Anda di halaman 1dari 79

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menuntut


adanya Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan mempunyai
produktivitas yang tinggi hingga mampu meningkatkan kesejahteraan
dan daya saing di era globalisasi. Salah satunya yaitu dengan pemberian nutrisi
dengan kualitas dan kuantitas yang terbaik, meningkatkan daya tahan
tubuh, meningkatkan kecerdasan bayi melalui pemberian Air Susu Ibu (ASI)
secara eksklusif pada bayi karena hal ini merupakan cara terbaik bagi
peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sejak dini yang akan
menjadi penerus bangsa [1].
Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas SDM adalah program
pemberian ASI Eksklusif dengan cara menyusui. Menyusui merupakan
kewajiban bagi setiap ibu yang telah melahirkan bayi. Menyusui juga
merupakan wujud kasih sayang yang diberikan seorang ibu kepada bayinya,
dengan menyusui, berarti ibu sudah memberikan hal yang sangat berharga
kepada bayinya karena Air Susu Ibu (ASI) adalah satu-satunya yang
dibutuhkan oleh bayi [2].

Selain gizi lengkap yang bersifat alami, ASI juga memberikan banyak
keuntungan penting yang berdampak baik pada pertumbuhan fisik yang sempurna,
perkembangan kecerdasan, dan juga kematangan emosional anak. Selain
komposisinya sesuai dengan pertumbuhan bayi (mengandung karbohidrat,
protein, lemak, vitamin, mineral, zat besi), juga dilengkapi zat pelindung
(immunoglobulin, leukosit, laktoferin, faktor bifidus, lisozim dan taurin). Zat-zat
inilah yang meyebabkan ASI lebih unggul dibanding susu lainnya. Malah ibu
yang menyusui eksklusif dengan ASI untuk jangkan waktu lama, akan
terhindarkan dari kemungkinan penyakit diantaranya kanker payudara [3].
Dampak dari tidak diberikannya ASI adalah dapat mengakibatkan bayi lebih cepat
terjangkit penyakit kronis seperti kanker, jantung, hipertensi, dan diabetes setelah
dewasa. Kemungkinan anak menderita kekurangan gizi dan obesitas atau
kegemukan juga lebih besar dari bayi yang diberikan ASI secara eksklusif [3].

Upaya peningkatan penggunaan air susu ibu (ASI) telah disepakati secara global.

WHO dan UNICEF dengan Deklarasi Innocenti (September 1990) dan Konferensi Puncak

untuk anak (September 1991) menetapkan bahwa untuk mencapai status kesehatan ibu

dan anak yang optimal, semua wanita harus dapat memberikan ASI saja sampai bayi

berusia 4-6 bulan (menyusui secara eksklusif), memberikan makanan pendamping ASI
2

(MP-ASI) tepat pada waktunya dan terus memberikan ASI sampai anak berusia 2

tahun.(4) WHO mendefinisikan ASI Eksklusif sebagai pemberian makan kepada bayi

hanya dengan ASI saja, tanpa makanan atau cairan lain (termasuk susu formula) kecuali

obat, vitamin, dan mineral.5,6

ASI merupakan makanan yang bergizi sehingga tidak memerlukan tambahan komposisi.

Di samping itu, ASI mudah dicerna oleh bayi dan langsung terserap. Diperkirakan 80%

dari jumlah ibu yang melahirkan ternyata mampu menghasilkan air susu dalam jumlah

yang cukup untuk keperluan bayinya secara penuh tanpa makanan tambahan selama

enam bulan pertama. Bahkan ibu yang gizinya kurang baik pun sering dapat

menghasilkan ASI cukup tanpa makanan tambahan selama tiga bulan pertama.7

Cakupan ASI eksklusif semakin menurun seiring dengan bertambahnya kelompok umur.
Hal ini sejalan dengan survei yang dilaksanakan pada tahun 2002 oleh Nutrition & Health
Surveillance System (NSS) kerjasama dengan Balitbangkes dan Helen Keller
International yang menuliskan bahwa cakupan ASI eksklusif 4-5 bulan di pedesaan
antara 4%-25%. Sedangkan di usia 5-6 bulan menurun menjadi hanya sebesar 1%-13%.18
Penyebab menurunnya cakupan ASI eksklusif adalah ibu merasa bahwa semakin
bertambahnya umur anak maka ASI tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan bayinya
walaupun sebenarnya hanya sedikit sekali (2-5%) yang secara biologis memang kurang
produksi ASInya, ketakutan jika anak tumbuh menjadi anak yang manja,14 dan ibu yang
bekerja dimana masa cuti hanya sampai 3 bulan sehingga setelah 3 ulan lebih ibu terpaksa
memberikan makanan tambahan maupun susu formula.
Data dari profil kesehatan kabupaten/ kota di Propinsi Kepulauan Riau
2015 menunjukkan cakupan pemberian ASI eksklusif sekitar (41,70%).
3

Pemberian ASI Eksklusif menunjukkan trend peningkatan yang


signifikan dalam 5 tahun terakhir. Pada tahun ini pencapaian tertinggi yaitu
sebesar 41,70%. cakupan tersebut masih jauh dengan target nasional
(80%) dan masih rendah dibandingkan pencapaian nasional yaitu 52,3%
(2014).(Profil kes kepri) dan data darimPuskesma Batu aji terdapat
beberapa kelurahan yang cakupan asi ekslusifnya rendah diantaranya
kelurahan Buliang 33%, Kelurahan Bukit tempayan 31%, dan Kibing
sebesar 30%.

Rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif terkait dengan pemahaman dan


pengetahuan ibu tentang ASI. Pengetahuan itu sendiri berkorelasi positif dengan tingkat
pendidikan Hal ini dapat dijelaskan bahwa ibu dengan tingkat pendidikan tinggi terpapar
berbagai sumber informasi dan pengetahuan yang lebih baik tentang pola makan bayi.13,14
Sedangkan ibu dengan pendidikan yang lebih rendah memungkinkan ia lambat
dalam mengadopsi pengetahuan baru, khususnya tentang hal-hal yang berhubungan
dengan pola pemberian ASI.

1.2 Tujuan Studi Kasus

1.2.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan sikap ibu tentang ASI

Ekslusif sebelum dan sesudah penyuluhan di wilayah Puskesmas Batu Aji.

1.2.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui gambaran Pengetahuan ibu tentang ASI Ekslusif

sebelum dan sesudah penyuluhan di wilayah Puskesmas Batu Aji

2. Untuk mengetahui Sikap ibu tentang ASI Ekslusif sebelum dan sesudah

penyuluhan di wilayah Puskesmas Batu Aji

1.3 Manfaat Studi Kasus

1.3.1 Bagi bidang kesehatan

Sebagai indikator dan informasi data tentang terkait cakupan asi eklusif di

puskesmas Batu aji

1.3.2 Bagi masyarakat


4

Menambah pengetahuan dan memperbaiki sikap ibu terhadap pemberian

asi ekslusif di wilayah Puskesmas batu aji.

1.3.3 Bagi penulis

Dengan adanya studi kasus ini, diharapkan akan mendapatkan tambahan

ilmu dan meningkatkan pengetahuan dalam melakukan studi kasus

sehingga dapat menyampaikan pada masyarakat terutama ibu yang

mempunyai bayi 0-6 bulan terkait dengan asi ekslusif.


5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gagal Jantung

2.1.1 Definisi

Gagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala klinis akibat kelainan

struktural dan fungsional jantung sehingga mengganggu kemampuan pengisian

ventrikel dan pompa darah ke seluruh tubuh. Tanda-tanda kardinal dari gagal

jantung ialah dispnea, fatigue yang menyebabkan pembatasan toleransi aktivitas

dan retensi cairan yang berujung pada kongesti paru dan edema perifer.Gejala ini

mempengaruhi kapasitas dan kualitas dari pasien gagal jantung.9

Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah

dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh atau

kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang

tinggi atau kedua-duanya.31

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa

tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri

penting dari definisi ini adalah (1) gagal didefinisikan relatif terhadap kebutuhan

metabolik tubuh, dan (2) penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa

jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik pada

kelainan fungsi miokardium; gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal

jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan

mencegah berkembang menjadi kegagalan jantung sebagai suatu pompa.28


6

Istilah gagal sirkulasi lebih bersifat umum dibandingkan dengan gagal

jantung. Gagal sirkulasi menunjukkan ketidakmampuan sistem kardiovaskular

untuk melakukan perfusi jaringan dengan memadai. Definisi ini mencakup segala

kelainan sirkulasi yang mengakibatkan tidak memadainya perfusi jaringan,

termasuk perubahan volume darah, tonus vaskular, dan jantung.28

Gagal jantung kongestif (congestive heart failure) adalah sindrom klinis

akibat penyakit jantung, ditandai dengan kesulitan bernapas serta retensi natrium

dan air yang abnormal, yang sering menyebabkan edema. Kongesti ini dapat

terjadi dalam paru atau sirkulasi perifer atau keduanya, bergantung pada apakah

gagal jantungnya pada sisi kanan atau menyeluruh.20

Gagal jantung kongestif adalah sindroma klinis kompleks akibat kelainan

jantung ataupun non-jantung yang mempengaruhi kemampuan jantung untuk

memenuhi kebutuhan fisiologistubuh seperti peningkatan cardiac output. Gagal

jantung dapat muncul akibat gangguan pada miokardium, katup jantung,

perikardium, endokardium ataupun gangguan elektrik jantung.33

2.1.2 Konsep Dasar

Disfungsi mekanis jantung dan metode bantuan sirkulasi lebih

dipertimbangkan berdasarkan efek-efeknya terhadap tiga penentu utama fungsi

miokardium : 28

a. Beban awal (preload)

Merupakan derajat peregangan serabut miokardium pada akhir

pengisian ventrikel atau diastolik. Meningkatnya beban awal sampai ke

suatu titik tertentu akan mengoptimalkan tumpang tindih antara


7

filamen-filamen aktin dan miosin sehingga meningkatkan kekuatan

kontraksi dan curah jantung. Hubungan ini dinyatakan dengan hukum

Frank Starling; yaitu, dalam batas fisiologis, semakin besar

peregangan serabut miokardium pada akhir diastolik, semakin besar

kekuatan kontraksi pada saat sistolik.

b. Kontraktilitas

Merupakan perubahan kekuatan kontraksi atau keadaan inotropik yang

tidak berkaitan dengan perubahan panjang serabut.

c. Beban akhir (afterload)

Merupakan besarnya tegangan dinding ventrikel yang harus dicapai

selama sistol untuk mengejeksi darah. Menurut hukum laplace, ada

tiga variabel yang mempengaruhi tegangan dinding : ukuran atau

radius intraventrikel, tekanan sistolik intravetrikel, dan ketebalan

dinding ventrikel. Jantung yang gagal sangat peka terhadap

peningkatan beban akibat meningkatnya beban akhir yang terjadi

karena keterbatasan cadangan jantung.

2.1.3 Epidemiologi

Data yang diperoleh dari WHO (2012) menunjukkan bahwa pada tahun

2008 terdapat 17 juta atau sekitar 48% dari total kematian di dunia disebabkan

oleh penyakit kardiovaskular. Risiko kematian CHF, berkisar antara 5-10% per

tahun pada CHF ringan dan meningkat pada angka 30-40% pada CHF berat.

Prevalensi CHF di Amerika pada tahun 2010 yaitu sekitar 6,6 juta jiwa dan

diperkirakan akan bertambah sebanyak 3,3 juta jiwa pada tahun 2030.10
8

Riset kesehatan dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2013, menunjukkan

bahwa CHF merupakan penyakit penyebab kematian di Indonesia dengan kisaran

angka 9,7% dari keseluruhan penyakit jantung.7

2.1.4 Etiologi

Mekanisme yang mendasari terjadinya gagal jantung kongestif meliputi

gangguan kemampuan konteraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung

lebih rendah dari curah jantung normal. Tetapi pada gagal jantung dengan

masalah yang utama terjadi adalah kerusakan serabut otot jantung, volume

sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan.

Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap konteraksi

tergantung pada tiga faktor: yaitu preload, konteraktilitas, afterload.28

a. Preload

Preload adalah jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung

dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut otot

jantung.

b. Kontraktilitas

mengacu pada perubahan kekuatan konteraksi yang terjadi pada tingkat sel

dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar

kalsium.

c. Afterload

mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk

memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh

tekanan arteriol.
9

Pada gagal jantung, jika salah satu atau lebih faktor ini terganggu, maka

curah jantung berkurang.13

Gagal jantung kongestif juga disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

1. Penyakit Jantung Koroner (PJK)

Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk

menderita penyakit gagal jantung, terutama penyakit jantung koroner

dengan hipertrofi ventrikel kiri. Lebih dari 36% pasien dengan penyakit

jantung koroner selama 7-8 tahun akan menderita penyakit gagal jantung

kongestif ( Hellerman, 2003). Pada negara maju, sekitar 60-75% pasien

penyakit jantung koroner menderita gagal jantung kongestif (Mann, 2008).

Bahkan dua per tiga pasien yang mengalami disfungsi sistolik ventrikel

kiri disebabkan oleh Penyakit Jantung Koroner.15

2. Hipertensi

Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan

komplikasi terjadinya gagal jantung.Berdasarkan studi Framingham dalam

Cowie tahun 2008 didapati bahwa 91% pasien gagal jantung memiliki

riwayat hipertensi. Studi terbaru Waty tahun 2012 di Rumah Sakit Haji

Adam Malik menyebutkan bahwa 66.5% pasien gagal jantung memiliki

riwayat hipertensi.30

Hipertensi menyebabkan gagal jantung kongestif melalui

mekanisme disfungsi sistolik dan diastolik dari ventrikel kiri. Hipertrofi

ventrikel kiri menjadi predisposisi terjadinya infark miokard, aritmia


10

atrium dan ventrikel yang nantinya akan berujung pada gagal jantung

kongestif.23

3. Cardiomiophaty

Cardiomiopathy merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak

disebabkan oleh penyakit jantung koroner, hipertensi atau kelainan

kongenital. Cardiomiopathy terdiri dari beberapa jenis. Diantaranya ialah

dilated cardiomiopathy yang merupakan salah satu penyebab tersering

terjadinya gagal jantung kongestif. Dilated cardiomiopathy berupa dilatasi

dari ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Dilatasi ini

disebabkan oleh hipertrofi sel miokardium dengan peningkatan ukuran dan

penambahan jaringan fibrosis.23

Hipertrophic cardiomiopathy merupakan salah satu jenis

cardiomiopathy yang bersifat herediter autosomal dominan. Karakteristik

dari jenis ini ialah abnormalitas pada serabut otot miokardium. Tidak

hanya miokardium tetapi juga menyebabkan hipertrofi septum. Sehingga

terjadi obstruksi aliran darah ke aorta (aortic outflow). Kondisi ini

menyebabkan komplians ventrikel kiri yang buruk, peningkatan tekanan

diastolik disertai aritmia atrium dan ventrikel.32

Jenis lain yaitu Restrictive and obliterative cardiomiopathy.

Karakteristik dari jenis ini ialah berupa kekakuan ventrikel dan komplians

yang buruk, tidak ditemukan adanya pembesaran dari jantung. Kondisi ini

berhubungan dengan gangguan relaksasi saat diastolik sehingga pengisian

ventrikel berkurang dari normal. Kondisi yang dapat menyebabkan


11

keadaan ini ialah Amiloidosis, Sarcoidosis, Hemokromasitomatosis dan

penyakit resktriktif lainnya.32

4. Kelainan Katup Jantung

Dari beberapa kasus kelainan katup jantung, yang paling sering

menyebabkan gagal jantung kongestif ialah Regurgitasi Mitral.

Regurgitasi mitral meningkatkan preload sehingga terjadi peningkatan

volume di jantung. Peningkatan volume jantung memaksa jantung untuk

berkontraksi lebih kuat agar darah tersebut dapat didistribusi ke seluruh

tubuh. Kondisi ini jika berlangsung lama menyebabkan gagal jantung

kongestif.33

5. Aritmia

Artial Fibrilasi secara independen menjadi pencetus gagal jantung

tanpa perlu adanya faktor concomitant lainnya seperti PJK atau hipertensi.

31% dari pasien gagal jantung ditemukan gejala awal berupa atrial fibrilasi

dan ditemukan 60% pasien gagal jantung memiliki gejala atrial fibrilasi

setelah dilakukan pemeriksaan echocardiografi. Aritmia tidak hanya

sebagai penyebab gagal jantung tetapi juga memperparah prognosis

dengan meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

6. Alkohol dan obat-obatan

Alkohol memiliki efek toksik terhadap jantung yang menyebabkan

atrial fibrilasi ataupun gagal jantung akut. Konsumsi alkohol dalam jangka

panjang menyebabkan dilated cardiomiopathy. Didapati 2-3% kasus gagal


12

jantung kongestif yang disebabkan oleh konsumsi alkohol jangka panjang.

Sementara itu beberapa obat yang memiliki efek toksik terhadap

miokardium diantaranya ialah agen kemoterapi seperti doxorubicin dan

zidovudine yang merupakan antiviral.14

7. Lain-lain

Merokok merupakan faktor resiko yang kuat dan independen untuk

menyebabkan penyakit gagal jantung kongestif pada laki-laki sedangkan

pada wanita belum ada fakta yang konsisten.23

Sementara diabetes merupakan faktor independen dalam mortalitas

dan kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif melalui

mekanisme perubahan struktur dan fungsi dari miokardium. Selain itu,

obesitas menyebabkan peningkatan kolesterol yang meningkatkan resiko

penyakit jantung koroner yang merupakan penyebab utama dari gagal

jantung kongestif. Berdasarkan studi Framingham disebutkan bahwa

diabetes merupakan faktor resiko yang untuk kejadian hipertrofi ventrikel

kiri yang berujung pada gagal jantung.23


13

Tabel 2.1 Penyebab Gagal Jantung Kongestif21,22

Ischemic Heart Disease (35% - 40%)


Main Cause Cardiomiopathy expecially dilated (30% - 34%)
Hypertension (15% - 20%)
Cardiomyopathy undilated : Hyperttrophy/obstructive,
restrictive (amyloidosis, sarcoidosis)
Valvular heart disease (mitral, aortic, tricuspid)
Congenital heart disease (ASD,VSD)
Alcohol and drugs (chemotherapy-trastuzamab, imatinib)
Hyperdinamic circulation (anemia, thyrotoxicosis,
haemochromatosis)
Other Cause Right Heart failure (RV infarct,pulmonary hypertension,
pulmonary embolism, COPD
Tricuspid incompetence
Arrhythmia (AF, Bradycardia (complete heart block, the
sick sinus syndrome))
Pericardial disease (constrictive pericarditis, pericardial
effusion)
Infection (Chagas disease)

Sumber : Kumar, P., Clark, M., 2009. Cardiovaskular disease. In : Clinical


Medicine Ed 7th
Penyebab tersering gagal jantung sisi kiri adalah hipertensi sistemik,

penyakit katup mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit

miokardium primer. Penyebab tersering gagal jantung sisi kanan adalah gagal

ventrikel kiri yang menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan arteri

pulmonalis.22
14

A. Gagal Jantung Kiri


Kongestif paru terjadi pada venterikel kiri, karena ventrikel kiri tidak

mampu memompa darah yang datang dari paru. Peningkatan tekanan dalam

sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru. Manifestasi klinis

yang dapat terjadi meliputi dispnu, batuk, mudah lelah, denyut jantung cepat

(takikardi) dengan bunyi S3, kecemasan dan kegelisahan.

B. Gagal Jantung Kanan

Bila ventrikel kanan gagal memompakan darah, maka yang menonjol

adalah kongestif viseral dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan

jantung tidak mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga

tidak dapat mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali dari

sirkulasi vena.

Manifestasi klinis yang tampak meliputi edema ekstremitas bawah (edema

dependen), yang biasanya merupakan pitting edema, pertambahan berat badan,

hepatomegali (pembesaran hepar), distensi vena jugularis (vena leher), asites

(penimbunan cairan di dalam rongga peritoneal), anoreksia dan mual, nokturia

dan lemah.

2.1.5 Patofisiologi

Gagal Jantung Kongestif diawali dengan gangguan otot jantung yang tidak

bisa berkontraksi secara normal seperti infark miokard, gangguan tekanan

hemodinamik, overload volume, ataupun kasus herediter seperti cardiomiopathy.

Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan penurunan kapasitas pompa jantung.

Namun, pada awal penyakit, pasien masih menunjukkan asimptomatis ataupun


15

gejala simptomatis yang minimal. Hal ini disebabkan oleh mekanisme kompensasi

tubuh yang disebabkan oleh cardiac injury ataupun disfungsi ventrikel kiri.25

Beberapa mekanisme yang terlibat diantaranya: (1) Aktivasi Renin

Angiotensin-Aldosteron (RAA) dan Sistem Syaraf Adrenergik dan (2)

peningkatan kontraksi miokardium. Sistem ini menjaga agar cardiac output tetap

normal dengan cara retensi cairan dan garam. Ketika terjadi penurunan cardiac

output maka akan terjadi perangsangan baroreseptor di ventrikel kiri, sinus

karotikus dan arkus aorta, kemudian memberi sinyal aferen ke sistem syaraf

sentral di cardioregulatory centeryang akan menyebabkan sekresi Antidiuretik

Hormon (ADH) dari hipofisis posterior. ADH akan meningkatkan permeabilitas

duktus kolektivus sehingga reabsorbsi air meningkat.26

Kemudian sinyal aferen juga mengaktivasi sistem syaraf simpatis yang

menginervasi jantung, ginjal, pembuluh darah perifer, dan otot skeletal. Stimulasi

simpatis pada ginjal menyebabkan sekresi renin. Peningkatan renin meningkatkan

kadar angiotensin II dan aldosteron. Aktivasi RAAS menyebabkan retensi cairan

dan garam melalui vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Mekanisme

kompensasi neurohormonal ini berkontribusi dalam perubahan fungsional dan

struktural jantung serta retensi cairan dan garam pada gagal jantung kongestif

yang lebih lanjut.26

Perubahan neurohormonal, adrenergik dan sitokin menyebabkan

remodeling ventrikel kiri. Remodeling ventrikel kiri berupa (1) hipertrofi miosit;

(2) perubahan substansi kontraktil miosit; (3) penurunan jumlah miosit akibat

nekrosis, apoptosis dan kematian sel autophagia; (4) desensitisasi beta adrenergik;
16

(5) kelainan metabolisme miokardium; (6) perubahan struktur matriks

ekstraselular miosit.25

Remodeling ventrikel kiri dapat diartikan sebagai perubahan massa,

volume, bentuk dan komposisi jantung. Remodeling ventrikel kiri merubah

bentuk jantung menjadi lebih sferis sehingga beban mekanik jantung menjadi

semakin meningkat. Dilatasi pada ventrikel kiri juga mengurangi jumlah afterload

yang mengurangi stroke volume. Pada remodeling ventrikel kiri juga terjadi

peningkatan end-diastolic well stress yang menyebabkan (1) hipoperfusi ke

subendokardium yang akan memperparah fungsi ventrikel kiri; (2) peningkatan

stress oksidatif dan radikal bebas yang mengaktivasi hipertrofi ventrikel.25,26

Perubahan struktur jantung akibat remodeling ini berperan dalam

penurunan cardiac output, dilatasi ventrikel kiri dan overload hemodinamik.

Ketiga hal diatas berkontribusi dalam progresivitas penyakit gagal jantung.25

a. Mekanisme Dasar

Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal

jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan

pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang

menurun mengurangi volume sekuncup, dan meningkatkan volume residu

ventrikel. Dengan meningkatnya EDV (volume akhir diastolik) ventrikel,

terjadi peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDP). Derajat

peningkatan tekanan bergantung pada kelenturan ventrikel. Dengan

meningkatnya LVDEP, terjadi pula peningkatan tekanan atrium kiri (LAP)

karena atrium dan ventrikel berhubungan langsung selama diastol.


17

Peningkatan LAP diteruskan ke belakang ke dalam pembuluh darah paru-paru,

meningkatkan tekanan kapiler dan vena paru-paru. Apabila tekanan

hidrostatik anyaman kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik pembuluh

darah, akan terjadi transudasi cairan ke dalam interstisial. Jika kecepatan

transudasi cairan melebihi kecepatan drainase limfatik, akan terjadi edema

interstisial. Peningkatan tekanan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan

merembes ke dalam alveoli dan terjadilah edema paru.28

Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat akibat peningkatan kronis

tekanan vena paru. Hipertensi pulmonalis meningkatkan tahanan terhadap

ejeksi ventrikel kanan. Serangkaian kejadian seperti yang terjadi pada jantung

kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan yang akhirnya akan menyebabkan

edema dan kongesti sistemik.28

Perkembangan dari edema dan kongesti sistemik atau paru dapat

diperberat oleh regurgitasi fungsional dan katup-katup trikuspidalis atau

mitralis secara bergantian. Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh

dilatasi anulus katup atroventrikularis, atau perubahan orientasi otot papilaris

dan korda tendinae akibat dilatasi ruang.28

b. Mekanisme kompensasi pada gagal jantung

Bila curah jantung karena suatu keadaan menjadi tidak cukup untuk

memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, maka jantung akan memakai

mekanisme kompensasi.28

Mekanisme kompensasi ini sebenarnya sudah dan selalu dipakai untuk

mengatasi beban kerja ataupun pada saat menderita sakit. Bila mekanisme ini
18

telah secara maksimal digunakan dan curah jantung tetap tidak cukup maka

barulah timbul gejala gagal jantung. Mekanisme kompensasi ini terdiri dari

beberapa macam dan bekerja secara bersamaan serta saling mempengaruhi,

sehingga secara klinis tidak dapat dipisah-pisahkan secara jelas.28

Dengan demikian diupayakan memelihara tekanan darah yang masih

memadai untuk perfusi alat-alat vital. Mekanisme ini mencakup: 1) Mekanisme

Frank-Starling, 2) pertumbuhan hipertrofi venatrikel, dan 3) aktifasi

neurohormonal.29

1. Mekanisme Frank-Starling

Gagal jantung akibat penurunan kontraktilitas ventrikel kiri

menyebabkan pergeseran kurva penampilan ventrikel ke bawah.

Karena itu, pada setiap beban awal, isi sekuncup menurun

dibandingkan dengan normal dan setiap kenaikan isi sekuncup pada

gagal jantung menuntut kenaikan volume akhir diastolik lebih tinggi

dibandingkan normal.28

Penurunan isi sekuncup mengakibatkan pengosongan ruang yang

tidak sempurna sewaktu jantung berkontraksi; sehingga volume darah

yang menumpuk dalam ventrikel semata diastol lebih tinggi

dibandingkan normal. Hal ini bekerja sebagai mekanisme kompensasi

karena kenaikan beban awal (atau volume akhir diastolik) merangsang

isi sekuncup yang lebih besar pada kontraksi berikutnya, yang

membantu mengosongkan ventrikel kiri yang membesar.28

2. Hipertrofi Ventrikel
19

Pada gagal jantung, stres pada dinding ventrikel bisa meningkat

baik akibat dilatasi (peningkatan radius ruang) atau beban akhir yang

tinggi (misalnya pada stenosis aortik atau hipertensi yang tidak

terkendali). Peninggian stres terhadap dinding ventrikel yang terus

menerus merangsang pertumbuhan hipertrofi ventrikel dan kenaikan

massa ventrikel. Peningkatan ketebalan dinding ventrikel adalah suatu

mekanisme kompensasi yang berfungsi untuk mengurangi stres

dinding (ingat bahwa ketebalan dinding adalah faktor pembagi pada

rumus stres dinding), dan peningkatan massa serabut otot membantu

memelihara kekuatan kontraksi ventrikel.28

Meskipun demikian, mekanisme kompensasi ini harus diikuti oleh

tekanan diastolik ventrikel yang lebih tinggi dari normal dengan

demikian tekanan atrium kiri juga meningkat, akibat peninggian

kekakuan dinding yang mengalami hipertrofi. Pola hipertrofi yang

berkembang bergantung pada apakah beban yang dihadapi bersifat

kelebihan beban volume atau, tekanan yang kronis. Dilatasi ruang yang

kronis akibat kelebihan volume, misalnya pada regurgitasi mitral atau

aorta yang menahun, mengakibatkan sintesis sarkomer-sarkomer baru

Secara seri dengan sarkomer yang lama. Akibatnya radius ruang

ventrikel membesar dan ini berkembang sebanding dengan

peningkatan ketebalan dinding. Hal ini disebut hipertrofi eksentrik.28

Kelebihan tekanan yang kronis, misalnya pada hipertensi atau

stenosis aortik, mengakibatkan sintesis sarkomer-sarkomer baru yang


20

berjalan sejajar dengan sarkomer lama, sehingga terjadilah hipertrofi

konsentrik, dimana tebal dinding meningkat tanpa adanya dilatasi

ruang. Dengan demikian stres dinding bisa dikurangi secara

bermakna.28

3. Aktifasi Neurohormonal

Perangsangan neurohormonal merupakan mekanisme kompensasi

yang mencakup sistim syaraf adrenergik, sistim renin-angiotensin,

peningkatan produksi hormon antidiuretik, semua sebagai jawaban

terhadap penurunan curah jantung.28

Semua mekanisme ini berguna untuk meningkatkan tahanan

pembuluh sistemik, sehingga mengurangi setiap penurunan tekanan

darah (ingat rumus tekanan darah: curah jantung x tahanan perifer

total). Selanjutnya semua ini menyebabkan retensi garam dan air, yang

pada awalnya bermanfaat meningkatkan volume intravaskuler dan

beban awal ventrikel kiri, sehingga memaksimalkan isi sekuncup

melalui mekanisme Frank Starling. Segi negatif aktifasi

neurohormonal yang berlebih adalah seringnya terjadi akibat yang

jelek pada jantung yang sudah payah.28

a) Sistem Saraf Adrenergik

Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatik merangsang

pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung

dan medula adrenal. Denyut jantung dan kekuatan kontraksi


21

akan meningkat untuk menambah curah jantung. Selain itu juga

terjadi vasokonstriksi arteri perifer untuk menstabilkan tekanan

arteri dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran

darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah (misal,

kulit dan ginjal) untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan

otak. Venokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke

sisi kanan jantung, untuk selanjutnya menambah kekuatan

kontraksi sesuai dengan hukum starling.28

Seperti yang diharapkan, kadar katekolamin meningkat

pada gagal jantung, terutama selama latihan. Jantung akan

semakin bergantung pada katekolamin yang beredar dalam

darah untuk mempertahankan kerja ventrikel. Namun pada

akhirnya respon miokardium terhadap rangsangan simpatis

akan menurun; katekolamin akan berkurang pengaruhnya

terhadap kerja ventrikel.28

Dalam keadaan normal, katekolamin menghasilkan efek

inotropik positif pada ventrikel. Berkurangnya respon ventrikel

yang gagal terhadap rangsangan katekolamin menyebabkan

berkurangnya derajat pergeseran akibat rangsangan ini.

perubahan ini mungkin berkaitan dengan observasi yang

menunjukkan bahwa cadangan norepinefrin pada miokardium

menjadi berkurang pada gagal jantung kronis.


22

b) Sistem Renin Angiotensin

Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan

retensi natrium dan air oleh ginjal, meningkatkan volume

ventrikel dan regangan serabut. Mekanisme pasti yang

mengakibatkan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron

pada gagal jantung masih belum jelas. Namun, diperkirakan

terdapat sejumlah faktor seperti rangsangan simpatis adrenergik

pada reseptor beta di dalam aparatus justaglomerulus, respons

reseptor makula densa terhadap perubahan pelepasan natrium

ke tubulus distal, dan respons baroreseptor terhadap perubahan

volume dan tekanan darah sirkulasi.

Apapun mekanisme pastinya, penurunan curah jantung

pada gagal jantung akan memulai serangkaian peristiwa

berikut: (1) penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju

filtrasi glomerulus, (2) pelepasan renin dari aparatus

justaglomerulus, (3) interaksi renin dengan angiotensinogen

dalam darah untuk menghasilkan angiotensin I, (4) konversi

angiotensin I menjadi angiotensin II, (5) rangsangan sekresi

aldosteron dari kelenjar adrenal, dan (6) retensi natrium dan air

pada tubulus distal dan duktus pengumpul. Angiotensin II juga

menghasilkan efek vasokonstriksi yang meningkatkan tekanan

darah.21
23

Pada gagal jantung berat, kombinasi antara kongesti vena

sistemik dan menurunnya perfusi hati akan mengganggu

metabolisme aldosteron dihati, sehingga kadar aldosteron

dalam darah meningkat.28

c) Hormon Anti-diuretik

Pada gagal jantung, sekresi hormon ini oleh kelenjar

hipofisis posterior - meningkat, mungkin diantarai oleh

rangsang terhadap baroreseptor di arteri dan atrium kiri, serta

oleh kadar All yang meningkat dalam sirkulasi.28

Hormon antidiuretik berperan meningkatkan volume

intravaskuler karena ia meningkatkan retensi cairan melalui

nefron distal. Kenaikan cairan intravaskuler inilah yang

meningkatkan beban awal ventrikel kiri dan curah jantung.28

Meskipun ketiga mekanisme kompensasi neurohormonaI

yang sudah diuraikan diatas pada awalnya bisa bermanfaat,

pada akhirnya membuat keadaan menjadi buruk. Peningkatan

volume sirkulasi dan aliran balik vena ke Jantung bisa

memperburuk bendungan pada vaskuler paru sehingga

memperberat keluhan-keluhan akibat kongesti paru. Peninggian

tahanan arteriol meningkatkan beban akhir dinama jantung

yang sudah payah harus berinteraksi, sehingga pada akhirnya

isi sekuncup dan curah jantung menjadi lebih berkurang.


24

Oleh karena itu terapi dengan obat-obatan sering

disesuaikan untuk memperlunak mekanisme kompensasi

neurohormonal ini.

d) Peptida Natriuretik Atrium (atrial natriuretic peptide)

suatu hormon kontraregutasi yang disekresi oleh atrium

sebagai respon terhadap peninggian tekanan intrakardiak.

Kerjanya terutama berlawanan dengan hormon-hormon lain

yang diaktifasi dalam keadaan gagal jantung, sehingga

mensekresi natrium dan air, menimbulkan vasodilatasi, inhibisi

sekresi renin, dan mempunyai sifat antagonis terhadap efek All

pada vasopresin dan sekresi aldosteron. Meskipun kadar

peptida ini dalam plasma meninggi, efeknya dapat ditumpulkan

oleh berkurangnya respon organ-akhir (misalnya ginjal).

2.1.6 Tanda dan Gejala28,29,21

Pada awalnya, secara khas gejala hanya muncul saat beraktivitas fisik;

tetapi, dengan bertambah beratnya gagal jantung, toleransi terhadap latihan

semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih awal dengan aktivitas yang lebih

ringan.

a) Dispnea, atau perasaan sulit bernafas, adalah manifestasi gagal

jantung yang paling umum, disebabkan oleh peningkatan kerja

pernapasan akibat kongesti vaskular paru yang mengurangi

kelenturan paru
25

b) Ortopnea (atau dispnea saat berbaring) disebabkan oleh redistribusi

aliran darah dari bagian-bagian tubuh yang dibawah ke arah sirkulasi

sentral

c) Dispnea nokturnal paroksismal (paroxysmal nocturnal dyspnea,

PND) atau mendadak terbangun karena dispnea, dipicu oleh

timbulnya edema paru interstisial

d) Batuk nonproduktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama

pada posisi berbaring

e) Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah

ciri khas dari gagal jantung

Semua gejala dan tanda di atas dapat dikaitkan dengan gagal ke belakang

pada gagal jantung kiri,

a. Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang

terjadi akibat distensi vena

b. Distensi atrium kiri atau vena pulmonalis dapat menyebabkan

kompresi esofagus dan Gagal ke belakang pada sisi kanan jantung

menimbulkan gejala dan tanda kongesti vena sistemik

c. Peningkatan tekanan vena jugularis (JVP); vena-vena leher

mengalami bendungan.

d. Tekanan vena sentral (CVP) dapat meningkat secara paradoks selama

inspirasi jika jantung kanan yang gagal tidak dapat menyesuaikan

terhadap peningkatan aliran balik vena ke jantung selama inspirasi.


26

Meningkatnya CVP selama inspirasi ini dikenal sebagai tanda

Kussmaul

e. Dapat terjadi hepatomegali (pembesaran hati)

f. Nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan kapsula hati.

g. Anoreksia, rasa penuh, atau mual dapat disebabkan oleh kongesti hati

dan usus.

h. Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang

interstisial.

i. Nokturia (diuresis han) yang mengurangi retensi cairan.

j. Gagal jantung yang berlanjut asites atau edema anasarka

k. Semua manifestasi yang dijelaskan di sini secara diawali dengan

bertambahnya berat badan, yang mencerminkan adanya retensi

natrium dan air.

Gagal ke depan pada ventrikel kiri menimbulkan tanda-tanda:

a. Berkurangnya perfusi ke organ-organ

b. Kulit pucat dan dingin disebabkan oleh vasokonstriksi perifer

c. Demam ringan dan keringat yang berlebihan disebabkan oleh

vasokonstriksi kulit

d. Gejala dapat diperberat oleh ketidak seimbangan cairan dan elektrolit

atau anoreksia. Makin menurunnya curah jantung dapat disertai

insomnia, kegelisahan, atau kebingungan


27

e. Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat terjadi kehilangan berat

badan yang progresif atau kakeksia jantung

f. Pemeriksaan denyut arteri selama gagal jantung memperlihatkan

denyut yang cepat dan lemah

g. Denyut jantung yang cepat (atau takikardia) mencerminkan respons

terhadap rangsangan saraf simpatis

h. Hipotensi sistolik ditemukan pada gagal jantung yang lebih berat.

i. Pada gagal ventrikel kiri yang berat dapat timbul pulsus alternans,

yaitu berubahnya kekuatan denyut arteri.

j. Pada auskultasi dada lazim ditemukan ronki (seperti yang telah

dikemukakan di atas) dan gallop ventrikel atau bunyi jantung ketiga

(S3). Terdengamya S3 pada auskultasi merupakan ciri khas gagal

ventrikel kiri. Gallop ventrikel terjadi selama diastolik awal dan

disebabkan oleh pengisian cepat pada ventrikel yang tidak lentur atau

terdistensi.

k. Kuat angkat substernal (atau terangkatnya sternum sewaktu sistolik)

dapat disebabkan oleh pembesaran ventrikel kanan.

l. Peristiwa bradikardi (asistol atau blok jantung) biasanya berkaitan

dengan memburuknya gagal jantung secara progresif.


