PENDAHULUAN
2.1. DEFINISI
Parese adalah suatu kondisi yang ditandai oleh berkurangnya fungsi motorik pada
suatu bagian tubuh akibat lesi pada mekanisme saraf atau otot. Kelemahan merupakan
hilangnya sebagian fungsi otot pada satu atau lebih kelompok otot yang dapat
menyebabkan gangguan mobilitas bagian yang terkena. Sedangkan tetraparese adalah
kelumpuhan atau kelemahan yang menyebabkan hilangnya sebagian fungsi motorik pada
keempat anggota gerak. Hal ini dapat diakibatkan oleh adanya kerusakan otak, kerusakan
tulang belakang pada tingkat tertinggi (khususnya pada vertebra servikalis), kerusakan
sistem saraf perifer, kerusakan neuromuskular atau penyakit otot. 1 Penyebab khas pada
kerusakan ini adalah trauma (seperti tabrakan mobil, jatuh atau sport injury) atau karena
penyakit (seperti mielitis transversal, polio, atau spina bifida).2
Parese pada anggota gerak dibagi menjadi 4 macam, yaitu :
o
Monoparese adalah kelemahan pada satu ekstremitas
o
Paraparese adalah kelemahan pada kedua ekstremitas bawah.
o
Hemiparese adalah kelemahan pada satu sisi tubuh yaitu satu ekstremitas atas dan
satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama.
o
Tetraparese adalah kelemahan pada keempat anggota ekstremitas.2,3
2.2. EPIDEMIOLOGI
Tetraparese salah satunya disebabkan karena adanya cedera pada medula spinalis.
Menurut Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The National Spinal Cord Injury
Data Research Centre) memperkirakan ada 10.000 kasus baru cedera medula spinalis
setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka insidensi paralisis komplet akibat kecelakaan
diperkirakan 20 per 100.000 penduduk, dengan angka tetraparese 200.000 per tahunnya.
Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera medula spinalis.3
Selain penyebab akibat trauma dapat juga disebabkan oleh infeksi, salah satunya
adalah polio. 1 dari 200 infeksi polio menyebabkan paralisis ireversibel. Kasus polio telah
berkurang sebanyak 99% sejak tahun 1988.6 Kejadian poliomielitis di Indonesia kembali
muncul pada tahun 2005 di Cidahu, Sukabumi. Data terakhir melaporkan secara total ada
295 kasus polio yang tersebar di 10 provinsi dan 22 kabupaten di Indonesia.5
Data epidemiologis mengenai Sindroma Guillain Barre di Indonesia belum
didapatkan. Perbandingan antara penderita laki-laki dan perempuan yang terkena
Sindroma Guillain Barre sekitar 1,3 sampai 1,5 dibanding 1. Pada penelitian ini
perbandingan penderita laki-laki dan perempuan adalah 57,9% dibanding 42,1%. Sekitar
2
70 persen kasus Sindroma Guillain Barre ada hubungannya dengan infeksi sebelumnya.
Biasanya Sindroma Guillain Barre terjadi 2 sampai 3 minggu setelah infeksi saluran
pernafasan dan pencernaan. Pada penelitian ini dilaporkan bahwa penyakit infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA) yang mendahului Sindroma Guillain Barre sebanyak 32 penderita
(84,21%), ISPA disertai gastroenteritis sebanyak 2 penderita (5,26%), sedangkan ISPA
disertai dermatitis, morbili, parotitis, dermatitis masing-masing 1 penderita (2,63%).4
Angka kejadian tetraparese di RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Gorontalo pada
tahun 2016 tercatat sebanyak 9 kasus dari 267 pasien neurologi yang ada atau sebanyak
3,3%.
2.3. ETIOLOGI
Berikut ini adalah penyebab umum dari tetraparase, yaitu2 :
a. Trauma dengan lesi komplit atau inkomplit
b. Infeksi seperti Sindroma Guilan Barre, mielitis akut, poliomielitis
c. Kompresi spinal cord
d. Gangguan metabolisme tubuh
2.4. KLASIFIKASI
Tetraparese dapat disebabkan oleh karena kerusakan Upper Motor Neuron (UMN)
atau kerusakan Lower Motor Neuron (LMN). Kelumpuhan atau kelemahan yang terjadi
pada kerusakan UMN disebabkan karena adanya lesi di medula spinalis. Kerusakan terjadi
karena tekanan dari vertebra atau diskus intervetebralis. Hal ini berbeda dengan lesi pada
LMN yang berpengaruh pada serabut saraf yang berjalan dari anterior medula spinalis
sampai ke otot.2
3
Pembagian tetraparese berdasarkan kerusakan topisnya, yaitu :
a. Tetraparese spastik
Tetraparese spastik terjadi karena kerusakan yang mengenai UMN, sehingga
menyebabkan peningkatan tonus otot atau hipertoni.
b. Tetraparese flaksid
Tetraparese flaksid terjadi karena kerusakan yang mengenai LMN, sehingga
menyebabkan penurunan tonus atot atau hipotoni.
Medula spinalis mulai dari akhir medulla oblongata di foramen magnum sampai
konus medullaris di Tulang Belakang L1-L2. Medulla Spinalis berlanjut menjadi Kauda
Equina (di Bokong). Medula spinalis diperdarahi oleh 2 susunan arteri yaitu arteri spinalis
dan arteri radikularis. Arteri spinalis dibagi menjadi arteri spinalis anterior dan posterior
yang berasal dari arteri vertebralis, sedangkan arteri radikularis dibagi menjadi arteri
radikularis posterior dan anterior yang dikenal juga ramus vertebromedularis arteria
interkostalis. Medula Spinalis disuplai oleh arteri spinalis anterior dan arteri spinalis
posterior. Nervus spinalis yang berasal dari medula spinalis melewati suatu lubang di
4
vertebra yang disebut foramen dan membawa informasi dari medula spinalis sampai ke
bagian tubuh dan dari tubuh ke otak.788
5
Dari otak medula spinalis turun ke bawah kira-kira setinggi L1-L2 dan dilindungi
oleh cairan jernih yaitu cairan serebrospinal. Medula spinalis terdiri dari berjuta-juta saraf
yang mentransmisikan informasi elektrik dari dan ke ekstremitas, badan, oragan-organ
tubuh dan kembali ke otak. Otak dan medula spinalis merupakan sistem saraf pusat dan
yang menghubungkan saraf-saraf medula spinalis ke tubuh adalah sistem saraf perifer.
Medula spinalis terdiri atas traktus ascenden (yang membawa informasi di tubuh menuju
ke otak seperti rangsang raba, suhu, nyeri dan gerak posisi) dan traktus descenden (yang
membawa informasi dari otak ke anggota gerak dan mengontrol fungsi tubuh).2
6
Motorneuron dengan aksonnya merupakan satu-satunya saluran bagi impuls
motorik yang dapat menggerakkan serabut otot. Bilamana terjadi kerusakan pada
motorneuron, maka serabut otot yang tergabung dalam unit motoriknya tidak dapat
berkontraksi, meskipun impuls motorik masih dapat disampaikan oleh sistem piramidal
dan ekstrapiramidal kepada tujuannya.2,7
A.2.Sistem Ekstrapiramidal
Dimulai dari serebral korteks, basal ganglia, subkortikal nukleus secara tidak
langsung ke spinal cord. Inti-inti yang menyusun ekstrapiramidal antara lain:
- Korteks motorik tambahan (area 4s, 6, 8).
- Ganglia basalis (Nucleus kaudatus, Putamen, Globus pallidus, substansia
nigra), Korpus subtalamikum (Luysii), Nucleus ventrolateralis Talami.
- Nucleus ruber & substansia retikularis batang otak.
- Cerebellum
Berfungsi untuk gerak otot dasar dan pembagian tonus secara harmonis,
mengendalikan aktifitas piramidal. Gangguan pada ekstrapiramidal seperti
kekakuan, rigiditas, ataksia, tremor, balismus, khorea, atetose.
8
2.6. Patofisiologi7,8
Tetraparese dapat disebabkan karena kerusakan Upper Motor Neuron (UMN) atau
kerusakan Lower Motor Neuron (LMN). Kelumpuhan atau kelemahan yang terjadi pada
kerusakan Upper Motor Neuron (UMN) disebabkan karena adanya lesi di medula spinalis.
Kerusakannya bisa dalam bentuk jaringan scar, atau kerusakan karena tekanan dari
vertebra atau diskus intervetebralis. Hal ini berbeda dengan lesi pada LMN yang
berpengaruh pada serabut saraf yang berjalan dari cornu anterior medula spinalis sampai
ke otot.
Pada columna vertebralis terdapat nervus spinalis, yaitu nervus servikal, thorakal,
lumbal, dan sacral. Kelumpuhan berpengaruh pada nervus spinalis dari servikal dan
lumbosakral yang dapat menyebabkan kelemahan atau kelumpuhan pada keempat anggota
gerak. Ada dua tipe lesi, yaitu lesi komplit dan inkomplit. Lesi komplit dapat
menyebabkan kehilangan kontrol otot dan sensorik secara total dari bagian dibawah lesi,
sedangkan lesi inkomplit mungkin hanya terjadi kelumpuhan otot ringan (parese) dan atau
mungkin kerusakan sensorik. Lesi pada UMN dapat menyebabkan parese spastic
sedangkan lesi pada LMN menyebabkan parese flacsid.7,8
9
a. Lesi di Upper Motor Neuron
Tiap lesi di medula spinalis yang merusak daerah jaras kortikospinal lateral
menimbulkan kelumpuhan Upper Motor Neuron (UMN) pada otot-otot bagian tubuh
yang terletak di bawah tingkat lesi. Lesi transversal medula spinalis pada tingkat
servikal, misalnya C5 mengakibatkan kelumpuhan Upper Motor Neuron (UMN) pada
otot-otot tubuh yang berada dibawah C5, yaitu sebagian otot-otot kedua lengan yang
berasal yang berasal dari C.6 sampai C.8, lalu otot-otot thoraks dan abdomen serta otot
kedua tungkai yang mengakibatkan kelumpuhan parsial dan defisit neurologi yang tidak
masif di seluruh tubuh. Lesi yang terletak di medula spinalis tersebut maka akan
menyebabkan kelemahan atau kelumpuhan keempat anggota gerak yang disebut
tetraparese spastik.8
b. Lesi di Lower Motor Neuron
Lesi transversal yang merusak segmen C5 ke bawah itu tidak hanya memutuskan
jaras kortikospinal lateral, melainkan ikut memotong segenap lintasan asendens dan
desendens lain. Disamping itu kelompok motoneuron yang berada didalam segmen C5
kebawah ikut rusak. Ini berarti bahwa pada tingkat lesi kelumpuhan itu bersifat Lower
Motor Neuron (LMN) dan dibawah tingkat lesi bersifat Upper Motor Neuron (UMN).
Motoneuron-motoneuron di kornu anterior dapat mengalami gangguan secara
selektif atau terlibat dalam satu lesi bersama dengan bangunan disekitarnya, sehingga
dikenal sindrom lesi di kornu anterius, sindrom lesi yang selektif merusak motoneuron
dan jaras kortikospinal, sindrom lesi yang merusak motoneuron dan funikulus
anterolateralis dan sindrom lesi di substantia grisea sentralis. Lesi ini biasanya
disebabkan karena adanya infeksi, misalnya poliomielitis. Pada umumnya motoneuron-
motoneuron yang rusak didaerah servikal dan lumbalis sehingga kelumpuhan LMN
adalah anggota gerak. Pada umumnya bermula dibagian distal tungkai kemudian
bergerak ke bagian proksimalnya. Kelumpuhannya meluas ke bagian tubuh atas,
terutama otot-otot kedua lengan. Kelainan fungsional sistem saraf tepi dapat disebabkan
kelainan pada saraf di sumsum tulang belakang atau kelainan sepanjang saraf tepi
sendiri. Salah satu penyakit dengan lesi utama pada neuron saraf perifer adalah
polineuropati.
Lesi di otot dapat berupa kerusakan struktural pada serabut otot atau selnya yang
disebabkan infeksi. Karena serabut otot rusak, kontraktilitasnya hilang dan otot tidak
dapat melakukan tugasnya. Penyakit di otot bisa berupa miopati dan distrofi, dapat
menyebabkan kelemahan di keempat anggota gerak biasanya bagian proksimal lebih
10
lemah dibanding distalnya. Ketika kelemahan otot menjadi nyata, terdapat
pembengkakan dan nekrosis-nekrosis serabut otot. Kelemahan otot (atrofi otot) dapat
kita jumpai pada beberapa penyakit.8
2.7. Manifestasi Klinis
A. Kelumpuhan UMN
Dicirikan oleh tanda-tanda kelumpuhan UMN, yakni sebagai berikut :
1. Tonus otot meninggi atau hipertonia
Gejala tersebut terjadi karena hilangnya pengaruh inhibisi korteks motorik
tambahan terhadap inti-inti intrinsik medulla spinalis. Hipertonia
merupakan ciri khas dari disfungsi komponen ekstrapiramidal susunan
UMN. Hipertonia yang mengiringi kelumpuhan UMN tidak melibatkan
semua otot skeletal, tergantung pada jumlah serabut penghantar impuls
pyramidal dan ekstrapiramidal yang terkena.
2. Hiperefleksia
Hiperefleksia merupakan keadaan setelah impuls inhibisi dari susunan
pyramidal dan ektrapiramidal tidak dapat disampaikan ke motoneuron.
3. Klonus
Tanda ini adalah gerak otot reflektorik, yang bangkit secara berulang-ulang
selama perangsangan masih berlangsung
4. Refleks patologi
Pada kerusakan UMN sering ditemukan reflex patologik, yang tidak
ditemukan pada orang normal.
5. Tidak ada atrofi pada otot-otot yang lumpuh
Rusaknya motoneuron dapat menyebabkan rusaknya serabut-serabut otot
yang tercakup dalam kesatuan motorik sehingga otot-otot yang terkena
menjadi kecil (atrofi). Dalam hal kerusakan serabut-serabut otot penghantar
impuls motorik UMN, tidak melibatkan motoneuron.
Tanda-tanda kelumpuhan UMN dapat ditemukan sebagian atau seluruhnya setelah
terjadinya lesi UMN.8,9
B. Kelumpuhan LMN
Lesi paralitik di susunan LMN merupakan suatu lesi yang merusak
mptoneuron, akson, motor end plate, atau otot skeletal, sehingga tidak terdapat
gerakan apapun, walaupun impuls motorik tiba di motoneuron. Adapun tanda-tanda
kelumpuhan LMN yakni8 :
1. Seluruh gerakan, baik yang voluntar maupun yang reflector tidak dapat
dibangkitkan. Ini berarti bahwa kelumpuhan disertai oleh hilangnya reflex
tendon dan tidak adanya reflex patologis
11
2. Tonus otot menghilang
3. Atrofi otot cepat terjadi
12
akan bertahan selama 3 sampai 4 minggu. glukosa normal. Pada pemeriksaan darah
tepi dalam batas normal dan pada urin dapat ditemukan albuminuria ringan.12
2. Polineuropati13,14,15
Merupakan kelainan fungsi yang berkesinambungan pada beberapa saraf
perifer di seluruh tubuh. Polineuropati dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria
struktur-histologis (aksonal, demielinasi, iskemia-vaskular), berdasarkan sistem yang
terkena (sensorik, motorik, otonom), atau berdasarkan distribusi defisit neurologis
(mononeuropati multipleks, distal-simetrik, proksimal). Polineuropati dan
polineuritis memiliki banyak penyebab, sehingga diagnosis serta penatalaksanaannya
sangat kompleks. Sering diakibatkan oleh proses peradangan, metabolik, atau toksik
yang menyebabkan kerusakan dengan pola difus, distal, dan simetris yang biasanya
mengenai ekstremitas bawah sebelum ekstremitas atas.
Polineuropati dapat disebabkan oleh :
o Infeksi Lepra, Difteri, Penyakit Lyme, HIV
o Inflamasi Sindrom Guillain-Barre, Polineuropati demielinasi inflamasi
kronik, Sarkoidosis, Sindrom Sjorgen, Vaskulitis-lupus, poliarteritis
o Neoplastik Paraneoplastik, Paraproteinemik
o Metabolik Diabetes melitus, Uremia, Miksedema, amiloidosis
o Nutrisi Defisiensi vitamin, terutama tiamin, niasin, dan B12
o Toksik alkohol, timbal, arsen, emas, merkuri, talium, insektisida,
heksana
o Obat-obatan isoniazid, vinkristin, sisplatin, metronidazol, nitrofurantoin,
fenitoin, amiodaron
Pasien dapat menunjukkan gejala baal pada bagian distal dan/atau parestesia
atau nyeri. Gejala motorik meliputi kelemahan dan distal atrofi otot. Neuropati
jangka panjang dapat menyebabkan deformitas pada kaki dan tangan (pes cavus,
tangan cakar) dan gangguan sensorik berat dapat menyebabkan ulserasi neuropati
dan deformitas sendi, dan dapat pula disertai gejala otonom. Tanda-tanda klinisnya
adalah keterlibatan luas LMN distal dengan atrofi, kelemahan otot, serta arefleksia
tendon. Hilangnya sensasi posisi distal dapat menyebabkan ataksia sensorik. Dapat
terjadi hilangnya sensasi nyeri, suhu, dan raba dengan distribusi glove and
stocking. Nyeri seringkali bertambah buruk di malam hari dan bisa timbul jika
menyentuh daerah yang peka atau karena perubahan suhu. Ketidakmampuan untuk
merasakan posisi sendi menyebabkan ketidakstabilan ketika berdiri dan berjalan.
Pada akhirnya akan terjadi kelemahan otot dan atrofi (penyusutan otot). Kelumpuhan
biasanya timbul sesudah tidak ada panas, kelumpuhan otot biasanya bilateral dan
13
simetris dengan tipe "lower motor neuron dengan penyebaran kelumpuhan yang
bersifat ascending yaitu mulai dari ekstrimitas bawah yang menjalar ke ekstrimitas
atas, tetapi bisa pula descending yaitu mulai dari ekstrimitas atas yang turun ke
ekstrimitas bawah.
15
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu17:
1. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis
SGB yang paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan SGB.
Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang membrane sel Schwann.
2. Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian SGB yang jarang
terjadi dan bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis
SGB yang biasa terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan
terdapat trias gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia.
Terdapat antibodi Anti-GQ1b dalam 90% kasus.
3. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina,
menyerang nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal
inidisebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer.
Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat.
Didapati antibodi Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering
ditemukan pada AMAN.
4. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN,
juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang
saraf sensorik dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan
sering tidak sempurna.
5. Neuropati panautonomik akut, merupakan varian SGB yang paling
jarang. Dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan
kardiovaskular dan disritmia.
6. Ensefalitis batang otak Bickerstaff s (BBE), ditandai oleh onset akut
oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski
(menurut Bickerstaff, 1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan penyakit dapat
monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler
terutama pada batang otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun
gejalanya berat, namun prognosis BBE cukup baik.
16
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower
motor neuron. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua
ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenden ke badan, anggota gerak atas
dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara
serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini
simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan
otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama
beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal.16,18
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of
Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
Terjadinya kelemahan yang progresif
Hiporefleksi
II. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB
Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal
dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3
minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
Relatif simetris
Gejala gangguan sensibilitas ringan
Tidak ada demam saat onset
Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat
memanjang sampai beberapa bulan.
Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
Dari pemeriksaan LCS didapatkan disosiasi sitoalbumin yaitu pada fase akut
terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 g/l, tanpa peningkatan dari sel < 10
limfosit/mm3.
Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan leukositosis PMN, limfosit cenderung
rendah. LED dapat meningkat sedikit atau normal. Pada pengukuran kapasitas paru
didapatkan insufisiensi respiratorik.
Pemeriksaan kecepatan hantaran saraf dan elektromiografi didapatkan
prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi
atau absennya respon gelombang F (menandai keterlibatan sproximal saraf), blok
saraf motorik serta berkurangnya kecepatan hantar saraf yang umumnya 60% dari
normal.16
17
Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SGB ditandai dengan
timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan
didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi
sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.18
4. Miastenia Gravis19,20,21,22
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-
menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena
adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction.
Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan
pulih kembali.
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang
berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang
beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan
kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat. Gejala klinis miastenia
gravis antara lain adalah kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang
merupakan salah satu gejala sering menjadi keluhan utama penderita miastenia
gravis, ini disebabkan oleh kelumpuhan dari nervus okulomotorius.Walaupun pada
miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot
okular masih bergerak normal. Sewaktu- waktu dapat pula timbul kelemahan dari
otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup.Kelemahan otot bulbar
juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala.Selain
itu dapat pula timbul kesukaran menelan dan berbicara akibat kelemahan dari otot
faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullahparesis dari pallatum
molle yang akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air,
mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.19
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis
suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul menghinggapi bagian
proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Walaupun
dalam berbagai derajat yang berbeda, biasanya refleks tendon masih ada dalam batas
normal. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya myasthenic
sneer dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal dan miastenia gravis
biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah.20
Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang
menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice)
18
serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu,
penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta
menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabkan
penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi
pada penderita dengan miastenia gravis.Ditandai dengan kelemahan otot-otot rahang
pada miastenia gravis yang menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya,
sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga
mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari
leher. Otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan
otot-otot anggota tubuh bawah. Musculus deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot
pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan.Otot
trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah,
sering kali terjadi kelemahan melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan
dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki dan saat melakukan fleksi panggul.20
Hal yang paling membahayakan adalah kelemahan otot-otot pernapasan yang
dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan
gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot
faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas dan kelemahan otot-otot
interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan
berakibat terjadinya hipoventilasi. Sehinggga pengawasan yang ketat terhadap fungsi
respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan.
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan
dengan cara penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama
kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang
terang. Penderita menjadi anartris dan afonis. Setelah itu, penderita ditugaskan untuk
mengedipkan matanya secara terus-menerus dan lama kelamaan akan timbul ptosis.
Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita
disuruh beristirahat. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis
juga tidak tampak lagi.21
Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes
antara lain: Uji Tensilon (edrophonium chloride) Untuk uji tensilon, disuntikkan 2
mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi
sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera setelah tensilon disuntikkan kita
harus memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang
19
memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia
gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah
harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat
singkat.
Uji Prostigmin (neostigmin) Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg
prostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin
atau mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-
gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian
akan lenyap.
Uji Kinin Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji ini, sebaiknya
disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah
berat.Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti
ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat.22
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular melalui 2 teknik yaitu : Single-fiber Electromyography (SFEMG)
mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan
titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum single-fiber, yang
memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. Sehingga SFEMG
dapat mendeteksi suatu titer (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau
lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah
potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).
Repetitive Nerve Stimulation (RNS) Pada penderita miastenia gravis terdapat
penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS terdapat adanya
penurunan suatu potensial aksi.15
5. Gangguan Medulla Spinalis23
A. Cedera Traumatik
Terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang diakibatkan oleh
kecelakaan, jatuh atau kekerasan yang dapat merusak medula spinalis.
Hagen dkk (2009) mendefinisikan cedera medula spinalis traumatik sebagai
lesi traumatik pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan
sensorik atau paralisis.
Sesuai dengan American Board of Physical Medicine and Rehabilitation
Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula
spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum
vertebra.
20
B. Cedera Non Traumatik
Terjadi akibat penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada
medula spinalis.
Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor
neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit
neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolik dan gangguan
kongenital dan perkembangan.
Ada dua tipe lesi, yaitu :
Lesi komplit
Menyebabkan kehilangan kontrol fungsi motorik dan sensorik secara total
dari bagian dibawah lesi. Penyembuhan jauh lebih kecil dibandingkan lesi
inkomplit.
Lesi Inkomplit
Menyebabkan terjadi kelumpuhan otot ringan (parese) dan atau mungkin
kerusakan sensorik. Sindrom sumsum tulang belakang inkomplit meliputi
the anterior cord syndrome, the Brown-Squard syndrome, dan the central
cord syndrome. Sindrom lainnya meliputi the conus medullaris syndrome,
the cauda equina syndrome, dan spinal cord concussion.
21
Kalium memiliki fungsi mempertahankan membran potensial elektrik dalam
tubuh dan menghantarkan aliran saraf di otot.Kalium mempunyai peranan yang
dominan dalam hal eksitabilitas sel, terutama sel otot jantung, saraf, dan otot lurik.
