Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

ILMU PENYAKIT MATA

GLAUKOMA SUDUT TERTUTUP AKUT

Pembimbing:
dr. Yulia Fitriani, Sp.M

Disusun oleh:
Kartika Kencana Putri
G4A016090

SMF ILMU PENYAKIT MATA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN
TUGAS REFERAT

GLAUKOMA SUDUT TERTUTUP AKUT

Disusun oleh:
Kartika Kencana Putri
G4A016090

diajukan untuk memenuhi persyaratan mengikuti program profesi dokter pada SMF Ilmu
Penyakit Mata RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal, Juli 2017

Pembimbing,

dr. Yulia Fitriani, Sp. M


NIP. 19820730 201412 2 001

2
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.
Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini. Shalawat serta salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para pengikut setianya.
Terima kasih penulis sampaikan kepada para pengajar, fasilitator, dan narasumber
SMF Ilmu Penyakit Mata, terutama dr. Yulia Fitriani, Sp.M selaku pembimbing penulis.
Penulis menyadari referat ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaannya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga referat ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan dan dapat dijadikan pelajaran
bagi yang membacanya.

Purwokerto, Juli 2017

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................................. ii
KATA PENGANTAR...................................................................................................... iii
DAFTAR ISI.................................................................................................................... iv
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................................ 1
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Mata........................................................................................ 3
B. Definisi........................................................................................................................ 7
C. Etiologi........................................................................................................................ 7
D. Epidemiologi .............................................................................................................. 8
E. Patofisiologi................................................................................................................ 9
F. Penegakan Diagnosis................................................................................................... 10
G. Penatalaksanaan.......................................................................................................... 17
H. Komplikasi.................................................................................................................. 23
I. Prognosis..................................................................................................................... 23
III. KESIMPULAN......................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 25

4
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Glaukoma berasal dari kata Yunani glaukos yang berarti hijau kebiruan,
yang memberi kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma. Kelainan mata
glaukoma ditandai dengan meningkatnya tekanan bola mata, atrofi papil saraf
optik, dan menciutnya lapang pandang. Penyakit yang ditandai dengan peninggian
tekanan intraokular ini disebabkan oleh bertambahnya produksi cairan mata oleh
badan siliar atau berkurangnya pengeluaran cairan mata di daerah sudut bilik mata.
Pada glaukoma akan terdapat melemahnya fungsi mata dengan terjadinya cacat
lapang pandang dan kerusakan anatomi berupa ekskavasi (penggaungan) serta
degenerasi papil saraf optik, yang dapat berakhir dengan kebutaan (Ilyas, 2015).
Hampir 60 juta orang terkena glaukoma. Diperkirakan 3 juta penduduk
Amerika Serikat terkena glaukoma, dan di antara kasus-kasus tersebut, sekitar 50%
tidak terdiagosis. Sekitar 6 juta orang mengalami kebutaan akibat glaukoma,
termasuk 100.000 penduduk Amerika, menjadikan penyakit ini sebagai penyebab
utama kebutaan yang dapat dicegah di Amerika Serikat. Glaucoma sudut tertutup
didapatan pada 10-15% kasus ras kulit putih dan berperan pada lebih dari 90%
kebutaan bilateral akibat glaucoma di China (Vaughan, 2010). Di Indonesia,
glaukoma diderita oleh 3% dari total populasi penduduk. Umumnya penderita
glaukoma telah berusia lanjut. Pada usia diatas 40 tahun, tingkat resiko menderita
glaukoma meningkat sekitar 10%. Hampir separuh penderita glaukoma tidak
menyadari bahwa mereka menderita penyakit tersebut (Depkes RI, 2010).
Berdasarkan etiologi, glaucoma dibagi menjadi empat bagian yaitu
glaucoma primer, glaucoma kongenital, glaucoma sekunder, dan glaucoma absolut.
Sedangkan berdasarkan mekanisme peningkatan tekanan intraocular, glaucoma
dibagi menjadi dua yaitu glaucoma sudut terbuka dan glaucoma sudut tertutup.
Mekanisme peningkatan tekanan intraokular pada glaukoma adalah adanya
gangguan aliran keluar aqueous humor akibat kelainan sistem drainase sudut bilik
mata depan (glaukoma sudut terbuka) atau gangguan akses aqueous humor ke
sistem drainase (glaukoma sudut tertutup) (Vaughan, 2010).
Mata merah dengan penglihatan turun mendadak merupakan glaukoma
sudut tertutup akut. Glaukoma sudut tertutup akut ditandai dengan tekanan
intraokuler yang meningkat secara mendadak, dan terjadi pada usia lebih dari 40
tahun dengan sudut bilik mata sempit. Glaukoma sudut tertutup akut ini merupakan
kedaruratan okuler sehingga harus diwaspadai, karena dapat terjadi bilateral dan
dapat menyebabkan kebutaan tetapi resiko kebutaan dapat dicegah dengan
diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat (Ilyas, 2015).
Terapi pada glaucoma ditujukan untuk menurunkan tekanan intraokular dan,
apabila mungkin, memperbaiki sebab yang mendasarinya. Walaupun tekanan
intraokular glaucoma berada dalam kisaran normal, penurunan tekanan
intraokular mungkin masih ada manfaatnya. Tekanan intraocular ditutunkan
dengan cara mengurangi produksi aqueous humor atau dengan meningkatkan
aliran keluarnya, menggunaan obat, laser, atau pembedahan. Obat-obatan yang
biasanya diberikan secara topikal, tersedia untuk menurunkan produksi aqueous
atau meningkatkan aliran keluar aqueous (Vaughan, 2010).
Pembuatan pintas sistem drainase melalui pembedahan bermanfaat pada
kebanyakan bentuk glaukoma bila terdapat kegagalan respons terapi dengan
obat. Perbaikan akses aqueous humor menuju sudut bilik mata depan pada
glaukoma sudut tertutup dapat dicapai dengan iridotomi laser perifer atau
iridektomi bedah bila penyebabnya hambatan pupil, dengan miosis bila ada
pendesakan sudut, atau dengan sikloplegia bila terdapat pergeseran lensa ke
anterior. Pada glaukoma sekunder, harus selalu dipertimbangkan terapi untuk
mengatasi kelainan primernya (Vaughan, 2010).

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Mata


1. Bola Mata

2
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata di
bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga
memiliki 2 kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan
yaitu (Ilyas, 2015):
a. Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan bentuk pada
mata, merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian
terdepan sclera disebut kornea yang bersifat transparan yang memudahkan
sinar masuk ke dalam bola mata kelengkungan kornea lebih besar
disbanding sclera.
b. Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular. Jaringan sclera dan uvea
dibatasi oleh ruang yang potensial mudah dimasuki darah bila erjadi
perdarahan pada ruda paksa yang disebut perdarahan suprakoroid. Jaringan
uvea ini terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid. Pada iris didapatkan pupil
yang oleh 3 susunan otot dapat mengatur jumlah sinar masuk ke dalam bola
mata. Badan siliar yang terletak di belakang iris menghasilkan humor aquos
yang dikeluarkan melalui trabekulum yang terletak pada pangkal iris di
batas kornea dan sclera.
c. Retina mempunyai susunan lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis
membran neurosensoris yang akan merubah sinar menjadi rangsangan pada
saraf optik dan diteruskan ke otak. Terdapat rongga yang potensial antara
retina dan oroid sehingga retina dapat terlepas dari koroid yang disebut
ablasi retina.
Badan kaca mengisi rongga di dalam bola mata dan bersifat gelatin yang
hanya menempel papil saraf optic, macula, dan pars plana. Lensa terletak di
belakang pupil yang dipegang di daerah ekuatornya pada badan siliar melalui
Zonula Zinn. Lensa mata mempunyai peranan pada akomodasi atau melihat
dekat sehingga sinar dapat difokuskan di daerah macula lutea. Terdapat 6 otot
penggerak bola mata dan terdapat kelenjar lakrimal yang terletak di daerah
temporal atas di dalam rongga orbita (Ilyas, 2015).

3
Gambar 2.1. Anatomi Bola Mata

2. Sudut Bilik Mata Depan


Sudut bilik mata yang dibentuk jaringan korneosklera dengan pangkal
iris. Pada bagian ini terjadi pengaliran keluar cairan bilik mata. Bila terdapat
hambatan pengaliran keluar cairan mata akan terjadi penimbunan cairan bilik
mata di dalam bola mata sehingga tekanan bola mata meninggi atau glaukoma.
Berdekatan dengan sudut ini di dapatkan jaringan trabekulum, kanal Schlemm,
baji sklera, garis Schwalbe dan jonjot iris (Ilyas, 2010).

Gambar 2.2. Sudut bilik mata depan dan struktur sekitarnya

Sudut filtrasi berbatas dengan akar berhubungan dengan sclera kornea


dan disini ditemukan sclera spur yang membuat cincin melingkar 30 derajat dan
merupakan batas belakang sudut filtrasi serta tempat insersi otot siliar
longitudinal. Anyaman trabekula mengisi kelengkungan sudut filtrasi yang

4
mempunyai dua komponen yaitu badan siliar dan uvea. Pada sudut filtrasi
terdapat garis Schwalbe yang merupakan akhir perifer endotel dan membrane
descement, dan kanal Schlemm yang menampung cairan mata keluar ke
salurannya. Sudut bilik mata depan sempit terdapat pada mata berbakat
glaucoma sudu tertutup, hipermetropia, blockade pupil, katarak intumesen, dan
sinekia posterior perifer (Ilyas, 205).
3. Humor Aquos
Aqueous humor adalah suatu cairan jernih yang mengisi bilik mata
depan dan belakang. Volumenya adalah sekitar 250 L, dan kecepatan
pembentukannya, yang memiliki variasi diurnal, adalah 25 L/menit. Tekanan
osmotiknya sedikit lebih tinggi dibandingkan plasma. Komposisi aqueous
humor serupa dengan plasma, kecuali bahwa cairan ini memiliki konsentrasi
askorbat, piruvat dan laktat yang lebih tinggi sedangkan konsentrasi protein,
urea dan glukosa lebih rendah (Salmon, 2008). Komposisi ion dari aqueous
humor ditentukan melalui sistem transport aktif yang selektif (Na-K-2Cl
simport, Na-H antiport, Na-K ATPase dan lain-lain) yang berperan dalam
sekresi aqueous humor oleh epitel siliar (Cibis, et al., 2007).
Aqueous humor terbentuk dari plasma pada processus siliaris melalui
tiga mekanisme yaitu difusi, ultrafiltrasi dan transport aktif. Difusi adalah
proses transport zat yang larut lemak melewati membran sel melalui perbedaan
gradient konsentrasi. Ultrafiltrasi adalah proses perpindahan air dan zat yang
larut dalam air ke dalam membran sel akibat perbedaan gradien osmotik atau
tekanan hidrostatik. Transport aktif adalah zat yang larut air ditransport secara
aktif melalui membran sel dan memerlukan Na-K ATPase dan biasanya terdapat
pada sel epitel yang tidak berpigmen (Solomon, 2002).
Aqueous humor dari bilik anterior akan didrainase dengan dua rute yaitu
aliran trabekular/ konvensional dan aliran uveoskleral/ nonkonvensional. Aliran
trabekular merupakan jalur utama keluar aqueous humor dari bilik anterior,
sekitar 90% dari total. Aliran aqueous dari anyaman trabekular masuk ke dalam
kanal Schlemm yang menyebabkan resistensi aliran keluar. Teori vakuolisasi
merupakan mekanisme transport aqueous humor melewati dinding dalam dari
kanal Schlemm. Teori ini menyatakan bahwa jarak transelular yang ada di sel
endotel membentuk dinding dalam kanal Schlemm sehingga berbentuk seperti
vakuola dan pori-pori yang respon terhadap tekanan dan mentransport aqueous

5
humor melalui jaringan ikat jukstakanalikular ke kanal Schlemm. Dari kanal
Schlemm, aqueous ditransport melalui 25-35 kanal-kanal pengumpul ke vena
episklera melalui jalur direk maupun indirek (Khurana, 2007).
Aliran uveoskleral merupakan sistem pengaliran yang kedua dan
berkisar sekitar 10% dari total. Aqueous melewati badan siliaris dan masuk ke
rongga suprakoroidal dan kemudian didrainase oleh sirkulasi vena di badan
siliar, koroid dan sklera (Khurana, 2007).