28

2.1.7 Kriteria Diagnosis3,4,5

Berdasarkan studi Framingham, diagnosis gagal jantung kongestif

ditegakkan apabila diperoleh :

Dua kriteria mayor


Atau
Satu kriteria mayor + dua kriteria minor

Kriteria Framingham dalam penegakan diagnosis gagal jantung kongestif (CHF)


No Kriteria mayor Kriteria minor
1 Dispnea/orthopnea nocturnal Edema pretibial
paroksismal
2 Distensi vena leher Batuk malam hari
3 Ronkhi Dispnea saat aktivitas
4 Kardiomegali Hepatomegali
5 Edema pulmonary akut Efusi pleura
6 Gallop S3 Kapasitas vital paru menurun 1/3
dari maksimal
7 Peningkatan tekanan vena (>16 Takikardi (>120 x/menit)
cmH2O)
8 Waktu sirkulasi >25 detik
9 Refleks hepatojugularis
10 Penurunan berat badan >4.5 kg dalam 5 hari
Sumber : Marantz et. Al., 1988. The relationship between left ventrikular systolic
function and congestive heart failure diagnosed by clinical criteria. In :
circulation. Ed. 77: 607-612

1. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang cermat harus selalu dilakukan dalam mengevaluasi

pasien dengan gagal jantung. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membantu


29

menentukan apa penyebab gagal jantung dan juga untuk mengevaluasi beratnya

sindroma gagal jantung. Memperoleh informasi tambahan mengenai profil

hemodinamik, sebagai respon terhadap terapi dan menentukan prognosis adalah

tujuan tambahan saat pemeriksaan fisik .24,25

a. Keadaan umum dan tanda vital

Pada gagal jantung ringan atau sedang, pasien bisa tampak tidak memiliki

keluhan, kecuali merasa tidak nyaman saat berbaring datar selama lebih dari

beberapa menit. Pada pasien dengan gagal jantung yang lebih berat, pasien

bisa memiliki upaya nafas yang berat dan bisa kesulitan untuk menyelesaikan

kata-kata akibat sesak. Tekanan darah sistolik bisa normal atau tinggi, tapi

pada umumnya berkurang pada gagal jantung lanjut karena fungsi LV yang

sangat menurun. Tekanan nadi bisa berkurang, dikarenakan berkurangnya

stroke volume, dan tekanan diastolik arteri bisa meningkat sebagai akibat

vasokontriksi sistemik. Sinus tachycardia adalah gejala non spesifik yang

diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang meningkat. Vasokontriksi perifer

mengakibatkan ekstrimitas perifer menjadi lebih dingin dan sianosis dari bibir

dan ujung jari juga diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang berlebihan.31

b. Pemeriksaan vena jugularis dan leher

Pemeriksaan vena jugularis memberikan perkiraan tekanan pada atrium

kanan, dan secara tidak langsung tekanan pada atrium kiri. Pemeriksaan

tekanan vena jugularis dinilai terbaik saat pasien tidur dengan kepala diangkat

dengan sudut 45 derajat. Tekanan vena jugularis dihitung dengan satuan

sentimeter H2O (normalnya kurang dari 8 cm), dengan memperkirakan tinggi


30

kolom darah vena jugularis diatas angulus sternalis dalam centimeter dan

menambahkan 5 cm (pada postur apapun). Pada tahap awal gagal jantung,

tekanan vena jugularis bisa normal saat istirahat, tapi dapat secara abnormal

meningkat saat diberikan tekanan yang cukup lama pada abdomen (refluk

hepatojugular positif). Giant V wave menandakan keberadaan regurgitasi

katup trikuspid.25,24

c. Pemeriksaan paru

Pulmonary Crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh transudasi

cairan dari rongga intravaskular kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema

paru, ronki dapat didengar pada kedua lapang paru dan dapat disertai dengan

wheezing ekspiratoar (asma kardiale). Jika ditemukan pada pasien tanpa

penyakit paru, ronkhi spesifik untuk gagal jantung. Walau demikian harus

ditekankan bahwa ronkhi seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan gagal

jantung kronik, bahkan ketika pulmonary capilary wedge pressure kurang dari

20 mmHg, hal ini karena pasien sudah beradaptasi dan drainase sistem

limfatik cairan rongga alveolar sudah meningkat. Efusi pleura timbul sebagai

akibat meningkatnya tekanan sistem kapiler pleura, hasilnya adalah transudasi

cairan kedalam rongga pleura. Karena vena pada pleura bermuara pada vena

sistemik dan pulmoner, effusi pleura paling sering terjadi pada kegagalan

kedua ventrikel (biventricular failure). Walau effusi pleura biasanya

ditemukan bilateral, angka kejadian pada rongga pleura kanan lebih sering

daripada yang Kiri.25,24


31

d. Pemeriksaan jantung

Pemeriksaan jantung, walau penting, seringkali tidak dapat memberikan

informasi yang berguna mengenai beratnya gagal jantung. Jika terdapat

kardiomegali, titik impulse maksimal (ictus cordis) biasanya tergeser kebawah

intercostal space (ICS) ke V, dan kesamping (lateral) linea midclavicularis.

Hipertrofi ventrikel kiri yang berat mengakibatkan pulsasi prekodial (ictus)

teraba lebih lama (kuat angkat). Pemeriksaan pulsasi prekordial ini tidak

cukup untuk mengevaluasi beratnya disfungsi ventrikel kiri. Pada beberapa

pasien, bunyi jantung ketiga dapat didengar dan teraba pada apex. Pada pasien

dengan ventrikel kanan yang membesar dan mengalami hipertrofi dapat

memiliki impulse yang kuat dan lebih lama sepanjang sistole pada parasternal

kiri (right ventricular heave).Bunyi jantung ketiga (gallop) umum ditemukan

pada pasien dengan volume overload yang mengalami tachycardia dan

tachypnea, dan seringkali menunjukkan kompensasi hemodinamik yang berat.

Bunyi jantung keempat bukan indikator spesifik gagal jantung, tapi biasanya

ada pada pasien dengan disfungsi diastolik. Murmur regurgitasi mitral dan

trikuspid umumnya ditemukan pada pasien dengan gagal jantung yang

lanjut.27

e. Pemeriksaan abdomen dan ekstremitas

Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum pada pasien

dengan gagal jantung. Jika memang ada, hati yang membesar seringkali teraba

lunak dan dapat berpulsasi saat sistol jika terdapat regurgitasi katup trikuspid.
32

Ascites dapat timbul sebagai akibat transudasi karena tingginya tekanan

pada vena hepatik dan sistem vena yang berfungsi dalam drainase peritenium.

Jaundice dapat juga ditemukan dan merupakan tanda gagal jantung stadium

lanjut, biasanya kadar bilirubin direk dan indirek meningkat. Ikterik pada gagal

jantung diakibatkan terganggunya fungsi hepar sekunder akibat kongesti

(bendungan) hepar dan hipoksia hepatoselular.25,26

Edema perifer adalah manifestasi kardinal gagal jantung, hal ini walau

demikian tidaklah spesifik dan biasanya tidak terdapat pada pasien yang telah

mendapat diuretik. Edema perifer pada pasien gagal jantung biasanya simetris,

beratnya tergantung pada gagal jantung yang terjadi, dan paling sering terjadi

sekitar pergelangan kaki dan daerah pretibial pada pasien yang masih

beraktivitas. Pada pasien tirah baring, edema dapat ditemukan pada sakrum dan

skrotum. Edema yang berlangsung lama dihubungkan dengan kulit yang

mengeras dan pigmentasi yang bertambah.25,26

Grading edema:

1+ : pitting sedikit/ 2mm, menghilang dengan cepat

2+ : pitting lebih dalam/ 4mm, menghilang dalam waktu 10 15 detik

3+ : lubang yang dalam/ 6mm, menghilang dalam waktu 1 menit

4+ : lubang yang sangat mendalam/ 8mm, berlangsung dalam waktu 2-5

menit, ekstremitas dep terlalu terdistruksi.

f. Kakeksia kardiak

Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat ditemukan riwayat penurunan

berat badan dan kaheksia. Walau mekanisme kakeksia tidak sepenuhnya


33

dimengerti, kemungkinan besar faktor penyebabnya adalah multifaktorial,

termasuk didalamnya adalah meningkatnya basal metabolik rate, anorexia,

nausea, dan muntah-muntah yang diakibatkan oleh hematomegali

hepatomegali dan rasa penuh di abdomen, meningkatnya konsentrasi sitokin

pro-inflamasi yang bersirkulasi, dan terganggunya absorpsi pada saluran cerna

akibat kongesti vena intestinal. Jika terdapat kakeksia maka prognosis gagal

jantung akan semakin memburuk.

2. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium18

Tes darah mungkin akan diminta untuk menilai fungsi hati dan ginjal,

level/tingkat sodium dan potassium, jumlah sel darah, dan pengukuran-

pengukuran lainnya. Pemeriksaan darah perlu dilakukan untuk menyingkirkan

anemia sebagai penyebab susah bernapas, dan untuk mengetahui adanya

penyakit dasar serta komplikasi.

Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan

mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu

adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat.

Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya

gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi

peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme

inhibitor dan diuretic dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi

proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretik tanpa

suplementasi kalium dan obat potassium sparring. Pada gagal jantung


34

kongestif, tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya abnormal

karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi tiroid

dianjurkan sesuai kebutuhan. Pemeriksaan penanda BNP sebagai penanda

biologis gagal jantung dengan kadar BNP plasma 100 pg/ml dan plasma non-

proBNP adalah 300 pg/ml.

Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung

antara lain adalah : darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na dan K), ureum dan

kreatinine, SGOT/PT, dan BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada

pasien dengan gagal jantung karena alasan berikut: (1)untuk mendeteksi

anemia, (2)untuk mendeteksi gangguan elektrolit (hipokalemia dan/atau

hiponatremia), (3)untuk menilai fungsi ginjal dan hati, dan (4)untuk mengukur

brain natriuretic peptide (beratnya gangguan hemodinamik).25

Kandungan elektrolit biasanya normal pada gagal jantung ringan-sedang,

namun dapat menjadi abnormal pada gagal jantung berat ketika dosis obat

ditingkatkan. Kadar serum kalsium biasanya normal, tapi penggunaan diuretik

kaliuretik seperti thiazid atau loop diuretik dapat mengakibatkan hipokalemia.

Derajat hiponatremia juga merupakan penanda beratnya gagal jantung, hal ini

dikarenakan kadar natrium secara tidak langsung mencerminkan besarnya

aktivasi sistem renin angiotensin yang terjadi pada gagal jantung. Selain itu,

rektriksi garam bersamaan dengan terapi diuretik yang intensif dapat

mengakibatkan hiponatremia. Gangguan elektrolit lainnya termasuk

hipofasfatemia, hipomagnesemia, dan hiperurisemia.25


35

Anemia dapat memperburuk gagal jantung karena akan menyebabkan

meningkatnya kardiak output sebagai kompensasi memenuhi metabolisme

jaringan, hal ini akan meningkatkan volume overload miokard. Penelitian juga

telah menunjukkan bahwa anemia (kadar Hb <12 gr/dl) dialami pada 25%

penderita gagal jantung.18,19

Pemeriksaan Biomarker BNP sangat disarankan untuk diperiksa pada

semua pasien yang dicurigai gagal jantung untuk menilai beratnya gangguan

hemodinamik dan untuk menentukan prognosis. Biomarker Atrial Natriuretic

Peptide (ANP) dan BNP disekresikan sebagai respon terhadap meningkatnya

tekanan pada dinding jantung dan/atau neurohormon yang bersirkulasi. Karena

ANP memiliki waktu paruh yang pendek, hanya NT-ANP yang secara klinis

berguna. Untuk BNP, N-Terminal Pro-BNP dan BNP memiliki nilai klinis

yang bermakna. Kadar ANP dan BNP meningkat pada pasien dengan disfungsi

sistolik, sementara disfungsi diastolik peningkatan kadarnya lebih rendah. Pada

disfungsi sistolik, kadar BNP ditunjukan berbanding lurus dengan wall stress,

ejeksi fraksi, dan klasifikasi fungsional. Pemeriksaan BNP berbanding lurus

dengan beratnya gagal jantung berdasarkan kelas fungsionalnya.


36

Gambar 2.1. Kadar BNP berbanding lurus dengan beratnya gagal jantung menurut
kelas fungsionalnya.

