Anda di halaman 1dari 23

BAB I1

PENDAHULUAN

Kulit manusia normal dikolonisasi setelah kelahiran oleh bakteri dengan jumlah
yang banyak yang hidup komensal pada epidermis dan aksesorisnya. Beberapa
minggu setelah kelahiran, flora kulit neonatus sama seperti orang dewasa
(Fredberg, 2003).

Pioderma primer dan sekunder kebanyakan disebabkan oleh S. Aureus atau grup
A streptococcus. Pioderma yang disebabkan oleh S. aureus terjadi pada individu
yang membawa organisme dari hidung, yang bertranslokasi ke kulit dan dapat
masuk ke epidermis melalui celah kulit dan menyebabkan infeksi superfisial.
Pioderma akibat streptokokus grus A menyebabkan gambaran klinis yang luas
menjadi superfisial dan infeksi jaringan lunak invasif, bergantung pada
organisme, lokasi anatomis dan faktor host (Fredberg, 2003).

Pioderma merupakan penyakit yang paling sering dijumpai. Penyakit


ini berhubungan erat dengan keadaan social ekonomi. Tidak ada ras tertentu yang
cenderung terkena pioderma. Pioderma dapat menyerang laki-laki
maupun perempuan pada semua usia (Djuanda, 2010).

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus,
Streptococcus, atau oleh kedua-duanya (Djuanda, 2010).

B. Etiologi
Sebenarnya infeksi kulit dapat pula disebabkan oleh kuman negative-Gram,
misalnya Pseudomonas aerugunosa, Proteus vulgaris, Proteus mirabilis,
Escherichia coli dan Klebsiella. Penyebab yang umum ialah kuman positif-
Gram yaitu Streptococcus B hemolyticus dan Staphylococcus aureus
(Djuanda, 2010).

C. Epidemiologi
Pioderma merupakan penyakit yang paling sering dijumpai. Penyakit
ini berhubungan erat dengan keadaan social ekonomi. Tidak ada ras tertentu
yang cenderung terkena pioderma. Pioderma dapat menyerang laki-laki
maupun perempuan pada semua usia (Djuanda, 2010).

D. Faktor Predisposisi
Higiene yang kurang
Menurunnya daya tahan tubuh, biasanya karena kelelahan, anemia,
atau penyakit-penyakit tertentu seperti penyakit kronis, neoplasma, dan
diabetes mellitus
Telah ada penyakit lain di kulit, hal ini dapat merangsang terjadinya
pioderma yang hampir bisa dipastikan akan memperparah penyakit
kulit sebelumnya tersebut, hal itu juga terjadi karena fungsi kulit
sebagai pelindung yang terganggu oleh penyakit. Karena terjadi
kerusakan di epidermis, maka fungsi kulit sebagai pelindung akan
terganggu sehingga memudahkan terjadinya infeksi (Djuanda, 2010).

2
E. Klasifikasi
Pioderma Primer
Infeksi terjadi pada kulit yang normal. Gambaran klinisnya tertentu,
penyebabnya biasanya satu macam mikroorganisme.
Pioderma Sekunder
Pada kulit telah ada penyakit kulit yang lain. Gambaran klinisnya tak
khas dan mengikuti penyakit yang telah ada. Jika penyakit kulit
disertai pioderma sekunder disebut impetigenisata, contohnya:
dermatitis impetigenisata, scabies impetigenisata. Tanda
impetigenisata ialah jika terdapat pus, kustul, bula purulen, krusta
berwarna kuning kehijauan, pembesaran kelenjar getah bening
regional, leukositosis, dapat pula disertai demam (Djuanda, 2010).

Penulis lain membaginya menjadi superfisial dan profunda. Fredberg


(2003) membaginya menjadi

Impetigo
Ektima
Superfisial Folikulitis
Furukulosis
Karbunkel

Erisipelas
Selulitis
Profunda Flegmon
Abses multipel kelenjar keringat
Hidraadenitis

