Anda di halaman 1dari 21

PRESENTASI KASUS

SEORANG WANITA USIA 56 TAHUN DENGAN


SINDROM GUILLAIN-BARR

Oleh:
Rizka Solehah G99122101
Lucia Pancani A. G99122066
Hanif Mustikasari G99122056
Sofi Wardati G99122105
Muvida G99122080
Nesaraja Ramakrishnan G99121032
Pembimbing:
Agus Soedomo, dr., Sp. S (K).

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2013
BAB I
STATUS PENDERITA

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. AS
Umur : 56 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Debegan RT 2/5 Mojosongo Jebres Surakarta
No. RM : 01210606
Tanggal Masuk : 5 Agustus 2013
Tanggal Periksa : 5 dan 22 Agustus 2013

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Kelemahan keempat anggota gerak.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Satu hari sebelum masuk rumah sakit penderita merasa kelemahan anggota
gerak atas dan bawah terjadi secara bersamaan. Empat hari sebelum masuk
rumah sakit pasien mengeluh sesak dan nyeri pinggang. Berobat ke dokter
dan diberi obat, tetapi keluhan nyeri pinggang dan sesak tidak berkurang.
Penderita sering merasa kesemutan di anggota gerak atas dan bawah sejak
satu minggu yang lalu. Batuk pilek (-), diare (-). Buang air besar dan kecil
(+) normal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat sakit serupa sebelumnya: disangkal
b. Riwayat trauma sebelumnya : disangkal
c. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat sakit gula : disangkal
f. Riwayat stroke/TIA : disangkal
g. Riwayat asma : (+)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat sakit serupa sebelumnya: disangkal
b. Riwayat trauma sebelumnya : disangkal
c. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat sakit gula : disangkal
f. Riwayat stroke/TIA : disangkal
g. Riwayat asma : disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
a. Riwayat minum alkohol : disangkal
b. Riwayat merokok : disangkal
c. Riwayat olahraga : jarang
6. Riwayat Gizi
Sebelum sakit, pasien makan tiga sampai empat kali sehari, porsi
sedang dengan nasi dan lauk pauk seadanya. Kadang-kadang pasien
makan di warung di luar rumah. Pasien jarang makan buah dan makan
daging.
7. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien dirawat di RSDM dengan fasilitas PKMS Silver.
8. Anamnesis Sistem
Anamnesis sistem dilakukan tanggal 5 Agustus 2013.
a. Sistem saraf pusat : nyeri kepala (-), kejang (-)
b. Sistem Indera
- Mata : berkunang-kunang (-), pandangan dobel (-),
penglihatan kabur (-), pandangan berputar (-)

3
- Hidung : mimisan (-), pilek (-)
- Telinga : pendengaran berkurang (-), telinga berdenging (),
keluar cairan (-), darah (-), nyeri (-)
c. Mulut : sariawan (-), gusi berdarah (-), mulut kering (-),
gigi tanggal (-), gigi goyang (-), bicara pelo (-)
d. Tenggorokan : sakit menelan (-), suara serak (-), gatal (-)
e. Sistem respirasi : sesak nafas (+), batuk (-), batuk darah (-),
mengi (-) tidur mendengkur (-)
f. Sistem kardiovaskuler : sesak nafas saat beraktivitas (-), nyeri dada (-),
berdebar-debar (-)
g. Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (-), susah
BAB (-), perut sebah (-), kembung (-), nafsu
makan berkurang (-)
h. Sistem muskuloskeletal : nyeri pinggang (+)
i. Sistem genitourinaria : mengompol (-), sulit mengontrol kencing (-),
j. Ekstremitas atas : luka (-), tremor (-), ujung jari terasa dingin (-),
kesemutan (+/+), bengkak (-), kelemahan (+/
+)
k. Ekstremitas bawah : luka (-), tremor (-), ujung jari terasa dingin (-),
kesemutan (+/+), bengkak (-), kelemahan (+/
+)
l. Sistem neuropsikiatri : kejang (-), gelisah (-), mengigau (-), emosi tidak
stabil (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : sakit sedang, gizi kesan cukup
Vital sign
TD : 230/100
Nadi : 110
RR : 30