Gambar 2.3. Flow chart dari drainase aqueous humor

Fungsi dari aqueous humor adalah mempertahankan tekanan intraokuli,


menyediakan zat-zat (glukosa, oksigen dan elektrolit) untuk keperluan
metabolik pada kornea yang avaskular dan lensa, mengekskresikan hasil-hasil
atau produk metabolik (laktat, piruvat dan karbon dioksida) dan mempunyai
peran pada metabolisme vitreous dan retina (Solomon, 2002).
Tekanan intraokuli ditentukan oleh laju dari sekresi aqueous dan laju
dari aliran keluar yang kemudian akan berhubungan dengan resistensi aliran
keluar dan tekanan vena episklera. Laju dari aqueous sebanding dengan
perbedaan antara tekanan intraokuli dan tekanan vena episklera (Kanksi, 2007).
Tekanan mata yang normal berkisar sekitar 21 mmHg (Ji et al, 2007).
Tekanan ini menunjukkan variasi diurnal. Pada malam hari terjadi perubahan
posisi dari berdiri menjadi berbaring sehingga terjadi tahanan atau resistensi

6
pada tekanan vena episklera sehingga menyebabkan tekanan intraokuli
meningkat. Penurnan tekanan intraokuli ini akan terjadi pada siang hari
sehingga tekanan intraokuli menjadi normal (Doshi, et al., 2010).
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi rentangan nilai tekanan
intraokuli, antara lain umur, jenis kelamin, ras, konsumsi tobacco, obesitas,
perubahan hormonal, olahraga (Ji, et al., 2007), irama sirkadian tubuh, denyut
jantung, frekuensi pernafasan, jumlah asupan air dan obat-obatan (Simmons, et
al., 2007).

B. Definisi
Glaukoma adalah suatu neuropati optik kronik didapat yang ditandai oleh
pencekungan (cupping) diskus optikus dan pengecilan lapangan pandang, biasanya
disertai peningkatan tekanan intraocular (Vaughan, 2010). Glaucoma sudut tertutup
akut terjadi bila terbentuk iris bombe yang menyebabkan oklusi sudut bilik mata
depan oleh iris perifer sehingga terjadi penutupan pengaliran keluar aqueous humor
yang tiba-tiba sehingga terjadi peningkatan tekanan intraokular yang mendadak dan
mencolok. Hal ini menyebabkan munculnya kekaburan penglihatan mendadak yang
disertai dengan nyeri hebat, muntah, mual disertai halo (ada gambar pelangi di
sekitar cahaya). Temuan-temuan lainnya adalah bilik mata depan dangkal, kornea
berkabut, pupil berdilatasi dan injeksi siliar, biasanya terjadi spontan di malam hari
saat pencahayaan kurang (Salmon, 2008).

C. Etiologi
Glaukoma terjadi karena peningkatan tekanan intraokuler yang dapat
disebabkan oleh bertambahnya produksi humor aquos oleh badan siliar ataupun
berkurangnya pengeluaran humor aquos di daerah sudut bilik mata atau di celah
pupil (Shock JP et al., 1996).
Tekanan intraokuler adalah keseimbangan antara produksi humor akueus,
hambatan terhadap aliran akueous dan tekanan vena episklera. Ketidakseimbangan
antara ketiga hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler,
akan tetapi hal ini lebih sering disebabkan oleh hambatan terhadap aliran humor
akueus. Peningkatan tekanan intraokuler akan mendorong perbatasan antara saraf
optikus dan retina di bagian belakang mata. Akibatnya pasokan darah ke saraf
optikus berkurang sehingga sel-sel sarafnya mati. Karena saraf optikus mengalami
kemunduran, maka akan terbentuk bintik buta pada lapang pandang mata (Shock JP
et al., 1996).

7
Glaukoma sudut tertutup akut terjadi bila terbentuk iris bombe yang
menyebabkan oklusi sudut bilik mata depan oleh iris perifer. Penutupan sudut pada
mata hyperopia yang sudah mengalami penyempitan anatomik bilik mata depan
biasanya dieksaserbasi oleh pembesaran lensa kristalina yang berkaitan dengan
penuaan. Serangan akut tersebut sering dipresipitasi oleh dilatasi pupil, yang terjadi
secara spontan di malam hari, saat pencahayaan berkurang. Dapat juga disebabkan
oleh obat-obatan dengan efek antikolinergik atau simpatomimetik (misalnya,
atropine sebagai obat praoperasi, antidepresan, bronkodilator inhalasi, dekongestan
hidung, atau tokolitik). Serangan dapat juga terjadi pada dilatasi pupil sewaktu
oftalmoskopi, tetapi jarang (Vaughan, 2010).

D. Epidemiologi
Glaucoma merupakan penyebab kedua kebutaan utama di dunia setelah
katarak dengan jumlah penderita sebanyak 70 juta orang. Di antara jumlah
penderita kebutaan tersebut sebanyak 50%-70% berasal dari bentuk glaucoma
sudut terbuka primer. Vaughan (2010) menyatakan bahwa sekitar 85%-90%
glaucoma berbentuk glaucoma sudut terbuka primer, sedangkan sebagian kecil
(10%-15%) merupakan glaucoma sudut tertutup primer (Soeroso, 2007).
Di Amerika, jumlah penderita glaukoma sudut terbuka primer yang berasal
dari kelompok pendatang (imigran) dengan ras kulit berwarna, 3-4 kali lebih
besar daripada jumlah pendatang yang berkulit putih. Sementara itu, pada
glaukoma sudut terbuka primer seringkali ditemukan pada kelompok umur di
atas 40 tahun, dan prevalensinya terus meningkat sesuai dengan bertambahnya
usia. Vaughan (2010) menyatakan bahwa prevalensi glaukoma sudut terbuka
primer pada usia 40 tahun sekitar 0.4%-0.7%, sedangkan pada usia 70 tahun
sekitar 2%-3%. Pernyataan yang hampir sama dikeluarkan oleh Framingham
Study dan Ferndale Glaucoma Study pada tahun 1994, yang menyatakan bahwa
prevalensi glaukoma sudut terbuka primer sekitar 0.7% penduduk yang berusia
52-64 tahun dan meningkat menjadi 1.6% penduduk pada usia 65-74 tahun,
serta menjadi 4.2% penduduk pada usia 75-85 tahun (Soeroso, 2007).
Hampir 60 juta orang terkena glaukoma. Diperkirakan 3 juta penduduk
Amerika Serikat terkena glaukoma, dan di antara kasus-kasus tersebut, sekitar 50%
tidak terdiagnosis. Sekitar 6 juta orang mengalami kebutaan akibat glaukoma,
termasuk 100.000 penduduk Amerika. Ras kulit hitam memiliki risiko yang lebih
besar mengalami onset dini, keterlambatan diagnosis, dan penurunan penglihatan

8
yang berat dibandingkan ras kulit putih. Glaukoma sudut tertutup didapatkan pada
10-15% kasus ras kulit putih. Persentase ini jauh lebih tinggi pada orang Asia dan
suku Inuit. Glaukoma sudut tertutup prirner berperan pada lebih dari 90% kebutaan
bilateral akibat glaukoma di China (Vaughan 2010).
Di Indonesia, glaukoma diderita oleh 3% dari total populasi penduduk.
Umumnya penderita glaukoma telah berusia lanjut. Pada usia diatas 40 tahun,
tingkat resiko menderita glaukoma meningkat sekitar 10%. Hampir separuh
penderita glaukoma tidak menyadari bahwa mereka menderita penyakit tersebut
(Depkes RI, 2010).

