Pengembangan Kurikulum
Pengembangan Kurikulum
Istilah kurikulum semula berasal dari istilah yang dipergunakan dalam dunia taktik curere yang berarti "berlari' . Istilah te rsebut erat hubungannya
dengan kata curier atau kurir yang berarti penghubung atau seseorang yang bertugas menyampaikan sesuatu kep ada orang atau tempat lain. Seseorang kurir
harus menempuh suatu perjalanan untuk mencapai tujuan, maka istilah kurikulum kemudian diartikan sebagai orang sebagai suatu jarak yang harus ditempuh.
Dari istilah atletik kurikulum mengalami perpindahan arti kedunia pendidikan. Kurikulum kemudian diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran
atau ilmu pengetalman yang ditempult atau dikuasai untuk mencapai suatu tingkat tertentu atau ijazah. Disamping itu, kurikulu m juga diartikan sebagai suatu
rencana yang disengaja dirancang untuk mencapai sejumlah tujuan pendidikan.
Itulah sebabnya orang pada waktu lalu juga menyebut kurikulum dengan istilah Rencana Pelajaran" yang merupakan terjemahan is tilah Leerplan.
Rencana pelajaran merupakan salah satu komponen dalam asas-asas didaktik yang harus dikuasai (atau paling tidak diketahui) oleh seorang guru atau calon
guru.
Defenisi-defenisi kurikulum yang bersifat tradisional biasanya masih menampakkan adanya kecenderungan penekanan pada rencana pelajaran
untuk menyampaikan mata-mata peiajaran (subject matter) kepada anak didik yang biasanya berisi kebudayaan. (hasil budidaya) masa lampau atau sejumlah
ilmu pengetahuan.
Anak yang berhasil melewati tahap ini akan atau herhak memperoleh ijazah. Kabudayaan atau sejumlah ilmu peng etahuan yang akan disampaikan
tersebut bersumber pada buku-buku yang baik atau dianggap bermutu, sehingga kurikulum terutama dalam hal tujuan instruksional dan pemilihan bahan
pengajaran lebih banyak ditentukan atau dipengaruhi oleh buku- buku tersebut.
Dihubungkan dengan kebutuhan pengalaman anak yang diharapkan terpenuhi melalui kegiatan belajar -mengajar sekolah, ternyata hal tersebut
kurang menguntungkan karena ia membatasi pengalaman anak dalam proses belajar-mengajar kelas saja dan kurang inemperhatikan pengalaman-pengalaman
lain yang diperoleh di luar kelas.
Kurikulum yang bersi demikian. hanya menekankan aspek intelektual saja yang harus dikuasai siswa dan mengabaikan aspek -aspek yang lain yang
juga sangat berpengaruh dalam perkembangan kejiwaan siswa. Kurikulum macam ini biasanya disebut Subject Centere Curiculum, yaitu kurikulum yang
berpusat pada materi pelajaran Sejalan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, pendirian tradisional mengenai kur ikulum tersebut
ditinggalkan orang karena dianggap terlalu sempit dan atau paling tidak orang berusaha mencari kemungkinan -kemungkinan baru, sebab pada kenyataanya
pula seperti halnya dengan masalah-masalah lain, belum dapat meninggalkan (atau mungkin meninggalkan) sama sekali pendirian tradisonal.
Dasarkan pendirian diatas, yakni pendirian tradisional, kurikulum dijalankan (mau tak mau) berpusat pada guru atau but Teacher Centered
Curiculum. Pandangan yang lebih kemudian ingin mengubah pandangan tersebut dengan memperhatikan minat dan kebutuhan a nak, karena anaklah
sebenamya yang menjadi subjek didik.
Anak tak boleh hanya dipeerlakukan sebagai objek yang statis, melainkan harus diperhatikan kebutuhannya sesuai dengan perkemb angan jiwanya
karena itu, terjadilah pergeseran dalam dunia pendidikan dari suject atau teacher centered ke student centered. Kurikulum yang sesuai dengan pandangan
terakhir itu disebut Child Centered curiculum.
Hal itu terutama disebabkan oleh pengaruh penemuan-penemuan dibidang psikologi. khususnya psikologi kembangan. mendefenisikan kurikulum
secara sederhana, yaitu sebagai seperangkat organisasi pendidikan formal atau pusat -pusal latihan. Selanjumya ia membuat implikasi secara lebih ekplisit
tentang defenisi yang dikemukakannya tersebut menjadi enam hal. yaitu :
1. Kurikulum adalah suatu rencana atau intentions, ia mungkin hanya berupa perencanaan (mental) saja. tapi pada umumnya diwujudkan dalam be ntuk
tulisan.
2. Kurikulum bukanlah kegiatan, melainkan perencanaan atau rancangan kegiatan;
3. Kurikulum berisi berbagai macam hal seperti masalah apa yang harus dikembangkan pada diri siswa, evaluasi untuk menafsirkan hasil belajar, bahan
dan peralatan yang dipergunakan, kualitas guru yang dituntut dan sebagainya.
4. Kurikulum melibatkan maksud atau pendidikan formal, maka ia sengaja mempromosikan belajar dan menolak sifat rambang tanpa rencana, atau
kegiatan tanpa belajar.
5. Sebagai perangkat organisasi pendidikan, kurikulum menyatukan berbagai komponen seperti tujuan, isi. sistem penilaian dalam s atu kesatuan yang tak
terpisahkan. Atau dengan kata lain, kurikulum adalah sebuah sistem
6. Pendidikan dan latihan dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman yang terjadi jika suatu hal dilalaikan.
Defenisi diatas yang kemudian disertai dengan berbagai implikasinya, dapat memberikan gambaran yang lebi h nyata tentang kurikulum, walau mungkin
tidak sepenuhnya kita terima atau pahami. Misalnya saja dikatakan bahwa kurikulum mungkin hanya berupa perencanaan secara men tal, dalam arti tidak
diwujudkan dalam bentuk tertulis.
Bagaimana jadinya jika ada (mungkin hanya sebagian) kurikulum yang tidak ditutis, tentunya akan mengundang berbagai permasalahan. Kurikulum
merupakan suatu yang dijadikan pedoman dalam segala kegiatan pendidikan yang dilakukan, termasuk kegiatan belajar mengajar di kelas. Dalam hal ini kita
dapat memandang bahwa kurikulum merupakan suatu program yang didesain, direncanakan, dikembangkan dan akan dilaksanakan dalam situasi belajar
mengajar yang sengaja diciptakan di sekolah.
Atas dasar hal tersebut, kurikulum kemudian dapat didefenisikan sebagai suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk
mencapai sejumlah tujuan pendidikan tertentu. Kiranya defenisi tersebut lebih sederhana dan jelas rumusannya. Pendidikan meru pakan suatu pendidikan yang
mempunyai tujuan-tujuan tertentu, merupakan program yang direncanakan, disusun dan diatur untuk kemudian dilaksanakan di sekolah melalui cara -cara
yang telah ditentukan pula.
Jika defenisi diatas diperbandingkan dengan defenisi-defenisi yang dikemukakan lebih dahulu, sebenamya tidak ada perbedaan yang prinsipil. Sentua
defenisi yang ditunjuk sama-sama menyebut kurikulum sebagai rencana-rencana kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan belajar yang dilakukan siswa
yang tentunya dimaksudkan untuk memperoleh sejumlah pengalaman (baca tujuan) tertentu. Dalam pembkaraan selanjurnya, jika disebut-sebut kurikulum
pengertiannya menunjuk pada defenisi yang terakhir diatas.
2.2 Kurikulum Sebagai Jembatan Meraih Ijazah
Istilah "kurikulum" memiliki berbagai tafsiran yan dirumuskan oleh pakar-pakar dalam bidang pengembang kurikulum sejak dulu sampai dengan
dewasa. ini. Tafsiran-tafsi tersebut berbeda-beda satu sama lainnya, sesuai dengan titik berat inti dan pandangan dari pakar bersangkutan. Istilah kurikulum
berasal dari bahasa latin yakni "currculae", artinya jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Pada waktu itu, pengerti kurikulum ialah jangka waktu
pendidikan yang harus ditemp oleh siswa yang bertujuan untuk memperoleh Ijazah.
Dengan menempuh suatu kurikulum, siswa dapat memperoleh ijazah. Dalam hal ini, ijazah pada hakekatnya merupakan suatu bukti, bahwa siswa
telah menempuh suatu Kurikulum yang berupa rencana pelajaran, sebagaimana halnya seorang pelari telah menempuh suatu jarak an tara satu tempat ke
tempat lainnya dan akhirnya mencapai finish. Dengan kata lain, suatu kurikulum dianggap sebagai jembatan yang sangat penting untuk mencapai titik akhir
dari suatu perjalanan dan ditandai oleh perolehan suatu ijazah tertentu.
2.3 Kurikulum Sebagai Materi Pelajaran
Kurikulum ialah sejumlah mata ajaran yang harus ditempuh dan dipelajari oleh siswa unluk mempoleh sejumlah pengetahuan. Mata ajaran
dipandang sebagai pengalaman orang tua atau pengalaman orang-orang pandai masa yang telah disusun secara sistematis dan logis. Misalinya, pengalaman
dan penemuan-penemuan masa lampau, maka diadakan pemilihan dan selanjutnya disusun secara sistematis, artinya menurut urutan tertentu, dan logis,
artinya dapat diterima dan pikiran. Mata ajaran tersebut mengisi materi pelajaran yang disampaikan pada siswa sehingga memperoleh sejumiah
pengetahuan yang berguna baginya. Semakin banyak pengalaman dan penemuan-penemuan maka semakin banyak pula mata ajaran yang harus disusun dalam
kurikulum dan harus dipelajari oleh siswa disekolah.
2.4 Kurikulum Sebagai Rencana Kegiatan Pembelajaran
Kurikulum adalah suatu program pendidikan yang disediakan untuk pembelajaran siswa. Dengan program ini siswa inelakukan berba gai kegiatan
belajar, sehingga menjadi perubahan dan perkembangan tingkah laku siswa sesuai dengan tujuan pen didikan dan pembelajaran. Dengan kata lain sekolah
menyediakan lingkungan yang memberikan kesempatan belajar bagi siswa. Itu sebabnya, suatu kurikulum harus disusun sedemikian rupa agar maksud
tersebut dapat tercapai. Kurikulum tidak terbatas pada mata ajaran saja, melainkan melipiuti segala sesuatu yang dapat mempengaruhi perkembangan siswa,
seperti bangunan, perpustakaan, gambar-gambar, halaman, perlengkapan dll. Hal ini berarti semua hal dan semua orang yang terlibat dalam memberikan
bantuan kepada siswa termasuk ke dalam kurikulum.
2.5 Kurikulum Sebagai Pengalaman Pelajar
Perumusan atau pengertian kurikulum lainnya agar berbeda dengan pengertian -pengertian sebelumnya yang lebih menekankan bahwa kurikulum
merupakan serangkaian pengalaman belajar. Pengertian ini menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan kurikulum tidak terbatas dalam ruang kelas saja,
melainkan mencakup juga kegiatan-kegiatan diluar kelas. Tak ada pemisahan yang tegas dntara ekstra dan intra kurikulum. Semua kegiatan yang memberikan
pengalaman belajar bagi siswa pada hakekatnya adalah kurikulum.Kurikulum adalah seperangkat rencana dan peraturan mengenai isi dan bahan p elajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Isi kurikulum merupakan susunan dan b ahan kajian dan untuk
mencapai tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan, dalam rangka upaya pencapai tujuan pendidikan nasional.
2.6 Landasan Pengembangan Kurikulum
A. Filosofis
Filsafat pendidikan mengandung nilai-nilai atau cita-cita masyarakat. Berdasarkan cita-cita tersebut terdapat landasan, man dibawa kemana
pendidikan anak. Filsafat pendidikan menggambarkan manusia yang ideal yang diharapkan oleh masyarakat. Dengan kata lain filsa fat pendidikan merupakan
pandangan hidup masyarakat. Filsafat pendidikan menjadi landasan untuk merancang tujuan pendidikan, prinsip pendidikan serta seperangkat pengalaman
belajar lainnya.
Hal ini menunjukkan pada kebutuhan pembangunan sesuai dengan sektor-sektor yang perlu dibangun itu sendiri, yakni bidang industri, pertanian,
tenaga kerja, perdagangan, transportasi dll. Pembangunan SDM yang berkualitas diarahkan untuk meningkatkan kwalitas SDM yang mampu mendukung -
pembangunan ekonomi dan pembangunan dibidang-bidang lainnya. Implikasi dari upaya pembangunan tersebut maka diperlukannya peningkatan
produktifitas, peningkatan pendidikan nasional yang merata dan bermutu, peningkatan dan perluasan pendidikan keahlian sesuai dengan kebutuhan bidang-
bidang pembangunan tersebut. dan pembangunan iptek yang mantap.
Gambaran tentang proses dan tujuan pembangunan tersebut diatas sekaligus menggambarkan kebutuhan pembangunan secara keseluruh an. Hal
mana memberikan implikasi tertentu terhadap pendidikan di perguruan tinggi. Dengan kata lain penyelenggara pendidikan di p erguruan tinggi harus
disesuaikan dan diarahkan pada upaya-upaya dan kebutuhan pembangunan, yang mencangkup pembangunan ekonomi dan pengembangan SDM yang
berkwalitas. Penyelenggaraan pendidikan diarahkan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masya rakat yang memiliki kemampuan keilmuan dan
keahlian, yang berisi mendukung tercapainya cita-cita nasional. yakni suatu masyaral yang maju, mandiri dan sejahtera.
B. Iptek dan Seni
Pembangunan didukung oleh perkembangan iptek dalam rangka mempercepat terwujudnya ketangguhan dan Keunggu bangsa. Dukungan iptek
terhadap pembangunan dimaksud untuk memacu pembangunan untuk menuju terwujudnya masyarakat yang mandiri, maju dan sejahtera. Di sisi lain
perkembangan iptek itu sendiri berlangsung semakin cepat berbarengan dengan persaingan antar bangsa semakin meluas sehingga diperlukan penguasan dan
pengembangan iptek yang pada gilirannya mengandung implikasi tertentu terhadpa pengembangan sumber daya manusia supaya memili ki kemampua dalam
penguasaan dan pemanfaatan serta pengembangan dalam bidang iptek. Untuk mencapai tujuan dan kemampuan tersebut, beberapa hal yang dapat dijadikan
dasar :
1. Pembangunan iptek harus beraada dalam keseimbangan yang dinamis dan efektif dengan pembinaan SDM. pengembangan sarana dan pra sarana iptek,
pelaksanaan penelitian pengembangan serta rekayasa produksi barang dan jasa.
2. Pembangunan iptek tertuju pada peningkatn kwalitas, yaitu untuk meningkatkan kwalitas kesejahteraan dan kehidupan bangsa.
3. Pembangunan iptek harus sclaras dengan nilai-nilai agama, nilai luhur budaya bangsa, kondisi sosial budaya dan lingkungan hidup.
4. Pembangunan iptek harus berpijak pada upaya peningkatan produktifitas, efisiensi dan efektifitas penelitian dan pengembangan yang lebih tinggi.
5. Pembangunan iptek berdasarkan pada asas pemanfaatan yang dapat memberikan nilai tambah dan memberikaxt pemecahan masalah konkrit dalam
pembangunan.