4
Suhu : 36,3 C
Skor nyeri: 6

Status Neurologis
a. Kesadaran : GCS E4V5M6
b. Fungsi luhur : dalam batas normal
c. Fungsi vegetatif : terpasang kateter urin, NGT
d. Fungsi sensorik : dalam batas normal
e. Fungsi motorik dan reflek :
Kekuatan Tonus R.fisiologis R.patologis
4/4/4 4/4/4 N N +2 +2 - -

3/4/4 3/4/4 N N +2 +2 - -
f. Nervus Cranialis
1. N. I : dalam batas normal
2. N. II : dalam batas normal
3. N. III, IV, VI : refleks cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/3mm),
dolls eye (+/+)
4. N. V : refleks kornea (+/+)
5. N.VII : dalam batas normal
6. N. VIII : dalam batas normal
7. N. IX : dalam batas normal
8. N. X : dalam batas normal
9. N.XI : dalam batas normal
10. N. XII : dalam batas normal
i. Meningeal Sign
- Kaku kuduk : (-)
- Tanda Brudzinski I : (-)
- Tanda Brudzinski II : (-)
- Tanda Kernig : (-/-)
j. Provokasi test
- Laseque : (-/-)
- Patrick : (-/-)
- Contra Patrick : (-/-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

5
1. Pemeriksaan Laboratorium Darah

Pemeriksaan 5/08/2013 Satuan Nilai normal


Hematologi Rutin
Hb 13.1 g/dl 12.0 15.6
Hct 40 33 45
AL 16,5 103/l 4.5 - 11.0
AT 235 103/l 150 - 450
AE 4.5 106/l 4.10 5.10
Kimia Klinik
GDS 158 Mg/dl 80-140
SGOT 17 u/l 0-35
SGPT 12 u/l 0-45
Kreatinin 0.6 mg/dl 0.6 -1.1
Ureum 36 mg/dl < 50
Natrium 129 Mmol/L 136-145
Kalium 3.1 Mmol/L 3.3-5.1
Chlorida 95 Mmol/L 98-106
Serologi Hepatitis
Non
HbsAg non reaktif
reaktif

2. Pemeriksaan EKG

Sinus takikardi 124x/menit.


IRBBB

3. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto Thoraks PA

6
Identitas : Ny. AS
Tanggal : 5 Agustus 2013
Proyeksi Foto AP
Kekerasan cukup
Simetris
Kurang inspirasi
Trakea di tengah
Sinus costophrenicus kanan kiri tajam
Hemidiafraghma kanan kiri normal
Cor kesan membesar, tampak elongasi aorta
Pulmo : tampak perselubungan di paracardial kanan

Kesimpulan:
Cardiomegali dengan konfigurasi hipertensi heart disease
Keradangan paru

b. Foto cervical

7
Identitas: Ny. AS
Tanggal : 5 Agustus 2013
(kondisi foto kurang optimal)
Tampak fissure pada neck of scottie dog VC 6
Trabekulasi tulang di luar lesi normal
Supenor dan inferior endplate tak tampak kelainan
Corpus pedicle dan spatium intervertebralis di luar lesi tampak normal
Tak tampak erosi/destruksi tulang
Tak tampak paravertebral soft tissue ass/swelling
Trakea di tengah di tengah, airway patent

Kesimpulan :
Suspek fissure of scottie dog VC 6

8
E. RESUME
Pasien datang dengan keluhan kelemahan anggota gerak atas dan bawah
terjadi secara bersamaan sejak Hari Minggu, 4 Agustus 2013. Empat hari
sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh sesak dan nyeri pinggang.
Lalu berobat ke dokter dan diberi obat, tetapi keluhan nyeri pinggang dan
sesak tidak berkurang. Penderita sering merasa kesemutan di anggota
gerak atas dan bawah sejak satu minggu yang lalu. Batuk pilek (-), diare
(-). Buang air besar dan kecil (+) normal.

F. DIAGNOSIS
K: tetraparese flasid, LBP
T: medula spinalis segmen servikal
E: Suspek myelitis dd GBS

G. PENATALAKSANAAN
1. O2 3 liter/menit
2. Infus NaCl 0.9% 20 tpm

H. PLANNING
1. Masuk bangsal
2. EKG
3. Foto thorax, foto servikal
4. Konsul paru di ruangan
5. Konsul jantung
6. Konsul ICU
7. Lumbal pungsi

I. PEMERIKSAAN TANGGAL 22 AGUSTUS 2012


S: -
O: TD: 140/80 mmHg RR: 24x/menit
HR: 84x/menit T: 36,8

9
Status Neurologis
a. Kesadaran : GCS E4V5M6
b. Fungsi luhur : dalam batas normal
c. Fungsi vegetatif : terpasang kateter urin, NGT
d. Fungsi sensorik : dalam batas normal
e. Fungsi motorik dan reflek :
Kekuatan Tonus R.fisiologis R.patologis
3/3/3 3/3/3 +1 +1 - -

1/1/1 1/1/1 +1 +1 - -
f. Nervus Cranialis
N. I : dalam batas normal
N. II : dalam batas normal
N. III, IV, VI : refleks cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/3mm),
dolls eye (+/+)
N. V : refleks kornea (+/+)
N.VII : dalam batas normal
N. VIII : dalam batas normal
N. IX : dalam batas normal
N. X : dalam batas normal
N.XI : dalam batas normal
N. XII : dalam batas normal
Assessment
K: tetraparese flasid
T: poliradikulopati
E: GBS
Terapi
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Injeksi ranitidin 50 mg/12 jam
- Injeksi sohobion 5000 mcg/24 jam drip

J. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. SINDROM GUILLAIN-BARR
1. Definisi
Sindrom Guillain-Barr atau Guillain-Barr Syndrome (GBS)
adalah sindrom autoimun yang terdiri dari demyelinisasi dan degenerasi
akson akut (Newswanger & Warren, 2004). GBS ditandai dengan paralisis
arefleksi akut dengan disosiasi albuminositologik (kadar protein yang
tinggi dalam cairan cerebrospinal dan jumlah sel yang normal) (Yuki &
Hartung, 2012).

2. Klasifikasi
GBS dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)
Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy
(AIDP) adalah jenis paling umum ditemukan pada GBS, yang juga
cocok dengan gejala asli dari sindrom tersebut. Manifestasi klinis
paling sering adalah kelemahan anggota gerak proksimal dibanding
distal. Saraf kranialis yang paling umum terlibat adalah nervus facialis.
Penelitian telah menunjukkan bahwa pada AIDP terdapat infiltrasi
limfositik saraf perifer dan demielinasi segmental makrofag
(Seneviratne, 2003; Kuwabara, 2007).
b. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)
Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) dilaporkan selama
musim panas GBS epidemik pada tahun 1991 dan 1992 di Cina Utara
dan 55% hingga 65% dari pasien GBS merupakan jenis ini. Jenis ini
lebih menonjol pada kelompok anak-anak, dengan ciri khas degenerasi
motor axon. Klinisnya, ditandai dengan kelemahan yang berkembang
cepat dan sering dikaitkan dengan kegagalan pernapasan, meskipun
pasien biasanya memiliki prognosis yang baik. Sepertiga dari pasien

11
dengan AMAN dapat hiperrefleks, tetapi mekanisme belum jelas.
Disfungsi sistem penghambatan melalui interneuron spinal dapat
meningkatkan rangsangan neuron motorik (Seneviratne, 22003;
Kuwabara, 2007).
c. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)

Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) adalah


penyakit akut yang berbeda dari AMAN, AMSAN juga mempengaruhi
saraf sensorik dan motorik. Pasien biasanya usia dewasa, dengan
karakteristik atrofi otot. Dan pemulihan lebih buruk dari AMAN
(Seneviratne, 2003).
d. Miller Fisher Syndrome
Miller Fisher Syndrome adalah karakteristik dari triad ataxia,
arefleksia, dan oftalmoplegia. Kelemahan pada ekstremitas, ptosis,
facial palsy, dan bulbar palsy mungkin terjadi pada beberapa pasien.
Hampir semua menunjukkan IgG auto antibodi terhadap ganglioside
GQ1b. Kerusakan imunitas tampak terjadi di daerah paranodal pada
saraf kranialis III, IV, dan VI (Seneviratne, 2003; Burns, 2008; Yuki &
Hartung, 2012).
e. Acute Neuropatic Panautonomic
Acute Neuropatic Panautonomic adalah varian yang paling
langka pada GBS. Kadang-kadang disertai dengan ensefalopati. Hal ini
terkait dengan tingkat kematian tinggi, karena keterlibatan
kardiovaskular, dan terkait disritmia. Gangguan berkeringat, kurangnya
pembentukan air mata, mual, disfaga, sembelit dengan obat pencahar
atau bergantian dengan diare sering terjadi pada kelompok pasien ini.
Gejala nonspesifik awal adalah kelesuan, kelelahan, sakit kepala, dan
inisiatif penurunan diikuti dengan gejala otonom termasuk ortostatik
ringan. Gejala yang paling umum saat onset berhubungan dengan
intoleransi ortostatik, serta disfungsi pencernaan (Seneviratne, 2003).

12
f. Ensefalitis Batang Otak Bickerstaffs (BBE)
Tipe ini adalah varian lebih lanjut dari GBS. Hal ini ditandai
dengan onset akut oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran,
hiperrefleks atau babinsky sign. Perjalanan penyakit dapat monophasic
atau terutama di otak tengah, pons, dan medula. BEE meskipun
presentasi awal parah biasanya memiliki prognosis baik. MRI
memainkan peran penting dalam diagnosis BEE. Sebagian besar pasien
BEE telah dikaitkan dengan GBS aksonal, dengan indikasi bahwa dua
gangguan yang erat terkait dan membentuk spektrum lanjutan
(Seneviratne, 2003; Burns, 2008).

3. Epidemiologi
GBS dapat menyerang siapa saja, pada usia berapa pun dan jenis
kelamin apapun. Sindrom ini jarang terjadi dengan angka kejadian
1:100.000 (NIH, 2011). Rata-rata pertahun 1-3/100.000 populasi dan
perempuan lebih sering terkena daripada laki-laki dengan perbandingan
rasio perempuan : laki-laki = 1,5 : 1 untuk semua usia (Erasmus, 2004).
Puncak insidensi GBS antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun,
jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah
dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun (Japardi, 2005).

4. Etiologi
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan
pasti dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/ penyakit
yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS,
antara lain:
a. Infeksi
b. Vaksinasi
c. Pembedahan
d. Penyakit sistematik:
1) keganasan
2) systemic lupus erythematosus

13
3) tiroiditis
4) penyakit Addison
e. Kehamilan atau dalam masa nifas
GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.
Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara
56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul
seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal
(Japardi, 2005).

Gambar 1. Infeksi yang berhubungan dengan GBS (Japardi, 2005)

5. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya GBS masih belum diketahui secara pasti.
Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi
pada sindrom ini adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesis merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf
tepi pada GBS adalah:
a. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell
mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
b. Adanya autoantibodi terhadap sistem saraf tepi
c. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi
saraf tepi.

14
Proses demyelinisasi saraf tepi pada GBS dipengaruhi oleh respon
imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa
sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.
a. Peran imunitas humoral
Berbagai laporan melaporkan adanya antibodi terhadap
glikolipid, termasuk GM1, GQ1b, berbagai gangliosid lain, seluruh
komponen membran akson Histologi saraf tepi menunjukkan infiltrasi
monosit perivaskuler endoneurial dan demielinasi multifocal. Saraf-
saraf tepi dapat terkena dari radiks sampai akhiran saraf distal
(poliradikuloneuropati) (Yuki & Hartung, 2012).

