Anda di halaman 1dari 2

Menyejahterakan Rakyat dengan

Kenaikan BBM, Logiskah? (1)


Sabtu 11 Zulkaedah 1435 / 6 September 2014 13:31

Laporkan iklan ?

Foto: liputan6.com
Oleh: Farhan Akbar Muttaqi, Kajian Islam Mahasiswa UPI Bandung
Laporkan iklan?
BELAKANGAN waktu terakhir, wacana kenaikan harga BBM menghangat ke ruang publik.
Berbagai diskusi, talkshow dan berita di media massa bertebaran mengangkat topik tersebut.
Menanggapi wacana tersebut, nampaknya kebanyakan rakyat tak tertarik berkutat untuk
menganalisa alasan yang dibuat oleh tim pemenang pemilu 2014 lalu, Joko Widodo. Akan tetapi,
rakyat lebih sibuk berfikir dan mengelola rasa ketar-ketirnya untuk menghadapi ketukan palu
yang menjadi isyarat harga BBM yang akanresmi dinaikkan pasca naiknya Presiden yang baru.
Hal demikian sangat beralasan. Ditengah himpitan kehidupan yang sarat dengan masalah,
kebanyakan rakyat sudah sangat mengerti tentang apa yang dimaksud dengan kenaikan harga
BBM. Dalam kepala mereka, naiknya harga BBM tak sekedar naiknya harga Bahan Bakar dan
Minyak. Lebih jauh, kebijakan itu bermakna kenaikan harga beras, sayuran, daging, tahu, tempe
dan banyak lagi yang lainnya. Bisa dibayangkan, bagaimana ancaman kemiskinan itu
menghantui mereka.Jumlah rakyat yang terkategori miskin, berpotensi untuk meningkat hingga
taraf yang tinggi.
Menyejahterakan Rakyat
Ada alasan dibalik setiap kebijakan. Demikian pula yang dapat Kita ketahui pada kebijakan yang
kenaikan harga BBM yang akan dilakukan oleh Pemerintahan mendatang. Dari sekian banyak
tuturan yang keluar dari pihak yang mengusung kebijakan tersebut, muncul satu alasan utama
yang digambarkan logis. Yakni bahwa tanpa kenaikan harga BBM, maka APBN (Anggaran
Perencanaan dan Belanja Negara) akan jebol, sehingga Negara akan kekurangan dana untuk
menyusun dan menjalankan pekerjaannya untuk mensejahterakan rakyat.
Sebagaimana diketahui, selama ini, Indonesia termasuk Negara yang masih memberikan subsidi
untuk BBM. Subsidi sendiri adalah bantuan dana yang diberikan Negara terhadap apa yang
dibutuhkan rakyat. Dalam konteks BBM, yang dimaksud non-Subsidi adalah BBM yang
harganya disesuaikan dengan harga pasar minyak internasional, atau BBM dengan tipe
Pertamax.Sedangkan Premium yang harganya jauh lebih murah, disebut BBM bersubsidi karena
harganya berada dibawah harga pasar internasional karena sebagiannya ditalangi oleh
Negara.Pada tahun 2014 ini, didalam APBN-nya, Negara menganggarkan pos untuk subsidi
BBM sekitar 246 triliun rupiah (merdeka.com, 13/6).Dana tersebut disisihkan dari penetapan
pendapatan Negara yang pada APBN-P berkisar pada jumlah 1635 triliun rupiah (tempo.co,
19/6).
Menurut kalangan Pro-pengurangan dan pencabutansubsidi , jumlah subsidi BBM tersebut
terlalu besar, dan berpotensi membuat jebol APBN. Hal demikian, dianggap akan menghambat
jalannya pemerintahan yang akan datang. Karena bila tak dicabut, akan banyak program pro-
rakyat yang tak bisa berjalan.
Joko Widodo sebagai presiden terpilih bahkan menuturkan, selama ini alokasi APBN untuk
subsidi BBM membuat anggaran untuk kebutuhan dan berbagai usaha produktif lain hanya
sedikit. Tinggal 200 triliun yang bisa dipakai untuk membangun. Ini kan aneh. Masa anggaran
pembangunan Cuma 20% dari APBN.Sedangkan untuk subsidi lebih dari 400 triliun begitu
katanya. Dana yang didapat dari pengurangan subsidi BBM, rencananya akan Ia gunakan untuk
mengembangkan insfrastruktur, pertanian, dan yang lainnya. Dengan demikian, rakyat secara
luas menurutnya akan mendapatkan manfaat yang besar dengan kebijakan tersebut. Dalam
jangka panjang, Joko Widodo juga berencana mengonversi BBM kepada bahan bakar lain seperti
gas.(kompas.com,3/9/14)
Menyejahterakan atau Menyengsarakan?
Dengan alasan yang dibangun dalam wacana kenaikan harga BBM tersebut, tak sedikit kalangan
yang mengaminkan.Namun demikian, sebagai elemen penyeimbang ditengah masyarakat,
mahasiswa tak bisa dengan mudah untuk mengikuti logika pemerintah. Diperlukan tinjauan
dengan perspektif lain untuk mengurai kebijakan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai