Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic Ladder.
Strategi ini merupakan bagian dari metode manajemen nyeri yang berpusat pada 5 prinsip,
yaitu:
Langkah 1:
a. Untuk nyeri ringan sampai sedang sebaiknya dimulai dengan obat analgesik non
opioid dan tingkatkan dosisnya. Jika dibutuhkan dapat ditingkatkan sampai dosis
maksimum yang direkomendasikan.
b. Dapat digunakan obat adjuvan seperti antidepresan atau antikonvulsi jika
dibutuhkan.
c. Jika pasien dengan nyeri sedang atau berat maka dapat dilewati langkah 1.
Langkah 2:
a. Apabila masih tetap nyeri, maka dapat naik ke tangga atau langkah kedua, yaitu
ditambahkan obat opioid lemah, misalnya kodein.
b. Tambahkan atau lanjutkan obat adjuvan, jika tepat.
Langkah 3:
a. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap, maka sebagai langkah terakhir,
disarankan untuk menggunakan opioid kuat yaitu morfin.
b. Tambahkan atau lanjutkan obat adjuvan, jika tepat.
5. For the Individual berarti rencana terapi harus berdasarkan tujuan pasien.
Pada dasarnya, prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri kronik
maupun nyeri akut, yaitu:
5) Perbedaan obat penghambat COX non selektif dan penghambat COX 2 selektif
(serta kontraindikasinya)?
Golongan obat anti inflamasi non steroid bekerja dengan cara menghambat enzim
siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi PGG 2 terganggu. Setiap
obat menghambat siklooksigenase dengan kekuatan dan selektivitas yang berbeda. Enzim
siklooksigense terdapat dalam 2 isoform yang disebut COX-1 dan COX-2. Kedua
isoform tersebut dikode oleh gen yang berbeda dan ekspresinya bersifat unik. Secara
garis besar COX-1 esensial dalam pemeliharaan berbagai fungsi dalam kondisi normal di
berbagai jaringan khususnya ginjal, saluran cerna, dan trombosit. Di mukosa lambung,
aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. Siklooksigenase 2
semula diduga diinduksi berbagai stimulus inflamasi, termasuk sitokin, endotoksin, dan
factor pertumbuhan. Ternyata sekarang COX-2 juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu di
ginjal, jaringan, vaskuler, dan pada proses perbaikan jaringan. Tromboksan A 2 yang
disintesis trombosit oleh COX-1 menyebabkan agregasi trombosit, vasokonstriksi, dan
proliferasi otot polos. Sebaliknya prostasiklin (PGI2) yang disintesis oleh COX-2 di
endotel makrovaskuler melawan efek tersenut dan menyebabkan penghambatan agregasi
trombosit, vasodilatasi, dan efek antiproliferatif.
Efek samping yang paling sering terjadi pada penggunaan OAINS adalah induksi
tukak peptic yang kadang disertai dengan anemia sekunder karena perdarahan saluran
cerna. Dua mekanisme terjadinya iritasi lambung adalah (1) iritasi yang bersifat local
yang menimbulkan difusi kembali asam lambung ke mukosa dan menyebabkan
kerusakan jaringan; dan (2) iritasi atau perdarahan lambung yang bersifat sistemik
melalui penghambatan biosintesis PGE2 dan PGI2. Kedua PG ini banyak ditemukan di
mukosa lambung dengan fungsi menghambat sekresi asam lambung dan merangsang
sekresi mucus usus halus yang bersifat isoprotektif. Kedua prostaglandin ini terutama
dihasilkan pada jalur COX-1 sehingga obat yang menghambat COX-2 efek gangguan
saluran cernanya lebih ringan dari COX non selektif.
Karena tidak memiliki efek menghambat agregasi trombosit, obat penghambat
COX-2 dikontraindikasikan pada pasien dengan risiko tinggi mengalami gangguan
kardiovaskuler atau serebrovaskulerr sepert orang dengan hipertensi, riwayat stroke
iskemik, atau infark miokard.
6) Bagaimana jaras terjadinya nyeri?
a. Transduksi
b. Transmisi
Merupakan proses perambatan impuls nyeri melalui serabut A-delta dan C yang
menyusul proses tranduksi. Oleh serabut aferen A-delta dan C, impuls nyeri diteruskan ke
sentral, yaitu ke medula spinalis, ke sel neuron di kornu dorsalis. Sel-sel neuron di
medula spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel
neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serabut aferen A-
delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornu antero-lateral dan
sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornu anterior medula spinalis. Aktifasi
sel-sel neuron di kornu antero-lateral akan menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf
otonom simpatis dengan segala efek yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-
sel neuron di kornu anterior medula spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot
skelet di daerah cedera dengan segala akibatnya.
c. Modulasi
d. Persepsi
Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang sangat
kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan sensasi
nyeri.
7) Cara penggunaan Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT)