Anda di halaman 1dari 31

Jurnal Reading

MANAJEMEN NYERI PADA UNIT GAWAT DARURAT


(Pain Management In The Emergency Department)

Oleh :

Sabila Fatimah G99152021

Pembimbing :

dr. Septian Adi Permana, Sp. An, M.Kes

BAGIAN ILMU ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2016
Definisi oligoanalgesia

Oligoanalgesia dideskripsikan sebagai fenomena tidak tertanganinya nyeri secara adekuat


yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Satu dari beberapa penelitian terdahulu mengenai
analgesia di Instalasi Kegawatdaruratan (IGD) berupa penelitian retrospektif melalui review
dokumen rekam medis, dilakukan oleh Wilson dan Pedleton pada tahun 1989. Mereka mereview
198 pasien yang masuk ke rumah sakit dengan 3 kategori nyeri, yaitu nyeri intraabdominal,
musculoskeletal, dan intrathoraks. Dari semua data yang terdokumentasi dari pasien yang
menderita nyeri, hanya 67% yang mendokumentasikan tingkat nyeri yang dirasakan oleh pasien.
Secara keseluruhan, 44% dari seluruh pasien menerima pengobatan narkotik saat di IGD dan
60% diantaranya menerima obat intramuscular (IM). Satu sampai tiga pasien yang
didokumentasikan dengan nyeri berat hingga moderate menerima dosis opioid yang tidak
optimal; dimana 69% harus menunggu lebih dari satu jam untuk mendapatkan terapi nyeri dan
42% menunggu lebih dari 2 jam. Berikut ini beberapa masalah yang tercatat : kurangnya
penanganan nyeri, tidak optimalnya penggunaan dan dosis opioid yang diberikan, serta pasien
mengalami keterlambatan untuk menerima pengobatan nyeri.

Lewis dkk (1994) mempresentasikan suatu penelitian review retrospektif mengenai


manajemen akut fraktur di IGD dari 8 rumah sakit yang berbeda; mereka menemukan bahwa
oligoanalgesia sering ditemukan dimanapun itu, tidak membedakan bahwa rumah sakit tersebut
urban atau suburban ataupun rumah sakit pendidikan atau non pendidikan. Hanya 30% pasien
yang menerimal analgesik ketika mereka mengunjungi IGD. Dimana tidak satupun baik dari
lokasi fraktur ataupun usia pasien ditemukan signifikan mempengaruhi keputusan untuk
menggunakan analgesia. Penelitian ini memiliki keterbatasan pada desain penelitian retrospektif
dan skala nyeri yang tidak digunakan. Meskipun begitu dapat disangkal pasien yang tidak
menerima terapi nyeri tidak mnegalami nyeri yang signifikan, penelitian ini berkontribusi pada
berkembangnya bukti bahwa dokter gagal untuk mengetahui kebutuhan analgesia pasien mereka.

Pasien dengan fraktur membutuhkan pengobatan untuk nyeri dua kali lebih sering
dibandingkan pasien tanpa fraktur, meskipun ketika level dari nyeri yang dilaporkan telah
terkontrol dengan sesuai. Ini menunjukkan bias nyeri yang disebabkan oleh tarikan otot tidak
senyeri yang disebakan oleh fraktur. Ducharmer dan Barber (1995) melakukan penelitian
blinded prospektif mengenai terapi dan penilaian tingkat nyeri di IGD. Mereka mendeskripsikan
kurangnya penggunaan suatu skala objektif atau dokumentasi mengenai impresi pasien mengenai
nyeri yang mereka rasakan dan kurang intervensi atau medikasi untuk nyeri bahkan dibawah dari
angka 25%. Hal ini hampir sama dengan yang didokumentaikan oleh Tanabe dan Buschmann
(1999) bahwa hanya 15% opioid untuk terpi nyeri di IGD. Pada tahun 2002, Siregar dan Thode
melaporkan bahwa setengah dari seluruh pasien dengan luka bakar yang datang tidak menerima
analgesia ketika di IGD dan hampir separuh dari pasien tidak mendapatkan penilaian dari nyeri
yang mereka alami. Hal ini menunjukkan bahwa oligoanalgesia dan kurangnya penilaian nyeri
terjadi terus-menerus dari tangan ke tangan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa jika dokter tidak
menanyakan pasien mengenai nyeri yang pasien alami, dapat dipastikan bahwa dokter tidak akan
melakukan penatalaksanaan terhadap nyeri yang mereka alami.

Todd dkk (2003) menyusun suatu penelitian untuk memeriksa etiologi nyeri , pengalaman
nyeri pasien, strategi manajemen nyeri, dan kepuasan pasien menggunakan suatu kuisioner dan
bagan. Hasilnya hanya sekitar 50% pasien yang menerima analgesia termasuk didalamnya 63%
pasien yang mengeluhkan nyeri hebat.

Epidemiologi

Pengobatan terhadap nyeri merupakan 20% dari alasan kunjungan ke dokter, meskipun
hanya sekitar 0.6% dana yang disiapkan oleh National Institute of Health (NIH) ditujukan untuk
penelitian dasar dan klinis seputar nyeri. Berdasarkan beberapa penelitian, sekitar 52 % hingga
78% kunjungan pasien ke IGD disebabkan karena keluhan nyeri. Bermacam macam keluhan
nyeri dituturkan oleh pasien kepada dokter dan tak jarang pasien datang karena mereka
kecanduan obat penghilang nyeri. Meskipun demikian, suatu penelitian yang dilakukan di IGD
yang mempelajari 75.000 kunjungan IGD pertahun menunjukkan hanya sekitar kurang dari 0.5%
pasien yang datang meminta obat penghilang nyeri merupakan drug seekers.

Nyeri akut dan kronis merupakan keluhan yang sering ditemui. Nyeri kronik merupakan
suatu epidemic dan merupakan suatu tantangan tersendiri bagi dokter IGD. Meskipun EMTALA
mengidentifikasi nyeri sebagai suatu keadaan emergensi akan tetapi belum jelas bagaimana
kaitannya dengan kondisi kronis karena keterbatasan data mengenai epidemiologi dari kondisi
nyeri akut yang berlanjut hingga kondisi kronis. Bahkan belum ada penelitian yang
mendokumentasikan frekuensi pasien datang ke IGD karena frustasi dengan pengobatan nyeri
kronis yang tidak adekuat.

Penyebab paling sering dari nyeri kronis adalah Low Back Pain (LBP) (40% dari populasi)
dan migrain (15% dari populasi). Pasien dengan kondisi kronis juga dapat mengalami periode
akut nyeri seperti pasien dengan kronik LBP dapat mengalami herniasi akut dan pasien dengan
riwayat migrain dapat mengalami perdarahan subarachnoid.

The Canadian Association Of Emergency Physicians mengadakan suatu konferensi


mengenai managemen nyeri emergensi pada tahun 1993 dimana hasil konsensunya
dipublikasikan pada tahun 1994. Setelah melalui banyak literature review, satu dari beberapa
penemuan mereka adalah bahwa petugas pelayanan kesehatan sering meremehkan keluhan nyeri
yang disampaikan pasien. Mulai saat itu beberapa penelitian mulai mempelajari isu ini. Pada
tahun 1999, Singer dkk melakukan penelitian secara prospektif dengan melakukan penilaian
nyeri yang dikeluhkan pasien dan yang ditangkap oleh petugas layanan kesehatan dan ditemukan
korelasi yang buruk hingga sedang tentang dua penilaian ini. Penelitian ini menggarisbawahi
buruknya penggunaan obat anestesi lokal pada prosedur yang sering memicu nyeri seperti
prosedur pemasangan NGT atau kateter foley.

Pada tahun 2002, Guru dan Dubinsky melakukan penelitian mengenai persepsi nyeri
antara pasien dan petugas kesehatan serta tingkat kepuasan pasien. Penelitian ini menggunakan
perangkat penilaian nyeri VAS dan NRS. Dari penelitian ditemukan tingkat nyeri yang
diasumsikan oleh perawat dan dokter lebih rendah dibandingkan tingkat nyeri yang dituturkan
oleh pasien mengenai nyeri yang meraka alami. Pada penelitian ini hanya 68% pasien dengan
nyeri berat yang menerima terapi analgesia dimana 49% pasien tidak merasakan nyerinya
berkurang. Eder dkk juga melakukan penelitian mengenai nyeri menggunakan dokumen rekam
medis pasien yang menunjukkan bahwa dari sebagian besar dokumen mengenai penilaian inisial
nyeri, hanya 23% yang menggunakan perangkat penilaian skala nyeri. Dari dokumen respon
terapi nyeri yang diberikan, yang tercatat sebanyak 39%, akan tetapi penggunaan skala nyeri
tetap saja rendah yaitu kurang dari 19%. Pasien dengan nyeri berat pada saat datang, yaitu
meraka yang biasanya datang dengan nyeri dada dan membutuhkan analgesia poten tampaknya
mendapatkan penilaian nyeri yang selanjutnya. Penelitian yang dilakukan oleh Guru dan
Dubinsky menunjukkan bahwa penting dilakukannya penilaian kembali mengenai tingkat nyeri
yang dirasakan oleh pasien setelah dilakukannya manajemen nyeri. Perawat lebih sering
mendokumentasikan penilaian ulang nyeri ini dibandingkn dokter. Tampaknya dokter juga
mungkin telah melakukan penilaian ulang tingkatan nyeri pasien akan tetapi tidak
terdokumentasikan dengan baik. Skala penilaian nyeri ini sebenarnya memberikan kesempatan
pada pasien untuk menyatakan tingkat nyeri yang mereka alami dan ini mengambil peranan
penting dalam pemberikan terapi nyeri yang sesuai,

Patofisiologi

Nyeri dipengaruhi oleh berbagai faktor. The American Academy Of Pediatric bersama
dengan American Pain Society yang fokus terhadap masalah nyeri yang dialami infant, anak
anak, dan dewasa menyebutkan bahwa nyeri merupakan suatu pengalaman sensori yang tidak
menyenangkan yang harus dinilai dan ditangani. Nyeri memiliki komponen sensori, emosional,
kognitif, dan kebiasaan yang berhubungan dengan faktor lingkungan, perkembangan,
sosiokultural, dan kontekstual. Nyeri dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, ras, dan budaya.
Terdapat dua kategori dari nyeri yaitu akut dan kronis. Nyeri akut biasanya dikaitkan
dengan suatu trauma ataupun kondisi patologis yang bisanya menghilang setelah faktor yang
memicu terjadinya nyeri ditangani. Nyeri akut terjadi dimediasi oleh saraf nosiseptif yang
diaktifkan oleh respon terhadap adanya zat zat kimia yang dilepaskan saat terjadi kerusakan
jaringan misalnya leukotriene, bradikinin, serotonin, histamine, dan tromboksan. Prostaglandin
tidak secara langsung mengaktifkan reseptor nosiseptif, akan tetapi dia berperan sebagai
mediator local yang meningkatkan sensitivitas dari ujung saraf bebas serta menyebabkan
terjadinya nyeri dan edema karena efek vasodilatasinya. Nosiseptor dapat ditemukan di kulit,
periosteum, dinding arteri, gigi permukaan sendi, serta falx dan tentorium cerebri. Nosiseptor
mengarahkan impuls yang mereka terima melalui saraf perifer menuju ke badan sel yang ada di
cornu posterior medulla spinalis menuju ke bagian medulla spinalis dimana substansi P
dilepaskan, yang kemudian menghantarkan sinyal tersebut menuju korteks melalui neuron yang
lebih tinggi dan traktus spinothalamikus. Fungsi nyeri adalah sebagai alarm biologis ketika
terjadinya kerusakan jaringan atau kerusakan jaringan yang potensial terjadi.
Sebagai tambahan nyeri dapat diklasifikasikan lagi menjadi nyeri somatic, visceral, dan
neuropati. Perhatian terhadap tipe nyeri yang dirasakan oleh pasien tidak hanya membantu dalam
penentuan diagnosis tetapi juga pemilihan terapi yang terbaik bagi pasien. Nyeri somatic
merupakan tipe nyeri yang sering ditemui di IGD dan terus berlangsung.

Nyeri visceral merupakan nyeri yang lebih kompleks dan dapat disebabkan oleh iskemia,
stimulasi zat kimia dan spasme atau overdistensi organ berongga. Serabut saraf aferen dari suatu
organ berjalan bersamaan dengan serabut saraf somatic di cornu posterior medulla spinalis,
sehingga menghasilkan suatu nyeri alih pada area kulit yang diinervasi setinggi level tersebut.
Selain itu saraf nyeri visceral aferen juga berjalan bersamaan dengan serabut saraf otonom
sehingga nyeri visceral sering disertai dengan keluhan otonom seperti mual, muntah, hipotensi,
bradikardi dan berkeringat. Nyeri neuropati diinisiasi oleh suatu trauma atau disfungsi pada
sistem saraf perifer ataupun sistem saraf pusat. Nyeri neuropati dan nosiseptif dapat muncul
bersamaan, akan tetapi terdapat perbedaan tipe nyeri yang pasien dengan nyeri neuropati
rasakan. Pada nyeri neuropati gejala yang muncul biasanya diawali dari bagian distal dari
trauma, berkebalikan dengan nyeri nosiseptif (somatis) yang merasakan nyeri pada tempat
terjainya trauma atau inflamasi. Distrofi Reflek Simpatis (RSD) atau sindroma nyeri regional
kompleks (CRPSI), merupakan suatu sindroma nyeri yang kemungkinan berasal dari nyeri
neuropati. Dengan adanya kompleksitas dari sindroma ini, The International Association For
The Study Of Pain (IASP) memperkenalkan suatu kriteria diagnosis untuk RSD. Mekanisme
yang dideskripsikan untuk menerangkan terjadinya CRPSI termasuk adanya respon inflamasi
eksesif dari sensitasi perifer dan peningkatan responsifitas terhadap input setinggi tingkat cornu
posterior dari sensitasi sentral.

Nyeri kronis merupakan nyeri yang terjadi lebih lama dari yang diperkirakan ketika terjadi
trauma atau kondisi patologis tertentu. Berikut ini ada 4 tipe nyeri yang dapat diamati pada
kondisi nyeri kronis termasuk : inflamasi, kompresi/mekanis, neuropati dan disfungsi otot.
Penetuan dari mekanisme yang berpengaruh dapat memfasilitasi terapi yang efekif. Ingat bahwa
lebih dari satu mekanisme dapat terjadi pada seorang pasien.
Hampir 50% dari penderita diabetes akan mengalami nyeri terkait neuropati. Konsekuensi
dari neuropati perifer pada pasien diabetes dapat tampak sangat signifikan, termasuk dalam
perkembangan terjadinya Charcot joint (hipertrofi atropati kaki). Neuropati post stroke dapat
dilihat pada pasien yang mengalami nyeri dengan letak yang sama dengan lesi stroke. Nyeri otot
skeletal sering menyebabkan terjadinya nyeri kronis dan merupakan diagnosis yang sering
ditemui di klinik. Nyeri inflamasi disebabkan oleh mediator inflamasi seperti prostaglandin yang
secara langsung menstimulasi informasi saraf nyeri primer menuju ke medulla spinalis. Nyeri
mekanis atau nyeri kompresi juga merupakan tipe dari nyeri nosiseptif yang saraf nyerinya
distimulasi oleh adanya tekanan mekanis ataupun peregangan. Penatalaksanaan segera pada
nyeri akut penting dilakukan karena pajanan berulang dari stimulis yang tidak mengenakkan
dapat meningkatkan responsivitas nosiseptor perifer. Suatu proses yang dikenal dengan wind up
muncul ketika terdapat adanya peningkatan progresif pada output dari neuron cornu posterior
sebagai respon terhadap input yang berulang yang saling berdekatan. Hasilnya adalah amplifikasi
nyeri. Respon inisial terhadap stimulus yang tidak menyenangkan terjadi secara singkat dan
menyebabkan suatu nyeri yang tajam dan terlokalisasi. Kemudian terdapat fase yang panjang
yang dirasakan sebagai nyeri difus yang tumpul. Pajanan yang memanjang terhadap cedera
jaringan dapat memacu terjadinya sensitasi dari saraf tertentu pada jalur nyeri, yang mana dapat
memacu terjadinya nyeri persisten setelah kondisi inisial tersebut tertangani. Pengurangan gejala
bermanfaat pada pencegahan inisiasi kaskade neural dan kemudian mengeliminasi
hipersensitifitas yang disebabkan oleh stimulus yang tidak menyenangkan. Fenomena ini disebut
sebgai preemptive analgesia, konsep dari preemptive analgesia telah dipelajari pada konteks
manajemen nyeri post operasi. Metaanalisis terbaru oleh Ong dkk menemukan bahwa
preemptive analgesia dengan epidural analgesia, local analgesia, dan OAINS menghasilkan
perbaikan yang tidak konsisten pada outcome ketiganya.

