Differensial Diagnosa
Adapun yang menjadi differensial diagnosa penyakit ini yaitu
Staphylococcus epidermidis. Staphylococcus aureus membentuk koloni berwarna
abu-abu sampai kuning emas tua sedangkan koloni Staphylococcus epidermidis
berwarna abu-abu sampai putih (Iman et al., 2011).
PEMBAHASAN KASUS
Etiologi
Berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang telah dilakukan dengan
proses identifikasi bakteri diperoleh penyebab luka bernanah pada pasien kucing
ditemukan bakteri Staphylococcus aureus. pada pengamatan mikroskopis
berbentuk seperti setangkai buah anggur dengan koloni bakteri ini terlihat
berwarna kuning-keemasan. Hal ini, Rosenbach juga mengungkapkan bahwa
Staphylococcus aureus merupakan penyebab infeksi pada luka dan furunkel.
Sejak itu S. aureus dikenal secara luas sebagai penyebab infeksi pada pasien
pascabedah. Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram-positif, tidak
bergerak, tidak berspora dan mampu membentuk kapsul, berbentuk kokus dan
tersusun seperti buah anggur. Ukuran Staphylococcus berbeda-beda tergantung
pada media pertumbuhannya. Apabila ditumbuhkan pada media agar,
Staphylococcus memiliki diameter 0,5-1,0 mm dengan koloni berwarna kuning.
Gejala Klinis
Ciri khas infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalah radang supuratif
(bernanah) pada jaringan lokal dan cenderung menjadi abses. Seperti pada
Gambar 2. gejala klinis yang terlihat di bagian kepala kucing terdapat banyak luka
yang bernanah. Infeksi pada luka dapat terjadi akibat kontaminasi oleh debu atau
bakteri, hal ini disebabkan karena luka tidak dirawat dengan baik. Kebanyakan
infeksi luka disebabkan oleh mikroorganisme antara lain bakteri yang ditemukan
pada kulit. Salah satunya adalah bakteri S. aureus. Sebagian bakteri merupakan
flora normal, namun beberapa bakteri tersebut dapat beresiko menjadi bakteri
penyebab infeksi (Potter dan Perry, 2005). S. aureus merupakan bakteri yang
dapat mengakibatkan sepsis pada kulit dan dapat menyebar pada lingkungan yang
mendukung perkembangan hidup secara alaminya, lingkungan yang kotor
merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan penyebaran S. aureus
(Rahmat, 2015).
Pencegahan
Hindari sentuhan langsung dengan luka atau segala barang yang kotor oleh
rembesan luka, segera bersihkan kulit yang luka atau lecet, luka irirsan dan
kemudian menutup dengan perban lekat yang tahan air. Penyebaran infeksi
Staphylococcus aureus hanya dapat dibatasi dengan meningkatkan sanitasi
higienis, membuang barang-barang yang terkontaminasi, dan mensterilkan alat-
alat yang terkontaminasi. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional harus
dihindari agar tidak mempercepat terjadinya resistensi. Proses pembedahan dan
penggunaan alat-alat harus dilakukan secara aseptis (Radji, 2010).
Pengobatan
Pengobatan bakteri Staphylococcus aureus dapat dilakukan dengan cara :
1. Pemberian antibiotik yang bersifat bakterisidal maupun yang bersifat
bakteriostatik.
2. Pemberian obat anti inflamasi untuk menurunkan radang berguna untuk
mengobati penderita dengan tepat diperlukan data pemeriksaan kepekaan
kuman penyebab infeksi terhadap berbagai obat antibiotik yang tersedia di
pasaran.
3. Abses dan lesi bernanah diobati dengan drainase, yaitu tindakan yang sangat
penting, dan antimikroba. Banyak obat antimikroba memiliki efek terhadap
stafilokokus in vitro. Namun, sangat sukar membasmi stafilokokus patogen
karena organisme ini cepat menjadi resisten terhadap kebanyakan obat
antimikroba, dan obat-obat itu tidak dapat bekerja pada bagian sentral lesi
nekrotik yang bernanah.
Isolat Staphylococcus sp. yang penting sebaiknya diperiksa kepekaannya
terhadap obat antimikroba untuk membantu pemilihan obat sistemik. Resistensi
terhadap obat golongan eritromisin cenderung timbul demikian cepat sehingga
obat ini sebaiknya tidak digunakan sebagai obat tunggal dalam infeksi menahun.
Resistensi obat (terhadap penisilin, tetrasiklin, aminoglikosida, eritromisin, dan
sebagainya) yang ditentukan oleh plasmid, dapat dipindah-pindahkan di antara
Staphylococcus sp. dengan transduksi atau mungkin dengan konjugasi.
Diantara kokus gram positif, enterokokus yang terendah sensitifitasnya.
Hampir semua infeksi oleh Staphylococcus sp. disebabkan oleh kuman penghasil
penisilinase dan karena itu harus diobati dengan penisilin yang tahan penisilinase.
Staphylococcus yang resisten terhadap metisilin (methicilin-resistant S. aureus =
MRSA) harus diobati dengan vankomisin atau siprofloksasin. Gonokokus yang
dahulu sensitif terhadap penisilin G, juga sudah banyak yang resisten, obat terpilih
sekarang adalah seftriakson. Meningokokus cukup sensitif terhadap penisilin G.
Jika infeksi disebabkan oleh S. aureus yang tidak menghasilkan -
laktamase, penisilin G merupakan obat pilihan, tetapi hanya sedikit S. aureus yang
peka terhadap penisilin G. Infeksi klinis strain S. aureus pada kucing diperoleh
hasil uji sensitivitas antibiotikyang telah dilakukan bahwa yang paling bagus dan
peka yaitu ampicillin diantara gentamicin, chloramphenicol dan amoxicillin.
yaresisten terhadap penisilin G selalu menghasilkan penisilinase. Bakteri S.
aureus biasanya peka terhadap penisilin yang resisten terhadap -laktamase,
sefalosporoin, atau vankomisin. Resistensi terhadap nafsilin tidak bergantung
pada pembentukan -laktamase, dan isidensi klinisnya sangat bervariasi di
berbagai negara dan pada waktu yang berbeda. Pengaruh seleksi obat antimikroba
yang resisten terhadap -laktamase mungkin bukan merupakan satu-satunya
faktor yang menentukan timbulnya resistensi terhadap obat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Petter, P,A dan A.G. Perry.2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep,
Proses dan Praktek. (Diterjemahkan oleh: Renata Komalasari). Edisi 4.
EGC, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.