Anda di halaman 1dari 7

Diagnosa

Berdasarkan hasil diagnosa laboratorium dengan melakukan serangkaian


pengujian mulai dari pewarnaan sederhana, penanaman pada media nutrient agar,
pewarnaan gram, uji katalase, penanaman pada nutrient agar miring, uji gula-gula
(glukosa dan manitol), dan penanaman pada blood agar. Maka diidentifikasi
bakteri penyebab luka bernanah pada kucing adalah Staphylococcus aureus.
Identifikasi untuk membedakan antara S. aureus dengan stafilokokus lainnya
merupakan faktor utama sebagai salah satu langkah dalam penanganan kasus luka
bernanah, (Boerlin et al., 2003; Purnomo et al, 2006), antara lain meliputi
morfologi pertumbuhan koloni, uji katalase untuk membedakan dari streptokokus,
adanya produksi enzim koagulase serta adanya fermentasi mannitol pada
Mannitol Salt Agar (MSA) (Beishir, 1991; Fox, 2000; Cappucino and Sherman,
2005).

Differensial Diagnosa
Adapun yang menjadi differensial diagnosa penyakit ini yaitu
Staphylococcus epidermidis. Staphylococcus aureus membentuk koloni berwarna
abu-abu sampai kuning emas tua sedangkan koloni Staphylococcus epidermidis
berwarna abu-abu sampai putih (Iman et al., 2011).

PEMBAHASAN KASUS
Etiologi
Berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang telah dilakukan dengan
proses identifikasi bakteri diperoleh penyebab luka bernanah pada pasien kucing
ditemukan bakteri Staphylococcus aureus. pada pengamatan mikroskopis
berbentuk seperti setangkai buah anggur dengan koloni bakteri ini terlihat
berwarna kuning-keemasan. Hal ini, Rosenbach juga mengungkapkan bahwa
Staphylococcus aureus merupakan penyebab infeksi pada luka dan furunkel.
Sejak itu S. aureus dikenal secara luas sebagai penyebab infeksi pada pasien
pascabedah. Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram-positif, tidak
bergerak, tidak berspora dan mampu membentuk kapsul, berbentuk kokus dan
tersusun seperti buah anggur. Ukuran Staphylococcus berbeda-beda tergantung
pada media pertumbuhannya. Apabila ditumbuhkan pada media agar,
Staphylococcus memiliki diameter 0,5-1,0 mm dengan koloni berwarna kuning.

Gambar 1. (a) Hasil pemeriksaan Staphylococcus aureus (b) Literatur


(Iman et al., 2011)

Staphylococcus dapat menyebabkan penyakit baik melalui kemampuannya


untuk berkembang biak dan menyebar dalam jaringan, maupun melalui bahan-
bahan ekstraselular yang dihasilkannya (Iman et al., 2011) Beberapa zat ini adalah
enzim, dan yang lain diduga toksin, meskipun berfungsi sebagai enzim:
a. Katalase, enzim yang mengkatalisir perubahan H2O2 menjadi air dan oksigen.
b.Koagulase, adalah protein mirip enzim yang dihasilkan oleh Staphylococcuss
c. Enzim ini dapat membekukan plasma oksalat atau plasma sitrat bila di dalamnya
terdapat faktor-faktor pembekuan. Koagulase ini menyebabkan terjadinya
deposit fibrin pada permukaan sel Staphylococcus yang menghambat
fagositosis.
d.Enzim-enzim yang lain, seperti hialuronidase satu faktor penyebaran,
staphylokinase yang menyebabkan fibrinolisis, proteinase dan beta-laktamase.
e. Eksotoksin, yang bisa menyebabkan nekrosis kulit.
f. Lekosidin, yang dihasilkan Staphylococcus menyebabkan infeksi rekuren,
karena leukosidin menyebabkan Staphylococcus berkembang biak intraselular.
g.Toksin eksploatif, yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus terdiri dua
protein yang menyebabkan deskuamasi kulit yang luas.
h.Toksik penyebab Sindroma Renjatan Toksik, (toksik shock syndrome toxin)
dihasilkan oleh sebagian besar strain Staphylococcus yang menyebabkan
sindroma shock toksik.
i. Enterotoksin, dihasilkan oleh Staphylococcus aureus yang berkembang biak
pada makanan, toksin ini tahan panas, dan bila tertelan oleh manusia bersama
makanan, akan menyebabkan gejala muntah berak (keracunan makanan).

Gejala Klinis
Ciri khas infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalah radang supuratif
(bernanah) pada jaringan lokal dan cenderung menjadi abses. Seperti pada
Gambar 2. gejala klinis yang terlihat di bagian kepala kucing terdapat banyak luka
yang bernanah. Infeksi pada luka dapat terjadi akibat kontaminasi oleh debu atau
bakteri, hal ini disebabkan karena luka tidak dirawat dengan baik. Kebanyakan
infeksi luka disebabkan oleh mikroorganisme antara lain bakteri yang ditemukan
pada kulit. Salah satunya adalah bakteri S. aureus. Sebagian bakteri merupakan
flora normal, namun beberapa bakteri tersebut dapat beresiko menjadi bakteri
penyebab infeksi (Potter dan Perry, 2005). S. aureus merupakan bakteri yang
dapat mengakibatkan sepsis pada kulit dan dapat menyebar pada lingkungan yang
mendukung perkembangan hidup secara alaminya, lingkungan yang kotor
merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan penyebaran S. aureus
(Rahmat, 2015).

Gambar 2. Kucing yang luka bernanah akibat Staphylococcus aureus


Diagnosa
Penggunaan media selektif sangat berguna untuk mengisolasi S. aureus
dari sampel yang terkontaminasi, namun menjadi tidak ekonomis sebab tidak bisa
mendeteksi bakteri lain sedangkan beberapa media umum secara rutin telah
digunakan untuk membedakan S. aureus dari stafilokokus lainnya (Boerlin et al.,
2003). Penggunaan MSA juga tidak dapat digunakan secara mutlak untuk
membedakan S. aureus dengan stafilokokus spesies lainnya sebab S. intermedius
juga memfermentasi mannitol pada MSA meski dengan reaksi yang lambat
(delayed reaction) (Timoney et al., 1988). Menurut Kloos and Lambe, Jr. (1991).
Faktor patogenitas S. aureus berhubungan dengan adanya produksi enzim
koagulase, yang membedakan S. aureus dari stafilokokus lainnya (Levinson and
Jawetz, 2003; Bello and Qahtani, 2004), selain itu S. aureus dibedakan dengan
adanya fermentasi mannitol pada MSA (Fox, 2000; Sari, 2003). S. aureus juga
dapat diisolasi dengan media selektif seperti Baird Parker Agar, lipase salt
mannitol agar, DNAse Test (Kloos and Lambe, Jr., 1991; Roberson et al., 1994;
Bello and Qahtani, 2004).

Pencegahan
Hindari sentuhan langsung dengan luka atau segala barang yang kotor oleh
rembesan luka, segera bersihkan kulit yang luka atau lecet, luka irirsan dan
kemudian menutup dengan perban lekat yang tahan air. Penyebaran infeksi
Staphylococcus aureus hanya dapat dibatasi dengan meningkatkan sanitasi
higienis, membuang barang-barang yang terkontaminasi, dan mensterilkan alat-
alat yang terkontaminasi. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional harus
dihindari agar tidak mempercepat terjadinya resistensi. Proses pembedahan dan
penggunaan alat-alat harus dilakukan secara aseptis (Radji, 2010).
Pengobatan
Pengobatan bakteri Staphylococcus aureus dapat dilakukan dengan cara :
1. Pemberian antibiotik yang bersifat bakterisidal maupun yang bersifat
bakteriostatik.
2. Pemberian obat anti inflamasi untuk menurunkan radang berguna untuk
mengobati penderita dengan tepat diperlukan data pemeriksaan kepekaan
kuman penyebab infeksi terhadap berbagai obat antibiotik yang tersedia di
pasaran.
3. Abses dan lesi bernanah diobati dengan drainase, yaitu tindakan yang sangat
penting, dan antimikroba. Banyak obat antimikroba memiliki efek terhadap
stafilokokus in vitro. Namun, sangat sukar membasmi stafilokokus patogen
karena organisme ini cepat menjadi resisten terhadap kebanyakan obat
antimikroba, dan obat-obat itu tidak dapat bekerja pada bagian sentral lesi
nekrotik yang bernanah.
Isolat Staphylococcus sp. yang penting sebaiknya diperiksa kepekaannya
terhadap obat antimikroba untuk membantu pemilihan obat sistemik. Resistensi
terhadap obat golongan eritromisin cenderung timbul demikian cepat sehingga
obat ini sebaiknya tidak digunakan sebagai obat tunggal dalam infeksi menahun.
Resistensi obat (terhadap penisilin, tetrasiklin, aminoglikosida, eritromisin, dan
sebagainya) yang ditentukan oleh plasmid, dapat dipindah-pindahkan di antara
Staphylococcus sp. dengan transduksi atau mungkin dengan konjugasi.
Diantara kokus gram positif, enterokokus yang terendah sensitifitasnya.
Hampir semua infeksi oleh Staphylococcus sp. disebabkan oleh kuman penghasil
penisilinase dan karena itu harus diobati dengan penisilin yang tahan penisilinase.
Staphylococcus yang resisten terhadap metisilin (methicilin-resistant S. aureus =
MRSA) harus diobati dengan vankomisin atau siprofloksasin. Gonokokus yang
dahulu sensitif terhadap penisilin G, juga sudah banyak yang resisten, obat terpilih
sekarang adalah seftriakson. Meningokokus cukup sensitif terhadap penisilin G.
Jika infeksi disebabkan oleh S. aureus yang tidak menghasilkan -
laktamase, penisilin G merupakan obat pilihan, tetapi hanya sedikit S. aureus yang
peka terhadap penisilin G. Infeksi klinis strain S. aureus pada kucing diperoleh
hasil uji sensitivitas antibiotikyang telah dilakukan bahwa yang paling bagus dan
peka yaitu ampicillin diantara gentamicin, chloramphenicol dan amoxicillin.
yaresisten terhadap penisilin G selalu menghasilkan penisilinase. Bakteri S.
aureus biasanya peka terhadap penisilin yang resisten terhadap -laktamase,
sefalosporoin, atau vankomisin. Resistensi terhadap nafsilin tidak bergantung
pada pembentukan -laktamase, dan isidensi klinisnya sangat bervariasi di
berbagai negara dan pada waktu yang berbeda. Pengaruh seleksi obat antimikroba
yang resisten terhadap -laktamase mungkin bukan merupakan satu-satunya
faktor yang menentukan timbulnya resistensi terhadap obat ini.
DAFTAR PUSTAKA

Cappucino, J. G. and N. Sherman. 2005. Microbiology: A Laboratory Manual. 7th


ed. Pearson Education Inc. USA. 101 - 102, 117, 164, 166, 189, 204, 409 -
416, 509 - 512. Garcia, A. 2004. Contagious vs. Environmental Mastitis.
Extension Extra Dairy Science. South Dakota State University. USA.
4028: 1 - 4.

Iman ERS, Ratnasari R, Narumi HE, Suryanie, Tyasningsih W, Chusniati S. 2011.


Mikrobiologi Veteriner I. Surabaya: Airlangga University Press.

Lowy FD. 1998. Staphylococcus aureus infection. N Engl J Med.339:520-532.

Pramono, S. U. 1987. Diagnostika Penyakit Bakterial pada Hewan. Fakultas


Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. 22.

Petter, P,A dan A.G. Perry.2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep,
Proses dan Praktek. (Diterjemahkan oleh: Renata Komalasari). Edisi 4.
EGC, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

Rahmat, E.2015. Isolasi Staphylococcus aureus penyebab bumble foot pada


persendian dan telapak kaki ayamjantan local di Pasar Lambaro. Skripsi.
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Yuwono. 2009. MRSA: Disertasi. FK Unpad Bandung.

Anda mungkin juga menyukai