Kalium mempunyai peran vital di tingkat sel dan merupakan ion utama
intrasel. Ion ini akan masuk ke dalam sel dengan cara transport aktif, yang
memerlukan energi. Fungsi kalium akan nampak jelas bila fungsi tersebut terutama
berhubungan dengan aktivitas otot jantung, otot lurik, dan ginjal. Eksitabilitas sel
sebanding dengan rasio kadar kalium di dalam dan di luar sel. Berarti bahwa setiap
perubahan dari rasio ini akan mempengaruhi fungsi dari sel sel yaitu tidak
berfungsinya membrane sel yang tidak eksitabel, yang akan menyebabkan timbulnya
keluhan keluhan dan gejala gejala sehubungan dengan tidak seimbangnya kadar
kalium.
Kadar kalium normal intrasel adalah 135 150 mEq/L dan ekstrasel adalah 3,5
5,5 mEq/L. Perbedaan kadar yang sangat besar ini dapat bertahan, tergantung pada
metabolisme sel. Dengan demikian situasi di dalam sel adalah elektronegatif dan
terdapat membrane potensial istirahat kurang lebih sebesar -90 mvolt.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan:
o Refleks tendon menurun
o Kelemahan anggota gerak
o Kekuatan otot menurun
o Rasa sensoris masih baik
o Aritmia jantung
2.9. DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis dapat
menentukan lokasi lesi, misalnya lesi di medulla spinalis (nyeri leher yang menjalar ke
kedua anggota ekstremitas superior) yang merupakan keadaan klinis yang sering
ditemukan. Gambaran kelumpuhan akibat lesi paralitik di susunan pyramidal komponen
UMN susunan neuromuscular berbeda sekali dengan lesi komponen LMN. Perlu
ditanyakan mengenai riwayat keluarga, trauma, imunisasi, penggunaan obat-obatan, gejala
penyerta maupun riwayat perjalanan penyakit secara rinci.
22
dipilih bagian otot yang penting, walaupun dapat juga dilakukan semua pemeriksaan otot
gerak lain. Pemilihan otot yang diperiksa berdasarkan anamnesis atau bagian dari
pemeriksaan fisik dimana kelemahan otot dapat dilihat.
Lesi UMN berhubungan dengan pola kelemahan yang khas, tidak seperti lesi LMN,
Lesi UMN lebih berhubungan dengan gerakan volunter. Tes koordinasi anggota gerak
juga dapat memberikan informasi mengenai lokasi lesi. Pemeriksaan refleks tendon juga
merupakan metode langsung untuk menilai refleks regang secara klinis. Kerusakan LMN
akan menyebabkan penurunan atau menghilangnya refleks ini sedangkan lesi UMN akan
meningkatkan refleks ini. Kegunaan utama pemeriksaan reflex tendon adalah untuk
menentukan lokasi lesi terutama lesi di medulla spinalis.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboraturium
Pada pemeriksaan darah rutin dapat dilihat nilai dari jumlah leukosit yang
dapat menunjukan adanya tanda-tanda infeksi yang merupakan petanda adanya lesi
akibat infeksi. Pemeriksaan kimia darah untuk mengetahui elektrolit tubuh juga
merupakan pemeriksaan yang penting untuk menilai lesi. Kelumpuhan keempat
anggota gerak yang bersifat LMN, mutlak motorik dianggap kelumpuhan
miogenik. Patofisiologi nya masih kurang jelas, tetapi secara klinis terbukti
mempunyai hubungan yang erat dengan ion kalium.
Pemeriksaan Radiologis
Selain anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboraturium yang
mengarahkan ke diagnosis tetraparese tipe lower maupun upper motor neuron,
maka diperlukan pemeriksaan radiologi untuk menyingkirkan penyebab yang lain.
Pemeriksaan rontgen thoraco-lumbal juga dapat membantu menegakkan diagnosis.
2.10. PENATALAKSANAAN
Terapi Farmakologi
Tujuan pengobatan adalah mengobati gejala simptom dan memperbaiki keadaan
umum penderita. Pencegahan sebaiknya disesuaikan dengan faktor pencetusnya, Bila
faktor pencetusnya karena gangguan elektrolit, maka pemberian cairan elektrolit yang
sesuai selama serangan dapat mengurangi gejala. Pengobatan yang dianjurkan adalah
pemberian kalium per oral, jika keadaan berat mungkin dibutuhkan pemberian kalium intra
vena. Penderita mendapat pengobatan pencegahan dengan menghindari faktor-faktor
pencetus dan pemberian preparat kalium peroral.
23
Terapi non farmakologi
Rehabilitasi secara komprehensif dengan melakukan fisioterapi yang dilakukan
setelah onset terbukti meningkatkan fungsi saraf motorik dengan tetraparese
24
BAB III
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Kasim Yasin
Tanggal Lahir : 4 November 1991
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Karyawan
Agama : Islam
Status Pernikahan : Belum Menikah
Tanggal Masuk : 21 Juli 2016
Tanggal Pemeriksaan : 21 Juli 2016
B. ANAMNESIS : AUTOANAMNESIS
I. Keluhan Utama
Lemas pada kedua kaki
C. PEMERIKSAAN FISIK
I. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
25
Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4M6V5 = 15
Tanda Vital
- Tekanan darah : 140/80 mmHg
- Frekuensi nadi : 84 x/menit
- Frekuensi Pernafasan : 20 x/menit
- Suhu : 36,5oC
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Kelenjar Getah Bening
- Leher : Tidak teraba pembesaran KGB
- Aksila : Tidak teraba pembesaran KGB
- Inguinal : Tidak teraba pembesaran KGB
Thoraks
a. Paru-paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
Palpasi : Vokal fremitus sama kanan dan kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
b. Jantung
Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Pulsasi ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas kanan jantung : ICS V linea sternalis dextra
Batas kiri jantung : ICS V linea midklavikula sinistra
Pinggang jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut simetris kanan dan kiri, scar (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi :Nyeri tekan epigastrium (+), nyeri lepas (-), hati dan limpa tidak
teraba membesar
Perkusi : Timpani diseluruh kuadran abdomen.
Ekstremitas
Superior : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-, kelemahan +/+
Inferior : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-, kelemahan +/+
26
N.II (N. Opticus)
Penglihatan Kanan Kiri
Tajam penglihatan Kesan normal Kesan normal
Lapang pandang Dalam batas normal Dalam batas normal
Melihat warna Kesan normal Kesan normal
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks konvergensi
N. IV (N. Trochlearis)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah Normal Normal
Sikap bulbus Normal Normal
Diplopia Tidak ada Tidak ada
N. V (N. Trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik :
- Membuka mulut Dalam batas normal Dalam batas normal
- Menggerakkan rahang Dalam batas normal
Dalam batas normal
- Menggigit Dalam batas normal
Dalam batas normal
- Mengunyah Dalam batas normal
Dalam batas normal
Sensorik :
- Divisi Optalmika
- Refleks kornea Normal Normal
- Sensibilitas Dalam batas normal Dalam batas normal
- Divisi Maksila
Refleks masseter Dalam batas normal Dalam batas normal
- Sensibilitas Dalam batas normal Dalam batas normal
- Divisi Mandibula
- Sensibilitas Dalam batas normal Dalam batas normal
27
N. VI (N. Abduscen)
Kanan Kiri
Gerakan mata lateral Normal Normal
Sikap bulbus Normal Normal
Diplopia Tidak Tidak
N. IX (N. Glossopharingeus)
Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang Normal Normal
Refleks muntah/Gag reflek Normal Normal
N. X (N. Vagus)
Kanan Kiri
Arkus faring Normal Normal
Uvula Normal Normal
Menelan Bisa Bisa
Artikulasi Normal Normal
28
Suara Normal Normal
Nadi 78 x/menit 78 x/menit
N. XI (N. Assesorius)
Kanan Kiri
Menoleh ke kanan Normal Normal
Menoleh ke kiri Normal Normal
Mengangkat bahu ke kanan Normal Normal
Mengangkat bahu ke kiri Normal Normal
f. Pemeriksaan Sensibilitas
Sensibilitas taktil Normal
Sensibilitas nyeri Normal
Stereognosis Normal
Pengenalan 2 titik Normal
Pengenalan rabaan Normal
g. Sistem Refleks
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
Kornea Normal Normal
Berbangkis Normal Normal
Masseter Normal Normal
Dinding perut
29
Atas Normal Normal
Bawah Normal Normal
Tengah Normal Normal
Biseps ++ ++
Triseps ++ ++
APR + +
KPR + +
Bulbokavernosus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Kremaster Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sfingter Normal Normal
h. Fungsi Otonom
- Miksi : Normal
- Defekasi : Normal
- Sekresi keringat : Normal
i. Fungsi Luhur
Kesadaran Tanda Demensia
Reaksi bicara Baik Reflek glabella Tidak ada
Fungsi intelek Baik Reflek snout Tidak ada
Reaksi emosi Baik Reflek menghisap Tidak ada
Reflek memegang Tidak ada
Refleks palmomental Tidak ada
TERAPI
Infus Ringer Laktat + Farbion 1 amp 20 tpm
Inj Metilprednisolon 3x1, IV
Inj. Ranitidin 2x1 amp, IV
Inj. Kalmeco 1x1 amp, IV
SARAN PEMERIKSAAN
Lumbal Pungsi, EMG
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
FOLLOW UP
Tanggal S O A P
22/07/2016 Tangan dan T: 120/80 mmHg Tetraparese et RL+ Farbion 1 amp 20 tpm
N: 84 x/menit Metilprednisolon 3x1, IV
kaki lemah (+) causa susp.
S: 36,5 C Ranitidin 2x1 amp, IV
P: 20 x/menit SGB (dd/ Kalmeco 1x1 amp, IV
K. motorik
polineuropati)
5 5
4 4
23/06/2015 Tangan dan T: 130/70 mmHg Tetraparese et RL+ Farbion 1 amp 20 tpm
N: 82 x/menit Metilprednisolon 3x1, IV
kaki lemah (+) causa
S: 35,9 C Ranitidin 2x1 amp, IV
P: 18 x/menit polineuropati Kalmeco 1x1 amp, IV
K. motorik
5 5
5 5
31
BAB IV
PEMBAHASAN
Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan keempat ekstremitas mengalami
lemas dan lemas yang dialami pasien berawal dari ujung jari kaki kemudian kedua lengan
(ascending paralisis) tipe kelemahan ini dapat dicurigai mengarah kepada tetraparese yang
disebabkan oleh SGB. Sebelum pasien mengalami kelemahan pada anggota geraknya
pasien mengalami batuk selama kurang lebih 2 minggu. Hingga sekarang batuk masih
dirasakan. Pasien masih dapat menggerakkan keempat anggota geraknya namun
mengalami kelemahan, tipe kelemahan ini mengarah pada kelemahan LMN.
Tidak terdapat riwayat kelemahan sebelumnya, riwayat muntah atau kurang asupan
makanan dapat menyingkirkan kemungkinan tetraparese yang diakibatkan oleh PPH
(Periodic Paralisis Hipokalemia). Pada pasien tidak terdapat riwayat trauma
menyingkirkan adanya kemungkinan yang mengarah pada lesi pada medulla spinalis.
Tidak membaiknya keluhan lemas pada keempat anggota gerak dengan istirahat dapat
dipikirkan untuk menyingkirkan kemungkinan miastenia gravis.
Usia pasien yang sudah terbilang dewasa menyingkirkan kemungkinan diagnosis
poliomyelitis. Os juga mengaku tidak adanya riwayat konsumsi alcohol, pengobatan
selama 6 bulan, riw DM dapat dipikirakn untuk menyigkirkan kemungkinan polineuropati.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kekuatan motorik yang menurum pada keempat
ekstremitas dan penurunan reflek patella.
Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Lemah Lemah Lemah Lemah
Kekuatan 4,4,4,4 4,4,4,4 3,3,3,3 3,3,3,3
Atrofi Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Tonus Hipotoni Hipotoni Hipotoni Hipotoni
APR + +
KPR + +
Tipe kelemahan pada pemeriksaan fisik ini mengarah kepada kelemahan tipe LMN
ditambahkan dengan negatifnya reflex patologis pada pasien (contohnya babinski).
Tetraparese tipe LMN dapat disebabkan oleh beberapa penyakit, yaitu : SGB, miastenia
gravis, PPH.
32
Anamnesis yang sudah dilakukan dan pemeriksaan fisik dapat mengarahkan kasus
ini untuk didiagnosis sebagai SGB. Namun pada follow up paien selama 2 hari, pasien
sudah mengalami perbaikan. Didapatkan kekuatan motorik pasien :
5555 5555
5555 5555
Perjalanan penyakit ini tidak sesuai dengan SGB. Dimana pada SGB biasanya
perbaikan klinis tidak secepat yang dialami oleh pasien. Umumnya SGB membaik dalam
2-4 minggu sehingga diperlukan adanya pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang
juga diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab penyakit lainnya.
Tidak didapatkannya ptosis dapat membuat kita menyingkirkan kemungkinan
miastenia gravis ditunjang dengan anamnesis yang tidak mengarah pada gejala miastenia
gravis.
Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan penunjang normalnya kadar kalium menyingkirkan adanya PPH.
Biasa pada penyakit PPH didapatkan kadar kalium yang lebih rendah dari normal yaitu:
3,5 5,5 mmol/L. sehingga kemungkinan adanya suatu PPH dapat disingkirkan.
Pada pemeriksaan darah tepi SGB umumnya didapatkan leukositosis PMN,
limfosit cenderung rendah. LED dapat meningkat sedikit atau normal. Namun pada kasus
ini tidak dilakukan pemeriksaan darah tepi.
Untuk menyingkirkan adanya penyakit miastenia gravis dapat dilakukan
pemeriksaan yaitu:
Uji Tensilon (edrophonium chloride) Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon
secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg
tensilon secara intravena. Segera setelah tensilon disuntikkankita harus
memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang
memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia
gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah
harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat
singkat.
Uji Prostigmin (neostigmin) Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin
methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg).
Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala
seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan
lenyap.
Uji Kinin Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji ini, sebaiknya
33
disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah
berat.Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala
seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat.
Selain pemeriksaan di atas perlu dilakukan adanya suatu pemeriksaan EMG selain untuk
mennyingkirkan kemungkinan penyebab polineuropati lain juga dapat menentukan
kecurigaan kearah SGB atau tidak. Pada EMG kelainan akan menunjukka 2 hasil yaitu tipe
aksonal ataupun demielinisasi. Berikut perbedaan aksonal dan demielinisasi:
Tipe axonal
Kecepatan hantaran saraf yang normal atau sedikit meingkat, normal atau sedikit
pemanjangan distal latency tetapi didapatkan adanya penurunan signifikan motor
potensial dan amplitudo sensorik. Pada EMG dapat didapatkan adanya aktivitas
spontan seperti insertional activity, positive sharp waves dan fibrilasi potensial
Contoh: polineuropati DM, hipotiroid, alcoholism, defisiensi vit B, defisiensi
asam folat
Tipe demielinisasi
EMG dan kecepatan hantaran saraf sangat membantu dalam menegakkan
diagnosis. Kelainan pada KHS yang mencerminkan demielinisasi sangat sensitif
dan sebagai salah satu ciri dari SGB. Gambaran dari demielinisasi adalah delayed
distal latencies, penurunan kecepatan hantaran saraf, temporal dispersion of
waveforms, blokade hantaran, pemanjangan atau hilangnya gelombang F serta
pemanjangan atau hilangnya H-refleks. Pada keadaan SGB yang akut dapat
didapatkan hasil yang normal pada elektrodiagnostik.
Contoh : SGB
Selain pemerikaan di atas suatu standar baku untuk penegakkan diagnosis SGB
adalah pemeriksaan LP. Dari pemeriksaan LCS didapatkan disosiasi sitoalbumin yaitu
pada fase akut terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 g/l, tanpa peningkatan dari sel < 10
limposit/mm3.
Pemeriksaan CT SCAN dan MRI perlu dilakukan juga untuk menyingkirkan
adanya kemungkinan suatu lesi pada medulla spinalis. Baik akibat trauma ataupun tidak.
Pada kasus ini hanya dilakukan pemeriksaan darah rutin dan elektrolit saja.
Pemeriksaan lainnya misalnya seperti Lumbal pungsi maupun EMG untuk memastikan
diagnostik dan menyingkirkan diagnosis lain masih belum dapat dilakukan sehingga
diagnosis pasti masih belum dapat ditegakan.
34
Poliomielitis - Gejala Prodromal - Tipe LMN - Isolasi virus ( swab faring atau
- Monoparese atau
(demam,sakit kepala, feses)
paraparese flaksid - Serologi IgM polio
muntah, mencret)
- Lumpuh mendadak - Deep tendon reflex - CSF (isolasi virus,
- Riwayat imunisasi polio menurun / hilang peningkatan sel darah putih
- Keluhan sama di - Sensorik normal
10-200 sel/mm3 terutama sel
- Tanda Rangsang
lingkungan sekitar limfosit, peningkatan protein
Meningeal +
- Kadang ditemukan 30-120 mg/100ml, glukosa
head drop atau tripod normal)
- Pemeriksaan darah tepi normal
sign
Polineuropati - Riwayat konsumsi obat- - Gangguan sensorik - Lab sesuai etiologi (misalnya
- Kelemahan otot
obatan bila disebabkan DM terjadi
- Riwayat infeksi (ex: bilateral dan simetris peningkatan GDS, bila infeksi
- Umumnya gejala tipe
kusta) ditemukan leukositosis)
- Riwayat penyakit LMN - EMG
sebelumnya atau
penyakit keluarga
- Rasa kesemutan atau
mati rasa atau nyeri
Hasil EMG Polineuropati
- Tipe axonal
Kecepatan hantaran saraf yang normal atau sedikit meingkat, normal atau sedikit
pemanjangan distal latency tetapi didapatkan adanya penurunan signifikan motor potensial
dan amplitudo sensorik. Pada EMG dapat didapatkan adanya aktivitas spontan seperti
insertional activity, positive sharp waves dan fibrilasi potensial
Contoh: polineuropati DM, hipotiroid, alcoholism, defisiensi vit B, defisiensi asam folat
- Tipe demielinisasi
- EMG dan kecepatan hantaran saraf sangat membantu dalam menegakkan diagnosis.
Kelainan pada KHS yang mencerminkan demielinisasi sangat sensitif dan sebagai salah
satu ciri dari SGB. Gambaran dari demielinisasi adalah delayed distal latencies, penurunan
kecepatan hantaran saraf, temporal dispersion of waveforms, blokade hantaran,
pemanjangan atau hilangnya gelombang F serta pemanjangan atau hilangnya H-refleks.
Pada keadaan SGB yang akut dapat didapatkan hasil yang normal pada elektrodiagnostik.
- Contoh : SGB
SGB - Ascending paralysis - Kelemahan tipe flaksid - Pemeriksaan darah tepi
- Riwayat infeksi 2-3 - Simetris
didapatkan leukositosis PMN,
- Umumnya terjadi
minggu sebelumnya limfosit cenderung rendah
(ISPA, gangguan hiporefleks - LED meningkat sedikit atau
intestinal) normal
- LP (disosiasi sitoalbumin
peningkatan protein LCS >
35
0,55 g/l, tanpa peningkatan
dari sel < 10 limfosit/mm3)
- EMG (prolongasi masa laten
motorik distal (menandai blok
konduksi distal) dan
prolongasi atau absennya
respon gelombang F
(menandai keterlibatan
sproximal saraf), blok saraf
motorik serta berkurangnya
kecepatan hantar saraf yang
umumnya 60% dari normal.)
Myastenia - Kelemahan otot okuler, - Kelemahan tipe flaksid - Prostigmin test positif (gejala
gravis - Ptosis
anggota gerak yang membaik setelah disuntikan
- Disfagia / Disartria
membaik dengan - Refleks tendon normal prostigmin)
- Single-fiber
istirahat dan dicetuskan
oleh aktivitas Electromyography (SFEMG)
ada peningkatan titer dan fiber
density yang normal.
- Repetitive Nerve Stimulation
(RNS) terlihat adanya
penurunan potensial aksi
PPH - Riwayat kelemahan otot - Kelemahan tipe flaksid - Pemeriksaan kadar kalium
- Sensorik tidak
yang berulang darah
- Riwayat penggunaan terganggu - EKG (ditemukan gelombang u
- Refleks tendon menurun
preparat insulin prominen, pemanjangan
- Konsumsi karbohidrat
interval QT, ST depresi dan T
- Riwayat muntah
flat atau inversi, peningkatan
muntah
amplitudo gelombang p)
Gangguan - Riwayat trauma - Gejala kelumpuhan - CT scan atau MRI
medulla - Riwayat penyakit
UMN
spinalis keluarga
- Perjalanan penyakit
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Mardjono M, Sidharta P. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. Hal 30-
43.
2. Victor Maurice, Ropper AH. Adams and Victors Principles of neurology 7th editions.
USA : the McGraw-Hill Companies ; 2001. Page 1380-1387.
3. National Spinal Cord Injury Statistical Center. Brimingham, Alabama. 2012. Diakses
dari https://www.nscisc.uab.edu/nscisc-database.aspx..
4. Muid, Masdar. Manifestasi Klinis dan Laboratoris Penderita Sindroma Guillan Barre di
Ruang Perawaran Anak RSU Dr. Saiful Anwar Malang. Dalam : Jurnal Kedokteran
Brawijaya; 2005; 90-95.
5. Widoyono. 2008. Penyakit Tropis, Epidemiologi, Pencegahan dan Pemberantasannta.
Jakarta : Penerbit Erlangga.
6. Center for Disease andPrevention. http://www.cdc.gov/polio/. Tanggal 23 September
2016.
7. Snell RS. Chapter 4. Thes Spinal Cord ant the Ascending and Descending Tract.
Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia.
2010. P 133-84.
8. Guyton AC, Hall JE. Fisiologi Saraf. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
sebelas. Jakarta : EGC. Hal 55-62.
9. Lumbantobing SM. 2010. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta :
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 20-5.
10. L. Heymann, David R, Bruce Aylyward, 2004. Poliomyelitis. Switzerland : Geneva
1211
11. M.D. Peach, Paul E. 2004. Poliomyelitis. Warm Springs : GA 31830.
12. Wilson, Walter R. 2001. Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease. USA :
McGraw-Hill.
13. Neuropathy. Diakses dari www.neurologychanel.com
14. Peripheral Neuropathy. Diakses dari www.ninds.nih.gov
15. Gutierrez Amparo, Sumner Austin J. Electromyography in eurorehabilitation. In :
Selzer ME, Clarke Stephanie, Cohen LG, Dumcan PW, Gage FH. Textbook of neural
repair Vol II : Medical neurorehabilitation. UK : Cambridge University Press; 2006.
P49-55
16. Japardi, Iskandar. Dr. 2002. Sindroma Guillain-Barre. Bagian Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara
17. Guillain-Barre Syndrome, an overview for the Layperson, 9th ed. Guillain-Barre
Syndrome Foundation International. 2000.
37
18. Guillan Barre Sydndrome. [update 2009]. Available from :
http://bodyandhealth.canada.com/condition_info_popup.aspchannel_id=0&disease_id=
325§ion_name=condition_info
19. Engel, A. G. MD. Miastenia Gravis and Myasthenic Syndromes. Dalam Annals of
Neurology. Volume 16: Page: 519-534. 2004. 2.
20. James F.H. Epidemilogy and Pathophysiology. Dalam Jr.M.D,penyunting. Miastenia
Gravis A Manual For Health Care Provider. Edisi ke1.Amerika,2008;8- 14. 3.
21. Paul W, Wirtz MG,dkk. The epidemiology of Miastenia Gravis,Lambert-Eaton
myasthenic syndrome and their associated tumours in the northern part of the province
of South Holland.2003;250;1-4. 4.
22. Romi F, Gilhus N E.Miastenia Gravis clinical, immunological,and therapeutic
advances. 2005;111: 134-141.
23. Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord . In : Jones
HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netters Neurology. 2 nd edition. Elsevier,
Saunders. 2012. P 562-71
24. Venace SL, Cannon SC, Fialho D, Fontain B, Hanna MG, Ptacek LJ. The primary
periodic paralysis: diagnosis, pathogenesis, and treatment. Brain. 2006;129:8-17
25. Hypokalemia periodic paralysis [Internet]. 2011 [cited 2011 Apr 20]. Available from:
http://www.hkpp.org.
26. Stemberg D, Maisonobe T, Jurkat RK, Nicole S, Launay E, Chauveau D, et al.
hypokalaemic periodic paralysis type 2 caused by mutations at codon 672 in the
muscle sodium channel gene SCN4A. Brain. 2011;124:1091-9.
38