E. Patofisiologi
Mekanisme utama penurunan penglihatan pada glaucoma adalah apoptosis
sel ganglion retina yang menyebabkan penipisan lapisan serat saral dan lapisan inti-
dalam retina serta berkurangnya akson di nervus opticus. Diskus optikus menjadi
atrofik, disertai pembesaran cawan optik. Efek peningkatan tekanan intraocular
dipengaruhi oleh perjalanan waktu dan besar peningkatan tekanan intraokular. Pada
glaukoma sudut tertutup akut, tekanan intraokular mencapai 60-80 mmHg,
menimbulkan kerusakan iskemik akut pada iris yang disertai edema komea dan
kerusakan nervus opticus. Pada glaucoma sudut terbuka primer, tekanan intraokular
biasanya tidak meningkat lebih dari 30 mmHg dan kerusakan sel ganglion terjadi
setelah waktu yang lama, sering setelah beberapa tahun. Pada glaukoma tekanan
normal, sel-sel gangIion retina mungkin rentan mengalami kerusakan akibat
tekanan intraokular dalam kisaran normal, atau mekanisme kerusakarmya yang
utama mungkin iskemia caput nervi optici (Vaughan, 2010).

Glaukoma sudut tertutup primer terjadi pada mata dengan predisposisi


anatomis tanpa disertai kelainan lain. Peningkatan tekanan intraocular terjadi
karena sumbatan aliran keluar aqueous akibat adanya oklusi anyaman trabekular
oleh iris perifer. Keadaan ini dapat bermanifestasi sebagai suatu kedaruratan
oftalmologik atau dapat tetap asimptomatik sampai timbul penurunan penglihatan
(Vaughan, 2010).
Glaukoma sudut tertutup akut (glaukoma akut) terjadi bila terbentuk iris
bombe yang menyebabkan oklusi sudut bilik mata depan oleh iris perifer. Hal ini
menghambat aliran keluar aquos dan tekanan intraokular meningkat dengan cepat,

9
meninbulkan nyeri yang hebat, kemerahan, dan penglihatan kabur. Penutupan sudut
pada hiperopia yang sudah mengalami penyempitan anatomik bilik mata depan
biasanya dieksaserbasi oleh pembesaran lensa kristalina yang berkaitan dengan
penuaan. Serangan akut tersebut sering dipresipitasi oleh dilatasi pupil, yang terjadi
secara spontan di malam hari, saat pencahayaan berkurang (Vaughan, 2010).
Dapat disebabkan oleh obat-obatan dengan efek antikolinergik atau
simpatomimetik (misalnya atropine sebagai obat pra operasi, anti depresan,
bronkodilator inhalasi, dekongestan hidung, atau tokolitik). Serangan dapat juga
terjadi pada dilatasi pupil sewaktu oftalmoskopi, tetapi jarang. Apabila perlu
dilakukan dilatasi pupil pada pasien dengan bilik mata depan yang dangkal (mudah
dideteksi dengan senter secara oblik), sebaiknya diberikan midriatik kerja-singkat,
hindari menimbulkan konstriksi pupil dengan pilocarpine, dan minta pasien untuk
segera mencari pertolongan bila terdapat nyeri atau kemerahan di mata atau
penglihatan yang semakin kabur (Vaughan, 2010).

F. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Pada glaukoma akut tertutup, ditemukan mata merah dengan
penglihatan turun mendadak, tekanan intraokuler meningkat mendadak, nyeri
yang hebat, melihat halo di sekitar lampu yang dilihat, terdapat gejala
gastrointestinal berupa mual dan muntah. Mata menunjukkan tanda-tanda
peradangan dengan kelopak mata bengkak, kornea suram dan edem, iris sembab
meradang, pupil melebar dengan reaksi terhadap sinar yang lambat, papil saraf
optic hiperemis. Riwayat penyakit yang akurat pada glaukoma dusut tertitup
akut terjadi selama beberapa minggu atau bulan sebelum serangan akut yang
berat, yaitu episode nyeri dan kabur yang sembuh sendiri, berlangsung selama
beberapa jam tiap episode serangan, frekuensi serangan makin meningkat
sampai timbulnya serangan akut yang berat (Vaughan 2010).

10
Gambar 2.4. Mata Glaukoma
2. Pemeriksaan
a. Ketajaman Penglihatan
Ketajaman penglihatan merupakan bukan cara yang khusus untuk
menegakan diagnosis glaukoma, tetapi tetap penting, karena ketajaman
pengelihatan yang baik misalnya 6/6 belum berarti tidak ada glaukoma.
Pada glaukoma sudut terbuka, kerusakan saraf mata dimulai dari tepi lapang
pandangan dan lambat laun meluas ketengah. Dengan demikian
pengelihatan sentral (fungsi makula) bertahan lama, walaupun pengelihatan
perifer sudah tidak ada, sehingga penderita tersebut seolah olah melihat
melalui teropong (tunnel vision). Pada glaukoma sudut tertutup, biasanya
ditemukan penurunan visus, mata yang merah (Ilyas, 2010).
b. Tonometri
Bola mata dapat digambarkan sebagai suatu kompartemen tertutup
dengan sirkulasi aquos humor yang konstan. Cairan ini mempertahankan
bentuk dari tekanan yang cukup merata di dalam bola mata. Tonometri
adalah cara pengukuran tekanan cairan intraokular dengan memakai alat-
lata yang terkalibrasi. Tekanan yang normal berkisar dari 10 sampai 21
mmHg. Ada 3 macam Tonometri (Vaughan 2010):
1) Tonometri Aplanasia
2) Tonometri Schiozt
3) Tonometri Digital
Tonometri adalah pengukuran tekanan intraokular. Instrumen yang
paling luas digunakan adalah tonometer aplanasi Goldmann, yang
dilekatkan ke slitlamp dan mengukur gaya yang diperlukan untuk
meratakan daerdh komea tertentu. Ketebalan kornea berpengaruh terhadap
keakuratan pengukuran. Tekanan intraokular mata yang korneanya tebal,
akan ditaksir terlalu tinggi, yang korneanya tipis, ditaksir terlalu rendah.

11
Kesulitan ini dapat diatasi dengan tonometer kontur dinamik Pascal.
Tonometer tonometer aplanasi lainnya, yaitu tonometer Perkins dan
TonoPen, keduanya portabel; pneumatotonometer, yang dapat digunakan
walaupun terdapat lensa kontak lunak di permukaan kornea yang ireguler.
Tonometer Schiotz adalah tonometer portabel; tonometer ini mengukur
indentasi kornea yang ditimbulkan oleh beban yang diketahui sebelumnya
(Vaughan, 2010).

Gambar 2.5. Pengukuran Tekanan Intraokular dengan Palpasi

Gambar 2.6. Pemeriksaan Tonometri Schiotz

12
Gambar 2.7. Pemeriksaan Tonometri Applanasi Goldmann

c. Gonioskopi
Merupakan suatu cara untuk melihat lebar sempitnya sudut bilik
mata depan. Dengan gonioskopi dapat dibedakan glaukoma sudut tertutup
atau sudut terbuka, juga dapat dilihat apakah terdapat perlekatan iris bagian
perifer, kedepan (peripheral synechiae anterior). Sudut bilik mata depan
dibentuk oleh pertemuan kornea perifer dengan iris, yang di antaranya
terdapat anyaman trabekular. Konfigurasi sudut ini-yakni lebar (terbuka),
sempit, atau tertutup-memberi dampak penting pada aliran keluar aqueous
humor (Vaughan, 2010).
Lebar sudut bilik mata depan dapat diperkirakan dengan
pencahayaan oblik bilik mata depan, menggunakan sebuah senter atau
dengan pengamatan kedalaman bilik mata depan perifer menggunakan
slitlamp. Akan tetapi, sudut bilik mata depan sebaiknya ditentukan dengan
gonioskopi, yang memungkinkan visualisasi langsung struktur-struktur
sudut. Apabila keseluruhan anyaman trabekular, taji sklera, dan processus
iris dapat terlihat, sudut dinyatakan terbuka. Apabila hanya garis Schwalbe
atau sebagian kecil dari anyaman trabecular yang dapat terlihat, sudut

13
dinyatakan sempit. Apabila garis Schwalbe tidak terlihat, sudut dinyatakan
tertutup (Vaughan, 2010).
Mata miopia yang besar memiliki sudut lebar, dan mata hiperopia
kecil merniliki sudut sempit. Pembesaran lensa seiring dengan usia
mempersempit sudut ini dan berperan pada beberapa kasus glaukoma sudut
tertutup (Vaughan, 2010).
d. Penilaian Diskus Optikus
Diskus optikus normal memiliki cekungan di bagian tengahnya
(depresi sentral)-cawan fisiologik-yang ukurannya tergantung pada jumlah
relatif serat penyusun nervus opticus terhadap ukuran lubang sklera yang
harus dilewati oleh serat-serat tersebut. Pada mata hyperopia, lubang
skleranya kecil sehingga cawan optik juga kecil, pada mata miopia hal yang
sebaliknya terjadi. Atrofi optikus akibat glaukoma menimbuikan kelainan-
kelainan diskus khas yang terutama ditandai oleh berkurangnya substansi
diskus-yang terdeteksi sebagai pembesaran cawan diskus optikus-disertai
dengan pemucatan diskus di daerah cawan. Bentuk-bentuk lain atrofi
optikus menyebabkan pemucatan luas tanpa peningkatan pencekungan
diskus optikus (Vaughan, 2010).
Pada glaukoma, mungkin terdapat pembesaran sentrik cawan optik
atau pencekungan (cupping) superior dan inferior dan disertai pembentukan
takik (notching) fokal di tepi diskus optikus (Gambar 2.5). Kedalaman
cawan optik juga meningkat karena lamina kribrosa tergeser ke belakang.
Seiring dengan pembentukan cekungan, pembuluh retina di diskus tergeser
ke arah hidung. Hasil akhir proses pencekungan pada glaukoma adalah apa
yang disebut sebagai cekungan bean-pot (periuk), yang tidak
memperlihatkan di bagian tepinya (Vaughan, 2010).

Gambar 2.8. Glaukoma stadium awal memperlihatkan taktik fokal interior


tepi neurotina (panah).

14
Rasio cawan diskus adalah cara yang berguna untuk mencatat
ukuran diskus optikus pada pasien glaukoma. Besaran tersebut adalah
perbandingan antara ukuran cawan optik terhadap diameter diskus,
misalnya, cawan kecil-rasionya 0,1 dan cawan besar 0,9. Apabila terdapat
kehilangan lapang pandang atau peningkatan tekanan intraokular, rasio
cawan diskus lebih dari 0,5 atau terdapat asimetri yang bermakna antara
kedua mata sangat diindikasikan adanya atrofi glaukomatosa (Vaughan,
2010).
Penilaian klinis diskus optikus dapat dilakukan dengan oftalmoskopi
langsung atau dengan pemeriksaan menggunakan lensa 78 dioptri atau lensa
kontak kornea khusus yang memberi gambaran tiga dimensi. Bukti klinis
lain adanya kerusakan neuron pada glaukoma adalah atrofi lapisan serat
saraf retina, yang mendahului timbulnya kelainan diskus optik. Kerusakan
ini dapat terdeteksi dengan oftalmoskopi atau foto fundus, keduanya
dilengkapi dengan cahaya bebas-merah, optical coherence tomography,
scanning laser polarimetry, atau scanning laser tomography (Vaughan,
2010).

Gambar 2.9. Lesi Pada N. Opticus

e. Pemeriksaan Lapang Pandang


Pemeriksaan lapang pandang secara teratur berperan penting dalam
diagnosis dan tindak lanjut glaukoma. Penurunan lapang pandang akibat
glaukoma itu sendiri tidak spesifik karena gangguan ini terjadi akibat defek
berkas serat saraf yang dapat dijumpai pada semua penyakit nervs opticus,
namun, pola kelainan lapang pandanng, sifat progresifitas, dan
hubungannya dengan kelainan-kelainan diskus optikus merupakan ciri khas
penyakit ini (Vaughan 2010).
Gangguan lapang pandang akibat glaukoma terutama mengenai 30
derajat lapang pandang bagian sentral. Perubahan paling dini ialah semakin
nyatanya bintik buta. Perluasan kontinyu ke lapang pandang daerah
Bjerrum-15 derajat dari fiksasi membentuk skotoma Bjerrum, kemudian

15
skotoma arkuata. Daerah-daerah penutupan lapang pandang yang lebih
parah di dalam Bjerrum yang dikenal skotoma Seidel. Skotoma arkuata
ganda di atas dan di bawah meridien horizontal sering disertai oleh nasal
step (Roenne) karena perbedaan ukuran kedua defek arkuata ersebut.
Pengecilan lapang pandang perifer cenderung berawal di perifer nasal
sebagai konstriksi isopter. Selanjutnya, mungkin terdapat hubungan ke
defek arkuta, menimbulkan breakthrough perifer. Lapang pandang perifer
temporal dan 5-10 derajat sentral baru terpengaruhi pada stadium lanjut
penyakit. Ketajaman penglihatan sentral bukan merupakan petunjuk
perkembangan penyakit yang dapat diandalkan. Pada stadium akhir
penyakit, ketajaman penglihatan sentral mungkin normal tetapi hanya 5
derajat lapang pandang di tiap-tiap mata. Pada glaukoma lanjut, paiesn
mungkin memiliki ketajaman penglihatan 20/20 tetapi secara legal buta
(Vaughan 2010).
Berbagai cara untuk memeriksa lapang pandang pada glaukoma
adalah automated perimeter (mis., Humphrey, Octopus, atau Henson),
perimeter Goldmann, Friedmann field analyzer, dan layar tangent.
Conventional automated perimetry, paling sering menggunakan perimeter
Humphrey, dengan stimulus putih pada latar belakan putih (perimetri white
on white). Defek lapangan pandang tidak terdeteksi sampai kira-kira
terdapat kerusakan ganglion retina sebanyak 40%. Berbagai penyempurnaan
untuk medeteksi kelainan lapangan pandang dini diantaranya adalah
perimetri blue on yellow, juga dikenal sebagai short-wavelength automated
perimetry (SWAP), frequency-doubling perimetry (FDP), dan high-pass
resolution perimetry (Vaughan 2010).

16
Gambar 2.10. Kelainan lapang pandang pada glaukoma

G. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. Supresi Pembentukan Humor Aqueus
1) Golongan -adrenergik Bloker
Obat golongan ini dapat digunakan sebagai monoterapi atau
dengan kombinasi dengan obat yang lain. Contoh obat golongan -
adrenergic bloker misalnya timolol maleat 0,25% dan 0.5%, betaxolol
0,25% dan 0,5%, levobunolol dan lain-lain (Vaughan, 2010).
Timolol maleat merupakan -adrenergik non selektif baik 1
atau 2. Timolol tidak memiliki aktivitas simpatomimetik, sehingga
apabila diteteskan pada mata dapat mengurangi tekanan intraokuler.
Timolol dapat menurunkan tekanan intraokuler sekitar 20-30%.
Reseptor - adrenergik terletak pada epitel siliaris, jika reseptornya

17
terangsang aktifitas sekresinya akan meningkatkan inflow humor aquos
melalui proses komplek enzim adenyl cyclase-reseptor sehingga
menurunkan produksi humor aquos (Katzung, 2012).
Farmakodinamik golongan -adrenergic bloker dengan cara
menekan pembentukan humor aquos sehingga tekanan intraokuler dapat
turun. Sedangkan farmakokinetiknya sebagian besar diserap dengan
baik oleh usus secara peroral sehingga bioavaibilitas rendah, dan
memiliki kadar puncak dalam plasma mencapai 1 sampa 3 jam.
Kebanyakan golongan -adrenergic bloker memiliki waktu paruh antara
3 sampai 10 jam. Waktu ekskresi yang dibutuhkan ginjal untuk
mengeluarkan obat golongan ini dapat diperpanjang apabila terdapat
hambatan aliran darah yang menuju ke hati atau hambatan enzim hati
(Katzung, 2012).
Penggunaan obat golongan ini dalam jangka lama dapat
mengakibatkan kontraindikasi berupa obstruksi jalan napas kronik.
Indikasi pemakaian diberikan pada pasien glaukoma sudut terbuka
sebagai terapi inisial baik secara tunggal atau kombinasi terapi dengan
miotik. Indikasi lainnya dapat diberikan pada glaukoma inflamasi,
hipertensi okuler dan glaukoma kongenital (Katzung, 2012).
2) Golongan 2-adrenergik Agonis
Golongan 2-adrenergik agonis obat ini dibagi menjadi 2 yaitu
selektif dan tidak selektif. Golongan 2-adrenergic agonis yang selektif
misalnya apraklonidin memiliki efek menurunkan produksi humor
aquos, meningkatkan aliran keluar humor aquos melalui trabekula
meshwork dengan menurunkan tekanan vena episklera dan dapat juga
meningkatkan aliran keluar uveosklera (Vaughan, 2010).
Farmakokinetik dari pemberian apraklonidin 1% dalam waktu 1
jam dapat menghasilkan penurunan tekanan intraokuler yang cepat
paling sedikit 20% dari tekanan intraokuler awal. Efek maksimal dari
apraklonidin dalam menurunkan tekanan intraokuler dapat terjadi
sekitar 3-5 jam setelah pemberian terapi (Katzung, 2012).
Indikasi penggunaan apraklonidin untuk mengontrol
peningkatan akut tekanan intraokuler pasca tindakan laser. Sedangkan
kontraindikasi pemakaian obat ini apabila pasien dengan mono amin
oksidase (MAO) dan trisiklik depresan karena mempengaruhi
metabolisme dan uptake katekolamin (Katzung, 2012).

18
3) Penghambat Karbonat Anhidrase
a) Asetasolamid Oral
Asetasolamid oral merupakan obat yang sering di gunakan
karena dapat menekan pembentukan humor aquos sebanyak 40-
60%. Bekerja efektif dalam menurunkan tekanan intraokuler apabila
konsentrasi obat bebas dalam plasma 2,5 M.16,18 Apabila
diberikan secara oral, konsentrasi puncak pada plasma dapat
diperoleh dalam 2 jam setelah pemberian dapat bertahan selama 4-6
jam dan menurun dengan cepat karena ekskresi pada urin (Katzung,
2012).
Indikasi asetasolamid terutama untuk menurunkan tekanan
intraokuler, mencegah prolaps korpus vitreum, dan menurunkan
tekanan introkuler pada pseudo tumor serebri. Kontraindikasi relatif
untuk sirosis hati, penyakit paru obstruktif menahun, gagal ginjal,
diabetes ketoasidosis dan urolithiasis (Widodo, 2002).
Efek samping yang paling sering dikeluhkan parastesi dan
inisial diuresis, sedangkan efek lain yang dapat muncul apabila
digunakan dalam jangka lama antara lain metalic taste, malaise,
nausea, anoreksia, depresi, pembentukan batu ginjal, depresi
sumsum tulang, dan anemia aplastic (Widodo, 2002).
b) Penghambat Karbonat Anhidrase Topikal
Penghambat karbonat anhidrase topikal bersifat larut lemak
sehingga bila digunakan secara topikal daya penetrasi ke kornea
relatif rendah. Pemberian dorsolamid topikal akan terjadi penetrasi
melalui kornea dan sklera ke epitel tak berpigmen prosesus siliaris
sehingga dapat menurunkan produksi humor aqueus dan HCO3-
dengan cara menekan enzim karbonik anhidrase II. Penghambat
karbonik anhidrase topikal seperti dorsolamid bekerja efektif
menurunkan tekanan intraokuler karena konsentrasi di prosesus
siliaris mencapai 2-10M.17 Penghambat karbonat anhidrase topikal
(dorsolamid) dapat menurunkan tekanan intraokuler sebesar 15-20%
(Katzung, 2012).
Indikasi pemberian untuk mengontrol glaukoma baik jangka
pendek maupun jangka panjang, sebagai obat tunggal atau
kombinasi. Indikasi lain untuk mencegah kenaikan tekanan
intraokuler pasca bedah intraokuler. Efek samping lokal yang

19
dijumpai seperti mata pedih, keratopati pungtata superfisial, dan
reaksi alergi. Efek samping sistemik jarang dijumpai seperti metalic
taste, gangguan gastrointestinal dan urtikaria (Katzung, 2012).
b. Menambah Pembuangan Humor Akuos
1) Pilokarpin
Pilokarpin merupakan obat golongan kolinergik yang
menurunkan TIO dengan cara menaikkan kemampuan aliran keluar
cairan akuos melalui trabekulum meshwork. Obat ini merangsang saraf
parasimpatik sehingga menyebabkan kontraksi m.longitudinalis ciliaris
yang menarik taji sklera. Hal ini akan membuka anyaman trabekulum
sehingga meningkatkan aliran keluar. Selain itu, agen ini juga
menyebabkan kontraksi m.sfingter pupil sehingga terjadi miosis. Efek
miosis ini akan meyebabkan terbukanya sudut iridokornea pada
glaukoma sudut tertutup. Pilokarpin tidak boleh diberikan pada
galukoma yang disebabkan oleh uveitis, glaukoma maligna dan kasus
alergi terhadap obat terebut. Efek samping penggunaan obat ini adalah
keratitis superfisialis pungtata, spasme otot siliaris yang menyebabkan
rasa sakit pada daerah alis, miopisasi, ablasio retina, katarak, toksik
terhadap endotel kornea. Pilokarpin tersedia dalam bentuk pilokarpin
hidrokloride 0.25%-10% dan pilokarpin nitrat 1%-4%.Pemberian
dengan diteteskan 1-2 tetes, 3-4 kali sehari. Durasi obat ini selama 4-6
jam.
2) Prostaglandin
Obat ini merupakan obat yang paling baru dengan titik tangkap
pada aliran uveasklera dengan menyebabkan relaksasi otot siliaris dan
melebarkan celah antar fibril otot sehingga aliran keluar humor akuos
melalui jalur ini lebih banyak yang berakibat TIO turun, obat ini
sekarang merupakan terapi first line karena tidak mempunyai efek
samping sistemik dan mempunyai efektivitas tinggi dalam menurunkan
TIO, hanya masalah harga masih cukup tinggi. Pemakaian obat ini
cukup satu kali tetes per hari, efek samping terhadap mata yang sering
adalah hiperemi konjungtiva, pemanjangan bulu mata, pigmentasi iris
dan warna kulit kelopak menjadi lebih gelap, obat yang termasuk
golongan ini adalah Latanaprost 0,005%. Travaprost 0,004%,

20
Bimatoprost 0,03%, masing-masing sekali setiap malam, dan
Unoprostone isopropyl 0,15% dua kali sehari.
c. Mengurangi Volume Vitreus : Zat Hiperosmotik
1) Gliserol
Merupakan obat hiperosmotik yang dapat menurunkan TIO
dengan cepat dengan cara mengurangi volume vitreous, penting untuk
tekanan akut karena tekanan tinggi sehingga TIO harus segera
diturunkan. Obat ini akan membuat tekanan osmotik darah menjadi
tinggi sehingga air di viterous diserap kedarah. Obat tidak boleh
diberikan kepada penderita DM dan kelainan fungsi ginjal. Dosis yang
tersedia cairan gliserol 50% dan 75% yang diberikan dengan dosis
standard 2-3ml/KgBB atau peroral 3-4 kali per hari. Sabagai medikasi
pre-operasi intraokular diberikan dosis 1-1.5g/kgBB diminum sekitar 1-
1.5 jam sebelum operasi. Obat mulai bekerja setelah 10 menit dan
mencapai efek maksimal setelah 30menit dan akan bekerja selama 5
jam. Efek samping yaitu peningkatan tekanan darah sistemik yang berat,
dehidrasi, mual muntah, diuresi, retensi urin, rasa bingung, pusing,
demam, diare, CHF, asidosis dan edema paru.
2) Manitol
Golongan hiperosmotik yang dapat diberikan IV. Cara kerja
sama seperti zat hiperosmotik yang lain. Dosis; 1-2g/KgBB atau
5ml/KgBB IV dalam masa 1 jam (Ilyas, 2010).

2. Non Medikamentosa
a. Bedah Glaukoma: Iridektomi atau Iridotomi Perifer
Iridektomi atau iridotomi perifer adalah tindakan bedah dengan
membuat lubang pada iris untuk mengalirkan cairan akuos langsung dari
bilik belakang ke bilik depan mata mencegah tertutupnya trabekulum pada
blok pupil dan juga dapat mencegah timbulnya bilik pupil relatif pada
pasien yang memiliki bilik depan mata yang dangkal.
b. Operasi Filtrasi: Trabekulektomi
Pada glaukoma masalahnya adalah terdapatnya hambatan filtrasi
(pengeluaran) cairan mata keluar bola mata yang tertimbun dalam mata
sehingga tekanan bola mata naik. Bedah trabekulektomi merupakan teknik