Fungsi ginjal memiliki peran penting pada progresi disfungsi ventrikel dan

gagal jantung. Penurunan pada fungsi renal, terutama pada glomerular

filtration rate (GFR), menurut NYHA adalah prediktor mortalitas yang lebih

kuat dibandingkan klasifikasi kelas fungsional.28

Fungsi hepar sering ditemukan abnormal pada gagal jantung sebagai

akibat hepatomegali yang menyertai. Aspartate aminotransferase (AST/SGOT)

dan alanine aminotransferase (ALT/SGPT) dapat meningkat, protrombin time

(PT) dapat memanjang, dan pada sebagian kecil kasus dapat terjadi

hiperbilirubinemia.28

Urinalisis harus dilakukan pada semua pasien dengan gagal jantung untuk

mencari infeksi bakteri, mikroalbunuria dan mikrohematuri. Konsentrasi dan

volume urine harus mendapat perhatian seksama terutama pada pasien dengan

gangguan fungsi ginjal dan yang mendapat diuretik.28


37

b. Gambaran EKG

Dalam kasus kardiogenik, elektrokardiogram (EKG) dapat menunjukkan

bukti MI ( Miocardium Infark ) atau iskemia. Dalam kasus noncardiogenic,

EKG biasanya normal.17

Gambar 2.2 Elektrokardiogram menunjukkan infark miocard anterior


dengan gelombang Q pada anteroseptal leads (atas) dan pada bagian kiri
bundle branch block (bawah)

c. Pemeriksaan Radiologi34

1. Foto Thoraks

Dua fitur utama dari radiografi dada berguna dalam evaluasi pasien

dengan gagal jantung kongestif: (1) ukuran dan bentuk siluet jantung,

dan (2) edema di dasar paru-paru. Pada gagal jantung hampir selau ada

dilatasi dari satu atau lebih pada ruang-ruang di jantung, menghasilkan

pembesaran di jantung.
38

Dari segi radiologi cara mudah mengukur besar jantung adalah dengan

membandingkan lebar jantung dan lebar dada pada foto thoraks PA

(cardio-thoracis ratio) Pada gambar, diperlihatkan garis-garis untuk

mengukur lebar jantung (a+b) dan lebar dada (c1-c2) .(Vibhuti,2008)

a + b
= = 50%
c1 + c2

(Normal : 48-50 %)

Gambar 2.3 : Cara Pengukuran CTR

2. Computed Tomography

CT scan jantung biasanya tidak diperlukan dalam diagnosis rutin dan

manajemen gagal jantung kongestif. Multichannel CT scan berguna

dalam menggambarkan kelainan bawaan dan katup, namun,

ekokardiografi dan pencitraan resonansi magnetik (MRI) dapat

memberikan informasi yang sama tanpa mengekspos pasien untuk

radiasi pengion.
39

Gambar 2.4 : Penebalan garis septum dalam kaitan dengan edema


interstisial pada CHF

Gambar 2.5 :Pada CT-Scan posisi axial menunjukkan adanya diffuse


bilateral air space opacities (adanya perselubungan yang diffuse di air
space bilateral).

3. Echocardiography

Ekokardiografi dua dimensi dianjurkan sebagai bagian awal dari

evaluasi pasien dengan gagal jantung kongestif yang diketahui atau

diduga. Fungsi ventrikel dapat dievaluasi, dan kelainan katup primer

dan sekunder dapat dinilai secara akurat. Ekokardiografi Doppler

mungkin memainkan peran berharga dalam menentukan fungsi

diastolik dan dalam menegakkan diagnosis HF diastolik.


40

HF dalam hubungan dengan fungsi sistolik normal, tetapi relaksasi

diastolik normal mempengaruhi 30-40% dari pasien dengan CHF.

Karena terapi untuk kondisi ini jelas berbeda dari yang untuk disfungsi

sistolik, menetapkan etiologi dan diagnosis yang tepat sangat penting.

Kombinasi dari 2-dimensi dan ekokardiografi Doppler

echocardiography efektif untuk tujuan ini.

Dua dimensi dan Ekokardiografi Doppler dapat digunakan untuk

menentukan kinerja sistolik dan diastolik LV(ventrikel kiri), cardiac

output (fraksi ejeksi), dan tekanan arteri pulmonalis dan pengisian

ventrikel. Echocardiography juga dapat digunakan untuk

mengidentifikasi penyakit katup penting secara klinis.Tingkat

kepercayaan di echocardiography adalah tinggi, dan tingkat temuan

positif palsu dan negatif palsu yang rendah.28

Gambar 2.6 : Transthoracic echocardiograms: dua dimensi yaitu dari apical (atas)
dan doppler (bawah) menunjukkan beratnya kalsifikasi stensis dengan gradien
aortic yang mencapai lebih dari 70 mmHg (A=ventrikel kiri, B=aortic valve,
C=atrium kiri).
41

2.1.8 Klasifikasi16

New York Heart Association membagi klasifikasi Gagal Jantung

Kongestif berdasarkan tingkat keparahan dan keterbatasan aktivitas fisik :

Gejala
Kelas I Tidak ada keterbatasan dalam aktivitas fisik
Aktivitas fisik tidak menyebabkan sesak nafas, fatique atau
palpitasi
Kelas II Sedikit mengalami keterbatasan dalam aktivitas fisik
Merasa nyaman saat istirahat tetapi saat melakukan aktivitas
fisik mulai merasakan sedikit sesak nafas, fatique, dan palpitasi
Kelas III Mengalami keterbatasan dalam aktivitas fisik
Merasa nyaman saat istirahat namun ketika melakukan aktivitas
fisik yang sedikit saja sudah merasa sesak, fatique, dan palpitasi
Kelas IV Tidak bisa melakukan aktivitas fisik
Saat istirahat gejala bisa muncul dan jika melakukan aktivitas
fisik maka gejala akan meningkat
Sumber : European Society of Cardiology (ESC), 2012. Guideline for the
Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure
2.2 Penyakit Jantung Hipertensi

Penyakit darah tinggi atau hipertensi (hypertension) merupakan suatu

keadaan di mana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal

yang ditunjukkan oleh angka sistolik (bagian atas) dan angka diastolik (bawah)

pada pemeriksaan tensi darah menggunakan alat pengukur tekanan darah baik

yang berupa tensimeter air raksa (sphygmomanometer) ataupun alat digital

lainnya.11

Nilai normal tekanan darah seseorang dengan ukuran tinggi badan, berat

badan, tingkat aktifitas normal dan kesehatan secara umum adalah 120/80 mmHg.
42

Dalam aktivitas sehari-hari, tekanan darah normalnya adalah dengan nilai angka

kisaran stabil. Tetapi secara umum, angka pemeriksaan tekanan darah menurun

saat tidur dan meningkat saat beraktifitas atau berolahraga.11

Definisi hipertensi yang hingga sekarang masih berlaku ialah arus tekanan

sistolik 140 mmHg atau lebih, atau arus tekanan darah diastolik 90 mmHg atau

lebih. Akan tetapi, karena tekanan darah berubah-ubah, sebelum seorang pasien

dinyatakan menderita hipertensi dan menentukan untuk memulai perawatan, perlu

dipastikan arus tekanan darah yang meninggi itu dengan pengukuran yang

berulang-ulang dalam jangka waktu beberapa minggu. Tekanan darah sangat

bergantung pada curah jantung, tahanan perifer pada pembuluh darah, serta

volume darah yang bersirkulasi.35

Penyakit hipertensi sering disebut sebagai the silent killer atau sering

disebut sebagai pembunuh diam-diam. Umumnya penderita tidak mengetahui

dirinya mengidap hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya. Penyakit

ini dikenal juga sebagai heterogeneous group of disease yang berarti penyakit

yang menyerang siapa saja dari berbagai kelompok umur dan kelompok sosial

ekonomi.11

Penyebab utama timbulnya hipertensi adalah pola makan yang salah, baik

pada penderita hipertensi yang rawat jalan maupun yang rawat inap. Pada

penderita hipertensi rawat inap, makanan yang harus dikonsumsi adalah makanan

yang sesuai dengan diet yang diberikan oleh pihak rumah sakit. Namun, fenomena

yang terjadi pasien penderita hipertensi yang rawat inap tidak menjalankan diet

yang diberikan. Hal ini dikarenakan oleh diet yang disediakan tidak sesuai dengan
43

makanan yang diinginkan mereka, sehingga mereka lebih suka untuk

mengkonsumsi makanan di luar diet yang diberikan. Hal inilah yang dapat

menimbulkan komplikasi hipertensi yang dapat memengaruhi lama cepatnya

proses pemulihan.

Pada umumnya, pasien hipertensi rawat inap merupakan pasien hipertensi

yang telah mengalami komplikasi. Komplikasi adalah penyakit-penyakit yang

dapat ditimbulkan akibat hipertensi. Salah satu penyakit komplikasi yang terjadi

pada pasien hipertensi rawat inap adalah penyakit jantung dan kardiovaskuler.

Penyakit jantung terjadi akibat proses berkelanjutan, di mana jantung

secara berangsur kehilangan kemampuannya untuk melakukan fungsi secara

normal. Pada awal penyakit, jantung mampu mengkompensasi ketidakefisian

fungsinya dan mempertahankan sirkulasi darah normal melalui pembesaran dan

peningkatan denyut nadi.7

2.3 Pencegahan Penyakit Jantung Hipertensi

Faktor penyebab utama terjadinya hipertensi adalah aterosklerosis yang

didasari dengan konsumsi lemak berlebih dan pada akhirnya mengalami

komplikasi peyakit jantung. Oleh karena untuk mencegah timbulnya hipertensi

adalah mengurangi konsumsi lemak yang berlebih dan pemberian obat-obatan

apabila diperlukan. Pembatasan konsumsi lemak sebaiknya dimulai sejak dini

sebelum hipertensi muncul, terutama pada orang-orang yang mempunyai riwayat

keturunan hipertensi dan pada orang menjelang usia lanjut. Sebaiknya mulai umur

40 tahun pada wanita agar lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi lemak pada

usia mendekati menopause.


44

Pencegahan utama adalah dengan melakukan pola makan sehat dengan

gizi seimbang, dimana mengkonsumsi beragam makanan yang seimbang dari

segi kuantitas dan kualitas. Di samping itu, tindakan memeriksakan tekanan darah

secara teratur sangat dianjurkan. Selain dapat mencegah, tindakan tersebut juga

dapat menghindari kenaikan tekanan darah yang terlalu drastis.12

2.4 Penatalaksanaan

2.4.1 Non Farmakologi

A. Diet Penyakit Jantung

Penyakit jantung terjadi akibat berkelanjutan, di mana jantung secara

berangsur kehilangan kemampuannya untuk melakukan fungsi secara normal.

Pada awal penyakit, jantung mampu mengkompensasi ketidakefisien fungsinya

dan mempertahankan sirkulasi darah normal melalui pembesaran dan peningkatan

denyut nadi.8,9

Mengatur menu makanan sangat dianjurkan bagi penderita hipertensi

untuk menghindari dan membatasi makanan yang dapat meningkatkan kadar

kolesterol darah serta meningkatkan tekanan darah, sehingga penderita tidak

mengalami stroke atau infark jantung.29

Diet tidak secara langsung menyembuhkan penyakit, tetapi dipakai untuk

memperbaiki kelainan metabolisme dan mencegah atau paling tidak mengurangi

gejala penyakit. Adanya gangguan pertumbuhan yang dipengaruhi faktor

genetik,hipoksia menahun, kelainan hemodinamik, faktor metabolik serta kelainan

lain yang menyertai memerlukan masukan energi tambahan. Aktivitas jantung dan

pernafasan memerlukan pula kalori yang cukup banyak,


45

Pada umumnya, pasien penderita hipertensi yang rawat inap disertai

dengan penyakit komplikasi, seperti penyakit jantung dan kardiovaskuler. Maka

dari itu, pemberian diet pada penderita hipertensi komplikasi jantung yang rawat

inap harus menjalani diet penyakit jantung.

Penderita hipertensi komplikasi jantung, sebaiknya meningkatkan

konsumsi buah dan sayur, terutama buah dan sayur yang mengandung kalium.

Kalium atau potassium 2 sampai 4 gram perhari dapat membantu penurunan

tekanan darah. Kadar kalium atau potassium umumnya banyak didapati pada

beberapa buah-buahan dan sayuran. Buah dan sayuran yang mengandung

potasium dan baik untuk dikonsumsi antara lain semangka, alpukat, melon, buah

pare, labu siam, bligo, labu parang/labu,mentimun, lidah buaya, seledr i, bawang

dan bawang putih (Kurniawan, 2011).Komposisi kalium pada beberapa bahan

makanan (dalam mg per 100 gram bahan makanan) antara lain sebagai berikut.

Tabel 2.2. Komposisi Kalium Dalam Beberapa Bahan Makanan8

Sumber : Jordan, 2010


46

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa pisang dan daun peterseli

merupakan buah dan sayur yang paling tinggi komposisi kalium nya. Bahan

makanan yang mengandung kalium atau potasium baik dikonsumsi karena

berfungsi sebagai diuretik sehingga pengeluaran natrium cairan dapat meningkat

sehingga dapat membantu menurunkan tekanan darah.

Pada penderita hipertensi khususnya dengan komplikasi jantung,

disarankan untuk mengatur menu makanannya setiap hari. Ada berbagai bahan

makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan pada penderita dengan komplikasi

jantung. Bahan makanan yang dianjurkan dan yang tidak dianjurkan dapat dilihat

pada Tabel 2.3.8,12


47

B. Tujuan Diet Jantung

Tujuan diet penyakit jantung adalah memberikan makanan secukupnya

tanpa memberatkan kerja jantung, menurunkan berat badan bila terlalu gemuk,

dan mencegah atau menghilangkan penimbunan garam atau air.8

C.Syarat Diet Jantung

Syarat-syarat diet penyakit jantung yaitu makanan yang diberikan harus

mengandung kalori yang cukup. Protein cukup yaitu sebesar 0,8 gr per kg berat

badan. Makanan yang disediakan harus mengandung lemak sedang sebesar 25

30% dari kebutuhan energi total. Kolesterol yang terkandung harus kurang dari

300 mg. Makanan mengandung garam rendah, yaitu 2 sampai 3 gr per hari.

Makanan yang dimakan haruslah mudah cerna dan tidak menimbulkan gas.

Cukup serat untuk mencegah komplikasi. Bentuk makanan harus disesuaikan

dengan keadaan penyakit.8

D.Jenis Diet Jantung8

Menurut Arief (2002), jenis diet jantung berdasarkan indikasi

pemberiannya terdiri dari empat jenis diet jantung yaitu :

1. Diet jantung I, diberikan kepada pasien dengan infark miokard akut (IMA)

atau gagal jantung kongestif berat dengan gejala dan tanda: nyeri dada,

mual dan muntah, adanya perangsangan sistem saraf pusat, dan diikuti

oleh pembengkakan hati, edema periphenal, penurunan cardiac output,

dan output urine menurun. Diberikan makanan berupa 1-1,5 liter cairan

sehari selama 1-2 hari pertama bila pasien dapat menerimanya.


48

2. Diet jantung II diberikan secara berangsur dalam bentuk makanan lunak

setelah fase akut IMA teratasi. Menurut beratnya hipertensi atau edema

yang menyertai penyakit, makanan diberikan sebagai diet jantung II

rendah garam.

3. Diet jantung III diberikan sebagai makanan perpindahan dari diet jantung

II atau kepada pasien penyakit jantung yang tidak terlalu berat seperti rasa

sakit pada bagian dada, adanya masalah pencernaan, adanya gejala flu,

serta nafas pendek. Makanan diberikan dalam bentuk makanan mudah

cerna bentuk lunak. Menurut beratnya hipertensi atau edema yang

menyertai penyakit, diberikan sebagai diet jantung III rendah garam.

4. Diet jantung IV diberikan sebagai makanan perpindahan dari diet jantung

III atau kepada pasien penyakit jantung ringan dengan gejala nyeri di

bagian dada, sesak nafas, jantung berderbar kencang, pingsan atau terasa

mau pingsan. Diberikan dalam bentuk makanan biasa. Menurut beratnya

hipertensi atau edema yang menyertai penyakit, makanan diberikan

sebagai diet jantung IV rendah garam.

Pada setiap jenis diet jantung memiliki komposisi zat gizi utama yang sama.

Komposisi zat gizi utama yang harus terkandung pada setiap jenis diet jantung

adalah zat gizi kalori, protein, lemak, karbohidrat, dan natrium. Komposisi zat gizi
49

tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.

2.4.2 Farmakologi21,27

1. Diuretik (Diuretik tiazid dan loop diuretik)

Mengurangi kongestif pulmonal dan edema perifer,

mengurangi gejala volume berlebihan seperti ortopnea dan dispnea

noktural peroksimal, menurunkan volume plasma selanjutnya

menurunkan preload untuk mengurangi beban kerja jantung dan

kebutuhan oksigen dan juga menurunkan afterload agar tekanan darah

menurun.

2. Antagonis aldosteron

Menurunkan mortalitas pasien dengan gagal jantung sedang

sampai berat.

3. Obat inotropik

Meningkatkan kontraksi otot jantung dan curah jantung.


50

4. Glikosida digitalis

Meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung menyebabkan

penurunan volume distribusi.

5. Vasodilator (captopril, isisorbid dinitrat)

Mengurangi preload dan afterload yang berlebihan, dilatasi

pembuluh darah vena menyebabkan berkurangnya preload jantung

dengan meningkatkan kapasitas vena.

6. Inhibitor ACE

Mengurangi kadar angiostensin II dalam sirkulasi dan mengurangi

sekresi aldosteron sehingga menyebabkan penurunan sekresi natrium dan

air. Inhibitor ini juga menurunkan retensi vaskuler vena dan tekanan

darah yg menyebabkan peningkatan curah jantung

2. 5 Gagal jantung dan komorbitas16

Penanganan komorbiditas ( penyakit penyerta ) merupakan hal yang

sangatpenting pada tatalaksana pasien dengan gagal jantung. Terdapat 4

alasanutama dalam hal ini, yaitu:

1. Penyakit penyerta dapat mempengaruhi pengobatan gagal jantung

itu sendiri

2. Terapi untuk penyakit penyerta dapat memperburuk gejala

dankondisi gagal jantung (misalnya penggunaan NSAID)

3. Obat yang digunakan untuk gagal jantung dan yang digunakan

untuk penyakit penyerta dapat saling berinteraksi ( misalnya


51

penggunaan penyekat pada penderita asma berat ), sehingga akan

mengurangi kepatuhan pasien dalam berobat

4. Sebagian besar penyakit penyerta berhubungan dengan keadaan

klinis gagal jantung dan prognosis yang lebih buruk (misalnya

diabetes, hipertensi, ginjal, dll)

2.5.1 Disfungsi ginjal28

Laju filtrasi glomerulus akan menurun pada sebagian besar pasien gagal

janrtung, terutama pada stadium gagal jantung yang lanjut ( advanced ). Fungsi

renal merupakan predictor independen yang kuat bagi prognosis pasien gagal

jantung. Penghambat renin-angiotensin-aldosteron (ACE/ARB, MRA) biasanya

akan menyebabkan penurunan ringan laju filtrasi glomerulus, namun hal ini

jangan dijadikan penyebab penghentian terapi obat-obat tersebut, kecuali terjadi

penurunan yang sangat signifikan. Sebaliknya, bila terjadi penurunan laju filtrasi

glomerulus yang signifikan, makan harus dipikirkan adanya stenosis arteri

renalis.Hipotensi, hiponatremia dan dehidrasi juga dapat menyebabkan penurunan

fungsi ginjal. Hal lain yang juga dapat menurunkan fungsi ginjal, yang kurang

dipahami, adalah hipervolum, gagal jantung kanan dan kongesti vena ginjal.

Sedangkan obat-obatan yag dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal antara

lain NSAID, beberapa antibiotik (gentamicin, trimethoprim), digoxin,tiazid.

2.5.2 Anemia pada Gagal Jantung Kongestif

Anemia merupakan salah satu faktor komorbid penting yang sering

ditemukan pada pasien dengan gagal jantung. Definisi anemia berdasarkan World
52

Health Organiza-tion (WHO) adalah Hb < 13 gr% untuk laki-laki dan < 12 gr%

untuk perempuan. Prevalensi anemia pada gagal jantung bervariasi dari 12-55 %.

Insufisiensi ginjal merupakan faktor komorbid penting yang sering

ditemukan pada gagal jantung dan merupakan prediktor kuat meningkatnya resiko

anemia pada gagal jantung. Faktor lain yang berhubungan dengan resiko

terjadinya anemia pada gagal jantung adalah: usia tua, jenis kelamin perempuan,

adanya penurunan indeks massa tubuh, penggunaan obat-obat angiotensin

convert-ing enzymeinhibitor (ACE-inhibitor) dan angiotensin receptor blocker

(ARB), serta gagal jantung tingkat lanjut.

Sebagian besar (50-60%) anemia pada gagal jantung merupakan anemia

normokrom normositer akibat penyakit kronik dan anemia renal. Penyebab

anemia lainnya adalah defisiensi besi (30%) akibat kurangnya asupan maupun

absorbsi besi, serta kehilangan darah kronik akibat konsumsi obat-obatan anti

platelet. Pada gagal jantung terjadi peningkatan volum plasma yang berakibat

hemodilusi dan menyebabkan anemia tanpa penurunan aktual volum sel darah

merah.

Inflamasi memegang peranan penting dalam mekanisme terjadinya anemia

pada gagal jantung. Sitokin proinflamasi seperti TNF-, interleukin-1 dan

interleukin-6 meningkat pada gagal jantung dan menyebabkan gangguan pada

eritropoiesis seperti mengurangi sekresi eritropoietin serta menurunkan aktifitas

ertropoietin pada prekursor eritrosit dalam sumsum tulang. Sitokin proinflamasi

juga meningkatkan kadar hepcidin, suatu peptida yang dihasilkan oleh hepatosit.

Hepcidin menyebabkan gangguan absorbsi besi di duodenum, meningkatkan


53

ambilan besi ke dalam makrofag serta menghambat pelepasan besi dari makrofag.

Hal ini menyebabkan besi terperangkap dalam makrofag sehingga me-ngurangi

bioavailabilitas cadangan besi untuk sintesis hemoglobin.

Gagal ginjal ditemukan pada sekitar 50% penderita gagal jantung. Pada

penderita gagal ginjal dengan laju filtrasi glomerulus < 35-40 ml/menit akan

terjadi anemia sebagai konsekuensi gangguan sintesis eritropoietin yang terutama

berlangsung di sel endotel peritubular ginjal.1 Patofisiologi yang mendasari belum

jelas, diduga akibat terjadinya fibrosis tubulointerstisial ginjal, adanya kerusakan

tubuli, serta obliterasi pembuluh darah. Gangguan terhadap produksi eritropoietin

oleh ginjal atau berkurangnya respons sumsum tulang terhadap eritropoietin

menyebabkan terjadinya anemia.34,36

Pada penderita gagal jantung terdapat resiko terjadinya defisiensi besi

akibat terganggunya absorbsi besi di usus halus. Mekanisme yang mendasari

keadaan ini adalah adanya iskemi pada mukosa usus, penebalan dinding usus

akibat edema, serta peranan mediator proinflamasi yang menghambat absorbsi

besi.

Anemia pada gagal jantung sering berhubungan dengan gejala dan tanda

kongesti, sehingga peningkatan volum plasma mungkin berkontribusi terhadap

terjadinya anemia pada gagal jantung melalui proses hemodilusi. Pada suatu

penelitian terhadap 37 penderita anemia dengan gagal jantung kongestif yang

tidak disertai edema, didapatkan 46% penderita mempunyai nilai hematokrit yang

rendah dengan jumlah eritrosit yang normal, sehingga anemia pada pasien ini

diakibatkan oleh peningkatan volum plasma yang berakibat hemodilusi.


54

Konsentrasi Hb merupakan petunjuk penting terhadap distribusi oksigen

ke otot rangka selama aktifitas. Pada pasien dengan gagal jantung kemampuan

kompensasi fisiologik terhadap penurunan kadar Hb berkurang, sehingga terjadi

penurunan kapasitas aerobik sebagai respons terhadap anemia. Beberapa peneliti

melaporkan adanya hu-bungan antara penurunan Hb dengan makin memburuknya

klas fungsional gagal jantung berdasarkan klasifikasi NYHA.

Penanganan anemia pada gagal jantung sampai saat ini masih

kontroversial. Pada penderita gagal jantung sebaiknya dilakukan pemeriksaan

berkala kadar Hb setiap enam bulan untuk mendeteksi anemia sedini mungkin;

juga harus dilakukan pemeriksaan lanjut untuk mengetahui etiologi anemia.

Berikut beberapa penanganan anemia pada gagal jantung:19

A.Transfusi darah

Penggunaan transfusi darah untuk pengobatan anemia pada penderita

dengan pe-nyakit kardiovaskular masih kontroversial. Menurut guidelines dari

American College of Physicians and the American Society of Anesthesiologist,

transfusi diberikan bila kadar Hb < 8gr%. Transfusi juga beresiko terhadap

terjadinya berbagai efek samping seperti supresi sistem imun dengan resiko

terinfeksi, sensitisasi terhadap antigen HLA, serta kele-bihan cairan dan besi.

Dengan adanya berbagai resiko ini maka transfusi lebih bermanfaat untuk

mengatasi keadaan akut pada anemia berat, dan tidak ditujukan untuk penanganan

jangka panjang terhadap anemia pada gagal jantung


55

B. Pemberian preparat eritropoietin

Anemia pada gagal jantung berespons terhadap pemberian suplemen

eritropoietin. Mekanisme utama stimulasi eritroproietin terhadap produksi eritrosit

adalah melalui inhibisi apoptosis dari progenitor eritrosit dalam sumsum tulang,

sehingga dapat terjadi proliferasi, pertumbuhan dan maturasi dari proeritroblas

dan normoblas, dengan hasil akhir kenaikan kadar Hb.

Dewasa ini terdapat tiga jenis eritro-poietin yang telah digunakan sebagai peng-

obatan terhadap anemia, yaitu: epoetin-, epoetin- (keduanya merupakan

recombi-nant human erythropoietin [rHuEPO]) dan darbepoetin-.

C.Pemberian suplementasi besi

Meskipun defisiensi besi hanya ditemukan pada sebagian kecil (< 30%)

kasus anemia pada gagal jantung, defisiensi besi fungsional yang dikarakteristik

oleh penurunan efektifitas cadangan besi untuk eritropoiesis merupakan masalah

pada penderita gagal jantung. National Kidney Foundation merekomendasikan

penggunaan besi intravena untuk mempertahankan kadar ferritin serum >100

ng/mL dan saturasi transferin >20% untuk mengoptimalkan respons klinik

terhadap pemberian preparat eritropoietin. Meskipun demikian, kelebihan

cadangan besi harus diwaspadai karena beresiko terhadap gangguan

kardiovaskuler lebih lanjut.26,27

D.Pemberian diuretik

Pada penderita gagal jantung dengan anemia yang disebabkan oleh

hemodilusi, pemberian preparat eritropoietin akan menaikkan massa eritrosit

yang berakibat peningkatan volum darah total, yang akan memperberat gagal
56

jantung. Pada penderita dengan hemodilusi, pemberian diuretik yang agresif akan

menurunkan volum plasma sehingga anemia dapat terkoreksi.26

Gambar 2.7 Patofisiologi Anemia pada gagal jantung


57

BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas

Nama : Ny. H

Umur : 70 th

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Desa Pande Kec. Tanah Pasir Aceh Utara

Pekerjaan : Petani

Status Perkawinan : Janda

Agama : Islam

Suku : Aceh

Tanggal Pemeriksaan : 4 Agustus 2016

3.2 Anamnesis

A. Keluhan Utama : Bengkak kedua kaki

B. Keluhan tambahan : Nyeri dada, sesak napas dan lemas.

C. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan bengkak di kedua kaki. Bengkak di rasakan

sejak seminggu yang lalu, hilang timbul dan memberat 2 hari sebelum ke

Puskesmas Tanah Pasir. Pasien juga mengeluh nyeri dada sebelah kiri dan

menjalar ke punggung sejak 1 minggu yang lalu. Nyeri dada dirasakan selama 5

menit dan seperti ditekan.


58

Selain itu pasien juga mengeluhkan sesak nafas, pusing, dan lemas yang

dirasakan lebih kurang 3 hari namun tidak begitu menganggu aktivitas pasien.

Pasien kadang terbangun di malam hari akibat sesak dan masih nyaman tidur

dengan menggunakan 1 bantal. Sesak tidak dipengaruhi cuaca, debu dan emosi.

Pasien juga merasa cepat capek saat melakukan aktivitas sehari-hari seperti saat

berjalan dari kamar ke kamar mandi (7m) yang biasanya menurut pasien jika

tidak sakit, pasien masih sanggup pergi ke kebun. Pasien juga mengeluh batuk

sudah 2 minggu, tidak berdahak dan tidak berdarah.

Pasien pernah di rawat di RS sekitar 1 tahun yang lalu, dengan keluhan

yang sama dan telah didiagnosis dengan gagal jantung kongestif akibat hipertensi.

Selain pasien, anak pasien juga mengalami keluhan yang sama dengan pasien dan

telah berobat ke Puskesmas Tanah Pasir dan RS Cut Meutia.

D. Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat Hipertensi : Pasien menderita hipertensi sejak 3 tahun yang lalu

dan berobat secara tidak teratur. Pasien juga di

diagnosis sakit jantung sejak 1 tahun yang lalu.

- Riwayat DM : disangkal

- Riwayat Alergi Obat : disangkal

E. Riwayat Penggunaan Obat

Pasien sebelumnya hanya mengkonsumsi obat dari Rumah Sakit yaitu

Isosorbid dinitrat 5 mg, Simvastastin tab 20 mg, anti hipertensi (Amlodipin tab 5
59

mg ) dan diuretik (Furosemide tab 40 mg) serta obat lambung (Rantidin 150 mg

dan Omeprazole 20 mg) namun tidak teratur konsumsi obat tersebut.

F. Riwayat Keluarga

- Riwayat penyakit serupa : anak sulung pasien juga mengalami didiagnosis

penyakit gagal jantung kongestif sekitar 6 bulan yang lalu.

- Riwayat Hipertensi : Anak pasien menderita hipertensi sekitar 1

tahun yang lalu.

Renogram pasien

1 2

Keterangan gambar:

: anak pasien nomor 1 dan 2 : pasien : menantu pasien

: cucu pasien : suami pasien meninggal


60

G. Riwayat Kesehatan Lingkungan

Pasien memiliki riwayat suka konsumsi makanan berlemak. Saat masih

berusia produktif, pasien bekerja bertani dan berkebun. Namun karena usia yang

sudah lanjut, pasien hanya di rumah dan aktivitas fisik sudah terbatas.

3.3 Pemeriksaan fisik

A. Vital Sign

Tekanan Darah : 190 / 100 mmHg

Nadi : 84 x/menit

Respirasi Rate : 22 x/menit

Suhu : 36,2oC

B. Pemeriksaan Fisik

BB : 52 kg

TB : 156 cm

IMT : 20 (normoweight)

Kepala : Konjungtiva Anemis (+/+), Sklera Ikterik (-/-)

Leher : JVP (5+2) cmH2O, pembesaran kelenjar limfe (-/-)

Thorax

Paru-Paru

Inspeksi : Bentuk dada normal, gerak pernafasan

hemithoraks kiri dan kanan simetris

Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri

Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi : Vesikuler (+), Ronkhi halus dikedua lapangan


61

paru (+/+) Wheezing (-/-)

Jantung :

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS VI medial midklavikula

Perkusi : Batas atas ICS II, batas kanan linea parasternalis dextra,

batas kiri linea axilaris anterior sinistra ICS VI

Auskultasi : BJ I>BJ II murmur (-), gallop (-)

Abdomen :

Inspeksi : Simetris, distensi (-)

Auskultasi : Peristaltik (+)

Palpasi : Soepel, hepar dan lien dalam batas normal

Perkusi : Timpani (+)

Ekstremitas : Clubbing finger (-/-), edema ekstremitas bawah (+/+)

ekstremitas atas pucat(+/+)

3.4 Pemeriksaan penunjang

Rontgen (10-8-2016) :
62

Keterangan:

Cor : CTR> 50%, elongasi aorta, pinggang jantung cekung, sudut

costofrenikus tajam,

Pulmo : corakan bronkovaskular dalam batas normal

Tidak didapatkan kelainan pada tulang dan soft tissue.

Kesan : Kardiomegali dan elongasi aorta

EKG :
63

Keterangan:

Irama sinus, HR: 78x/menit, Axis deviasi ke kiri, kompleks QRS 0,12 detik, ST
elevasi : V2-V3, QS wave V1.

Kesimpulan : irama sinus HR 78x/menit dengan deviasi aksis ke kiri dan left

ventrikel hipertropi.

Hasil Laboratorium (Tanggal 10 Agustus 2016)

Hematologi

Hb : 7,1 gr/dl

Leukosit : 4,9 x 106 /mm3

Eritrosit : 2,5 x 103/mm3

Hematokrit : 25,2%

Trombosit : 85 x 103/mm3

MCV : 95 fl

MCH : 26,6 pg

MCHC : 28,1 g%

RDW : 13,9%
64

Pemeriksaan urinalisis

Makroskopis

Warna : Kuning muda

Kekeruhan : Jernih

Berat Jenis : 1,015

pH :7

Protein : 75 mg/dl (+2)

Mikroskopis

Eritrosit : 2-5 /LPB

Leukosit : 0-2 /LPB

Epitel : 10-25 /LPK

Pemeriksaan Glukosa : KGDP: 86 mg/dl, KGDPP: 161mg/dl

Pemeriksaan Fungsi Ginjal:

Ureum : 41 mg/dl

Kreatinin : 2,36 mg/dl

Asam urat : 6,9 mg/dl

Pemeriksaan Lemak:

Kolesterol total : 232 mg/dl


65

HDL : 61 mg/dl

LDL : 156 mg/dl

Trigliserida : 96 mg/dl

Pemeriksaan Fungsi Hati:

Bilirubin Total : 0,74 mg/dl

Bilirubin Direct : 0,25 mg/dl

AST/SGOT : 26 IU/L

ALT/SGPT : 22 IU/L

Alkali fosfatase : 75 IU/L

Kesan: Anemia dan hiperkolesterolemia

3.5 Resume/daftar masalah

A. Anamnesis

Pasien datang dengan keluhan bengkak di kedua kaki. Bengkak di rasakan

sejak seminggu yang lalu, memberat 2 hari sebelum ke Puskesmas Tanah Pasir.

Bengkak kaki sudah lama dirasakan sejak 9 bulan yang lalu dan sifatnya hilang

timbul. Pasien juga mengeluh nyeri dada sebelah kiri dan menjalar ke punggung

sejak 1 minggu yang lalu. Nyeri dada dirasakan selama 5 menit dan seperti

ditekan. Selain itu pasien juga mengeluhkan sesak nafas, pusing, dan lemas yang

dirasakan lebih kurang 3 hari namun tidak begitu menganggu aktivitas pasien.

Pasien kadang terbangun di malam hari akibat sesak dan masih nyaman tidur

dengan menggunakan 1 bantal. Sesak tidak dipengaruhi cuaca, debu dan emosi.

Pasien juga merasa cepat capek saat melakukan aktivitas sehari-hari seperti saat
66

berjalan dari kamar ke kamar mandi (7m). Pasien juga mengeluh batuk sudah 2

minggu, tidak berdahak dan tidak berdarah.

Pasien pernah di rawat di RS sekitar 1 tahun yang lalu, dengan keluhan

yang sama dan telah didiagnosis dengan gagal jantung kongestif akibat hipertensi.

Selain pasien, anak pasien juga mengalami keluhan yang sama dengan pasien dan

telah berobat ke Puskesmas Tanah Pasir dan RS Cut Meutia.

B. Diagnosis Fisik

Vital Sign : TD 190/100mmHg, Nadi : 84x/menit, RR : 22x/menit

Thorak

Paru-Paru

Auskultasi : Vesikuler (+), ronkhi basah basal halus (+/-)

Jantung

Perkusi : Batas atas ICS II, batas kanan linea parasternalis

dextra, batas kiri ICS V linea axilaris anterior

sinistra.

C. Pemeriksaan Penunjang

1. Rontgen (10-8-2016) :

Cor : CTR > 0,5, elongasi aorta

Pulmo : corakan bronkovaskular dalam batas normal

2. EKG

Kesimpulan : irama sinus HR 78x/menit dengan deviasi aksis ke

kiri dan left ventrikel hipertropi.


67

3. Hasil laboratorium : Hb : 7,1 gr/dl, Kreatinin : 2,36 mg/dl, Kolesterol

total : 232 mg/dl

3.6 Diagnosis kerja

1. CHF Fc NYHA III ec HHD +Anemia+ PGK stage IV

3.7 Usulan pemeriksaan

1. Echocardiography

2. Cor Angiography

3.8 Diagnosa banding

1. CHF Fc NYHA III ec HHD +Anemia+ PGK stage IV

2. CHF Fc NYHA III ec CAD

3. PPOK

3.9 Terapi :

1. Non farmakologi :

a. Istirahat

b. Diet jantung III rendah garam dan lemak

2. Farmakologi :

1. ISDN 5 mg 1x1 tab sublingual

2. Furosemid 40 mg 1x1 tab pagi

3. Ranitidin 150 mg 1x1 tab

4. Sulfat Ferrous 2x1 tab


68

3.10 Prognosis

a) Quo ad Vitam : Dubia ad bonam

b) Quo ad Fungsionam : Dubia ad malam

c) Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam

3.11 Pencegahan

a. Pencegahan Primer

Ditujukan kepada keluarga pasien yang memiliki risiko hipertensi,

dengan cara melakukan pola hidup sehat seperti mengurangi asupan

garam dan makanan berlemak, berolahraga secara teratur dan

menghindari stres.

b. Pencegahan Sekunder

Ditujukan untuk mencegah komplikasi dengan cara memberi pemahaman

tentang penyakit yang dideritanya dan pengetahuan bahwa penyakit ini

memerlukan pengobatan jangka panjang yang dapat dikontrol dengan

cara mengatur pola hidup sehat, diet rendah garam dan makanan

berlemak, batasi aktivitas, minum obat teratur, dan rutin kontrol ke

pelayanan kesehatan.

c. Pencegahan tersier

Pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah komplikasi yang lebih

berat atau kematian akibat gagal jantung. Upaya yang dilakukan dapat

berupa latihan fisik yang teratur untuk memperbaiki fungsional pasien

gagal jantung.
69

3.12 Anjuran untuk keluarga

a. Mengurangi asupan garam. Asupan garam sangat dianjurkan, maksimal

2 gram garam dapur untuk diet setiap hari. Asupan natrium yang

berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan

ekstraseluler meningkat sehingga berdampak kepada timbulnya

hipertensi.

b. Melakukan pola hidup sehat seperti menjaga berat badan ideal agar

tidak obesitas. Risiko perkembangan hipertensi pada obesitas adalah 2

kali lebih tinggi daripada orang dengan berat badan normal. Karena

kelebihan lemak tubuh dapat meningkatkan volume plasma,

menyempitkan pembuluh darah, dan memacu jantung untuk bekerja

lebih berat. Selanjutnya tidak merokok karena kandungan nikotin

dalam rokok dapat meningkatkan tekanan darah dan penggumpalan

darah. Hindari stress karena peningkatan saraf simpatis dapat

meningkatan tekanan darah secara tidak menentu.

c. Memeriksa tekanan darah rutin ke pelayanan kesehatan seminggu

sekali untuk mengetahui tekanan darah saat itu dan melakukan tindakan

evaluasi.

d. Mengurangi makanan tinggi lemak dan kolesterol. Kadar kolestrol

darah yang tinggi dapat mengakibatkan terjadinya endapan kolestrol

pada dinding pembuluh darah yang lama kelamaan akan menyumbat

pembuluh darah dan mengganggu peredaran darah. Dengan demikian,

akan memperberat kerja jantung dan memperparah hipertensi.


70

Mengkonsumsi kolestrol dalam makanan dibatasi tidak lebih dari 300

mg setiap hari.

3.13 Kendala yang dihadapi :

a. Kurangnya perhatian keluarga terhadap pasien dalam memonitoring

pengobatan pasien

b. Ketidaksediaannya obat-obatan yang diperlukan pasien di Puskesmas

3.14 Saran :

a. Puskesmas

a) Diharapkan kepada seluruh tenaga kerja kesehatan di Puskesmas

Tanah Pasir agar lebih aktif melakukan penyuluhan dan edukasi

mengenai penyakit CHF.

b) Diharapkan kepada seluruh pihak yang bertanggung jawab dalam hal

ketersediaan obat di Puskesmas harus lebih diperhatikan.

c) Diharapkan hasil dari kegiatan Home Visit ini dapat menjadi masukan

bagi Puskesmas Tanah Pasir.

Bagian Family Medicine

a) Diharapkan dengan adanya kegiatan home visit ini dapat menjadi

acuan dalam proses pembelajaran selanjutnya.

b) Diharapkan hasil kegitan home visit ini dapat dijadikan data penelitian

penyakit tidak menular.

Keluarga

a) Dapat menjadi masukan dalam merubah pola hidup sehari-hari.

b) Mendorong keluarga untuk melakukan skrinning.


71

c) Memberikan dukungan kepada pasien baik secara rohani, psikologis

untuk minum obat secara teratur.

A. Identifikasi Lingkungan Rumah


1. Gambaran Lingkungan

Keluarga ini tinggal di sebuah rumah berukuran 5 x 9 m2, memiliki

halaman rumah dan menghadap ke utara. Halaman dan teras rumah pasien banyak

terdapat kotoran ayam. Rumah ini terdiri dari 2 kamar tidur, 1 ruang tamu, kamar

mandi dan dapur. Rumah terbuat dari dinding bata yang disemen dan lantai

terbuat dari semen yang sudah diperhalus. Atap rumah pasien terbuat dari seng

dan tidak memiliki plafon hanya di tutupi oleh terpal. Ruang tamu memiliki

ukuran 2 m X 1 m dengan jendela yang tidak di buka namun terpasang kawat

nyamuk pada ventilasinya. Kamar tidur pasien ukuran 3m x 4m dengan

dindingnya beton dan jendela kamar yang tidak terbuka sehingga sinar matahari

tidak masuk ke dalam kamar. Selain itu banyak baju yang tergantung dan barang

tidak dirapikan di dalam rumah. Kamar mandi pasien di dalam rumah dan terdapat

sumur yang digunakan untuk keperluan sehari-hari namun yang tidak terdapat

saluran pembuangan air yang tergenang. Jamban berupa jamban cemplung.

2. Penilaian Rumah Sehat

No. Variabel Skor


1. Lokasi a. Tidak rawan banjir 3 1
b. Rawan banjir
1
2. Kepadatan a. Tidak PAdat (>8m2/orang) 3 3
hunian b. Padat (<8m2/orang) 1
3. Lantai a. Semen ubin, keramik, kayu 3 3
b. Tanah 1
72

4. Pencahayaan a. Cukup 3 1
b. Tidak cukup 1
5. Ventilasi a. Ada ventilasi 3 3
b. Tidak ada 1
6. Air bersih a. Air dalam kemasan 3 2
b. Ledeng/PAM 3
c. Mata air terlindung 2
d. Sumur pompa tangan 2
e. Sumur terlindung 2
f. Sumur tidak terlindung 1
g. Mata air tidak terlindung 1
h. Lain-lain 1
7. Pemb. Kotoran a. Leher angsa 3 2
(kakus) b. Plengsengan 2
c. Cemplung/ cubluk 2
d. Kolam ikan/sungai/kebun 1
e. Tidak ada 1
8. Septic tank a. Septic tank dengan jarak 3 3
>10 meter dari sumber air
minum
b. Lainnya 1
9. Kepemilikan WC a. Sendiri 3 2
b. Bersama 2
c. Tidak ada 1
10. SPAL a. Saluran tertutup 3 1
b. Saluran terbuka 2
c. Tanpa saluran 1
11. Saluran got a. Mengalir lancar 3 1
b. Mengalir lambat 2
c. Tergenang 1
d. Tidak ada got 1
12. Pengelolaan a. Diangkut petugas 3 2
sampah b. Ditimbun 2
c. Dibuat kompos 3
d. Dibakar 2
e. Dibuang ke kali 1
f. Dibuang sembarangan 1
g. Lainnya 1
13. Polusi udara a. Tidak ada gangguan 3 3
polusi
b. Ada gangguan 1
14. Bahan bakar a. Listrik, gas 3 3
masak b. Minyak tanah 2
c. Kayu bakar 1
d. Arang/batu bara 1
73

Penetapan skor kategori rumah sehat sebagai berikut:

Baik : skor 35-42 (>83%)

Sedang : skor 29-34 (69-83%)

Kurang : skor <29 (<69%)

Berdasarkan variable diatas, rumah pasien berada di kategori sedang dengan skor
total variable rumah sehat 30.

A. Diagram Permasalahan Pasien


(Menggambarkan hubungan antara timbulnya masalah kesehatan yang ada

dengan faktor-faktor resiko yang ada dalam kehidupan pasien)

1. Keluarga Ny. H. kurang


mengerti pengobatan
dan pencegahan CHF
serta tidak teratur
minum obat.

2. Pasien tidak mengerti


tentang pola makan 4. Rumah tidak sehat
Ny. H dengan CHF
yang benar.

3. Hygine lingkungan rumah


pasien buruk

Diagram 3.1. Permasalahan Pasien

Tabel 3.1 Masalah dan Solusi terhadap Pasien


No. Masalah Solusi

1. Keluarga Ny. H. kurang mengerti a) Memberikan edukasi berupa


pengobatan dan pencegahan CHF promosi kesehatan tentang
serta tidak teratur minum obat.
penyakit CHF.
74

b) Mengajak dan memastikan


pasien beserta keluarganya
yang terkena penyakit CHF
agar minum obat secara teratur
dan rutin kontrol ulang ke
Puskesmas Tanah Pasir.
c) Memberikan motivasi kepada
pasien dan keluargannya agar
tetap semangat dalam menjalani
pengobatan.
2. Pasien tidak mengerti tentang pola a) Melakukan survey untuk
makan yang benar. mengetahui gaya pola hidup
pasien seperti pemilihan jenis
makanan.
b) Memberikan promosi kesehatan
tentang pola makan yang benar
yaitu makanan yang harus
dihindari dan dibatasi.
c) Memberikan edukasi menu
gizi sehat dan seimbang.
3. Lingkungan rumah pasien tergolong a) Merencanakan dan melakukan
tidak sehat seperti : kegiatan gotong royong dan
a) Di dalam rumah (pakaian menganjurkan agar pasien dan
tergantung dan menumpuk, jendela keluarganya rajin
yang tidak dibuka, pencahayaan
membersihkan rumah minimal
yang kurang, peralatan dapur yang
tidak tersusun rapi, dan 2x sehari.
menggunakan jamban cemplung). b) Menganjurkan untuk selalu
b) Di luar rumah (Tidak ada saluran membuka jendela pada saat
pembuangan limbah dan daerah pagi hari agar sirkulasi udara
rumah pasien yang sekitarnya
bertukar dan cahaya dapat
banyak terdapat kebun.
75

masuk ke dalam rumah,


menghindari mengantung dan
menumpuk pakaian, merapikan
peralatan masak.
c) Menganjurkan untuk membuat
jamban yang memenuhi kriteria
kesehatan dan membuat saluran
pembuangan agar tidak
tergenang air.
4. Rumah kurang sehat a) Menerangkan tentang kriteria
rumah sehat.
76

BAB 4
ANALISA KASUS

4.1 Analisa Kasus

Pada kasus ini diagnosis fungsionalnya yaitu CHF. Hal ini didasarkan

pada kriteria framingham minimal satu kriteria mayor dan 2 kriteria minor:

1. Kriteria mayor:

1. Paroksisimal nocturnal dispneu

2. Distensi vena leher

3. Ronki paru

4. Kardiomegali

5. Edema paru akut

6. Gallop s3

7. Peninggian tekanan vena jugularis

8. Refluks hepatojugular

2. Kriteria minor:

9. Edema ekstremitas

10. Batuk malam hari

11. Dispnea deffort

12. Hepatomegali

13. Efusi pleura

14. Penurunan kapasitas vital

15. Takikardi (> 120 x/menit)


5177

Pada pasien ini didapatkan tiga kriteria mayor. Pertama terdapatnya

paroksismal nokturnal dispneu dari hasil anamnesis. Kedua, dari hasil

pemeriksaan fisik perkusi jantung, didapatkan adanya pembesaran jantung. Batas

atas ICS II, batas kanan linea parasternalis dextra, batas kiri linea axilaris anterior

sinistra ICSVI. Hal yang sama juga didapatkan dari hasil rontgen yang

menyatakan bahwa pada pasien terdapat kardiomegali dengan CTR > 0,5 serta

didapatkan adanya ronkhi di basal paru sebelah kanan.

Sedangkan untuk kriteria minor didapatkan tiga kriteria minor. Pertama

batuk malam hari. Kedua terdapatnya dispnea deffort yang didapatkan dari hasil

anamnesis pasien mengeluh sesak saat berjalan dari kamar ke kamar mandi

( 7 m) dan terdapat edema ekstremitas pada kedua tungkai. Selain itu, os masih

dapat melakukan pekerjaan sehari hari tetapi terbatas (berjalan ke kamar mandi,

ke dapur), dan keluhan tidak muncul pada saat istirahat. Oleh karena itu pada

pasien ini kami simpulkan diagnosis fungsionalnya adalah CHF NYHA III.

Pada kasus ini pasien diberikan terapi farmakologi Amlodipine 1 x 5 mg,

Valsartan 1 x 80 mg untuk menurunkan tekanan darah dengan tekanan darah

target 150/90 dan mengurangi beban jantung, Furosemide 1 x 40 mg untuk

mengurangi edema ekstremitas pada ke dua tungkai, simvastatin 1 x 20 mg pada

malam hari untuk menurunkan kolesterol, Domperidone 2 x 10 mg untuk

mencegah mual dan muntah, Farsorbid 1 x 5 mg untuk vasokontriksi pembuluh

darah sehingga mengatasi nyeri dada.


78

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil studi kasus tentang Congestive Heart Failure (CHF) di

Puskesmas Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara Agustus 2016 didapatkan bahwa :

1. Masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit CHF dan

komplikasi yang akan ditimbulkan.

2. Masih rendahnya pengetahuan yang dapat menyebabkan timbulnya CHF.

3. Masih sedikitnya perhatian dan kesadaran masyarakat akan pencegahan

penyakit CHF dilingkungannya.

4. Masih rendahnya pengetahuan bagi penderita pasien CHF tentang tanda-

tanda timbulnya gejala penyakit sehingga mengakibatkan keterlambatan

melakukan kunjungan unntuk mendapatkan pengobatan

5.2 Saran

1. Bagi puskesmas Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara agar mampu

memberikan informasi mengenai CHF dan faktor risiko terutama kepada

pasien yang datang berobat ke poli umum baik melalui konseling maupun

media seperti poster.

2. Bagi puskesmas Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara agar mampu

melakukan jenis pemeriksaan fisik sederhana berupa pengukuran tekanan

darah dan laboratorium sederhana kepada pasien yang datang dengan

faktor risiko seperti usia, jenis kelamin, merokok agar dapat


79

mempermudah mengenali dan memberikan konseling dan promosi

kesehatan.

3. Bagi pasien agar dapat rutin melakukan kunjungan ke pelayanan kesehatan

tingkat pertama dalam hal ini puskesmas untuk mengevaluasi penyakit

yang diderita agar dapat mencegah kekambuhan dan mencegah

progresivitas dari CHF tersebut.

4. Bagi masyarakat agar mendapat informasi mengenai penyakit CHF dan

mengenal berbagai faktor risiko serta komplikasi yang ditimbulkan

5. Bagi penulis agar melakukan studi kasus penyakit CHF lebih spesifik dan

melakukan pemeriksaan penunjang yang lebih lengkap mengenai kondisi

pasien dengan kasus CHF demi mengenali faktor risiko lainnya sehingga

komplikasi penyakitt dapat dicegah.

Anda mungkin juga menyukai