Anda di halaman 1dari 3

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang memiliki potensi untuk menjadi negara maju. Namun sayangnya
banyak hambatan yang menghalangi kemajuan tersebut. Salah satu faktor yang dapat menghalangi
Indonesia untuk menjadi negara maju adalah masalah keuangan. Sektor perbankan dalam
perekonomian suatu negara memiliki peran penting dan sangat mempengaruhi perekonomian nasional
baik secara mikro maupun makro. Perekonomian Indonesia adalah bank-based economy, yaitu sebuah
perekonomian yang sangat tergantung pada keberadaan perbankan sebagai sumber pembiayaan,
sehingga kinerja perbankan harus terus terjaga dengan baik dan sehat sebagai upaya untuk menjaga
keberlangsungan pembangunan ekonomi nasional.

Terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997 dan kondisi keuangan global yang belum membaik
seiring krisis utang di Amerika pada tahun 2008 memberikan dampak yang cukup besar pada
perekonomian Indonesia, salah satunya sektor perbankan yang mengakibatkan krisis perbankan
terparah dalam sejarah perbankan nasional yang menyebabkan penurunan kinerja perbankan nasional.
Dewayanto (2010) menyimpulkan beberapa penyebab menurunnya kinerja perbankan, yaitu: (1)
Semakin meningkatnya kredit bermasalah perbankan, yang menyebabkan bank harus menyediakan
cadangan penghapusan hutang yang cukup besar sehingga mengakibatkan kemampuan bank
memberikan kredit menjadi terbatas. (2) Dampak likuiditas bank 1 November 1997 yang
mengakibatkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan pemerintah, sehingga
memicu penarikan dana yang secara besar-besaran. (3) Semakin turunnya permodalan bank-bank. (4)
Banyak bank yang tidak mampu melunasi kewajibannya karena menurunnya nilai tukar rupiah. (5)
Manajemen bank yang tidak professional.

Selain itu, dampak dari adanya krisis ekonomi menyebabkan banyaknya bank yang mengalami
kebangkrutan hingga akhirnya harus dilikuidasi oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia memutuskan
untuk melikuidasi 16 bank pada November 1997 yang (banyaknya bank yang dilikuidasi)
diperkirakan sebagai pemicu terjadinya krisis kepercayaan masyarakat pada perbankan di Indonesia.
Krisis kepercayaan menyebabkan terjadinya penarikan dana secara besar-besaran oleh masyarakat.
Hal tersebut diyakini karena penerapan corporate governance yang lemah pada perusahaan di
Indonesia.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Asian Corporate Governance Association
(ACGA) pada 11 negara yang berada di kawasan Asia yaitu, Singapura, Hong Kong, Jepang, Taiwan,
Thailand, Malaysia, India, Korea, Cina, Filipina, dan Indonesia. Hasilnya menempatkan Indonesia
sebagai negara dengan peringkat paling rendah dalam market ranking and scores. Indonesia secara
berturut-turut mendudukuki peringkat terendah, dengan skor pada tahun 2010 sebesar 40, yang terus
menurun hingga tahun 2016 dengan skor 36. Hasil ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara
paling lemah dibandingkan 10 negara lainnya dalam bidang corporate governance, sehingga masih
diperlukan banyak perbaikan dalam pelaksanaannya.

Perkembangan perspektif corporate governance berawal dari adanya teori keagenan (agency
theory) (Hasan dan Safdar, 2009). Hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih (principal)
mempekerjakan orang lain atau karyawan (agent) untuk dapat memberikan suatu jasa dan kemudian
mendelegasikan atau melimpahkan wewenangnya terhadap agent tersebut (Jensen dan Mecking,
1976). Dalam hubungan ini sering kali timbul konflik karena adanya perbedaan kepentingan, dimana
manajer sebagai pengelola perusahaan memiliki pengetahuan atau informasi internal dan prospek
masa depan perusahaan yang lebih banyak dibandingkan dengan pemegang saham. Oleh karena itu,
manajer sebagai pengelola berkewajiban untuk memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan
kepada pemegang saham. Namun informasi yang di sampaikan oleh manajer terkadang tidak sesuai
dengan kondisi perusahaan yang sebenarnya. Kondisi ini dikenal sebagai informasi yang tidak
simetris atau asimetri informasi (Cornett, 2006).

