Susanti Agustina
Program Studi Perpustakaan dan Informasi
Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia
Jl. DR. Setiabudhi No 229 Bandung
Jawa Barat
Agustina.s8@gmail.com
susanti@upi.edu
Abstrak
Pustakawan Perguruan Tinggi berperan dalam mendongkrak motivasi dan kapasitas belajar
sivitas akademika melalui pendekatan terapi buku bagi para anggota perpustakaan,
khususnya para pemustaka yang mengalami gejala stress akibat tugas akhir. Library
Therapy: Kiat Mendongkrak Motivasi dan Kapasitas Belajar Sivitas Akademika Perguruan
Tinggi merupakan salah satu pengembangan pelayanan perpustakaan Perguruan Tinggi.
Kajian ini bertujuan agar secara teknis Pustakawan Perguruan Tinggi mampu menciptakan
suasana perpustakaan sebagai wahana terapi jiwa bagi sivitas akademika, memilihkan
bahan bacaan sesuai tingkat intelektual dan emosi pemustaka, menguasai teknik berQisah
sebagai komunikasi persuasif, membuat laporan perkembangan hasil diskusi terapi buku,
memiliki keterampilan menjadi fasilitator dan biblioterapist yang bersinergi dengan psikolog
maupun konselor. Enam tahapan implementasi library therapy di Perpustakaan Perguruan
Tinggi akan dibahas dalam kajian ini.
Pendahuluan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi telah menyatakan bahwa pendidikan tinggi yang
berkualitas ditandai oleh kemampuan lulusan untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja,
menciptakan lapangan kerja baru, juga mengembangkan ilmu pengetahuan yang sesuai
dengan perkembangan pengetahuan global. Lulusan perguruan tinggi diharapkan tidak
hanya menguasai ilmu pengetahuan, teknologi atau seni pada bidang tertentu, tetapi juga
menguasai keterampilan tambahan seperti, kemampuan berkomunikasi secara efektif,
kemampuan berpikir logis, kemampuan belajar, dan lain-lain. Itu artinya lulusan perguruan
tinggi di Indonesia diharapkan menjadi pribadi yang memiliki kualitas penguasaan IPTEK
yang tinggi dan didukung oleh jiwa spiritual, jiwa kepemimpinan, akhlak mulia, dan watak
demokratis, sehingga mampu menghadapi tantangan dan persaingan antar bangsa.
1
Cita-cita mulia itu terlihat kontras dengan situasi kehidupan mahasiswa dewasa ini. Survei
yang dilakukan oleh Widianingrum (2012) terhadap 221 mahasiswa yang direkrut secara
acak menunjukkan bahwa satu dari empat mahasiswa mengalami tingkat stress sedang,
sementara hampir 4 % menunjukkan tingkat burnout yang tinggi. Sebanyak 12 % dari 217
responden mahasiswa dalam penelitian Anisah (2012) menunjukkan gejala kecemasan yang
cukup tinggi, dan sekitar 40 % dari 194 responden mahasiswa dalam penelitian Pratiwi
(2012) menunjukkan gejala-gejala depresi.
Temuan penelitian-penelitian lapangan ini sejalan dengan data yang ada pada layanan
konsultasi psikologi di Gadjah Mada Medical Center (GMC). Menurut analisis yang dilakukan
oleh Utami (2011), klien-klien yang dilayani di GMC sebagian besar menunjukkan masalah-
masalah terkait dengan perasaan kurang bersemangat, tertekan, gangguan konsentrasi,
perasaan bingung, kesulitan tidur, putus asa, dan dorongan mengakhiri hidup, bahkan pada
beberapa kasus telah terjadi percobaan bunuh diri oleh mahasiswa. Beberapa kasus tindak
bunuh diri oleh mahasiswa sempat terlaporkan di media massa, seperti yang terjadi di
Makassar dan di Jakarta pada sekitar September 2011. Namun dapat diyakini bahwa yang
terungkap di dalam media massa hanyalah sebagian kecil dari luasnya masalah-masalah
kesehatan mental mahasiswa di Indonesia
Sarana pendukung tersebut diantaranya berbentuk sebuah layanan Library Therapy. Meski
di setiap Perguruan Tinggi telah tersedia layanan konseling dan psikolog seperti Badan
Konsultasi Mahasiswa atau Unit Konsultasi Psikologi. Perguruan Tinggi juga perlu
menerapkan kebijakan-kebijakan di sektor akademis dan non-akademis yang kondusif
terhadap pengembangan kesehatan mental dan karakter mahasiswa. Perpustakaan menjadi
salah satu lembaga yang paling mungkin mengembangkannya,.Sesuai dengan fungsi
edukasi dan interpretasi perpustakaan Perguruan Tinggi. Pada fungsi Interpretasi,
perpustakaan Perguruan Tinggi melakukan kajian dan memberikan nilai tambah terhadap
sumber-sumber informasi yang dimilikinya untuk membantu pengguna dalam melakukan
dharmanya (Depdiknas RI, Dikti, 2004, p.4)
2
Komitmen terhadap pembangunan kesehatan mental dan karakter mahasiswa perlu
dilandasi oleh pemahaman yang mendalam tentang aspek-aspek akademis maupun praktis
dari kebijakan layanan library therapy. Perpustakaan sebagai wahana penyembuhan mental
melalui buku-buku koleksinya dihadapkan pada tantangan baru yang lebih aplikatif dan
membutuhkan keterampilan khusus.
Keberadaan Library Therapy, bukan untuk menyaingi keberadaan badan konseling dan para
ahli psikologi tetapi justru mencoba mempertemukan dua unsur, yaitu perpustakaan dan
buku dengan dunia psikologi maupun konseling. Pendidikan tidak bisa mendikotomikan
urusan psikologi dan mental dari keberhasilan pembelajaran. Semua ini menjadi tanggung
jawab bersama, semua elemen sivitas akademika. Perpustakaan menjadi salah satu
alternatif wahana penyembuhan (Soul Healing) dengan metode unggulannya yaitu terapi
buku (bibliotherapy).
Seperti yang penulis ungkapkan di awal, bahwa masalah non akademis dapat menjadi
pemicu munculnya masalah akademik. Hambatan lingkungan memengaruhi pola pikir, cara
pandang dan kreativitas mahasiswa dalam belajar. Hambatan tersebut bisa bersifat
psikologis, sosiologis maupun fisiologis dalam keseluruhan proses belajar. Adapun
permasalahan lingkungan yang kerap dialami mahasiswa antara lain pertengkaran orangtua,
perceraian, kekerasan di dunia pendidikan tinggi, kejahatan seksual, eksploitasi remaja
akhir, kekerasan fisik dan mental yang dilakukan teman sebaya atau senior (bullying) ,
terpaan negatif media cetak maupun elektronik seperti kecanduan game online,pornografi
dan pornoaksi.
Semua faktor tersebut rentan menimbulkan stres dan depresi pada mahasiswa. Ketika
dewasa awal mengalami stres dan depresi, mereka kehilangan semangat belajar bahkan
hingga mengalami penurunan prestasi di kampus. Stres dan depresi yang dialami
mahasiswa (dewasa awal) nampak pada perilaku menyendiri, sulit menerima nasihat, tidak
disiplin, sering murung, malas masuk kuliah, nilai IPK buruk, dan dijauhi teman-temannya.
Apabila semua permasalahan tersebut terlambat ditangani, maka akan menimbulkan
permasalahan baru yang lebih fatal dan mengarah pada kriminal. (Safaria, 2004)
Pendampingan yang terbaik bagi permasalahan perilaku pada mahasiswa yang notabene
dewasa awal, setelah melewati fase remaja akhir adalah melalui terapi buku (biblioterapi)
dan terapi qisah. Buku adalah guru yang paling sabar dalam memberikan pemahaman. Buku
bisa dibaca secara berulang-ulang hingga pembacanya menemukan kunci terbaik
menyelesaikan masalahnya. Buku menjadi media yang praktis digunakan dan terjangkau.
3
Namun, di tengah kondisi budaya baca masyarakat Indonesia yang masih tergolong rendah,
maka praktik terapi buku baik dikenalkan melalui metode berqisah atau bercerita. Buku
digunakan sebagai media berQisah.
Praktik seni berqisah berbasis terapi buku bukan saja berlaku untuk anak-anak, penting
dikembangkan di Perguruan tinggi. Pengembangan profesi pustakawan Perguruan Tinggi
dapat mengarah pada implementasi layanan terapi buku. Tugas sebagai konselor,
biblioterapist buku bisa menjadi pilihan bagi Pustakawan Perguruan Tinggi, selanjutnya
penulis singkat PT.
Pustakawan PT berupaya menyusun program layanan terapi buku untuk sivitas akademika.
Mahasiswa yang mendapatkan layanan terapi buku, tentunya diutamakan bagi yang
mengalami kendala belajar dan masalah prestasi belajar akibat gangguan penyakit mental.
Namun, tidak menutup kemungkinan bagi para mahasiswa yang ingin meningkatkan
kapasitas belajarnya dengan mengikuti kelas sesi terapi buku dan terapi qisah menggunakan
literatur di perpustakaan PT.
MAHASISW
MAHASISW
A
A
(Remaja
(Remaja Akhir-
Akhir-
Dewasa
Dewasa Awal)
Awal)
STIMULUS RESPON FIGUR
KONSEP
FIGUR OTORITAS
OTORITAS DIRI
HARGA
HARGA
DIRI BERI
PERJALANAN
TIDAK PD KEPERCAYAAN
IMAJINER: BERI KESEMPATAN
BERQISAH
CEMAS AJAK KLIEN
PENDAMPINGAN MENGUKUR DIRI
TAKUT GAGAL
PETA KEHIDUPAN
AFIRMASI:
TERAPI MASALAH MENGHARGAI
KELEBIHAN DAN
Level Skala 0-10
KEKURANGAN DIRI
Gambar 1 : Model Seni Berqisah Berbasis Terapi Konsep Diri (Untuk Mahasiswa)
Latar Belakang
Bercerita, berqisah, atau mendongeng ada sejak zaman kerajaan di Indonesia. Konsep
perubahan sudah lumrah ada dalam qisah, cerita, maupun dongeng. Perubahan sering
terselip dalam qisah. Seekor lutung yang berubah menjadi pangeran tampan, Katak berubah
jadi pangeran, Seorang anak tiri yang kotor berubah menjadi putri yang cantik dalam
Cinderella, kerajaan yang megah mewah hancur seketika karena penduduknya menyukai
sesama jenis dalam qisah kaum Sodom, dan banyak lagi yang menginspirasi masa transisi.
(Agustina, 2014,p. 5)
4
Berqisah selalu menjadi daya tarik tersendiri untuk menyampaikan nilai-nilai kehidupan.
Tentang kearifan yang mendongkrak pembelajaran. Parkin mengatakan, Pencerita pada
masa lalu memberikan layanan yang tak ternilai dengan membantu orang untuk merasakan
isu-isu yang rumit, dengan mengekspresikan apa yang tidak dapat terungkapkan, dan
memberikan kenyamanan dan dukungan pada saat-saat sulit. (Parkin, 2006, p.1)
Walaupun berqisah sudah ada sejak masa kerajaan, bukan berarti menjadi seni kuno.
Dengan pesatnya kemajuan teknologi, berqisah tidak berarti mati. Berqisah masih sangat
dibutuhkan dan tidak tergantikan oleh mesin, buku audio, atau rekaman apapun. Berqisah
juga bukan hanya milik anak-anak, tapi juga orang dewasa dalam sebuah organisasi.
Berqisah diperlukan sebagai media membingkai ulang masalah (re-frame) dan metafora
dalam menyerap makna. (Agustina, 2014, p.5)
Dalam otak kita dikenal adanya area kritis. Letaknya diantara Conscious Mind dan Sub-
Conscious Mind . Area kritis (critical area) itu suatu perangkat yang fungsinya sebagai
penyaring (filter). Tugas area kritis adalah menyaring data yang berasal dari luar (yang
masuk lewat panca indera) agar pesan tidak masuk begitu saja ke dalam Sub-Conscious
Mind. Di beberapa buku, Critical Area ini sering juga disebut sebagai RAS (Reticular
Activating System), yang lebih menyoroti pengaruh. Critical Area merupakan penampungan
data sementara, sebelum data ditindaklanjuti untuk diteruskan ke Sub-Conscious Mind.
Apakah data yang masuk lewat panca indera tersebut mau dipertahankan atau dilenyapkan.
Logika, etika, fokus, emosi, juga minat sangat berpengaruh terhadap fungsi filter dari Critical
Area.
Terkait area kritis ini, jika seseorang yang berada dalam kondisi Hypnos dalam atau Deep
Trance, filter-nya akan terbuka lebar, qisah yang mengandung informasi (saran) yang
berasal dari luar cenderung akan mudah memasuki Sub-Conscious Mind. Kondisi deep
trance bisa kita jumpai saat 15 menit awal tertidur, tanda-tanda fisiknya, apabila diangkat
tangannya, lalu dijatuhkan terasa sangat ringan tanpa ditahan, gerakan bola mata agak
cepat, saat mata terpejam. Namun, dalam kondisi tersebut anak masih dapat diajak
berbicara. Dualitas pikiran dapat digambarkan sebagai berikut:
5
Gambar Dualitas Pikiran Gambar RAS
Terdapat banyak cara membuka area kritis, antara lain melalui emosi, konsentrasi, rileksasi
(kondisi santai /relaks), repetisi (pernyataan yang diulang-ulang), kepercayaan penuh (belief)
dari Otoritas dan kelompok, spiritual, juga melalui Hypnosis. Berqisah menjadi teknik
tersendiri untuk mengolah emosi, konsentrasi, relaksasi, juga spiritual. Karena, apabila
berqisah menjadi seni, secara otomatis pustakawan sekolah memainkan semua peranan
panca indera anak didik, yaitu VAKOG. Mulai dari visual (mata), auditory (telinga),
kinesthetic (otot gerak/ tangan dan kaki), olfactory (penciuman) , gustatory (perabaan/kulit).
Apa manfaatnya membuka area kritis?. Terbukanya tutup toples area kritis berarti
mengijinkannya informasi baru masuk ke area bawah sadar (Subconscious Mind). Di area
inilah letaknya kekuatan diri manusia.
Apabila berqisah berbasis terapi buku hendak dilakukan untuk mengubah perilaku buruk
pada anak, pustakawan sekolah dan para pendidik harus berusaha masuk ke area bawah
sadar ini. Sebab, alam bawah sadar (subconscious mind) ini lokus memori jangka panjang,
emosi/persepsi, belief, kebiasaan, dan bahkan konsep diri.
Alam bawah sadar memiliki pengaruh sembilan kali lebih kuat dibandingkan pikiran sadar
(agustina, 2013). Pikiran bawah sadar selalu jadi pemenangnya. Mengubah kebiasaan,
perasaan, kepribadian, keyakinan yang negatif, mengendalikan emosi, perilaku seseorang
yang harus dilakukan adalah memprogram ulang pikiran bawah sadarnya. Sementara
conscious mind (alam sadar), memorinya jangka pendek, tugasnya untuk identifikasi,
membandingkan, analisa, rasionalitas, dan memiliki kekuatan kehendak untuk memutuskan
sesuatu.
Pustakawan PT dapat melakukan beberapa cara untuk pemberdayaan pikiran bawah sadar
hanya dengan mengasah keterampilan komunikasi. Terapi buku (Bibliotherapy) memang
bukan merupakan terapi tunggal. Pustakawan PT perlu melatih diri untuk kemampuan
komunikasi persuasif atau komunikasi figur otoritas, melalui Hipnosis.
Hipnosis merupakan suatu keadaan pikiran yang mengakibatkan perilaku bawah sadar,
mudah di sentuh, daripada perilaku sadar, perhatian terfokus, kepekaan indrawi yang luar
biasa dengan perhatian terbatas, hilangnya otonomi akibat berkurangnya kontrol kesadaran,
kerentanan terhadap respons paska hipnosis. Kondisi rileksasi pada anak dapat dilatih sejak
dini lewat berqisah, di dalam qisah terdapat sugesti yang menjadi salah satu prinsip hipnosis.
6
1. Mengubah Mental
Self Confidence & Self Esteem
Traumatic & Phobia
Drug Addiction
Anodyne Awareness Smoking Cessation
Weight Reduction Program
2. Menyembuhkan Psikosomatis
Alergi
Blood Presure
Asthma
Saat pustakawan PT sudah mengondisikan pemustaka masuk dalam kondisi rileks, ada ciri-
ciri yang bisa dijadikan indikator, seperti jika pupil membesar, denyut nadi melambat,
pernapasan berubah, bentuk wajah halus dan santai, tanggapan penuh perhatian, nyaman
dan rileks, refleks, perubahan pada mata / menutup mata, tubuh tidak mampu bergerak,
perubahan mutu suara, perubahan indra, otot, tubuh.
Untuk menggabungkan metode terapi buku dengan teknik hipnosis memang memerlukan
latihan khusus. Namun, penting untuk diketahui bahwa seorang pustakawan PT yang
berbakat dalam membangun hubungan komunikasi pasti mudah melakukannya. Sementara,
bagi pustakawan PT yang merasa tidak berbakat untuk memahami jiwa anak-anak, cukup
dengan menambah kompetensi dan ketelitian dalam memilah dan memilih buku bacaan
yang dapat digunakan sebagai media terapi. Pustakawan memiliki peran klaim kuratif, yaitu
melakukan validasi penulis dari karya buku yang ditulisnya apakah secara empiris kuat
dalam memberikan terapi penyembuhan bagi masalah mental. Hal-hal terkait buku dan
penulis meliputi jawaban atas pertanyaan:
Teknik Berqisah
Qisah memang selalu diminati dan digemari mulai dari anak hingga dewasa. Semua mesin
kecerdasan bagian dominan belahan otak cocok dalam menyerap qisah. Dalam berqisah,
tidak perlu khawatir dengan suara dan ekspresi yang datar. Qisah tetap dinanti untuk
7
disimak. Logikanya, penampilan datar dan biasa saja pun saat berqisah atau mendongeng
didengar, terlebih lagi apabila dipersiapkan. siapapun akan dengan mudah mengikuti alur
cerita dengan baik, lebih dari itu akan memudahkan mereka menerima pesan-pesan yang
akan disampaikan.
Berqisah sebaiknya tidak terlalu lama. Cukup 5 hingga 7 menit. Mengapa? Karena daya
konsentrasi individu juga tidak lama. Hanya saja jika qisah dikemas menjadi pertunjukkan
yang menyenangkan saat terapi buku berlangsung secara klasikal, dapat membuat individu
kuat menyimak walaupun lebih dari 30 menit. Minimal sisihkan 20 menit waktu berqisah.
Kegiatannya mulai dari identifikasi isu-isu masalah mental pada sivitas akademika,
pengorganisasian buku terapi dan validasi qisahnya dengan cara membacanya terlebih dulu
dan melakukan penilaian (form terlampir), mengisahkannya atau membimbing klien
(pemustaka) membaca bukunya sendiri, kemudian mendiskusikannya secara ringan, hingga
menghasilkan produk, seperti puisi, gambar, lagu, karya tulis, peta pikiran, dan lain
sebagainya.
Olah Vocal
Mengolah vocal berarti meningkatkan kapasitas suara yang sudah dimiliki. Sangat perlu
dilatih secara rutin. Latihannya mencakup suara vocal narasi atau vocal dialog. Latihan
tersebut diperlukan sebelum berqisah. Maka, sebelumnya kita perlu membaca terlebih
dahulu buku yang akan dibawakan saat berqisah untuk keperluan terapi buku di kelas terapi.
Hal tersebut untuk menghindari kesalahan pembacaan antara vocal tokoh dan vocal
narasinya. Jika Anda sudah bisa membedakan vocal tokoh dan narasi, klien/ pengguna akan
mudah membedakan dan lebih menikmati alur qisah yang disampaikan. Pengisah yang baik,
minimal punya 3 karakter suara vocal yang berbeda. Selebihnya pengisah semaksimal
mungkin melatih vocal ilustrasi.
Olah Ekspresi
Ekspresi kaitannya adalah dengan mimik wajah. Berlatihlah menirukan beragam mimik
wajah di depan cermin. Tujuan penggunakan ekspresi adalah membawa pemustaka pada
situasi yang sesuai dengan keadaan tokoh. Latihlah bagaimana ekspresi bangga, sombong,
cemberut, manja, tersenyum, senang, marah, sedih, menangis, kesal, marah, tertawa, kaget,
dan lain sebagainya. Kekuatan berqisah ada pada ekspresi juga, karenanya harus
diupayakan.
Olah Tubuh
Olah tubuh berarti memeragakan sikap atau perilaku sesuai ilustrasi cerita yang dibawakan.
Suasana qisah dijamin akan semakin hidup. Pertunjukan menggunakan olah tubuh ini
hampir mirip dengan teatrikal (teater), atau monolog. Tapi, yang membedakan dengan qisah
adalah gesture atau olah tubuh sebagai alat peraga lain, ketika pengisah tidak
menggunakan alat peraga. Hanya dengan bermodalkan tubuh kita, visualisasi pertunjukkan
8
akan terasa hidup. Contoh olah tubuh misalnya peragaan berjalan, melangkah, tangan di
pinggang, tangan di dada, membusungkan dada, terjatuh, dan lain sebagainya.
Olah Media
Olah media mengacu pada alat peraga yang akan digunakan untuk mendukung terapi buku
melalui qisah. Sesuai pengalaman penulis, berqisah dengan memersiapkan alat peraga,
akan membuat pandangan anak tertuju pada alat peraga yang kita bawa. Kelebihannya anak
akan penasaran dan tertarik. Kreativitas alat peraga sebagai media berqisah, antara lain
buku, boneka, boneka tangan, papan panel, wayang, wayang yang dibuat dari stik es krim,
bahkan baju yang kita kenakan sebagai kostum saat berqisah bisa dikatakan sebagai alat
peraga, terlebih jika baju tersebut dihias berdasarkan tema kelas terapinya.
Berhadapan dengan mahasiswa (dewasa awal), harus siap dengan bahasa yang efektif.
Hindari nada-nada nasihat. Pustakawan harus banyak membaca buku untuk referensi
bacaan terapi, sehingga saat memandu terapi buku dan diskusi akan mengalir karena telah
menguasai isi cerita. Dukungan komunikasi non verbal dan pemilihan bahasa sangat
menentuakan keberhasilan diskusi saat terapi buku di perpustakaan sekolah. Berlatihlah
memilah dan memilih kata, gunakan teknik NLP (Neurolinguistik Programming).
Olah Musik
Saat berqisah, sesekali kita pasti membutuhkan alat musik untuk mendukung cerita. Bisa
digunakan perkusi, gitar, biola, atau piano. Bila memang perlu, harus dipersiapkan dengan
matang. Hal tersebut agar antara alur qisah dan alat musik yang dimainkan sinergis dengan
kombinasi yang baik. Pada waktu terapi buku, perlu diperdengarkan musik instrumental
lembut yang mendukung suasana rileksasi agar lebih nyaman.
Bibliotherapy bukanlah terapi tunggal, anda harus melatih gaya komunikasi anda bersama
klien. Bangun hubungan emosional dengan klien. Ibaratnya, buku adalah tiket anda untuk
berwisata dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya di dimensi kehidupan yang kaya ragamnya.
9
"... geting the right book to the right child at the right time about the right problem.
( Lundsteen, 1972 dalam Abdullah, Madziah Hayati, 2002).
Bagaimana mungkin anda bisa nyaman bertamasya dengan seseorang yang tidak anda
suka, tidak anda kenal, bahkan bisa dikatakan tidak ngeklik dengan anda? Tentu sangat
tidak nyaman. Seperti yang dikatakan Russell dan Shrodes tentang biblioterapi, bahwa
biblioterapi sebagai proses dinamis untuk mengenali karakteristik individu. " ... a process of
dynamics interaction between the personality of reader and literature, interaction which may
be utilized for personality assessment, adjudment, and growth." ( Russell dan Shrodes, 1950
dalam Alex Kortmer, 2006).
Saat di perjalanan, peran anda sebagai guide yang mengasyikan. "... helping a pupil find
book that might help the pupil solve a personal problem , develope skill needed for living,
and /or bolster self- image."( Shepherd dan Iles, 1976 dalam Alex Kortmer, 2006)
Bukan guide yang sok mengatur atau sok tahu. Anda adalah guide yang mampu mengasah
rasa ingin tahu klien sehingga sama-sama menemukan keindahan saat di perjalanan,
memaknai setiap tempat yang dikunjungi, mengambil hikmah dari karakter setiap orang yang
ditemui, hingga saat pulang anda bersama-sama kembali tercerahkan, kembali
membersihkan kepenatan, dan mengantongi pengalaman mengesankan. "... Psychology
through literature - reading that its used to help solve prevent problems." ( Stedel, 1964.
dalam Abdullah , Madziah , 2002 ). Kiranya begitulah semestinya analogi dari terapi buku ini.
Analogi wisata.
Area kognitif,
afektif,
psikomotorik
4. Sesi BerQisah
Sesi Diskusi Terapi Buku 2. Orientasi
Sesi Tanya Jawab Untuk Perguruan Terapi Buku;
Membangun Tinggi Masuk ke dunia
Simpulan (Bibliotherapy For anak; Duduk
bersama
Higher Education) bersama anak
Anak-anak hingga dewasa akhir-akhir ini rentan terserang stres. Segudang aktivitas harian
dan rutinitasnya diisi oleh sekolah, ekstrakurikuler, kursus dan les, juga kegiatan lainnya
yang cenderung melalaikan, seperti aktivitas media sosial di dunia maya menggunakan
gadgetnya. Bahkan masalah yang paling sering dihadapi anak-anak dan remaja awal adalah
sulit mendahulukan prioritas. Tugas-tugas terbengkalai, terseok-seok mengikuti ritme belajar
yang dinamis karena mereka bingung, apa dulu yang harus mereka kerjakan.
Jika kondisinya sudah akut, biasanya mereka lebih memilih diam di rumah, membolos agar
bisa menghindari tagihan-tagihan tugas yang menumpuk karena tidak selesai. Akhirnya,
individu akan merasa nyaman di rumah, padahal masalahnya belum tuntas. Akar
masalahnya belum selesai. Orangtua sebagian ada yang memilih memindahkan anak ke
sekolah lain, sebagian ada yang mengantarnya ke psikolog, bahkan psikiater.
Mereka hanya stres dan butuh ditunjukkan tentang apa yang harusnya mereka lakukan.
Orangtua dan guru seringkali tidak efektif memberikan solusi karena 90 % isinya nasihat.
Anak maupun dewasa tidak suka dinasehati, seperti halnya kita. berQisahlah, dan biarkan
dia menemukan sendiri interpretasinya terhadap arti atau pesan. Qisah ini berhasil
membantu penyimak mengenali pencuri waktu atau sebagai identifikasi prioritas. Tidak
hanya berguna untuk anak-anak, orang dewasa pun membutuhkannya.
Seorang pemuda merasa gelisah dan kesusahan menjalani hidup dan menjalani masa
depannya. Hingga pada suatu hari dia memutuskan untuk berjalan menyusuri pantai
mencoba memecahkan masalahnya. Saat itu hari masih pagi sekali, dan pantai itu masih
11
sepi. Ketika dia sampai di ujung pantai, dia melihat di kejauhan seorang laki-laki tua aneh di
atas batu karang di pinggir laut. Mukanya ditekuk dan tampak sedih, dengan janggut putih
dan menggunakan jubah berwarna perak.
Ketika pemuda itu semakin mendekat, dia perhatikan lelaki tua itu sangat lamban, dan
dengan sangat teliti memunguti batu-batu dan kerikil dari pantai. Dengan rasa ingin tahu
yang tinggi, pemuda itu pun naik ke batu karang tempat lelaki tua itu duduk, seketika lelaki
itu menengadah dan menatapnya.
Pemuda itu terkejut dan menjawab lantang, saya sepertinya tidak bisa menyelesaikan hal
yang paling penting dalam hidup saya. Begitu banyak hal yang harus dilakukan, bagaimana
saya tahu apa yang harus dikerjakan lebih dahulu?
itu adalah pertanyaan yang mudah untuk dijawab, jawab lelaki tua itu. Sambil mengambil
sebuah botol sederhana di tengah sapuan air laut di pinggir pantai, lelaki tua itu mulai
mengisi botol itu dengan batu seukuran kepalan tangannya. Ketika mengisi botol itu hingga
bagian atasnya, dia menoleh ke arah pemuda itu.
Lelaki tua itu pun menganggukkan kepalanya tanpa berkata sepatah kata pun. Lalu
mengambil segenggam penuh kerikil-kerikil kecil dan menuangnya ke dalam botol. Dia
mengguncang botol itu dengan perlahan hingga kerikil-kerikil itu mudah masuk ke dalam
ruang di antara batu-batu. Lelaki tua itu menoleh ke sang pemuda sambil tersenyum.
Pemuda itu balas tersenyum dan sekali lagi setuju bahwa botol itu sudah penuh.
Sekali lagi, tanpa berkata-kata, laki-laki tua itu membungkuk dan mengambil segenggam
penuh pasir dan dituangkan ke dalam botol. Pasir itu mengalir mengisi semua sudut dan
celah yang tersisa di antara kerikil dan batu-batu. Kali ini, tidak ada lagi ruang tersisa dan
botol itu benar-benar penuh.
sekarang, kata laki-laki tua itu, inilah jawaban dari pertanyaanmu. Batu-batu itu
menggambarkan hal yang paling penting dalam kehidupan seseorang-apakah itu keluarga,
orangtua, pasangan atau anak, kesehatan, keruhanian, atau kebijaksanaanjadi, hidupmu
masih akan terasa lengkap jika ini yang tersisa.
Lelaki tua itu melanjutkan, kerikil-kerikil itu menggambarkan hal-hal lain yang berarti
bagimu- mungkin materi, seperti uang, pakaian, pekerjaan, kendaraan. Sedangkan pasir,
katanya sambil memainkan pasir yang melewati sela-sela jemarinya, adalah hal-hal lainnya.
Hal-hal kecil yang tidak penting.
Melihat pemuda itu mendengarkan terus dengan seksama, lelaki tua tersebut berkata
Beberapa orang membuat kesalah dengan menempatkan pasir terlebih dahulu ke dalam
12
botol, dan jika mereka melakukannyatentu saja tidak ada lagi ruang tersisa untuk kerikil
dan juga batu-batu. Hal tersebut berlaku juga untuk hidupmu. Jika kamu menghabiskan
semua waktu dan energimu untuk hal-hal yang kecil yang tidak ada kaitannya, kamu tidak
akan mempunyai ruang untuk hal-hal yang benar-benar penting bagimu, yaitu hal-hal yang
sangat menentukan kebahagiaanmu. Uruslah batu-batu terlebih dahuluhal-hal yang benar-
benar penting. Susunlah prioritasmu, maka yang lainnya hanyalah pasir.
Agar pustakawan lebih mudah saat berqisah, perlu mempersiapkan diri dengan mengisi
worksheet pengisah terlebih dahulu.(Ellis, 1991 dalam agustina, 2014, p. 9) Sebagai berikut:
13
No Komponen Keterangan
1 Pengucapan/ pelafalan
Apakah saya punya masalah dengan
fonem atau pelafalan huruf vocal dan
konsonan?
2. Stres.
Apakah saya ada masalah dengan stres
dalam kata-kata atau kalimatnya?
3. Ritme.
Apakah saya membacanya dengan cepat
atau lambat? Apakah saya bisa berhenti di
titik/ tempat yang pas?
4. Intonasi.
Apakah saya mengemukakannya secara
menarik atau membosankan dan saya
bisa memunculkan variasi intonasi saat
dibutuhkan? Apakah saya membutuhkan
intonasi untuk bertanya, menyatakan,
mendikte, dan lainnya?
5. Variasi.
Apakah saya bisa memberikan variasi
dalam mengatur mimik wajah, volume
suara saya? Kapan dibutuhkannya?
Apakah saya cukup bisa menyesuaikan
suara untuk karakter berbeda?
6. Partisipasi Anak/ Murid.
Apakah saya berhenti memeriksa tempat
dan memanfaatkan kebutuhan intonasi
untuk megajak anak berpartisipasi aktif?
Apakah saya perlu memberikan
pertanyaan yang membuat murid
menebak apa yang akan terjadi
selanjutnya?
7. Penampilan Keseluruhan.
Bagaimana suara saya secara umum?
Jelas? Ekspresif? Monoton?
8. Apa yang saya butuhkan untuk
Improvisasi?
Apakah yang harus menjadi fokus saya
minggu ini?
14
No Aspek Identifikasi Catatan
Ya Tidak
1. Apakah Buku tersebut memiliki
qisah yang menarik
2. Apakah buku tersebut cocok
untuk tahapan usia tertentu?
Jika ya, cocok untuk rata-rata
usia berapa tahun?
3. Apakah Buku tersebut ditulis
dengan baik?
4. Apakah pembaca bisa
menemukan format isi buku
hanya dengan melihat
judunya?
5. Apakah Qisah di buku tersebut
mempunya tema tertentu?
6. Apakah temanya sesuai untuk
Anak-anak?
7. Apakah tema qisahnya
mengandung unsur moral?
8. Apakah alur qisahnya baik dan
masuk akal?
9. Apakah alur qisahnya asli,
segar, dan dapat dipercaya?
10. Apakah karakteristik tokohnya
dapat dipercaya, membuat
pembaca berkembang dan
bisa memetik pengalaman dari
qisahnya?
11. Adakah ilustrasi di buku
tersebut? Apakah ilustrasinya
sesuai dengan teks dan tujuan
isi buku?
12. Apakah qisahnya
mengandung unsur seks,
kejahatan atau stereotip?
13. Apakah buku tersebut
menawarkan pengalaman
membaca yang mengasyikan?
14. Apakah penelaah punya
komentar tentang judul buku
ini?
15. Apakah pengarang/penulisnya
mengetahui banyak tentang
lokasi/ waktu/ periode/ orang/
yang dia tulis?
16 Apabila bisa diterapkan,
apakah semua fakta dan
apapun yang tertulis di buku
tersebut baik dan berimbang?
17. Apakah gaya penulisannya
menunjukkan bidang
bukunya?
15
18. Untuk buku-buku Informasi,
Seberapa akurat fakta-fakta
yang ditampilkan di buku
tersebut?
19. Untuk buku-buku informasi,
apakah pengorganisasian
bukunya sudah baik? Apakah
terdapat tabel di dalam isinya,
indeks atau daftar pustaka?
20. Apakah buku tersebut
memperkenalkan karakter baik
dan buruk? Adakah amanat
tersembunyi dari qisahnya?
Simpulan
Daftar Pustaka
Adam, S.J., & Pitre, N (2000). Who uses bibliotherapy and why? A survey from an
underserviced area. The Canadian Journal of Psychiatry, 45 (7), 645-649.
Agustina, Susanti. (2011). Konstruksi Sistem Pembelajaran Kenal Pustaka. Bandung: Fikom
Unpad: Tesis.
Agustina, Susanti. (2014). Perpustakaan Prasekolahku Seru: Seni Berqisah Berbasis Terapi
Buku Untuk Anak Dini Usia. (pp102-111). Bandung: CV. Restu Bumi Kencana.
Agustina, Susanti. (2014). Seni Berqisah Berbasis Terapi Buku: Mendongkrak Kapasitas
Belajar dan Minat Baca di Perpustakaan Sekolah Dasar. Bogor: Prociding ATPUSI.
Agustina, Susanti. (2014). Perpustakaan Sebagai Wahana Terapi yang Ramah Disabilitas:
Implementasi Bibliotherapi di Perpustakaan Lingkungan Kemensos. Bandung: Kemensos.
ALA. (2008). The Standards for Proficiencies for Instruction Librarians and Coordinators.
Retrieved July 23, 2011, from www. Ala.org/ala/mgrps/ divs/ acrl/ profstandards.
Cfm.
Bunanta, Murti.(2009). Buku, Dongeng, dan Minat Baca. Jakarta: Murti Bunanta
Foundation.
Clarke, Jean M. (1988). Reading Therapy (pp.1-12, 106-123). London: Library Association
16
Publishing.
Ellis, gail et all. (1991). The storytelling handbook for primary teachers (pp.1-31). Middlesex:
penguin English.
Juhana, Hendri. (2012). 96,4 Menit Menjadi Pendongeng: Bacaan Wajib Pecinta Dongeng.
Bandung: Motekar.
Prater, Mary Anne., et all.(2006). Using Childrens Books as Bibliotherapy for At-Risk
Students: A Guide for Teachers (Vol.50 No 4). Retrieved February 11,2014, from
ProQuest Research Library.
Qisty, Syifa Naufal. (2011). Pengaruh Mendongeng Dalam Memotivasi Kegiatan Membaca
Anak di Kebukit. Fikom Unpad: Skripsi.
Safaria, Triantoro. (2004). Terapi Kognitif-Perilaku Untuk Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Biografi Penulis
17