kemudian dapat menjadi
parah disertai pemanjangan, penebalan, penumpukan dan penggabungan dari
retepeg atau hanya kelihatannya saja. Terjadinya penebalan pada lapisan stratum
spinosum tidak sama atau bervariasi pada tiap-tiap tempat yang berbeda dalam
rongga mulut. Bisa saja suatu penebalan tertentu pada tempat tertentu dapat
dianggap normal, sedang penebalan tertentu pada daerah tertentu bisa dianggap
abnormal. Akantosis kemungkinan berhubungan atau tidak berhubungan dengan
suatu keadaan hiperortikeratosis maupun parakeratosis. Akantosis kadang-
kadang tidak tergantung pada perubahan jaringan yang ada di atasnya.

Pada diskeratosis, terdapat sejumlah kriteria untuk mendiagnosis suatu


displasia epitel. Meskipun demikian, tidak ada perbedaan yang jelas antara
displasia ringan, displasia parah, dan atipia yang mungkin dapat menunjukkan
adanya suatu keganasan atau berkembang ke arah karsinoma in situ. Kriteria
yang digunakan untuk mendiagnosis adanya displasia epitel adalah: adanya
peningkatan yang abnormal dari mitosis; keratinisasi sel-sel secara individu;
adanya bentukan epithel pearls pada lapisan spinosum; perubahan
perbandingan antara inti sel dengan sitiplasma; hilangnya polaritas dan
disorientasi dari sel; adanya hiperkromatik; adanya pembesaran inti sel atau
nucleus; adanya dikariosis atau nuclear atypia dan giant nuclei; pembelahan
inti tanpa disertai pembelahan sitoplasma; serta adanya basiler hiperplasia dan
karsinoma intra epitel atau carcinoma in situ.

Carsinoma in situ secara klinis tampak datar, merah, halus, dan granuler.
Mungkin secara kliniscarcinoma in situ kurang dapat dilihat. Hal ini berbeda
dengan hiperkeratosis atau leukoplakia yang dalam pemeriksaan intra oral
kelainan tersebut tampak jelas. Pada umumnya, antara displasia dan carsinoma
in situtidak memiliki perbedaan yang jelas. Displasia mengenai permukaan yang
luas dan menjadi parah, menyebabkan perubahan dari permukaan sampai dasar.

d. Pemeriksaan sitologik eksfoliatif


Digunakan untuk menegakkan diagnosis keganasan. Pemeriksaan sitologik
eksfoliatif memiliki kelebihan yaitu dapat mendeteksi keadaan keganasan sedini
mungkin dan merupakan kontrol pada false negatif biopsi serta menghindari
biopsi yang tidak perlu. Faktor yang mempengaruhi ketepatan pemeriksaan
adalah lokasi dan jenis lesi, ketebalan lapisan keratin atau keadaan
hiperkeratotik akan menyebabkan sel-sel yang mengalami diskeratosis sulit
untuk ikut teridentifikasi karena tersembunyi.
(Amin, 2010).

f. Diagnosis Banding
Leukoplakia memiliki gambaran klinis yang mirip dengan beberapa kelainan.
Oleh karena itu, diperlukan adanya diferensial diagnosis atau diagnosis banding
untuk membedakan apakah kelainan tersebut adalah lesi leukoplakia atau bukan.
Pada beberapa kasus, leukoplakia tidak dapat dibedakan dengan lesi yang berwarna
putih di dalam rongga mulut tanpa dilakukan biopsy. Jadi, cara membedakannya
dengan leukoplakia adalah dengan pengambilan biopsi. Ada beberapa lesi berwarna
putih yang juga terdapat dalam rongga mulut, yang memerlukan diagnosis banding
dengan leukoplakia. Lesi tersebut antara lain: syphililitic mucous patches; lupus
erythematous dan white sponge nevus; infeksi mikotik, terutama kandidiasis;
white folded gingivo stomatitis; serta terbakarnya mukosa mulut karena bahan-
bahan kimia tertentu, misalnya minuman atau makanan yang pedas.

Untuk menentukan diagnosis yang tepat, perlu dilakukan pemeriksaan yang


teliti baik secara klinis maupun histopatologis, karena lesi ini secara klinis
mempunyai gambaran yang serupa dengan lichen plannus danwhite sponge
naevus.

Untuk menentukan diagnosis yang tepat, perlu dilakukan pemeriksaan yang


teliti baik secara klinis maupun histopatologis, karena lesi ini secara klinis
mempunyai gambaran yang serupa dengan lichen plannus dan white sponge
naevus.

(Amin, 2010)

g. Terapi
h. Terapi
Dalam penatalaksanaan leukoplakia yang terpenting adalah mengeliminir
faktor predisposisi yang meliputi penggunaan tembakau (rokok), alkohol,
memperbaiki higiene mulut, memperbaiki maloklusi, dan memperbaiki gigi tiruan
yang letaknya kurang baik. Penatalaksanaan lain yang dapat dilakukan adalah
dengan melakukan eksisi secara chirurgis atau pembedahan terhadap lesi yang
mempunyai ukuran kecil atau agak besar. Bila lesi telah mengenai dasar mulut dan
meluas, maka pada daerah yang terkena perlu dilakukanstripping.

Pemberian vitamin B kompleks dan vitamin C dapat dilakukan sebagai


tindakan penunjang umum, terutama bila pada pasien tersebut ditemukan adanya
faktor malnutrisi vitamin. Peranan vitamin C dalam nutrisi erat kaitannya dengan
pembentukan substansi semen intersellular yang penting untuk membangun jaringan
penyangga. Karena, fungsi vitamin C menyangkut berbagai aspek metabolisme,
antara lain sebagai elektron transport. Pemberian vitamin C dalam hubungannya
dengan lesi yang sering ditemukan dalam rongga mulut adalah untuk perawatan
suportif melalui regenerasi jaringan, sehingga mempercepat waktu penyembuhan.
Perawatan yang lebih spesifik sangat tergantung pada hasil pemeriksaan
histopatologi.(Amin, 2010; Medineplus, 2012).

i. Prognosis
Apabila permukaan jaringan yang terkena lesi leukoplakia secara klinis
menunjukkan hiperkeratosis ringan maka prognosisnya baik. Tetapi, bila telah
menunjukkan proses diskeratosis atau ditemukan adanya sel-sel atipia maka
prognosisnya kurang menggembirakan, karena diperkirakan akan berubah menjadi
suatu keganasan.
DAFTAR PUSTAKA

Amagasa T, Yamashiro M, Uzawa N. (2011). Oral premalignant lesion: from a clinical


perspective. International Journal of Clinical Oncology, 16: 5-14.
Arruda JAA, Alvares PR, Sobral APV, Mesquita RA. (2016). A review of the surgocical and
nonsurgical treatment of oral leukoplakia. Journal of Dentistry & Oral Disorder, 2(2):
1-7.
Banoczy J. (1983). Oral leukoplakia and other white lesions of the oral mucosa related to
dermatological disorders. Journal of Cutaneous Pathology, 10: 238-256.
Blaggana A, Blaggana V, Vohra P. (2011). Oral leukoplakia: A therapeutic challenge An
update. J Innov Dent. 1:1-5
Brouns ER, Baart JA, Bloemena E, Karagozoglu H, van der Waal I. (2013). The relevance of
uniform reporting in oral leukoplakia: Definition, certainty factor and staging based on
experience with 275 patients. Medicina Oral, Patologia Oral y Cirugia Bucal, 18: 19-
26.
Caldeira K, Davis SJ, Peters GP. (2011). The supply chain of CO2 emission. Proceedings of
National Academy of Sciences, 108(45): 1-5.
Chandu A, Smith AC (2005). The use of CO2 laser in the treatment of oral white patches:
outcomes and factors affecting recurrence. International Journal of Oral &
Maxillofacial Surgery, 34: 396-400.
Downer MC, Petti S. (2005). Leukoplakia prevalence estimate lower than expected.
Evidence-Based Dental Practice, 6:12.
Feller L, Lemmer J. (2012). Oral leukoplakia as it relates to HPV infection: A review.
International Journal of Dental Hygiene, 2: 540-561.
Kawanishi S, Murata M. (2006). Mechanism of DNA damage induced by bromate differs
from general types of oxidative stress. Toxicology, 221(2): 172-178.
Kuribayashi Y, Tsushima F, Sato M, Morita K, Omura K. (2012). Recurrence patterns of oral
leukoplakia after curative surgical resection: important factors that predict the risk of
recurrence and malignancy. Journal of Oral Pathology & Medicine, 41: 682-688.
Martorell-Catalayud A, Botella-Estrada R, Bagan-Sebastian JV, Sanmartin-Jimenez O,
Guillen-Baronaa C. (2009). Oral leukoplakia: Clinical, histopatologic, and molecular
features and therapeutic approach. Actas Dermosifiliogr. 100:669-84
Morse DE, Psoter WJ, Cleveland D, Cohen D, Mohit-Tabatabai M, Kosis DL, et al. (2007).
Smoking and drinking in relation to oral cancer and oral epithelial dysplasia. Cancer
Causes Control. 18:919-29
Patterson Dental Supply (2004). Leukoplakia.
http://www.breadentistry.com/files/pdf/OPG_leuk.pdf
Reibel J. (2003). Prognosis of oral premalignant lesions: significance of clinical,
histopathological, and molecular biological characteristics. Critical Reviews in Oral
Biology & Medicine, 14(1): 47-62.
Schepman JV, Bezemer PD, van der Meij EH, Smeele LE, van der Waal I. (2001). Tobacco
usage in relation to the anatomical site of oral leukoplakia. Oral Disease. 7:25-7
Soames JV, Southam JC. (1999). Oral Pathology. Oxford: Oxford University Press. p. 139-
140.
Thomson PJ, Hamadah O.(2007). Cancerisation within the oral cavity: The use of 'field
mapping biopsies' in clinical management. Oral Oncology, 43: 20-26.
Torres-Rendon A, Stewart R, Craig GT, Wells M, Speight PM. (2009). DNA ploidy analysis
by image cytometry helps to identify oral epithelial dysplasias with a high riskof
malignant progression. Oral Oncology, 45: 468-473.
Warnakulasuriya S, Johnson NW, can der Waal I. (2007). Nomenclature and classification of
potentially malignant disorders of oral mucosa. Journal of Oral & Pathology
Medicine, 36: 575-580.
Wu L, Feng J, Shi L, Shen X, Liu W, Zhou Z. (2013). Candidal infection in oral leukoplakia:
A clinicopathologic study of 396 patients from eastern China. Ann Diagn Pathol
17:37-40

Anda mungkin juga menyukai