1
2

Tata kelola perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG) dapat digunakan
untuk menghindari konflik yang terjadi antara principal dan agent melalui penerapan prinsip-prinsip
corporate governance seperti transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independesi, dan
kewajaran, konsep GCG ini dapat menyelaraskan kepentingan pemegang saham dengan pihak
manajemen sehingga dapat berdampak pada peningkatan kinerja perusahaan. Oleh sebab itu,
dibutuhkan pemahaman yang memadai tentang corporate governance.

Corporate governance pada industri perbankan di negara berkembang seperti halnya Indonesia
pada pasca krisis keuangan menjadi semakin penting dikarenakan:Pertama, bank menduduki posisi
dominan dalam sistem ekonomi, khususnya sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Kedua, di negara
yang ditandai oleh pasar modal yang belum berkembang, bank berperan utama bagi sumber
pembiayaan perusahaan. Ketiga, bank merupakan lembaga pokok dalam mobilisasi simpanan
nasional. Keempat, liberalisasi sistem perbankan baik melalui privatisasi maupun deregulasi ekonomi
menyebabkan manajer bank memiliki keleluasaan yang lebih besar dalam menjalankan operasi bank
(Arun dan Turner, 2004). Dengan adanya corporate governance, perbankan dituntut untuk beroperasi
dengan cara yang aman, sehat, dan mematuhi peraturan yang berlaku dan regulasi yang diterapkan.

Arouri et al., (2014) menyatakan bahwa tata kelola perusahaan perbankan mungkin memiliki
peraturan yang berbeda dibandingkan perusahaan non-keuangan karena beberapa alasan. Salah
satunya adalah bahwa jumlah pihak dengan saham dalam kegiatan kelembagaan akan mempersulit
tatakelola institusi keuangan. Selain investor, depositor dan peraturan juga memiliki keterkaitan
langsung dengan kinerja perbankan. Peraturan terkait dengan pengaruh tatakelola terhadap kinerja
lembaga keuangan karena kesehatan ekonomi secara keseluruhan tergantung pada kinerja lembaga
keuangan. Akibatnya, dewan direksi dan struktur kepemilikan dari perusahaan perbankan sangat
penting untuk struktur tata kelola perusahaan. Tata kelola perusahaan yang baik dapat membantu
terciptanya suatu hubungan yang kondusif diantara elemen-elemen dalam perusahaan yaitu, dewan
komisaris, dewan direksi, dan para pemegang saham dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan.

Dewan komisaris memegang peranan penting dalam mengarahkan strategi dan mengawasi
jalannya perusahaan serta memastikan bahwa para manajer benar-benar meningkatkan kinerja
perusahaan sebagai bagian dari pencapaian tujuan perusahaan. Dewan komisaris merupakan inti dari
corporate governance yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasai
manajemen dalam mengelola perusahaan serta mewajibkan terlaksanya akuntabilitas (Samani, 2008).
Dalton et.al (2006) mengemukakan hubungan positif antara ukuran dewan komisaris dan kinerja
perusahaan. Sementara Lipton & Lorsch (1992) menyatakan bahwa semakin besar dewan komisaris,
semakin kurang efektif dalam memantau perusahaan. Muktiyanto (2011) menemukan pengaruh
signifikan positif antara ukuran dewan komisaris dan kinerja perbankan.

