Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kucing adalah hewan kesayangan yang digemari dan banyak dipelihara di


berbagai negara maju. Kucing telah menjadi bagian dari kehidupan manusia
selama ribuan tahun. Memelihara kucing merupakan suatu hobi yang
menyenangkan dan sudah menjadi gaya hidup. Kucing merupakan hewan yang
mempunyai tingkat kesejahteraan yang tinggi, banyak dari pemilik kucing
memperhatikan kucingnya dengan baik dari segi perawatan, penampilan kucing
dan yang terutama makanan.
Sistem pemeliharaan kucing dapat digolongkan dalam beberapa kelompok.
Pertama adalah kucing yang dipelihara oleh pemiliknya secara intensif, dengan
dikandangkan dan diberikan makanan khusus serta perawatan kesehatan secara
teratur. Kedua, kucing yang dipelihara, namun dibiarkan bebas untuk mencari
makan dan minum sendiri. Ketiga, kucing liar yang tidak mempunyai pemilik dan
hidup dengan mencari makan di sembarang tempat (Wikipedia, 2007). Sistem
pemeliharaan yang kurang baik dapat menyebabkan kucing terinfeksi berbagai
macam penyakit parasit, salah satunya adalah toxocariosis.
Toxocariosis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing dari genus
toxocara. Terdapat tiga spesies toxocara yaitu T. vitulorum menyerang sapi, T.
canis menyerang anjing dan T. cati menyerang kucing. Toxocara spp tidak saja
berbahaya bagi hospes, tetapi juga dilaporkan dapat menginfeksi manusia,
sehingga tergolong penyakit zoonosis (Uga et al., 1990).

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam karya tulis ilmiah ini adalah bagaimana cara
mendiagnsa toxocariasis pada kucing persia?
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan karya tulis imiah ini adalah untuk mengetahui bagaimana
cara mendiagnosa toxocariasis pada kucing persia dengan tepat
1.4 Manfaat

Penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan informasi


mengenai cara mendiagnosa toxocariasis pada kucing persia dengan baik dan
benar .
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi
Taksonomi Toxocara cati
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Toxocara
Species : Toxocara cati
Hospes definitive : Kucing
Hospes parentenik : Manusia

Morfologi
Toxocara cati dewasa yang hidup didalam usus halus anjing atau kucing
umurnya dapat mencapai 4 bulan. Cacing jantan mempunyai ekor yang
melengkung sedangkan cacing betina mempunyai ekor runcing. Disekeliling
mulut cacing dewasa terdapat 3 buah bibir yang bebrbentuk khas,sedang didaerah
leher terdapat cervical alae yang lebar.Larva infektif cacing berukuran lebih
kurang 400u x 20u. Telur Toxocara berbentuk oval dengan permukaan yang
bergerigi kecil,berwarna cokelat muda dan berdinding tebal. Telur cacing
berukuran 65ux70u pada (Soedarto,2007).

Epidemiologi

Toxocara cati tersebar secara kosmopolit dan ditemukan juga di Indonesia.

Di jakarta prevalensi pada anjing 38,3% dan pada kucing 26,0%. Prevalensi

toxocariasis pada anjing dan kucing pernah dilaporkan di Jakarta masing-masing

mencapai 38,3 % dan 26,0 %. Infeksi T. Cati tidak terbatas untuk anak kucing,
pada sebuah survei, 23 dari 27 kucing yang terinfeksi pada usia 2 minggu, dan 10

dari 27 kucing terinfeksi saat berumur 3 tahun atau lebih. Singkatnya semua umur

dapat terkena.

Diagnosa

Soulsby (1982) mengungkapkan bahwa pada umumnya diagnosa yang

dilakukan berdasarkan gejala klinis yang ditunjukkan dan ditemukannya telur

pada feses. Diagnosa dengan cara pemeriksaan tinja adalah yang paling sering

dilakukan, dapat juga diikuti pemeriksaan patologi anatomi dan klinik. Diagnosa

kecacingan kadang-kadang tidak selalu didasarkan ditemukannya telur atau larva

cacing didalam pemeriksaan tinja, baik secara visual, natif, metode apung atau

pemeriksaan endapan. Berdasarkan gejala klinis kucing yang terinfeksi sering

dapat digunakan sebagai pegangan dalam penentuan diagnosis antara lain batuk,

pilek, anoreksia, kadang-kadang diare, perut membesar dan menggantung, bahkan

konvulsi merupakan petunjuk kuat dalam menentukan diagnosa. Diagnosa

pascamati penting untuk menegakkan diagnosis. Cacing toxocara yang belum

dewasa dapat ditemukan didalam mukosa usus (Subronto, 2006).

Faktor yang berpengaruh terhadap prevalensi infeksi parasit antara lain

lingkungan dan faktor internal hewan (Hartaningrum, 2003). Kondisi lingkungan

sangat berpengaruh terhadap infeksi parasit kucing. Lingkungan yang tidak bersih

atau kotor memungkinkan tercemar telur infektif toxocara, sehingga kucing liar

yang hidup dan berkembangbiak di tempat yang kotor akan cenderung terinfeksi

cacing lebih tinggi daripada kucing yang dipelihara


Siklus hidup

Toxocara cati mengalami beberapa generasi, yakni stadium telur, larva

stadium pertama (L1), kedua (L2), ketiga (L3), keempat (L4) dan stadium dewasa.

Larva stadium kedua (L2) adalah larva infektif yang merupakan sumber penularan

toxocariasis pada hewan dan manusia. Hospes definitif dari T. cati adalah kucing

jantan, kucing betina dan anak kucing. Menurut Levine (1978), larva stadium

kedua (L2) tidak akan pernah berkembang menjadi larva stadium ketiga (L3)

apabila menginfeksi selain hospes definitif dan hospes transpor (cacing tanah,

kecoa, ayam, anak kambing dan mencit). Kondisi yang demikian disebut larva

dorman, yaitu larva yang tidak mengalami perkembangan dan hanya menetap di

dalam jaringan. Toxocara cati yang telah infektif jika tertelan anak kucing akan

terjadi migrasi larva. Larva yang keluar dari telur tersebut akan migrasi ke trakea,

faring dan sistern pembuluh darah. Kemudian berkembang menjadi dewasa di

dalam perut dan usus kecil. Cacing mulai bertelur dan dikeluarkan dalam feses 4-

5 minggu setelah infeksi. Kucing yang telah dewasa bisa juga terinfeksi olel

cacing ini apabila menelan telur infektif. Larva akan menetas dalam usus dan akan

menyebar ke lapisan mukosa, kemudian akan migrasi secara pasif melalui

pembuluh limfe dan pembuluh darah atau secara aktif menembus jaringan dan

menyebar ke seluruh bagian tubuh. Larva yang menembus dinding usus akan

menyebar melalui pembuluh darah ke setiap jaringan tubuh terutama otak, mata,

hati, paru-paru, dan jantung. Larva bertahan hidup selama beebrapa bulan,

menyebabkan kerusakan jaringan dengan cara berpindah ke dalam jaringan lain

dan menimbulkan peradangan di sekitarnya.


Cara penularan beserta siklus hidup Toxocara cati:

1. Ingesti telur (infeksi langsung)

Setelah kucing memakan telur infektif yang mengandung larva stadium

kedua, telur menetas dan larva stadium ketiga memasuki dinding usus halus.

Larva bermigrasi melalui sistema sirkulasi dan dapat menuju ke sistem respirasi

atau organ dan jaringan lain dalam tubuh. Jika memasuki jaringan tubuh, mereka

dapat mengkista (dilapisi dinding dan inaktif). Larva tersebut dapat tetap

mengkista dalam jaringan berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Ini adalah pola

migrasi yang lebih umum terlihat pada kucing dewasa. Pada kucing yang sangat

muda, larva bergerak dari sirkulasi ke sistema respirasi, dibatukkan dan memasuki

saluran digesti lagi. Larva kemudian menjadi cacing dewasa. Cacing betina

dewasa bertelur, telur dikeluarkan lewat feses. Telur tetap ada di lingkungan

dalam waktu 10 14 hari sampai menjadi infektif.

2. Ingesti hospes paratenik

Jika kucing menelan hospes paratenik seperti tikus, cacing tanah atau

kumbang yang memiliki larva yang mengkista, migrasi mirip dengan ingesti telur

berlarva. Larva dilepaskan dari hospes paratenik saat termakan dan dicerna. Larva

memasuki sirkulasi, mengadakan migrasi ke organ, misalnya sistem respirasi.

3. Larva melalui air susu

Selama periode perinatal, larva dormant (stadium 1) yang ada di tubuh

induk dapat mulai bermigrasi ke glandula mammae, berubah menjadi larva


stadium lalu ke dalam air susu. Anak kucing dapat terinfeksi melalui air susu.

Larva yang tertelan menjadi larva stadium ketiga dan keempat, dan

selanjutnya menjadi dewasa dalam usus anak kucing. Jika larva dikeluarkan

melalui feses anak kucing sebelum larva tersebut dewasa, larva tersebut dapat

menginfeksi induk saat menjilati anaknya. Sekitar 4 minggu setelah kucing

memakan telur infektif, cacing telah dewasa dalam usus, dan telur dikeluarkan

lagi.

Gambar 1. Siklus hidup toxsocara cati


BAB III

PELAKSANAAN KEGIATAN

3.1. Tempat Dan Waktu Kegiatan

Kegiatan ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedktran


Hewan Universitas Syiah Kuala pada tanggal

3.2. Alat dan Bahan Kegiatan

Alat yang digunakan adalah object glass, cover glass, kamar hitung Mc
master, pipet tetes, pipet tetes, tabung sentrifus, rak tabung, timbangan digital dan
mikroskop. Bahan yang digunakan adalah feses kucing, Nacl jenuh, gula sheather
dan aquadest.

3.3. Metode Kegiatan

Kegiatan ini diawali dengan pemeriksaan fisik kucing kemudian dilakukan


pengambian sampel berupa feses untuk diuji di laboratorium.

3.3.1. Pengambilan Sampel

Feses kucing diambil segera setelah kucing defekasi. Feses diletakan pada
cawan petri dan diberi label. Selanjutnya sampel dibawah ke Laboratorium
Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah untuk dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut.

3.3.2. Pemeriksaan Sampel

Metode pememeriksaan sampel yang digunakan dalam kegiatan ini adalah,


antara lain :

a. Uji Natif
Aquades diteteskan di atas objek glass sebanyak dua tetes. Sampel feses
diambil menggunakan ose dan oleskan di atas objek glass yang telah ditetesi 15
akuades. Sampel dan akuades dihomogenkan menggunakan tusuk gigi. Setelah
feses dan akuades homogen, campuran homogen tersebut ditutup dengan kaca
penutup. Preparat diperiksa di bawah mikroskop (Taylor et al., 2007).
b. Uji sentrifus
Ambil 2 gram tinja masukan dalam mortir, tambahkan sedikit air dan gerus
sampai larut, tuangkan feses yang telah digerus kedalam tabng sentrifus hingga
setinggi 4/4 tabung. Sentrifus dengan cepat selama 5 menit. Buanglah cairan
jernih diatas endapan dan tambahkan Nacl jenuh stinggi tabung dan aduk
hingga tercampur merata. Sentrifus lagi dengan kecepatan tinggi selama 5
menit, letakan tabung sentrifus dirak tabung secara tegak lurus dan teteskan
Nacl jenuh dengan pipet tetes sampai permukaan cairan menjadi cembung,
biarkan selama 3 menit. Tempelkan objek glass diatas permukaan cembung
dengan hati-hati dan balik secara cepat, tutup dengan cover glass dan amati
dibawah mikroskop dengan pembesaran 10x.
c. Uji Mc master
Sampel feses ditimbang sebanyak 2 gram dengan menggunakan timbangan
analitik digital, selanjutnya ditambahkan Akuades sebanyak 28 ml dan diaduk
sampai homogen. Selanjutnya tuang 1 ml akuades pada tabung kosong dan
tambahkan 1 ml campuran feses. Kemudian mengambil campuran tersebut dengan
menggunakan pipet Pasteur dan memasukkan kedalam kamar hitung( Counting
Chamber ) Diamkan larutan yang berada dalam counting chamber (kamar hitung)
selama 20 menit supaya telur dan kista mengapung ke permukaan. Periksa
counting chamber (kamar hitung) dengan menggunakan mikroskop pembesaran
100 x dan fokuskan pada tiap-tiap kolom dimana dalam 1 chamber (kamar) berisi
6 kolom. Dalam 1 chamber (kamar) berisi 0,15 ml. Pencampuran berlaku pada
tiap telur atau ookista berbeda dalam 1 gram tinja. Jumlah telur / ookista yang
terhitung pada kedua chamber (kamar) dikalikan 100 (Soulsby, 1982)
d. Uji apung
Sampel feses ditimbang sebanyak 2 gram dengan menggunakan timbangan
analitik digital, selanjutnya ditambahkan NaCl sebanyak 30 ml dan diaduk sampai
homogen. Kemudian dilakukan penyaringan untuk memisahkan ampas feses
selajutnya air saringan tersebut dituangkan ke dalam tabung sentrifus sampai
setinggi batas tabung sentrifus. Sentrifugasi dilakukan dengan kecepatan 1500
rpm selama 5 menit. Tabung sentrifus diletakkan di atas rak dengan posisi tegak
lurus, diteteskan NaCl jenuh dengan pipet tetes sampai permukaan cairan di dalam
tabung sentrifus menjadi cembung, tempelkan Cover glass di atas permukaan
yang cembung tadi dengan hati-hati dan biarkan selama 2-3 menit selanjutnya
diletakkan diatas objek glass dan diperiksa di bawah mikroskop dengan
pembesaran 100x (Soulsby, 1982)

3.4. Analisis Data


Data yang telah diperoleh dianalisis secara deskriptif.

Anda mungkin juga menyukai