Anda di halaman 1dari 23

Referat

Meningitis TB dan Penatalaksanaan Termutakhir

Disusun Oleh:

Chintia Armelia Golf 11.2015.357

Josephine Claudia Sirait 112016354

Pembimbing:

dr. Tri Budiyono, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RUMAH SAKIT BAYUKARTA KARAWANG

PERIODE 19 JUNI 2017 22 JULI 2017


Pendahuluan

Meningitis adalah suatu inflamasi pada membran araknoid, piamater, dan


cairan serebrospinal. Proses inflamasi terjadi dan menyebar melalui ruangan
subaraknoid di sekeliling otak dan medula spinalis serta ventrikel. Meningitis
tuberkulosis merupakan bentuk tuberkulosis ekstra paru dengan adanya kelainan
neurologis yang mencapai 70- 80% dari seluruh kasus tuberkulosis neurologis,
5,2% dari seluruh tuberkulosis ekstrapulmoner dan 0,7% dari seluruh kasus
tuberkulosis. Walaupun telah diberikan terapi yang adekuat, penyakit ini masih
memiliki tingkat mortalitas yang tinggi hingga mencapai 50%, bahkan di negara
maju seperti Amerika Serikat sekalipun. Umumnya meningitis tuberkulosis
berhubungan erat dengan koinfeksi HIV.1

Pasien dengan meningitis tuberkulosis akan mengalami tanda dan gejala


meningitis yang khas, seperti nyeri kepala, demam dan kaku kuduk, walaupun
tanda rangsang meningeal mungkin tidak ditemukan pada tahap awal penyakit.
Durasi gejala sebelum ditemukannya tanda meningeal bervariasi dari beberapa hari
hingga beberapa bulan. Namun pada beberapa kondisi, meningitis tuberkulosis
dapat muncul sebagai penyakit yang berat, dengan penurunan kesadaran, palsi
nervus kranial, parese dan kejang. Beratnya gejala dan risiko kematian yang tinggi
akibat meningitis tuberkulosis mendorong perlunya pengetahuan mengenai
tatalaksana yang adekuat.1

Definisi Meningitis

Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai


piameter (lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih
ringanmengenai jaringan otak dan medula spinalis yang superfisial.2

Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi


pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis
serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan
serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah kuman
Tuberculosis dan virus. Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah
meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan
disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis Meningococcus
merupakan meningitis purulenta yang paling sering terjadi. Penularan kuman
dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita dan droplet infection yaitu
terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan cairan tenggorok penderita.
Saluran nafas merupakan port dentree utama pada penularan penyakit ini. Bakteri-
bakteri ini disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari pernafasan dan
sekresi-sekresi tenggorokan yang masuk secara hematogen (melalui aliran darah)
ke dalam cairan serebrospinal dan memperbanyak diri didalamnya sehingga
menimbulkan peradangan pada selaput otak dan otak.2

Definisi Meningitis Tuberkulosis

Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak


(meningen) yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberkulosis. Penyakit
ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit
tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara
limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti
perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak. Mycobacterium
tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik gram positif,
berukuran 0,4-3, mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama berminggu-
minggu dalam keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20
jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis bakteri yang bersifat intraselular
patogen pada hewan dan manusia. Selain Mycobacterium tuberkulosis, spesies
lainnya yang juga dapat menimbulkan tuberkulosis adalah Mycobacterium bovis,
Mycobacterium africanum, dan Mycobacterium microti.3

Anatomi dan Fisiologi Selaput Otak

Meningen (selaput otak) adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum
tulang belakang, melindungi struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah
dan cairan sekresi (cairan serebrospinalis), memperkecil benturan atau getaran
yang terdiri dari tiga lapisan:4
Gambar 1. Anatomi Meningen 2

Lapisan Luar (Durameter)

Dura mater adalah lapisan meninges luar, terdiri atas jaringan ikat padat
yang berhubungan langsung dengan periosteum tengkorak. Dura mater yang
membungkus medulla spinalis dipisahkan dari periosteum vertebra oleh ruang
epidural, yang mengandung vena berdinding tipis, jaringan ikat longgar, dan
jaringan lemak. Dura mater selalu dipisahkan dari arachnoid oleh celah sempit,
ruang subdural. Permukaan dalam dura mater, juga permukaan luarnya pada
medulla spinalis, dilapisi epitel selapis gepeng yang asalnya dari mesenkim.4

Lapisan Tengah (Araknoid)

Araknoid mempunyai 2 komponen yaitu lapisan yang berkontak dengan


dura mater dan sebuah sistem trabekel yang menghubungkan lapisan itu dengan
piamater. Rongga diantara trabekel membentuk ruang subaraknoid, yang berisi
cairan serebrospinal dan terpisah sempurna dari ruang subdural. Ruang ini
membentuk bantalan hidrolik yang melindungi syaraf pusat dari trauma. Ruang
subaraknoid berhubungan dengan ventrikel otak. Araknoid terdiri atas jaringan ikat
tanpa pembuluh darah. Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis gepeng seperti
dura mater karena medulla spinalis araknoid itu lebih sedikit trabekelnya, maka
lebih mudah dibedakan dari piamater. Pada beberapa daerah, araknoid menembus
dura mater membentuk juluran-juluran yang berakhir pada sinus venosus dalam
dura mater. Juluran ini, yang dilapisi oleh sel-sel endotel dari vena disebut Vili
Araknoid. Fungsinya ialah untuk menyerap cairan serebrospinal ke dalam darah
dari sinus venosus.4

Lapisan Dalam (Pia mater)

Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak
pembuluh darah. Meskipun letaknya cukup dekat dengan jaringan saraf, ia tidak
berkontak dengan sel atau serat saraf. Di antara pia mater dan elemen neural
terdapat lapisan tipis cabang-cabang neuroglia, melekat erat pada pia mater dan
membentuk barier fisik pada bagian tepi dari susunan saraf pusat yang
memisahkan sistem saraf pusat dari cairan serebrospinal. Pia mater menyusuri
seluruh lekuk permukaan susunan saraf pusaf dan menyusup kedalamnya untuk
jarak tertentu bersama pembuluh darah. Pia mater di lapisi oleh sel-sel gepeng
yang berasal dari mesenkim. Pembuluh darah menembus susunan saraf pusat
melalui torowongan yang dilapisi oleh piamater ruang perivaskuler. Pia mater
lenyap sebelum pembuluh darah ditransportasi menjadi kapiler. Dalam susunan
saraf pusat, kapiler darah seluruhnya dibungkus oleh perluasan cabang neuroglia. 4

Plexus Koroid dan Cairan Serebrospinal

Pleksus koroid terdiri atas lipatan-lipatan ke dalam dari pia mater yang
menyusup ke bagian dalam ventrikel. Dapat ditemukan pada atap ventrikel ketiga
dan keempat dan sebagian pada dinding ventrikel lateral. Plexus koroid merupakan
struktur vaskular yang terbuat dari kapiler fenestra yang berdilatasi. Pleksus koroid
terdiri atas jaringan ikat longgar dari pia mater, dibungkus oleh epitel selapis
kuboid atau silindris, yang memiliki karakteristik sitologi dari sel pengangkut ion.
Fungsi utama pleksus koroid adalah membentuk cairan serebrospinal, yang hanya
mengandung sedikit bahan padat dan mengisi penuh ventrikel, kanal sentral dari
medula spinalis, ruang subaraknoid, dan ruang perivasikular. Hal ini penting untuk
metabolisme susunan saraf pusat dan merupakan alat pelindung, berupa bantalan
cairan dalam ruang subaraknoid. Cairan itu jernih, memiliki densitas rendah
(1.004-1.008 gr/ml), dan kandungan proteinnya sangat rendah. Juga terdapat
beberapa sel deskuamasi dan dua sampai lima limfosit per milliliter. Cairan
serebrospinal mengalir melalui ventrikel, dari sana ia memasuki ruang
subaraknoid. Disini vili araknoid merupakan jalur utama untuk absorbsi Cairan
Serebrospinal ke dalam sirkulasi vena. Menurunnya proses absorsi cairan
serebrospinal atau penghambatan aliran keluar cairan dari ventrikel menimbulkan
keadaan yang disebut hidrosefalus, yang mengakibatkan pembesaran progresif dari
kepala dan disertai dengan gangguan mental dan kelemahan otot.5

Epidemiologi

Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer. Morbiditas dan


mortalitas penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk. Komplikasi meningitis TB
terjadi pada setiap 300 penderita TB primer yang tidak diobati. Meningitis TB
menghasilkan tingkat tertinggi morbiditas dan mortalitas dari semua bentuk
tuberkulosis. Hal ini menjadi perhatian khusus pada anak-anak, persentasenya
hingga 33% dari semua kasus TB. Dari keselamatan kasus meningitis tuberkulosis,
50% mengalami kematian, dan penderita yang selamat bisa mengalami gejala sisa
neurologis substansial termasuk keterlambatan perkembangan pada anak-anak,
kejang, hidrosefalus, dan kelumpuhan saraf kranial.6

Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis


yang tidak diobati. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara
10-20%. Sebagian besar dengan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali
normal secara neurologis dan intelektual.6

Di Indonesia, insidensi meningitis tuberkulosis lebih tinggi terutama pada


orang dengan HIV/AIDS. Meningitis tuberculosis merupakan penyakit yang
mengancam jiwa dan memerlukan penanganan tepat karena mortalitas mencapai
30%, sekitar 5:10 dari pasien bebas meningitis TB. Di Indonesia, meningitis
tuberkulosis masih banyak ditemukan karena morbiditas tuberkulosis pada anak
masih tinggi. Penyakit ini dapat menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak
kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi
dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan
pada umur dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3
bulan.6

Etiologi

Pada laporan kasus meningitis tuberkulosis, Mycobacterium tuberculosis


merupakan faktor penyebab paling utama dalam terjadinya penyakit meningitis.
Pada kasus meningitis secara umum disebabkan oleh mikroorganisme, seperti
virus, bakteri, jamur, atau parasit yang menyebar dalam darah ke cairan otak.7

Penyebab infeksi ini dapat diklasifikasikan atas :7

Tabel 1. Klasifikasi Penyebab Infeksi

Kategori Agen
Bakteri Pneumococcus
Meningococcus
Haemophilus influenza
Staphylococcus
Escherichia coli
Salmonella
Mycobacterium tuberculosis
Virus Enterovirus
Jamur Cryptococcus neoformans
Coccidioides immitris

Faktor Risiko

Faktor resiko terjadinya meningitis tuberkulosis adalah:

1. Usia (anak-anak > dewasa )


2. Koinfeksi-HIV
3. Malnutrisi
4. Keganasan
5. Penggunaan agen imunosupresif
Klasifikasi

Menurut British Medical Research Council, meningitis tuberkulosis dapat


diklasifikasikan menjadi tiga stage yang terdiri atas:7

Tabel 2. Klasifikasi Meningitis Tuberkulosis7

Stage I Pasien sadar penuh, rasional dan tidak memiliki defisit neurologis

Stage II Pasien confused atau memiliki defisit neurologis seperti kelumpuhan


saraf kranialis atau hemiparesis.
Stage III Pasien koma atau stupor dengan defisit neurologis yang berat

Patogenesis

Meningitis tuberkulosis terjadi akibat penyebaran infeksi secara hematogen


ke meningen. Dalam perjalanannya meningitis tuberkulosis melalui 2 tahap yaitu
mula-mula terbentuk lesi di otak atau meningen akibat penyebaran basil secara
hematogen selama infeksi primer. Penyebaran secara hematogen dapat juga terjadi
pada TB kronik, tetapi keadaan ini jarang ditemukan. Selanjutnya meningitis
terjadi akibat terlepasnya basil dan antigen TB dari fokus kaseosa (lesi permukaan
di otak) akibat trauma atau proses imunologi, langsung masuk ke subaraknoid.
Meningitis tuberkulosis biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer.8

Kebanyakan bakteri masuk ke cairan serebrospinal dalam bentuk kolonisasi


dari nasofaring atau secara hematogen menyebar ke pleksus koroid parenkim otak,
atau selaput meningen. Vena-vena yang mengalami penyumbatan dapat
menyebabkan aliran retrograde transmisi dari infeksi. Kerusakan lapisan dura
dapat disebabkan oleh fraktur, paska bedah saraf, infeksi steroid secara epidural,
tindakan anestesi, adanya benda asing seperti implan koklear, VP shunt, dan lain-
lain. Sering juga kolonisasi organisme pada kulit dapat menyebabkan meningitis.
Meskipun meningitis dikatakan sebagai peradangan selaput meningen, kerusakan
meningen dapat berasal dari infeksi yang dapat berakibat edema otak, peyumbatan
vena dan menghalang aliran cairan serebospinal yang dapat berakhir dengan
hidrosefalus, peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi.8