Privatisasi dan masuknya investor atau bank asing menjadi dua kekuatan utama yang
mendorong terjadinya perubahan dramatis di sektor perbankan dalam dua dekade terakhir, terutama
terkait dengan perubahan kepemilikan bank. Terdapat tiga kebijakan utama yang diimplementasikan
oleh Pemerintah bersama Bank Indonesia setelah terjadinya krisis 1997-1998. Hal tersebut merupakan
upaya untuk membentuk dan memperkuat sektor perbankan di Indonesia yang pada akhirnya
mempengaruhi komposisi kepemilikan di sektor perbankan. Kebijakan pertama terkait dengan
program privatisasi yang dilakukan pemerintah terhadap bank-bank swasta yang mengikuti program
restrukturisasi dan bail-out sehingga kepemilikan bank tersebut akhirnya dikuasai oleh pemerintah.
Selain itu, beberapa bank pemerintah juga menjual sebagian sahamnya memalui proses IPO,
meskipun saham mayoritas tetap dikuasai pemerintah. Kedua, kebijakan aturan kepemilikan bagi
investor asing, dimana investor asing bisa menguasai sampai dengan 99% saham bank di Indonesia
(Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999 Tentang Pembelian Saham Bank Umum). Kebijakan ini
memberikan kesempatan investor asing untuk mengambil alih bank swasta domestik sehingga
menarik banyak investor asing untuk berinvestasi di sektor perbankan Indonesia. Ketiga, bank sentral
menaikkan aturan mengenai modal minimum untuk bank. Hal ini membuat pemilik bank yang dengan
modal terbatas dihadapkan pada dua pilihan, menambah modal atau menjual sahamnya untuk
membiarkan masuknya investor baru (Chalid, 2013).
3

Kinerja perusahaan yang baik dapat menunjukkan bahwa perusahaan tersebut dapat
meningkatkan utilitas pemegang sahamnya. Dalam melakukan pengukuran kinerja dapat dilakukan
dengan menggunakan indikator-indikator keuangan (kinerja berdasarkan akuntansi) dan
menggunakan pengukuran risiko dan return berdasar pasar (kinerja berdasar pasar). Kinerja
perbankan dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan dua variabel yaitu, Tobins Q dan Return
On Asset (ROA). Pengukuran kinerja menggunakan Tobins Q digunakan untuk dapat mengetahui
nilai pasar perusahaan, yang mencerminkan keuntungan masa depan perusahaan. Pengukuran kinerja
yang menggunakan ROA dapat menggambarkan kemampuan seluruh elemen aset bank yang
digunakan dalam memperoleh penghasilan. Rasio ROA mengindikasikan kemampuan bank dalam
menghasilkan laba dengan menggunakan asetnya.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Arouri et al., (2014) menemukan bahwa bahwa
jumlah kepemilikan keluarga, kepemilikan asing dan kepemilikan institusional memiliki pengaruh
positif yang signifikan terhadap kinerja bank. Namun, kepemilikan pemerintah tidak memiliki
pengaruh yang signifikan pada kinerja. Variabel tatakelola perusahaan lainnya seperti dualitas CEO
dan ukuran dewan direksi berpengarun tidak signifikan terhadap kinerja. Selain itu, penelitian yang
dilakukan oleh Dewayanto (2010) menemukan bahwa struktur kepemilikan yang terdiri dari
kepemilan pemegang saham pengendali, kepemilikan asing, kepemilikan pemerintah memiliki
pengaruh yang tidak signifikan terhadap kinerja perbankan. Variabel ukuran dewan komisaris dan
komisaris independen berpengaruh signifikan negatif terhadap kinerja perbankan. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Nugrahanti dan Novia (2012) pada 27 perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI
menunjukkan bahwa kepemilikan intitusinal dan ukuran perusahaan berpengaruh signifikan positif
terhadap kinerja bank, sedangkan kepemilikan asing, kepemilikan pemerintah, dan kepemilikan
manajerial tidak berpengaruh terhadap kinerja bank.

Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian kembali dengan menggunakan uji statistik untuk
mendapatkan bukti empiris mengenai pengaruh struktur dewan, struktur kepemilikan terhadap kinerja
bank. Fokus pemilihan sampel pada penelitian ini adalah perusahaan perbankan yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai