Anda di halaman 1dari 40

A.

Pendahuluan
Filsafat merupakan sikap atau pandangan hidup dan sebuah bidang terapan untuk
membantu individu untuk mengevaluasi keberadaannya dengan cara yang lebih memuaskan.
Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan pemahaman membawa kita kepada tindakan
yang telah layak, filsafat perlu pemahaman bagi seseorang yang berkecimpung dalam dunia
pendidikan karena ia menentukan pikiran dan pengarahan tindakan seseorang untuk mencapai
tujuan.
Filsafat membahas segala sesuatu yang ada bahkan yang mungkin ada baik bersifat abstrak
ataupun riil meliputi Tuhan, manusia dan alam semesta. Sehingga untuk faham betul semua
masalah filsafat sangatlah sulit tanpa adanya pemetaan-pemetaan dan mungkin kita hanya bisa
menguasai sebagian dari luasnya ruang lingkup filsafat.
Sistematika filsafat secara garis besar ada tiga pembahasan pokok atau bagian yaitu;
epistemologi atau teori pengetahuan yang membahas bagaimana kita memperoleh pengetahuan,
ontologi atau teori hakikat yang membahas tentang hakikat segala sesuatu yang melahirkan
pengetahuan dan aksiologi atau teori nilai yang membahas tentang guna pengetahuan.
Mempelajari ketiga cabang tersebut sangatlah penting dalam memahami filsafat yang begitu luas
ruang lingkup dan pembahansannya.
Ketiga teori di atas sebenarnya sama-sama membahas tentang hakikat, hanya saja
berangkat dari hal yang berbeda dan tujuan yang beda pula. Epistemologi sebagai teori
pengetahuan membahas tentang bagaimana mendapat pengetahuan, bagaimana kita bisa tahu dan
dapat membedakan dengan yang lain. Ontologi membahas tentang apa objek yang kita kaji,
bagaimana wujudnya yang hakiki dan hubungannya dengan daya pikir. Sedangkan aksiologi
sebagai teori nilai membahas tentang pengetahuan kita akan pengetahuan di atas, klasifikasi,
tujuan dan perkembangannya.

B. Ontologi
1. Pengertian Ontologi
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu ta onta berarti
yang berada, dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Maka ontologi adalah ilmu
pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan.1[1]
Namun pada dasarnya term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf
Goclenius pada tahun 1636 M. untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat
metafisis. Dalam perkembanganya Cristian Wolff membagi metafisika menjadi dua, yaitu
metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari
ontologi.2[2]
Bidang pembicaraan teori hakikat luas sekali, segala yang ada yang mungkin ada, yang
boleh juga mencakup pengetahuan dan nilai (yang dicarinya ialah hakikat pengetahuan dan
hakikat nilai). Nama lain untuk teori hakikat ialah teori tentang keadaan. Hakikat ialah realitas,
realitas ialah kerealan, real artinya kenyataan yang sebenarnya, jadi hakikat adalah kenyataan
yang sebenarnya, keadaan sebenarnya sesuatu, bukan keadaan sementara atau keadaan yang
menipu, bukan keadaan yang meberubah.3[3]
Ontologi menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang
berbeda dimana entitas (wujud) dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek
fisik, hal universal, abstraksi) dapat dikatakan ada dalam rangka tradisional. ontologi dianggap
sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaianya
akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.
Ontologi sering diindetikan dengan metafisika yang juga disebut proto-filsafia atau filsafat
yang pertama, atau filsafat ketuhanan yang bahasanya adalah hakikat sesuatu, keesaan,
persekutuan, sebab akibat, realita, atau Tuhan dengan segala sifatnya.4[4]
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan prinsip paling dasar atau dalam dari segala sesuatu yang ada.
Para ahli memberikan pendapatnya tentang realita itu sendiri, diantaranya Bramel. Ia
mengatakan bahwa ontologi ialah interpretasi tentang suatu realita dapat bervariasi, misalnya
apakah bentuk dari suatu meja, pasti setiap orang berbeda-beda pendapat mengenai bentuknya,
tetapi jika ditanyakan bahanya pastilah meja itu substansi dengan kualitas materi, inilah yang
dimaksud dari setiap orang bahwa suatu meja itu suatu realita yang kongkrit. Plato mengatakan
jika berada di dua dunia yang kita lihat dan kita hayati dengan kelima panca indra kita
nampaknya cukup nyata atau real.
Adapun mengenai objek kajian ontologi ialah yang ada, yaitu ada individu, ada umum, ada
terbatas, ada tidak terbatas, ada universal, ada mutlak, termasuk kosmologi dan metafisika dan
ada sesudah kematian maupun sumber segala yang ada. Objek formal ontologi adalah hakikat
seluruh realitas, bagi pendekatan kualitif, realitas tranpil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya
menjadi telaah monism, paralerisme atau plurarisme.5[5]
2. Hubungan Ontologi dengan Filsafat Pendidikan
Telah kita ketahui bersama bahwasanya ontologi ialah suatu kajian keilmuan yang berpusat
pada pembahasan tentang hakikat. Ketika ontologi dikaitkan dengan filsafat pendidikan, maka
akan munculah suatu hubungan mengenai ontologi filsafat pendidikan.
Pendidikan adalah suatu kegiatan yang sadar akan tujuan. Disini bermakna bahwa adanya
pendidikan bermaksud untuk mencapai tujuan, maka dengan ini tujuan menjadi hal penting
dalam penyelengaraan pendidikan. Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan dapat
membawa anak menuju kepada kedewasaan, dewasa baik dari segi jasmani maupun rohani.6[6]
Dengan mengetahui makna pendidikan maka makna Ontologi dalam pendidikan itu sendiri
merupakan analisis tentang objek materi dari ilmu pengetahuan. Berisi mengenai hal-hal yang
bersifat empiris serta mempelajari mengenai apa yang ingin diketahui manusia dan objek apa
yang diteliti ilmu. Dasar ontologi pendidikan adalah objek materi pendidikan dimana sisi yang
mengatur seluruh kegiatan kependidikan. Jadi hubungan ontologi dengan pendidikan menempati
posisi landasan yang terdasar dari fondasi ilmu dimana disitulah teletak undang-undang dasarnya
dunia ilmu.
Di atas telah disebutkan bahwa Pendidikan ditinjau dari sisi ontologi berarti persoalan
tentang hakikat keberadaan pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan selalu berada
dalam hubungannya dengan eksistensi kehidupan manusia. Tanpa pendidikan, manusia tidak
mungkin bisa menjalankan tugas dan kewajibannya di dalam kehidupan, pendidikan secara
khusus difungsikan untuk menumbuh kembangkan segala potensi kodrat (bawaan) yang ada
dalam diri manusia. Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa ontologi pendidikan berarti
pendidikan dalam hubungannya dengan asal-mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia.
Tanpa manusia, pendidikan tak pernah ada.
3. Penerapan Ontologi Filsafat Pendidikan Menurut Beberapa Aliran
a) Pandangan Ontologi Progressivisme
Asal hereby atau asal keduniawian, adanya kehidupan realita yang amat luas tidak terbatas,
sebab kenyataan alam semesta adalah kenyataan dalam kehidupan manusia. Pengalaman adalah
kunci pengertian manusia atau segala sesuatu,pengalaman manusia tentang penderitaan,
kesedihan, kegembiraan, keindahan dan lain-lain adalah realita manusia hidup sampai mati.
Pengalaman adalah suatu sumber evolusi maju setapak demi setapak mulai dari yang mudah-
mudah menerobos kepada yang sulit-sulit (Proses perkembangan yang lama). Pengalaman adalah
perjuangan sebab hidup adalah tindakan dan perubahan-perubahan. Manusia akan tetap hidup
berkembang jika ia mampu mengatasi perjuangan , perubahan dan berani bertindak.
Aplikasi pandangan ini terhadap pendidikan adalah pada saat proses pembelajaran agar
anak dapat memahami apa yang dipelajari, mereka harus mengalami secara langsung. Untuk
mendapatkan pengalaman secara langsung anak dapat diajak untuk melakukan berbagai kegiatan
misalnya, eksperimen, pengamatan, diskusi kelompok, observasi, wawancara, bermain peran dan
lain-lain.
b) Pandangan Ontologi Essensialisme
Essensialisme adalah pendiddikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang
telah ada sejak awal peradaban manusia. Essensialisme memandang bahwa pendidikan berpijak
pada nilai-nilai yang memilikki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kesetabilan dan
nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsep bahwa dunia ini
dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur isinya dengan tiada ada pula. Pendapat ini
berarti bahwa bagaimana bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan
dengan tata alam yang ada. Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia
di dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal
yang mampu menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esenisalisme semacam
miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan keagungan.
Aplikasinya dalam setiap kegiatan belajar mengajar guru diselipkan nilai-nilai keagamaan
antara lain saat sebelum dan sesudah pelajaran berlangsung dilakukan berdoa bersama menurut
agama dan kepercayaan masing-masing.
c) Pandangan Ontologi Perennialisme
Perennialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan
keadaan sekarang. Perennialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun
praktek bagi kebudayaan dan pendidikan jaman sekarang.
Di zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang kehidupan
manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini, maka
perenialisme memberikan jalan keluar yaitu berupa kembali kepada kebudayaan masa lampau
yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih
banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh.
Ontologi perennialisme menyatakan segala yang ada di alam ini terdiri dari materi dan
bentuk atau badan dan jiwa yang disebut dengan substansi, bila dihubungkan dengan manusia
maka manusia itu adalah potensialitas yang didalam hidupnya tidak jarang dikuasai oleh sifat
eksistensi keduniaan tidak jarang pula dimilikkinya akal, perasaan dan kemauannya semua ini
dapat diatasi. Maka dengan suasana ini manusia dapat bergerak menuju tujuan (teologis) dalam
hal ini untuk mendekatkan diri pada supernatural (tuhan) yang merupakan pencipta manusia itu
sendiri dan merupakan tujuan akhir.
d) Pandangan Ontologi Rekontruksionisme
Dengan ontologi, dapat diterangkan bagaimana hakikat dari segala sesuatu. Aliran
rekonstruksionalisme memandang bahwa realita itu bersifat universal, yang mana realita itu ada
dimana dan sama di setiap tempat. Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas
penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa. Karenanya pembinaan
kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui
pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi
yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Kaitan aliran ini dengan pendidikan adalah pendidikan itu tidak diselenggrakan secara
terpusat melainkan secara universal. Mengingat situasi dan kondisi disetiap tempat berbeda-beda.
Di sini setiap sekolah berhak menentukan indicator sesuai dengan situasi, lingkungan, serta
kebutuhan peserta didik
Kewajiban pendidik melalui latar belakang ontologis ialah membina daya pikir yang tinggi
dan kritis. Implikasi pandangn ontologi di dalam pendiddikan ialah bahwa pengalaman manusia
yang harus memperkaya kepribadian bukanlah hanya alam raya dan isinya dalam arti sebagai
pengalaman sehari-hari, melainkan sesuatu yang tak terbatas.

