Anda di halaman 1dari 12

DEFINISI

Celah bibir/ cleft lips/ labioschisis (biasa disebut secara Bibir sumbing) adalah suatu
ketidaksempurnaan pada penyambungan bibir bagian atas, yang biasanya berlokasi tepat
dibawah hidung. Cleft palate/ palatoschisis merupakan kelainan kongenital pada wajah
dimana atap/langitan dari mulut yaitu palatum tidak berkembang secara normal selama masa
kehamilan, mengakibatkan terbukanya (cleft) palatum yang tidak menyatu sampai ke daerah
cavitas nasalis, sehingga terdapat hubungan antara rongga hidung dan mulut.

EMBRIOLOGI
Jaringan-jaringan wajah, termasuk didalamnya bibir dan palatum berasal dari migrasi,
penetrasi, dan penyatuan mesenkimal dari sel-sel cranioneural kepala. Ketiga penonjolan
utama pada wajah (hidung, bibir, palatum) secara embriologi berasal dari penyatuan
processus fasialis bilateral.
Embriogenesis palatum dapat dibagi dalam dua fase terpisah yaitu pembentukan
palatum primer yang akan diikuti dengan pembentukan palatum sekunder. Pertumbuhan
palatum dimulai kira-kira pada hari ke-35 kehamilan atau minggu ke-4 kehamilan yang
ditandai dengan pembentukan processus fasialis. Penyatuan processus nasalis medialis
dengan processus maxillaries, dilanjutkan dengan penyatuan processus nasalis lateralis
dengan processus nasalis medialis, menyempurnakan pembentukan palatum primer.
Kegagalan atau kerusakan yang terjadi pada proses penyatuan processus ini menyebabkan
terbentuknya celah pada palatum primer.
Pembentukan palatum sekunder dimulai setelah palatum primer terbentuk sempurna,
kira-kira minggu ke-9 kehamilan. Palatum sekunder terbentuk dari sisi bilateral yang
berkembang dari bagian medial dari processsus maxillaries. Kemudian kedua sisi ini akan
bertemu di midline dengan terangkatnya sisi ini. Ketika sisi tersebut berkembang kearah
superior, proses penyatuan dimulai. Kegagalan penyatuan ini akan menyebabkan
terbentuknya celah pada palatum sekunder.

ANATOMI
Palatum terdiri atas palatum durum dan palatum molle (velum) yang bersama-sama
membentuk atap rongga mulut dan lantai rongga hidung. Processus palatine os maxilla dan
lamina horizontal dari os palatine membentuk palatum durum. Palatum molle merupakan
suatu jaringan fibromuskuler yang dibentuk oleh beberapa otot yang melekat pada bagian
posterior palatum durum. Terdapat enam otot yang melekat pada palatum durum yaitu m.
levator veli palatine, m. constrictor pharyngeus superior, m.uvula, m.palatopharyngeus,
m.palatoglosus dan m.tensor veli palatini.

Gambar 1. Gambaran tulang normal dari palatum

Gambar 2. Potongan sagital dari palatum pada orang dewasa

Ketiga otot yang mempunyai konstribusi terbesar terhadap fungsi velopharyngeal


adalah m.uvula, m.levator veli palatine, dan m.constriktor pharyngeus superior. M.uvula
berperan dalam mengangkat bagian terbesar velum selama konstraksi otot ini. M.levator veli
palatine mendorong velum kearah superior dan posterior untuk melekatkan velum kedinding
faring posterior. Pergerakan dinding faring ke medial, dilakukan oleh m.konstriktor
pharyngeus superior yang membentuk velum kearah dinding posterior faring untuk
membentuk sfingter yang kuat. M.palatopharyngeus berfungsi menggerakkan palatum kearah
bawah dan kearah medial. M.palatoglossus terutama sebagai depressor palatum, yang
berperan dalam pembentukan venom nasal dengan membiarkan aliran udara yang terkontrol
melalui rongga hidung. Otot yang terakhir adalah m.tensor veli palatine. Otot ini tidak
berperan dalam pergerakan palatum. Fungsi utama otot ini menyerupai fungsi m.tensor
timpani yaitu menjamin ventilasi dan drainase dari tuba auditiva.
Suplai darahnya terutama berasal dari a.palatina mayor yang masuk melalui foramen
palatine mayor. Sedangkan a.palatina minor dan m.palatina minor lewat melalui foramen
palatine minor. Innervasi palatum berasal dari n.trigeminus cabang maxilla yang membentuk
pleksus yang menginervasi otot-otot palatum. Selain itu, palatum juga mendapat innervasi
dari nervus cranial VII dan IX yang berjalan disebelah posterior dari pleksus.

ETIOLOGI
Pada tahun 1963, Falconer mengemukakan suatu teori bahwa etiologi labio atau
palatoschisis bersifat multifaktorial dimana pembentukan celah pada palatum berhubungan
dengan faktor herediter dan faktor lingkungan yang terlibat dalam pertumbuhan dan
perkembangan processus.

1. Faktor herediter

Sekitar 25% pasien yang menderita palatoschisis memiliki riwayat keluarga


yang menderita penyakit yang sama. Orang tua dengan palatoschisis mempunyai
resiko lebih tinggi untuk memiliki anak dengan palatoschisis. Jika hanya salah satu
orang tua yang menderita palatoschisis, maka kemungkinan anaknya menderita
palatoschisis adalah sekitar 4%. Jika kedua orangtuanya tidak menderita palatoschisis,
tetapi memiliki anak tunggal dengan palatoschisis maka resiko generasi berikutnya
menderita penyakit yang sama juga sekitar 4%. Dugaan mengenai hal ini ditunjang
kenyataan, telah berhasil diisolasi suatu X-linked gen, yaitu Xq13-21 pada lokus
6p24.3 pada pasien sumbing bibir dan langitan. Kenyataan lain yang menunjang,
bahwa demikian banyak kelainan / sindrom disertai celah bibir dan langitan
(khususnya jenis bilateral), melibatkan anomali skeletal, maupun defek lahir lainnya.

2. Faktor lingkungan
Obat-obatan yang dikonsumsi selama kehamilan, seperti fenitoin, retinoid
(golongan vitamin A), dan steroid beresiko menimbulkan palatoschisis pada bayi.
Infeksi selama kehamilan semester pertama seperti infeksi rubella dan
cytomegalovirus, dihubungkan dengan terbentuknya celah. Alkohol, keadaan yang
menyebabkan hipoksia, merokok, dan defisiensi makanan (seperti defisiensi asam
folat) dapat menyebabkan palatoschisis.

PATOFISIOLOGI
Pasien dengan palatoschisis mengalami gangguan perkembangan wajah, inkompetensi
velopharyngeal, perkembangan bicara yang abnormal, dan gangguan fungsi tuba eustachi.
Kesemuanya memberikan gejala patologis mencakup kesulitan dalam intake makanan dan
nutrisi, infeksi telinga tengah yang rekuren, ketulian, perkembangan bicara yang abnormal,
dan gangguan pada pertumbuhan wajah. Adanya hubungan antara rongga mulut dan hidung
menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk mengisap pada bayi.
Insersi yang abnormal dari m.tensor veli palatine menyebabkan tidak sempurnanya
pengosongan pada telinga tengah. Infeksi telinga yang rekuren telah dihubungkan dengan
timbulnya ketulian yang memperburuk cara bicara pada pasien dengan palatoschisis.
Mekanisme velopharyngeal yang utuh penting dalam menghasilkan suara non nasal dan
sebagai modulator aliran udara dalam pembentukan fonem lainnya yang membutuhkan nasal
coupling. (Manipulasi anatomi yang kompleks dan sulit dari mekanisme ini, jika tidak sukses
dilakukan pada awal perkembangan bicara, dapat menyebabkan berkurangnya pengucapan
normal).