Terjadi peningkatan inflamasi granulomatus di leptomeningen (pia mater


dan araknoid) dan korteks serebri di sekitarnya menyebabkan eksudat cenderung
terkumpul di daerah basal otak.8

Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberculosis :

1. Araknoiditis Proliferatif

Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik
yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi
radang akut di leptomeningen ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna
kuning kehijauan di basis otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit
dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan
mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun
saraf kranialis yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling sering
terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul gejala
diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma optikum
menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta bila terjadi
atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan
gangguan pendengaran yang sifatnya permanen.8

2. Vaskulitis

Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal


yang melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini
menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan
inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark
terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan
timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada
pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya perdarahan,
proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel
dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika
media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang
perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel,
proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena adalah
arteri cerebri media dan anterior serta cabang - cabangnya, dan arteri karotis
interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi
dan menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya
flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel
mononuklear dan perubahan fibrin.8

3. Hidrosefalus

Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang


akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis.8

Manifestasi Klinis

Gejala klinis meningitis TB berbeda untuk masing-masing penderita. Faktor-


faktor yang bertanggung jawab terhadap gejala klinis erat kaitannya dengan
perubahan patologi yang ditemukan. Tanda dan gejala klinis meningitis TB muncul
perlahan-lahan dalam waktu beberapa minggu.9

Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke tengkuk
dan punggung. Tengkuk menjadi kaku dan Kaku kuduk disebabkan oleh
mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu
tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam sikap
hiperekstensi. Kesadaran menurun, tanda Kernigs dan Brudzinsky positif. Gejala
pada bayi yang terkena meningitis, biasanya menjadi sangat rewel muncul bercak
pada kulit tangisan lebih keras dan nadanya tinggi, demam ringan, badan terasa
kaku, dan terjadi gangguan kesadaran seperti tangannya membuat gerakan tidak
beraturan.9

Gejala klinis meningitis tuberkulosis dapat dibagi dalam 3 (tiga) stadium:

Stadium I : Prodormal

Selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi biasa.
Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam,
muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan menurun, mudah
tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan keadaran
berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala,
konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat
gelisah.9

Stadium II : Transisi

Berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala penyakit lebih berat dimana
penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadangkadang disertai kejang
terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda - tanda rangsangan meningeal mulai
nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan
intrakranial, ubun - ubun menonjol dan muntah yang lebih hebat.9

Stadium III : Terminal

Ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma. Pada stadium
ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu.9

Anamnesis

Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam, nyeri
kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah, penurunan nafsu makan,
mudah mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang, penurunan kesadaran, adanya
riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis. Pada neonatus, gejalanya mungkin
minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi malas minum, letargi, distress
pernafasan, ikterus, muntah, diare, hipotermia. Anamnesa dapat dilakukan pada
keluarga pasien yang dapat dipercaya jika tidak memungkinkan untuk
autoanamnesa.10

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis biasanya


adalah pemeriksaan rangsang meningeal. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
adalah sebagai berikut :
Kaku Kuduk

Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi kepala.
Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada
pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot.10

Kernig`s sign

Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi padas sendi panggul kemudian


ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mungkin tanpa rasa nyeri. Tanda
Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135 (kaki tidak
dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa
nyeri.10

Brudzinski I (Brudzinski leher)

Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan ditempatkan dibawah


kepala pasien yang sedang berbaring, tangan pemeriksa yang satu lagi ditempatkan
didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien
difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. BrudzinskiI positif (+) bila gerakan
fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi disendi lutut dan panggul kedua
tungkai secara reflektorik.10

Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)

Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi
panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila
pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut
kontralateral.10

Brudzinski III (Brudzinski Pipi)

Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu jari pemeriksa
tepat dibawah os ozygomaticum. Tanda Brudzinski III positif (+) jika terdapat flexi
involunter extremitas superior.10
Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis)
Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu jari tangan
pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+) bila terjadi flexi involunter
extremitas inferior.10