Manajemen prehospital

Hanya sedikit literature tentang manajemen nyeri pada latar prehospital. Hanya sedikit
dari artikel artikel yang ditemui yang membahas mengenai manajemen nyeri ini, akan tetapi
penulis sependapat bahwa nyeri merupakan isu yang penting pada latar prehospital dan sebagian
besar masih diabaikan. Mc Clean membuat suatu perkiraan konservatif bahwa 20% pasien yang
dievakuasi oleh tim emergensi menderita nyeri sedang hingga berat. Perawatan prehospital
merupakan suatu jeda pentingdimana nyeri harus dinilai dan diterapi. Ketika perawatan
prehospital berfokus pada manajemen nyeri akan terjadi pengurangan waktu yang signifikan
hingga nyeri yang dirasakan pasien tertangani. Hingga sekarang masih terdapat keraguan yang
signifikan pada pemberian analgesia prehospital. Suatu penelitian menemukan bahwa pasien
dengan fraktur collum femoris tidak mendapat analgetik meskipun sudah diminta.

Terdapat suatu perdebatan mengenai apakah anak anak dapat mendapatkan analgesia
prehosiptal yang lebih rendah, meskipun tidak satupun berpendapat dibutuhkan peningkatan
pada populasi ini. Suatu penelitian retrospektif pada tahun 2005 menemukan bahwa anak dan
dewasa sama sama mungkin atau tidak mungkin untuk menerima analgesia prehospital untuk
fraktur ekstremitas inferior dan kedua kelompok mendapatkan tingkat terapi yang lebih baik di
IGD. Akan tetapi, penelitian kedua menemukan bahwa anak anak mungkin lebih sedikit
menerima terapi prehospital dibandingkan dengan dewasa, selain itu suatu penelitian di new
Zealand melaporkan bahwa anak yang lebih muda lebih berisiko untuk mengalami
undertreatment.
Ada banyak celah yang harus diperbaiki, meskipun satu intervensi sederhana saja telah
bermanfaaat bagi pasien. Suatu intervensi nonfarmakologis sederhana dapat bermanfaat.
Pemanasan aktif dilaporkan dapat menurunkan rasa ketidaknyamanan pada nyeri punggung
selama dilakukan transportasi tanpa risiko komplikasi dari intervensi tersebut. Pada intervensi
farmakologis, banyak penelitian yang berfokus pada penggunaan morfin, fentanyl, dan nitrit
oxide. Berdasarkan dari data retrospektif dari 2129 pasien yang ada di Colorado ditemukan
bahwa fentanyl aman dan efektif digunakan di lapangan. Sebagai tambahan karena morfin dan
fentanyl sama sama bermanfaat pada terapi nyeri, harga fentanyl yang melebihi morfin tidak
akan membuat fentanyl lebih diutamakan dalam manajemen pre hospital.

Sejak tahun 1980, penulis menganjurkan penggunaan NO 50% sebagai pilihan agen yang
aman dan efektif untuk kontrol nyeri ketika ipioid iv tidak ada.

Manajemen di IGD

Inisial stabilisasi
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, nyeri visceral sering disertai dengan
gejala gejala otonom seperti mual/muntah, hipotensi, bradikardi, dan berkeringat.
Stabilisasi awal dibutuhkan segera untuk menilai gejala- gejala yang muncul dan tanda
vital, serta pertimbangan pemasangan akses iv untuk mentitrasi pengobatan nyeri. Tipe
dari nyeri yang dialami akan menunjukkan apa yang dibutuhkan dalam stabilisasi:
misalnya nyeri dada substernal pada pasien dengan diabetes akan membutuhkan
dipasangnya jalur iv, oksigen dan monitor, dimana ketika Tension Type Headache yang
berulang mungkin tidak membutuhkan terapi diluar terapi intramuscular.
Penilaian dan dokumentasi nyeri merupakan komponen dasar dalam triase.
Dimana banyak proses nyeri akut yang tidak mengancam nyawa, nyeri berat
membutuhkan skoring triase dan penempatan di IGD lebih urgen dibanding yang lainnya.
Karena manajemen segera nyeri pada faktanya dapat memutus lingkaran dan membatasi
tingkatan nyeri yang dirasakan oleh pasien, kontrol nyeri yang segera di rekomendasikan.
Sebagai tambahan, kontrol nyeri segera sering dapat memfasilitasi perolehan riwayat dan
hasil pemeriksaan fisik yang lebih akurat.

Anamnesis
Pada pasien pasien yang mengeluhkan nyeri penilaian awal berfokus pada
apakah masih terdapat kondisi emergensi dimana penanganan nyeri tetap tidak boleh
diabaikan selama penilaian awal dan pemeriksaan diagnostik. Suatu riwayat yang fokus
harus diperoleh termasuk didalamnya PMH. Penting juga untuk melakukan penilaian
komponen PMH yang dapat mempengaruhi pemilihan obat, seperti jika pasien memiliki
riwayat perdarahan, penggunaan OAINS tidak lagi menjadi pilihan utama. Aspek lain
yang dinilai dari pasien dengan nyeri adalah aspek psikologis. Nyeri kronis biasanya
dihubungkan dengan depresi dan suatu keinginan untuk mengakhiri hidup. Hal ini
penting untuk mempertimbangkan afek dan mood pasien, skrining tanda tanda depresi
dan keinginan untuk bunuh diri yang mungkin muncul.
Pemeriksaan fisik
Suatu pemeriksaan fisik yang terarah termasuk didalamnya pemeriksaan tanda
vital, terutama nadi, laju pernapasan, dan tekanan darah harus dilakukan. Menekankan
pada pentingnya penilaian nyeri, American Pain Society menciptakan suatu frasa Nyeri :
Tanda Vital Kelima. Berbagai penelitian menunjukkan korelasi antara nyeri dan
perubahan pada tanda vital, meskipun pada nyeri akut tanda vital tidak selalu abnormal.
Tousignan-Laflamme dkk mendemonstrasikan peningkatan nadi pada saat istirahat
dengan adanya stimuli nyeri. Meskipun terjadi peningkatan pada nadi ketika terdapat
nyeri tetapi nilainya tidak harus menjadi abnormal. Keluhan adanya nyeri yang langsung
diungkapkan oleh pasien harus lebih dipertimbangakan mengindikasikan adanya nyeri.
Meskipun demikian, observasi dari respon pasien terhadap adanya nyeri (seperti ekspresi
muka, gerak-gerik) harus diperhatikan pada pasien yang belum dapat berbicara atau
memiliki keterbatasan kognitif. Pemeriksaan fisik bertingkat dilakukan berdasarkan pada
tipe dari nyeri; nyeri pada ekstremitas yang langsung berhubungan dengan adanya cidera
hanya memerlukan pemeriksaan yang terbatas, berbeda dengan nyeri yang tidak spesifik
mungkin membutuhkan pemeriksaan yang sistematik, pasien dengan keluhan nyeri
kepala membutuhkan pemeriksaan yang teliti dari saraf kranialis II,III,IV, dan VI, juga
harus dipertimbangkan pemeriksaan pada arteri temporalis dan penilaian adanya diseksi
arteri vertebralis atau karotis. Suatu keluhan nyeri dada membutuhkan penilaian pada
pulsasi, jantung, dan paru yang cermat untuk mencari bukti adanya pneumothorax,
emboli pulmo, pneumonia, pericarditis, dan diseksi aorta; pemeriksaan kulit yang
cermatharus dilakukan untuk mencari bukti terjadinya herpes zoster. Diagnosis banding
dari nyeri perut sangat banyak dan klinisi harus dengan cermat melakukan evalusi yang
komprehensif agar tidak terjadi kesalahan diagnosis. Keluhan nyeri punggung
membutuhkan evaluasi neurologis lengkap dengan fokus pada fungsi BAB dan BAK,
saraf sensoris, motoris dan reflex.

Perangkat penilaian nyeri


Beberapa perangkat penilaian nyeri telah disusun untuk membantu
menggambarkan nyeri secara kuantitatif dan merupakan mekanisme untuk menilai respon
terhadap intervensi yang telah diberikan. Perangkat perangkat ini digunakan untuk
membantu manajemen nyeri. Selka dkk mempelajari penggunaan Verbal Pain Score pada
pasien trauma. Pada awal dari penelitian, beberapa perawat dilatih untuk menggunakan
skala nyeri, pentingnya menyampaikan informasi ini pada dokter, dan menambahkan data
pada rekam medis. Selama masa penelitian ini, dokter dan perawat diingatkan kembali
pentingnya dokumentasi skala nyeri dua kali dalam sebulan. Penggunaan perangkat
penilaian nyeri meningkat 73% dibandingkan sebelumnya yang hanya 18,5%. Enam
puluh persen dari pasien yang telah menjalani penilaian nyeri mendapatkan analgesik
lebih banyak dari pasien yang tanpa keluhan nyeri. Mereka menyimpulkan bahwa
perangkat penilaian nyeri meningkatkan kesempatan penggunaan analgesia yang lebih
sesuai indikasi terutama pada pasien dengan nyeri hebat, meskipun beberapa efek
Hawthoren ditemui pada perkembangan ini.
Pada tahun 2001 Bijur dkk melakukan suatu uji untuk mengetahui realibilitas
VAS sebagai alat ukur dari nyeri akut di IGD. Pasien ditanyakan mengenai tingkat nyeri
menggunakan skala sepanjang 100mm yang ditandai dengan dengan tidak nyeri hingga
sangat nyeri dalam 1 menit, tanpa melihat respon pertama kali pasien. Peneliti
menemukan bahwa 90% tingkatan nyeri berada dalam jarak 9mm dibanding yang lain,
menunjukkan bahwa VAS memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi untuk menilai nyeri
akut di IGD.
Beberapa penelitian dilakukan untuk mengukur apakah terdapat perubahan VAS
yang signifikan setelah dilakukan terapi nyeri. Perubahan klinis yang minimum yang
tidak dapat dibedakan rata rata didefinisikan dengan nyeri yang sedikit membaik atau
nyeri yang sedikit memburuk. Suatu penelitian awal yang dilakukan oleh Todd (1996)
menemukan bahwa 13 mm menunjukkan perubahan klinis dengan signifikansi yang
minimal. Penelitian ini divalidasi oleh penelitian yang dilakukan oleh Gallagher pada
tahun 2001. Satu lagi penelitian yang dilakuakn oleh Kelly (1998) menemukan bahwa
perubahan 9 mm saja sudah menunjukkan perubahan yang secara linis signifikan, akan
tetapi interval kepercayaan dari penelitian ini masih tumpang tindih dengan dua
penelitian sebelumnya.
Visual Analog Scale (VAS) telah digunakan pada sebagian besar penelitian klinis
dan ditemukan reliable dan valid dalam penggunaannya di IGD. Akan tetapi, dibutuhkan
suatu kemampuan kognitif yang mengartikan tingkat nyeri yang dirasakan pasien pada
pengukuran jarak, ketajaman visual yang adekuat dan fungsi motorik. Numeral Rating
Scale (NRS) dapat dilakukan secara verbal dan merupakan perangkat klinis yang familiar.
Pada tahun 2003, Bijur dkk membandingkan NRS dan VAS pada evaluasi nyeri akut di
IGD. Mereka menemukan bahwa dua alat penilaian nyeri ini saling berkorelasi dengn
kuat dan disimpulkan bahwa NRS dapat digunakan untuk menggantikan VAS. Suatu
Verbal Descriptor Scale (VDS) dapat digunakan pada pasien yang tidak dapat
menyatakan tingkatan nyerinya menggunakan NRS. Penggunaan VDS dan NRS telah
divalidasi pada populasi oleh Tanabe.
Pada tahun 1998, Berthier dkk membandingkan VAS dan NRS dalam penilaian
tingkatan nyeri akut di IGD. Mereka menemukan bahwa VAS dan NRS sangat
berkorelasi, baik pada pasien trauma maupun non trauma. VRS lebih tidak abstrak tapi
terdapat 11 % pasien yang tidak berespon dan buruk dalam membedakan nyeri yang
hebat dengan nyeri yang tidak tertahankan pada pasien trauma. NRS memiliki ratio tidak
berespon yang lebih rendah dan hanya membutuhkan respon verbal, dan dapat berhasil
dilakukan pada 96% pasien. Penulis menyimpulkan bahwa NRS merupakan skala yang
lebih baik dalam evaluasi nyeri secara mandiri pada pasien dengan nyeri akut di IGD.
Berbagai skala penilaian nyeri telah divalidasi dengan latar IGD. Yang sama
pentingnya adalah kemampuannya dalam menilai perbaikan klinis. Perbaikan 13 mm
pada VAS seperti yang telah dibicarakan sebelumnya menunjukkan perubahan klinis
yang minimum. Seperti pada perubahan 1.39 pada NRS menunjukkan korelasi yang sama
sama minimum pada perubahan secara klinis. Kesimpulannya ketika kedua skala ini
bermanfaat dalam penilaian inisial nyeri, maka kedua skala inipun bermanfaat dalam
menilai berkurangnya nyeri.
Pada tahun 2005 Fosnocth dkk melaporkan bahwa ketika terdapat korelasi yang
moderate antara perubahan dalam nilai VAS dan Verbal Descriptor Of Pain, maka
terdapat variabilitas yang luas pada nilai VAS sehingg mereka menentang penggunaan
perubahan VAS sebagai indikasi berkurangnya nyeri pada pasien. VAS merupakan suatu
skala interval yang tidak nyata dan perubahan pada intensitas nyeri yang ringan mungkin
tidak berkorelasi dengan perubahan yang mirip pada nyeri dengan intensitas yang lebih
berat. Ini kemudian diteliti lebih lanjut oleh Bird dan Dickson yang melaporkan bahwa
perubahan yang signifikan pada intensitas nyeri mungkin tidak seragam pada keseluruhan
VAS; pasien dengan nyeri yang lebih hebat membutuhkan perubahan yang lebih
besarpada skor VAS untyk menunjukkan perubahan yang secara klinis signifikan baik itu
peningkatan atau pengurangan nyeri yang dirasakan
Beberapa perangkat penilaian nyeri dapat digunakan untuk anak anak yang
sudah dapat berbicara. Skala nyeri ini dikembangkan menggunakan angka, warna, dan
ekspresi muka. Pada anak yang belum dapat berbicara beberapa skala nyeri telah
divalidasi. The CHEOPS merupakan perangkat penilaian nyeri yang telah tervalidasi
dengan baikuntuk menilai nyeri pada anak. Perangkat ini awalnya dikembangkan untuk
pasien post operasi yang kemudian penggunaannya berkembang luas setelah itu.
Penilaiannya lengkapnya termasuk keluhan secara verbal dengan 5 kebiasaan yang lain
sesuai untuk anak anak preverbal. Skala ini menilai nyeri dengan memperhatikan 5
kebiasaan seperti menangis, ekspresi wajah, verbalisasi, sentuhan, dan respon
ekstremitas seperti menggeliat.
Penilaian nyeri pada anak yang belum dapat berbicara baik karena belum cukup
umur atau karena gangguan kognitif masih menjadi tantangan bagi klinisi. Non
Communicating Childrens Pain Checklist menilai nyeri dengan melakukan skoring pada
parameter multiple seperti vocal, interaksi social, ekspresi wajah, tingkat aktivitas,
gerakan tubuh, serta mekanisme kompensai fisiologis seperti berkeringat, gemetar, dan
menahan napas.
Seperti pada dewasa, keluhan nyeri merupakan suatu metode yang lebih baik
dalam menilai nyeri yang dialami olek anak. Ketika anak yang sangat muda dapat
memberikan pernyataan tentang nyeri yang mereka alami tetap penting untuk menilai
kompetensi terutama pada anak anak dengan usia antara 3 hingga 7 tahun untuk
mendeskripsikan nyeri yang mereka alami secara akurat. Observasi harus selalu
dilakukan pada anak yang mengeluh nyeri dan mungkin sangat dibutuhkan pada pasien
yang belum mampu menyatakan keluhan nyerinya.
American Geriatric Society (AGS) mempubliksikan suatu guidline dengan topic
manajemen nyeri pada orang tua. Pasien yang sudah tua, seperti semua pasien lainnya,
harus menyampaikan keluhan nyeri yang mereka rasakan, dan butuh penilaian nyeri yang
dirasa paling akurat. Penilaian klinis dan alloanamnesi seharusnya hanya digunakan pada
pasien yang tidak dapat menyampaikan kebutuhannya secara mandiri. Kesulitasn dalam
berkomunikasi dapat muncul terutama pada pasien tua yang menderita demensia atau
keterbatasan karena infark cerebri. Meskipun demikian berbagai deskripsi untuk nyeri
harus digunakan seperti gatal, rasa terbakar, rasa tidak nyaman, dll ketika bertanya pada
pasien. Pada pasien yang tidak bisa berbicara penanda nyeri lain seperti mengerang dan
menangis harus digunakan sebagai indikator nyeri.
NRS telah digunakan di IGD dalam beberapa tahun ini untuk mengevaluasi nyeri
yang dialami pasien. Perangkat ini mudah digunakan dan hanya membutuhkan respon
verbal dari pasien. Sebagai tambahan, perangkat ini juga tidak mebutuhkan chart khusus
yang harus disertakan di rekam medis. Berdasarkan dari fakta fakta ini yang mana juga
telah divalidasi oleh beberapa penelitian, penulis memilih NRS sebagai perangkat
penialain nyeri yang paling disarankan di IGD.

Manajemen

Manajemen dari nyeri akut didasarkan pada etiologi yang mendasari nyeri tersebut.
Pendekatan inisial yang dilakukan setelah stabilisasi termasuk prosedur dasar seperti
immobilisasi fraktur, aplikasi kompres dingin, atau pemasangan NGT pada obstruksi kemih.
Ketika penggunaan OIANS dan opioid masih merupakan pilihan utama dalam manajemen
berbagai tipe nyeri, suatu pilihan unik muncul dalam terapi untuk nyeri neuropati. Ketika sinyal
nyeri sedang diproses terdapat pelepasan dari opioid endogen, enkefalin dan dyonorfin,
serotonin, dan norepinephrine. Terdapat suatu tempat untuk antidepresan trisiklik yang berkerja
dengan mencegah reuptake serotonin dan norepinefrin. Ketika mekanisme pastinya belum
diketahui antidepresan juga memperbaiki kualitas tidur, mood dan anxietas yang sering
menyertai nyeri. Antikonvulsan atau membrane stabilizer (seperti carbamazepine, gabapentin)
bekerja pada membrane saraf perifer, mencegah transmisi nyeri. Keluhan nyeri seperti terbakar
yang terus menerus mungkin akan berespon pada pemberian antidepresan, dimana keluhan nyeri
yang pedih mungkin akan memberikan respon yang sangat baik pada pemberian antikonvulsan.
Meskipun antikonvulsan seperti gabapentin telah banyak digunakan dalam terapi nyeri seperti
terbakar dan nyeri neuropati yang episodic.

Analgesia
Analgesik Opioid
Analgesik Non-Opioid Derivate Acetaminofen dan Salisilat

Analgesik Non-Steroid OAINS lain


Nyeri akut : terdapat banyak obat untuk manjemen nyeri di IGD. Dokter
terkadang sering hanya fokus pada potensial adiksi ketika meresepkan opioid untuk
pasien nyeri, akan tetapi telah dilakukan penelitian bahwa adiksi jarang muncul pada
pemberian opioid dalam kondisi yang sangat nyeri. Jalur masuknya obat juga harus
dipilih berdasarkan tingkat keparahan nyeri. Pasien dengan tingkat nyeri ringan hingga
sedang dapat diberikan analgesik oral yang telah direncanakan sejak kunjungan pertama
mereka, tidak hanya untuk menghilangkan nyeri yang mereka alami, tetapi juga
ditawarkan kesempatan untuk melihat seberapa efektif pengobatan tersebut. Pasien
dengan tingkat nyeri sedang hingga berat harus dipasang IV kateter sehingga opioid IV
daoat diberikan dan dititrasi disesuaikan dengan pengurangan nyeri yang dikeluhkan.
Hanya sedikit peran dari jalur IM yang dapat digunakan dalam penatalaksanaan nyeri
akut. Terkadang, petugas kesehatan memberikan obat secara IM karena dianggap akan
memberikan efek yang lebih cepat dan tingkat analgesic yang lebih besar dibandingkan
obat oral. Akan tetapi onset kerja pada pemberian IM dan oral tampak hampir sama pada
toradol. Pemberian obat intramuscular memiliki beberapa permasalahan seperti nyeri saat
disuntikkan obat, tidak mudah dititrasi dan potensial dalam pembentukan hematom.
Sebagai tambahan, obat IM lebih mahal dibandingkan obat oral dan memberikan risiko
tertusuk jarum pada petugas kesehatan.

Terapi Farmakologi Untuk Nyeri Neuropati

Nyeri kronis : nyeri kronis membutuhkan suatu perhatian khusus. Seperti yang
telah didiskusikan sebelumnya terdapat 4 tipe nyeri kronis. Menggunakan tipe dari nyeri
yang muncul untuk menentukan terapi dianggap sangat bijaksana. Beberapa pasien
dengan nyeri kronis telah memiliki dokter layanan primer atau spesialis nyeri yang ikut
andil dala perawatannya. Terkadang pasien pasien ini teah memiliki suatu persetujuan
dengan dokternya mengenai seberapa banyak narkotik yang dapat mereka gunakan. Ini
merupakan suatu alasan untuk melakukan konsultasi ke dokter sebelumnya sebelum
meresepkan narkotik apabila dibutuhkan.
Lidokain patch 5% dapat digunakan pada post herpetic neuralgia seperti yang
telah dideskripsikan dalam berbagai artikel. Pemberian lidokain ini telah terbukti
signifikan untuk mengurangi keluhan pasien tanpa efek samping apapun dibandingkan
dengan placebo. Pemberian lidokain patch ini juga telah dipelajari dalam terapi berbagai
nyeri neuropati dengan etiologi yang bervariasi termasuk diabetes polineuropati, nyeri
post operasi, dan radikulopati, ketiga jenis nyeri ini berepon baik terhadap lidokain patch
setelah penggunaan anti depresan, anti konvulsan, dan anti aritmia serta pengobatan
opioid. Beberapa pasien merasakan nyerinya berkurang tanpa disertai efek samping yang
signifikan. Suatu penelitian lain juga menunjukkan bahwa penggunaan lidokain patch
juga bermanfaat pada nyeri miofasial dan osteoarthritis, bahkan ketika diberikan sebagai
monoterapi. Penggunaan lidokain patches juga belum menunjukkan adanya absorpsi
sistemik dan kadarnya diserum akan tetap dibawah dari kadar yang dapat menimbulkan
efek antiaritmia. Tidak ada juga laporan mengenai hilangnya sensasi lokal. Sebagai
tambahan belum juga ditemukan ada toksisitas yang ditemukan pada para sukarelawan,
pasien dengan post herpetic neuralgia atau pasien dengan nyeri herpes zoster akut.
Terapi alternative dan adjuvant

Sebagai tambahan bagi intervensi farmakologis yang telah didiskusikan terdapat


alternative terapi penting termasuk didalamnya intervensi fisik, kognitif dan behavioral.
Meskipun beberapa dari terapi ini sulit untuk dilakukan di IGD tetapi penting untuk
memahaminya karena potensial untuk digunakan dirumah atau dalam masa perawatan.
Ketika terapi tradisional gagal atau tidak dapat diharapkan, pendekatan baru dapat
digunakan sebagai suatu pertimbangan. Altier dkk mereview kasus dari pasien dengan
usia lebih dari 60 tahun dengan nyeri neuropati kronis, yang baru bisa mendapatkan hasil
yang memuaskan dengan terapi methadone. Penggunaan bubuk methadone untuk
pengurangan nyeri yang lebih lama pada nyeri karena luka juga sudah dilaporkan pada
beberapa penelitian sebelumnya. Injeksi opioid intraartrikular telah digunakan pada post
atrhroskopik knee surgery dengan pengurang nyeri. Injeksi opioid IA juga telah dipelajari
secara prospektif untuk kontrol nyeri dan osteoarthritis. Pasien merasakan nyerinya
berkurang hingga 7 hari tanpa efek samping jangka pendek atau jangka panjang.
Beberapa laporan kasus lain juga menunjukkan pengurangan nyeri hingga dua minggu
pada penggunaan opioid IA pada pasien dengan nyeri kronis.

Antidepresan trisiklik topical telah menunjukkan hasil yang menjanjikan untuk


kontrol nyeri neuropati pada laporan kasus serta beberapa penelitian terbuka lain.
Beberapa penelitian randomized, blinded, dan placebo control study telah dilakukan, satu
menggunakan topical doxepin dan yang lainnya menggunakan topical amitriptilin.
Beberapa penelitian ini menemukan hasil yang berbeda beda; satu penelitian
menemukan efek analgesia yang signifikan dan yang lainnya menemukan tidak ada
perbedaan dibandingkan dengan plasebo

Pertimbangan khusus pada populasi tertentu

Pediatri
Terdapat perbedaan fisiologis antara anak anak dan dewasa yang berpengaruh
pada respon terhadap pengobatan nyeri. Metabolisme dan klirens obat berbeda selama
infan. Metabolism hati baru berfungsi secara penuh sebulan setelah dilahirkan.
Dikarenakan perbandingan yang relatif besar antara hati dan masa tubuh, metabolisme
dapat meningkat pada usia 2 hingga 6 tahun. Eliminasi obat juaga dipengaruhi oleh
perbedaan fungsi renal. Aliran darah ginjal, laju filtrasi glomerulus, dan sekresi tubulus
semuanya berkurang selama tahun pertama kehidupan dan setelah fungsi ginjal hampir
sama dengan dewasa. Disamping perbedaan di metabolism dan eliminasi, bioavaibilitas
obat juga berbeda di anak. Anak memiliki total lemak tubuh yang lebih sedikit
dibandingkan dewasa sehingga obat yang larut air akan lebih mudah larut dalam plasma.
Hampir sama dengan obat lipofilik yang didistribusikan ulang ke lemak tubuh dengan
proporsi yang lebih sedikit, mereka dapat muncul dalam konsentrasi yang lebih tinggi di
plasma dalam durasi yang lebih lama. Obat dapat berefek pada system saraf pusat anak
lebih dari dewasa dikarenakan fakta bahwa sebagian besar proporsi cardiac output
dialirkan menuju ke otak serta beberapa metabolit dapat dengan mudah melewati sawar
darah otak yang masih imatur. Berkurangnya ikatan pada protein juga merupakan faktor
lain yang berkontribusi pada tingginya bioavaibilitas obat pada anak anak. Beberapa
obat berefek dengan berikatan pada protein seperti opioid dan anestesi local. Perubahan
dinamis pada fisiologi anak juga menyebabkan pemberian dosis yang sulit meskipun
telah berdasarkan kg berat badan anak tersebut. Untuk memberikan pengobatan yang
aman pada anak, obat yang dokter berikan harus dengan mudah direview referensinya
dan pasien harus benar benar dimonitoring tidak hanya tentang efek terapetiknya tetapi
juga efek samping yang mungkin muncul.
Usia Lanjut
Untuk lebih dari satu decade, The National Hospital Ambulatory Medical Care
Survey telah melacak kunjungan IGD dan data demografi pasien. Pasien dengan usia 75
tahun menempati jumlah kunjungan terbanyak secara konsisten. Isu sosial dapat
menyertai pasien usia tua memilih IGD dalam perawatannya. Alasannya termasuk pada
pendapatan mereka yang rendah, hidup sendiri, edukasi yang kurang, dan kesulitan dalam
mengakses perawatan dengan jalur lain.
Semua faktor ini menyebabkan kompleksnya isu manajemen nyeri pada populasi
yang sudah tua. Nyeri merupakan suatu masalah yang sering mengenai populasi lanjut
usia. Diperkirakan 50% dari penduduk usia tua yang hidup sendiri mengalami nyeri
kronis dan 45% hingga 80% yang tinggal di tempat perawatan jangka panjang menderita
nyeri. Lanjut usia biasanya datang ke IGD denagn kondisi dimana tingkat urgensinya
tinggi dan perlu penatalaksanaan segera dibandingkan dengan usia yang lebih muda.
Pasien lanjut usia yang datang ke IGD tidak jarang datang dengan penyakit komorbid dan
telah mengkonsumsi regimen obat yang kompleks setiap harinya. Hal ini menyebabkan
penambahan obat di IGD dapat menambah kompleksitas pengobatannya. Pengobatan
nyeri merupakan pengobatan yang paling sering diberikan kedua seteleah antibiotik.
Pasien dengan dokter pribadi dan asuransi kesehatan, memiliki risiko yang lebih ringan
untuk mengalami nyeri hebat, dan sebaliknya.
The American Geriatric Society membuat beberapa rekomendasi dalam
manajemen nyeri pada usia lanjut. Mereka merekomendasikan acetaminophen sebagai
obat pilihan untuk nyeri ringan hingga sedang, dan opioid untuk nyeri sedang hingga
berat. Acetaminophen telah digunakan dengan tingkat kepuasan yang tinggi dan efek
samping yang rendah dibandingkan OAINS.

Kontroversial

Penggunaan narkotik pada undifferentiated abdominal pain


Peringatan yang muncul di Copes Early Diagnosis of Acute Abdomen yang
menentang penggunaan pengobatan nyeri pada pasien dengan abdominal pain tidak
berdasarkan bukti dan telah menjadi dogma yang sulit diatasi. Akan tetapi saat ini telah
ada beberapa penelitian yang menentang dogma ini. Zotie dan Cust melakukan suatu
penelitian prospektif, double blinded pada tahun 1986 yang membandingkan penggunaan
buprenorphrine sublingual dibandingkan placebo. Pemeriksaan fisik berubah, akan tetapi
pada 18 dari 50 pasien yang dipelajari dengan perubahan pada pemeriksaan fisik,
perubahan terjadi pada lokalisasi nyeri yang memfasilitasi diagnosis. Mereka
menyimpulkan bahwa penggunaan buprenorfin dapat secara aman diberikan kepada
pasien dengan akut abdomen.
Pada tahun 1992, Attard dkk melakukan suatu penelitian prospective, randomized,
placebo controlled yang mengevaluasi penggunaan intramuscular papaveretum (dengan
dosis yang equaivalen dengan morfin 12,5 mg) dibandingkan placebo. VAS dan
pemeriksaan abdomen dilakukan sebelumnya untuk melakukan medikasi dan satu jam
setelahnya. Penelitian menilai kepercayaan pemeriksa dalam pengambilan keputusan
diagnosis dan manajemen sebelum dan sesudah terapi. Nilai tengah skor nyeri dan
tenderness menurun secara signifikan setelah pemberian papaveretum dibandingkan
placebo, dengan tanpa perubahan pada lokasi nyeri. Menariknya, dilakukan 6 prosedur
operasi yang tidak dibutuhkan pada grup placebo dimana pada grup dengan papaveretum
tidak dilakukan sama sekali. Terdapat dua pasien pada grup dengan papaveretum yang
dibolehkan pulang dan kemudian didiagnosis dengan appendicitis. Dokter bedah percaya
diri dalam mendiagnosis dan mengambil keputusan manajemen grup yang tidak
terpengaruh papaveretum. Mereka menyimpulkan bahwa pengurangan nyeri segera
menggunakan papaveretum pada pasien dengan nyeri abdomen akut yang hebat tidak
memiliki pengaruh pada pengambilan keputusan.
Pada tahun 1996, Pace dan Burke juga mengevaluasi pemberian IV morfin
dibandingkan dengan placebo pada pasien dengan nyeri abdomen akut. Mereka
mempelajari perubahan pada skala nyeri sebelum dan sesudah pemberian obat dan
akuransi dari diagnosis awal dibandingkan dengan diagnosis akhir. Pada grup dengan
morfin dilaporkan pengurangan skala nyeri yang signifikan. Terapi dengan morfin tidak
menghasilkan hilangnya tanda peritoneal. Diagnosis awal dan akhir disetujui pada 80%
pasien dalam grup morfin dan 61% pasien dalam grup placebo. Tiga pasie dari setiap
grup mengalami misdiagnosis. Penulis menyimpulkan bahwa pemberian morfin pada
pasien dewasa dengan akut, nyeri abdomen atraumatis menghasilkan pengurangan nyeri
tanpa mempengaruhi kemampuan dokter di IGD untuk melakukan evaluasi akurat.
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh LoVecchio (1997) juga menyimpulkan
bahwa pemberian analgesic opioid segera aman dan efektif diberikan pada pasien dengan
nyeri akut abdomen di IGD. Tidak ada kematian atau keterlambatan dalam perawatan
pasien. Penulis menyimpulkan bahwa perubahan yang mungkin terjadi pada pemeriksaan
setelah pemberian opioid ini dikarenakan relaksasi otot dan penurunan mekanisme
kompensasi dengan lokalisasi nyeri yang malah membaik.
Akhirnya pada tahun 2003 Thomas dkk mempresentasikan suatu penelitian
prospektif, randomized pada pasien dewasa dengan undifferentiated abdominal pain
membandingkan pemberian morfin dan placedo. Mereka menyimpulkan bahwa tidak
terdapat untoward effect dengan pemberian awal morfin dan tidak ada bukti yang
mendukung konteks yang menyebutkan bahwa pemberian segera morfin memberikan
efek merusak dengan cara apapun.
Disamping fakta bahwa telah terdapat 5 penelitian randomized, double blinded
yang mendukung penggunaan analgetik pada nyeri abdomen unspesifik, pada prakteknya
secara klinis tidak dilakukan. Pada tahun 1999, tnabe menemukan bahwa hanya 35%
pasien yang menderita nyeri abdomen menerima pengobatan analgesic, suatu survey
yang dilakukan pada para dokter bedah oleh Graber dkk pada tahun 1999 menemukan
bahwa 53% dokter bedah umum percaya bahwa pengobatan nyeri menghalangi pasien
dari penandatanganan informed consent yang valid. Dan 67% percaya bahwa Narkotik
dapat menghalangi ketepatan diagnostik. Wolfe et al melakukan survey pada dokter
emergensi dan menemukan bahwa meskipun 85% dokter tidak merasakan bahwa
pengobatan nyeri tidak mengubah penemuan pemeriksaan fisik yang penting, 76%
dokter memilih untuk tidak memberiakn narkotik hingga pasien diperiksa langsung oleh
dokter bedah. Faktor yang mempengaruhi diberikan atau tidaknya medikasi
termasukderajat dari nyeri yang pasien alami (69%), kepastian diagnosis (52%), dan jeda
waktu hingga evaluasi secara operatif (58%).
Pada tahun 2003, Kim dkk melakukan survey pada dokter anak emergensi (PEM)
dan dokter bedah anak dan menemukan bahwa dokter dengan pengalaman lebih dari 10
tahun, dokter bedah anak tidak terlalu suka dokter PEM memberikan narkotik (61% vs
38%) dengan dokter PEM menyebutkan bahwa ketidaksetujuan dokter bedah anak
merupakan penghalang utama dalam pemberian analgesic pada anak. Hal ini tidak sama
dengan dokter dengan pengalaman kurang dari 10 tahun yang dididik pada masa ketika
dogma untuk menahan pemberian analgesia pada evaluasi nyeri abdomen mulai
dipertanyakan dan ditolak. Tersedianya dan penggunaan CT scan dalam diagnosis nyeri
abdomen sepertinya juga berkontribusi.
Intramuscular ketorolac vs oral ibuprofen
OAINS menghambat pembentukan prostaglandin yang mana berpengaruh pada
sindroma nyeri karena beberapa nyeri dimediasi oleh prostaglandin, seperti dismenorea,
kolik bilier, kolik renal, arthritis, nyeri post operatif, faringitsi, dan trauma jaringan lunak.
Beberapa dokter lebih memilih penggunaan IM toradol dibandingkan ibuprofen oral.
Akan tetapi, dosis secara IM tidak memiliki onset yang lebih cepat dibandingkan dosis
oral dan malah memiliki beberapa potensial komplikasi. Wright dkk mempublikasikan
suatu penelitian retrospektif dengan data yang dikumpulkan dari penelitian prospektif
tentang manajemen nyeri menggunakan ketorolac 60 mg IM yang dibandingkan dengan
ibuprofen 800mg peroral. Perangkat VAS digunakan untuk menilai nyeri sebelum dan
sesudah terapi. Hasilnya tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dari perubahan nilai
VAS atau secara langsung didiskpipsikan oleh pasien. Faktanya sekitar 40% pasien pada
kedua grup mengungkapkan tidak adanya atau hanya sedikit pengurangan nyeri yang
mereka rasakan.
Pada penelitian randomized, prospektif double blinded yang dilakukan oleh
Turturro dkk membandingkan IM ketorolac (60mg) dan ibuprofen oral (800mg) pada
nyeri neuromuscuskeletal akut menggunakan perangkat VAS. Tingkatan dari nyeri yang
dirasakan dievaluasi sebelum terapi, 15, 30, 45. 60, 75. 90, dan 120 menit setelah terapi.
Rata rata skor nyeri tidak berbeda diatara dua grup dan mereka menyimpulkan bahwa
IM ketorolac dan ibuprofen PO menghasilkan tingkat analgesia yang sama.
Penelitian ketiga yang mebandingkan IM ketolrolac dan ibuprofen oral yang
dilakukan oleh Neighbor dan Puntillo. Penelitian ini merupakan penelitian prospektif,
double blinded pada pasien dengan tingakt nyeri sedang hingga beratmenggunakan
perangkat NRS untuk menilai nyeri sebelum terapi, 15, 30, 45. 60, 75. 90, dan 120 menit
setelah terapi. Penambahan analgesia diijinkan. Tidak terdapat perbedaan antara kedua
grup.
Sehingga dari beberapa penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
perbedaan manfaat antara IM ketorolac dan oral ibuprofen dalam pengobatan nyeri.
Dimana dosis IM memiliki riski yang lebih besar dan lebih mahal, penggunaan oral
ibuprofen jelas merupakan pilihan yang terbaik.
Cox 2 inhibitor
Cox 2 inhibitor dikembangkan dan diperkenalkan sebagai langkah untuk
menemukan suatu obat antiinflamasi yang tidak mempengaruhi zat zat antitrombotic
yang selama ini dihasilkan oleh obat obatan COX inhibitor non selektif. Dimulai dari
waktu diperkenalkan pertama kali, refecoxid dan celecoxib berkembang menjadi sangat
popular. Pada tahun 2003, obat Cox 2 inhibitor merupakan obat dengan tingkat penjualan
terbesar ketujuh. Eric topoll mempublikasikan suatu tantangan yang saat ini sangat
terkenal tentang tingkat keamanan cox 2 inhibitor pada pertemuan JAMA 2001 bahwa
cox 2 inhibitor tidak memiliki efek antitrombotik yang sama dengan obat cox inhibitor
non selektif dan terjadinya peningkatan risiko penyakit cardiovaskuler. Berdasarkan
review dari penelitian yang unggah ke FDA tentang persetujuan cox 2 inhibitor, dia
menemukan bahwa pada pasien yang diobati dengan refecoxib pada penelitian VIGOR
terjadi peningkatan risiko efek samping cardiovaskuler termasuk infark miokard ataupun
stroke iskemik. Akan tetapi pada penelitian Celecoxib Longterm Arthtritis Safety Study
( CLASS) tidak ditemukan adanya efek samping cardiovaskuler ketika celecoxib
dibandingkan dengan ibuprofen dan diclofenak.
Hingga saat ini masih belum jelas alternative apakah yang terbaik untuk pasien,
beberapa penulis merekomendasikan penggunaan tradisional OAINS bersamaan
penggunaan obat pelindung GIT baik PPI atau hiatamin 2 reseptor antagonis. Elliott
merekomendasikan bahwa penggunaan hiatamin 2 reseptor antagonis lebih efektif dalam
hal biaya pada pasien yang menggunakan OAINS sebagai penghilang nyeri. Beberapa
penulis juga menganjurkan diteruskannya penggunaan cox 2 inhibitor pada pasien
tertentu dengan dilakukan skring terlebih dahulu.