KLASIFIKASI

Kondisi kelainan labiopalatoskisis pada setiap orang berbeda-beda. Oleh karena itu,

penting untuk mengelompokkan pasien berdasarkan bentuk kelainannya untuk manajemen

dan penelitian. Sebagian besar klasifikasi menggunakan embriologi fasial dan prosessus,

untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema di bawah ini.


Kode LAHSAL berdasarkan pada klasifikasi
diagram Y disebelah ini.
Bagian-bagian yang relevan pada mulut dibagi
atas 6 bagian:
Right lip
Right alveolus
Hard palate
Soft palat
Left alveolus
Left lip
Kode kemudian ditulis ketika melihat pasien.
Karakteristik pertama dimulai dari right lip dan
terakhir pada left lip
Kode LAHSAL mengidikasikan adanya celah
yang komplet dengan huruf yang capital dan celah
yang inkomplet dengan huruf kecil dan tanpa
celah ditandai dengan titik.
Sebagai contoh:
Labiopalatoskisis komplet bilateral
LAHSAL
Labioskisis kanan kompletL..
Celah bibir dan alveolus kiri inkomplet.al

Gambar 3. Diagram sistem LAHSAL untuk klasifikasi celah bibir dan/atau palatum

Palatoschisis dapat berbentuk sebagai palatoschisis tanpa labioschisis atau disertai

dengan labioschisis. Palatoschisis sendiri dapat diklasifikasikan lebih jauh sebagai celah

hanya pada palatum molle, atau hanya berupa celah pada submukosa. Celah pada keseluruhan

palatum terbagi atas dua yaitu komplit (total), yang mencakup palatum durum dan palatum

molle, dimulai dari foramen insisivum ke posterior, dan inkomplit (subtotal). Palatoschisis

juga dapat bersifat unilateral atau bilateral.


Gambar 4. Berbagai kelainan palatoskisis

Veau membagi cleft menjadi 4 kategori yaitu:

1. Cleft palatum molle, terkadang bisa teraba sebuah notch pada palatum durum

2. Cleft palatum molle dan palatum durum, atau disebut juga komplit cleft termasuk

anterior sampai foramen incisive

3. Cleft lip dan palatum unilateral komplit

4. Cleft lip dan palatum bilateral komplit

Gambar 5. Klasifikasi dari clefts yang tersering (A) Cleft hanya pada soft palate,
(B)Komplit cleft, (C) Unilateral palatal dan prepalatal cleft, (D) Kompit
bilateral cleft
PENATALAKSANAAN
Penanganan kecacatan pada labioschisis dan palatoschisis tidaklah sederhana,
melibatkan berbagai unsur antara lain, ahli Bedah Plastik, ahli ortodonti, ahli THT untuk
mencegah menangani timbulnya otitis media dan kontrol pendengaran, dan anestesiologis.
Speech therapist untuk fungsi bicara. Setiap spesialisasi punya peran yang tidak tumpang-
tindih tapi saling saling melengkapi dalam menangani penderita CLP secara paripurna.
1. Terapi Non-bedah
Palatoschisis merupakan suatu masalah pembedahan, sehingga tidak ada terapi
medis khusus untuk keadaan ini. Akan tetapi, komplikasi dari palatoschisis yakni
permasalahan dari intake makanan, obstruksi jalan nafas, dan otitis media
membutuhkan penanganan medis terlebih dahulu sebelum diperbaiki.
Perawatan Umum Pada Cleft Palatum :
Pada periode neonatal beberapa hal yang ditekankan dalam pengobatan pada bayi
dengan cleft palate yakni:
a. Intake makanan
Intake makanan pada anak-anak dengan cleft palate biasanya mengalami
kesulitan karena ketidakmampuan untuk menghisap, meskipun bayi tersebut
dapat melakukan gerakan menghisap. Kemampuan menelan seharusnya tidak
berpengaruh, nutrisi yang adekuat mungkin bisa diberikan bila susu dan makanan
lunak jika lewat bagian posterior dari cavum oris. pada bayi yang masih disusui,
sebaiknya susu diberikan melalui alat lain/ dot khusus yang tidak perlu dihisap
oleh bayi, dimana ketika dibalik susu dapat memancar keluar sendiri dengan
jumlah yang optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat pasien menjadi
tersedak atau terlalu kecil sehingga membuat asupan nutrisi menjadi tidak cukup.
Botol susu dibuatkan lubang yang besar sehingga susu dapat mengalir ke dalam
bagian belakang mulut dan mencegah regurgitasi ke hidung. Pada usia 1-2
minggu dapat dipasangkan obturator untuk menutup celah pada palatum, agar
dapat menghisap susu, atau dengan sendok dengan posisi setengah duduk untuk
mencegah susu melewati langit-langit yang terbelah atau memakai dot lubang
kearah bawah ataupun dengan memakai dot yang memiliki selang yang panjang
untuk mencegah aspirasi.
b. Pemeliharaan jalan nafas
Pernafasan dapat menjadi masalah anak dengan cleft, terutama jika dagu dengan
retroposisi (dagu pendek, mikrognatik, rahang rendah (undershot jaw), fungsi
muskulus genioglossus hilang dan lidah jatuh kebelakang, sehingga menyebabkan
obstruksi parsial atau total saat inspirasi (The Pierre Robin Sindrom)
c. Gangguan telinga tengah
Otitis media merupakan komplikasi yang biasa terjadi pada cleft palate dan
sering terjadi pada anak-anak yang tidak dioperasi, sehingga otitis supuratif
rekuren sering menjadi masalah. Komplikasi primer dari efusi telinga tengah
yang menetap adalah hilangnya pendengaran. Masalah ini harus mendapat
perhatian yang serius sehingga komplikasi hilangnya pendengaran tidak terjadi,
terutama pada anak yang mempunyai resiko mengalami gangguan bicara karena
cleft palatum. Pengobatan yang paling utama adalah insisi untuk ventilasi dari
telinga tengah sehingga masalah gangguan bicara karena tuli konduktif dapat
dicegah.

2. Terapi bedah
Terapi pembedahan pada palatoschisis bukanlah merupakan suatu kasus
emergensi, dilakukan pada usia antara 12-18 bulan. Pada usia tersebut akan
memberikan hasil fungsi bicara yang optimal karena memberi kesempatan jaringan
pasca operasi sampai matang pada proses penyembuhan luka sehingga sebelum
penderita mulai bicara dengan demikian soft palate dapat berfungsi dengan baik.Ada
beberapa teknik dasar pembedahan yang bisa digunakan untuk memperbaiki celah
palatum, yaitu:
a. Teknik von Langenbeck
Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh von Langenbeck yang merupakan
teknik operasi tertua yang masih digunakan sampai saat ini. Teknik ini
menggunakan teknik flap bipedikel mukoperiosteal pada palatum durum dan
palatum molle. Untuk memperbaiki kelainan yang ada, dasar flap ini disebelah
anterior dan posterior diperluas ke medial untuk menutup celah palatum.
b. Teknik V-Y push-back
Teknik V-Y push-back mencakup dua flap unipedikel dengan satu atau dua
flap palatum unipedikel dengan dasarnya disebelah anterior. Flap anterior
dimajukan dan diputar ke medial sedangkan flap posterior dipindahkan ke
belakang dengan teknik V to Y akan menambah panjang palatum yang diperbaiki.
c. Teknik double opposing Z-plasty
Teknik ini diperkenalkan oleh Furlow untuk memperpanjang palatum molle
dan membuat suatu fungsi dari m.levator.
d. Teknik Schweckendiek
Teknik ini diperkenalkan oleh Schweckendiek pada tahun 1950, pada
teknik ini, palatum molle ditutup (pada umur 4 bulan) dan di ikuti dengan
penutupan palatum durum ketika si anak mendekati usia 18 bulan.
e. Teknik palatoplasty two-flap
Diperkenalkan oleh Bardach dan Salyer (1984). Teknik ini mencakup
pembuatan dua flap pedikel dengan dasarnya di posterior yang meluas sampai
keseluruh bagian alveolar. Flap ini kemudian diputar dan dimajukan ke medial
untuk memperbaiki kelainan yang ada.
Speech terapi mulai diperlukan setelah operasi palatoplasty yakni pada usia 2-4
tahun untuk melatih bicara benar dan miminimalkan timbulnya suara sengau karena
setelah operasi suara sengau masih dapat terjadi suara sengau karena anak sudah
terbiasa melafalkan suara yang salah, sudah ada mekanisme kompensasi
memposisikan lidah pada posisi yang salah. Bila setelah palatoplasty dan speech
terapi masih didapatkan suara sengau maka dilakukan pharyngoplasty untuk
memperkecil suara nasal (nasal escape) biasanya dilakukan pada usia 4-6 tahun. Pada
usia anak 8-9 tahun ahli ortodonti memperbaiki lengkung alveolus sebagai persiapan
tindakan alveolar bone graft dan usia 9-10 tahun spesialis bedah plastic melakukan
operasi bone graft pada celah tulang alveolus seiring pertumbuhan gigi caninus.
Perawatan setelah dilakukan operasi, segera setelah sadar penderita diperbolehkan
minum dan makanan cair sampai tiga minggu dan selanjutnya dianjurkan makan
makanan biasa. Jaga hygiene oral bila anak sudah mengerti. Bila anak yang masih
kecil, biasakan setelah makan makanan cair dilanjutkan dengan minum air putih.
Berikan antibiotik selama tiga hari. Pada orangtua pasien juga bisa diberikan edukasi
berupa, posisi tidur pasien harusnya dimiringkan/tengkurap untuk mencegah aspirasi
bila terjadi perdarahan, tidak boleh makan/minum yang terlalu panas ataupun terlalu
dingin yang akan menyebabkan vasodilatasi dan tidak boleh menghisap /menyedot
selama satu bulan post operasi untuk menghindari jebolnya daerah post operasi.
KOMPLIKASI
Anak dengan palatoschisis berpotensi untuk menderita flu, otitis media, tuli,
gangguan bicara, dan kelainan pertumbuhan gigi. Selain itu dapat menyebabkan gangguan
psikososial.
Komplikasi post operatif yang biasa timbul yakni:

a. Obstruksi jalan nafas

Seperti disebutkan sebelumnya, obstruksi jalan nafas post operatif merupakan komplikasi
yang paling penting pada periode segera setelah dilakukan operasi. Keadaan ini timbul
sebagai hasil dari prolaps dari lidah ke orofaring saat pasien masih ditidurkan oleh ahli
anastesi. Penempatan Intraoperatif dari traksi sutura lidah membantu dalam menangani
kondisi ini. Obstruksi jalan nafas bisa juga menjadi masalah yang berlarut-larut karena
perubahan pada dinamika jalan nafas, terutama pada anak-anak dengan madibula yang kecil.
Pada beberapa instansi, pembuatan dan pemliharaan dari trakeotomi perlu sampai perbaikan
palatum telah sempurna.

b. Perdarahan

Perdarahan intraoperatif merupakan komplikasi yang potensil terjadi. Karena kayanya darah
yang diberikan pada paltum, Intraoperative hemorrhage is a potential complication. Because
of the rich blood supply to the palate, perdarahan yang berarti mengharukan untuk
dilakukannya transfuse. Hal ini bisa berbahaya pada bayi, yakni pada meraka yang total
volume darahnya rendah. Penilaian preoperative dari jumlah hemoglobin dan hitung
trombosit sangat penting. Injeksi epinefrin sebelum di lakukan insisi dan penggunaa
intraoperatif dari oxymetazoline hydrochloride capat mengurangi kehilangan darah yang bisa
terjadi. Untuk menjaga dari kehilangan darah post operatif, area palatum yang mengandung
mucosa seharusnya diberikan avitene atau agen hemostatik lainnya.

