Refer at
Refer at
Disusun Oleh:
1
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis ingin memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penulisan referat
ini, dengan judul Demam berdarah dengue. Referat ini dibuat dalam rangka melaksanakan
tugas kepanitraan klinik Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Panti Wilasa dr. Cipto daerah
Semarang Periode 23 mei 30 juli 2016 dan betujuan juga untuk menambah wawasan penulis
serta pembaca mengenai demam berdarah dengue.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang tulus
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan petunjuk demi terwujudnya
penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini belumlah sempurna, untuk itu kritik dan saran sangat
penulis harapkan dari para pembaca demi perbaikan penulisan referat ini sehingga dapat
memberi manfaat yang maksimal. Penulis menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya
apabila masih banyak terdapat kesalahan maupun kekurangan dalam pembuatan referat ini.
Akhir kata, semoga segala apa yang dibahas dalam referat ini dapat membawa informasi
yang baik dan semoga referat ini berguna bagi semua pihak.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................2
DAFTAR ISI................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang...................................................................................................................4
Rumusan masalah .5
Tujuan Penulisan ..5
BAB II PEMBAHASAN
Definisi.............................................................................................................................6
Epidemiologi....................................................................................................................9
Etiologi............................................................................................................................13
Patofisiologi 14
Manifestasi Klinis............................................................................................................15
Pemeriksaan Penunjang...................................................................................................20
Diagnosis banding ...23
Komplikasi.......................................................................................................................24
Penatalaksanaan...............................................................................................................26
Pencegahan ..32
Prognosis ..32
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................34
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Musim hujan tiba maka perlu diwaspadai adanya genangan genangan air yang terjadi
pada selokan yang buntu, gorong gorong yang tidak lancar serta adanya banjir yang
berkepanjangan, perlu diwaspadai adanya tempat reproduksi atau berkembangbiaknya nyamuk
pada genangan genangan tersebut sehingga dapat mengakibatkan musim nyamuk telah tiba
pula, itulah kata-kata yang melakat pada saat ini. saatnya kita melakukan antisipasi adanya
musim nyamuk dengan cara pengendalian nyamuk dengan pendekatan perlakukan sanitasi
lingkungan atau non kimiawi yang tepat sangat diutamakan sebelum dilakukannya pengendalian
secara kimiawi. Selama ini semua manusia pasti mengatahui dan mengenal serangga yang
disebut nyamuk. Antara nyamuk dan manusia bisa dikatakan hidup berdampingan bahkan nyaris
tanpa batas. Namun, berdampingannya manusia dengan nyamuk bukan dalam makna positif.
Tetapi nyamuk dianggap mengganggu kehidupan umat manusia. Meski jumlah nyamuk yang
dibunuh manusia jauh lebih banyak daripada jumlah manusia yang meninggal karena nyamuk.
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah demam dengue yang disertai pembesaran hati
dan manifestasi perdarahan. Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah dan
pasien jatuh syok hipovolemik akibat kebocoran plasma. DBD merupakan suatu penyakit yang
disebabkan oleh virus dengue yang penularannya dari satu penderita ke penderita lain disebarkan
oleh nyamuk Aedes aegypti. Oleh karena itu langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah
penyebaran DBD adalah dengan memotong siklus penyebarannya dengan memberantas nyamuk
4
tersebut. Salah satu cara untuk memberantas nyamuk Aedes aegypti adalah dengan melakukan
Fogging. Selain itu juga dapat dilakukan pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan abatisasi
untuk memberantas jentik nyamuk.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun beberapa masalah yang akan di rumuskan dalam memecahkan masalah demam berdarah
antara lain :
Bagaimana defenisi, ruang lingkup penyakit demam berdarah dengue dan apa
penyebabnya?
Bagaimana aspek epidemiologi dari penyakit demam berdarah dengue ?
Bagaimana cara penularan penyakit demam berdarah dan siklus hidup vektor penular
penyakit DBD?
Seperti apa patogenitas DBD terhadap manusia? Gejala klinis ?
Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan penyakit demam berdarah dengue ?
C. TUJUAN PENULISAN
5
BAB II
PEMBAHASAN
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Bangsa : Diptera
Suku : Culicidae
Marga : Aedes
6
Jenis : Aedes aegypti L.
Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab
penyakit demam berdarah. Penyebaran jenis ini sangat luas, meliputi hampir semua daerah tropis
di seluruh dunia. Sebagai pembawa virus dengue, A. aegypti merupakan pembawa utama
(primary vector) dan bersama Aedes albopictus menciptakan siklus persebaran dengue di desa
dan kota. Terjadinya penularan virus Dengue tidak dapat dilepaskan dari keberadaan vektornya,
karena tanpa adanya vektor tidak akan terjadi penularan. Bila nyamuk Aedes menghisap darah
manusia yang sedang mengalami viremia, maka nyamuk tersebut terinfeksi oleh virus Dengue
dan sekali menjadi nyamuk yang infektif maka akan infektif selamanya.2
2. Ciri morfologi
Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki ukuran sedang dengan tubuh berwarna hitam
kecoklatan. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan gari-garis putih keperakan. Di bagian
punggung (dorsal) tubuhnya tampak dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan
yang menjadi ciri dari spesies ini. Nyamuk jantan dan betina tidak memiliki perbedaan dalam hal
ukuran nyamuk jantan yang umumnya lebih kecil dari betina dan terdapatnya rambut-rambut
tebal pada antena nyamuk jantan. Kedua ciri ini dapat diamati dengan mata telanjang.2
Untuk genus Aedes ciri khasnya bentuk abdomen nyamuk betina yang lancip ujungnya
dan memiliki cerci yang lebih panjang dari cerci nyamuk lainnya. Nyamuk dewasa mempunyai
ciri pada tubuhnya yang berwarna hitam mempunyai bercak-bercak putih keperakan atau putih
kekuningan, dibagian dorsal dari thorak terdapat bercak yang khas berupa 2 garis sejajar di
bagian tengah dan 2 garis lengkung di tepinya. Aedes albopictus tidak mempunyai garis
melengkung pada thoraknya. Larva Aedes mempunyai bentuk siphon yang tidak langsing dan
hanya memiliki satu pasang hair tuft serta pecten yang tumbuh tidak sempurna dan posisi larva
Aedes pada air biasanya membentuk sudut pada permukaan atas.2
Nyamuk betina meletakkan telurnya di atas permukaan air dalam keadaan menempel
pada dinding tempat perindukannya. Telur Aedes aegypti mempunyai dinding yang bergaris-
garis dan membentuk bangunan menyerupai gambaran kain kasa. Seekor nyamuk betina dapat
meletakkan rata-rata sebanyak 100 butir telur tiap kali bertelur. Pertumbuhan dari telur sampai
menjadi dewasa memerlukan waktu kira-kira 9 hari.2
7
C. Perilaku dan siklus hidup Aedes aegypti
Aedes aegypti bersifat diurnal atau aktif pada pagi hingga siang hari. Penularan penyakit
dilakukan oleh nyamuk betina karena hanya nyamuk betina yang mengisap darah. Hal itu
dilakukannya untuk memperoleh asupan protein yang diperlukannya untuk memproduksi telur.
Nyamuk jantan tidak membutuhkan darah, dan memperoleh energi dari nektar bunga ataupun
tumbuhan. Nyamuk dewasa betina mengisap darah manusia pada siang hari yang dilakukan baik
di dalam rumah ataupun luar rumah. Pengisapan darah dilakukan dari pagi sampai petang dengan
dua puncak yaitu setelah matahari terbit (08.00-10.00) dan sebelum matahari terbenam (15.00-
17.00).3
Nyamuk A. aegypti, seperti halnya culicines lain, meletakkan telur pada permukaan air
bersih secara individual. Telur berbentuk elips berwarna hitam dan terpisah satu dengan yang
lain. Telur menetas dalam 1 sampai 2 hari menjadi larva. Terdapat empat tahapan dalam
perkembangan larva yang disebut instar. Perkembangan dari instar 1 ke instar 4 memerlukan
waktu sekitar 5 hari. Setelah mencapai instar ke-4, larva berubah menjadi pupa di mana larva
memasuki masa dorman. Pupa bertahan selama 2 hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar
dari pupa. Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu 7 hingga 8 hari,
namun dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak mendukung.3
C. EPIDEMIOLOGI
Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari
seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap
tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health
Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di
Asia Tenggara. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya
semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Di
Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana
sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK)
: 41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia.4
8
Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae.
DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi virus Dengue. Virus
Dengue penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock
Syndrome (DSS) termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis) yang sekarang
dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-
1, Den-2, Den-3, Den-4.4
Persebaran Kasus
9
Angka Insiden (AI) /Incidence Rate (IR)
Dari Gambar 1 tampak siklus epidemik terjadi setiap sembilan-sepuluh tahunan, hal ini
terjadi kemungkinan karena adanya perubahan iklim yang berpengaruh terhadap kehidupan
vektor, di luar faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Menurut Mc Michael (2006),
perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu, kelembaban, arah udara sehingga
berefek terhadap ekosistem daratan dan lautan serta berpengaruh terhadap kesehatan terutama
terhadap perkembangbiakan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes, malaria dan lainnya.
Berdasarkan situasi di atas, terjadi tren yang terus meningkat dari tahun 1968 sampai tahun 2009.
Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kasus termasuk
lemahnya upaya program pengendalian DBD, sehingga upaya program pengendalian DBD perlu
lebih mendapat perhatian terutama pada tingkat kabupaten/kota dan Puskesmas.4
Gambar 1. Angka Insiden DBD per 100.000 Penduduk di Indonesia Tahun 1968 2009
10
Gambar 2. Angka Insiden DBD per 100.000 Penduduk di Indonesia Tahun 2009
Pada tahun 2009 tampak provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan AI DBD
tertinggi (313 kasus per 100.000 penduduk), sedangkan Nusa Tenggara Timur merupakan
provinsi dengan AI DBD terendah (8 kasus per 100.000 penduduk). Terdapat 11 (33%) provinsi
termasuk dalam daerah risiko tinggi (AI > 55 kasus per 100.000 penduduk). Dalam lima tahun
terakhir (2005-2009) 5 provinsi dengan AI tertinggi .Provinsi DKI dan Kalimantan Timur selalu
berada dalam 5 provinsi AI tertinggi dengan DKI Jakarta selalu menduduki AI yang paling tinggi
setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena pengaruh kepadatan penduduk, mobilitas penduduk yang
tinggi dan sarana transportasi yang lebih baik dibanding daerah lain, sehingga penyebaran virus
menjadi lebih mudah dan lebih luas.5
Gambar 3. Lima provinsi tertinggi Angka Insiden DBD per 100.000 Penduduk di
Indonesia Tahun 2005-2009
11
Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009
Gambar 4. Angka insiden DBD per 100.000 penduduk menurut provinsi di Indonesia
tahun 2005-2009.
Berdasarkan AI suatu daerah dapat dikategorikan termasuk dalam risiko tinggi, sedang
dan rendah yaitu risiko tinggi bila AI > 55 per 100.000 penduduk, risiko sedang bila AI 20-55
per 100.000 penduduk dan risiko rendah bila AI <20 per 100.000 penduduk. Dari Gambar 4 di
atas terlihat dari tahun 2005 hingga 2009, jumlah provinsi yang berisiko tinggi (high risk)
meningkat dan terjadi perubahan. Misalnya pada tahun 2007 seluruh provinsi di pulau Jawa dan
Bali masuk sebagai daerah risiko tinggi dimana pada tahun ini terjadi epidemik (Gambar 1).
Tetapi pada tahun 2009 terjadi perubahan dimana provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur
dan Kalimantan Tengah masuk dalam resiko tinggi.5
D. ETIOLOGI
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus dengue
yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai
genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu ; DEN-1, DEN2,
DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang
bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga
tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang
yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya.
Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia,
pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit
12
menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe
DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan
manifestasi klinik yang berat.5
E. PATOFISIOLOGI
Virus akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypty. Pertama-
tama yang terjadi adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit
kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit
(petekie), hyperemia tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar
getah bening, pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran limpa (Splenomegali).
Kemudian virus akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah kompleks virus-antibody.
Dalam sirkulasi akan mengaktivasi system komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas
C3a dan C5a, dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator
kuat sebagai factor meningkatnya permeabilitas dinding kapiler pembuluh darah yang
mengakibatkan terjadinya perembesan plasma ke ruang ekstra seluler.6
Perembesan plasma ke ruang ekstra seluler mengakibatkan berkurangnya volume
plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok).
Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukkan atau menggambarkan adanya
kebocoran (perembesan) plasma sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan
pemberian cairan intravena.6
Terjadinya trombositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor
koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan faktor penyebab terjadinya perdarahan hebat ,
terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF. Adanya kebocoran plasma ke daerah
ekstra vaskuler dibuktikan dengan ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa
yaitu rongga peritoneum, pleura, dan pericard yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang
diberikan melalui infus.6
Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan
kebocoran plasma telah teratasi, sehingga pemberian cairan intravena harus dikurangi kecepatan
dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung, sebaliknya jika tidak
mendapatkan cairan yang cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat
mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan. Jika renjatan atau
13
hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian
apabila tidak segera diatasi dengan baik. Gangguan hemostasis pada DHF menyangkut 3 faktor
yaitu : perubahan vaskuler, trombositopenia dan gangguan koagulasi.6
Pada otopsi penderita DHF, ditemukan tanda-tanda perdarahan hampir di seluruh
tubuh, seperti di kulit, paru, saluran pencernaan dan jaringan adrenal.6
F. MANIFESTASI KLINIS
Menurut WHO, infeksi dengue dapat terjadi asimtomatik dan simtomatik. Infeksi dengue
simtomatik terbagi menjadi undifferentiated febrile illness ( sindrom virus ) dan DD sebagai
infeksi dengue ringan; sedangkan infeksi dengue berat terdiri dari DBD dan expanded dengue
syndrome. Perembesan plasma sebagai akibat plasma leakage merupakan tanda patognomonik
DBD, sedangkan kelainan organ lain serta manifestai yang tidak lazim dikelompokkan ke dalam
expanded dengue syndrome. Secara klinis, DD dapat disertai dengan perdarahan atau tidak;
sedangkan DBD dapat disertai syok atau tidak.7
14
Gambar 6. Manifestasi klinis infeksi virus dengue
Gambaran Klinis
Pada undifferentiated fever, demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dengan
penyebab virus lain. Demam disertai kemerahan berupa makulopapular, timbul saat demam reda.
Gejala dari saluran pernapasan dan saluran cerna sering dijumpai.7
Diagnosis Klinik : 7
demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus menerus, bifasik.
Manifestasi perdarahan baik spontan seperti petekie, purpura, ekimosis, epistaksis
perdarahan gusi, hematemesis, atau melena, maupun berupa uji tourniquet positif.
15
Nyeri kepala, mialgia, artralgia, dan nyeri retroorbital.
Dijumpai kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah, atau sekitar rumah.
Leucopenia < 4.000/mm3
Trombositopenia < 100.000/mm3
Tanda dan gejala DBD pada fase awal sangat menyerupai DD, tanda dan gejala yang
karakteristik berupa kebocoran plasma baru timbul beberapa hari kemudian.
demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus menerus, bifasik.
Manifestasi perdarahan baik spontan seperti petekie, purpura, ekimosis, epistaksis
perdarahan gusi, hematemesis, atau melena, maupun berupa uji tourniquet positif.
Nyeri kepala, mialgia, artralgia, dan nyeri retroorbital.
Dijumpai kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah, atau sekitar rumah.
Hepatomegali
Terdapat kebocoran plasma yang ditandai dengan salah satu tanda/gejala ;
- Peningkatan nilai hematokrit > 20% dari pemeriksaan awal atau dari data
populasi menurut umur.
- Ditemukan adanya efusi pleura, ascites.
- Hipoalbuminemia, hipoproteinemia.
Trombositopenia < 100.000/mm3
Diagnosis DBD = demam + > 2 manifestasi klinis + bukti perembesan plasma dan
trombositopenia.7
Manisestasi klinik berupa keterlibatan organ seperti hati, ginjal, otak maupun
jantung yang berhubungan dengan infeksi dengue dengan atau tidak ditemukannya tanda
kebocoran plasma. Memenuhi criteria DD atau DBD baik disertai syok maupun tidak dengan
manifestasi klinis komplikasi infeksi virus dengue atau dengan manifestasi klinis yang tidak
16
biasa, seperti tanda dan gejala : kelebihan cairan, gangguan eletrolit, ensefalopati, ensefalitis,
perdarahan hebat, gagal ginjal akut, Hamolytic Uremic Syndrome ( HUS ), gangguan jantung,
infeksi ganda.7
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat ( pada setiap derajat sudah ditemukan
trombositopenia dan hemokonsentrasi).6
Kriteria Gejala
Klinis Demam turun tetapi keadaan anak mmburuk
Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen
Muntah yang menetap
Letargi, gelisah
Perdarahan mukosa
Pembesaran hati
17
Akumulasi cairan
Oligouria
Laboratorium Peningkatan kadar hematokrit bersamaan
dengan penurunan cepat jumlah trombosit
Hematokrit awal tinggi
18
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue
adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan
darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif deisertai gambaran limfosit plasma biru.
Antigen NS1 dapat terdeteksi pada hari ke 1 setelah demam dan akan menurun sehingga tidak
terdeteksi setelah sakit hari ke 5-6. Diagnosis antigen virus ini dapat digunakan untuk diagnosis
awal menentukan adanya infeksi dengue, namun tidak dapat membedakan penyakit DD/DBD.8
Trombosit: umumnya terdapat trombositpenia pada hari ke 3-8 akibat depresi sumsum
tulang.
Hematokrit: kebocoran plasma yang dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit 20% dari hematokrit awal. Sering ditemukan mulai hari ke-3. Normal pria :
40-48%, pada wanita: 37-43%.
Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
Imunoserologi dilakukan pemeriksaan anti dengue IgG dan IgM.
- Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer, dapat terdeteksi pada hari ke 14 sakit,
dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan pada infeksi sekunder
IgG mulai terdeteksi pada hari ke-2 sakit.
- Antibodi IgM anti dengue akan terdeteksi mulai hari ke 3-5 sakit, dan mencapai
puncaknya pada hari ke 10-14 sakit, dan akan menurun/menghilang pada akhir
minggu ke 4 sakit.
19
- Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari infeksi sekunder.
Apabila rasio IgM:IgG > 1,2 menunjukkan infeksi primer namun apabila IgM:IgG
rasio < 1,2 menunjukkan infeksi sekunder.3
Widal adalah identifikasi antibodi tubuh terhadap penyakit tifus. Kejadian seperti inilah
yang menimbulkan keracunan diagnosis DBD. Padahal pada penyakit demam tiphoid
pada minggu awal panas biasanya malah tidak terdeteksi peningkatan titer Widal
tersebut. Bila hasil pemeriksaan widal meningkat tinggi pada awal minggu pertama, tidak
harus dicurigai sebagai penyakit tifus. Sebaiknya pemeriksaan Widal dilakukan saat
panas pada akhir minggu pertama atau awal minggu ke dua.8
2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto rontgen dada, biasa didapatkan efusi pleura terutama pada hemitoraks
kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi dapat dijumpai pada kedua
hemitoraks. Pemeriksaan foto dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (RLD).
Pemeriksaan foto dada dilakukan atas indikasi dalam keadaan klinis ragu-ragu dan pemantauan
klinis sebagai pedoman pemberian cairan. USG untuk mendeteksi adanya asites dan juga
efusi pleura. 8
20
Gambar 8. Pemeriksaan Radiologi pada kasus infeksi dengue
3. Tes Tourniquet
Tes ini cara awal paling sederhana bila suatu demam dicurigai sebagai infeksi dengue.
Dikenal sebagai cara Tes Rumpel Leed. Meskipun uji tourniquet positif dapat juga ditemukan
pada berbagai macam penyakit, namun uji itu sebagai manifestasi perdarahan teringan dan dapat
dinilai sebagai presumptive test (test skrining) karena pada dijumpai pada sebagian besar
penderita DBD hari-hari pertama demam. Dengan melakukan tes RL maka dengan demikian
kasus cepat diketahui dan masyarakat dalam keadaan siap siaga menghadapi ancaman DBD.8
21
Gambar 9. Tes torniquet
H. DIAGNOSIS BANDING
Demam Tifoid
Masa inkubasi Salmonella typhi antara 3-21 hari, tergantung dari status kesehatan dan
kekebalan tubuh penderita. Pada fase awal penyakit, penderita demam tifoid selalu menderita
demam dan banyak yang melaporkan bahwa demam terasa lebih tinggi saat sore atau malam hari
dibandingkan pagi harinya. Ada juga yang menyebut karakteristik demam pada penyakit ini
dengan istilah step ladder temperature chart, yang ditandai dengan demam yang naik bertahap
tiap hari, mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama kemudian bertahan tinggi, dan
selanjutnya akan turun perlahan pada minggu keempat bila tidak terdapat fokus infeksi.8
Gejala lain yang dapat menyertai demam tifoid adalah malaise, pusing, batuk, nyeri
tenggorokan, nyeri perut, konstipasi, diare, myalgia, hingga delirium dan penurunan kesadaran.
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan adanya lidah kotor (tampak putih di bagian tengah dan
kemerahan di tepi dan ujung), hepatomegali, splenomegali, distensi abdominal, tenderness,
bradikardia relatif, hingga ruam makulopapular berwarna merah muda, berdiameter 2-3 mm
yang disebut dengan rose spot.7,8
I. KOMPLIKASI
Perdarahan
22
Jika ditemukan sumber perdarahan , sebisa mungkin dihentikan perdarahannya.
Pada DHF bisa terjadi perdarah seperti epistaksis, gusi berdarah, perdarahan saluran
cerna. Jika terjadi epistaksis berat, segera transfuse darah untuk life saving dan jangan
menunggu penurunan hematokrit. transfusi dengan 10 ml/kg PRC.7,8
Asidosis metabolic
Kontrol keseimbangan asam basa ditentukan oleh ginjal. Paru , dan sistem buffer.
Pada DSS bisa terjadi asidosis metabolic karena mengalami syok , sehingga mengalami
hipoksia jaringan,metabolime anaerob dengan menghasilkan asam laktat. Manifestasi
klinis pada asidosis metabolic tergantung derajat academia. Pada serum pH < 7,2 , bisa
terjadi gangguan kontraksi jantung dan meningkatnya risiko aritmia, dengan adanya
academia,terjadi penurunan respon jantung terhadap katekolamin, potensi terjadi
serangan hipotensi pada anak dengan kekurangan volume cairan atau syok. Academia
juga menyebabkan vasokonstriksi pada vascular pulmonal.9
23
Akan terjadi kompensasi dengan hiperventilasi ( pernapasan kussmau ), academia
menyebakan kalium bergerak dari intraselular ke extraselular . academia yang berat bisa
terjadi gangguan metabolism otak sehingga terjadi letargi dan coma.9
Edema paru
Edema paru adalah kumpulan cairan yang berelebihan pada interstitial dan jalan
napas sehinggaterjadi oksigen desaturasi, pemnurunan paru compliance, respiratori
distress.Pasien akan tampak sesak dengan melihat terdapatnya takipnea, suara npas paru
terdengar ronki basah dan wheezing. Pada cardiogenic pulmonary edema akan terdengar
suara gallop dan JVP meingkat.9
24
J. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
Suportif
- Kunci keberhasilan terletak pada kemampuan untuk mengatasi masa peralihan dari
fase dmam ke fase syok dengan baik
- Cairan intravena diperlukan apabila, (I) anak terus-menerus muntah tidak mau
minum, demam tinggi, dehidrasi yang dapat mempercepat terjadinya syok, (2) nilai
hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala
Pada dasarnya bersifat suportif yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat
peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DF dapat berobat jalan
sedangkan pasien DHF dirawat diruang perawatan biasa, tetapi pada kasus DHF dengan
komplikasi diperlukan perawatn intensif. Fase kritis umumnya terjadi pada hari sakit ketiga.10
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul akibat demam tinggi, anoreksia dan
muntah. Pasien perlu diberi banyak minum, 50 ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama berupa air teh
dengan gula, sirup, susu, sari buah atau oralit. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi, beri cairan
rumatan 80-100ml/kgBB dalam 24 jam berikutnya. Hiperpireksia diatasi dengan antipiretik dan
bila perlu surface cooling dengan kompres es. Parasetamol direkomendasikan untuk mengatasi
demam dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali.10
25
Pemberian cairan intravena pada pasien DHF tanpa renjatan dilakukan bila pasien terus-
menerus muntah sehingga tidak mungkin diberi makanan peroral atau didapatkan nilai
hematokrit yang bertendensi terus meningkat (> 40 vol%). Jumlah cairan yang diberikan
tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% dalam
1/3 larutan NaCl 0,9%. Bila terdapat asidosis, 1/4 dari jumlah larutan total dikeluarkan dan
diganti dengan larutan yang berisi 0,167 mol/liter natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi larutan
NaCl 0.9% + glukosa ditambah 1/4 natrium bikarbonat).10
26
berikutnya. Bila terjadi kejang demam, diberikan antikonvulsif selain diberi antipiretik.
Kemudian dilakukan pemeriksaan hematokrit berkala untuk monitor hasil pengobatan sebagai
gambaran derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena.10
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat badan
pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang terjadi. Pada
anak yang gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal anak umur yang
sama.10
Indikasi diberikan cairan intravena apabila (1) anak terus menerus muntah, tidak mau
minum, demam tinggi (2) nilai hematokrit meningkat pada pemeriksaan berkala. Pemberian
cairan pengganti volume yang berlebihan setelah perembesan berhenti dapat mengakibatkan
edema paru begitu juga pada masa konvalesens dimana terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular
akan menyebabkan edema paru dan distress pernafasan apabila cairan tetap diberikan.10
Pada pasien DBD derajat I dan II tanpa peningkatan hematokrit dilakukan intervensi
sesuai dengan bagan 2. Perhatikan tanda syok, raba hati setiap hari untuk mengetahui
pembesarannya oleh karena pembesaran hati yang disertai nyeri tekan berhubungan dengan
perdarahan saluran cerna. Apabila sudah didapati perbaikan klinis dan laboratorium, anak dapat
pulang jika memenuhi kriteria.10
27
Bagan 2. Tatalaksana kasus DBD derajat 1 dan 2.10
Pemberian cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, sekitar 40%.
Jumlah urin 12ml/kgBB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaan sirkulasi membaik.
Sedatif dapat diberikan untuk menenangkan pasien tapi keadaan gelisah akan hilang dengan
sendiri nya apabila pemberian cairan sudah adekuat dan perfusi jaringan membaik.10
28
Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD derajat 2 dengan peningkatan hemokonsentrasi >/20%. 10
Pada pasien syok, pemberian oksigen 2 liter per menit harus dilakukan dengan
menggunakan masker. Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan
yang nyata. Penurunan hematokrit (dari 50% ke 40%) tanpa perbaikan klinis walau diberikan
cairan menunjukkan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah dilakukan untuk menaikkan
konsentrasi sel darah merah sedangkan plasma segar dan atau suspensi trombosit untuk pasien
dengan DIC. DIC biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif. DIC
dipicu oleh hiponatremia dan asidosis metabolik sehingga pada keadaan syok berat sebaiknya
dilakukan perbaikan pada asidosis sebelum berkembang menjadi DIC.10
29
Bagan 4. Tatalaksana kasus DBD derajat 3 dan 4.10
30
Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada umumnya jumlah trombosit akan meningkat ke
nilai normal dalam 3-5 hari.
L. Pencegahan
M. Prognosis
Prognosis pada DBD umumnya baik bila ditangani dengan cepat dan tepat buruknya
prognosis dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu keterlambatan datang berobat, keterlambatan/
kesalahan diagnosis, kurang mengenal tanda DBD yang tidak lazim, kurang mengenal tanda
kegawatan yang dapat menyebabkan komplikasi yang lebih berat bahkan kematian.10
31
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vektor nyamuk (mosquito
borne disease) yang paling penting di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis.
Penyakit ini mempunyai spektrum klinis dari asimptomatis, undifferentiated febrile illness,
demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD), mencakup manifestasi paling berat
yaitu sindrom syok dengue (dengue shock syndrome/DSS). Virus dengue penyebab DBD dalam
kelompok B Arthropod Virus ( Arbovirus ) yang sekarang dikenal sebagai genus flavivirus,
family Flaviviride dan mempunyai 4 jenis serotype yaitu Den 1, Den 2, den 3, Den 4.
Pada tahun 2009 tampak provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan AI DBD
tertinggi (313 kasus per 100.000 penduduk), sedangkan Nusa Tenggara Timur merupakan
provinsi dengan AI DBD terendah (8 kasus per 100.000 penduduk). Terdapat 11 (33%) provinsi
termasuk dalam daerah risiko tinggi (AI > 55 kasus per 100.000 penduduk). Dalam lima tahun
terakhir (2005-2009) 5 provinsi dengan AI tertinggi .Provinsi DKI dan Kalimantan Timur selalu
berada dalam 5 provinsi AI tertinggi dengan DKI Jakarta selalu menduduki AI yang paling tinggi
setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena pengaruh kepadatan penduduk, mobilitas penduduk yang
tinggi dan sarana transportasi yang lebih baik dibanding daerah lain, sehingga penyebaran virus
menjadi lebih mudah dan lebih luas.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia (2008). Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua,
Jakarta.2008.h. 155-160.
2. Direktorat Jenderal P2PL Depkes RI. Informasi Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan.Jakarta. 2009.h.35-43.
3. Guidelines For Diagnosis, Tretment, Prevention, and Control.Jakarta. 2009.h.25-106.
4. Sudjana P. Buletin Jendela Epidemiologi demam berdarah dengue. Vol 2. Jakarta : Pusat
data dan surveilans Epidemiologi kementrian kesehatan RI.Jakarta.2010.h.155-81.
5. Comprehensive guideline for prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic
fever. India: WHO SEARO technical publication series no.60.Jakarta.2011.h.162-6.
6. Guidelines for clinical management of dengue fever, dengue hemoragic fever, dengue
shock syndrome. India: DIRECTORATE OF National Vector Borne isease Control
Programme. Jakarta.2008.h.17-56.
7. Juffrie M, Soenarto SS, Oswari H, Arief S. Buku Ajar Gastroenterologi Hepatologi, ed 1,
Badan Penerbitan IDAI , Jakarta .2010.h.32-40.
8. Carlo WA, Ambalavanan N. Nelson textbook of pediatrics. 19th edition international
edition. USA: Elsevier saunders; 2011.h. 581-90.
9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis Edisi Pertama, Jakarta. 2010.h.
184-8.
10. H Sri Rezeki, S Soegeng, W Suharyono, S Thomas , Tata Laksana Demam Berdarah
Dengue di Indonesia, ed 3, Badan Penerbitan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta,2006,hal 1-66.
33