Anda di halaman 1dari 7

Mar

19

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah : Retorika Indah Konstelasi Politik

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah :

Retorika Indah Konstelasi Politik

by Rian Pramana

Penyelenggaraan otonomi daerah pada dasarnya adalah untuk mempercepoat terwujudnya


kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, peran serta masyarakat serta
daya saing daerah. Oleh karena itu pemerintah menyerahkan sebagian kewenangannya kepada
pemerintah daerah melalui azas desentralisasi sehingga tercipta daerah otonom seperti yang disebutkan
dalam Pasal 1 Undang undang No. 32 Tahun 2004 ayat 6 yakni:

Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Munculnya daerah otonom ini menimbulkan konsekuensi bahwa pemerintah daerah seharusnya
mampu melaksanakan penyelenggaraan pemerintahannya secara mandiri dengan mengoptimalisasi
potensi sumber daya yang berada di daerah.

Pemerintah daerah dapat dikatakan menjalankan otonominya bila mampu mengurus urusan rumah
tangganya secara mandiri. Namun pada kenyataannya, hingga saat ini pemerintah daerah masih belum
lepas dari pemerintah pusat dan justru semakin berketergantungan terutama dalam permasalahan
keuangan.

Seperti yang disebutkan pasal 2 Undang undang No. 32 Tahun 2004 bahwa Pemrintah daerah dalam
menyelenggarakan hubungan dengan pemerintah dan dengan pemerintah daerah lainnya memiliki
hubungan yang meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya
alam, dan sumber daya lainnya yang dilaksanakan secara adil dan selaras.

Menyoroti hubungan yang terbentuk antara pemerintah dan pemerintah daerah maka penulis
memfokuskan pada hubungan keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah merujuk pada
fenomena perimbangan keuangan yang semakin tidak berimbang seperti salah satu contoh kasus yang
diungkapkan oleh tim Seknas FITRA dalam Kupas Tuntas Hubungan Keuangan Pusat Daerah (2012 : 5)
yakni hasil riset menemukan, jenis dana perimbangan semakin banyak berkembang, di luar yang diatur
dalam UU perimbangan dan berpotensi merusak sistem dana perimbangan. Dari hanya 3 jenis dana
perimbangan dalam komponen dana penyesuaian pada tahun 2009, berkembang menjadi 7 jenis pada
tahun 2011. Salah satu kasus yang masih hangat adalah dana penyesuaian infrasturktur, yang sarat
dengan kepentingan politik dan membuka ruang praktek mafia anggaran. Bahkan terdapat 10 bidang
yang sama pada dana penyesuaian juga dialokasikan pada DAK.

Hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah juga menimbulkan polemik dalam pengalokasian
dana oleh pemerintah daerah yang jauh tujuan awal seperti yang diungkapkan dalam Bab 7
Desentalisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah dalam Kajian Penegeluaran Publik (2007 : 122) yakni pos
pengeluaran paling besar untuk pemerintah daerah adalah untuk penyelenggaraan administrasi
pemerintahan, yang menyerap sebanyak 32 persen dari seluruh pengeluaran pemerinta daerah.
Pengeluaran administrasi yang sangat besar ini mengakibatkan berkurangnya pengeluaran untuk sektor
- sektor penting lainnya, terutama sektor kesehatan, pertanian, dan infrastruktur

Berbagai permasalahan dalam hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah menuntut pemerintah
mampu membentuk formulasi yang efektif dan efisien terkait penyelenggaraan desentralisasi fiskal,
skema dana perimbangan yang justru menjadi inefesiensi dalam belanja pegawai, alokasi sumber dana
perimbangan fiskal yang masih belum memiliki standar yang jelas, hingga kapasitas pemerintah daerah
yang belum mampu mengurusi keuangan daerahnya sendiri sehingga diambang kebangkrutan. Jika
tidak, maka perimbangan keuangan pusat dan daerah hanyalah retorika indah konstelasi politik hasil
reformasi yang tidak jauh beda dengan janji manis menjelang kampanye.

Perimbangan keuangan pusat dan derah merupakan konsekuensi dari pelaksanaan desentralisasi
dengan segala instrumen meliputi Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil serta
berbagai pendapatan daerah lainnnya yangsah sesuai dengan peraturan perundangan undangan.

Kebijakan perimbangan pusat dan daerah dipandang sebagai kebijakan yang tepat mengingat pelaksaan
desentralisasi yang membutuhkan biaya. Kebijakan ini memiliki tujuan mulia untuk mengurangi
kesenjangan antara pemerintah daerah dan pusat sehingga penyelenggaraa pelayanan publik dapat
berjalan dengan optimal, meningkatkan kesejahteraan masayarakat dalam rangkat pemberdayaan, serta
membantu pemerintah daerah menyelenggarakan pemerintahan dengan baik seseuai prinsip Good
Governance.

Akan tetapi, kenyataan di lapangan ternyata bertolak belakang dengan tujuan mulia yang ditetapkan.
Implementasi perimbangan keuangan pusat dan daerah sarat dengan kepentingan politis,
penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang, hingga tindakan korupsi. Segala kondisi tersebut
menyebabkan sulit tercapainya pemerintahan daerah yang mandiri dan mampu mengelola keuangan
daerahnya secara optimal sehingga perimbangan keuangan pusat dianggap hanyalah sebuah retorika
indah dari konstelasi politik, sebuah inspirasi cerdas bahan kampanye belaka.

Realita Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

Berikut ini realita yang menunjukkan pelaksanaan perimbangan keuangan pusat dan daerah disarikan
dari subbab Liku Liku Hubungan Keuangan Pusat Daerah dalam Kupas Tuntas Hubungan Pusat dan
Daerah yang disusun oleh tim Seknas Fitrah,

Perimbangan keuangan belum mencerminkan prinsip money follow function; Kebijakan perimbangan
keuangan yang seharusnya mengikuti pembagian urusan, dengan proporsi saat ini belum sepenuhnya
menggambarkan prinsip money follow function. Dari sisi prosedur kelembagaan, salah satu
penyebabnya adalah antara pembagian urusan dengan perimbangan keuangan diatur dalam kedua
Undang-undang terpisah

Kabupaten/Kota menggantungkan penyelenggaraan otonomi daerah pada dana perimbangan. Pada


tingkat Kabupaten di atas 80% Pendapatan mengantungkan pada dana perimbangan untuk
menyelenggarakan otonomi daerah. Di tingkat Kota meskipun ketergantungan masih relatif tinggi,
namun tidak setinggi dibandingkan Kabupaten. Sementara pada tingkat Propinsi, ketergantungan relatif
lebih rendah. Hal ini menggambarkan, kewenangan memungut pajak yang lebih leluasa pada tingkat
propinsi, menentukan tingkat ketergantungan daerah. Sedangkan di Kota, umumnya memiliki potensi
pendapatan yang lebih besar, khususnya yang bersumber dari pajak, dibandingkan Kabupaten, sehingga
memiliki ketergantungan lebih rendah

Transfer daerah tidak memperhatikan prinsip kesetaraan setiap warga negara. Hubungan keuangan
pusat dan daerah seharusnya berbasis pada kesetaraan pemenuhan hak-hak setiap warga negara
namun yang tercipta justru tingginya kesenjangan transfer per kapita antar daerah. Pada tingkat
Kabupaten, perbandingan transfer daerah yang menerima transfer per kapita tertinggi (Kab. Tana
Tidung) besarnya 127 kali lipat dibandingkan daerah yang menerima transfer per kapita terendah (Kab.
Bogor).

Jenis dana perimbangan semakin berkembang, tidak memiliki landasan aturan, dan berpotensi
memperlebar kesenjangan antar daerah. Khususnya komponen dana penyesuaian, pada awalnya
digunakan untuk menampung dana kurang bayar dana perimbangan, namun sejak tahun 2008 dana
penyesuaian juga digunakan untuk menampung dana non hold harmless, serta program-program adhoc.
Tahun 2008 dikenal istilah DISP (Dana Infratruktur Sarana dan Prasarana), tahun 2009 menjadi Dana
Penguatan Desentralisasi Fiskal Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF PPD) dan pada tahun 2010
ditambah lagi komponen Dana Penguatan Infrastruktur dan Prasarana Daerah (DPIPD), Dana Percepatan
Infrastruktur Pendidikan (DPIP). Bahkan pada tahun 2010 dan 2011, dana penyesuaian telah
berkembang menjadi tujuh jenis. Dari sisi jumlah, dana penyesuaian terus meningkat sejak tahun 2010.
Jenis dana perimbangan dalam komponen dana penyesuaian ini sama sekali tidak dikenal dalam UU No
33/2004, dan digunakan untuk menampung berbagai dana dari sektor sebagai konsekuensi dari
peraturan-perundang-undangan lainnya
Dana Penyesuaian infrastruktur merusak sistem dana perimbangan. Pada tahun 2011, terdapat
beberapa komponen dana perimbangan yang berpotensi merusak sistem dana perimbangan. Seperti
DPID pada tahun anggaran 2011 tidak memperhatikan tingkat kemiskinan dan kemampuan fiskal suatu
daerah. Pola pengalokasian DPID tanpa adanya kriteria tertentu, menyebabkan 76 daerah yang memiliki
tingkat kemiskinan di atas rata-rata nasional atau indeks kemiskinan di atas 1 tidak mendapatkan alokasi
ini, sementara terdapat 149 daerah yang memiliki tingkat kemiskinan dibawah rata-rata nasional atau
indeks kemiskinan dibawah satu justru mendapatkan alokasi DPID

Daerah dirugikan akibat selisih DAU yang seharusnya diterima dengan yang ditetapkan pada APBN.

Versi DAU

2008

2009

2010

2011

DAU versi UU No. 33

234,230.15

200,451.34

234,229.81

277,804.90

DAU versi APBN

179,507.10

186,414.10
203,606.50

225,532.80

Selisih

54,723.05

14,037.24

30,623.31

52,272.10

Sumber: Data Diolah dari Data Pokok APBN 2008-2011

Formula DAU memberikan insentif bagi daerah terjadinya inefisiensi belanja pegawai dan terjadinya
pemekaran daerah. Perhitungan formula DAU dengan meingkutsertakan belanja pegawai sebagai
alokasi dasar tidak mencerminkan kebutuhan dan kesenjangan antar daerah. Formula ini tidak
memberikan insentif bagi daerah yang mengurangi belanja pegawainya dan disinsentif bagi terjadinya
pemekaran daerah.

Dana Alokasi Khusus, semakin jauh dari pencapaian tujuannya untuk mendanai kegiatan khusus sesuai
prioritas Nasional pada daerah tertentu. Hal ini terjadi bidang yang mendapat alokasi DAK semakin
banyak, sehingga tidak menggambarkan prioritas nasional apa yang akan dicapai. Pada tahun 2005
terdapat 7 bidang, kemudian membengkang menjadi 19 bidang yang mendapat alokasi DAK pada tahun
2011.

Kriteria DAK kompleks dan rawan bias kepentingan politik. DAK mempergunakan tiga kriteria dan
melibatkan berbagai kementerian teknis terkait sebagai penanggungjawabnya. Kriteria yang berjajar dan
kriteria teknis masing-masing kementerian mempersulit pemahaman mengenai penentuan daerah yang
memperoleh DAK dan rawan akan adanya intervensi politik.

Kriteria teknis kerap berubah-ubah. Kriteria teknis merupakan kriteria kedua yang dipergunakan untuk
menentukan daerah penerima alokasi DAK. Kriteria teknis diusulkan oleh kementerian teknis terkait
yang memperoleh alokasi bidang pada DAK. Sebagai transfer bersyarat atau conditional transfer
kriteria teknis yang diusulkan oleh Kementerian Teknis berubah setiap tahun, begitu juga dengan
peruntukannya
Tidak adanya argumentasi yang jelas tentang pembagian proporsional dana bagi hasil pajak dan sumber
daya alam. Sejak pemberlakuan otonomi daerah yang disertai dengan UU No. 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, serta perubahannya melalui UU No 33 tahun 2004, proporsi
perimbangan dana bagi hasil tidak mengalami perubahan signifikan. Proporsi antar pusat dan daerah
juga tidak memiliki argumentasi yang jelas. Daerah juga tidak memiliki posisi tawar dalam menentukan
alokasi DBH dan cenderung menerima perhitungan yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Daerah tidak
memiliki data pembanding untuk mengkritisi benar atau tidaknya dana bagai hasil yang diterima
berdasarkan pajak maupun sumber daya alamnya

Dana Bagi Hasil tidak merefleksikan potensi daerah. Dana Bagi Hasil merupakan pendapatan yang
berasal dari daerah tersebut yang menjadi kewenangan pemerintah pusat , kemudian dibagihasilkan ke
daerah secara proposional. Ini berarti Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang menggambarkan
perumbuhan ekonomi pada suatu daerah memiliki hubungan erat dengan dana bagi hasil.

Dana bagi hasil antara ada dan tiada. Tujuan dari dana perimbangan adalah untuk mengurangi
kesenjangan fiskal antar daerah. Mengacu pada pengertian dan formula DBH, dana ini tidak sejalan
dengan tujuan tersebut. McLeod and Fadliya (2011), menemukan DBH merupakan mitos, atau
sebenarnya tidak ada dalam transfer daerah.

Daftar Pustaka

Djumhana, Muhammad, 2007.Pengantar Hukum Keuangan Daerah, Citra Aditya Bhaktim: Bandung.

Herlambang Perdana, Wiratraman, Badan Pemeriksa Keuangan dan PertanggungjawabanKeuangan


Negara, Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2008, hlm. 6.

I Gde Artjana, Upaya Membangun Akuntabilitas Pengelolaan Dan Pertanggungjawaban Keuangan


Negara Di Lingkungan Militer Menuju Terciptanya Good Governance Tantangan Dan Harapan,
dipaparkan dalam FGD SSR Propatria, tanggal 27 Februari 2007.

Machfud Sidik, Format Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah yang Mengacu pada Pencapaian Tujuan
Nasional, Makalah untuk Seminar Nasional Public Sector Scorecard, Direktorat Jenderal Perimbangan
Pusat dan Daerah Departemen Keuangan RI, 2002.

Smith, Brian.C. 2012. Desentralisasi Dimensi Terotorial Suatu Bangsa. Masyarakat Ilmu Pemerintahan
Indonesia IPDN : Jakarta

Tjandra, W. Riawan,.2006. Hukum Keuangan Negara.PT Grasindo: Jakarta.

Jurnal Kajian Pengeluaran Publik indonesia Tahun 2007 bab 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan
Daerah

Jurnal Kupas Tuntas Hubungan Keuangan Pusat Daerah tim Seknas FITRA (2012)

Jurnal hukum No. 4 vol. 17 oktober 2010: 567 588 Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah
Daerah dalam Kerangka Pengelolaan Keuangan Negara dan Daerah
UU No. 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan Daerah

UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Pemerintah Daerah.

PP No.78 Tahun 2007 tentang Dana Perimbangan.

PP No.55 Tahun 2005 tentang dana Perimbangan

Anda mungkin juga menyukai