Lasegue`s Sign

Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya. Salah satu


tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam keadaan lurus. Tanda lasegue
positif (+) jika terdapat tahanan sebelum mencapai sudut 70 pada dewasa dan
kurang dari 60 pada lansia.10

Pemeriksaan Penunjang Meningitis Tuberkulosis

Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:


Darah lengkap
Uji tuberculin
Radiologi : X-Foto Thorax
Pungsi cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan cara
pungsi lumbal)

Telah diketahui bahwa pemeriksaan CSS memiliki peran yang sangat


penting dalam menegakkan diagnosis meningoensefalitis. Pungsi lumbal tidak
perlu dilakukan bila penderita dengan meningitis bakterialis beresons baik terhadap
pengobatan. Pungsi lumbal dilakukan dengan cara menusukkan jarum ke dalam
kanalis spinalis. Dinamakan pungsi lumbal karena jarum memasuki daerah lumbal
(tulang punggung bagian bawah). Dalam pemeriksaan serebrospinal. Dalam
pemeriksaan biokimia dan sitologi maka CSS pada penderita dengan
meningoensefalitis akan ditemukan cairan yang jernih dan agak pekat, jaringan
protein akan terlihat setelah proses pengendapan. CSS hemoragik dapat ditemukan
pada meningitis TB yang mengalami vaskulitis. Adanya gambaran yang khas yang
disebut dengan pelikel , yakni hasil dari tingginya konsentrasi fibrinogen dalam
cairan disertai dengan sel sel proinflamatori. Tekanan pembuka pada waktu
memasukkan jarum spinal meningkat sampai 50%, pada meningitis TB kadar
glukosa dalam CSS rendah namun mengandung protein yang tinggi nilai glukosa
mendekati 40 mg/dl., protein dapat berkisar antara 150-200 mg/dl.3,4

Pengobatan Meningitis Tuberkulosis

Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk


kemoterapi yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan
tekanan intrakranial. Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada
kecurigaan klinis ke arah meningitis tuberkulosis. Terapi diberikan sesuai dengan
konsep baku tuberkulosis yakni:
Tata laksana pada penderita meningitis, yaitu dengan:

a. Pemberien antibiotic, walaupun belum diketahui Kausanya.

b.Atasi adanya peningkatan Tekanan Intracranial.

c. Pengobatan simtomatis.

1. Menghentikan kejang: dengan Diazepam 0,2-0,5 mg/KgBB/dosis IV


atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis rectal suppositoria. Phenytoin 5 mg/KgBB/hari
IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau Phenobarbital 5-7 mg/Kg/hari IM/PO dibagi
dalam 3 dosis.

2. Menurunkan panas: Antipiretika: Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO


atau Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO diberikan 3-4 kali sehari, Kompres air
hangat/biasa dan Pengobatan suportif: Cairan intravena dan Oksigen. Usahakan
agar konsentrasi O2 berkisar antara 30-50%.

Bila penderita tidak sadar lama: Beri makanan melalui sonde, cegah
dekubitus dan pnemonia ortostatik dengan merubah posisi penderita sesering
mungkin, minimal ke kiri dan ke kanan setiap 6 jam, Cegah kekeringan kornea
dengan boorwater/salep antibiotika, Bila mengalami inkontinensia urin lakukan
pemasangan kateter, Bila mengalami inkontinensia alvi lakukan lavement,
Pemantauan ketat:Tekanan darah,Pernafasan,Nadi,Produksi air kemih, Faal
hemostasis untuk mengetahui secara dini ada DIC.

Dan setelah pasien membaik dan mulai sadar, dilakukan fisioterapi dan
rehabilitasi, karena angka kecacatan pada penderita meningitis sangat tinggi. Bila
pasien mengalami hipertoni otot, maka akan mempunyai resiko kontraktur,
diperlukan edukasi dan kerjasama yang baik antara orang tua dengan dokter.

Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yakni
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol. Terapi dilanjutkan
dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin hingga 12 bulan.
Terapi untuk meningitis terbagi menjadi terapi umum dan terapi khusus,
yaitu:

Terapi Umum
Istirahat mutlak, bila perlu diberikan perawatan intensif
Pemberian gizi tinggi kalori tinggi protein
Posisi penderita dijaga agar tidak terjadi dekubitus.
Keseimbangan cairan tubuh
Perawatan kandung kemih dan defekasi
Mengatasi gejala demam, kejang.

Terapi Khusus
a. Penatalaksanaan meningitis serosa meliputi:
Rejimen terapi : 2RHZE - 7RH
Untuk 2 bulan pertama.
INH : 1 x 400 mg/hari, oral
Rifampisin : 1 x 600 mg/hari, oral
Pirazinamid : 15-30 mg/kgBB/hari, oral
Etambutol :15-20 mg/kgBB/hari, oral
Untuk 7-12 bulan selanjutnya.
INH : 1 x 400 mg/hari, oral
Rifampisin : 1 x 600 mg/hari, oral
Steroid, diberikan untuk :
Menghambat reaksi inflamasi
Mencegah komplikasi infeksi
Menurunkan edem cerebri
Mencegah perlengketan arachnoid dan otak
Mencegah arteritis/ infark otak
Indikasi :
Kesadaran menurun
Defisit neurologi fokal
Dosis : Dosis Dexametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4-5 mg
intravena selama 2-3 minggu, selanjutnya turunkan perlahan selama 1 bulan.
b. Penatalaksanaan meningitis Purulenta
Pemberian antibiotika harus cepat dan tepat sesuai dengan bakteri
penyebabnya dan dalam dosis yang cukup tinggi. Sambil menunggu hasil
biakan sebaiknya diberikan antibiotika dengan spektrum luas. Antibiotika
diberikan selama 10-14 hari atau sekurang-kurangnya 7 hari setelah bebas
demam.
Penisilin G dosis 1-2 juta unit setiap 2 jam untuk infeksi Pneumococcus,
Streptococcus, Meningiococcus.
Kloramphenicol dosis 4 x 1 g/hari atau ampisilin 4 x 3 g/hari untuk infeksi
Haemophilus.
Gentamisin untuk infeksi E.coli. Klebsiella, Proteus, dan kuman-kuman
gram negatif.

Karakteristik Obat
Isoniazid
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel
dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh, termasuk
liquor cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki
adverse reaction yang rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang
biasa diberikan adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan
diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam
bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml.
Konsentrasi puncak di darah, sputum, dan liquor cerebrospinalis dapat dicapai
dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid
terdapat dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar
darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik
dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih banyak
terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan
bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya neuritis perifer, dapat diberikan
piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg piridoksin setiap
100 mg isoniazid.7

Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat
dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan) dan kadar serum
puncak dicapai dalam 2 jam. Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis
10-20 mg / kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu kali
pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin
tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari.
Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk
liquor cerebrospinalis. Distribusi rifampisin ke dalam liquor cerebrospinalis lebih
baik pada keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan daripada
keadaan normal. Efek samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah,
keringat, sputum, dan air mata menjadi warma oranye kemerahan. Efek samping
lainnya adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin
umumya tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg.

Pirazinamid
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada
jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat
bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan diresorbsi baik pada saluran
cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram /
hari. Kadar serum puncak 45 g / ml tercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid
diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat
suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek
samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan
hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet
500 mg. 7

Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam
pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya penting pada pengobatan fase
intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug resistent-tuberculosis).
Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari,
maksimal 1 gram / hari, dan kadar puncak 45-50 g /ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat
melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik
pada jaringan dan cairan pleura dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan
utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid
atau jika anak menderita tuberkulosis berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi
pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran,
dengan gejala berupa telinga berdengung (tinismus) dan pusing. Streptomisin dapat
menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada
wanita hamil karena dapat merudak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan
menderita tuli berat. 7

Steroid
Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis tuberkulosis
sebagai terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti inflamasi, juga dapat
menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati edema otak. Steroid yang dipakai
adalah prednison dengan dosis 1-2 mg / kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah itu
dilakukan penurunan dosis secara bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu
sesuai dengan lamanya pemberian regimen.
Pada bulan pertama pengobatan, pasien harus tirah baring total.
Steroid diberikan untuk:
Menghambat reaksi inflamasi
Mencegah komplikasi infeksi
Menurunkan edema serebri
Mencegah perlekatan
Mencegah arteritis/infark otak
Indikasi Steroid :
Kesadaran menurun
Defisit neurologist fokal

Ethambutol
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterid
jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan
pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain.
Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB / hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan
dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 g dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia
dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh
dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari,
tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.
Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan buta warna
merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum
dapat diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa
pemberian etambutol dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari tidak menimbulkan
kejadian neuritis optika pada pasien yang dipantau hingga 10 tahun pasca
pengobatan. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai pelaksanaan tuberkulosis
pada anak, etambutol dianjurkan penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25 mg
/ kgBB / hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan
kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat
digunakan. 7
Prognosis Meningitis Tuberkulosis
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien
didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk
prognosisnya. Apabila tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis
dapat meninggal dunia. Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang
berumur kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada
pasien yang lebih tua usianya.

Kesimpulan

Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak


(meningen) yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit
ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit
tuberkulosis paru. Tuberkulosis yang menyerang SSP (sistem saraf pusat)
ditemukan dalam tiga bentuk yaitu meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis
spinalis. Ketiganya sering ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus
terbanyak adalah meningitis tuberkulosis.
Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena
morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja menyerang
semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih
rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai 4 atau 6
tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, dan hampir tidak pernah
ditemukan pada umur dibawah 3 bulan.
Meningitis TB terjadi akibat penyebaran infeksi secara hematogen ke
meningen. Dalam perjalanannya meningitis TB melalui 2 tahap. Mula-mula
terbentuk lesi di otak atau meningen akibat penyebaran basil secara hematogen
selama infeksi primer. Penyebaran secara hematogen dapat juga terjadi pada TB
kronik, tetapi keadaan ini jarang ditemukan. Selanjutnya meningitis terjadi akibat
terlepasnya basil dan antigen TB dari fokus kaseosa (lesi permulaan di otak) akibat
trauma atau proses imunologik, langsung masuk ke ruang subarakhnoid.
Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk
kemoterapi yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan
tekanan intrakranial. Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada
kecurigaan klinis ke arah meningitis tuberkulosis. Komplikasi yang paling
menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa neurologis (sekuele).
Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan gangguan sensori
ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak, nistagmus, ataksia,
gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas.
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien
didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk
prognosisnya. Apabila tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis
dapat meninggal dunia. Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang
berumur kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada
pasien yang lebih tua usianya.
Daftar Pustaka
1. Pemula G, Apriliana E. Penatalaksanaan yang tepat pada meningitis tuberkulosis. J
Medula Unila, Volume 6, Nomor 1, Desember 2016. hal 50 54. Diakses pada 1 Juli
2017.
2. WHO, 2005. Meningitis. http://www.who.int/emc/diseases/meningitis. Diakses pada 1
Juli 2017.
3. Chan, Voon L., 2006. Baterial Genomes and Infectious Diseases. 1st ed. United States of
America: Humana Press.
4. Drake, Richard L., 2015. Gray's Anatomy for Students. 3rd ed. Canada: Churchill
Livingstone Elsevier.
5. Scanlon, Valerie C., 2015. Essentials of Anatomy and Physiology. 7th ed. New York,
Unitd States of America: FA. Davids Company.
6. Ruslami, Rovina, 2013. Intensified regimen containing rifampicin and moxifloxacin for
tuberculous meningitis: an open-label, randomised controlled phase 2 trial. Lancet
Infectious Disease, [Online]. 13 (1), 27-35. Available at: http://
www.thelancet.com/pdfs/journals/laninf/PIIS1473-3099(12)7026 4-5.pdf . Diakses pada
1 Juli 2017.
7. Kahan, Scott, 2007. Neurology . 1st ed. United States of America: Blackwellpublishing.
Diakses pada 1 Juli 2017.
8. Schlossberg, David, 2011. Tuberculosis. 5th ed. United States of America: American
Society of Microbilogy.
9. Anderson, N.E., 2010. Neurological and systemic complications of tuberculous
meningitis and its treatment at Auckland City Hospital, New Zealand. Journal of Clinical
Neuroscience, [Online]. 17, 1114-1118. Available at: http://www.jocn-
journal.com/article/S0967-5868%2810%2900136-0/pdf. Diakses pada 1 Juli 2017.
10. Sidharta, Priguna, 2009. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. 7th ed. Jakarta: Dian
Rakyat. Hal 2 20.

Anda mungkin juga menyukai