Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Idiophatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) merupakan kelainan hematologi

yang umum terjadi dengan karakteristik penurunan jumlah platelet dalam darah

perifer. Keadaan ini berhubungan dengan kelainan autoimun yang menyebabkan

peningkatan kecepatan destruksi platelet dan tidak optimalnya produksi platelet.

Penurunan jumlah platelet terjadi <150x109/L tanpa ada penyebab atau kelainan yang

lain, dimana jumlah platelet normal antara 150-450x109/L. Penyebab pasti dari

kelainan ini belum diketahui namun sebagian besar disebabkan oleh proses imun,

karena itu disebut juga sebagai autoimmune thrombocytopenic purpura.

The American Society of Hematology (2011) mendefinisikan ITP sebagai

kelainan autoimun yang dicirikan dengan destruksi immunologis terhadap trombosit

normal yang biasanya terjadi terhadap stimulus yang tidak diketahui. ITP dicirikan

dengan trombositopenia persisten (trombosit < 150 x 109/ L). Kelainan ini dahulu

dianggap merupakan suatu golongan penyakit dan disebut dengan berbagai nama

misalnya morbus makulosus Werlhofi, sindrom hemogenik, purpura trombositolitik.

Disebut idiopatik ialah untuk membedakan dengan kelainan hematologis lain seperti

misalnya anemia, kelainan leukosit. Pada ITP biasanya tidak disertai anemia atau

kelainan lainnya kecuali bila banyak darah yang hilang karena perdarahan.

Ada dua tipe ITP berdasarkan kalangan penderita. Tipe pertama umumnya

menyerang kalangan anak-anak, sedangkan tipe lainnya menyerang orang dewasa.

Anak-anak berusia 2 hingga 4 tahun yang umumnya menderita penyakit ini.

Page | 1
Sedangkan ITP untuk orang dewasa, sebagian besar dialami oleh wanita muda, tapi

dapat pula terjadi pada siapa saja. ITP bukanlah penyakit keturunan. (Family Doctor,

2006).

ITP juga dapat dibagi menjadi dua, yakni akut ITP dan kronik ITP. Batasan yang

dipakai adalah waktu jika dibawah 6 bulan disebut akut ITP dan diatas 6 bulan disebut

kronik ITP. Akut ITP sering terjadi pada anak-anak sedangkan kronik ITP sering

terjadi pada dewasa. (Imran, 2008).

ITP terjadi baik pada laki-laki maupun pada perempuan. Diperkirakan terjadi

pada 3.3/100.000 dewasa/tahun. Insiden pada dewasa meningkat seiring dengan

bertambahnya usia, antara usia 18 sampai 65 tahun dan pada perempuan lebih

banyak dibandingkan dengan laki-laki. ITP pada anak diperkirakan terjadi antara

1,9-6,4/100.000 anak setiap tahunnya. ITP pada anak distribusinya hampir sama

antara laki-laki (52%) dan perempuan (48%). Puncak prevalen terjadi pada

anak-anak usia 2 hingga 4 tahun. Munculnya perdarahan merupakan komplikasi

yang serius, terutama perdarahan intrakranial. Angka kematian akibat perdarahan

diperkirakan sebesar 1% pada anak-anak dan 5% pada dewasa.

ITP diperkirakan menjadi salah satu penyebab kelainan perdarahan dengan

insidens simptomatik berkisar 3 sampai 8 per 100.000 anak per tahun, ITP terjadi

pada anak usia 2-4 tahun dengan insiden 4-8 kasus per 100.000 per tahun di

antaranya 80-90% anak dengan ITP menderita perdarahan akut, 25-30% ditemukan

ITP refrakter pada penderita ITP dengan angka mortalitas 16% (Pratama, 2015;

Sudoyo, dkk, 2009). Di RSUD Pandan Arang Boyolali pada tahun 2015 tercatat

terdapat 11 anak dari 1869 anak yang mengalami ITP (RSUD Pandan Arang

Boyolali, 2015).

Page | 2
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk membuat karya tulis ilmiah

dengan judul Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Idiophatic

Thrombocytopenic Purpura (ITP).

B. Tujuan

1. Memperoleh gambaran fenomena kejadian dari penyakit Idiophatic

Thrombocytopenic Purpura (ITP) pada anak.

2. Mendapatkan gambaran tentang penyakit Idiophatic Thrombocytopenic Purpura

(ITP).

3. Memperoleh gambaran tentang penanganan Idiophatic Thrombocytopenic

Purpura (ITP) pada Anak.

4. Memperoleh gambaran tentang cara pencegahan penyakit Idiophatic

Thrombocytopenic Purpura (ITP) pada Anak.

Page | 3
BAB II

TINJAUAN TEORI PENYAKIT

A. Definisi

ITP merupakan penyebab paling umum gangguan hemoragik dan

penurunan jumlah trombosit dalam sirkulasi. (Kapita Selekta, 2008 : 1035). ITP

adalah trombositopenia dengan penyebab proses imun (adanya antibodi terhadap

trombosit). (Wiwik dan Sulistyo, 2008 : 129)

ITP merupakan singkatan dari Idiopatik Trombositopenia Purpura. Idiopatik

artinya penyebabnya tidak diketahui. Trombositopenia artinya berkurangnya

jumlah trombosit dalam darah atau darah tidak mempunyai platelet yang cukup.

Purpura artinya perdarahan kecil yang ada di dalam kulit, membrane mukosa

atau permukaan serosa (Dorland, 2009).

Trombositopenia adalah suatu kekurangan trombosit, yang merupakan

bagian dari pembekuan darah. ITP adalah jenis trombositopenia berat yang

dapat mengancam kehidupan dengan jumlah trombosit < 10.000 mm3 yang

ditandai dengan mudahnya timbul memar serta perdarahan subkutaneus yang

multiple. Biasanya penderita menampakkan bercak-bercak kecil berwarnan ungu.

Karena jumlah trombosit sangat rendah, maka pembentukan bekuan tidak

memadai dan konstriksi pembuluh yang terlukan tidak adekuat.

ITP adalah suatu keadaan perdarahan berupa petekie atau ekimosis di kulit

maupun selaput lendir dan berbagai jaringan dengan penurunan jumlah

trombosit karena sebab yang tidak diketahui. Purpura Trombositopenia

Idiopatika adalah suatu kelainan yang didapat, yang ditandai oleh

Page | 4
trombositopenia, purpura, dan etiologi yang tidak jelas. ITP adalah singkatan

dari Idiopathic Thrombocytopenia Purpura. Idiopathic berarti tidak diketahui

penyebabnya. Thrombocytopenia berarti darah yang tidak cukup memiliki

keping darah (trombosit). Purpura berarti seseorang memiliki luka memar yang

banyak (berlebihan).

ITP adalah syndrome yang di dalamnya terdapat penurunan jumlah

trombosit yang bersirkulasi dalam keadaan sum-sum normal. ITP adalah suatu

keadaan perdarahan berupa petekie atau ekimosis di kulit / selaput lendir dan

berbagai jaringan dengan penurunan jumlah trombosit karena sebab yang tidak

diketahui. (ITP pada anak tersering terjadi pada umur 2 8 tahun), lebih sering

terjadi pada wanita. (Kapita Selekta, 2008). ITP adalah salah satu gangguan

perdarahan didapat yang paling umum terjadi. ITP adalah syndrome yang di

dalamnya terdapat penurunan jumlah trombosit yang bersirkulasi dalam keadaan

sumsum normal.

Idiopatik trombositopenia purpura (ITP) merupakan suatu kelainan yang

berupa gangguan autoimun yang mengakibatkan trombositopenia oleh karena

adanya penghancuran trombosit secara dini dalam sistem retikuloendotel akibat

adanya autoantibody terhadap trombosit yang biasanya berasal dari

Immunoglobulin Ig G. Adanya trombositopenia pada ITP ini akan megakibatkan

gangguan pada sistem hemostasis karena trombosit bersama dengan sistem

vaskular faktor koagulasi darah terlibat secara bersamaan dalam

mempertahankan hemostasis normal.

Page | 5
Klasifikasi ITP adalah sebagai berikut (Wiwik dan Sulistyo, 2008 : 130) :

1. Akut

a. Pada anak-anak dan dewasa muda

b. Riwayat infeksi virus 1-3 minggu sebelumnya

c. Gejala Pendarahan bersifat mendadak

d. Lama penyakit 2-6 minggu atau 6 bulan, jarang lebih dan remisi

spontan pada 80% kasus

e. Tidak dijumpai kekambuhan berikutnya.

2. Kronik

a. Paling banyak terjadi pada wanita muda, pertengahan dan jarang

terdapat riwayat infeksi sebelumnya.

b. Gejala pendarahan bersifat menyusup, pada wanita berupa

menomethoragi, trombositopenia berlangsung lebih dari 6 bulan setelah

diagnosis.

c. Jumlah trombosit tetap di bawah normal selama penyakit dan jarang

terjadi remisi spontan.

Prognosis ITP sebagai berikut :

1. Pada anak-anak 89% sembuh, 54% sembuh dalam 4-8 minggu, 2%

meninggal.

Page | 6
2. Pada orang dewasa 64% sembuh, 30% penyakit kronik, 5% meninggal

3. Bila pasien tidak mengalami perdarahan dan memiliki jumlah trombosit

diatas 20.000/L, harus dipertimbangkan untuk tidak memberikan terapi

karena banyak pasien trombositopenia kronik yang parah dapat hidup

selama dua sampai tiga dekade.

B. Etiologi

Penyebab yang pasti belum diketahui, namun penyakit ini diduga

melibatkan reaksi autoimun, dimana tubuh menghasilkan antibodi yang

menyerang trombositnya sendiri. Dalam kondisi normal, antibodi adalah respons

tubuh yang sehat terhadap bakteri atau virus yang masuk kedalam tubuh. Tetapi

untuk penderita ITP, antibodinya bahkan menyerang sel-sel keping darah

tubuhnya sendiri. Meskipun pembentukan trombosit sumsum tulang meningkat,

persediaan trombosit yang ada tetap tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh.

Pada sebagian besar kasus, diduga bahwa ITP disebabkan oleh sistem imun

tubuh.

Secara normal sistem imun membuat antibodi untuk melawan benda

asing yang masuk ke dalam tubuh. Pada ITP, sistem imun melawan platelet

dalam tubuh sendiri. Alasan sistem imun menyerang platelet dalam tubuh masih

belum diketahui.

ITP kemungkinan juga disebabkan oleh hipersplenisme, infeksi virus,

intoksikasi makanan atau obat atau bahan kimia, pengaruh fisis (radiasi, panas),

Page | 7
kekurangan factor pematangan (malnutrisi), koagulasi intravascular diseminata

dan autoimun. Berdasarkan etiologi, ITP dibagi menjadi 2 yaitu

primer (idiopatik) dan sekunder. Selain itu, ITP juga terjadi pada pengidap HIV.

Sedangkan obat-obatan seperti heparin, minuman keras, quinidine, sulfonamides

juga boleh menyebabkan Rombositopenia.

Penyebab dari ITP kemungkinan dari (Kapita Selekta, 2008: 1035) :

1. Intoksikasi makanan atau obat (asetosal para amino salisilat (PAS). Fenil

butazon, diamokkina, sedormid).

2. Mungkin bersifat kongenital atau akuisita (didapat).

3. Penurunan produksi trombosit defektif didalam sumsum tulang.

4. Peningkatan proses penghancuran trombosit diluar sumsum tulang yang

disebabkan penyakit atau gangguan lain (seperti sirosis hati, koagulasi

intravaskular, diseminata).

5. Sekuestrasi (hipersplenisme, hipotermia) atau kehilangan trombosit.

6. Kejadian berulang setelah infeksi virus, seperti virus epstein-barr atau

mononukleosis infeksius, virus demam berdarah.

C. Manifestasi Klinis

Pada purpura trombositopenik idiopatik yang akut, gejalanya dapat timbul

secara mendadak. Sementara pada stadium kronis gejala akan timbul secara

perlahan. Pendarahan biasanya terjadi bila jumlah trombosit < 50.000/ mm3, dan

Page | 8
perdarahan spontan terjadi jika jumlah trombosit <10.000/mm3. Gejala klinis

pada klien dengan ITP yaitu (Wiwik dan Sulistyo, 2008 : 131) :

1. Ptekie, ekimosis, dan purpura

Peningkatan permeabilitas mengakibatkan keluarnya darah berupa

petekie, purpura, dan ekimosis yang besar. Titik perdarahan yang dapat

dilihat pada permukaan kulit atau pada potongan permukaan organ disebut

petekie. Bercak perdarahan yang lebih besar disebut ekimosis dan keadaan

yang ditandai dengan bercak-bercak perdarahan yang tersebar luas disebut

purpura.

2. Keletihan, kelemahan, demam dan anoreksia

3. Vesikel atau bulae yang bersifat hemoragik

Lepuhan kecil berisi cairan yang berdiameter kurang dari 0,5 cm.

Sedangkan bulae merupakan lesi menonjol melingkar (> 0,5 cm) yang berisi

cairan serosa di atas dermis.

4. Epitaksis dan pendarahan gusi

Epitaksis terjadi sebagai gejala awal pada sepertiga dari penderita

anak-anak.

5. Menometroraghia

Bentuk campuran dari menoragia dan metroragia, menoragia

merupakan perdarahan haid dalam jumlah yang melebihi 80 ml. Sedangkan

Page | 9
metroragia yaitu terjadinya perdarahan berupa bercak bercak diluar siklus

haid.

6. Hematuri

Kondisi di mana urin mengandung darah atau sel-sel darah merah.

Keberadaan darah dalam urin biasanya akibat perdarahan di suatu tempat di

sepanjang saluran kemih. Pendarahan traktus urinarius cukup jarang terjadi

pada penderita ITP.

7. Melena

Pengeluaran feses atau tinja yang berwarna hitam seperti akibat

pendarahan pada saluran pencernaan.

8. Pendarahan intrakranial (merupakan penyulit berat, terjadi 1% pada kasus)

9. Tidak ada limfadenopati

Limfadenopati merupakan proses penyakit yang menyerang satu atau

beberapa kelenjar getah bening.

10. Splenomegali ringan, pembesaran limfa dua kali ukuran normal

Merupakan bentuk patologi, pembesaran pada limpa terjadi karena

adanya peningkatan jumlah sel fagosit dan jumlah sel darah. Limpa

memiliki peranan penting dalam patogenesis pada ITP. Limpa merupakan

tempat utama produksi antibodi antitrombosit dan destruksi trombosit yang

dilapisi oleh Ig G.

Page | 10
Gejala berdasarkan klasifikasinya adalah sebagai berikut:

1. ITP akut

a. Perdarahan dapat didahului oleh infeksi, pemberian obat-obatan atau

menarche.

b. Pada permulaan perdarahan sangat hebat selain terjadi trombositopenia

rusaknya megakariosit, juga terjadi perubahan pembuluh darah.

c. Sering terjadi perdarahan GIT, tuba falopi dan peritoneum.

d. Kelenjar lymphe, lien dan hepar jarang membesar

2. ITP Kronis

a. Permulaan tidak dapat ditentukan, ada riwayat perdarahan menahun,

menstruasi yang lama.

b. Jumlah trombosit 30.000-80.000/mm3.

D. Patofisiologi

Pada dasarnya dan normalnya, trombosit berada pada keadaan seimbang

dari mulai produksi oleh megakaryosit di sumsum tulang lalu bertahan di

sirkulasi selama 10 hari hingga akhirnya trombosit tersebut tua dan dimakan

oleh makrofag. Sekitar 1/3 dari jumlah trombosit akan tersekuestrasi di limpa.

ITP berawal dari kelainan sel limfosit T regulator dimana toleransi terhadap

diri sendiri menjadi hilang dan akhirnya menjadi autoimun. Akibatnya

autoantibodi igG menempel pada antigen trombosit GpIIb/IIIa dan atau GpIb-IX.

Akibatnya di hepar dan Lien terjadi peningkatan destruksi trombosit oleh

Page | 11
makrofag dan penurunan respon kompensasi megakaryosit (produksinya

menurun) akibat autoantibodi. Akibatnya trombosit kadarnya turun dan akhirnya

terjadilah Trombositopenia (Wiwik Handayani, 2008).

E. Penatalaksanaan

1. Pengobatan

Terapi untuk mengurangi proses imun sehingga mengurangi perusakan

trombosit sebagai berikut :

a. ITP Akut

1) Ringan: observasi tanpa pengobatan akan sembuh spontan.

2) Bila setelah 2 minggu tanpa pengobatan jumlah trombosit belum

naik, maka berikan kortikosteroid. Terapi awal prednison dosis

0,5-1,2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Respon terapi prednisone

terjadi dalam 2 minggu dan pada umumnya terjadi dalam minngu

pertama,bila respon baik dilanjutkan sampai satu bulan.

Page | 12
3) Bila tidak berespon terhadap kortikosteroid, maka berikan

immunoglobulin per IV. Imunoglobulin intravena dosis 1g/kg/hr

selama 2-3 hari berturut- turut digunakan bila terjadi pendarahan

internal, saat AT (antibodi trombosit) <5000/ml meskipun telah

mendapat terapi kortikosteroid dalam beberapa hari atau adanya

purpura yang progresif. Bila keadaan gawat, maka diberikan

transfuse suspensi trombosit.

b. ITP Kronis

1) Kortikosteroid diberikan selama 5 bulan.

Misal: prednisone 2 5 mg/kgBB/hari peroral. Bila tidak berespon

terhadap kortikosteroid berikan immunoglobulin (IV).

2) Imunosupressan: 6 merkaptopurin 2,5 5 mg/kgBB/hari peroral.

a) Azatioprin 2 4 mg/kgBB/hari per oral.

b) Siklofosfamid 2 mg/kgBB/hari per oral.

Jika dalam 3 bulan tidak memberi respon pada kortikosteroid

(AT <30.000/L) atau perlu dosis pemeliharaan yang tinggi

maka diperlukan:

3) Splenektomi

Indikasi:

a) Resisten terhadap pemberian kortikosteroid dan imunosupresif

selama 3 bulan.

Page | 13
b) Remisi spontan tidak terjadi dalam waktu 6 bulan pemberian

kortikosteroid saja dengan gambaran klinis sedang sampai

berat.

c) Penderita yang menunjukkan respon terhadap kortikosteroid

namun perlu dosis tinggi untuk mempertahankan klinis yang

baik tanpa perdarahan.

Kontra indikasi:

Anak usia sebelum 2 tahun: fungsi limpa terhadap infeksi

belum dapat diambil alih oleh alat tubuh yang lain (hati, kelenjar

getah bening dan thymus).

4) Pemberian Ig anti G 70g/kg

5) Terapi supportif, terapi untuk mengurangi pengaruh

trombositopenia

6) Pemberian androgen (danazol)

7) Pemberian high dose immunoglobulin (IgIV 1 mg/kg/hari selama 2

Hari berturut-turut) untuk menekan fungsi makrofag dan

meningkatkan AT dengan cepat.

8) Pemberian metil prednisolon jika pasien resisten terhadap

prednison

9) Transfusi konsentrat trombosit hanya dipertimbangkan pada

penderita dengan risiko perdarahan akut.

Page | 14
2. Preventif

Tindakan preventif ini untuk mencegah terjadinya komplikasi dan

meningkatnya tingkat keparahan.

a. Membatasi gerakan fisik

b. Mencegah pendarahan akibat trauma

c. Melindungi dari luka yang dapat menyebabkan memar atau pendarahan

d. Menghindari obat obatan seperti aspirin atau ibuprofen yang dapat

mempengaruhi platelet dan meningkatkan risiko pendarahan

e. Menghindari obat penekan fungsi trombosit

f. Melakukan terapi yang benar untuk infeksi yang mungkin dapat

berkembang

g. Konsultasi ke dokter jika ada beberapa gejala infeksi, seperti demam.

Hal ini penting bagi pasien dewasa dan anak-anak dengan ITP yang

sudah tidak memiliki limfa.

F. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin muncul antara lain :

1. Reaksi transfusi

Merupakan keadaan kegawatdaruratan hematologik, pada ITP dapat

terjadi pendarahan mayor jika trombosit < 10.000/mm3. Dalam pemberian

tranfusi memang harus dalam pengawasan ketat. Reaksi transfusi dapat

mengakibatkan reaksi anafilaksis. Terjadi karena pemberian dara

mengandung Ig A pada penderita tergolong defisiensi Ig A konginetal, yang

Page | 15
telah mendapat sensitisasi terhadapa Ig A sebelumnya melalui tranfusi

kehamilan. Reaksi dapat terjadi dalam bentuk urtikaria dan bronkospasme.

2. Relaps

Merupakan kambuh berulang atau gagal dalam pengobatan, dan pada

dewasa perlu dilakukan splenenektomi. Relaps dapat terjadi karena tidak

berespon terhadap kortikostroid dan imunoglobulin IV.

3. Perdarahan susunan saraf pusat

Misalnya pendarahan pada subdural, kurang dari 1% penderita yang

mengalami ini dari kasus yang terkena.

4. Kematian

Trombositopenia berat yang mengancam kehidupan ditemukan bila

jumlah trombosit < 10.000/mm3

Page | 16
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

IDIOPHATIC TROMBOCYTOPENIC PURPURA (ITP)

A. Fenomena Kejadian Penyakit Saat Ini

ITP terjadi baik pada laki-laki maupun pada perempuan. Diperkirakan terjadi

pada 3.3/ 100.000 dewasa/tahun. Insiden pada dewasa meningkat seiring dengan

bertambahnya usia, antara usia 18 sampai 65 tahun dan pada perempuan lebih

banyak dibandingkan dengan laki-laki (2,6:1). ITP pada anak diperkirakan terjadi

antara 1,9-6,4/100.000 anak setiap tahunnya. ITP pada anak distribusinya hampir

sama antara laki-laki (52%) dan perempuan (48%). Puncak prevalen terjadi pada

anak-anak usia 2 hingga 4 tahun.

Munculnya perdarahan merupakan komplikasi yang serius, terutama

perdarahan intrakranial. Angka kematian akibat perdarahan diperkirakan sebesar 1%

pada anakanak dan 5% pada dewasa. Usia tua dan adanya riwayat perdarahan

sebelumnya meningkatkan resiko untuk terjadinya perdarahan berat. Remisi spontan

dapat terjadi pada lebih dari 80% kasus pada anak-anak tetapi hal ini tidak umum

terjadi pada dewasa.

Usia tua dan adanya riwayat perdarahan sebelumnya meningkatkan resiko

untuk terjadinya perdarahan berat. Remisi spontan dapat terjadi pada lebih dari 80%

kasus pada anak-anak tetapi hal ini tidak umum terjadi pada dewasa. Pengembangan

diagnosis pasien berdasarkan pada riwayat medis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

darah lengkap dan pemeriksaan peripheral blood smear.

Page | 17
Secara keseluruhan prognosis dari pasien sangat bervariasi, sangat tergantung

pada individunya dan tidak ada jalan untuk memprediksi perjalanan penyakitnya.

Pada sekitar 30% dewasa cenderung berkembang menjadi ITP kronis, jarang terjadi

kesembuhan spontan dan 5% meninggal akibat perdarahan. Sekitar 80% pasien anak

dapat sembuh spontan dalam waktu enam bulan dengan atau tanpa pengobatan.

15-20% pasien anak-anak dapat berkembang menjadi ITP kronis dan sekitar 2%

dapat meninggal. Pasien dengan jumlah platelet lebih dari 50x109/L biasanya tidak

memerlukan pengobatan. Sedangkan pasien dengan jumlah platelet yang rendah

membutuhkan pengobatan tergantung dengan gejala dan resiko perdarahan yang

dialami.

Pengembangan diagnosis pasien berdasarkan pada riwayat medis, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan peripheral blood smear. Secara

keseluruhan prognosis dari pasien sangat bervariasi, sangat tergantung pada

individunya dan tidak ada jalan untuk memprediksi perjalanan penyakitnya. Pada

sekitar 30% dewasa cenderung berkembang menjadi ITP kronis, jarang terjadi

kesembuhan spontan dan 5% meninggal akibat perdarahan. Sekitar 80% pasien anak

dapat sembuh spontan dalam waktu enam bulan dengan atau tanpa pengobatan.

15-20% pasien anak-anak dapat berkembang menjadi ITP kronis dan sekitar 2%

dapat meninggal. Pasien dengan jumlah platelet lebih dari 50x109 /L biasanya tidak

memerlukan pengobatan. Sedangkan pasien dengan jumlah platelet yang rendah

membutuhkan pengobatan tergantung dengan gejala dan resiko perdarahan yang di

alami.

ITP menjadi salah satu penyebab kelainan perdarahan dengan insiden

simptomatik berkisar 3 sampai 8 per 100.000 anak per tahun. Di RSUD Pandan

Page | 18
Arang Boyolali pada tahun 2015 tercatat terdapat 11 anak dari 1869 anak yang

mengalami ITP. Tindakan pencegahan cedera pada ITP dilakukan untuk mencegah

terjadinya perdarahan. Masa hidup trombosit normalnya 7 hari, pada ITP menjadi

2-3 hari. Apabila penderita ITP mengalami cedera akan mudah terjadi perdarahan

karena trombosit yang berperan sebagai faktor koagulan berkurang dan

mempengaruhi proses hemostasis normal, biasanya ditandai dengan petekia,

ekimosis, mudah memar, perdarahan gusi, menoragia, perdarahan hidung spontan

dan hematuria. Perdarahan intrakranial, jaringan lunak dan perdarahan mukosa

karena trauma dapat menyebabkan kematian.

ITP diperkirakan menjadi salah satu penyebab kelainan perdarahan dengan

insidens simptomatik berkisar 3 sampai 8 per 100.000 anak per tahun, ITP terjadi

pada anak usia 2-4 tahun dengan insiden 4-8 kasus per 4 100.000 per tahun

diantaranya 80-90% anak dengan ITP menderita perdarahan akut, 25-30%

ditemukan ITP refrakter pada penderita ITP dengan angka mortalitas 16% (Pratama,

2015; Sudoyo, dkk, 2009). Di RSUD Pandan Arang Boyolali pada tahun 2015

tercatatat terdapat 11 anak dari 1869 anak yang mengalami ITP (RSUD Pandan

Arang Boyolali, 2015).

B. Penanganan Penyakit Saat Ini

1. Pemerintah (Rumah Sakit)

Pada penderita ITP mengalami jumlah trombosit yang kurang dari normal,

sehingga jika penderita ITP mengalami cedera maka akan mudah mengalami

perdarahan karena trombosit yang berperan sebagai faktor koagulan berkurang

Page | 19
dan mempengaruhi proses hemostasis normal (Sudoyo, dkk, 2009; Neunert,

2013).

Hemostasis sirkulasi darah dicapai melalui proses keseimbangan antara

terjadinya perdarahan dan proses pembekuan (Kiswari, 2014). Manifestasi

perdarahan ITP berupa petekia, ekimosis, mudah memar, perdarahan gusi,

menoragia, perdarahan hidung spontan dan hematuria (Hoffbrand, 2012;

Handayani & Haribowo, 2008).

Sebagian besar anak penderita ITP dapat pulih tanpa penanganan medis,

banyak dokter yang merekomendasikan untuk melakukan observasi ketat dan

sangat hati-hati terhadap penderita serta penanganan terhadap gejala-gejala

perdarahannya. Penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit jika penanganan

dan perawatan intensif dan baik ini tersedia di rumah. Akan tetapi, beberapa

dokter merekomendasikan penanganan medis singkat dengan pengobatan oral

Prednisone atau pemasangan infus berisikan zat gamma globulin untuk

meningkatkan jumlah sel darah merah penderita dengan cepat. Kedua jenis obat

ini memiliki beberapa efek samping.

Panduan penatalaksanaan pada ITP menurut American Society of

Hematology 2011 Guidelines for Immune Thrombocytopenic Purpura antara

lain pemeriksaan sumsum tulang tidak diperlukan untuk pemeriksaan awal

pasien ITP yang khas dan dalam perawatan IV Ig kegagalan. Tidak ada

pengobatan yang diperlukan untuk perdarahan ringan (petekie atau memar)

terlepas dari jumlah trombosit. Kortikosteroid atau IV Ig adalah pengobatan lini

pertama; IV Ig digunakan untuk respon platelet cepat jika wajib. Anti-D

merupakan kontraindikasi jika pasien memiliki anemia akibat kehilangan darah

Page | 20
atau autoimun merah penghancuran sel darah. Rituximab dan deksametason

dosis tinggi digunakan jika pengobatan lini pertama (kortikosteroid, IV Ig, dan

antiD) gagal atau jika pasien memiliki respon yang tidak memadai untuk

splenektomi. Splenektomi digunakan jika pengobatan lini pertama gagal atau

jika pasien memiliki ITP kronis dengan perdarahan yang signifikan (Neunert,

2011). Pemberian terapi sesuai dengan konsep, methyl prednison termasuk

dalam kortikosteroid yang dapat meningkatkan jumlah trombosit, kortikosteroid

bertindak dengan merusak clearance trombosit di sumsum tulang dan organ

perifer yang dapat mengurangi kadar autoantibodi dalam tubuh dan mengurangi

resiko perdarahan masif (Meadow & Newell, 2006; Pratama, 2015). Buchanan

dan Holtkamp pada tahun 1984 mengemukakan bahwa prednisolon dapat

meningkatkan jumlah trombosit dalam 7 hari pengobatan (Warrier, dkk, 2012).

Beberapa komplikasi umum yang terkait dengan pemberian steroid adalah

nekrosis vaskular, diabetes, gastritis, maag, gangguan pertumbuhan, hipertensi,

insomnia, osteoporosis pada orang dewasa, perubahan kepribadian dan infeksi

oportunistik maka perlu dilakukan tappering untuk menghindari komplikasi dari

pemakaian steroid (Pratama, 2015). Pemberian immunoglobulin intravena masih

jarang dilakukan karena masalah sosial dan ekonomi sehingga pemberian

immunoglobulin intravena tidak dilakukan sampai saat ini. Imbach adalah yang

pertama 15 kali mengusulkan kegunaan immunoglobulin intravena dalam

pemulihan trombositopenia yaitu dengan merusak pembersihan trombosit.

Immunoglobulin intravena memiliki respon yang lebih cepat dibandingkan

dengan kortikosteroid (Pratama, 2015; Warrier, 2012). Pengobatan lini kedua

Page | 21
pada ITP adalah pemberian imunosupresan dan rituximab. Pengobatan lini

kedua digunakan ketika pengobatan lini pertama telah gagal atau pasien menjadi

tidak toleran. Imunosupresan bertindak pada tingkat sel T, obat utama yang

digunakan adalah azathioprine, siklofosfamid dan siklosporin. Dapson memiliki

peran untuk pemulihan trombositopenia. Rituximab berperan mengurangi

jumlah sel yang memproduksi autoantibodi. Jarang ditemukan efek samping

rituximab tetapi meliputi potensi neutropenia dan reaksi infeksi kronis seperti

TBC (Warrier, 2012). Anak yang baru pertama kali mengalami ITP tidak akan

mendapatkan pengobatan lini kedua ini.

a. ITP Akut

1) Ringan: observasi tanpa pengobatan sembuh spontan.

2) Jika trombosit 30.000-50.000: berikan prednison atau tidak diterapi.

3) Bila setelah 2 minggu tanpa pengobatan jumlah trombosit belum naik,

maka berikan kortikosteroid.

4) Bila tidak berespon terhadap kortikosteroid, maka berikan

immunoglobulin per IV.

5) Bila keadaan gawat, maka berikan transfusi suspensi trombosit. Transfusi

trombosit, Imunoglobulin intravena (1g/kg/hari atau 2-3 hari),

Metilprednisolon (1g/hari atau 3 hari)

b. Terapi Awal ITP (Standar)

1) Prednison

Pilihan awal digunakan kortikosteroid, yang sering digunakan

Prednison, dosis 1 mg/kgBB perhari selama 1-3 bulan. Bila diperlukan

Page | 22
parenteral Metylprednison Sodium Suxinat dosis 1 g/hari selama 3 hari.

dipertahankan Efek steroid tampak setelah 24-48 jam. Angka

kesembuhan 60-70%. Evaluasi efek steroid dilakukan 2-4 minggu. Bila

responsif diturunkan perlahan sampai kadar trombosit stabil atau

dipertahankan sekitar 50.000/mm (Pedoman diagnosis dan terapi, 2008).

Hasil terapi:

a) Respon lengkap, ada perbaikan klinis dengan trombosit mencapai

100.000/mm3 dan tidak terjadi trombositopeni berulang bila dosis

steroid diturunkan.

b) Respon parsial dengan perbaikan klinis plus trombosit mencapai

50.000-100.000/mm3 dan memerlukan terapi steroid dosis rendah

untuk mencegah perdarahan dengan jangka waktu 6 bulan.

c) Respon minimal apabila perbaikan klinis dengan trombositopeni

mencapai 50.000/mm3 dan memerlukan steroid dosis rendah untuk

mencegah perdarahan dengan jangka waktu > 6 bulan.

d) Tidak respon apabila tidak ada perbaikan klinis dan kelainan

trombosit tidak mencapai 50.000/mm3 setelah terapi steroid

maksimal.

2) Imunoglobulin Intravena

Imunoglobulin intravena dosis 1g/kg/hr selam 2-3 hari berturut-turut

digunakan bila terjadi perdarahan internal, saat AT(antibodi trombosit)

<5000/ml meskipun telah mendapat terapi kortikosteroid dalam

beberapa hari atau adanya purpura yang progresif. Mekanisme kerja IglV

pada ITP masih belum banyak diketahui namun meliputi blockade fc

Page | 23
reseptor, anti-idiotype antibodies pada IgIV yang menghambat ikatan

autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi dan imunosupresi.

3) Splenektomi

Manajemen bedah yang dilaksanakan pada ITP berupa splenektomi.

Splenektomi dilakukan jika anak mengalami menorraghia parah,

perdarahan yang mengancam jiwa dan anak yang mengalami

pembatasan besar dalam aktivitas akibat trombositopenia. Splenektomi

dilakukan pada anak yang mengalami trombositopenia berulang

(Meadow, 2006; Rudolph, 2014). Perdarahan akut yang terjadi pada

ITP ditangani dengan pemberian transfusi Packed Red Cell (PRC), jika

diindikasikan secara klinis. Transfusi trombosit jarang diindikasikan

karena trombosit yang ditransfusikan akan dilapisi oleh antibodi

antitrombosit dan kemudian dihancurkan di limpa (Axton, 2014;

Rudolph, 2014).

Splenektomi adalah pengobatan yang paling definitif untuk ITP, dan

kebanyakan pasien dewasa pada akhirnya akan menjalani splenektomi.

Terapi prednison dosis tinggi tidak boleh berlanjut terus dalam upaya

untuk menghindari operasi. Splenektomi diindikasikan jika pasien tidak

merespon pada prednison awal atau memerlukan prednison dosis tinggi

yang tidak masuk akal untuk mempertahankan jumlah platelet yang

memadai. Pasien lain mungkin tidak toleran terhadap prednison atau

mungkin hanya lebih memilih terapi bedah alternatif . Splenektomi dapat

dilakukan dengan aman bahkan dengan menghitung trombosit kurang

dari 10.000 / MCL. 80 % pasien mendapatkan manfaat dari splenektomi

Page | 24
baik dengan remisi lengkap atau parsial, dan angka kekambuhan ialah

15-25%.

a) Mekanisme kerja: Seperti telah diketahui, limpa merupakan salah

satu organ pembentuk PAIgG, dan sebaliknya juga merupakan

tempat penghancuran PAIgG tersebut. Dengan diangkatnya limpa

diharapkan pembentukan PAIgG berkurang, dan penghancuran

PAIgG atau trombosit di limpa tidak ada lagi; akibatnya trombosit

meningkat, dan permeabilitas kapiler mengalami perbaikan

b) Indikasi:

i. ITP kronik yang sedang dan berat

ii. ITP kronik yang diobati secara konservatif ternyata gagal

mencapai remisi setelah 6-12 bulan, atau mengalami relaps 23

kali dalam setahun, atau tidak memberi respons terhadap

pengobatan konservatif

c) Kontraindikasi

i. Penderita ITP kronik yang juga menderita penyakit akut atau

berat lainnya.

ii. Penderita ITP kronik disertai penyakit jantung atau hal lain

yang merupakan indikasi-kontra bagi setiap tindakan bedah.

iii. Usia kurang dari 2 tahun, sebab kemungkinan terjadinya infeksi

berat atau sepsis sangat besar.

d) Pasca splenektomi

Page | 25
Penilaian terhadap hasil splenektomi menurut perbaikan klinis

dan hitung trombosit dilakukan 6-8 minggu kemudian.

e) Penyulit pasca splenektomi: Pada masa kurang dari 2 minggu

berupa sepsis dan perdarahan, sedangkan lebih dari 2 minggu berupa

penyakit infeksi berat, Biaya splenektomi: tergantung pada

keadaan setempat. Intravenous immunoglobulin (IVIG) Dosis

inisial 0,8 g/kg BB, 1 kali pemberian. Diulang dengan dosis yang

sama jika jumlah trombosit < 30 x 109/l pada hari ke-3 (72 jam

setelah infus pertama). Pada perdarahan emergensi: 0,8 g/kg BB, 1-2

kali pemberian, bersama-sama dengan kortikosteroid dan transfusi

trombosit. Pada ITP kronis : 0,4 g/kg BB/x, setiap 2-8 minggu.

Kortikosteroid 4 mg prednison/kg BB/hari/po atau iv selama 7 hari,

kemudian tappering of dalam periode 7 hari. Pada perdarahan

emergensi: 8-12.00 mg metilprednisolon/kg BB/iv atau 0,5-1,0 mg

deksametason/kgBB/iv atau po, bersama-sama dengan IVIG atau

transfusi trombosit. Anti-R(D) antibody 10-25 lg/kg BB/ hari

selama 2-5 hari, intravena dalam 50 cc NaCl 0,9% dan habis dalam

30 menit. a-interferon 3 x 10 unit subkutan, 3 kali perminggu selama

4 minggu, Siklosporin 3-8 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2-3 dosis,

Azatioprin 50-300 mg/m2 per os/hari selama > 4 bulan.

4) Penanganan Relaps Pertama

Page | 26
Splenektomi perlu bagi orang dewasa pada umumnya yang relaps

atau yang tidak berespons dengan kortikostroid, imunoglobulin iv dan

Imunoglobulin anti-D. lebih banyak spesialis menggunakan AT

<30.000>30.000 /L, Tidak ada konsensus yang menetapkan lama

terapi kortikosteroid. Penggunaan imunoglobulin anti-D sebagai terapi

awal masih dalam penelitian dan hanya cocok untuk pasien Rh-positif.

Apakah penggunaan IglV atau imunoglobulin anti-D sebagai terapi

awal tergantung pada beratnya trombositopenia dan luasnya

perdarahan mukokutaneus. Untuk memutuskan apakah terapi pasien

yang mempunyai AT 30.000 /L sampai 50.000/L bergantung pada

ada tidaknya faktor risiko perdarahan yang menyertai dan ada tidaknya

risiko tinggi untuk trauma. Pada AT >50.000/L perlu diberi IglV

sebelum pembedahan atau setelah trauma pada beberapa pasien ITP

kronik dan AT <30.000/l

c. Pendekatan Terapi Konvensional Lini Kedua

Untuk pasien yang dengan terapi standar kortikosteroid tidak membaik,

ada beberapa pilihan terapi lain. Luasnya variasi terapi untuk terapi lini kedua

menggambarkan relatif kurangnya efikasi dan terapi bersifat individual.

Steroid Dosis Tinggi. Terapi pasien ITP refrakter selain prednisolon

dapat digunakan deksametason oral dosis tinggi. Deksametason 40 mg/hari

selama 4 hari, diulang setiap 28 hari untuk 6 siklus. Dari 10 pasien dalam

penelitian kecil ini semua memberi respons yang baik (dengan

Page | 27
AT >100.000/mL) bertahan sekurang-kurangnya dalam 6 bulan. Pasien yang

tidak berespon dengan deksametason dosis tinggi segera diganti obat lainnya.

1) Metilprednisolon

Steroid parenteral seperti metilprednisolon digunakan sebagai terapi

lini kedua dan ketiga pada ITP refrakter. Metilprednisolon dosis tinggi

dapat diberikan pada ITP anak dan dewasa yang resisten terhadap terapi

prednison dosis konvensional. Dari penelitian Weil pada pasien ITP

berat menggunakan dosis tinggi metilprednisolon 30 mg/kg iv kemudian

dosis diturunkan tiap 3 hari sampai 1 mg/kg sekali sehari dibandingkan

dengan pasien ITP klinis ringan yang telah mendapat terapi prednison

dosis konvensional. Pasien yang mendapat terapi metilprednisolon dosis

tinggi mempunyai respon lebih cepat (4,7 vs 8,4 hari) dan mempunyai

angka respons (80% vs 53%). Respons steroid intravena bersifat

sementara pada semua pasien dan memerlukan steroid oral untuk

menjaga agar AT tetap adekuat.

2) IglV Dosis Tinggi

Imunoglobulin intravena dosis tinggi 1 mg/kg/hari selama 2 hari

berturut-turut, sering dikombinasi dengan kortikosteroid, akan

meningkatkan AT dengan cepat. Efek samping, terutama sakit kepala,

namun jika berhasil maka dapat diberikan secara intermiten atau

disubtitusi dengan anti-D intravena.

3) Anti-D Intravena

Page | 28
Anti-D intravena telah menunjukkan dapat meningkatkan AT 79-90%

pada orang dewasa. Dosis anti-D 50-75 mg/kg perhari IV. Mekanisme

kerja anti-D yakni destruksi sel darah merah rhesus D-positif yang secara

khusus dibersihkan oleh RES terutama di lien, jadi bersaing dengan

autoantibodi yang menyelimuti trombosit melalui Fc reseptor blockade.

4) Alkaloid Vinka

Semua terapi golongan alkaloid vinka jarang digunakan, meskipun

mungkin bernilai ketika terapi lainnya gagal dan ini diperlukan untuk

meningkatkan AT dengan cepat, misalnya vinkristin 1 mg atau 2 mg iv,

vinblastin 5-10 ing, setiap minggu selama 4-6 minggu.

5) Danazol

Dosis danazol 200 mg p.o 4x sehari selama sedikitnya 6 bulan

karena respon sering lambat. Fungsi hati harus diperiksa setiap bulan.

Bila respons terjadi, dosis diteruskan sampai dosis maksimal

sekurang-kurangnya 1 tahun dan kemudian diturunkan 200 mg/hari

setiap 4 bulan.

6) Immunosupresif dan Kemoterapi Kombinasi

Immunosupresif diperlukan pada pasien yang gagal berespons

dengan terapi lainnya. Terapi dengan azatioprin (2 mg/kg maksimal 150

mg/hari) atau siklofosfamid sebagai obat tunggal dapat dipertimbangkan

dan responnya bertahan sampai 25%. Pada pasien yang berat,

simptomatik, ITP kronik refrakter terhadap berbagai terapi sebelumnya.

Pemakaian siklofosfaraid, vinkristin dan prednisolon sebagai kombinasi

telah efektif digunakan seperti pada limfoma. Siklofosfamid 50-100 mg

Page | 29
p.o atau 200 mg/iv/bulan selama 3 bulan. Azatioprin 50-100 mg p.o, bila

3 bulan tidak ada respon obat dihentikan, bila ada respons sampai 3 bulan

turunkan sampai dosis terkecil.

7) Dapsone

Dapson dosis 75 mg p.o. per hari, respons terjadi dalam 2 bulan.

Pasien-pasien harus diperiksa G6PD, karena pasien dengan kadar G6PD

yang rendah mempunyai risiko hemolisis yang serius.

d. Pendekatan Pasien yang Gagal Terapi Standar dan Terapi Lini Kedua

Sekitar 25% ITP refrakter dewasa gagal berespon dengan terapi lini

pertama atau kedua dan memberi masalah besar. Beberapa di antaranya

mengalami perdarahan aktif namun lebih banyak yang berpotensi untuk

perdaraihan serta masalah penanganannya. Pada umumnya ITP refrakter

kronis bisa mentoleransi trombositopenia dengan baik dan bisa mempunyai

kualitas hidup normal atau mendekati normal. Bagi mereka yang gagal

dengan terapi lini pertama dan kedua hanya memilih terapi yang terbatas

meliputi: interferon-a, anti-CD20, Campath-1H, mikofonelat mofetil, terapi

lainnya.

e. Rekomendasi Terapi ITP yang Gagal Terapi Lini Pertama dan Kedua

Susunan terapi lini ketiga tersedia untuk pasien dengan kemunduran

splenektomi dan bagi mereka yang tidak dapat atau harus menunda operasi.

Rituximab, suatu antibodi monoklonal terhadap CD20 + B sel, memiliki

Page | 30
tingkat respons keseluruhan 25 - 50%, dan memiliki respon yang tahan lama,

dengan efek samping yang relatif sedikit.

Campath-IH dan rituximab adalah obat yang mungkin bermanfaat pada

pasien tidak berespon dengan terapi lain dan dibutuhkan untuk meningkatkan

AT (misalnya. perdarahan aktif). Mikofenolat mofetil tampak efektif pada

beberapa pasien ITP refrakter tetapi studi lebih besar diperlukan untuk

mengkonfirmasikan efikasi dan keamanannya. Dalam hal pertimbangan

resiko: rasio manfaat, terapi dengan interferon-a, protein A columns,

plasmafaresis dan liposomal doksorubisin tidaklah direkomendasikan.

Kesulitan utama dengan obat lini ketiga ialah tingkat respons yang

sederhana dan, seringnya, mempunyai onset yang lambat sehingga efek dapat

tidak jelas selama beberapa bulan. Selain itu, supresi sumsum tulang dan

peningkatan risiko infeksi menyulitkan pengobatan dengan menggunakan

obat yang imunosupresif.

Obat trombopoietik mewakili strategi terapi baru yang menjanjikan

untuk ITP yang refrakter untuk terapi lini kedua dan ketiga. Obat ini mungkin

juga dapat sebagai alternatif bagi pasien yang tidak dapat mentolerir terapi

imunosupresif atau pada calon yang tidak dapat menggunakan untuk itu.

Tempat agen ini pada armamentarium dari terapi ITP, bagaimanapun, tetap

ditentukan. Penggunaannya akan dipandu oleh uji klinis lebih lanjut dengan

durasi yang lebih lama dan pemahaman yang lebih baik dari kontribusi relatif

penghancuran platelet dan gangguan produksi trombosit pada masing-masing

pasien dengan ITP.

Page | 31
Di rumah sakit, dalam menangani pasien anak dengan penyakit Idiopatik

Trombositopenia Purpura, perawat melakukan asuhan keperawatan khusus pada

penyakit ini. Berikut adalah asuhan keperawatan pada anak dengan Idiopatik

Trombositopenia Purpura:

a. Pengkajian Keperawatan

1) Riwayat Kesehatan

a) Keluhan utama :

i. Ptekie

Bintik-bintik kemerahan yang muncul akibat pendarahan

dibawah kulit, keluarnya darah dari pembuluh darah ke dermis, dan

ruam tidak memucat bila ditekan. Nilai ptekie kurang dari 5 mm

apabila memucat ketika ditekan. Sedangkan lebih dari 5 mm disebut

purpura. Petekie ditemukan bila jumlah trombosit < 30.000/mm3.

ii. Ekimosis

Darah yang terperangkap di jaringan bawah kulit dan gejala

ini terjadi mendadak pada penderita ITP. Ekimosis yang bertambah

dan perdarahan yang lama akibat trauma ringan ditemukan pada

jumlah < 50.000/mm3.

iii. Vesikel atau bulae yang bersifat hemoragik

Page | 32
Lepuhan kecil berisi cairan yang berdiameter kurang dari 0,5

cm. Sedangkan bulae merupakan lesi menonjol melingkar (> 0,5 cm)

yang berisi cairan serosa di atas dermis.

iv. Perdarahan dibawah membran mukosa (saluran GI, kemih, genital,

respirasi)

b) Riwayat penyakit sekarang

i. Epitaksis

Sering disebut juga mimisan yaitu satu keadaan pendarahan dari

hidung yang keluar melalui lubang hidung akibat adanya kelainan

lokal pada rongga hidung ataupun karena kelainan yang terjadi di

tempat lain dari tubuh.

ii. Menoragia

Periodik menstruasi yang terjadi pendarahan berat atau

berkepanjangan (abnormal), periode inilah yang menyebabkan

kehilangan banyak darah dan dapat juga disertai kram.

iii. Malaise

Keluhan utama dapat disertai malaise yaitu anoreksia, nafsu

makan menurun dan kelelahan, dan kelemahan. Kelemahan dapat

terjadi dengan atau tanpa disertai saat pendarahan terjadi akibat

kekurangan suplai darah tidak seimbang dengan kebutuhan.

c) Riwayat penyakit dahulu

Page | 33
Pada trombositopenia akuista, kemungkinan penggunaan satu atau

beberapa obat penyebab trombositopenia (heparin, kuinidin, kuinin,

antibiotik yang mengandung sulfa, beberapa obat diabetes per-oral, garam

emas, rifampin).

d) Riwayat penyakit keluarga

ITP juga memiliki kecenderungan genetik pada kembar monozigot dan

pada beberapa keluarga, serta telah diketahui adanya kecenderungan

menghasilkan autoantibodi pada anggota keluarga yang sama.

2) Pola Fungsi Kesehatan

a) Pola persepsi terhadap kesehatan

Terjadi perubahan karena defisit perawatan diri akibat kelemahan,

sehingga menimbulkan masalah kesehatan lain yang juga memerlukan

perawatan yang serius akibat infeksi.

b) Pola nutrisi metabolisme

Penderita pada umumnya kehilangan nafsu makan, dan sering

terjadi pendarahan pada saluran pencernaan.

c) Pola eliminasi.

Pola ini biasanya terjadi perubahan pada eliminasi akut karena

asupan nutrisi yang kurang sehingga penderita biasanya tidak bisa BAB

secara normal. Terjadi melena dan hematuria adalah hal yang sering

dihadapi klien.

Page | 34
d) Pola istirahat-tidur.

Gangguan kualitas tidur akibat perdarahan yang sering terjadi.

e) Pola aktivitas latihan

Penderita terjadi kelelahan umum dan kelemahan otot, kelelahan,

nyeri akan mempengaruhi aktifitas pada penderita ITP.

f) Pola persepsi diri

Adanya kecemasan, menyangkal dari kondisi, ketakutan dan

mudah terangsang, perasaan tidak berdaya dan tidak punya harapan

untuk sembuh.

g) Pola kognitif perseptual

Perubahan status kesehatan dapat mempengaruhi kemampuan

panca indra penglihatan dan pendengaran akibat dari efek samping obat

pada saat dalam tahap penyembuhan.

h) Pola toleransi koping stress

Adanya ketidakefektifan dalam mengatasi masalah individu dan

keluarga pada klien.

i) Pola reproduksi seksual

Page | 35
Pada umumnya terjadi penurunan fungsi seksualitas pada penderita

ITP.

j) Pola hubungan peran

Terjadi keadaan yang sangat menggangu hubungan interpersonal

karena klien dengan ITP dikenal sebagai penyakit yang menakutkan.

k) Pola nilai dan kepercayaan

Timbulnya distress spiritual pada diri penderita, bila terjadi

serangan yang hebat atau penderita tampak kurang sehat.

3) Data Obyektif

a) Keadaan Umum

i. Penderita dalam kelemahan, composmentis, apatis, stupor,

somnolen, soporo coma dan coma. Penilaian GCS sangat penting

untuk diperhatikan.

ii. Tanda vital : suhu meningkat, takikardi, takipnea, dyspnea, tekanan

darah sistolik meningkat dengan diastolik normal.

b) Pemeriksaan Fisik (B1-B6)

Page | 36
i. Breathing (B1)

Inspeksi : Adanya dispnea, takipnea, sputum mengandung darah,

terjadi pendarahan spontan pada hidung

Palpasi : Kemungkinan vokal vremitus menurun akibat kualitas

pernapasan buruk karena pendarahan pada saluran

respirasi

Perkusi : Suara paru sonor atau pekak

Auskultasi : Adanya suara napas tambahan whezing atau ronchi

yang muncul akibat dari komplikasi gejala lain.

ii. Blood (B2)

Inspeksi : Adanya hipertensi, hemoraghi subkutan, hematoma dan

Sianosis akral. Adanya ptekie atau ekimosis pada kulit,

purpura.

Palpasi : Penghitungan frekuensi denyut nadi meliputi irama dan

kualitas denyut nadi, denyut nadi perifer melemah, hampir

tidak teraba. Takikardi, adanya petekie pada permukaan

kulit. Palpitasi (sebagai bentuk takikardia kompensasi).

Perkusi : Kemungkinan adanya pergeseran batas jantung

Auskultasi : Bunyi jantung abnormal, tekanan darah terjadi

peningkatan sistolik, namun normal pada diastolik.

Page | 37
iii. Brain (B3)

Inspeksi : Kesadaran biasanya compos mentis, sakit kepala,

perubahan tingkat kesadaran, gelisah dan ketidakstabilan

vasomotor.

iv. Bladder (B4)

Inspeksi : Adanya hematuria (kondisi di mana urin mengandung

darah atau sel-sel darah merah. Keberadaan darah dalam

urin biasanya akibat perdarahan di suatu tempat di

sepanjang saluran kemih.

Palpasi : kemungkinan ada nyeri tekan pada kandung kemih karena

distensi sebagai bentuk komplikasi

v. Bowel (B5)

Inspeksi : klien biasanya mengalami mual muntah penurunan nafsu

makan, dan peningkatan lingkar abdomen akibat

pembesaran limpa. Adanya hematemesis dan melena.

Palpasi : adakah nyeri tekan abdomen, splenomegali, pendarahan

saluran cerna

Perkusi : Bunyi pekak deteksi adanya pendarahan pada daerah

dalam abdomen

Auskultasi : Terdengar bising usus menurun (normal 5-12x/menit).

Page | 38
vi. Bone (B6)

Inspeksi : Kemungkinan adanya nyeri otot sendi dan punggung,

aktivitas mandiri terhambat, atau mobilitas dibantu

sebagian akibat kelemahan. Toleransi terhadap aktivitas

sangat rendah.

c) Pemeriksaan Diagnostik (Wiwik dan Sulistyo, 2008 : 133)

i. Pemeriksaan DL : jumlah trombosit rendah hingga mencapai

100.000/ mm3 (normal 150.000-350.000 / mm3 ), penurunan

hemoglobin, kadar trombopoietin tidak meningkat

ii. Masa koagulasi untuk PT dan PTT memanjang

iii. Foto toraks dan uji fungsi paru, tes kerapuhan kapiler meningkat

iv. Skrining antibodi

Aspirasi sumsum tulang, menunjukkan peningkatan jumlah

megakariosit

Tes sensitif menunjukkan IgG antitrombosit pada permukaan

trombosit atau dalam serum

b. Diagnosa Keperawatan

Page | 39
1) Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan

komponen seluler yang diperlukan untuk suplai oksigen

2) Kerusakan intregritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi

3) Nyeri berhubungan dengan agen biologis (splenomegali)

4) Resiko Injury berhubungan dengan kecenderungan perdarahan

sekunder

5) Resiko infeksi berhubungan dengan imunosupresi

6) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan intake nutrisi tidak

adekuat

7) PK : Anemia

8) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik

9) Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi

10) Ansietas berhubungan dengan defisit pengetahuan mengenai kondisi

dan pencegahan

c. Intervensi Keperawatan

1) Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan

komponen seluler yang diperlukan untuk suplai oksigen

a) Tujuan

Page | 40
Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam

menunjukkan perbaikan perfusi jaringan

b) Kriteria Hasil: Tidak ada atau penurunan takipneu dan menunjukan

TTV stabil

c) Intervensi

i. Observasi secara berkala adanya dispnea, takipnea, adanya

bunyi nafas tak normal atau menurun, terbatasnya ekspansi

dinding dada.

Rasional ; Deteksi dan pengawasan terhadap proses perfusi

jaringan. Takipnea dapat terjadi karena peningkatan

kompensasi curah jantung.

ii. Observasi perubahan pada tingkat kesadaran yang

dapat terjadi secara tiba-tiba

Rasional : Hipoksia dapat mempengaruhi fungsi otak dan

perubahan kesadaran.

iii. Pantau adanya sianosis dan perubahan pada warna kulit

termasuk membrane mukosa dan kuku.

Rasional : Sianosis menunjukkan suplai oksigen pada jaringan

sangat berkurang.

iv. Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi

Page | 41
Rasional: Meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan

oksigenasi untuk kebutuhan seluler.

v. Tingkatkan tirah baring atau batasi latihan fisik dan bantu

aktifitas perawatan diri sesuai keperluan

Rasional: Menurunkan konsumsi oksigen dalam metabolisme

tubuh.

vi. Berikan oksigen sesuai kebutuhan dan indikasi

Rasional: Memenuhi kebutuhan oksigen dan mengoptimalkan

suplai oksigen untuk metabolisme tubuh.

vii. Kolaborasi :

Pemberian Kortikosteroid, terapi awal prednison dosis 0,5-1,2

mg/kgBB/hari selama 2 minggu.

Rasional : Untuk menekan respon kekebalan tubuh dan

meningkatkan jumlah trombosit.

2) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan perubahan sirkulasi

a) Tujuan

Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam

menunjukkan perbaikan integritas kulit

Page | 42
b) Kriteria Hasil: Integritas kulit baik dapat dipertahankan, tidak ada

lesi pada kulit, klien dapat mengidentifikasi faktor risiko atau

perilaku untuk mencegah cedera dermal.

c) Intervensi

i. Observasi integritas kulit, catat perubahan pada turgor

Rasional ; Kondisi kulit dipengaruhi oleh sirkulasi, nutrisi, dan

imobilisasi. Jaringan dapat menjadi rapuh, mudah rusak dan

terinfeksi.

ii. Observasi kualitas petekie, ekimosis dan purpura yang

muncul

Rasional : Merupakan gejala dari adanya pendarahan dibawah

permukaan kulit sebagai deteksi ITP

iii. Pantau adanya sianosis dan perubahan pada warna kulit

termasuk membrane mukosa dan kuku.

Rasional : Sianosis menunjukkan suplai oksigen pada jaringan

sangat berkurang.

iv. Jelaskan gejala dari proses penyakit untuk mencegah ansietas

Rasional : Manifestasi yang muncul secara mendadak dapat

meningkatkan resiko ansietas pada klien dan cedera

Page | 43
v. Berikan kebersihan lingkungan dan tempat tidur klien yang

kering dan hindari kelembapan

Rasional : Media lembab dan kebersihan minimal merupakan

media yang baik untuk pertumbuhan organisme patogenik,

meningkatkan resiko infeksi.

vi. Batasi aktivitas dan hindarkan dari benda-benda berbahaya dan

tajam.

Rasional : Mencegah resiko cedera yang akan memperburuk

integritas kulit dan pendarahan hebat.

vii. Anjurkan dan bantu untuk sering mengubah posisi.

Rasional : mencegah komplikasi dekubitus yang sangat

dikhawatirkan pada penderita ITP .

viii. Programkan jadwal dan bantu untuk latihan rentang gerak aktif

atau pasif secara bertahap sesuai indikasi.

Rasional : Meningkatkan sirkulasi jaringan dan mencegah

statis.

ix. Kolaborasi: Gunakan alat pelindung atau alas dengan bahan

khusus, misalnya pada tempat tidur dengan sprei bahan lembut

dan tidak panas.

Rasional: Menghindari kerusakan kulit dengan mencegah dan

menurunkan tekanan pada permukaan kulit.

Page | 44
3) Nyeri berhubungan dengan agen biologis (splenomegali)

a) Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 60

menit nyeri berkurang dan terkontrol

b) Kriteria Hasil: TTV dalam batas normal, nyeri hilang atau

berkurang, klien dapat mengontrol nyeri, keluarga dapat

mempraktekkan manajemen nyeri pada anak

c) Intervensi

i. Observasi keluhan nyeri, catat lokasi dan intensitas (skala

0-10). Catat faktor-faktor yang memperberat nyeri.

Rasional : Membantu dalam menentukan kebutuhan

manajemen nyeri dan keefektifan program.

ii. Ajarkan keluarga teknik manajemen nyeri, dengan distraksi

dan pengalihan perhatian

Rasional : Kemampuan keluarga dalam memanajemen nyeri

anak, mampu mengurangi dan mengontrol rasa nyeri.

iii. Tinggikan tempat tidur sesuai kebutuhan

Rasional : Peninggian linen tempat tidur menurunkan tekanan

pada daerah yang nyeri.

iv. Anjurkan dan bantu untuk sering mengubah posisi.

Rasional : mencegah komplikasi dekubitus yang sangat

dikhawatirkan pada penderita ITP

Page | 45
v. Bantu untuk bergerak di tempat tidur, hindari gerakan yang

menyentak.

Rasional : Mencegah terjadinya kelelahan umum berkelanjutan

dan kekakuan sendi sekitar daerah nyeri.

vi. Kolaborasi

Berikan obat-obatan analgesik sesuai indikasi dan advice

dokter (misalnya : asetil salisilat)

Rasional : Sebagai anti inflamasi dan pereda nyeri,

meningkatkan mobilitas.

vii. Pantau daerah nyeri pada lokasi splenomegali

Rasional : Menentukan intervensi yang dilakukan, mengetahui

kualitas pembesaran dan pembentukan neoantigen dengan

proses perjalanan penyakit.

d. Implementasi keperawatan

Implementasi yang dapat dilakukan oleh perawat untuk masalah

ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen

seluler yang diperlukan untuk suplai oksigen yaitu mengobservasi secara

berkala adanya dispnea, takipnea, adanya bunyi nafas tak normal atau

menurun, terbatasnya ekspansi dinding dada serta perubahan pada tingkat

kesadaran yang dapat terjadi secara tiba-tiba, meninggikan kepala tempat tidur

Page | 46
sesuai toleransi, membantu aktifitas perawatan diri sesuai keperluan.

memberikan oksigen sesuai kebutuhan dan indikasi.

Untuk masalah kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan

perubahan sirkulasi perawat mengobservasi integritas kulit, turgor, kualitas

petekie, ekimosis dan purpura yang muncul pada kulit anak, perawat juga

memberikan kebersihan lingkungan dan tempat tidur anak yang kering dan

hindari kelembapan, membatasi aktivitas anak dan hindarkan anak dari

benda-benda berbahaya dan tajam, menganjurkan dan bantu untuk sering

mengubah posisi dan membantu anak untuk latihan rentang gerak aktif atau

pasif secara bertahap sesuai indikasi.

Untuk masalah nyeri berhubungan dengan agen biologis (splenomegali)

perawat mengobservasi keluhan nyeri, catat lokasi dan intensitas dengan

indikator ekspresi wajah anak untuk pengukuran skalanya, mengajarkan teknik

manajemen nyeri kepada orang tua anak dengan distraksi dan pengalihan

perhatian dan memberikan kompres hangat pada anak.

e. Evaluasi Keperawatan

1) Perfusi jaringan kembali efektif

2) Kerusakan intregritas kulit tidak meluas

3) Nyeri berkurang

4) Tidak terjadi injury dan infeksi

5) Nutrisi terpenuhi

Page | 47
6) Tidak terjadi anemia

7) Tidak terjadi intoleransi aktifitas

8) Pengetahuan klien dan keluarga bertambah

9) Ansietas berkurang

2. Masyarakat (Keluarga)

Melindungi anak dari cedera dilakukan dengan menyediakan lingkungan

yang aman dengan modifikasi seperti melapisi sisi tempat tidur dan tempat

bermain. Berjalan menggunakan alas kaki, menghindari produk obat yang

mengandung aspirin, segera ke fasilitas kesehatan jika terjadi nyeri, bengkak

pada sendi, cedera kepala, bengkak pada leher, nyeri abdomen berat, hematuria,

feses hitam. Menghindari olahraga kontak perlu dilakukan, orang tua harus

cermat dalam penggunaan seatbelt dan helm sepeda. Aktivitas yang

meningkatakan resiko cedera kepala seperti ice 14 skate, roller blade dan

menyelam harus dilarang. Mendorong anak untuk berpartisipasi dalam olahraga

non-kontak seperti berenang. Pembatasan aktivitas dengan pengalihan aktivitas

seperti menonton televisi, membaca buku dan menggambar dilakukan untuk

mencegah petekia dan ekimosis lebih lanjut. Perubahan gaya hidup yang perlu

dilakukan seperti tidak menghembuskan nafas melalui hidung dengan keras,

tidak mengejan saat defekasi dan menggunakan sikat gigi dengan bulu yang

lembut (Axton, 2014; Handayani & Haribowo, 2008; Setyoboedi, 2004).

Page | 48
3. Solusi

Pada penderita ITP mengalami jumlah trombosit yang kurang dari normal,

sehingga jika penderita ITP mengalami cedera maka akan mudah mengalami

perdarahan karena trombosit yang berperan sebagai faktor koagulan berkurang

dan mempengaruhi proses hemostasis normal (Sudoyo, dkk, 2009; Neunert,

2013).

Hemostasis sirkulasi darah dicapai melalui proses keseimbangan antara

terjadinya perdarahan dan proses pembekuan (Kiswari, 2014). Manifestasi

perdarahan ITP berupa petekia, ekimosis, mudah memar, perdarahan gusi,

menoragia, perdarahan hidung spontan dan hematuria (Hoffbrand, 2012;

Handayani & Haribowo, 2008).

Tindakan pencegahan cedera pada ITP bertujuan untuk mencegah terjadinya

perdarahan (Axton, 2014). Trauma tumpul pada ITP dapat menyebabkan

kekacauan kapiler dan meningkatkan terjadinya perdarahan, karena trombosit

berkurang maka perdarahan akan terjadi lebih lama (Handayani & Haribowo,

2008). Perdarahan intrakranial merupakan komplikasi paling serius pada ITP

yang dapat menyebabkan kematian (Sudoyo, dkk, 2009; Handayani & Haribowo,

2008).

Solusi dari kelompok kami yaitu memberikan edukasi mengenai

pencegahan cedera. Pencegahan cedera merupakan tindakan suportif yang sesuai

dengan teori yaitu bertujuan agar dapat meningkatkan pengetahuan sehingga

dapat membantu anak dan keluarga dalam mengenali dan melaporkan kondisi

anak. Resiko cedera pada anak dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap orang

tua, dimana orang tua akan menentukan tindakan agar anaknya terhindar dari

Page | 49
cedera seperti melakukan pengawasan yang merupakan faktor yang

mempengaruhi terjadinya cedera pada anak. Apabila anak sedang berada dalam

fase prasekolah yang akan mengeksplorasi pengetahuannya dan berinisiatif

melakukan suatu tindakan apabila anak mendapat dukungan dari orang tua,

tetapi akan tumbuh rasa bersalah pada diri anak jika dilarang atau dicegah untuk

melakukan suatu tindakan, maka dibutuhkan modifikasi lingkungan untuk

mencegah cedera pada anak (Aken, 2007; Wong, 2008).

Melindungi anak dari cedera dilakukan dengan menyediakan lingkungan

yang aman dengan modifikasi seperti melapisi sisi tempat tidur dan tempat

bermain. Berjalan menggunakan alas kaki, menghindari produk obat yang

mengandung aspirin, segera ke fasilitas kesehatan jika terjadi nyeri, bengkak

pada sendi, cedera kepala, bengkak pada leher, nyeri abdomen berat, hematuria,

feses hitam. Menghindari olahraga kontak perlu dilakukan, orang tua harus

cermat dalam penggunaan seatbelt dan helm sepeda. Aktivitas yang

meningkatakan resiko cedera kepala seperti ice 14 skate, roller blade dan

menyelam harus dilarang. Mendorong anak untuk berpartisipasi dalam olahraga

non-kontak seperti berenang. Pembatasan aktivitas dengan pengalihan aktivitas

seperti menonton televisi, membaca buku dan menggambar dilakukan untuk

mencegah petekia dan ekimosis lebih lanjut. Perubahan gaya hidup yang perlu

dilakukan seperti tidak menghembuskan nafas melalui hidung dengan keras,

tidak mengejan saat defekasi dan menggunakan sikat gigi dengan bulu yang

lembut (Axton, 2014; Handayani & Haribowo, 2008; Setyoboedi, 2004).

Panduan penatalaksanaan pada ITP menurut American Society of

Hematology 2011 Guidelines for Immune Thrombocytopenic Purpura antara

Page | 50
lain pemeriksaan sumsum tulang tidak diperlukan untuk pemeriksaan awal

pasien ITP yang khas dan dalam perawatan IV Ig kegagalan. Tidak ada

pengobatan yang diperlukan untuk perdarahan ringan (petekie atau memar)

terlepas dari jumlah trombosit. Kortikosteroid atau IV Ig adalah pengobatan lini

pertama; IV Ig digunakan untuk respon platelet cepat jika wajib. Anti-D

merupakan kontraindikasi jika pasien memiliki anemia akibat kehilangan darah

atau autoimun merah penghancuran sel darah. Rituximab dan deksametason

dosis tinggi digunakan jika pengobatan lini pertama (kortikosteroid, IV Ig, dan

antiD) gagal atau jika pasien memiliki respon yang tidak memadai untuk

splenektomi. Splenektomi digunakan jika pengobatan lini pertama gagal atau

jika pasien memiliki ITP kronis dengan perdarahan yang signifikan (Neunert,

2011).

Pemberian terapi sesuai dengan konsep, methyl prednison termasuk dalam

kortikosteroid yang dapat meningkatkan jumlah trombosit, kortikosteroid

bertindak dengan merusak clearance trombosit di sumsum tulang dan organ

perifer yang dapat mengurangi kadar autoantibodi dalam tubuh dan mengurangi

resiko perdarahan masif (Meadow & Newell, 2006; Pratama, 2015). Buchanan

dan Holtkamp pada tahun 1984 mengemukakan bahwa prednisolon dapat

meningkatkan jumlah trombosit dalam 7 hari pengobatan (Warrier, dkk, 2012).

Beberapa komplikasi umum yang terkait dengan pemberian steroid adalah

nekrosis vaskular, diabetes, gastritis, maag, gangguan pertumbuhan, hipertensi,

insomnia, osteoporosis pada orang dewasa, perubahan kepribadian dan infeksi

oportunistik maka perlu dilakukan tappering untuk menghindari komplikasi dari

pemakaian steroid (Pratama, 2015). Pemberian immunoglobulin intravena masih

Page | 51
jarang dilakukan karena masalah sosial dan ekonomi sehingga pemberian

immunoglobulin intravena tidak dilakukan sampai saat ini. Imbach adalah yang

pertama 15 kali mengusulkan kegunaan immunoglobulin intravena dalam

pemulihan trombositopenia yaitu dengan merusak pembersihan trombosit.

Immunoglobulin intravena memiliki respon yang lebih cepat dibandingkan

dengan kortikosteroid (Pratama, 2015; Warrier, 2012). Pengobatan lini kedua

pada ITP adalah pemberian imunosupresan dan rituximab. Pengobatan lini

kedua digunakan ketika pengobatan lini pertama telah gagal atau pasien menjadi

tidak toleran. Imunosupresan bertindak pada tingkat sel T, obat utama yang

digunakan adalah azathioprine, siklofosfamid dan siklosporin. Dapson memiliki

peran untuk pemulihan trombositopenia. Rituximab berperan mengurangi

jumlah sel yang memproduksi autoantibodi. Jarang ditemukan efek samping

rituximab tetapi meliputi potensi neutropenia dan reaksi infeksi kronis seperti

TBC (Warrier, 2012). Anak yang baru pertama kali mengalami ITP tidak akan

mendapatkan pengobatan lini kedua ini.

Manajemen bedah yang dilaksanakan pada ITP berupa splenektomi.

Splenektomi dilakukan jika anak mengalami menorraghia parah, perdarahan

yang mengancam jiwa dan anak yang mengalami pembatasan besar dalam

aktivitas akibat trombositopenia (Meadow, 2006; Rudolph, 2014). Perdarahan

akut yang terjadi pada ITP ditangani dengan pemberian transfusi Packed Red

Cell (PRC), jika diindikasikan secara klinis. Transfusi trombosit jarang

diindikasikan karena trombosit yang ditransfusikan akan dilapisi oleh antibodi

antitrombosit dan kemudian dihancurkan di limpa (Axton, 2014; Rudolph,

2014).

Page | 52
Solusi yang kami berikan kepada keluarga anak khususnya orang tua yaitu:

a. Berikan pada orang tua dan anak instruksi instruksi pemberian obat seperti :

waktu dan rute pemberian dan pemantauan adanya efek yang tidak

diinginkan

b. Instruksikan pada orang tua dan anak untuk memantau adanya tanda tanda

dan gejala trombositopenia dan melaporkannya dengan segera missal

petekia, ekimosis, darah dalam urine atau feses dan sakit kepala.

c. Minta orang tua untuk memantau aktivitas anak

1) Anjurkan aktivita yang tenang, anak tidak boleh mengikuti olahraga

kontak fisik sampai jumlah trombositnya normal.

2) Seimbangkan waktu istirahat dan aktivitas, tingkatkan aktivitas sesuai

toleransi.

3) Instruksikan orang tua untuk menghindari kontak anak dengan orang

yang sedang terinfeksi terutama ISPA.

Page | 53
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kasus ITP pada anak diperkirakan terjadi antara 1,9-6,4/100.000 anak setiap

tahunnya. ITP pada anak distribusinya hampir sama antara laki-laki (52%) dan

perempuan (48%). Puncak prevalen terjadi pada anak-anak usia 2-4 tahun.

Munculnya perdarahan merupakan komplikasi yang serius, terutama perdarahan

intrakranial. Angka kematian akibat perdarahan diperkirakan sebesar 1% pada

anak-anak dan 5% pada dewasa.

2. ITP merupakan singkatan dari Idiopatik Trombositopenia Purpura. Idiopatik

artinya penyebabnya tidak diketahui. Trombositopenia artinya berkurangnya

jumlah trombosit dalam darah atau darah tidak mempunyai platelet yang cukup.

Purpura artinya perdarahan kecil yang ada di dalam kulit, membrane mukosa

atau permukaan serosa.

3. Penanganan yang telah dilakukan oleh pemerintah khususnya dalam pelayanan

kesehatan sudah cukup baik. Sebagian besar anak penderita ITP dapat pulih

tanpa penanganan medis, banyak dokter yang merekomendasikan untuk

melakukan observasi ketat dan sangat hati-hati terhadap penderita serta

penanganan terhadap gejala-gejala perdarahannya. Penderita tidak perlu dirawat

di rumah sakit jika penanganan dan perawatan intensif dan baik ini tersedia di

rumah. Akan tetapi, beberapa dokter merekomendasikan penanganan medis

singkat dengan pengobatan oral Prednisone atau pemasangan infus berisikan zat

gamma globulin untuk meningkatkan jumlah sel darah merah penderita dengan

Page | 54
cepat dan dari bidang keperawatan ada asuhan keperawatan khusus yang

diberikan pada anak dengan penyakit Idiopatik Trombositopenia Purpura ini.

4. Penanganan yang dilakukan keluarga lebih dititik beratkan pada pencegahan

agar anak terhindar dari cedera dan komplikasi-komplikasi lain dengan cara

melindungi anak dari bahaya seperti menyediakan lingkungan yang aman

dengan modifikasi seperti melapisi sisi tempat tidur dan tempat bermain.

Berjalan menggunakan alas kaki, menghindari produk obat yang mengandung

aspirin, tidak mengejan saat defekasi dan menggunakan sikat gigi dengan bulu

yang lembut agar terhindar dari perdarahan yang berlebihan dan segera ke

fasilitas kesehatan jika terjadi tanda dan gejala ITP.

5. Pencegahan yang dapat dilakukan agar penyakit ini tidak menimbulkan

komplikasi seperti perdarahan yaitu hindarkan anak dari cedera atau bahaya

fisik dan selalu monitor kadar trombosit.

B. Saran

1. Bagi Masyarakat (Keluarga)

Kelompok kami menyarankan kepada masyarakat khususnya keluarga dari

anak penderita Idiopatik Trombositopenia Purpura agar selalu melindungi anak

dari bahaya cedera dan keluarga harus melaporkan kejadian tersebut ke

pelayanan kesehatan jika terdapat tanda dan gejala dari penyakit tersebut karena

cedera fisik dapat menyebabkan komplikasi pendarahan yang serius.

Page | 55
2. Bagi Pemerintah (Pelayanan Kesehatan)

Dalam bidang pelayanan kesehatan khususnya tenaga kesehatan agar selalu

memperhatikan kondisi anak, memberikan asuhan keperawatan yang sesuai

dengan tanda dan gejala, serta tepat dan aman dari segala hal yang

memungkinkan terjadinya komplikasi lebih lanjut.

Page | 56
DAFTAR PUSTAKA

Agnis Tri Giarti. 2016. Upaya Pencegahan Cedera Pada Klien Idiopatik

Trombositopenia Purpura di RSUD Pandan Arang diakses pada tanggal 5

April 2017 pukul 20.00 WITA dari http://eprints.ums.ac.id/44571/7/Cover.pdf

Aru W, Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta:

Interna Publishing.

Bagus Setyoboedi. 2012. Purpura Trombositopenik Idiopatika pada Anak

(patofisiologi, tata laksana serta kontroversinya) diakses pada tanggal 5 April

2017 pukul 20.05 WITA dari http://saripediatri.idai.or.id/abstrak.asp?q=271

Doengoes, M. E. 2009. Rencana Asuhan Keperawatan. Alih Bahasa I Made Kariasi,

S.Kp. Ni Made Sumawarti, S.Kp. Jakarta: EGC.

Handayani, W dan Sulistyo, A. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan

Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

Hockenberry, M and Wilson, D. 2008. Pediatric Nursing. ISBN.

Jasa Jurnal. 2015. Trombositopenia Purpura Idiopatik: Uji Autoantibodi Platelet

pada Anak dengan ITP diakses pada tanggal 7 April 2017 pukul 21.00 WITA

dari

http://jasajurnal.weebly.com/blog/trombositopenia-purpura-idiopatik-uji-autoant

ibodi-platelet-pada-anak-dengan-itp1

Mansjoer A. 2008. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi III. Jakarta: Penerbitan

Media Aesculapius FKUI.

Page | 57
Meadow R., Newell S. 2003. Lecture notes : pediatrika 7th ed. Terjemahan Kripti

Hartini, Asri Dwi Rachmawati. Jakarta: Erlangga. p 83-3.

Purwanto, Ibnu. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi IV. Jakarta:

Penerbitan FKUI

The Doctor Indonesia. 2012. Penanganan Terkini Idiopatik Trombositopenia

Purpura (ITP) diakses pada tanggal 5 April 2017 pukul 20.00 WITA dari

https://dokterindonesiaonline.com/2012/04/28/penanganan-terkini-idiopatik-tro

mbositopenia-purpura-itp/

Wong, Donna L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Volume 2. Jakarta: EGC.

Page | 58

Anda mungkin juga menyukai