Anda di halaman 1dari 6

PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan utama BAB berwarna hitam seperti petis,
konsistensi lengket, saat disiram berubah warna jadi merah dan berbau amis, dengan
frekuensi 2-3 kali sehari sejak 1 hari SMRS. BAB hitam dengan karakteristik tersebut
disebut juga sebagai melena. Melena merupakan keluarnya tinja yang lengket dan
hitam seperti aspal/ter, dengan bau busuk, dan perdarahannya sejumlah 50-100 ml
atau lebih yang disebabkan oleh perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA). Untuk
etiologinya sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu variceal dan non variceal.
Pada pasien ini penyebab melena variceal yaitu pecahnya varises esophagus dapat
sedikit dikesampingkan. Varises esophagus terjadi karena adanya hipertensi portal
yang merupakan salah satu tanda terjadinya sirosis hepatis. Tidak ditemukannya tanda
hipertensi portal lain seperti splenomegali, kolateral dinding abdomen, ascites, dan
hemoroid serta tanda gangguan hepatoseluler seperti sclera ikterik, spider nervi,
ginecomastia, atropi testis, maupun palmar eritem dapat digunakan untuk
mengesampingkan diagnosis banding melena karena variceal. Sedangkan untuk
melena karena non variceal sendiri ada beberapa penyakit yang mungkin
menyebabkannya, beberapa yang paling sering yaitu ulkus peptikum, gastritis,
sindroma Mallory Weiss, esophagitis, dan keganasan. Adanya riwayat sakit lambung
sejak 10 tahun , sering mengeluhkan nyeri di ulu hati terutama jika telat makan, perut
sering terasa kembung dan cepat kenyang serta terasa penuh memperkuat diagnosis
banding non variceal sebagai penyebab melena. Selain itu, keluhan – keluhan pasien
ini dapat dikumpulkan menjadi satu dan disebut sebagai sindroma dyspepsia.
Sindroma dyspepsia kemudian dibagi lagi menjadi dua yaitu dyspepsia fungsional
dan yang kedua adalah dyspepsia organic. Akan tetapi adanya keluhan lain berupa
melena pada pasien dapat menyingkirkan dyspepsia fungsional. Dispepsia organik
paling sering disebabkan oleh ulkus peptikum, gastroesofageal reflux disease
(GERD), gastritis, keganasan pada gaster maupun duodenum, serta penyakit pada
pancreas atau vesica felea. Dari beberapa penyebab dispepsia organic ini apabila
dikaitkan dengan adanya melena pada pasien terdapat beberapa penyakit yang dapat
dijadikan diagnose banding, yaitu ulkus peptikum, gastritis maupun keganasan.

Ulkus peptikum didefinisikan sebagai suatu defek pada mukosa atau sub
mukosa yang berbatas tegas dan dapat menembus muskularis mukosa sampai lapisan
serosa sehingga dapat terjadi perforasi. Perdarahan sendiri merupakan penyulit ulkus
peptikum yang paling sering terjadi, sedikitnya ditemukan pada 15-25% kasus. Ulkus
peptikum yang dapat berupa tukak pada gaster maupun duodenum disebutkan banyak
ditemukan pada klinik terutama pada kelompok usia diatas 45 tahun. Ulkus peptic
terjadi apabila terdapat gangguan keseimbangan antara factor agresif/ asam dan
pepsin dengan faktor defensif (mucus,bikarbonat, aliran darah, dan prostaglandin).
Selain keluhan berupa sindroma dispepsia, nyeri epigastrium juga merupakan gejala
yang paling dominan dikeluhkan pasien. Nyeri epigastrium ini biasanya
dideskripsikan pasien sebagai nyeri seperti rasa terbakar, terutama pada saat lapar,
yang sangat mengganggu dan dapat berkurang sementara sesudah makan, minum
susu, atau minum antasida. Hal ini menunjukkan adanya peranan dari asam lambung/
pepsin dalam patogenesisnya. Sepuluh persen dari ulkus peptic khususnya yang
disebabkan OAINS menimbulkan komplikasi berupa perdarahan atau perforasi.
Adanya kebiasaan pasien minum obat untuk menghilangkan pegal – pegal yang dibeli
bebas diwarung mendukung diagnosis banding ini. Penyebab sindroma dispepsia lain
yang dapat menyebabkan melena dan juga dipengaruhi oleh penggunaan OAINS
adalah gastritis. Gastritis merupakan suatu proses inflamasi pada mukosa dan sub
mukosa lambung yang dapat bersifat akut, kronik, difus, atau local. Banyak sekali
etiologi yang dapat menyebabkan terjadinya gastritis seperti endotoksin bakteri,
kafein, alcohol, OAINS dimana kausa yang paling penting adalah adanya infeksi
kuman Helicobacter pylori (HP). Di Negara berkembang seperti Indonesia prevalensi
infeksi HP pada orang dewasa mendekati 90%. Obat anti inflamasi non steroid juga
merupakan penyebab gastritis yang penting dengan keluhan yang timbul bisa hanya
nyeri uluhati saja hingga keluhan khas tukak peptic bahkan dengan komplikasi
perdarahan saluran cerna bagian atas. Keluhan yang dirasakan terkadang berupa
sindroma dispepsia yang kurang khas. Disebut tidak khas karena terkadang keluhan
ini tidak berkorelasi baik dengan gastritis dan tidak dapat digunakan sebagai alat
evaluasi keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan fisik juga tidak dapat memberi
informasi yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Seperti tukak peptic,
diagnose gastritis ditegakkan dengan pemeriksaan endoskopi dan histopatologi.
Selain penggunaan OAINS dan infeksi H. pylori factor risiko lain yang terdapat pada
pasien yaitu adalah usia pasien yang lebih dari 60 tahun. Pada usia tua terjadi
beberapa perubahan terhadap fisiologi tubuh. Perubahan ini terkadang berpengaruh
terhadap patofisiologi beberapa penyakit. Salah satu perubahan yang terjadi adalah
berkurangnya curah jantung, baik karena kontraksi dan relaksasi ventrikel kiri
bertambah lama, atau karena respon kronotropik, inotropik otot jantung terhadap
stimulasi beta adrenergic yang berkurang. Berkurangnya curah jantung ini
menyebabkan aliran darah ke berbagai organ tubuh seperti lambung juga
berkurang.penurunan aliran darah ini menyebabkan terganggunya pertahanan maupun
respon mukosa lambung terhadap cedera. Sistem mikrovaskular pada lapisan
submukosa lambung adalah komponen kunci dari pertahanan atau perbaikan system
sub epitel. Sirkulasi yang baik dapat menghasilkan bikarbonat (HCO3) untuk
menetralkan HCL yang disekresi oleh sel parietal, memberikan asupan mikronutrien
dan oksigen serta membuang hasil metabolic toksik. Diagnose banding yang terakhir
adalah keganasan. Keganasan yang sering menimbulkan gejala sindroma dispepsia
dan melena adalah kanker lambung. Menurut GLOBOCAN (IARC) 2012, prevalensi
kanker lambung Indonesia pada wanita adalah 5 %. Pada stadium awal penyakit
biasanya asimptomatis kecuali apabila ada penyakit inflamasi kronis pada gaster
seperti gastritis sebelumnya. Keluhan pada kanker lambung biasanya muncul pada
stadium lanjut saat sudah terjadi komplikasi. Keluhan kanker biasanya selain kelainan
lokal juga terdapat keluhan sistemik seperti berat badan turun tanpa penyebab yang
jelas, nafsu makan menurun, anoreksia, sering berkeringat di malam hari dll. Pada
saat di IGD Pasien mengaku sudah pernah diteropong 2x dan operasi lambung 1 x di
RSDM namun hasilnya tidak dibawa. Di IGD dilakukan stabilisasi pasien terlebih
dahulu sambil melakukan pelacakan hasil teropong yang pernah dilakukan pasien.
Saat datang ke IGD dilakukan assesment awal kepada pasien untuk menilai apakah
terdapat ketidakstabilan hemodinamis pada pasien. Pasien datang dengan keadaan
umum tampak sakit sedang, composmentis, dengan tekanan darah 140/90, HR 88
kali/menit, RR 20 kali/menit, 37.1˚C. dari pemeriksaan ini tampak bahwa
hemodinamik pasien stabil sehingga pada pasien tidak perlu diberikan resusitasi awal.
Untuk penatalaksanaan melena et causa non variceal pada pasien diberikan agen
inhibitor pompa proton (PPI) untuk mencegah perdarahan berulang diberikan, yaitu
omeprazole. Omeprazole diberikan dengan bolus awal 80 mg, dilanjutkan perinfus 80
mg/jam selama 72 jam , dan 20 mg / hari peroral selama 8 minggu. Selain itu juga
diberikan sucralfat 15cc/8 jam sebagai mukoprotektan. Hasil pemeriksaan
Esofagogastroduodenoskopi (EGD) kemudian dibawa pasien pada DPH 1 perawatan.
Dalam hasil pemeriksaan EGD terakhir tanggal 5 Oktober 2017 disebutkan bahwa
tampak mukosa gaster hiperemis ringan pada antrum, dengan kesimpulan gastritis
antrum. Adanya tanda bahaya (alarm sign) yang ditemukan pada pasien yaitu klinis
perdarahan saluran cerna bagian atas dan anemia yang tidak jelas penyebabnya
merupakan indikasi untuk dilakukan EGD ulang, sehingga pada pasien ini kami
rencanakan untuk dilakukan EGD ulang.
Selain keluhan BAB hitam pasien juga mengeluhkan kepala nggliyer sejak 1
bulan sebelum masuk rumah sakit disertai dengan badan yang terasa lemas dan
mudah lelah. Keluhan terutama dirasakan saat pasien beraktivitas akan tetapi tidak
berkurang dengan istirahat. Pasien juga mengaku nafsu makannya berkurang dalam 1
bulan terakhir dan hanya mengkonsumsi 2-3 sendok nasi dalam sehari. Kemudian
pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva anemis dengan hasil dari pemeriksaan
laboratorium Hb 9.6 g/dL dengan indeks eritrosit MCV 94.7 /um. Dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang tadi pasien didiagnosis dengan anemia
normositik. Seperti yang kita ketahui, anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit
tersendiri, tetapi merupakan gejala dari berbagai macam penyakit dasar (underlying
disease), oleh karena itu perlu kita cari tau penyakit dasar yang menyebabkan anemia
ini sehingga dapat ditatalaksana dengan tepat. Anemia normositik menurut algoritma
penegakan diagnose anemia, dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab. Yang
pertama harus kita bedakan dulu apakah pada anemia normositik ini penyebabnya
adalah terjadinya penurunan produksi (underproduction) atau apakah produksinya
sebenarnya normal atau bahkan meningka melalui pemeriksaan hitung retikulosit
(reticulocyte count). Karena belum dilakukan pemeriksaan hitung retikulosit pada
pasien ini, maka diagnosa banding mengenai penyebab anemia yang terjadi masih
begitu luas. Anemia normositik dengan jumlah retikulosit yang menurun
menunjukkan bahwa anemia yang terjadi disebabkan oleh adanya gangguan pada
proses produksinya terutama gangguan pada sumsum tulang. Diagnosis banding nya
dapat berupa anemia aplastic, anemia pada penyakit kronis (on chronic disease),
anemia pada penyakit ginjal kronis (chronic kidney disease/CKD), maupun adanya
keganasan. Sedangkan apabila jumlah retikulositnya meningkat atau normal anemia
yang terjadi bisa disebabkan oleh adanya perdarahan akut yang sedang berlangsung
atau anemia hemolysis. Dari beberapa diagnosis banding ini, berdasarkan anamesis
dan pemeriksaan fisik yang ditemukan pada pasien, dapat dikerucutkan menjadi 3
besar yaitu anemia pada penyakit kronis, anemia karena CKD, ataupun anemia karena
perdarahan akut. Diagnosis banding yang pertama adalah anemia on chronic disease
yang disebabkan karena gastritis kronis. Patofisiologi anemia pada penyakit kronis
terjadi melalui beberapa mekanisme, baik itu karena terjadinya pemendekan masa
hidup eritrosit, penghancuran eritrosit, maupun gangguan produksi eritrosit. Anemia
yang terjadi pada penyakit kronis, umumnya merupakan anemia yang ringan seperti
pada pasien ini (Hb 9.6 g/dL) sehingga terkadang tidak menimbulkan gejala dan
tertutup penyakit dasarnya. Meskipun demikian adanya factor yang memperberat
misalnya penurunan nafsu makan dan asupan makanan pada pasien yang hanya 2-3
sendok makan nasi dalam 1 bulan terakhir menyebabkan gejala anemia semakin nyata
dirasakan oleh pasien. Anemia pada pasien juga dapat disebabkan oleh gangguan
ginjal yang dideritanya. Adanya penyakit ginjal kronis menyebabkan gangguan pada
fungsi ginjal, salah satunya adalah menghasilkan eritropoietin yang merangsang
pembentukan sel darah merah. Kurangnya jumlah eritropoietin akan menyebabkan
terjadinya anemia karena produksi SDM berkurang. Diagnosis banding yang terakhir
terjadinya anemia pada pasien disebabkan karena perdarahan SCBA yang terjadi
ditandai dengan adanya melena. Gejala anemia yang telah dirasakan pasien sejak 1
bulan terakhir dapat digunakan untuk mengesampingkan diagnosis banding ini karena
perdarahan SCBA yang terjadi baru 1 hari. Namun anemia et causa perdarahan masih
tetap belum dapat disingkirkan karena melena baru terjadi ketika jumlah perdarahan
antara 50-100ml, perdarahan kurang dari ini belum menimbulkan manifestasi melena,
sehingga mungkin saja sebenarnya sudah terjadi perdarahan dalam jangka waktu
sebulan akan tetapi belum menimbulkan manifestasi yang dapat dilihat dari luar
Karena jumlah perdarahan yang hanya sedikit. Akan tetapi untuk mendapatkan
penyebab anemia yang pasti pada pasien ini tetap harus dilakukan pemeriksaan hitung
retikulosit, profil besi, dan kadar eritropoietin serum. Setelah tegak penyebab anemia
pada pasien ini maka kita dapat menentukan tatalaksana yang sesuai untuk mencegah
anemia berulang. Anemia dengan kadar hemoglobin masih diatas 9 belum dimana
gejala yang timbul kurang lebih sudah 1 bulan, belum memerlukan tranfusi darah.
Pada pasien ini sambil melacak penyebab anemia diberikan penatalaksanaan berupa
bed rest total dengan diet TKTP…..
Pasien didiagnosis diabetes mellitus (DM) sejak 20 tahun yang lalu. Pada
pasien ini gejala trias klasik DM yaitu polidipsi, poliuri, dan polifagi sudah tidak
tampak khas lagi kemungkinan karena telah mendapatkan terapi atau karena usia tua
yang sering mengaburkan gejala khas suatu penyakit karena berbagai perubahan pada
fisiologi tubuh. Pasien mendapatkan terapi rutin injeksi insulin novorapid 4-4-4 IU.
Pada pasien ketika dilakukan anamnesis tidak didapatkan keluhan yang menunjukkan
telah terjadi komplikasi kronik. Akan tetapi ketika dilakukan pemeriksaan lab
ditemukan adanya peningkatan kadar ureum dan kreatinin yang menunjukkan adanya
gangguan fungsi ginjal disertai dengan proteinuria. Hasil pemeriksaan ini
menunjukkan telah terjadi nefropati diabetik

Anda mungkin juga menyukai