Oleh:
Bara Tracy Lovita G99152010
Sabila Fatimah G99152021
Muhammad Yusuf Karim G99152018
Livilia Miftachul Karimah G99162062
Ricky Irvan Ardiyanto G99162063
Pembimbing:
Dr. Ari Rosati, Sp.Rad
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya, kami dapat menyusun makalah ini yang berjudul Tumor Klatskin
dengan baik. Adapun maksud dan tujuan kami menyusun karya tulis ini untuk
memenuhi tugas stase Radiologi.
Kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan yang terdapat dalam karya
tulis ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran kepada berbagai
pihak untuk kami jadikan sebagai bahan evaluasi. Kami berharap makalah ini bisa
dijadikan tambahan referensi untuk pembuatan naskah ilmiah selanjutnya.
Penyusun
2
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Intususepsi merupakan suatu bentuk obstruksi usus dimana terjadi suatu
proses segmen usus yang masuk ke dalam segmen usus lainnya yang bersebelahan
(segmen proksimal masuk ke dalam segmen distal). Hal ini paling sering dijumpai
di ileum terminalis. Insidensi paling sering pada anak umur 6 bulan 1 tahun,
namun dapat pula terjadi pada pasien yang lebih tua (Depkes RI, 2009). 60%
pasien berumur kurang dari 1 tahun, dan 80% kasus terjadi sebelum usia anak
menginjak 24 bulan dan kelainan ini sangat jarang pada neonatus. Rasio kejadian
pada anak laki-laki dibanding anak perempuan adalah 4:1.
B. Etiologi
Penyebab utama intususepsi sampai sekarang ini masih belum dipahami
secara penuh. Ada yang mengatakan bahwa infeksi gastrointestinal atau
pengenalan makanan baru yang mengandung protein pada anak dapat
menyebabkan membengkaknya Peyer patches di ileum terminalis. Faktor risiko
seperti hiperplasia limfoid nodular juga mungkin berpengaruh. Pada 2-8% pasien
diketahui bahwa penyebab awal terjadinya intususepsi antara lain seperti
diverticulum Meckel, polip intestinum, neurofibroma, hemangioma, atau keadaan
maligna seperti limfoma.
C. Patofisiologi
Jenis intususepsi ileocolic adalah yang paling sering (80-90%), ileo-ileal
(15%), sedangkan cecocolic jarang, dan yang sangat jarang adalah jenis jejuno-
jejunal . Bagian atas usus, atau yang disebut intussusceptum, invaginasi ke bagian
usus bawahnya, yang disebut intussuscipiens, dengan menarik mesentericus
masuk ke dalamnya. Konstriksi pada mesentericus menyebabkan obstruksi aliran
balik vena, yang akhirnya dapat diikuti dengan edema dan perdarahan dari
mukosa (bloody stool) yang kadang dapat disertai mukus. Apex intususepsi dapat
meluas hingga colon transversum, colon descenden, atau colon sigmoid. Segmen
3
usus yang tertekan lebih dari 24 jam dapat berisiko untuk terjadinya intestinal
gangrene dan shock.
D. Manifestasi Klinis
1. Tanda khas : massa seperti sosis di hipochondriaca dextra dan kosongnya
regio iliaca dextra (dance sign) pada palpasi yang paling terasa ketika
dilakukan palpasi saat spasme kolik.
2. Gambaran klinis
Awal : nyeri kolik yang sangat hebat disertai muntah. Anak menangis
kesakitan. Onset akut dan paroxysmal (sesuai ritme peristaltik). Nyeri
saat fleksi kaki kearah abdomen.
Lebih lanjut : kepucatan pada telapak tangan, perut kembung, tinja
berlendir bercampur darah (currant jelly stool) dan dehidrasi
E. Penegakan Diagnosis
Penegakkan diagnosis intususepsi didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan
fisik, laboratorium dan radiologi. Gejala klinis yang menonjol dari intususepsi
adalah suatu trias gejala yang terdiri dari:
a. Nyeri perut yang datangnya secara tiba-tiba, nyeri bersifat hilang timbul.
Nyeri menghilang selama 10-20 menit, kemudian timbul lagi serangan
baru.
b. Teraba massa tumor di perut bentuk Curved Sausage pada bagian kanan
atas, kanan bawah, atas tengah, kiri bawah atau kiri atas.
c. Buang air besar campur darah dan lendir yang disebut Red Currant Jelly
Stool.
The Brighton Collaboration Intussusception Working Group mendirikan
sebuah diagnosis klinis menggunakan campuran dari kriteria minor dan mayor.
Strasifikasi ini membantu untuk membuat keputusan berdasarkan tiga level dari
pembuktian untuk membuktikan apakah kasus tersebut adalah intususepsi.
4
I. Kriteria Mayor
a. Adanya bukti dari obstruksi usus berupa adanya riwayat muntah hijau,
diikuti dengan distensi abdomen dan bising usus yang abnormal atau
tidak ada sama sekali.
b. Adanya gambaran dari invaginasi usus, dimana setidaknya tercakup
hal-hal berikut ini: Massa abdomen, massa rectum atau prolaps rectum,
terlihat pada gambaran foto abdomen, USG maupun CT Scan.
c. Bukti adanya gangguan vaskularisasi usus dengan manifestasi
perdarahan rectum atau gambaran feses Red Currant Jelly pada
pemeriksaan Rectal Toucher.
II. Kriteria Minor
a. Bayi laki-laki dengan usia kurang dari 1 tahun
b. Nyeri abdomen
c. Muntah
d. Lethargy
e. Pucat
f. Syok hipovolemi
g. Foto abdomen yang menunjukkan abnormalitas invaginasi
Berikut ini adalah pengelompokkan berdasarkan tingkat pembuktian ada
tidaknya invaginasi berdasarkan kriteria diatas:
I. Level 1 Definite (Ditemukannya Satu Kriteria Di Bawah Ini)
a. Kriteria Pembedahan: Invaginasi usus yang ditemukan saat
pembedahan
b. Kriteria Radiologi: Air Enema atau Liquid Contrast Enema
menunjukkan invaginasi dengan manifestasi spesifik yang bisa
dibuktikan dan dapat direduksi oleh enema tersebut.
c. Kriteria Autopsi Invagination dari usus
II. Level 2 Probable (Salah Satu Kriteria Di Bawah)
a. Dua kriteria mayor
b. Satu kriteria mayor dan tiga kriteria minor
5
III. Level 3 Possible
Empat atau lebih kriteria minor (Blanco, 2012)
F. Diagnosis Banding
1. Trauma abdomen
Pada kasus trauma abdomen, bisa didapatkan nyeri di bagian
abdomen yang bersifat terus-menerus akibat trauma yang dialami. Dari
anamnesis didapatkan adanya riwayat trauma sebelumnya, ada nyeri
abdomen yang tidak hilang timbul. Pasien dengan trauma pada abdomen
bisa mengeluh kencing berwarna merah (hematuri). Pada pemeriksaan
fisis, tidak didapatkan gerakan peristaltik yang terlihat di dinding abdomen
dari luar (sausage-like sign)
2. Appendicitis akut
Pada appendicitis akut, terdapat gejala klasik yaitu nyeri dirasakan
samar-samar dan tumpul (nyeri visceral) di daerah epigastrium. Awalnya
dirasakan nyeri di ulu hati dan kemudian nyeri berpindah ke nyeri perut
kanan bawah yang lebih tajam dan jelas letaknya sehingga merupakan
nyeri somatik setempat (Mc Burney sign). Nyeri bertambah kalau batuk
(batuk sign) dan disertai demam, mual dan muntah. Pada pemeriksaan fisis
didapatkan blumberg sign positif, rovsing sign positif, obturator sign
positif dan psoas sign positif
3. Hernia
Hernia ialah adanya penonjolan atau protusi isi suatu rongga
melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. Pada
hernia abdomen, isi perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari
lapisan muskulo-aponeurotik dinding perut. Hernia terdiri dari cincin,
kantong dan isi hernia. Biasanya pasien datang dengan keluhan adanya
benjolan yang hilang timbul di tubuh pasien biasanya benjolan tersebut
tidak nyeri. Nyeri baru timbul kalau sudah terjadi gangguan pasase atau
gangguan vaskularisasi.
6
4. Gastroenteritis
Adalah radang pada lambung dan usus yang memberikan gejala
diare, dengan atau tanpa disertai muntah, dan sering kali disertai
peningkatan suhu tubuh. Diare yang dimaksudkan adalah buang air besar
berkali-kali (dengan jumlah yang melebihi 4 kali, dan bentuk feses yang
cair, dapat disertai dengan darah atau lendir).
5. Torsio testis
Pasien mengeluh nyeri hebat di daerah skrotum, yang sifatnya
mendadak dan diikuti pembengkakan pada testis. Keadaan itu dikenal
sebagai akut skrotum. Nyeri dapat menjalar ke daerah inguinal atau perut
sebelah bawah sehingga jika tidak diwaspadai sering dikacaukan dengan
apendisitis akut. Pada bayi gejalanya tidak khas yakni gelisah, rewel atau
tidak mau menyusui. Pada pemeriksaan fisis, testis membengkak, letaknya
lebih tinggi dan lebih horizontal daripada testis sisi kontralateral. Kadang-
kadang pada torsio testis yang baru saja terjadi, dapat diraba adanya lilitan
atau penebalan funikulus spermatikus. Keadaan ini biasanya tidak disertai
dengan demam.
6. Volvulus
Keadaan dimana usus terputar sehingga menyebabkan obstruksi
lumen. Kadang-kadang aliran darah juga tersumbat, sehingga terjadi
infark. Gejalanya tidak ada yang khas: muntah (kuning kehijauan), nyeri
abdomen yang kembung dan berak darah.
7. Divertikulum Meckel
Divertikulum meckel adalah suatu kelainan bawaan, yang
merupakan suatu kantung (divertikula) yang menjulur/menonjol dari
dinding usus halus. Divertikula bisa mengandung jaringan lambung
maupun jaringan pankreas. Divertikulum meckel biasanya tidak
menimbulkan gejala, tetapi kantungnya dapat melepaskan asam dan
menyebabkan ulkus, sehingga terjadi perdarahan melalui rektum yang
tidak disertai nyeri. Tinja biasanya berwarna keunguan atau kehitaman.
7
Pada remaja dan orang dewasa, divertikulum lebih cenderung
menyebabkan penyumbatan usus, sehingga timbul nyeri kram dan muntah.
Bisa terjadi peradangan mendadak pada divertikulum yang disebut
divertikulitis akut. peradangan ini menyebabkan nyeri perut yang hebat,
seringkali disertai muntah
G. Pemeriksaan Penunjang
Selain berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik, maka untuk
menegakkan diagnosis intususepsi diperlukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut
yaitu pemeriksaan laboratorium dan yang utama adalah pemeriksaan radiologi.
Pada pemeriksaan laboratorium tidak ada tanda yang spesifik namun dapat
ditemukan peningkatan leukosit pada kondisi yang sudah lanjut atau sudah terjadi
gangren, serta pada kondisi kehilangan cairan yang banyak dapat dijumpai
imbalans elektrolit. Pada pemeriksaan radiologi, dapat dilakukan foto polos
abdomen, Colon in Loop, USG abdomen, dan CT scan abdomen.
H. Gambaran Radiologis
8
dan tidak adanya gas usus di segmen usus bagian distal yang kolaps .
Dapat terlihat free air bila terjadi perforasi.
9
2. CT Scan Abdomen
10
Gambar 4. Coiled spring appearance pada invaginasi
11
menyingkirkan kemungkinan penyebab lain nyeri abdomen, mendeteksi
adanya cairan (ascites), udara dan tidak adanya suplai darah di dinding
usus sehingga kemungkinan sudah terjadinya gangren.9 Intususepsi
biasanya ditemukan di sisi kanan abdomen.
Pada tampilan transversal USG, tampak konfigurasi usus berbentuk
target atau donat yang terdiri dari dua cincin echogenisitas rendah yang
dipisahkan oleh cincin hiperekoik, tidak ada gerakan pada donat tersebut
dan ketebalan tepi lebih dari 0,6 cm. Ketebalan tepi luar lebih dari 1,6 cm
menunjukkan perlunya intervensi pembedahan. Pada tampilan longitudinal
tampak pseudokidney sign yang timbul sebagai tumpukan lapisan
hipoekoik dan hiperekoik.
Pemeriksaan USG selain sebagai diagnostik, juga dapat digunakan
untuk membantu mendiferensiasikan tipe dari intususepsi. Suatu penelitian
yang dilakukan oleh Park et al tahun 2007 melaporkan bahwa intususepsi
transien dari usus kecil lebih sering terlokalisir pada kuadran kanan bawah
atau region periumbilikal, memiliki diameter anteroposterior yang lebih
kecil (1,38 cm vs 2,53 cm), memiliki garis luar yang lebih tipis (0,26 cm
vs 0,53 cm), dan tidak memiliki nodus limfatikus, dimana berbanding
terbalik dengan intususepsi ileocolic.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Munden et al tahun 2007 juga
mendukung penemuan ini, didapatkan diameter anteroposterior rata-rata
adalah 1,5 cm pada intususepsi ileoileal dan 3,7 cm pada intususepsi
ileocolic dan panjang rata-ratanya berkisar 2,5 cm dan 8,2 cm secara
respektif.
12
Gambar 6. (A) Gambaran radiologi target sign; (B) pseudokidney sign pada USG
13
cairan. Pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit darah dapat dilakukan (Ignacio,
2010).
Pasien ditangani oleh ahli bedah dan ahli radiologi, dan penanganan non-
operasi (bergantung pada foto) diupayakan pada sebagian besar pasien awalnya.
Keputusan untuk menangani pasien melalui operatif atau non-operatif bergantung
pada gejala klinis dan respon pasien terhadap resusitasi. Pasien yang tidak respon
terhadap resusitasi cairan, memiliki tanda peritonitis atau bukti radiologi adanya
udara pada cavitas peritoneum ditangani dengan operasi karena kemungkinan
komplikasi nekrosis usus yang sangat tinggi. Secara umum, semakin lama durasi
gejala klinis (terutama apabila > 24 jam) semakin rendah kemungkinan berhasil
tindakan non-operatif. Penurunan tingkat keberhasilan juga dilaporkan apabila
intususepsi berada pada rektum, anak dengan obstuksi usus halus dan pasien
berusia di bawah 3 bulan (Williams, 2008).
Tindakan non-operatif pada kasus intususepsi terdiri dari 2 metode utama
yaitu:
a. Reduksi Hidrostatik (Hydrostatic Reduction)
Reduksi hidrostatik dengan menggunakan barium di bawah
panduan fluoroskopi telah menjadi metode yang dikenal sejak
pertengahan 1980. Berikut ini adalah tahapan pelaksanaannya:
1) Masukkan kateter yang telah dilubrikasi ke dalam rectum dan
difiksasi kuat diantara pertengahan bokong.
2) Melalui kateter, barium dialirkan dari kontainer
3) Pengembangan balon kateter kebanyakan dihindari oleh para
radiologis sehubungan dengan risiko perforasi dan obstruksi loop
tertutup.
4) Pelaksanaannya memperhatikan Rule Of Three yang terdiri atas:
i. Reduksi hidrostatik dilakukan setinggi 3 kaki di atas pasien
ii. Tidak boleh lebih dari 3 kali percobaan
iii. Tiap percobaan masing-masing tidak boleh lebih dari 3
menit.
14
5) Pengisian dari usus dipantau dengan fluoroskopi dan tekanan
hidrostatik konstan dipertahankan sepanjang reduksi berlangsung.
6) Reduksi hidrostatik telah sempurna jika media kontras mengalir
bebas melalui katup ileocaecal ke ileum terminal. Reduksi berhasil
pada rentang 45-95% dengan kasus tanpa komplikasi.
Pengobatan dianggap berhasil bila barium sudah mencapai ileum
terminalis, serta pada saat itu, pasase usus kembali normal, norit yang
diberikan akan keluar melalui dubur. Seiring dengan pemeriksaan zat
kontras kembali dapat terlihat coiled spring appearance. Gambaran
tersebut disebabkan oleh sisa-sisa barium sepanjang bekas tempat
invaginasi.
Indikasi reduksi hidrostatik :
1) Tidak terdapat gejala dan tanda rangsangan peritoneum
2) Tidak terdapat obstruksi yang tinggi
3) Tidak dehidrasi
4) Gejala intususepsi kurang dari 48 jam
Kontraindikasi reduksi hidrostatik :
1) Distensi abdomen yang berlebihan
2) Intususepsi rekuren
3) Gejala intususepsi lebih dari 48 jam
4) Peritonitis
5) Perforasi (Irish, 2011)
b. Reduksi Pneumatik (Pneumatic Reduction)
Prosedur ini dimonitor secara fluroskopi sejak udara dimasukkan
ke dalam rectum. Tekanan udara maksimum yang aman adalah 80 mmHg
untuk bayi dan 110-120 mmHg untuk anak. Penganut dari model reduksi
ini meyakini bahwa metode ini lebih cepat, lebih aman dan menurunkan
waktu paparan dari radiasi.
Pengukuran tekanan yang akurat dapat dilakukan, dan tingkat
reduksi lebih tinggi daripada reduksi hidrostatik. Berikut ini adalah
tahapan reduksi pneumatik:
15
1) Sebuah kateter yang telah dilubrikasi ditempatkan ke dalam rectum
dan direkatkan dengan kuat.
2) Sebuah manometer dan manset tekanan darah dihubungkan dengan
kateter, dan udara dinaikkan perlahan hingga mencapai tekanan 70-
80 mmHg (maksimum 120 mmHg) dan diikuti dengan fluoroskopi.
Kolum udara akan berhenti pada bagian intususepsi, dan dilakukan
sebuah foto polos.
3) Jika tidak terdapat intususepsi atau reduksinya berhasil, udara akan
teramati melewati usus kecil dengan cepat. Foto lain selanjutnya
dibuat pada sesi ini, dan udara akan dikeluarkan terlebih dahulu
sebelum kateter dilepas.
4) Untuk melengkapi prosedur ini, foto post reduksi (supine dan
decubitus/upright views) harus dilakukan untuk mengkonfirmasi
ketiadaan udara bebas.
5) Reduksi yang sulit membutuhkan beberapa usaha lebih.
Penggunaan glucagon (0.5 mg/kg) untuk memfasilitasi relaksasi
dari usus memiliki hasil yang beragam dan tidak rutin dikerjakan
16
paling utama kesadaran yang baik. Biasanya dengan pemberian cairan
sejumlah 50% dari kebutuhan (untuk koreksi & kebutuhan normal),
perfusi jaringan sudah dapat dicapai.
b. Operatif
1) Insisi
Antibiotik intravena preoperatif profilaksis harus diberikan 30
menit sebelum insisi kulit.
Pasien diposisikan terlentang dan sayatan kulit sisi kanan perut
melintang dibuat sedikit lebih rendah daripada umbilikus.
Sayatan bisa dibuat sejajar, di bawah atau di atas umbilikus,
tergantung pada derajat intususepsi
17
Gambar 9. Teknik Reduksi Manual atau Milking (Chung, 2010)
Gambar 10. Evaluasi Ileum Terminal dengan Seksama untuk Menilai Viabilitas Usus
3) Reseksi
Kadang-kadang, reseksi usus segmental diperlukan jika reduksi
tidak dapat dicapai atau usus nekrotik diidentifikasi setelah reduksi.
Batas reseksi pada umumnya adalah 10 cm dari tepi - tepi
segmen usus yang terlibat, pendapat lainnya pada sisi
proksimal minimum 30 cm dari lesi, kemudian dilakukan
anastosmose end to end atau side to side.
18
Gambar 11. Reseksi Usus Segmental dan Anastomose end to end (Chung, 2010)
19
4) Menutup
Setelah reduksi dicapai atau reseksi dilakukan (jika diperlukan)
dan hemostasis dipastikan, penutupan fasia perut dilakukan di
lapisan menggunakan benang absorbable 3-0.
Kulit reapproximated dengan jahitan subcuticular 5-0 yang
diserap
c. Post-Operatif
Pada kasus tanpa reseksi, Nasogastric tube berguna sebagai
dekompresi pada saluran cerna selama 1-2 hari dan penderita tetap
dengan pemasangan infus. Setelah oedem dari intestine menghilang,
pasase dan peristaltik akan segera terdengar. Kembalinya fungsi intestine
ditandai dengan menghilangnya cairan kehijauan dari nasogastric tube.
Abdomen menjadi lunak, tidak distensi. Dapat juga didapati peningkatan
suhu tubuh pasca operasi yang akan turun secara perlahan. Antibiotika
dapat diberikan satu kali pemberian pada kasus dengan reduksi. Pada
kasus dengan reseksi perawatan menjadi lebih lama. Hal-hal yang perlu
diperhatikan setelah dilakukannya operasi pada penderita adalah:
1) Hindari dehidrasi
2) Pertahankan stabilitas elektrolit
3) Pengawasan akan inflamasi dan infeksi
4) Pemberian analgetika yang tidak mengganggu motilitas usus
Prognosis
Mortalitas secara signifikan lebih tinggi (lebih dari sepuluh kali lipat
dalam kebanyakan studi) pada bayi yang ditangani 48 jam setelah timbulnya
gejala daripada bayi yang ditangani dalam waktu 24 jam setelah onset pertama.
Angka rekurensi dari intususepsi untuk reduksi nonoperatif dan operatif masing-
masing rata-rata 5% dan 1-4% (WHO, 2002)
20
BAB II
KESIMPULAN
21
DAFTAR PUSTAKA
M. Kliegman, Robert. 2011. Nelson Text Book of Pediatric-18th Ed. USA : Saunders El
sevier. p 1287-1289
Pendergast LA & Wilson M. 2003. Intussusception: a sonographers perspective.
JDMS 19:231-238.
Ramachandran P. 2009. Intussusception in pediatric surgery diagnosis and
management. Spinger: Dordrecht Heidelberg.
22