F. Pengobatan Umum
Sistemik
Contoh obat untuk pengobatan pioderma
a. Penisilin G prokain dan semi-sintetiknya

3
- Penisilin G prokain, dosisnya 1,2 juta/hari i.m, obat ini sudah
tidak dipakai lagi karena dianggap tidak praktis dan
pemakaiannya sering menimbulkan syok anafilaktik
- Ampisillin, dosis 4500 mg, ante cunam
- Amoksisilin, dosisnya sama dengan ampisilin, dipakai post-
cunam dan absorbsinya lebih cepat sehingga kadar dalam
plasma lebih tinggi.
- Golongan obat penisilin resisten-penisillinase, contohnya
adalah oksasillin, kloksasillin, dikloksasillin, flukloksasillin.
Dosis 3250 mg/hari ante-cunam. Kelebihan obat ini adalah
juga berkashiat pada Staphylococcus yang telah membentuk
penisilinase.
b. Linkomisin dan Klindamisin
Dosis linkomisin, 3500 mg/hari. Klindamisin diabsorbsi lebih
banyak karenanya dosisnya lebih kecil yaitu 4150 mg/hari/os,
pada infeksi berat dosisnya 4300-450 mg/hari. Linkomisin agar
tidak dipakai lagi dan digantikan oleh Klindamisin karena potensial
antibakterinya lebih besar dan efek sampingnya lebih sedikit dan
tidak terlalu terhambat oleh adanya makanan dalam lambung.

c. Eritromisin
Dosis 4500 mg/hari/os. Efektivitasnya kurang dibandingkan
Linkomisin/klindamisin dan obat golongan penisilin resisten-
penisillinase. Cepat menyebabkan resistensi dan kadang terjadi tak
enak di lambung.
d. Sefalosporin
Bila terjadi pioderma berat yang dengat obat diatas tidak
menunjukan hasil maka dipakailah Sefalosporin. Ada empat
generasi yang berkhasiat untuk kuman gram positif yaitu generasi I
juga generasi IV. Contohnya adalah sefadoksil dari generasi I
dengan dosis dewasa, 2500 mg atau 21000 mg/hari
Topikal

4
Bermacam obat topical dapat digunakan untuk pioderma, contohnya
basitrasin, neomisin, mupirosin. Neomisin berkhasiat juga untuk
bakteri gram negative, Neomisin dituliskan sering mengalami
sensitisasi, sedangkan teramisin dan kloramfenikol sebenarnya tidak
terlalu efektif namun sering dipakai karenanya harganya murah. Obat-
obatan ini biasanya berbentuk salep atau krim.
Selain itu juga baik agar diberikan kompres terbuka contohnya, larutan
permanganas kalikus 1/5000, larutan rivanol 1 o/oo dan yodium
povidon 7,5 % yang dilarutkan 10 kali (Djuanda, 2010).

G. Pemeriksaan
Pada pemeriksaan laboratorik (darah tepi) terdapat leukositosis. Pada kasus
yang kronis dan sukar sembuh dilakukan kultur dan tes resistensi. Ada
kemungkinan penyebabnya bukan stafilokokus melainkan kuman negative-
Gram. Hasil tes resistensi hanya bersifat menyokong, invivo tidak selalu
sesuai dengan in vitro. Terdapat leukositosis pada pemeriksaan lab. Pada
kasus yang sulit sembuh dilakukan kultur dan tes resistensi. Ada kemungkinan
penyebabnya buka kedua bakteri penyebab pioderma yang sering terjadi
(Djuanda, 2010).

H. Bentuk Pioderma

1. IMPETIGO

Impetigo adalah infeksi kulit superfisial yang diakibatkan oleh stafilokokus


atau streptokokus atau keduanya. Biasanya terjadi pada anak dan terlihat
sebagai vesikel berdinding tipis yang mudah pecah , sering pada wajah yang
meninggalkan daerah berkrusta eksudat kuning. Lesi cepat menyebar dan
sangat menular. Tipe bulosa, dengan diameter lepuhan 12 cm dapat terlihat
pada semua umur dan biasanya mengenai wajah dan ekstremitas. Ekzema
atopik, skabies, herpes simpleks, dan lues dapat disertai impetigo
(Gawkrodger, 2002).

5
Terdapat 2 bentuk impetigo krustosa dan impetigo bulosa (Djuanda, 2010).

a) Impetigo krustosa

Penyakit ini disebut juga Impetigo kontagiosa, impetigo vulgaris, impetigo


Tillbury FoX. Penyebabnya biasanya Streptococcus B hemolyticus.Tidak
disertai gejala umum, hanya terdapat pada anak-anak. Tempat predileksi di
muka, yakni disekitar lubang hidung dan mulut karena dianggap sumber
infeksi dari daerah tersebut. Kelainan kulit berupa eritema dan vesikel yang
cepat memecah sehingga jika penderita dating berobat yang terlihat ialah

6
krusta tebal berwarna kuning seperti madu. Jika dilepaskan akan tampak erosi
di bawahnya. Sering krusta menyebar ke perifer dan sembuh di bagian
tengah.