Gambar 2. Patofisiologi GBS (Yuki & Hartung, 2012).


b. Peran imunitas seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang
peranan penting disamping peran makrofag. Sebelum respon imunitas
seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada
limfosit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan

15
(fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, alergen atau bahan
imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen
(Antigen Presenting Cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan
dikenalkan pada limfosit T (CD4). Setelah itu limfosit T tersebut
menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi
interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E
selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktivasi sel
endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk
mengaktifkan sel limfosit T dan makrofag, lalu makrofag akan
mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping
menghasilkan TNF dan komplemen (Japardi, 2005).

6. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis yang klasik pada GBS adalah kelemahan yang
ascending dan simetris secara natural. Anggota tubuh bagian bawah
biasanya terkena duluan sebelum tungkai atas. Parestesia ini biasanya
bersifat bilateral. Setelah manifestasi klinis pertama, gejala dapat
memberat dalam beberapa jam, hari, atau minggu. Sebagian besar orang
mencapai stadium kelemahan yang paling berat pada dua minggu pertama
setelah muncul gejala (Seneviratne, 2003; NIH, 2011). Gejala ini dapat
meningkat intensitasnya sampai otot-otot tertentu tidak dapat digunakan
sama sekali, dan pada gejala yang berat penderita dapat mengalami
kelumpuhan total. Biasanya GBS muncul beberapa hari atau minggu
setelah pasien mengalami gejala infeksi virus pada respirasi atau
gastrointestinal. Kadang-kadang operasi dapat mencetuskan sindrom ini.
Reflek fisiologis pada GBS biasanya menghilang karena jalannya impuls
di sepanjang saraf melambat (NIH, 2011).
Kerusakan saraf motorik ini bervariasi mulai dari kelemahan
sampai pada yang menimbulkan quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf
pusat, muncul pada 50% kasus, biasanya berupa facial diplegia.
Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara signifikan dan bahkan

16
20% pasien memerlukan bantuan ventilator dalam bernapas. Anak anak
biasanya menjadi mudah terangsang dan progresivitas kelemahan dimulai
dari menolak untuk berjalan, tidak mampu untuk berjalan, dan akhirnya
menjadi tetraplegia (Seneviratne, 2003).
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan
dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya
proprioseptif dan sensasi getar. Gejala yang dirasakan penderita biasanya
berupa parestesia dan disestesia pada ekstremitas distal. Rasa sakit dan
kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi, terutama pada
anak-anak (Seneviratne, 2003).
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan
kematian. Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau
hipertensi, aritmia bahkan cardiac arrest, facial flushing, sfinkter yang
tidak terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat. Kerusakan pada susunan
saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa disfagia, kesulitan dalam
berbicara, dan yang paling sering (50%) adalah bilateral facial palsy
(Seneviratne, 2003; Erasmus, 2004).
Gejala-gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah
kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi,
kesulitan menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas
dalam, dan penglihatan kabur (blurred visions) (Erasmus, 2004).

7. Diagnosis
Kriteria diagnosis yang umum dipakai adalah kriteria menurut
National Institute of Neurological and Communicative Disorder and
Stroke (NINCDS), yaitu:
Gejala utama
a. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas
dengan atau tanpa disertai ataxia
b. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general

Gejala tambahan

17
a. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu
b. Biasanya simetris
c. Adanya gejala sensoris yang ringan
d. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral
e. Disfungsi saraf otonom
f. Tidak disertai demam
g. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4
Pemeriksaan LCS
a. Peningkatan protein
b. Sel MN < 10 /ul
Pemeriksaan elektrodiagnostik
Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf
Gejala yang menyingkirkan diagnosis
a. Kelemahan yang sifatnya asimetri
b. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
c. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
d. Gejala sensoris yang nyata (Japardi, 2005).

8. Diagnosis Banding
Gejala klinis GBS biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan
kriteria diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang
harus dibedakan dengan keadaan lain, seperti:
a. Mielitis akut
b. Poliomyelitis anterior akut
c. Porphyria intermitten akut
d. Polineuropati post difteri (Japardi, 2005).

9. Penatalaksanaan
Tujuan dari penatalaksanaan GBS adalah mengurangi keparahan
penyakit, mempercepat penyembuhan pasien, dan mengurangi komplikasi.
Bagian yang paling penting dari penatalaksanaan GBS adalah
mempertahankan fungsi tubbuh pasien selama pemulihan sistem saraf.
Kadang-kadang diperlukan pemasangan ventilator, monitor, atau mesin

18
lain yang membantu fungsi tubuh. Kebutuhan akan mesin ini merupakan
suatua alasan mengapa pasien GBS di rawat di Intensive Care Unit (ICU)
(NIH, 2011).
Pasien dengan progresivitas cepat dapat diberikan obat-obatan
berupa steroid. Namun, ada pihak yang mengatakan bahwa pemberian
steroid ini tidak memberikan hasil apapun juga. Steroid tidak dapat
memperpendek lamanya penyakit, mengurangi paralisa yang terjadi
maupun mempercepat penyembuhan (NIH, 2011).
Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat
memperpendek lamanya paralisa dan mepercepat terjadinya penyembuhan.
Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu
setelah munculnya gejala. Regimen standard terdiri dari 5 sesi (4050 ml/
kgBB) dengan saline dan albumin sebagai penggantinya. Perdarahan aktif,
ketidakstabilan hemodinamik berat dan septikemia adalah kontraindikasi
dari PE (Burns, 2008).
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IV Ig) dapat
menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto
antibodi tersebut. IV Ig juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang
kemudian menetralisir antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells
patologis tidak terbentuk. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu
setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g/kgBB/hari selama 5 hari.
Pemberian PE dikombinasikan dengan IVI g tidak memberikan hasil yang
lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan PE atau IV Ig (Hughes
et al., 2007; Burns, 2008). Fisioterapi juga dapat dilakukan untuk
meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas otot setelah paralisis. Heparin
dosis rendah dapat diberikan untuk mencegah terjadinya thrombosis
(Japardi, 2005).

10. Komplikasi

19
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah pneumonia dan ulkus
akibat bedrest yang lama (NIH, 2011). Komplikasi lain yang mungkin
dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau cairan ke dalam
paru, meningkatkan risiko terjadinya infeksi, trombosis vena, paralisis
permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi (Erasmus,
2004).

11. Prognosis
Sekitar 20% tetap mengalami kecacatan seumur hidup dan 5%
mengalami kematian (Hughes et al., 2007). Meskipun demikian, sekitar
95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila
dengan keadaan antara lain pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal,
mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset,
progresifitas penyakit lambat dan pendek, dan terjadi pada penderita
berusia 30-60 tahun (Seneviratne, 2003; Japardi, 2005).

20
DAFTAR PUSTAKA

Newswanger DL, Warren CR. 2004. Guillain-Barr syndrome. American Family


Physician; 69 (10): 2405-10.

Kuwabara S. 2007. Guillain-Barr syndrome. Current Neurology and


Neuroscience Report; 7 (1): 57-62.

Yuki N, Hartung HP. 2012. Guillain-Barr syndrome. NEJM; 366: 2294-304.

Hughes RAC, Swan AV, Raphael JC, Annane D, van Koningsveld R, van Doorn
PA. 2007. Immunotheraphy for Guillain-Barr syndrome: A systematic
review. Brain; 130: 2245-57.

NIH. 2011. Guillain-Barr syndrome factsheet.


http://www.ninds.nih.gov/disorders/gbs/details_gbs.htm diakses:
Agustus 2013.

Japardi I. 2005. Sindrom Guillain-Barr. Medan: Fakultas Kedokteran Bagian


Bedah Sumatera Utara; pp: 1-6.

Seneviratne U. 2003. Guillain-Barre syndrome: Clinicopathological types and


electrophysiological diagnosis. Departement of Neurology, National
Neuroscience Institute, SGH Campus.

Burns TM. 2008. Guillain-Barr syndrome. Semin Neurol; 28(2):152-167.

Erasmus MC. 2004. Gullain-Barre Syndrome. Professor Marianne de vissers,


Editor. Netherlands: University Medical Center Rotterdam.

21

Anda mungkin juga menyukai