C. Epistemologi
1. Pengertian Epistemologi
Dalam belajar filsafat, kita akan menemui banyak cabang kajian yang akan membawa kita
pada fakta dan betapa kaya dan beragam kajian filsafat itu. Sebenarnya yang terpenting adalah
bagaimana kita semua memahami apa saja yan menjadi kajan filsafat, cabang-cabang
filsafat.7[7] Albuerey Castel membagi masalah filsafat menjadi enam bagian yaitu, teologis,
metafisika, epistemologi, etika, plitik dan sejarah.8[8]
Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari benar atau tidaknya suatu
pengetahuan.9[9] Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi mempunyai banyak sekali
pemaknaan atau pengertian yang kadang sulit untuk dipahami. Dalam memberikan pemaknaan
terhadap epistemologi, para ahli memiliki sudut pandang yang berbeda, sehingga memberikan
pemaknaan yang berbeda ketika mngungkapkannya.10[10]
Akan tetapi, untuk lebih mudah dalam memahami pengertian epistemologi, maka perlu
diketahui pengertian dasarnya terlebih dahulu. Epistemologi berdasarkan akar katanya episteme
(pengetahuan) dan logos (ilmu yang sistematis, teori).11[11]
Secara terminologi, epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan
dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan
validitas atau sah berlakunya pengetahuan itu.12[12]
Beberapa ahli yang mencoba mengungkapkan definisi daripada epistemologi adalah P.
Hardono Hadi. Menurut beliau epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan
mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya,
serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Tokoh lain yang mencoba mendefinisikan epistemologi adalah D.W Hamlyin, beliau
mengatakan bahwa epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan
lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian pengandaian serta secara umum hal itu dapat
diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.13[13]
Dagobert D. Runes. Seperti yang di tulis Mujamil Qomar, beliau memaparkan bahwa
epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas, sumber, struktur, metode-metode, dan
validitas pengetahuan.14[14] Sedangkan menurut Azyumardi Azra, beliau menambahkan bahwa
epistemologi sebagai ilmu yang membahas keaslian, pengertian, struktur, metode, dan validitas
ilmu pengetahuan.15[15] Walaupun dari kedua pemaparan di atas terdapat sedikit perbedaan,
namun keduanya memberikan pengertian yang sederhana dan relatif mudah di pahami. Mudhlor
ahmad merinci menadi enam aspek yaitu, hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas dan saran
pengetahuan.16[16]
Am Syaifudin menyebutkan bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus
dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana
membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang
benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai manakah batassannya. Semua pertanyaan itu
dapat diringkas menjadi dua masalah pokok, masalah sumber ilmu dan masalah benarnya
ilmu.17[17]
2. Ruang Lingkup Epistemologi
Dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok
pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan.Dalam hal ini, dua poin penting
akan dijelaskan:
a) Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu
dalam pengertian khusus seperti ilmu hushl.Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan
setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu. Istilah-istilah ilmu tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Makna leksikal ilmu adalah sama dengan pengideraan secara umum dan mencakup segala hal
yang hakiki, sains, teknologi, keterampilan,kemahiran dan juga meliputi ilmu-ilmu seperti
hudhr, hushl,ilmu Tuhan, ilmu para malaikat dan ilmu manusia.
2) Ilmu adalah kehadiran (hudhr) dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini digunakan dalam
filsafat Islam. Makna ini mencakup ilmu hushl dan ilmu hudhr.
3) Ilmu yang hanya dimaknakan sebagai ilmu hushl dimana berhubungan dengan ilmu logika
(mantik).
4) Ilmu adalah pembenaran (at-tashdiq) dan hukum yang meliputi kebenaran yang diyakini dan
belum diyakini.
5) Ilmu ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan realitas eksternal.
6) Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang saling bersesuaian dimana tidak
berhubungan dengan masalah-masalah sejarah dan geografi.
7) Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang bersifat empirik.
b) Sudut pembahasan
Yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana
subyek ini dibahas,karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi, logika, dan
psikologi.Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu. Terkadang yang
menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu
pembahasan dibidang ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan
realitas eksternal juga menjadi pokok kajian epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu
baru dengan perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab hadirnya
pengindraan adalah dibahas dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu dari
aspek pengaruh umur manusia terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang
pembahasan akan sangat berpengaruh dalam pemahaman mendalam tentang perbedaan-
perbedaan ilmu.
Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan
observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan.Dan dari sisi ini, ilmu hushl dan ilmu hudhr
juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai
keumuman penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam
epistemologi18[18].
3. Aliran-aliran Epistemologi
Dalam teori epistemologi terdapat beberapa aliran. Aliran-aliran tersebut mencoba
menjawab pertanyaan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan.
Pertama, golongan yang mengemukakan asal atau sumber pengetahuan yaitu aliran:
a) Rasionalisme, yaitu aliran yang mengemukakan, bahwa sumber pengetahuan manusia ialah
pikiran, rasio dan jiwa.
b) Empirisme, yaitu aliran yang mengatakan bahwa pengetahuan manusia berasal dari pengalaman
manusia itu sendiri, melalui dunia luar yang ditangkap oleh panca inderanya.
c) Kritisme (transendentalisme), yaitu aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu
berasal dari dunia luar dan dari jiwa atau pikiran manusia sendiri.
Kedua, golongan yang mengemukakan hakikat pengetahuan manusia inklusif di dalamnya
aliran-aliran:
a) Realisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa pengetahuan manusia adalah gambaran yang
baik dan tepat tentang kebenaran. Dalam pengetahuan yang baik tergambar kebenaran seperti
sesungguhnya.
b) Idealisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan hanyalah kejadian dalam jiwa
manusia, sedangkan kanyataan yang diketahui manusia semuanya terletak di luar dirinya19[19].
Dengan demikian, pengertian epistemologi keilmuan Islam adalah merupakan asas
mengenai cara bagaimana materi pengetahuan yang menjelaskan tentang keilmuan Islam dan
beberapa aspek yang termasuk di dalamnya yang diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh
pengetahuan yang meliputi sumber dan sarana untuk mencapai ilmu pengetahuan.

D. Aksiologi
1. Pengertian Aksiologi
Aksiologi membahas tentang masalah nilai. Istilah aksiologi berasal dari kata axio dan
logos, axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos artinya akal, teori, axiologi
artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria dan status metafisik dari nilai20[20].
Aksiologi sebagai cabang filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai,
pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan21[21].
Nilai Intrinsik, contohnya pisau dikatakan baik karena mengandung kualitas-kualitas
pengirisan didalam dirinya, sedangkan nilai instrumentalnya ialah pisau yang baik adalah pisau
yang dapat digunakan untuk mengiris22[22], jadi dapat menyimpulkan bahwa nilai Instrinsik
ialah nilai yang yang dikandung pisau itu sendiri atau sesuatu itu sendiri, sedangkan Nilai
Instrumental ialah Nilai sesuatu yang bermanfaat atau dapat dikatakan Niai guna.
2. Kegunaan Aksiologi Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan
Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat
dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu
sesorang dapat mengubah wajah dunia.
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu
itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
a) Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.
Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang
membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi,
atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan
mempelajari teori-teori filsafat ilmu.
b) Filsafat sebagai pandangan hidup.
Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan
dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk
petunjuk dalam menjalani kehidupan.
c) Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap
keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih
enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah,
mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat
sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang detail itu
biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.

E. Hubungan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi dengan Pendidikan


1. Ontologi
Ontologi merupakan analisis tentang objek materi dari ilmu pengetahuan.Berisi mengenai
hal-hal yang bersifat empiris serta mempelajari mengenai apa yang ingin diketahui manusia dan
objek apa yang diteliti ilmu. Dasar ontologi pendidikan adalah objek materi pendidikan ialah sisi
yang mengatur seluruh kegiatan kependidikan.
Jadi hubungan ontologi dengan pendidikan menempati posisi landasan yang terdasar dari
fondasi ilmu dimana disitulah teletak undang-undang dasarnya dunia ilmu.
2. Epistemologi
Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan salah
satu cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal
mula pengetahuan, metode atau caraa memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran
pengetahuan. Aspek epistemologi adalah kebenaran fakta atau kenyataan dari sudut pandang
mengapa dan bagaimana fakta itu benar yang dapat diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya.
Jadi hubungan epistemologi dengan pendidikan adalah untuk mengembangkan ilmu secara
produktif dan bertanggung jawab serta memberikan suatu gambaran-gambaran umum mengenai
kebenaran yang diajarkan dalam proses pendidikan.
3. Aksiologi
Aksiologi mempelajari mengenai manfaat apa yang diperoleh dari ilmu
pengetahuan,menyelidiki hakikat nilai,serta berisi mengenai etika dan estetika.Penerapan
aksiologi dalam pendidikan misalnya saja adalah dengan adanya mata pelajaran ilmu sosial dan
kewarganegaraan yang mengajarkan bagaimanakah etika atau sikap yang baik itu,selain itu
adalah mata pelajaran kesenian yang mengajarkan mengenai estetika atau keindahan dari sebuah
karya manusia.
Dasar Aksiologis Pendidikan adalah Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu
sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya
bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab.

F. Kesimpulan
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu ta onta berarti
yang berada, dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Maka ontologi adalah ilmu
pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan, term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh
Rudolf.
Menurut etimologi, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme (pengetahuan)
dan logos (ilmu yang sistematis, teori). Secara terminologi, epistemologi adalah teori atau ilmu
pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan
batas-batas pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya pengetahuan itu.
Aksiologi membahas tentang masalah nilai. Istilah aksiologi berasal dari kata axio dan
logos, axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos artinya akal, teori, axiologi
artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria dan status metafisik dari nilai.

I. Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah manusia, pemikiran filosofis senantiasa berkembang. Hal itu
dikarenakan pemikiran merupakan hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia, bahkan
merupakan ciri khas manusia. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari anugerah akal yang
dimiliki oleh manusia. Pemikiran filosofis meniscayakan kelahiran filsafat sebagai induk dari
semua ilmu. Di antara corak pemikiran manusia adalah pengetahuan tentang wujud, awal
bermulanya hingga akhirnya. Oleh karena itu, buah pemikiran dari manusia melahirkan berbagai
macam aliran dalam filsafat yakni, aliran empirisme, rasionalisme, idealisme, pragmatisme,
eksistensialisme, positivisme, vitalisme, strukturalisme, post-strukturalisme dan lain-lain.
Selain itu, permasalahan yang menjadi objek kajian (pembahasan) dalam filsafat mengalami
perkembangan yang signifikan. Filsafat tidak hanya berhenti pada permasalahan wujud, tetapi
juga merambah pada pembahasan berkenaan dengan ilmu. Selain itu, filsafat juga menyentuh
tataran praktis, terutama berkaitan dengan moral. Perkembangan tersebut merupakan implikasi
logis dari perkembangan pola pikir manusia itu sendiri. Hal tersebut tidak lain merupakan upaya
untuk menemukan kebenaran.
Pencarian terhadap kebenaran seiring dengan tujuan dari filsafat itu sendiri, yakni untuk mencari
kebenaran yang hakiki. Dengan kata lain, mengetahui segala sesuatu yang ada sebagaimana
adanya (problem ontologis). Kemudian, timbul pertanyaan setelah mencari Apa itu kebenaran?
yaitu Bagaimana kita bisa mendapatkan pengetahuan yang hakiki itu atau sesuatu yang ada
sebagaimana adanya (kebenaran)? Persoalan ini merupakan problem epistemologis. Selanjutnya,
setelah kita mengetahui kebenran dan cara untuk mendapatkannya, muncul pertanyaan untuk apa
pengetahuan tersebut. Dengan kata lain, pemikiran selanjutnya berkaitan dengan pengaplikasian
ilmu yang telah didapatkan pada tataran praktis. Ini disebut dengan problem aksiologis, artinya
apakah ilmu pengetahuan yang didapat itu bisa diterapkan untuk kemaslahatan umat atau justru
sebaliknya, terutama kaitannya dengan moralitas. Singkatnya, wilayah ontologi bertanya tentang
apa wilayah epistemologi bertanya tentang bagaimana sedangkan, wilayah aksiologi
bertanya tentang untuk apa.
Tiga problem filosofis inilah ontologi, epistemologi dan aksiologi yang hingga kini masih
menimbulkan perdebatan. Hal itu dikarenakan masing-masing aliran filsafat memiliki sudut
pandang tersendiri berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Oleh karena itu, pembahasan mengenai
Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi topic penting pembahasan penting dalam dunia Filsafat.
Hal inilah yang menjadi alasan bagi penulis untuk mengetengahkan pembahasan tersebut dalam
makalah ini.

II. Pembahasan
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik
mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang ilmu pengetahuan yang
mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-
ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang
bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu
sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang ditelaah, yakni
ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang filsafat yang bersifat otonom.
Ilmu memang berbeda dari pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak terdapat
perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, di mana keduanya
mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama.
Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan
mengenai hakikat ilmu seperti: Objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki
dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia
(seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan? Bagaimana proses
yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-
hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang
disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara atau sarana apa yang membantu kita
dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu
itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah
moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana
kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-
norma moral atau profesional?
Jika disimpulkan berbagai macam pertanyaan di atas maka yang pertama adalah persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan masalah ontologis. Kedua, masuk dalam wilayah kajian
epistemologis. Sedangkan yang ketiga adalah problem aksiologis. Semua disiplin ilmu pasti
mempunyai tiga landasan ini. Di bawah ini penulis akan memaparkan sekilas pembahasan
mengenai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi.

A. Ontologi
Secara terminologi, ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu on atau ontos yang berarti ada
dan logos yang berarti ilmu. Sedangkan secara terminologi ontologi adalah ilmu tentang
hakekat yang ada sebagai yang ada (The theory of being qua being). Sementara itu, Mulyadi
Kartanegara menyatakan bahwa ontology diartikan sebagai ilmu tentang wujud sebagai wujud,
terkadang disebut sebagai ilmu metafisiska. Metafisika disebut sebagai induk semua ilmu
karena ia merupakan kunci untuk menelaah pertanyaan paling penting yang dihadapi oleh
manusia dalam kehidupan, yakni berkenaan dengan hakikat wujud.
Mulla Shadra berpendapat Tuhan sebagai wujud murni. Hal ini dibenarkan oleh Suhrawardi
bahwa alam merupakan emanasi. Alam merupakan manifestasi (tajalli). Sedang Plato
berpendapat bahwa cunia yang sebenarnya adalah dunia ide. Dunia ide adalah sebuah dunia atau
pikiran univewrsal (the universal mind). Aristoteles tidak menyangsikan pendapat gurunya
(Plato), hanya saja dia lebih percaya bahwa yang kita lihat adalah riil. Sedangkan Thales
beranggapan bahwa sumber dari segala sesuatu adalah air. Kita tidak tahu pasti apa yang
dimaksudkannya dengan itu, dia mungkin percaya bahwa seluruh kehidupan berasal dari air dan
seluruh kehidupan kembali ke air lagi ketika sudah berakhir.
Yang termasuk dalam pembahasan ontologi adalah fisika, matematika dan Metafisika. Fisika
sebagai tingkatan yang paling rendah, matematika sebagai tingkatan tengah-tengah sedangkan
teologi sebagai tingkatan yang paling tinggi. Alasan pembagian tersebut adalah karena ilmu itu
ada kalanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat diindera, yaitu sesuatu yang berbenda, yaitu
fisika. Ada kalanya berhubungan dengan benda tetapi mempunyai wujud tersendiri, yaitu
matematika. Dan ada yang tidak berhubungan dengan suatu benda yaitu metafisika.
Ontologi juga sering diidentikkan dengan metafisika, yang juga disebut dengan proto-filsafat
atau filsafat yang pertama atau filsafat ketuhanan. Pembahasannya meliputi hakikat sesuatu,
keesaan, persekutuan, sebab dan akibat, substansi dan aksiden, yang tetap dan yang berubah,
eksistensi dan esensi, keniscayaan dan kerelatifan, kemungkinan dan ketidakmungkinan, realita,
malaikat, pahala, surga, neraka dan dosa.
Dengan kata lain, pembahasan ontologi biasanya diarahkan pada pendeskripsian tentang sifat
dasar dari wujud, sebagai kategori paling umum yang meliputi bukan hanya wujud Tuhan, tetapi
juga pembagian wujud. Wujud dibagi ke dalam beberapa kategori, yakni wajib (wajib al-wujud),
yaitu wujud yang niscaya ada dan selalu aktual, mustahil (mumtanial wujud) yaitu wujud yang
mustahil akan ada baik dalam potensi maupun aktualitas, dan mungkin (mumkin al-wujud), yaitu
wujud yang mungkin ada, baik dalam potensi maupun aktualitas ketika diaktualkan ke dalam
realitas nyata.
Persoalan tentang ontologi ini menjadi pembahasan utama di bidang filsafat, baik filsafaf kuno
maupun modern. Ontologi adalah cabang dari filsafat yang membahas realitas. Realitas adalah
kenyataan yang selanjutnya menjurus pada suatu kebenaran. Bedanya, realitas dalam ontologi ini
melahirkan pertanyaan-pertanyaan: apakah sesungguhnya realitas yang ada ini; apakah realitas
yang tampak ini suatu realita materi saja; adakah sesuatu di ballik realita itu; apakah realita ini
terdiri dari satu unsur (monisme), dua unsur (dualisme) atau serba banyak (pluralisme). Di
bawah ini adalah berbagai macam pandangan tentang ontologi.

a. Monisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanya satu saja, tidak
mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi
ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri.
Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan
yang lainnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini
kemudian terbagi ke dalam dua aliran yaitu materialisme dan idealisme.
Materialisme menganggap bahwa yang benar-benar ada hanyalah materi. Sedangkan ruh atau
jiwa bukanlah suatu kenyataan yang bisa berdiri sendiri bahkan ia hanya merupakan akibat saja
dari proses gerakan kebenaran dengan salah satu cara tertentu. Materialisme sering juga disebut
dengan naturalisme artinya bahwa yang benar-benar ada hanyalah alam saja. Sedangkan yang di
luar alam tidaklah ada. Aliran pemikiran ini dipelopori oleh para filosof pra-sokratik seperti
Thales, Anaximandros, Anaximenes, Democritos dan lainnya. Thales misalnya beranggapan
bahwa unsur dari semua makhluk hidup adalah air. Sedangkan Anaximandros beranggapan
bahwa alam semesta ini berasal dari apeiron artinya yang tak terbatas yaitu yang bersifat ilahi,
abadi, tak terubahkan dan meliputi segalanya. Anaximenes beranggapan lain, bahwa prinsip yang
merupakan asal usul segala sesuatu adalah udara. Dan Democritos menganggap bahwa alam ini
tersusun dari atom-atom yang tak terhingga jumlahnya.
Sedangkan sebagai lawan dari materialisme yaitu idealisme yang berarti juga spiritualisme
berarti serba cita, sedang spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata idea yaitu
sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka
ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak
berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari penjelmaan
ruhani.
Perintis dari aliran ini adalah Plato yang selanjtunya akan dikembangkan oleh George Barkeley,
kemudian oleh Kant, Fichte, Hegel hingga Schelling. Menurut Plato realitas seluruhnya seakan-
akan terdiri dari dua dunia. Satu dunia mencakup benda-benda jasmani yang disajikan
kepada panca indera. Pada taraf ini diakui bahwa semuanya tetap berada dalam perubahan.
Bunga yang kini bagus, keesokan harinya sudah layu. Lagi pula dunia inderawi ditandai oleh
pluralitas. Selain bunga tadi, masih ada banyak hal yang bagus juga. Harus diakui juga bahwa di
sini tidak ada sesuatu pun yang sempurna. Di samping dunia inderawi itu terdapat satu dunia
lain, suatu dunia ideal atau dunia yang terdiri atas ide-ide. Dalam dunia ideal ini sama sekali
tidak ada perubahan. Semua ide bersifat abadi dan tak terubahkan. Dalam dunia ideal tidak ada
banyak hal yang bagus, hanya ada satu ide yang bagus. Demikian halnya dengan ide-ide yang
lain. Dan setiap ide-ide bersifat sama sekali sempurna. Oleh sebab itu, menurut Plato yang
benar-benar real itu hanyalah idea atau dunia ide sedangkan yang materi merupakan
pengejawantahan dari ide.
Dalam dialog Politeia yang sangat masyhur Plato bercerita mitos tentang gua. Ia
menggambarkan kehidupan di dunia ini ibarat tahanan dalam gua yang hanya mempunyai
pengalaman di dalam gua saja. Sebaliknya mereka tidak mengetahui realitas di luar gua yang
nyata adanya. Baru ketika mereka keluar dari gua mereka baru percaya bahwa ada realitas selain
pengalaman yang mereka lihat selama di dalam gua. Artinya gua itu adalah dunia yang disajikan
kepada panca indera kita. Kita menerima semua pengalaman secara spontan begitu saja. Padahal
sebenarnya pengalaman inderawi itu tak lebih dari sekedar bayang-bayang semata.

b. Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya,
yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul
dari ruh dan ruh bukan muncul dari benda. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu
masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya
menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama ini
kedua hakikat ini adalah dalam diri manusia.
Tokoh paham ini adalah Rene Descartes. Sebagai pendobrak filsafat modern Descartes
mempunyai concern yang jauh lebih rumit. Ia tidak lagi melihat alam yang secara terus-menerus
dijadikan objek kajian dalam ilmu pengetahuan. Lebih jauh lagi ia melihat relasi antara subjek
yang mengetahui dengan objek yang diketahui. Dengan demikian ia memosisikan manusia tidak
hanya sebagai subjek saja tetapi sekaligus sebagai objek. Pertanyaannya adalah apakah
pengetahuan yang kita miliki itu karena memang ada realitas di luar sana atau justru karena
faktor keberadaan manusia sebagai subjek yang berpikir. Diktum Descartes Cogito Ergo Sum
aku berpikir maka aku ada jelas sekali memosisikan manusia sebagai subjek berpikir yang
bebas. Karena saya berpikir maka saya menjadi ada demikian realitas yang lain menjadi ada
pula. Manusia merupakan subjek yang sadar akan keberadaan dirinya. Paham inilah yang
kemudian menjadi cikal bakal aliran eksistensialisme.
c. Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segala macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak
dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme
dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa
kenyataan alam ini tersusun dari unsur banyak, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini
pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi
yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh
modern aliran ini adalah William James seorang filosof dan psikolog kenamaan asal Amerika. Ia
berpendapat bahwa dunia ini terdiri dari banyak kawasan yang berdiri sendiri. Dunia bukanlah
suatu universum, melainkan suatu multi-versum. Dunia adalah suatu dunia yang terdiri dari
banyak hal yang beraneka ragam atau pluralis.

d. Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang
tidak mengakui validitas alternative yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan
Turgeniev dalam novelnya Fathers and Children yang ditulisnya pada tahun 1862 di Rusia.
Dalam novel itu Bazarov sebagai tokoh sentral mengatakan lemahnya kutukan ketika ia
menerima nihilisme. Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani
Kuno, yaitu pada pandangan Georgias yang memberika tiga proposisi tentang realitas. Pertama,
tidak ada sesuatu pun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada. Kedua, bila sesuatu itu ada,
ia tidak dapat diketahui. Ini disebabkan oleh pengindraan itu sumber ilusi. Akal juga tidak
mampu meyakinkan kita tentang bahan alam semesta ini karena kita telah dikungkung oleh
dilema subjektif. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat diketahui ia tidak akan dapat kita
beritahukan kepada orang lain.

e. Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat
materi maupun hakikat ruhani. Kata agnosticisme berasal dari bahasa Yunani yaitu agnostos
yang berarti unknown. A artinya not dan no artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan
belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya
kenyataan yang berdiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya
suatu kenyataan mutlak yang bersifat transcendent. Beberapa tokoh aliran ini misalnya Soren
Kiekegaar, Heidegger, Sartre, dan Jasper.
Masalah ontologi ini semakin lama semakin berkembang tidak hanya di dunia filsafat Barat
tetapi juga di dunia filsafat Islam. Misalnya dalam Islam kita kenal ada aliran Isyraqi dengan
tokohnya Suhrawardi dan Hikmah Mutaalliyah oleh Mulla Sadra. Suhrawardi misalnya
mendiskripsikan realitas ini bagaikan cahaya yang mempunyai gradasi dari sumber cahaya itu
sendiri yang paling terang hingga yang paling lemah. Sumber cahaya itu adalah Tuhan dan
cahaya yang semakin meredup itu bagaikan ciptaan-Nya yang bermacam-macam dari yang
paling sempurna hingga yang paling rendah. Sedangkan Mulla Sadra terkenal dengan pandangan
Asalat al-Wujud dan Wahdat al-Wujud. Sadra beranggapan bahwa yang primer itu adalah wujud.
Tanpa wujud segala sesuatu tidak akan pernah ada. Dan wujud dari semua hal adalah sama. Oleh
sebab itu ia meyakini kesatuan wujud (Wahdat al-Wujud). Sedangkan yang membuat sesuatu itu
berbeda dengan yang lain adalah karena aksidennya seperti warna dan lainnya.
Masalah ontologis memang menjadi perhatian yang paling serius dalam filsafat ilmu. Sebab ia
bertanggungjawab atas kebenaran dari suatu ilmu itu. Oleh sebab itu, ia tidak berbicara tentang
apa yang tampak tapi apa yang nyata. Sebab penampakan itu belum tentu sesuai dengan
kenyataannya.. Wilayah ontologi bukan berbicara pada tataran penampakan tapi kenyataan.
Mampu mengetahui kenyataan yang hakiki itulah sebagai ilmu pengetahuan yang valid. Jadi,
pembahasan wujud dalam ontologi merupakan realitas mutlak dan lawan dari ketiadaan. Wujud
dalam hal ini mencakup segala hal, mulai dari Dzat Ilahi, realitas-realitas abstrak dan material,
baik substansi maupun aksiden dan baik esensi maupun keadaan.

B. Epistemologi
Jika kita berbicara tentang ilmu pengetahuan, apakah anda pernah memikirkan apa itu
pengetahuan? Pastinya anda menganggap bahwa saya orang yang aneh. Kalau saya bertanya,
apakah kita tahu? Pastinya kita semua tahu. Tentang nama kita sendiri, Jakarta sebagai ibu kota
Indonesia, Manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan, dan bahwa 2+2 = 4. Sebuah lompatan
drastis yang dilakukan Socrates pada zamannya, dan mungkin sampai sekarang ini masih,
dengan pernyataannya apa yang saya ketahui adalah apa yang tidak saya ketahui bagaimana
akal kita bisa menerima pernyataan yang kontradiksi ini?
Akar permasalahan adalah pengetahuan yang rupanya menuntutut sejenis kepastian tertentu yang
tidak dimiliki oleh kepercayaan yang biasa. Tetapi sekali saja anda bertanya, apa yang akan
membenarkan kepastian ini, anda mulai merasakan sangatlah sulit menemukan jawabannya.
Mudah mengetahui mengapa begitu banyak pemikir memperdebatkan pengetahuan yang
menuntut adanya sebuah kepastian. Mengetahui bisa kita sebut dengan kata yang sukses.
Demikian dengan kata belajar. Untuk mengetahui seseorang telah mempelajari sesuatu, sama
denga mengatakan mereka telah mempelajari sesuatu dengan sukses dan kini telah menyerap apa
saja yang telah mereka pelajari. (mengatakan mereka sedang belajar jelas tidak menunjukkan
bahwa mereka telah menguasai secara sempurna, hanya sedang mengejar kesempurnaan itu.
Misal; anda sedang mempelajari aritmatika, apakah bisa dikatakan anda menguasai aritmatika?).
kita bisa mengatakan bahwa seseorang telah sukses dengan apa yang telah mereka pelajari
apabila mereka dapat menyatakan kembali apa yang telah mereka peroleh di masa lalu.
Epistemologi merupakan tahapan berikutnya setelah pembahasan ontologi dalam filsafat. Istilah
epistemologi dipakai pertama kali oleh J.F. Feriere yang maksudnya untuk membedakan antara
dua cabang filsafat, yaitu epistemologi dan ontologi (metafisika umum). Kalau dalam metafisika
pertanyaannya adalah apa yang ada itu? Maka pertanyaan dasar dalam epistemologi adalah apa
yang dapat saya ketahui?
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme dan logos. Episteme biasa diartikan
pengetahuan atau kebenaran, dan logos diartikan pikiran, kata, atau teori. Epistemologi secara
etimologi dapat diartikan teori pengetahuan yang benar dan lazimnya hanya disebut teori
pengetahuan yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi theory of knowledge.
Dengan kata lain, epistemologi adalah bidang ilmu yang membahas pengetahuan manusia, dalam
berbagai jenis dan ukuran kebenarannya. Isu-isu yang akan muncul berkaitan dengan masalah
epistemologi adalah bagaimana pengetahuan itu bisa diperoleh? Jika keberadaan itu mempunyai
gradasi (tingkatan), mulai dari yang metafisik hingga fisik maka dengan menggunakan apakah
kita bisa mengetahuinya? Apakah dengan menggunakan indera sebagaimana kaum empiris, akal
sebagaimana kaum rasionalis atau bahkan dengan menggunakan intuisi sebagaimana urafa (para
sufi)? Oleh sebab itu yang perlu dibahas berkaitan dengan masalah ini adalah tentang teori
pengetahuan dan metode ilmiah serta tema-tema yang berkaitan dengan masalah epistemologi.
Berbicara tentang asal-usul pengetahuan maka ilmu pengetahuan ada yang berasal dari manusia
dan dari luar manusia. Pengetahuan yang berasal dari manusia meliputi pengetahuan indera, ilmu
(akal) dan filsafat. Sedangkan pengetahuan yang berasal dari luar manusia (berasal dari Tuhan)
adalah wahyu. Pembahasan epistemologi meliputi sumber-sumber atau teori pengetahuan,
kebenaran pengetahuan, batasan dan kemungkinan pengetahuan, serta klasifikasi ilmu
pengetahuan.

1. Sumber-Sumber Pengetahuan
Salah satu pokok pembahasan epistemologi adalah mengenai sumber-sumber pengetahuan.
Dengan fakultas apa manusia mencapai pengetahuan? Bagaimanakah nilai pengetahuan yang
diperoleh manusia? Sampai batasan mana manusia memeroleh pengetahuan? Pertanyaan-
pertanyaan ini terkait erat dengan sumber-sumber pengetahuan.
Apa saja sumber-sumber pengetahuan? Murtadha Muththahari mengatakan bahwa sumber
pengetahuan tidak hanya rasio dan hati, melainkan alam dan sejarah. Sedangkan M. Taqi
Mishbah Yazdi lebih menekankan fakultas indriawi dan akal sebagai sumber pengetahuan.
Adapun fakultas hati, dalam mencapai pengetahuan, merupakan ranah irfan bukan filsafat.
Agaknya karena alasan inilah bahwa fakultas hati (qalb, fuad) merupakan pembahasan irfan
bukan filsafat, kita bisa memahami pandangan Yazdi yang tidak begitu menekankan daya hati
dalam epistemologiyang merupakan cabang filsafat. Ada juga yang menganggap bahwa
sumber pengetahuan yang hakiki (primer) adalah wahyu sedangkan daya-daya lain lebih sebagai
sumber sekunder.
Setidaknya ada tiga sumber pengetahuan yaitu 1) akal; 2) indriawi; dan 3) hati (intusi, qalb,
fuad). Adapun wahyu, dalam hal ini wahyu yang dikodifikasikan dalam bentuk teks (kitab suci),
tidak dimasukkan sebagai sumber pengetahuan. Karena kitab suci merupakan teks, yang akan
berbicara ketika seseorang membacanya, maka pemahaman seseorang atas teks-teks suci tersebut
yang dimasukkan sebagai sumber pengetahuan (Suteja, 2006).
Begitu juga dengan sejarah maupun alam. Sebab alam untuk menyampaikan pengetahuan
membutuhkan penafsiran dari sang pengamat, walaupun struktur pengetahuan tersebut tidak
memisahkan antara sang penahu dengan yang diketahui, tetap saja ia meniscayakan kemampuan
manusia untuk menangkap pengetahuan tersebut. Alam sebagai alam luaran ditangkap dengan
fakultas indriawi, jadi, pemahaman fakultas indriawi yang dimasukkan sebagai sumber
pengetahuan atau pemahaman atasnyalah yang dimasukkan sebagai sumber pengetahuan.

a. Indera
Salah satu sumber ilmu pengetahuan adalah indera. Manusia bisa mendapatkan pengetahuan
dengan menggunakan indera yang dimilkinya. Dengan mata manusia bisa melihat, dengan
hidung kita bisa mencium, dengan kulit kita bisa meraba, dengan telinga kita bisa mendengar dan
dengan lidah kita bisa merasakan. Jadi, yang bisa ditangkap oleh indera adalah benda-benda
yang sifatnya fisik. Di luar fisik indera tidak mampu menangkapnya atau mengetahuinya.
Aliran dalam filsafat yang mengatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui indera
disebut dengan empirisme. Aliran ini berpendapat, bahwa empirisme atau pengalamanlah yang
menjadi sumber pengetahuan, baik pengalaman batiniah maupun lahiriah. Akal bukan jadi
sumber pengetahuan, tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh
dari pengalaman. Metode yang diterapkan adalah induksi. Para Filosof empirisme antara lain
John Locke, David Hume dan William James. David Hume termasuk dalam empirisme radikal
menyatakan bahwa ide-ide dapat dikembalikan pada sensasi-sensasi (rangsang indera).
Pengalaman merupakan ukuran terakhir dari kenyataan. Wiliam James mengatakan bahwa
pernyataan tentang fakta adalah hubungan di antara benda, sama banyaknya dengan pengalaman
khusus yang diperoleh secara langsung dengan indera.
John Locke dengan teori tabula rasanya mengatakan bahwa manusia itu ketika lahir bagaikan
kertas putih tanpa goresan apa pun artinya ia sama sekali belum memiliki pengetahuan. Baru
kemudian ia mendapatkan pengetahuan dengan menggunakan panca inderanya untuk mengenali
objek-objek yang ada di sekelilingnya. Begitu seterusnya hingga semua pengalaman dalam
hidupnya tersimpan dalam memori pikirannya. Metode ilmiah yang dipakai untuk memperoleh
pengetahuan empiris ini adalah eksperimentasi atau kalau di dalam Islam kita kenal metode
tajribi.

b. Akal
Akal menjadi sumber ilmu pengetahuan selanjutnya setelah indera. Akal semakin diperhitungkan
sebagai sumber pengetahuan karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh indera yang
hanya sebatas pada benda-benda fisik saja. Padahal di luar fisik masih terhampar luas samudera
pengetahuan. Selain itu juga pengetahuan inderawi cenderung menempatkan antara subjek yang
mengetahui dengan objek yang diketahui sama-sama hadir artinya tidak bisa dipisahkan satu
sama lain. Jika demikian sungguh manusia akan mengalami kerepotan. Misalnya jika kita tidak
mengenal pengetahuan matematissebagai salah satu produk ilmu akalseseorang akan
kesulitan dalam melakukan perhitungan. Tidak mungkin kita menghadirkan benda-benda dalam
jumlah yang banyak karena hal itu akan menyulitkan. Maka cukuplah dengan menggantinya
dengan konsep-konsep angka dalam matematika.
Akal dengan kemampuannya bisa membedakan antara mana yang salah dan mana yang benar.
Selain itu juga akal bekerja dengan menggunakan hukum-hukum logika yang diakui
kebenarannya. Akal dengan tegasnya bisa menunjukkan kelemahan empiris sebagai sumber
kebenaran. Misalnya ketika sebatang kayu dicelupkan ke dalam air, kayu tersebut oleh indera
akan tampak membengkok. Tapi apakah benar kayu tersebut mengalami pembengkokan setelah
dicelupkan ke dalam air. Secara rasional tentu saja tidak mungkin melihat karakter kayu itu
bukan benda yang mudah bengkok apalagi hanya dicelupkan ke dalam air. Di sinilah akal diakui
sebagai sumber kebenaran. Dan tentu saja banyak bukti yang lain. Faham filosofis yang yang
menjadikan akal sebagai sumber pengetahuan disebut rasionalisme.
Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang
memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang dipakai
oleh semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan
pengetahuan yang didapat oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran dari pada dirinya
sendiri, yaitu atas dasar asas pertama yang pasti. Metode yang diterapakan adalah deduktif.
Teladan yang dikemukakan adalah ilmu pasti. Di antara para filosof rasionalis adalah Rene
Descartes, B. Spinoza, dan Leibniz. Rasionalisme memakai prinsip koherensi dalam
pembenarannya. Jadi apa yang benar adalah apa yang koheren dengan akal. Metode ilmiah yang
dipakai adalah metode burhani.
Descartes merupakan filosof pendobrak dalam tradisi kefilsafatan Barat. Ia dianggap sebagai
bapak filosof modern. Gagasannya yang paling monumental adalah Cogito Ergo Sum aku
berpikir maka aku ada. Sejak itulah akal benar-benar mendapatkan tempat yang agung sebagai
sumber pengetahuan. Manusia mempunyai posisi yang sangat dominan sebagai subjek yang
berpikir karena ia mempunayi akal. Ia adalah subjek yang sadar akan keberadaan dirinya sendiri
dan keberadaan dunia di sekitarnya.
Berawal dari kesangsian dirinya akan segala hal, ia berusaha membangun landasan filososif
tentang kebenaran yang tak kuat. Ia berpikir bahwa segala sesuatu bisa kita sanksikan. Bahkan
keberadaan dirinya sendiri ia meragukannya. Tapi ada satu hal yang tidak mungkin bisa ia
sanksikan bahwa ia dalam keadaan sanksi itu sendiri. Semakin ia sanksi semakin ia yakin akan
kebenaran kesanksian atas dirinya dan semakin pula ia yakin akan keberadaan dirinya. Dari
sinilah kemudian Descartes baru mengakui akan keberadaan yang lain. Namun bagaimana jika
manusia itu berhenti berpikir, ketika dalam keadaan tidur misalnya? Descartes mengatakan
bahwa masih ada Tuhan yang selalu hidup, yang tidak pernah berhenti dari semua aktivitasnya.
c. Intuisi
Jika indera dan akal mampu digunakan untuk memperoleh pengetahuan maka demikian halnya
dengan intuisi. Bahkan pengetahuan yang berasal dari intuisi inilah yang diakui kebenarannya.
Sebab indera dan akal hanya mampu mendiskripsikan, melukiskan dan menganalisa sedangkan
intuisi bisa menghadirkan pengetahuan secara langsung ke dalam diri seseorang. Maka
pengetahuan inderawi dan akal bisa disebut sebagai pengetahuan ushuli artinya pengetahuan
perolehan yang didapat melalui perantara. Sedangkan pengetahuan intuisi merupakan
pengetahuan hudluri karena objek dari ilmu itu sendiri hadir ke dalam diri subjek yang
mengetahui tanpa sebuah perantara apapun. Sehingga pengetahuan hushuli cenderung rentan
terhadap kesalahan. Misalnya saja ketika ada yang tidak benar dengan indera maupun akal kita.
Sebaliknya pengetahuan intuisi tidak diragukan lagi kebenarannya.
Pengetahuan intuisi itu sifatnya penyingkapan atas sebuah realita. Jadi seorang subjek benar-
benar merasakan secara langsung apa yang ia alami. Tidak ada pengenalan secara langsung
terhadap sebuah realita selain melalui intuisi. Di sinilah letak kevalidan pengetahuan intuisi
berbeda dengan pengetahuan inderawi dan akal yang hanya memperlihatkan penampakannya
saja.
Di antara para filosof intusionismesebuah aliran yang menjadikan intuisi sebagai sumber
pengetahuannyaadalah Henry Bergson seorang filosof Perancis. Pengetahuan intuisi ini juga
sangat familiar di kalangan para mazhab irfani (kaum sufi). Metode yang dipakai kita kenal
dengan metode irfani.

d. Wahyu
Satu-satunya sumber pengetahuan yang tidak bisa diusahakan oleh manusia adalah wahyu.
Artinya ia benar-benar bersumber dan pemberian dari Tuhan. Sehingga kebenarannya tidak perlu
disanksikan lagi. Biasanya pengetahuan ini disampaikan melalui orang-orang pilihan dan utusan
Tuhan dalam bentuk kitab suci.
Dasar dari pengetahuan ini adalah keyakinan dan menjadi salah satu pilar keyakinan beragama.
Orang yang beragama harus meyakini kebenaran semua isi kandungan kitab suci. Di dalam kitab
suci biasanya terkandung cerita-cerita masa lalu. Berita tentang surga, neraka, pahala dan dosa.
Tentu saja yang tak kalah pentingnya adalah kebenaran akan keberadaan Tuhan pencipta alam.
Dan masih banyak berita-berita yang lainnya. Wahyu merupakan sumber pengetahuan yang
kaya. Metode yang dipakai adalah metode bayani.

2. Kebenaran Pengetahuan
Sebelum membahas tentang teori kebenaran terlebih dahulu penting kiranya untuk
mendefinisikan apa arti kebenaran itu sendiri. Kebenaran menjadi isu sentral dalam ilmu
pengetahuan karena tujuan dari ilmu pengetahuan adalah untuk mencari kebenaran.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadaminta ditemukan arti
kebenaran, yakni keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang
sesungguhnya). Menurut William James yang dikutip oleh Titus dkk (1984: 344), kebenaran
(truth) adalah yang menjadikan berhasil cara kita berpikir dan kebenaran adalah yang
menjadikan kita berhasil cara kita bertindak. Sedangkan menurut Louis Kattsoff (1992: 178)
kebenaran menunjukkan bahwa makna sebuah pernyataan artinya, proposisinya sungguh-
sungguh merupakan halnya. Bila proposisinya bukan merupakan halnya, maka kita mengatakan
bahwa proposisi itu sesat. Selanjutnya berkaitan dengan teori kebenaran ada beberapa macam.

a. Teori Koherensi
Teori koherensi dibangun oleh para pemikir rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Hegel, dan
Bradley. Menurut Kattsoff (1986) dalam bukunya Elements of Philosophy, teori koherensi
dijelaskan .suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling
berhubungan dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya
dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi, suatu pernyataan
dianggap benar jika pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita menganggap bahwa semua manusia pasti mati
adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan, si polan adalah manusia dan si polan
pasti mati adalah benar, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang
pertama.
b. Teori Korespondensi
Teori korespondensi biasanya dianut oleh para pengikut realisme, dan mereka berpegang pada
pendirian fakta-fakta. Dan teori ini yang diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut
paham ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita objektif. Kebenaran adalah persesuaian
antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri.
Kebenaran teori korespondensi berdasarkan pengalaman inderawi sehingga ada atau tidak
adanya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan.
Misalnya pernyataan Kota Bandung berada di wilayah Jawa Barat bukan karena pernyataan ini
berguna atau apa, tapi karena secara geografis dan berdasarkan pengalaman maupun bukti
empiris memang demikian.
c. Teori Kebenaran Pragmatis
Teori kebenaran pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914) dalam sebuah makalah
yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul How to Make Our Ideas Clear. Teori ini kemudian
dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan berkebangsaan Amerika yang
menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filsafat ini misalnya
William James, John Dewey, George Herbert Mead dan C. I. Lewis.
Teori pragmatisme beranggapan bahwa sesuatu itu dianggap benar jika secara fungsional ia
memberikan manfaat. Jadi ukurannya adalah hasil yang didapatkannya. Jika hasilnya
menguntungkan maka ia baik dan benar dan sebaliknya jika hasilnya merugikan maka ia buruk
dan salah.
Kattsoff (1986) menguraikan tentang teori kebenaran pragmatis ini adalah penganut pragmatisme
meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. Atau proposisi itu dapat
membantu untuk mengadakan penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman, pernyataan
itu adalah benar. Misalnya pengetahuan naik bus berhenti di posisi kiri. Dengan berhenti di
posisi kiri, penumpang bisa turun dengan selamat. Jadi, mengukur kebenaran bukan dilihat
karena bus berhenti di posisi kiri, namun penumpang bisa turun dengan selamat karena berhenti
di posisi kiri.
3. Batasan Pengetahuan
Berbicara tentang masalah ontologi memang sangat luas sekali cakupannya. Ia tidak hanya
berbicara soal keberadaan yang sifatnya materi tetapi juga immateri. Kalau wujud yang materi
bisa diketahui dengan menggunakan pendekatan empiris maka wujud immateri hanya kita yakini
keberadaannya begitu saja. Paling kita percaya karena wujud yang immateri ituseperti
keberadaan Tuhan, surga, neraka dan lainnyaditerangkan dalam kitab suci (wahyu) bagi
kalangan yang beragama. Bagi para penganut paham ateisme tentu saja mereka tidak
memercayai hal-hal yang bersifat immateri tersebut.
Lantas apakah batas yang merupakan ruang lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu
berhenti dan menyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang
menjadi karakteristik objek ontologis ilmu yang membedakan ilmu dari pengetahuan-
pengetahuan yang lain? Jawaban dari semua pertanyaan itu sangat sederhana. Ilmu memulai
penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Apakah
ilmu mempelajari hal ihwal surga dan neraka? Jawabnya adalah tidak sebab surga dan neraka
berada di luar jangkauan pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari sebab musabab
kejadian terciptanya manusia? Jawabnya juga adalah tidak sebab kejadian itu berada di luar
jangkauan pengalaman kita. Baik hal yang terjadi sebelum hidup maupun yang terjadi setelah
kematian kita, semua itu berada di luar penjelajahan ilmu.
Dengan demikian yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah pengetahuan yang hanya bisa
dijangkau oleh akal manusia dan bahkan yang bisa diuji kebenarannya secara empiris. Sebuah
ilmu harus memenuhi standar metodologis dan bisa diuji dengan menggunakan metode-metode
ilmiah. Jika suatu ilmu itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia bagaimana kita bisa
menguji kebenarannya dengan standar metodologis dan metode-metode ilmiah.
Pembatasan ruang lingkup ilmu yang seperti ini nampaknya sangat sempit sekali. Memang hal
ini tidak bisa dilepaskan dari tradisi keilmuan yang berkembang di Barat. Ilmu yang dalam
bahasa Barat disebut dengan science merupakan suatu pengetahuan yang tidak diragukan lagi
kebenarannya karena ia memenuhi standar-standar ilmiah. Ia bisa dibuktikan secara empiris dan
bisa di eksperimentasi. Sehingga suatu ilmu yang tidak memenuhi kualifikasi itu bukanlah
merupakan ilmu. Oleh sebab itu sesuatu hal yang sifatnya immateri bukan termasuk objek kajian
ilmu dan bahkan ia dianggap tidak ada. Seperti itulah asumsi para saintis tentang ilmu terutama
yang berkembang di dunia Barat.

4. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan


Ada berbagai macam kalsifikasi ilmu pengetahuan yang diberikan oleh para ahli. Tapi dalam
kesempatan ini saya hanya akan memberikan gambaran klasifikasi ilmu yang disusun oleh Ibn
khaldun dalam kitab al-Muqaddimah. Ia memberikan gambaran yang sangat komprehensif mulai
dari yang paling utamadalam arti mencapai tingkat kematangannyahingga yang paling
bawah yaitu ilmu fisik. Ia membagi ilmu ke dalam dua kategori besar yaitu:
I. Ilmu-ilmu Naqliyyah (Transmitted Science) yang terdiri dari:
(1) Tafsir al-Quran dan Hadits
(2) Ilmu fiqih yang meliputi fiqh, faraid dan ushul fiqh
(3) Ilmu Kalam
(4) Tafisr-tafsir ayat Mutasyabihat
(5) Tasawuf
(6) Tabir Mimpi (tabir al-Ruyah)
II. Ilmu-ilmu Aqliyyah (Rational Science)
(1) Ilmu logika, yang terdiri dari
a. Burhan (Demonstrasi)
b. Jadal (Dialektika)
c. Khitbah (Retorik)
d. Syir (Puitik)
e. Safsathah (Sofistik)
(2) Fisika, yang terdiri dari:
a. Minerologi
b. Botani
c. Zoologi
d. Kedokteran
e. Ilmu Pertanian
(3) Matematika, yang terdiri dari:
a. Aritmetika
Kalkulus
Aljabar
b. Geometri
Figur Sferik
Kerucut
Mekanika
Surveying
Optik
c. Astronomi
(4) Metafisika
a. Ontologi
b. Teologi
c. Kosmologi
d. Eskatologi
Selain itu, ada kelompok ilmu-ilmu praktis yang meliputi etika, ekonomi dan politik. Ibn
Khaldun juga terkenal sebagai bapak sosiologi Islam yang telah melahirkan sebuah disiplin ilmu
sosial yang disebut ilmu budaya atau yang biasa kita sebut sosiologi yang meliputi:
1. Sosiologi secara umum
2. Sosiologi politik
3. Sosiologi ekonomi
4. Sosiologi kota
5. Sosiologi ilmu

5. Metode Ilmiah
Proses kegiatan ilmiah, menurut Ritchie Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu.
Tentu saja hal ini membawa kita kepada pertanyaan lain, mengapa manusia mulai mengamati
sesuatu? Kalau kita telaah lebih lanjut ternyata bahwa kita mulai mengamati objek tertentu kalau
kita mempunyai perhatian tertentu terhadap objek tersebut. Perhatian tersebut dinamakan John
Dewey sebagai suatu masalah atau kesukaran yang dirasakan bila kita menemukan sesuatu dalam
pengalaman kita yang menimbulkan pertanyaan.
Selanjutnya setelah seseorang mendapatkan suatu permasalahan, tahapan selanjutnya adalah
berusaha mencoba menyelesaikan permasalahan itu. Hanya saja dalam penyelesaian suatu
masalah itu seseorang mempunyai cara yang berbeda-beda. Mungkin itu hanyalah kenyataan
yang sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari.
Namun dalam tradisi keilmuan kita mengenal apa yang disebut dengan metode ilmiah. Metode
ilmiah ini merupakan langkah-langkah yang harus ditempuh supaya mendapatkan ilmu
pengetahuan yang valid. Oleh sebab itu metode ilmiah ini terdiri dari beberapa tahapan yang
harus dilalui mulai dari awalyaitu perumusan masalahhingga tahap yang paling terakhir
yaitu penarikan kesimpulan. Jika suatu ilmu didapatkan dengan melalui tahapan-tahapan ini
kepastian kebenarannya tidak diragukan lagi.
Metode ilmiah pada dasarnya sama bagi semua disiplin keilmuan baik yang termasuk dalam
ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Bila pun terdapat perbedaan dalam kedua kelompok
ilmu ini maka perbedaan itu sekedar terletak pada aspek-aspek tekniknya dan bukan pada
struktur berpikir atau aspek metodologisnya.
Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang
mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan
proses logic-hypothetico verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai
berikut:
(1) Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-
batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya
(2) Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang
menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling terkait dan
membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan
premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor
empiris yang relevan dengan permasalahan.
(3) Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan
yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang
dikembangkan
(4) Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis
yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis
tersebut atau tidak
(5) Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apkah sebuah hipotesis yang diajukan itu
diterima atau ditolak. Kiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang
mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses pengujian
tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu ditolak. Hipotesis yang
diterima kemudian dianggap menjadi bagian dari ilmu pengetahuan ilmiah sebab telah
memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan
pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran di sini
harus ditafsirkan secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini belum terdapat fakta yang
menyatakan sebaliknya.
Semua itu adalah langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mendapatkan pengetahuan
ilmiah. Meskipun antara langkah yang satu dengan yang lain saling terkait dan langkah yang
awal menjadi dasar bagi langkah yang selanjutnya tapi dalam praktiknya bisa berbeda. Seorang
peneliti bisa memulainya dengan menemukan fakta-fakta di lapangan kemudian merumuskannya
dan mengambil kesimpulan secara umum (induksi) atau membuktikan premis-premis yang sudah
ada kemudian disesuaikan dengan fakta (deduksi).
Dalam sebuah tradisi keilmuan, ilmu bisa berkembang bila dilakukan sebuah proses falsifikasi.
Artinya kita sesuaikan antara teori-teori yang ada dengan kenyataan yang ada di lapangan
(mencari pembuktian). Artinya jika teori yang kita miliki tidak sesuai dengan kenyataan di
lapangan maka kewajiban kita adalah merumuskan teori baru. Demikian proses itu berlangsung
secara terus menerus hingga dicapai kesesuaian antara teori dengan fakta. Dari sinilah sebuh
ilmu itu akan selalu mengalami perkembangan. Bukan sebaliknya mencari pembenaran terhadap
teori yang sudah ada. Artinya teori yang sudah ada tersebut dianggap sudah benar sehingga
tinggal mencari pembenaran fakta-faktanya di lapangan. Jika tidak sesuai antara fakta dengan
teori fakta tersebut disingkirkan sampai menemukan fakta yang sesuai dengan teori. Jika
demikian maka suatu ilmu itu tidak akan mengalami perkembangan.

C. Aksiologi
Jika ontologi berbicara tentang hakikat yang ada (objek ilmu) dan epistemologi berbicara tentang
bagaimana yang ada itu bisa diperoleh (cara memperoleh ilmu) maka aksiologi berkaitan dengan
manfaat dari pada ilmu itu sendiri atau kaitan penerapan ilmu itu dengan kaidah-kaidah moral.
Dalam Wikipedia aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axion yang berarti nilai dan logos
yang berarti ilmu atau teori. Jadi, aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Adapun Jujun S.
Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu mengatakan bahwa aksiologi adalah cabang filsafat
yang mempelajari tentang nalai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan
untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah
berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau profesional?
Menurut Brameld, ada tiga bagian yang membedakan di dalam aksiologi. Pertama, moral
conduct, tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika. Kedua, esthetic
expression, ekspresi keindahan yang melahirkan estetika. Ketiga, socio-political life, kehidupan
sosio-politik. Bidang ini melahirkan ilmu filsafat sosio-politik.

1. Teori Nilai (Etika)


Problem aksiologis yang pertama berhubungan dengan nilai. Berkaitan dengan masalah nilai
sebenarnya telah dikaji secara mendalam oleh filsafat nilai. Oleh sebab itu dalam kesempatan
kali ini akan dibahas beberapa hal saja yang kiranya penting untuk dipaparkan berkaitan dengan
masalah nilai. Tema-tema yang muncul seputar masalah ini misalnya apakah nilai itu subjektif
atau objektif.
Perdebatan tentang hakikat nilai, apakah ia subjektif atau objektif selalu menarik perhatian. Ada
yang berpandangan bahwa nilai itu objektif sehingga ia bersifat universal. Di mana pun
tempatnya, kapanpun waktunya, ia akan tetap dan diterima oleh semua orang. Ambil misal
mencuri, secara objektif ini salah karena hal itu merupakan perbuatan tercela. Siapa pun
orangnya, di mana pun dan kapanpun pasti akan sepakat bahwa mencuri dan perbuatan tercela
lainnya adalah salah. Jadi nilai objektif itu terbentuk jika kita memandang dari segi objektivitas
nilai.
Sementara jika kita melihat dari segi diri sendiri terbentuklah nilai subjektif. Nilai itu tentu saja
bersifat subjektif karena berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang penilaian yang
diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu. Tentunya penilaian setiap orang berbeda-beda
tergantung selera, tempat, waktu, dan juga latar belakang budaya, adat, agama, pendidikan, yang
memengaruhi orang tersebut. Misalnya bagi orang Hindu tradisi Ngaben (membakar mayat
orang mati) merupakan suatu bentuk penghormatan terhadap orang mati dan bagi mereka hal itu
dianggap baik dan telah menjadi tradisi. Namun bagi orang Islam hal itu diangap tidak baik.
Berhubungan seksual di luar nikah asal atas dasar suka sama suka hal ini tidak menjadi masalah
dan biasa di Barat. Tapi bagi orang Islam hal itu jelas hina, jelek, dan salah. Bagi orang-orang
terdahulu, ada beberapa hal yang dianggap tabu, tidak boleh dilakukan dan tidak pantas tapi hal-
hal tersebut tidak lagi bermasalah bagi orang-orang sekarang ini. Dari sini bisa dilihat bahwa
nilai itu bersifat subjektif tergantung siapa yang menilai, waktu dan tempatnya.
Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang baik dan buruk bukan salah dan benar. Apa yang
baik bagi satu pihak belum tentu baik pula bagi pihak yang lain dan sebaliknya. Apa yang baik
juga belum tentu benar misalnya lukisan porno tentu bagussetiap orang tidak mengingkarinya
kecuali mereka yang pura-pura dan sok bermoraltapi itu tidak benar. Membantu pada dasarnya
adalah baik tapi jika membantu orang dalam tindakan kejahatan adalah tidak benar.
Jadi, persoalan nilai itu adalah persoalan baik dan buruk. Penilaian itu sendiri timbul karena ada
hubungan antara subjek dengan objek. Tidak ada sesuatu itu dalam dirinya sendiri mempunyai
nilai. Susuatu itu baru mempunyai nilai setelah diberikan penilaian oleh seorang subjek kepada
objek. Suatu barang tetap ada, sekalipun manusia tidak ada, atau tidak ada manusia yang
melihatnya. Bunga-bunga itu tetap ada, sekalipun tidaak ada mata manusia yang
memandangnya. Tetapi nilai itu tidak ada, kalau manusia tidak ada, atau manusia tidak
melihatnya. Bunga-bunga itu tidak indah, kalau tidak ada pandangan manusia yang
mengaguminya. Karena, nilai itu baru timbul ketika terjadi hubungan antara manusia sebagai
subjek dan barang sebagai objek.
Namun yang paling penting dari masalah etika adalah implikasi praksisnya. Artinya sesuatu yang
buruk itu seharusnya ditinggalkan sedangkan yang baik seharusnya dilaksanakan. Dengan
demikian ilmu pengetahuan akan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia bukan justru
malah mengancam eksistensi manusia itu sendiri.
Jika kita melihat fenomena yang ada sekarang inidunia modernbagaimana sebuah ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) banyak yang disalahgunakan untuk tujuan-tujuan kejahatan.
Misalnya saja dalam kejahatan perang. Banyak kasus yang bisa kita utarakan berkaitan dengan
masalah ini seperti Perang Dunia, Perang Teluk, Perang Vietnam hingga perseturuan antara
Palestina dan Israel yang tidak ada henti-hentinya. Mereka yang secara persenjataan lebih maju
seolah dengan alasan pembelaan membenarkan tindakan pengeboman dan pembantaian masal di
mana seringkali korbannya adalah warga sipil. Tindakan seperti ini tentu tidak bisa dibenarkan,
tak berperikemanusiaan dan amoral. Selain itu juga misalnya pembuatan senjata nuklir dan
senjata pemusnah masal yang jelas sekali mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Itu adalah
sekedar contoh dari pemanfaatan teknologi yang tidak tepat guna. Tentunya masih banyak yang
lainnya. Oleh sebab itu aksiologi dalam hal ini berfungsi untuk memberikan tuntunan bagaimana
suatu hal itu bisa digunakan secara tepat guna.
Memang segala sesuatu itutermasuk implikasi kemajuan di bidang ilmu pengetahuan
mempunyai dampak negatif dan positif. Tapi sebenarnya dampak yang negatif itu bisa dihindari
atau setidaknya diminimalisir. Semua itu adalah demi kepentingan kehidupan manusia itu
sendiri.
2. Estetika
Estetika (aesthetica) mula-mula berarti teori tentang pencerapan penghayatan pengalaman indera,
sesuai dengan istilah Kant dengan transzendentale asthetik (teori tentang susunan penghayatan
panca-indra dalam ruang dan waktu, berlawanan dengan transzendentale logic: pengetahuan
rasional dan penuturan). Perlawanan yang dikemukakan oleh Kant itu juga dinyatakan oleh
Baumgarten.
Ia menempatkan logika sebagai teori pemakaian pemikiran yang benar dan estetika sebagai teori
tentang penghayatan sempurna panca-indera. Masalah yang timbul tentang estetika yang
dihadapi oleh banyak ahli pikir semenjak Plato dan Aristoteles ialah pernyataan tentang hakikat
keindahan dan seni. Dengan demikian seluruh lapangan nilai, dalam mana keindahan dan seni
merupakan bagiannya, dinamakan lapangan estetika, dikordinasikan dengan logika dan estetika.
Estetika dalam pengertian baru itu diapakai oleh Kant dan Schiller sehingga menjadi umum di
Jerman, meluas ke dalam pemakaian internasional.
Perdebatan lain yang menarik perhatian berkaitan dengan masalah estetika adalah tentang
keindahan, apakah keindahan itu sesuatu yang sifatnya objektif atau subjektif? Jika teori tentang
nilai mengatakan bahwa persoalan nilai itu adalah masalah yang subjektif maka sebaliknya
dengan persoalan estetika. Persoalan estetika lebih berpihak pada pandangan objektivisme.
Artinya bahwa keindahan itu merupakan sifat yang objektif yang dimiliki oleh suatu benda. Ia
bukanlah penilain subjektif seseorang. Diantara yang berpandangan seperti ini adalah Hegel.
Hegel menganggap bahwa seluruh alam adalah manifestasi dari Cita Mutlak, Absolut Idea.
Keindahan adalah pancaran Cita Mutlak melalui saluran indera. Ia adalah sejenis pernyataan ruh.
Seni, agama dan filsafat merupakan tingkat-tingkat tertinggi dari perkembangan ruh.
Sedangkan Kant memberikan arah yang baru sama sekali dalam mencari keterangan tentang
estetika. Dengan Kant dimulailah studi ilmaih dan psikologi tentang teori estetika. Ia mengatakan
dalam The Critique of Judgement bahwa akal memiliki indera ketiga di atas pikiran dan
kemauan. Itulah inder rasa. Yang khas pada rasa atau kesenangan estetika ialah ia tidak
mengandung kepentingan. Ini membedakannya daripada kesenangan-kesenangan yang lain yang
mengandung unsur keinginan atau terlibat dalam kepentingan pribadi atau hayat. Gula misalnya
tidaklah indah tapi dikehendaki. Kita menginginkannya untuk menikmatinya. Demikian pula
tindakan moral tidal indah. Ia adalah baik. Kita menyetujuinya karena kepadanya kita
mempunyai kepentingan. Sebaliknya dengan keindahan. Selalu Ia merupakan objek kepuasan
yang tidak mengandung kepentingan, berbeda dari keinginan-keinginan yang lain. Indah,
sekalipun ruhaniah adalah objektif. Karena itu ia selalu merupakan objek penilaian. Kita
mengatakan: Barang ini indah. Hal ini menunjukkan bahwa keindahan itu merupakan sifat
objek, tidak hanya sekedar selera yang subjektif. Demikianlah teori Kant.
Di dalam Islam sendiri konsep keindahan itu sangat jelas sekali. Sumber keindahan itu bahkan
bersumber dari Ilahi. Dikatakan bahwa Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan.
Demikian juga alam sebagai ciptaannya merupakan sesutau yang indah dan menakjubkan.
Bagaimana kita seringkali mengagumi keindahan alam yang ada di sekitar kita. Hal ini
merupakan sebuah ekspresi nyata yang sering kali kita ungkapkan. Artinya suatu nilai estetika
benar-benar merupakan sesuatu yang objektif bukan subjektif sebagaimana nilai etika.

3. Sosio Politik
Bagian ketiga dari aksiologi adalah tentang sosio-politik. Sosio-politik ini merupakan ilmu
praksis. Yang pertama mengenai ilmu sosial, dalam hal ini ia berfungsi sebagai ilmu yang
mengatur bagaimana manusia hidup bermasyarakat. Hanya saja ia mempunyai concern yang
lebih spesifik yaitu berkaitan dengan masalah tindakan manusia atau bagaimana manusia itu
harus bergaul, berinteraksi antara yang satu dengan yang lain. Manusia sebagai makhluk sosial
pasti tidak bisa dilepaskan dari manusia yang lain untuk mempertahankan hidup. Artinya mereka
saling membutuhkan satu sama lain. Dalam perkembagannya, ilmu sosial ini nantinya akan
menjadi disiplin ilmu trsendiri yaitu sosiologi.
Berbicara tentang ilmu sosial tentu juga tidak bisa dilepaskan dari yang namanya ilmu ekonomi
karena masalah sosial juga mencakup masalah ekonomi. Misalnya bagaimana manusia
membutuhkan keberadaan manusia yang lain untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Ekonomi dalam tradisi ilmiah Islam, sebagaimana dipahami juga di dalam tradisi Yunani, harus
dipahami sebagai manajemen rumah tangga (tadbir al-manzil), yang tujuannya adalah memberi
bimbingan kepada semua anggota keluargaterutama anggota keluarganyatentang berbagai
masalah yang berkaitan dengan pengelolaan rumah tangga. Jadi bukan dalam arti ekonomi
makro atau ekonomi perusahaan seperti yang layaknya dipelajari pada masa sekarang di sekolah-
sekolah. Karena itu sebagaimana etika memberikan petunjuk-petunjuk praktis bagaimana
bertindak sebaik mungkin sebagai individu, demikian juga ekonomi memberikan bimbingan
praktis bagaimana bertindak sebaik mungkin sebagai anggota keluarga.
Berkaitan dengan masalah manajemen rumah tangga juga adalah bagaimana caranya mencari
nafkah yang halal, cara menyimpannya, membelanjakannya dan sebagainya. Bahkan juga
dibahas bagaimana mencari pembantu yang baik, apa kriteria pembantu yang baik dan
bagaimana sikap kita terhadapnya. Yang tidak kalah pentingnya dalam membangun sebuah
rumah tangga adalah bagaimana mencari istri yang baik. Karena istri merupakan tiang dari
sebuah rumah tangga itu sendiri. Demikian juga dibahas alasan-alasan apa yang menyebabkan
seseorang butuh rumah tangga. Apa prinsip-prinsipnya dan hal apa saja yang diperlukan dalam
pengelolaan sebuah rumah tangga.
Selanjutnya adalah masalah politik. Sebagaimana etika dan ekonomi, politik juga dipandang
dalam tradisi ilmiah Islam, sebagai ilmu praktis, yang tujuannya member bimbingan kepada
manusia, bagaimana menjadi manusia sebaik-baiknya sebagai seorang anggota masyarakat atau
dengan kata lain sebagai makhluk sosial. Ilmu politik ini terutama penting sekali bagi para
pemimpin masyarakat ataupun pemerintah, karena Ia juga memberi kita arahan tentang
bagaimana memerintah atau mengelola masyarakat yang dipimpinnya.
Masalah politik juga menyangkut masalah kenegaraan sehingga ia juga berbicara tentang
bagaimana mencari seorang pemimpin yang baik dan adil. Apakah kualifikasinya. Demikian
juga dibahas tipe-tipe negara. Misalnya ada negara utama dan tidak utama. Negara utama hanya
punya satu jenis saja sedangkan negara tidak utama ada yang disebut negara bodoh, negara yang
durjana dan negara yang keliru.

III. Penutup
Dari uraian di atas kita bisa mengetahui betapa luasnya objek kajian filsafat mulai dari masalah
ontologis, epistemologis hingga aksiologis. Tiga cabang utama filsafat tersebut merupakan
masalah yang paling fundamental dalam kehidupan. Ia memberikan sebuah kerangkan berpikir
yang sangat sistematis. Hal itu dikarenakan ketiganya merupakan proses berpikir yang diawali
dengan pembahasan Apa itu kebenaran?, Bagaimana mendapatkan kebenaran?, dan Untuk
apa kebenaran tersebut (aplikasinya) dalam kehidupan sehari-hari?
Hal tersebut mengindikasikan bahwa filsafat layak dikatakan sebagai induk dari semua ilmu
pengetahuan. Perkembangan ilmu-ilmu lain akan mengalami hambatan tanpa peranan filsafat.
Hal itu dikarenakan semua permasalah mendasar dari seluruh ilmu adalah problem filosofis. Hal
tersebut harus segera dipecahkan sebagai langkah awal untuk menyelesaikan permasalahan-
permasalahan sekunder. Dengan kata lain, pada dasarnya semua ilmu pengetahun tidak terlepas
dari tiga problem filosofis tersebut (ontologis, epistemologis dan aksiologis). Artinya semua ilmu
pengetahuan pasti berbicara tentang apa yang menjadi objek kajiannya, bagaimana cara
mengetahuinya dan apa manfaatnya buat kehidupan manusia.
Demikianlah makalah singkat, yang mengangkat tema fundamental dalam dunia filsafat, ini.
Kami mengharapkan tulisan ini bisa menjadi bahan pertimbangan demi perkembangan pemikiran
manusia. Sehingga, buah pemikiran tersebut dapat melahirkan peradaban besar. Perbedaan
pendapat berkaitan dengan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi di kalangan filosof semata
karena berdasaekan pada aliran filsafat yang mereka anut. Tetapi, semua itu harus kita apresiasi
karena merupakan tahapan pencarian kebenaran yang hakiki. Hal itu dikarenakan ilmu
pengetahun berbicara tentang peluang dan prediksi. Walaupun, sesungguhnya terdapat kebenaran
absolut, tetapi hanya Realitas Absolut yang mengetahui hal itu. Kita sebagai manusia yang
memiliki akal dan hati nurani hanya berupaya mencapai kebenaran tersebut sampai akhir hayat
dan mengaplikasikannya untuk kemaslahatan umat manusia.

Landasan Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Dalam Filsafat Ilmu


Oleh Husnan Sulaiman, S. Pd. & Munasir, S.Pd.

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia dewasa ini tidak terlepas dari peran ilmu.
Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan seiring
dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Tahap-tahap itu kita menyebut dalam konteks
ini sebagai priodesasi sejarah perkembangan ilmu; sejak dari zaman klasik, zaman pertengahan,
zaman modern dan zaman kontemporer.
Kemajuan ilmu dan teknologi dari masa ke masa ibarat mata rantai yang tidak terputus satu sama
lain. Hal-hal baru yang ditemukan suatu masa menjadi unsur penting bagi penemuan-penemuan
lainnya di masa berikutnya. Satu hal yang tak sulit untuk disepakati, bahwa hampir semua sisi
kehidupan manusia modern telah disentuh oleh berbagai efek perkembangan ilmu dan teknologi,
sektor ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan, sosial dan budaya, komunikasi dan
transportasi, pendidikan, seni, kesehatan, dan lain-lain, semuanya membututuhkan dan mendapat
sentuhan teknologi.
Satu hal lain yang menjadi karakter spesifik ilmu kontemporer, dan dalam konteks ini dapat kita
temukan secara relatif lebih mudah pada bidang-bidang sosial, yaitu bahwa ilmu kontemporer
tidak segan-segan melakukan dekontruksi dan peruntuhan terhadap teori-teori ilmu yang pernah
ada untuk kemudian menyodorkan pandangan-pandangan baru dalam rekontruksi ilmu yang
mereka bangun. Dalam hal inilah penyebutan potmodernisme dalam bidang ilmu dan filsafat
menjadi diskursus yang akan cukup banyak ditemukan.
Semua kemajuan tersebut adalah buah dari perkembangan ilmu pengetahuan yang tak pernah
surut dari pengkajian manusia. Pengetahuan berawal dari rasa ingin tahu kemudian seterusnya
berkembang menjadi tahu. Manusia mampu mengembangkan pengetehuan disebabkan oleh dua
hal utama; yakni, pertama manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan
informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua, yang menyebabkan
manusia mampu mengembangkan pengetahuannya dengan cepat adalah kemampuan berfikir
menurut suatu alur kerangka berfikir tertentu.
Pengetahuan (knowlodge atau ilmu) adalah bagian yang esensial-aksiden manusia, karena
pengetahuan adalah buah dari berfikir. Berfikir (atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia
(atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya, yaitu hewan. Dan sebenarnya
kehebatan manusia dan barangkali keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena
pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya.
Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia? Bagaimana manusia berpengetahuan?
Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan? Kemudian apakah yang
diketahui itu benar? Dan apa yang menjadi tolak ukur kebenaran? Bagaimana kebenaran itu
diaplikasikan?
Sederetan pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan ini
sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika
masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu, maka akan ada aturan yang harus
diperhatiakan dalam mengkajinya melalui landasan-landasan atau dasar-dasar ilmu, yaitu
landasan ontologi, landasan epistemologi, dan landasan aksiologi. Dengan demikian dapat
memberikan pemahaman tentang suatu kerangka pendekatan pencarian kebenaran, proses yang
ditempuh dalam pencarian kebenaran tersebut dan sejauhmana kebenaran itu dapat dikatakan
bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Oleh karena itu, permasalahan tersebut perlu diuraikan lebih lanjut melalui tema : Landasan
Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Dalam Filsafat Ilmu.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan beberapa permasalahan di atas, maka dapat diambil suatu formulasi yang kemudian
dirumuskan sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan landasan ontologi?


2. Apa yang dimaksud dengan landasan epistemologi?
3. Apa yang dimaksud dengan landasan aksiologi?
4. Bagaimana hubungan antara ketiga landasan tersebut?

C. Tujuan Penulisan
Dari perumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui makna landasan ontologi


2. Untuk mengetahui makna landasan epistemologi
3. Untuk mengetahui makna landasan aksiologi
4. Untuk mengetahui hubungan ke tiga landasan tersebut

D. Metode Penulisan

Makalah ini disusun dengan menggunakan metode deskriptif analisis dan kajian pustaka.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan makalah ini terdiri dari: BAB I Pendahuluan, berisi latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sestematika penulisan;
BAB II Pembahasan, berisi landasan ontologi, landasan epistemologi, landasan aksiologi dan
hubungan ke tiga landasan tersebut dalam filsafat ilmu. BAB III berisi tentang kesimpulan, yang
memaparakan makna dan kegunaan memahami ketiga landasan pendekatan dalam suatu
pengkajian ilmu, yakni; Landasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.

BAB II
LANDASAN ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI
DALAM FILSAFAT ILMU

A. Landasan Ontologi
Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Dari
aliran ini muncul empat macam aliran filsafat, yaitu : (1) aliran Materialisme; (2) aliran
Idealisme; (3) aliran Dualisme; (4) aliran Agnoticisme.
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno.
Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukan munculnya perenungan di bidang ontologi.
Dalam persolan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat
dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan.
Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa
rohani (kejiwaan).
Pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin
adalah realitas; realita adalah ke-real-an, riil artinya kenyataan yang sebenarnya. Jadi hakikat
adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara atau keadaan yang menipu,
juga bukan kenyataan yang berubah.
Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab apa yang menurut
Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Kata
ontologis berasal dari perkataan Yunani; On = being, dan logos = logic. Jadi ontologi adalah the
theory of being qua being ( teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). Sedangkan pengertian
ontologis menurut istilah , sebagaimana dikemukakan oleh S. Suriasumantri dalam Pengantar
Ilmu dalam Prespektif mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa
jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang ada.
Sementara itu, A. Dardiri dalam bukunya Humaniora, filsafat, dan logika mengatakan, ontologi
adalah menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di
mana entitas dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisis, hal universal,
abstraksi) dapat dikatakana ada; dalam kerangka tradisional ontologi dianggap sebagai teori
mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaiannya akhir-akhir ini
ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M. Untuk
menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangannya
Christian Wolff (1679-1754 M) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan
metafisika khusus. Metrafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedang metafisika khusus
masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.
Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam semesta.
Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang jiwa manusia.
Teologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan.
Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran
sebagai berikut :
1. Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja,
tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang asal berupa materi
ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri.
Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian
terebagi ke dalam dua aliran:
a. Materialisme. Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani.
Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Mernurutnya bahwa zat mati merupakan
kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi, yang lainnya jiwa atau ruh tidaklah
merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri. Jiwa dan ruh merupakan akibat saja dari proses
gerakan kebenaran dengan dengan salah satu cara tertentu. Alasan mengapa aliran ini
berkembang sehingga memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah:

Pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan yang dapat diraba, biasanya dijadikan
kebenaran terakhir.
Pikiran sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar ruang yang abstrak.
Penemuan-penemuan menunjukan betapa bergantungnya jiwa pada badan.

Oleh sebab itu, peristiwa jiwa selalu dilihat sebagai peristiwa jasmani. Jasmani lebih menonjol
dalam peristiwa ini.
Dalam sejarahnya manusia memang bergantung pada benda seperti pada padi. Dewi Sri dan
Tuhan muncul dari situ. Kesemuanya itu memperkuat dugaan bahwa yang merupakan haklekat
adalah benda.

b. Idealisme
Aliran idealisme dinamakan juga spiritualisme. Idealisme bderarti serba cita sedang spiritualisme
berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata Idea, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran
ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh
(sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang.
Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan ruhani.
Alasan aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit atau sebangsanya
adalah:

Nilai ruh lebih tinggi daripada badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupoan
manusia. Ruh itu dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya. Sehingga materi hanyalah
badannya bayangan atau penjelmaan.
Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya.
Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi
itu saja.
Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui pada ajaran plato (428-348 SM) dengan teori
idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti ada idenya, yaitu konsep universal
dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan
saja dari alam ide itu. Jadi idealah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud
sesuatu.
2. Dualisme
Dualisme adalah aliran yang mencoba memadukan antara dua paham yang saling bertentangan,
yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi maupun ruh sama-sama
merupakan hakikat. Materi muncul bukan karena adanya ruh, begitu pun ruh muncul bukan
karena materi. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya aliran ini masih memiliki masalah dalam
menghubungkan dan menyelaraskan kedua aliran tersebut di atas. Sebuah analogi dapat kita
ambil misalnya tentang jika jiwa sedang sehat, maka badan pun akan sehat kelihatannya.
Sebaliknya jika jiwa seseorang sedang penuh dengan duka dan kesedihan biasanya badanpun
ikut sedih, terlihat dari murungnya wajah orang tersebut.
Aliran dualisme berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal
sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Sama-sama
hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan
abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas
tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini dalam diri manusia. Tokoh paham ini adalah
Descrates (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua
hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).

3.Pluralisme
paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme
bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata.
Pluralisme dalam Dictonary of Philosophy and Religion dikataka sebagai paham yang
menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua
entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah anaxagoras dan Empedocles yang
menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api,
dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M). Kelahiran New York
dan terkenal sebagai seorang psikolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of
Truth James mengemukakan, tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat
tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal.

4. Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sdebuah doktrin yang
tidak mengakui validitas alternatif positif. Tokoh aliran ini diantaranya adalah Fredrich
Nietzsche (1844-1900 M). Dilahirkan di Rocken di Pursia, dari keluarga pendeta. Dalam
pandangannya bahwa Allah sudah mati, Allah Kristiani dengan segala perintah dan
larangannya sudah tidak merupakan rintangan lagi. Dunia terbuka untuk kebebasan dan
kreativitas manusia. Dan pada kenyataannya moral di Eropa sebagian besar masih bersandar
pada nilai-nilai kristiani. Tetapi tidak dapat dihindarkan bahwa nilai-nilai itu akan lenyap.
Dengan demikian ia sendiri harus mengatasi bahaya itu dengan menciptakan nilai-nilai baru,
dengan transvaluasi semua nilai.

5. Agnotisisme
adalah paham yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu
dibalik kenyataannya. Manusia tidak mungkinmengetahui hakikat batu, air, api dan sebagainya.
Sebab menurut aliran ini kemampuan manuisa sangat terbatas dan tidak mungkin tahu apa
hakikat tentang sesuatu yang ada, baik oleh inderanya maupun oleh pikirannya.
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengakui hakikat benda. Baik hakikat
materi maupun hakikat ruhani. Timbul aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal
dan mampu menerangkan secara konkrit akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat
kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang
bersifat trancedent. Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya
seperti, Sren Kierkegaar, Heidegger, Sartre, dan Jaspers. Soren Kierkegaard (1813-1855) yang
terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme menyatakan, manusia tidak
pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan
tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.
Jadi agnostisisme adalah paham pengingkaran atau penyangkalan terhadap kemampuan manusia
mengetahui hakikat benda materi maupun rohani. Aliran ini mirip dengan skeptisisme yang
berpendapat bahwa manusia diragukan kemampuannya mengetahui hakikat bahkan menyerah
sama sekali.

B. Landasan Epistemologi
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theori of knowledge). Secara etomologi, istilah
etomologi berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan logos = teori. Epistemologi
dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur,
metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam metafisika, pertanyaan pokoknya adalah
apakah ada itu?, sedangkan dalam epistemologi pertanyaan pokoknya adalah apa yang dapat
saya ketahui?
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah:
(1) Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?
(2) Dari mana pengtahuan itu dapat diperoleh?
(3) Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinilai?
(4) Apa perbedaan antara pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman) dengan
pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman).
Epistemologi meliputi sumber, sarana, dan tatacara menggunakan sarana tersebut untuk
mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologik akan dengan
sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal
(Verstand), akal budi (Vernunft), pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman,
intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dengan epistemologik, sehingga dikenal dengan
adanya model-model epiostemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau
rasinalisme kritis, positivisme, fenomonologis dengan berbagai variasinya. Pengetahuan yang
diperoleh oleh manusia melalui akal, indera, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam
teori pengetahuan, di antaranya adalah:
1. Metode Induktif
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyatan hasil observasi
disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Yang bertolak dari pernyataan-
pernyataan tunggal sampai pada pernyataan-pernyataan universal.
Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal lain, seperti ilmu
mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi, ia mengembang, bertolak dari teori ini kita akan
tahu bahwa logam lain yang kalau dipanasi juga akan mengembang. Dari contoh di atas bisa
diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut sintetik.
2. Metode Deduktif
Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut
dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah
adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk
logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada
perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara
empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
3. Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang
telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/persoalan di luar
yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, iamenolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif,
adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat
dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
4. Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh
pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan
sutu kemampuanakal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini
bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh Al-Ghazali.
5. Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan
filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato mengartikannya diskusi logika. Kini
dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan,
juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.

C. Landasan Aksiologi
Pengertian aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang
berarti teori. Jadi aksiologi adalah Teori tentang nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori
tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan
pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Arti kedua, merupakan
suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-
manusia lain. Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari
tingkah laku manusia baik buruk. Sedangkan estetika berkaitan denganj nilai tentang pengalaman
keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul
dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal,
kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya
tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini
bersifat psikis atau fisis. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai
pandangan yang dimilki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas, dan hasil nilai
subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif
muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini
beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar
secara realitas benar-benar ada.
Nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan harus bebas dalam menentukan topik
penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan
dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwan bekerja, dia hanya tertuju
pada kerja proses ilmiah dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya
menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti; agama, adat
istiadat.
Tetapi perlu disadari setiap penemuan ilmu pengetahuan bisa berdampak positif dan negatif.
Dalam hal ini ilmuwan terbagi dua golongan pendapat. Golongan pertama berpendapat mengenai
kenetralan ilmu. Ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain
untuk menggunakannya. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai
hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah
berlandaskan nilai-nilai moral, sebagai ukuran kepatutannya.

D. Hubungan Antara Landasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Dalam


Filsafat Ilmu
Istilah ilmu sudah sangat populer, tetapi seringkali banyak orang memberikan gambaran yang
tidak tepat mengenai hakikat ilmu. Terlebih lagi bila pengertian ini dikaitkan dengan berbagai
aspek dalam suatu kegiatan keilmuan, misalnya matematika, logika, penelitian dan sebagainya.
Apakah bedanya ilmu pengetahuan [science] dengan pengetahuan [knowledge] ? Apakah
karakter ilmu ? apakah keguanaan ilmu ? Apakah perbedaan ilmu alam dengan ilmu sosial ?
apakah peranan logika ? Dimanakah letak pentingnya penelitian ? apakah yang disebut metode
penelitian? Apakah fungsi bahasa ? Apakah hubungan etika dengan ilmu.
Manusia berfikir karena sedang menghadapi masalah, masalah inilah yang menyebabkan
manusia memusatkan perhatian dan tenggelam dalam berpikir untuk dapat menjawab dan
mengatasi masalah tersebut, dari masalah yang paling sumir/ringan hingga masalah yang sangat
"Sophisticated"/sangat muskil.
Kegiatan berpikir manusia pada dasarnya merupakan serangkaian gerak pemikiran tertentu yang
akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan [knowledge]. Manusia
dalam berpikir mempergunakan lambang yang merupakan abstraksi dari obyek. Lambang-
lambang yang dimaksud adalah "Bahasa" dan "Matematika". Meskipun nampak banyaknya serta
aneka ragamnya buah pemikiran itu namun pada hakikatnya upaya manusia untuk memperoleh
pengetahuan didasarkan pada tiga landasan pokok yakni : Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.
a. Landasan Ontologi
Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui. Apa yang ingin diketahui oleh ilmu?
atau dengan perkataan lain, apakah yang menjadi bidang telaah ilmu?
Suatu pertanyaan:
- Obyek apa yang ditelaah ilmu ?
- Bagaiman wujud yang hakiki dari obyek tersebut ?
- Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia [seperti berpikir, merasa
dan mengindera] yang membuahkan pengetahuan.
[inilah yang mendasari Ontologi].
Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling
kuno. Awal mula alam pikiran orang Barat sudah menunjukkan munculnya perenungan di
bidang ontologi. Pada dasarnya tidak ada pilihan bagi setiap orang pemilihan antara
kenampakan[appearance] dan kenyataan[reality]. Ontologi menggambarkan istilah-istilah
seperti: yang ada[being], kenyataan [reality], eksistensi[existence], perubahan [change],
tunggal[one]danjamak[many].
Ontologi merupakan ilmu hakikat, dan yang dimasalahkan oleh ontologi adalah: Apakah
sesungguhnya hakekat realitas yang ada rahasia alam di balik realita itu?
Ontologi membahas bidang kajian ilmu atau obyek ilmu. Penentuan obyek ilmu diawali dari
subyeknya. Yang dimaksud dengan subyek adalah pelaku ilmu. Subyek dari ilmu adalah
manusia; bagian manusia paling berperan adalah daya pikirnya.
Adapun yang menjadi dasar ontologi adalah Apakah yang ingin diketahui ilmu atau apakah
yang menjadi bidang telaah ilmu?. Ilmu membatasi diri hanya pada kejadian yang bersifat
empiris, mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindera manusia atau
yang dapat dialami langsung oleh manusia dengan mempergunakan pancainderanya. Ruang
lingkup kemampuan pancaindera manusia dan peralatan yang dikembangkan sebagai pembantu
pancaindera tersebut membentuk apa yang dikenal dengan dunia empiris. Dengan demikian
obyek ilmu adalah dunia pengalaman indrawi. Ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian yang
bersifat empiris.
Pengetahuan keilmuan mengenai obyek empiris ini pada dasarnya merupakan abstraksi yang
disederhanakan. Penyederhanaan ini perlu sebab kejadian alam sesungguhnya sangat kompleks.
Ilmu tidak bermaksud "memotret" atau "mereproduksi" suatu kejadian tertentu dan
mengabstaraksikannya kedalam bahasa keilmuan. Ilmu bertujuan untuk mengerti mengapa hal
itu terjadi, dengan membatasi diri pada hal-hal yang asasi. Atau dengan perkataan lain, proses
keilmuan bertujuan untuk memeras hakikat empiris tertentu, menjangkau lebih jauh dibalik
kenyatan-kenyataan yang diamatinya yaitu kemungkinan-kemungkinan yang dapat diperkirakan
melalui kenyataan-kenyataan iru. Disinilah manusia melakukan transendensi terhadap realitas.
Untuk mendapatkan pengetahuan ini ilmu membuat beberapa andaian [asumsi] mengenai obyek-
obyek empiris. Asumsi ini perlu, sebab pernyataan asumstif inilah yang memberi arah dan
landasan bagi kegiatan penelaahan kita.
Ilmu memiliki tiga asumsi mengenai obyek empirisnya :
- Asumsi pertama : Asumsi ini menganggap bahwa obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan
satu sama lain misalnya dalam hal bentuk struktur, sifat dsb. Klasifikasi [taksonomi] merupakan
pendekatan keilmuan pertama terhadap obyek.
- Asumsi kedua : Asumsi ini menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam
jangka waktu tertentu (tidak absolut tapi relatif ). Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari
tingkah laku suatu obyek dalam keadaan tertentu. Ilmu hanya menuntut adanya kelestarian yang
relatif, artinya sifat-sifat pokok dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu.
Dengan demikian memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap obyek
yang sedang diselidiki.
- Asumsi ketiga : Asumsi ini menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang
bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan
urutan/sekuensial kejadian yang sama. Misalnya langit ,mendung maka turunlah hujan.
Hubungan sebab akibat dalam ilmu tidak bersifat mutlak. Ilmu hanya mengemukakan bahwa "X"
mempunyai kemungkinan[peluang] yang besar mengakibatkan terjadinya "Y". Determinisme
dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang [probabilistik]. Statistika
adalah teori peluang.

b. Landasan Epistemologi
Epistemologi mempermasalahkan kemungkinan mendasar mengenai pengetahuan[very
possibility of knowledge]. Dalam perkembangannya epistemology menampakkan jarak yang
asasi antara rasionalisme dan empirisme, walaupun sebenarnya terdapat kecenderungan
beriringan. Landasanepistemology tercermin secara operasional dalam metode ilmiah . Pada
dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuan
dengan berdasarkan :
1. Kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang konsisten dengan
pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun;
2. Menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka tersebut dan melakukan
verifikasi terhadap hipotesis termaksud dengan menguji kebenaran pernyataan secara factual.
Suatu Pertanyaan :
- Bagaiman proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ?
- Bagaimana prosedurnya ?
- Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar ?
- Apa yang disebut kebenaran itu sendiri ?
- Apakah kriterianya ?
- Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu
?
Inilah kajian epistemologi
DASAR EPISTEMOLOGI ILMU
Epistemologi atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat
dalam usaha kita memperoleh pengetahuan.
Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode
keilmuan. Ilmu lebih bersifat kegiatan dinamis tidak statis. Setiap kegiatan dalam mencari
pengetahuan tentang apapun selama hal itu terbatas pada obyek empiris dan pengetahuan
tersebut diperoleh dengan mempergunakan metode keilmuan, adalah sah disebut keilmuan.
Hakikat keilmuan tidak berhubungan dengan "titel" atau "gelar akademik", profesi atau
kedudukan, hakikat keilmuan ditentukan oleh cara berpikir yang dilakukan menurut persyaratan
keilmuan.

c. Landasan Aksiologi
Permasalahan aksiologi meliputi sifat nilai, tipe nilai, kriteria nilai, status metafisika nilai. Pada
adasarnya ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan
sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup manusia dan kesejahteraannya dengan menitik
beratkan pada kodrat dan martabat.
Untuk kepentingan manusia, maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun dan dipergunakan
secara komunal dan universal.
Suatu pertanyaan :
- Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan ? bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah moral ?
- Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
- Bagaimana kaitan atau hubungan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi
metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?.
Pertanyaan-pertanyaan di atas, merupakan bagian dari makna pengkajian aksiologi terhadap hasil
akhir pencapaian suatu telaah ilmu pengetahuan, dengan tujuan untuk memberikan hasil yang
terbaik bagi manfaat yang dapat memberikan kemaslahatan bagi umat manusia.

BAB III
KESIMPULAN
Pengkajian terhadap suatu bidang pengetahuan harus dibangun dari fondasi filsafat yang kuat,
jelas, terarah, sistematis, berdasarkan norma-norma keilmuan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Filsafat ilmu merupakan kajian yang dilakukan secara mendalam mengenai dasar-dasar ilmu.
Pendekatan yang digunakan dalam menguak landasan-landasan atau dasar-dasar ilmu adalah
melalui tiga hal. Pertama, pendekatan ontologi, yaitu ilmu yang mengkaji tentang hakikat. Teori
hakikat pertama kali dikemukakan oleh filsuf Thales yang mengatakan bahwa hakikat segala
sesuatu itu adalah air. Kemudian dalam perkembangannya, bermuncullah paham-paham tentang
ontologi meliputi monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnotisisme. Kedua,
pendekatan epistemologi, yaitu cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber,
struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam menemukan sumber pengetahuan
itu terdapat beberapa metode yaitu induktif, deduktif, positivisme, kontemplatif, dan dialektis.
Ketiga, pendekatan aksiologi, yaitu teori tentang nilai (etika dan estetika). Pada adasarnya ilmu
harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana
untuk meningkatkan taraf hidup manusia dan kesejahteraannya dengan menitik beratkan pada
kodrat dan martabat manusia itu sendiri, maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun dan
dipergunakan secara komunal dan universal.
Ketiga pendekatan ini harus bisa menjawab hal-hal berikut :
Bagaimana hakikat dari sesuatu yang ditelaah?
Bagaimana cara-cara memahami pengetahuan, langkah-langkahnya, sumbernya dan
metodologinya?
Bagaimana urgensi, nilai dan kegunaan dari sesuatu itu?
Ke tiga landasan di atas merupakan dasar pijakan yang sangat penting untuk dipahami dalam
mendalami dasar-dasar segala ilmu pengetahuan. Karena ke tiganya saling berkaitan erat satu
sama lain sebagai titik tolak dalam pencapaian kajian hakekat kebenaran ilmu.

Anda mungkin juga menyukai