Strategi cost efektif

a. Memberitahukan pada pasien tentang pilihan obat generic


Beberapa farmasis akan secara otomatis mensubtitusi suatu obat generic ketika
menyiapkan suatu resep obat. Akan tetapi pasie mungkin tidak tau bagaimana mencari
merek obat generic yang mereka butuhkan saat membeli obat di apotik. Merupakan suatu
kebiasaan untuk mengucapkan merek seperti Tylenol atau Motrin kepada pasien, tetapi
memberitahu mereka bahwa acetaminophen dan ibuprofen merupakan obat yang sama
dapat menghemat uang yang mereka keluarkan untuk membeli obat.
b. Pertimbangkan untuk menggunakan obat oral dibandingkan intravena
Saat pasien intoleran terhadap obat oral mungkin memang tidak ada pilihan lain selain
menggunakan obat IV atau IM. Akan tetapi, saat pasien dapat mentoleransi pengobatan
oral uang yang akan mereka bayarkan akan lebih murah dibandingkan obat jalur
parenteral. Sebagai tambahan, hal ini juga dapat digunakan untuk menilai keefektifan dari
obat oral untuk mengontrol nyeri sebelum dilepaskan tanpa obat dan dapat menurunkan
kunjungan kembali ke IGD.
c. Pertimbangkan penggunaan tradisional OAINS dengan GI protekror dibanding
menggunakan cox 2 inhibitor
Saat ini semakin sulit untuk meresepkan obat cox 2 inhibitor sejak refecoxib ditarik dari
pasaran seluruh dunia dan cefecoxib ditarik dari pasaran amerika. Celebrex masih dapat
digunakan, meskipun beberapa dokter harus mempertimbangkan dua faktor secara hati
hati sebelum meresepkan obat ini. Yang pertama apakah ini aman bagi pasien untuk
digunakan? Meskipun belum ada bukti yang menunukkan bahwa celebrex memiliki efek
yang sama dengan celecoxib dalam meningkatkan risiko cardiovaskuler. Akan tetapi
pasien tetap lebih baik diberikan OAINS tradisional dengan tambahan PPI atau histamine
2 reseptor antagonis untuk perlindungan GIT. Yang kedua dokter juga harus
mempertimbangkan kewajibannya ketika meresepkan cox 2 inhibitor, dimana dua obat
dari jenis yang sama telah ditarik dari pasaran.

10 pitfall yang harus dihindari :


1. Pasien dengan nyeri abdomen, tetapi saya tidak memberikan obat penghilang nyeri
apapun karena saya tidak ingin mengganggu hasil pemeriksaan
Kontrol nyeri harus dipertimbangkan padakeadaan apapun, termasuk pada pasien dengan
nyeri perut. Ketika pasien berada dalam keadaan yang lebih nyaman, pemeriksaan
abdomen dapat menghasilkan informasi yang lebih banyak. Tanda dari patologi yang
serius tidak akan menjadi tidak dapat dikenali dan masih tetap dapat diikuti evolusi dari
nyeri tersebut.
2. Tanda vital pasien normal, jadi meskipun pasien berkata bahwa pasien merasa
nyeri tidak ada bukti yang mendukung bahwa pernyataan tersebut benar.
Tanda vital mungkin dapat normal saat pasien merasakan nyeri yang signifikan.
Pengobatan biasa seperti betablocker, mungkin dapat mengganggu dengan normalnya
respon terhadap stress. Dan meskipun tanpa pengobatan yang mengganggu tanda vital
bukan merupakan suatu predictor yang dapat dipercaya dalam keparahan nyeri. Keluhan
dari pasien merupakan penilaian yang paling terpercaya untuk menilai intensitas nyeri.
3. Saya tidak memberikan pengobatan narkotik apapun karena saya takut pasien
akan kecanduan
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pasien yang diobati dengan narkotik pada
periode nyeri akut akan meningkatkan risiko adiktif.
4. Pasien tidak dalam kondisi nyeri ketika pulang sehingga kebutuhan akan obat
pengontrol nyeri tidak perlu diresepkan.
Pasien mungkin tidak merasakan nyeri yang paling intense untuk kondisi mereka setiap
saat.beberapa proses seperti respon inflamasi, dapat meningkat setelah pasien
dipulangkan, sehingga pasien tetap harus dibekali dengan pengobatan nyeri.
5. Pasien merupakan merupakan pecandu obat IV, saya tahu bahwa dia hanya obat
untuk menghilangkan nyeri, jadi saya mengusirnya.
Pasien yang kecanduan dengan obat IV berada dalam risiko tinggi untuk mengalami
suatu patologi yang serius, seperti abses epidural dan necrotizing fasciitis, dimana
keduanya mungkin muncul dengan keluhan nyeri. Terleps dari pengalaman pasien
menggunakan narkotik, dia tetap membutuhkan evaluasi setiap datang ke IGD.
6. Orangtua pasien tidak berpikir bahwa anaknya sedang kesakitan, sehingga saya
berhenti berpikir tentang pengobatan untuk kontrol nyeri pada saat itu juga.
Orangtua sering meremehkan nyeri yang dirasakan oleh anaknya seperti yang dilakukan
oleh dokter. Sehingga penting untuk mencari tanda bahwa orang tua hanya tidak
memperhatikan, seperti gerakan meringis, menggeliat, atau melindungi. Setiap keluhan
nyeri yang dikatakan anak harus dianggap serius.
7. Dia merupakan seorang pecandu obat iv, jadi saya memberikan obat yang biasa
saya berikan ke pasien lain. Sehingga ketika dia mengeluhkan bahwa nyerinya
tidak berkurang, saya berkata bahwa itu adalah masalahnya sendiri
Pasien yang toleran terhadap opioid baik dalam penggunaanya untuk bersenang senang
atau karena nyeri kronis yang dirasakan, dapat mebutuhkan pengobatan yang lebih kuat
lagi dibandingkan pasien yang belum pernah menerima pengobatan opioid. Dosis yang
diberikan saat ini bukan merupakan pertimbangan utama, melainkan keseimbangan
antara efek terapetik dan risiko pada pemberian dosis tinggi.
8. Saya membuat diagnosis yang merupakan prioritas saya. Apakah ada bedanya saat
saya mengobati nyerinya?
Membuat diagnosis merupakan salah satu hal yang paling penting untuk dilakukan oleh
dokter emergensi, tetapi tetap ada kewajiban untuk menstabilisasi nyeri yang pasien
rasakan. Banyak pasien yang puas bukan hanya karena diagnosis dan terapi yang tepat
tetapi juga tentang interaksi antara dokter pasien termasuk kontrol nyeri.
9. Pasien terlalu gila untuk menyadari bahwa dia sedang merasakan nyeri, jadi dia
tidak membutuhkan pengobatan apapun.
Pasien yang tidak dapat mengungkapkan nyerinya secara verbal mungkin merasakan
nyeri yang signifikan. Dokter harus menyelaraskan dengan tanda lain nyeri sperti
menggeram, menangis, atau menngeliat.
10. Dia alergi terhadap obat jenis apapun kecuali meperidine, dari situ saya tau bahwa
dia merupakan pencari obat.
Pasien mungkin tidak mengetahui apa yang menyertai alergi yang sesungguhnya. Gatal
sering terjadi saat pasien mengkonsumsi obat narkotika karena pelepasan histamine. Saat
pasien menyebutkan alergi, seorang dokter harus menelusuri apakah yang sebenarnya
mereka maksud. Kadang kadang beberapa obat masuk dalam daftar alergi yang
dikatakan pasien karena kesalahpahaman. Meskipun pasien benar- benar menderita alergi
pada semua obat, dia masih tetap harus dievaluasi mengenai patologi yang terjadi dan
kebutuhan untuk kontrol nyeri yang sebenarnya

Kesimpulan

Beberapa dokter terkadang terlalu cepat untuk mengecap bahwa seorang pasien
merupakan seorang . beberapa dokter sering membiarkan nyeri yang dirasakan pasien tidak
tertangani atau tidak tahu mengenai betapa bervariasinya pengobatan nyeri yang dapat
digunakan. Meskipun pengobatan nyeri bukan merupakan misi utama di IGD, terdapat suatu
peluang besar dan banyak sumber daya untuk mengintervensi dan menilai yang pasien butuhkan.
Pentingnya kontrol nyeri harus ditempatkan disamping dari penegakan diagnosis, intervensi dan
edukasi.

Anda mungkin juga menyukai