c. Fistel palatum
Fistel palatum bisa timbul sebagai komplikasi pada periode segera setelah dilakukan operasi,
atau hal tersebut dapat menjadi permasalahan yang tertunda. Suatu fistel pada palatum dapat
timbul dimanapun sepanjang sisi cleft. Insidennya telah dilapornya cukup tinggi yakni
sebanyak 34%, dan berat-ringannya cleft telah dikemukanan bahwa hal tersebut berhubungan
dengan resiko timbulnya fistula. Fistel cleft palate post operatif bisa ditangani dengan dua
cara. Pada pasien yang tanpa disertai dengan gejala, prosthesis gigi bisa digunakan untuk
menutup defek yang ada dengan hasil yang baik. Pasien dengan gejala diharuskan untuk
terapi pembedahan. Sedikitnya supply darah, terutama supply ke anterior merupakan alasan
utama gagalnya penutupan dari fistula. Oleh karena itu, penutupan fistula anterior maupun
posterior yang persisten seharusnya di coba tidak lebih dari 6-12 bulan setelah operasi, ketika
supply darah telah memiliki kesempatan untuk mengstabilkan dirinya. Saat ini, banyak centre
menunggu sampai pasien menjadi lebih tua (paling tidak 10 tahun) sebelum mencoba untuk
memperbaiki fistula. Jika metode penutupan sederhana gagal, flap jaringan seperti flap lidah
anterior bisa dibutuhkan untuk melakukan penutupan.

d. Midface abnormalities
Penanganan Cleft palate pada beberapa instansi telah fokus pada intervensi pembedahan
terlebih dahulu. Salah satu efek negatifnya adalah retriksi dari pertumbuhan maksilla pada
beberapa persen pasien. Palatum yang diperbaiki pada usia dini bisa menyebabkan
berkurangnya demensi anterior dan posteriornya, yakni penyempitan batang gigi, atau
tingginya yang abnormal. Kontrofersi yang cukup besar ada pada topik ini karena penyebab
dari hipoplasia, apakah hal tersebut merupakan perbaikan ataupun efek dari cleft tersebut
pada pertumbuhan primer dan sekunder pada wajah, ini tidak jelas. Sebanyak 25% pasien
dengan cleft palate unilateral yang telah dilakukan perbaikan bisa membutuhkan bedah
orthognathic. LeFort I osteotomies dapat digunakan untuk memperbaiki hipoplasia midface
yang menghasilkan suatu maloklusi dan deformitas dagu.

e. Wound expansion
Wound expansion juga merupakan akibat dari ketegangan yang berlebih. Bila hal ini terjadi,
anak dibiarkan berkembang hingga tahap akhir dari rekonstruksi langitan, dimana pada saat
tersebut perbaikan jaringan parut dapat dilakukan tanpa membutuhkan anestesi yang terpisah.

f. Wound infection
Wound infection merupakan komplikasi yang cukup jarang terjadi karena wajah memiliki
pasokan darah yang cukup besar. Hal ini dapat terjadi akibat kontaminasi pascaoperasi,
trauma yang tak disengaja dari anak yang aktif dimana sensasi pada bibirnya dapat berkurang
pascaoperasi, dan inflamasi lokal yang dapat terjadi akibat simpul yang terbenam.
g. Malposisi Premaksilar
Malposisi Premaksilar seperti kemiringan atau retrusion, yang dapat terjadi setelah operasi.

h. Whistle deformity
Whistle deformity merupakan defisiensi vermilion dan mungkin berhubungan dengan retraksi
sepanjang garis koreksi bibir. Hal ini dapat dihindari dengan penggunaan total dari segmen
lateral otot orbikularis.

i. Abnormalitas atau asimetri tebal bibir


Hal ini dapat dihindari dengan pengukuran intraoperatif yang tepat dari jarak anatomis yang
penting lengkung.

PROGNOSIS
Meskipun telah dilakukan koreksi anatomis, anak tetap menderita gangguan bicara
sehingga diperlukan terapi bicara yang bisa diperoleh disekolah, tetapi jika anak berbicara
lambat atau hati-hati maka akan terdengar seperti anak normal.

Anda mungkin juga menyukai