21
bedah untuk membuat saluran atau lubang yang menghubungkan bilik
depan mata dengan daerah subkongjungtiva atau subtenon, sehingga pada
kondisi ini cairan akuous mengalir langsung dari bilik mata belakang ke
bilik mata depan dan langsung masuk ke daerang subkonjungtiva melalui
partial thickness flap sclera sehingga TIO menurun.
c. Implan Drainase Pada Glaukoma
Pada saat ini dikenal juga operasi dengan menanam bahan penolong
pengaliran (implant surgery). Pada keadaan tertentu adalah tidak mungkin
untuk membuat filtrasi secara umum sehingga perlu dibuatkan saluran
buatan (artifisial) yang ditanamkan ke dalam mata untuk drainase cairan
mata keluar dengan mempertahankan fungsi bleb konjungtiva yang
diperlukan untuk mengendalikan TIO. Komplikasi yang mungkin terjadi
setelah pemasangan drainase antara lain hipotoni, bilik mata depan lenyap,
sumbatan tuba, sentuhan tuba pada kornea atau iris yang menyebabkan
kerusakan, erosi atau lepasnya implant dari tempatnya, diplopia,
dekompensasi kornea.
d. Perusakan Badan Silier (Siklodekstruksi)
Metode terapi glaukoma ini ditujukan untuk mengurangi produksi
cairan akuos dengan cara menghancurkan badan siliaris yang memproduksi
cairan akuos. Siklodestruksi diindikasikan untuk glaukoma neovaskular,
glaukoma pada afakia, glaukoma setelah operasi retina atau setelah operasi
keratoplasti tembus, glaukoma pada mata yang mengalami sikatrik
konjungtiva. Siklodestruksi ini tidak boleh dikerjakan pada mata yang
masih memiliki visus yang baik karena akan menyebabkan turun atau
hilangnya ketajaman penglihatan yang ada (Suhardjo, 2007).

H. Komplikasi
Komplikasi pada glaukoma sudut tertutup yaitu dapat terjadi sinekia
anterior perifer. Apabila glaucoma akut tidak cepat diobati, terjadilah perlekatan
antara iris bagian tepi dan jaringan trabekulum. Akibatnya adalah bahwa
penyaluran keluar akuous humor terhambat. Bisa terjadi katarak. Di atas
permukaan kapsul depan lensa acapkali terlihat bercak putih sesudah suatu
serangan akut. Tampaknya seperti susu yang tertumpah di atas meja. Gambaran ini
dinamakan Glaukomflecke yang menandakan pernah terjadi serangan akut pada
mata tersebut. Atrofi papil saraf optic karena serangan yang mendadak dan hebat,
papil saraf optic mengalami pukulan yang berat hingga menjadi atrofi. Kalau

22
glaukomanya tidak diobati dan berlangsung terus, dapat terjadi ekskavasi dan
atrofi. Glaukoma absolute adalah istilah untuk suatu glaucoma yang sudah
terbengkalai sampai buta total. Bola mata nyeri karena TIO tinggi dan kornea
mengalami degenerasi hingga menggelupas (keratopati bulosa) (Ilyas, 2010).

I. Prognosis
Glaukoma akut merupakan kegawat daruratan mata, yang harus segera
ditangani dalam 24 48 jam. Jika tekanan intraokular tetap terkontrol setelah terapi
akut glaukoma sudut tertutup, maka kecil kemungkinannya terjadi kerusakan
penglihatan progresif. Tetapi bila terlambat ditangani dapat mengakibatkan buta
permanen (Shock JP et al., 1996).

III. KESIMPULAN

1. Glaukoma mencakup beberapa penyakit dengan etiologi yang berbeda dengan


tanda umum adanya neuropathy optik yang memiliki karakteristik adanya kelainan
pada nervus optikus dan gambaran gangguan lapang pandang yang spesifik.
Penyakit ini sering tapi tidak selalu berhubungan dengan peningkatan tekanan
intraokular. Stadium akhir dari glaukoma adalah kebutaan.
2. Glaukoma dibagi menjadi glaukoma primer sudut terbuka (glaukoma kronis),
glaukoma primer sudut tertutup (sempit / akut), glaukoma sekunder, dan glaukoma
kongenital (glaukoma pada bayi).
3. Glaukoma sudut tertutup primer terjadi apabila terbentuk iris bombe yang
menyebabkan sumbatan sudut kamera anterior oleh iris perifer, sehingga
menyumbat aliran humor akueus dan tekanan intraokular meningkat dengan cepat
sehingga menimbulkan nyeri hebat, kemerahan dan kekaburan penglihatan.

23
Glaukoma sudut tertutup primer dapat dibagi menjadi akut, subakut, kronik, dan
iris plateau.
4. Glaukoma akut merupakan kegawat daruratan mata, yang harus segera ditangani
dalam 24 48 jam. Jika tekanan intraokular tetap terkontrol setelah terapi akut
glaukoma sudut tertutup, maka kecil kemungkinannya terjadi kerusakan
penglihatan progresif. Tetapi bila terlambat ditangani dapat mengakibatkan buta
permanen
5. Prinsip dari pengobatan glaukoma akut yaitu untuk mengurangi produksi humor
akueus dan meningkatkan sekresi dari humor akueus sehingga dapat menurunkan
tekanan intra okuler sesegera mungkin

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. 2010. Glaukoma. Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun
2010.

Ilyas S., Mailangkay HB., Taim H., Saman RR, Simarmata, Widodo P.S. 2010. Ilmu
Penyakit Mata Untuk Dokter Umum Dan Mahasiswa Kedokteran. Edisi 2.
Jakarta; Sagung Seto; Pp 239-62.

Ilyas S, Tanzil M, Salamun, Azhar Z. 2015. Sari Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta. hal : 155-72

Kaufman L. Paul, Aqueous Humor Dynamics, Duanes Clinical Opthalmology, vol 3,


Philadelphia, 2004: p1-15.

Rubin E Reisner, H.M. 2009. Essentials of Rubins Pathology. Edition 5. Lippincott


Williams & Wilkins: 370

24
Ruthanne BS, Duane`s, Primary Angle-Closure Glaucoma, Chapter 13-21, in Clinical
Ophthalmology, Volume 3, Revised Edition, 2004, 1-22.

Shaffer, Becker, Aqueous Humor Formation in Diagnosis and Therapy of the Glaucomas,
7th edition, Mosby Inc, 1999, p20-45.

Shock JP, Harper RA, Vaughan D, Eva PR. Lensa, Glaukoma. In: Vaughan DG, Asbury T,
Eva PR, editors. Oftalmologi umum. 14 ed. Jakarta. Widya Medika. 1996

Soeroso, Admadi. 2007. The Role of Il-10 Cytokine in Increased Intraocular Pressure on
Primary Open Angle Glaucoma. Jurnal Oftalmologi Indonesia (5) 2: 124 - 137

Suhardjo. Hartono. 2007. Ilmu Kesehatan Mata. Jogjakarta; Bagian Ilmu Penyakit Mata
FK Universitas Gadjah Mada; pp 147-68.

Vaughan, D.G. Asbury, T. Riodan-Eva, P. 2010, Glaukoma. dalam : Oftalmologi Umum,


ed. Diana, S., edisi 17, Jakarta, EGC

Wijaya, Nana. Glaukoma. dalam : Ilmu Penyakit Mata, ed. Wijaya Nana, cet.6, Jakarta,
Abadi Tegal, 1993, hal : 219-232.

25

Anda mungkin juga menyukai