Penguasaan, pemanfaatan, dan pengembangan iptek dilaksanakan oleh berbagai pihak, yakni :
1. Pemerintah, mengembangkan dan memanfaatkan iptek untuk menunjang pembangunan di segala bidang.
2. Masyarakat, yang memanfaatkan iptek untuk pengembangan masyarakat secara swadaya.
3. Akademisi terutama dilingkungan perguruan tinggi yang memanfaatkan iptek untuk disumbangkan pada pembangunan.
4. Pengusaha, untuk kepentingan meningkatkan produktifitas
Pelaksanaan evaluasi dalam pendidikan mempunyai manfaat yang luas, tidak sekadar mengukur keberhasilan proses belajar akan tetapi dapat memberikan
manfaat dalam berbagai kegiatan lain baik bagi guru maupun bagi siswa (Nurkancana dalam Aunurrahman, 2012: 211). Beberapa fungsi atau manfaat
evaluasi pendidikan dan pembelajaran tersebut adalah untuk:
1. Mengetahui taraf kesiapan anak untuk menempuh suatu pendidikan tertentu.
2. Mengetahui seberapa jauh hasil yang telah dicapai dalam proses pendidikan.
3. Mengetahui apakah suatu mata pelajaran yang kita ajarkan dapat dilanjutkan dengan bahan yang baru ataukah harus mengulang pelajaran-
pelajaran yang telah lampau.
4. Mendapatkan bahan-bahan informasi dalam memberikan bembingan tentang jenis pendidikan tentang jenis pendidikan dan jabatan yang sesuai
untuk siswa.
5. Mendapatkan bahan-bahan informasi apakah seorang anak dapat dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi atau harus mengulang di kelas semula.
6. Membandingkan apakah prestasi yang dicapai anak sudah sesuai dengan kapasitasnya atau belum.
7. Untuk menafsirkan apakah seorang anak telah cukup matang untuk kita lepaskan ke dalam masyarakat atau untuk melanjutkan ke lembaga
pendidikan yang lebih tinggi.
8. Untuk mengadakan seleksi.
9. Untuk mengetahui taraf efisiensi metode yang dipergunakan dalam lapangan pendidikan.
2.2 Jenis-jenis Evaluasi Belajar dan Pembelajaran
a. Evaluasi Formatif
Evaluasi formatif sering diartikan sebagai kegiatan evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir pembahasan suatu pokok bahasan. Tujuan
utamanya adalah untuk mengetahui sejauh mana suatu proses pembelajaran telah berjalan sebagaimana yang direncanakan. Winkel menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan evaluasi formatif adalah penggunaan tes-tes selama proses pembelajaran yang masih berlangsung, agar siswa dan
guru memperoleh informasi (feedback) mengenai kemajuan yang telah dicapai. Indikator utama keberhasilan atau kemajuan siswa dalam evaluasi
formatif ini adalah penguasaan kemampuan yang telah dirumuskan dalam rumusan tujuan instruksional khusus (TIK) yang telah ditetapkan
sebelumnya. Dengan kata lain, evaluasi formatif dilaksanakan untuk mengetahui seberapa jauh tujuan yang telah ditetapkan telah tercapai. Dari
hasil evaluasi ini akan diperoleh gambaran siapa saja yang telah berhasil dan siapa yang dianggap belum berhasil untuk selanjutnya diambil
tindakan-tindakan yang tepat (Aunurrahman, 2012:221)
b. Evaluasi Sumatif
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir satu satuan waktu yang didalamnya tercakup lebih dari satu pokok
bahasan, dan dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana peserta didik telah dapat berpindah dari suatu unit ke unit berikutnya. Winkel
mendefinisikan evaluasi sumatif sebagai penggunaan tes-tes pada akhir suatu periode pengajaran tertentu, yang meliputi beberapa atau semua unit
pelajaran yang diajarkan dalam semester, bahkan setelah selesai pembahasan suatu bidang studi (Aunurrahman, 2012:222)
c. Diagnostik
Evaluasi diagnostik adalah evaluasi yang digunakan untuk mengetahui kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan yang ada pada siswa
sehingga dapat diberikan perlakuan yang tepat. Evaluasi diagnostik dapat dilakukan dalam beberapa tahapan, baik pada tahap awal, selama
proses, amupun akhir pembelajaran. Pada tahap awal dilakukan terhadap calon siswa sebagai input. Dalam hal ini evaluasi diagnostik dilakukan
untuk mengetahui kemampuan awal atau pengetahuan prasyarat yang harus dikuasai siswa. Pada tahap proses evaluasi ini diperlukan untuk
mengetahui bahan-bahan pelajaran mana yang masih belum dikuasai dengan baik, sehingga guru dapat memberi bantuan secara dini agar siswa
tidak tertinggal terlalu jauh. Sementara pada tahap akhir evaluasi diagnostik ini untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa atas seluruh materi
yang telah dipelajarinya (Aunurrahman, 2012:222)
Wawancara (interview)
Wawancara (interview) ialah suatu metode atau cara yang digunakan untuk mendapatkan jawaban dari responden dengan jalan tanya jawab
sepihak. Wawancara dapat dilakukan dua cara yaitu wawancara bebas dan wawancara terpimpin.
Korelasi yang diperoleh dari kedua belahan itu menunjukkan reliabilitas tes. Sedangkan Gronlund (Dimyati, 2009:196) mengemukakan adanya
empat faktor yang mempengaruhi keterandalan, yaitu sebagai berikut:
1. Panjang tes. Panjang tes berhubungan dengan banyaknya butir tes, pada umumnya lebih banyak butir tes lebih tinggi keterandalan evaluasi.
2. Sebaran skor. Koefisien keterandalan secara langsung dipengaruhi oleh sebaran skor dalam kelompok tercoba. Dengan kata lain, besarnya
sebaran skor akan membuat perkiraan keterandalan yang lebih tinggi akan terjadi menjadi kenyataan.
3. Tingkat kesulitan tes. Tes acuan norma yang paling mudah atau paling sukar untuk anggota-anggota kelompok yang mengerjakan,
cenderung menghasilkan skor tes keterandalan yang rendah. Ini disebabkan antara hasil tes yang mudah dan yang sulit keduanya dalam satu
sebaran skor yang terbatas.
4. Objektivitas. Objektivitas suatu tes menunjukkan kepada tingkat skor kemampuan yang sama (yang dimiliki oleh siswa satu dengan siswa
yang lain) memperoleh hasil yang sama dalam mengerjakan tes.
3. Kepraktisan
Dalam memilih tes dan instrumen evaluasi yang lain, kepraktisan merupakan syarat yang tidak dapat diabaikan. Kepraktisan evaluasi terutama
dipertimbangkan pada saat memilih tes atau instrumen evaluasi lain yang dipublikasikan oleh suatu lembaga. Kepraktisan evaluasi dapat diartikan
sebagai kemudahan-kemudahan yang ada pada instrumen evaluasi baik dalam mempersiapkan, menggunakan, menginterpretasi atau memperoleh
hasil, maupun kemudahan dalam menyimpannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepraktisan instrumen evaluasi meliputi:
1. Kemudahan mengadministrasi. Jika instrumen evaluasi diadministrasikan oleh guru atau orang lain dengan kemampuan yang terbatas,
kemudian pengadministrasian adalah suatu kualitas penting yang diminta dalam instrumen evaluasi.
2. Waktu yang disediakan untuk melancarkan evaluasi. Kepraktisan dipengaruhi pula oleh faktor waktu yang disediakan untuk melancarkan
evaluasi.
3. Kemudian menskor. Secara tradisional, hal yang membosankan dan aspek yang mengganggu dalam melancarkan evaluasi adalah penskoran.
4. Kemudahan interpretasi dan aplikasi. Dalam analisis terakhir, keberhasilan atau kegagalan evaluasi ditentukan oleh penggunaan hasil
evaluasi.
5. Tersedianya bentuk instrumen evaluasi yang ekuivalen atau sebanding. Untuk berbagai kegunaan pendidikan, bentuk-bentuk ekuivalen
untuk tes yang sama seringkali diperlukan. Instrumen evaluasi yang sebanding adalah instrumen evaluasi yang memiliki kemungkinan
dibandingkan makna dari skala skor umum yang dimiliki.