Komplikasi yang dapat terjadi adalah glomerulonefritis (2-5%) yang


disebabkan oleh sero tipe tertentu. Penyakit ini harus dibedakan dari
ektima.Jika krusta sedikit, dilepaskan dan diberi salep antibiotic, kalau
banyak diberi pula antibiotic sistemik (Djuanda, 2010).

Terapi antibiotik yang disarankan jika lesi banyak dan disertai gejala
konstitusi (demam,dll) adalah dengan diberikan antibiotic sistemik, misalnya
penisilin, kloksasilin, atau sefalosporin. Untuk antibiotik topikal dapat
menggunakan polimiksin, neomisin, dan basitrasin (Siregar, 2005).

o Impetigo bulosa

Disebut juga impetigo vesiko-bulosa, cacar monyet. Biasanya karena


Staphylococcus aureus. Keadaan umum tidak dipengaruhi. Tempat predileksi
di ketiak, dada, punggung. Sering bersama-sama merialia. Terdapat pada anak
dan orang dewasa. Kelainan kulit berupa eritema, bula dan bula hipopin.
Kadang-kadang waktu penderita dating berobat, vesikel/bula telah memecah
sehingga yang tampak hanya koleret dan dasarnya masih eritematosa. Jika
vesikel/bula telah pecah dan hanya terdapat koleret dan eritema, maka mirip
dermafitosis. Pada anamnesa hendaknya ditanyakan, apakah sebelumnya
terdapat lumpuh. Jika ada, diagnosanya adalah impetigo bulosa. Jika terdapat
hanya beberapa vesikel/bula, dipecahkan lalu diberi salap antibiotic atau
cairan antiseptic. Kalau banyak diberi pula antibiotic sitemik. Faktor
predisposisi dicari, jika karena banyak keringat, ventilasi diperbaiki (Djuanda,
2010).

Terapi antibiotik yang disarankan adalah diberi salep antibiotic


(kloramfenikol 2% atau eritromisin 3%). Jika ada demam, sebaiknya diberi
antibiotic sistemik, misalnya penisilin 30-50 mg/kgBB atau antibiotic yang
sensitive (Siregar, 2005).

7
o Impetigo neonatorum

Penyakit ini merupakan varian impetigo bulosa yang terdapat pada neonates.
Kelainan kulit serupa impetigo bulosa hanya likasinya menyeluruh, dapat
disertai demam.

Diagnosa banding dengan sifilis congenital. Pada penyakit ini bula juga
terdapat ditelapak tangan dan kaki, terdapat pula snuffle nose, saddle nose,
dan pseudo paralisis parrot. Antibiotic harus diberika secara sistemik. Topical
dapat diberikan bedak salisil 2%.

8
Bila tidak ditangani, infeksi yang invasif daat berkomplikasi menjadi selulitis,
limfangitis, dan bakteremia dengan resultan osteomielitis, septik artritis,
pneumonitis, dan septikemi. Exfoliatin yang diproduksi dapat menyebabkan
scalded skin syndrome pada bayi dan dewasa dengan imunokompromis atau
yang memiliki fungsi renal buruk.

Menurut Fredberg (2010), pengobatan lokal dengan musiprosin salep atau


krim dan pembersihan krusta serta menjaga kebersihan sudah cukup untuk
kasus yang ringan. Akan tetapi, pada kasus berat, penggunaan antibiotik
sistemik dibutuhkan unutk hasil yang optimal. Bila dilakukan isolasi bakteri,
penggunaaan antibiotik sistemik lebih rasional. Pada orang dewasa dengan
lesi luas atau lesi bula, dikloksasilin 250-500 mg peroral 4x1 atau
eritromisin250-500 mg peroral 4x1 bila alergi dengan penisilin, harus
diberikan. Pengobatan diberikan selama 5 hingga 7 hari (10 hari bila
treptokokus terisolasi). Selain itu, single dose azitromisin oral 500 mg pada
hari pertama, 250 mg pada hari selanjutnya selama 4 hari sama efektifnya
dengan penggunaan dikloksasilin. Bila resisten terhadap eritromisin (biasanya
pada impetigo anak), koamoksiklav 25mg/kg 3x1, cefalexin 40-50 mg/kg
perhari, cefaclor 20mg/kg 3x1, cefaprozil 20mg/kg perhari, atau klindamisin
15 mg/kg 3-4x1 dapat diberikan selama 10 hari sebagai terapi alternatif.

2. FOLIKULITIS

Folikulitis adalah radang folikel rambut.penyebabnya adalah Staphylococcus


aureus.

9
Folikulitis superfisialis: terbatad di dalam epidermis.

Sinonim : Impetigo Bockhart

Gejala klinis : Pustul kecil berbentuk kubah dan mudah pecah pada
infundibulum (ostium) dari folikel rambut, sering pada kepala anak dan
pada area yang berjanggut, aksia, ekstremitas, dan bokong pada dewasa.

Folikulitis profunda: sampai ke subkutan.

Gambaran klinisnya seperti di atas, hanya teraba infiltrate di subkutan.


Contohnya sikosis barbe yang berlokasi di bibir atas dan dagu,
bilateral.Diagnosa banding nya adalah tinea barbe, lokasinya di
mandibula/ submandibula, unilateral. Pada tenia barbe rambut biasanya
rontok dan sediaan dengan KOH positif. Pengobatan dengan antibiotic
sistemik/ topical (Djuanda, 2010) (Fredberg,2003).

10
Terapi antibiotik yang disarankan ialah antibiotic sistemik jika luas : eritromisi
3x250 mg selama 7 14 hari ; atau penisilin 600.000 1,5 juta IU intramuscular
selama 7 14 hari. Antibiotic topical, isalnya kemicetin 2% ; jika eksudasi
kompres PK 1/5.000 (Siregar, 2005). Pengobatan lokal dengan kompres hangat
salin serta krim musiprosin cukup untuk mengontrol infeksi (Fredberg, 2003).

3. FURUNKEL/KARBUNKEL

Furunkel ialah pembentukan abses akut pada multipel folikel rambut., Karbunkel
ialah abses dalam pada kumpulan furunkel yang terasa nyeri. Biasanya
disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Keluhan yang muncul adalah nyeri,
dengan kelainan berupa nodus eritem berbentuk kerucut dengan pustule
ditengahnya. Kemudian melunak menjadi abses berisi pus dan jaringan nekrotik
lalu memecah membentuk fistel.

11
Predileksi adalah tempat yang banyak friksi, misalnya aksila dan bokong.
Pengobatan jika hanya sedikit furunkel, cukup dengan antibiotic topical, jika
banyak perlu gabungan dengan antibiotic sistemik. Jika terjadi furunkulosis atau
karbunkel berulang-ulang cari faktor predisposisi, misalnya diabetes mellitus
(Djuanda, 2010).

Terapi antibiotik untuk furunkel yang disarankan adalah antibiotic sistemik :


eritromisin 4 x 250 mg atau penisilin , jika lesi matang, lakukan insisi dan aspirasi
dan selanjutnya dikompres atau diberi salep kloramfenikol 2% (Siregar, 2005).
Setalh diinsisi jangan dilakukan dressing basah karena infeksi dapat menyebar
melalui maserasi kulit (Fredberg, 2003). Sedangkan antibiotik yang diberikan

12
pada karbunkel adalah eritromisin 4x250 mg selama 7 - 14 hari ; penisilin 600.000
IU selama 5 - 10 hari. Antibiotik yang masih sensitif memberi hasil yang
memuaskan seperti sefalosporin atau golongan kuinolon. Basitrasin topikal juga
efektif untuk pengobatan furunkel (Siregar, 2005).

4. EKTIMA

Ektima ialah ulkus superficial dengan krusta diatasnya disebabkan infeksi


Streptococcus, biasanya Streptococcus B hemolyticus. Gejala yang tampak adalah
krusta tebal berwarna kuning berlokasi di tungkai bawah, yaitu tempat yang
relative banyak trauma. Jika krusta diangkat ternyata lekat dan tampak ulkus yang
dangkal. Diagnosis bandingnya adalah impetigo krustosa, perbedaannya, impetigo
krustosa sering terjadi pada anak dan berlokasi di muka dan dasarnya adalah erosi,
ektima terjadi pada anak maupun dewasa tempat predileksi tungkai bawah dan
dasarnya adalah ulkus (Djuanda, 2010). Ektima biasanya merupakan impetigo
yang tidak tertangani dengan baik (Fredberg, 2010). Pengobatannya sama seperti
impetigo yang diakibatkan oleh stafilokokus.

13
5. PIONIKIA

Radang sekitar kuku oleh piokokus. Penyebabnya biasanya Staphylococcus


dan/atau Streptococcus B hemolyticus. Gejala klinis dari penyakit ini adalah
didahului trauma, mulai infeksi pada lipatan kuku, terlihat tanda-tanda radang dan
menjalar ke matriks dan lempeng kuku, dapat terbentuk abses subungual.
Pengobatan kompres dengan larutan antiseptic dan berikan antibiotic sistemik.
Jika terjadi abses subungual, kuku diekstraksi (Djuanda, 2010).

6. ERISIPELAS

Erisipelas ialah penyakit infeksi akut, biasanya disebabkan oleh Streptococcus B


hemolyticus (Gawkrodger (2003) mengatakan akibat Strep. Pyogenes). Gejala
klinis, demam, malaise. Lapisan kulit yang diserang ialah epidermis dan dermis,

14
tempat predileksinya tungkai bawah. kelainan yang utama adalah eritema merah
cerah, berbatas tegas, dan pinggirnya meninggi dengan tanda radang akut. Dapat
disertai edem, vesikel dan bula. Terdapat leukosistosis. Jika sering residif
ditempat yang sama dapat terjadi limfedema (Djuanda, 2010).

Diagnosis bandingnya adalah selulitis, namun pada penyakit ini infiltratnya di


subkutan (Djuanda, 2010).

15
Terapi awal diberikan benzylpenicillin selama 2 hingga beberapa hari kemudian
diberikan penisilin V selama 7-14 hari (Gawkrodger, 2003). Terapi antibiotik
yang diberikan adalah penisilin 0,6 - 1,5 mega unit selama 5 - 10 hari,
sefalosporin 4 x 400 mg selama 5 hari memberi hasil yang baik (Siregar, 2010).

7. SELULITIS

Inflamasi kulit ini berada lebih dalam daripada erisipelas. Jaringan subkutan
terlibat dan areanya lebih meninggi dan bengkak serta eritemanya lebih tidak
tegas daripada erisipelas (Hunter, 2003). Kadang pada perabaan teraba krepitasi
pada selulitis dan terasa lebih keras daripada erisipelas (Fredberg, 2003). Selulitis
sering diakibatkan adanya trauma sebelumnya dan sering terjadi edema hipostatik.
Streptokokus, stafilokokus dan organisme lain bisa menjadi penyebab.
Pengobatannya berupa elevasi, rawat inap dan antibiotik sistemik (Hunter, 2003).

Rekomendasi untuk pengobatan selulitis adalah flucloxacillin 1g qds jika


diberikan intra vena, sedangkan flucloxacilin 500 mg qds apabila ingin diberikan
terapi peroral. Terapi ini diberikan selama 5-7 hari. Pada kondisi yang berat dapat
ditambahkan clindamycin 300-450 mg per oral qds. Apabila pasien alergi
terhadap penicillin atau suspect MRSA dapat diberikan vancomycin intra vena

16
atau doxycycline 200 mg per oral pada hari pertamaa lalu dilanjutkan dengan 100
mg per oral (GETIA, 2013).

8. FLEGMON

Selulitis yang mengalami supurasi. Terapi sama dengan selulitis hanya saja
ditambah dengan insisi (Djuanda, 2010).

9. ULKUS PIOGENIK

Berbentuk ulkus, gambaran klinisnya tidak khas dengan disertai pus diatasnya.
Dibedakan dengan ulkus lain yang disebabkan oleh kuman gram negative
sehingga perlu dilakukan kultur (Djuanda, 2010).

Antibiotik yang disarankan untuk pengobatan secara sistemik adalah penisilin


600.000 - 1,2 juta IU intramuskular selama 5 - 7 hari; eritromisin 4 x 500 mg

17
selama 7 hari. Siprofloksasin atau sefalosporin memberi hasil yang baik (Siregar,
2005).

10. ABSES MULTIPEL KELENJAR KERINGAT

Infeksi yang biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus, pada kelenjar


keringat berupa abses multiple tak nyeri berbentuk kubah. Didapati pada anak
dengan faktor predisposisi berupa daya tahan tubuh yang menurun juga banyak
keringat, sehingga sering bersama denga miliaria. Kelainan berupa nodus eritema,
multiple, tidak nyeri, berbentuk kubah dan lama memecah. Lokasinya di tempat
yang banyak keringat.

Diagnosis bandingnya adalah furunkulosis, namuan furunkulosis terasa nyeri dan


bentuknya seperti kerucut, dengan pustule ditengah dan lebih cepat memecah.
Pengobatan yaitu antibiotic topical dan sistemik dengan tidak lupa memperhatikan
faktor predisposisi (Djuanda, 2010).

11. HIDRADENITIS

Hidradenitis adalah kelainan kronis berat dari kelenjar apokrin. Banyak papul,
pustul, kista, sinus dan jaringan parut terdapat pada aksila, selangkangan dan
daerah perianal. Kondisi ini mungkin berbarengan dengan akne konglobata.
Penyebabnya belum diketahui tetapi kelainan folikel mungkin penyebabnya.
Peningkatan androgen ditemukan pada beberapa wanita. Hal ini mungkin bukan
merupakan suatu imonodefisiensi atau suatu infeksi primer dari kelebjar apokrin,
walaupun stafilokokus aureus, streptokokus anaerob dan bacterioides spp. Sering
ditemukan. Sebuah grup peneliti mengatakan patogen utama penyebabnya adalah
streptococcus milleri.

Pengobatannya sama seperti akne vulgaris. Antibiotik sistemik membantu lesi


awal untuk berkurang namuntidak efektif untuk lesi abses kronik. Insisi dan
drainase abses dan injeksi intralesi dengan tiamnisolon 5-10 mg/mL dapat
mengurangi insidensi pembentukan scar dan sinus. Klindamisin topikal dapat
mencegah pembentukan lesi baru. Antiandrogen sistemik bisa membantu

18
beberapa wanita. Kasus yang berat membutuhkan operasi plastik untuk
membuang area yang terjangkit (Hunter, 2003).
.

12. S4 (STAPHYLOCOCCAL SCALDED SKIN SYNDROME)

S4 pertama kali oleh Ritter von Rittershain, sehingga sering disebut penyakit
Ritter. S.S.S.S ialah infeksi kulit oleh Staphylococcus aureus tipe tertentu dengan
ciri yang khas ialah terdapatnya epidermolisis. Penyakit ini terutama terdapat pada
anak dibawah 5 tahun, pria lebih banyak dari wanita. Etiologinya ialah
Staphylococcus aureus grup II faga 52, 55 dan/atau faga 71. Sumber infeksi
penyakit ini ialah infeksi pada mata, hidung, tenggorok, dan telinga. Eksotoksin
yang dikeluarkan bersifat epidermolitik (epidermolin, eksofoliatin) yang beredar
di seluruh tubuh sampai pada epidermis dan menyebabkan kerusakan. Pada kulit
tidak selalu ditemukan kuman penyebab. Fungsi ginjal yang baik diperlukan
untuk mengekskresikan eksofoliatin, pada bayi diduga fungsi ginjal belum
sempurna sehingga penyakit ini terjadi pada golongan usia tersebut (Djuanda,
2010).

19
Pada umumnya terdapat demam yang tinggi disertai infeksi disaluran nafas bagian
atas. Kelainan kulit yang pertama timbul adalah eritema, yang timbul mendadak
pada muka, leher, ketiak dan lipat paha, kemudian menyeluruh dalam waktu 24
jam. Dalam waktu 1-2 hari akan muncul bula-bula berdinding kendur, tanda
nikolsky positif. Dalam 2-3 hari terjadi pengeriputan spontan disertai
pengelupasan lembaran-lembaran kulit sehingga tanpak daerah erosif. Akibat
epidermolisis tersebut gambarannya mirip dengan kambustio. Daerah-daerah
tersebut akan mongering dalam beberapa hari dan terjadi deskuamasi.
Penyembuhan penyakit akan terjadi setelah 10-14 hari tanpa disertai sikatriks.
Meskipun dapat sembuh spontan, dapat pula terjadi komplikasi seperti selulitis,
pneumonia dan septicemia. Jika terdapat infeksi ditempat lain maka dapat
dilakukan pemeriksaan bakteriologi. Juga dilihat tipe kuman karena tidak semua
Satphylococcus aureus dapat menyebabkan penyakit ini, hanya tipe tertentu. Pada
kulit tidak ditemukan kuman penyebab karena kerusakan kulit akibat toksin
(Djuanda, 2010).

20
Pada pemeriksaan histopatologi akan terdapat gambaran yang khas yaitu terlihat
lepuh intraepidermal, celah terdapat di stratum granulosum, meskipun ruang lepuh
sering mengandung sel-sel akantolitik, epidermis sisanya tampaknya utuh tanpa
disertai nekrosis sel. Penyakit ini mirip N.E.T (Nekrolisis Epidermal Toksik,
bahkan pada awalnya disebut N.E.T sebelum dilaporkan oleh Ritter).
Perbedaannya S4 umumnya menyerang anak-anak dibawah usia 5 tahun,
mulainya kelainan kulit didaerah muka, leher, dan lipat paha, mukosa umumnya
tidak diserang dan angka kematian lebih rendah (meskipun begitu penyakit ini
adalah pioderma penyebab kematian paling mungkin). Kedua penyakit ini sulit
dibedakan sehingga ada baiknya dilakukan pemeriksaan histopatologi secara
frozen section agar hasilnya cepat diketahui, karena prinsip pengobatan keduanya
berbeda. Perbedaan terletak pada celah, S4 di stratum granulosum, N.E.T di sub
epidermal. Perbedaan lain pada N.E.T terdapat nekrosis disekitar celah dan
terdapat sel radang (Djuanda, 2010).

Pengobatan antibiotic, kortikosteroid tidak perlu. Penisilin cukup efektif, misalnya


kloksasillin dengan dosis 3x250 mg untuk orang dewasa/hari/os. Pada neonatus,
dosisnya 3x50 mg/hari/os. Obat lain yang dapat diberikan ialah klindamisin dan
sefalosporin generasi I. topical dapat diberikan sufratulle, atau krim antibiotic.
Diperhatikan juga keseimbangan cairan dan elektrolit (Djuanda, 2010).

Kematian dapat terjadi terutama pada bayi berusia kurang dari 1 tahun dengan
prevalensi sekitar 1-10%. Penyebab utama kematian adalah tidak adanya
keseimbangan cairan dan elektrolit juga karena sepsis (Djuanda, 2010).

Pilihan obat pada penyakit Stafilokokus Scalded Skin Syndrom adalah derivat
penicilin misalnya nafcilin. Alternaif lain adalah generasi pertama sefalosporin.
Tetapi jika pasien alergi dengan penisilin dapat diberikan golongan makrolid atau
aminoglikosid. Vancomycin juga dapat menjadi salah satu pilihan apabila pasien
tidak berespon pada nafcilin (King, 2014).

21
BAB III

KESIMPULAN

Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus,


Streptococcus, atau oleh kedua-duanya. Pioderma merupakan penyakit yang
sering dijumpai. Faktor Predisposisi adalah higiene yang kurang, lingkungan yang
kotor, menurunnya daya tahan tubuh, telah ada penyakit lain di kulit.

Pioderma dapat bermanifestasi sebagai kelainan kulit superfisial maupun invasif.


Pioderma dapat berinvasi ke aliran darah da menyebabkan penyakit sistemik.

Pioderma bermanifestasi sebagai impetigo, ektima, folikulitis, furunkel/karbunkel,


erisipelas, selulitis, flegmon, abses multipel kelenjar keringat, ulkus piogenik,
hidraadenitis, dan SSSS.

22
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, Adhi. dkk. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi VI. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI
Fredberg, I. 2003. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine 6th Ed. New
York: Mc Grawhill

Gawkrodger, D. 2002. Dermatology: An Ilustrated Color Text. Sheffield:


Churchill Livingstone

Guideline for the Empirical Treatment of Infections in Adults. 2013. Diunduh dari
http://www.ruh.nhs.uk/about/policies/documents/clinical_policies/blue_clinic
al/Blue_796.pdf 13 May 2016

Hunter, J., Savin, J., Dahl, M. 2003. Clinical Dermatology 3rd Ed. Minessota:
Blackwell

King, R.W. Staphylococca scalded skin syndrome medication. 2016. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1073117-medication#1 13 Mei 2016.

R.S. Siregar. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta : EGC

23

Anda mungkin juga menyukai