Anda di halaman 1dari 10

3.

Stroke Hemoragik
a. Definisi
Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua stroke, dapat
terjadi apabila stroke vascular intraserebrum mengalami rupture sehingga terjadi
perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Stroke
hemoragik disebabkan oleh perdarahan ke dalam jaringan otak (disebut hemoragia
intraserebrum atau hematom intraserebrum) atau kedalam ruang subaraknoid, yaitu
ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi otak (disebut
hemoragia subaraknoid). Ini adalah jenis stroke yang paling mematikan dan merupakan
sebagian kecil dari stroke total yaitu 10-15% perdarahan intraserebrum dan sekitar 5%
untuk perdarahan subaraknoid. Stroke hemoragik merupakan 15% sampai 20% dari
semua stroke, dapat terjadi apabila lesi vascular intraserebrum mengalami rupture
sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam
jaringan otak. Sebagian dari lesi vascular yang dapat menyebabkan perdarahan
subaraknoid (PSA) adalah aneurisma sakular dan malformasi arteriovena (MAV).

b. Etiologi
- Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral ditemukan pada 10% dari seluruh kasus stroke, terdiri dari
80% di hemisfer otak dan sisanya di batang otak dan serebelum. intraserebral adalah
perdarahan di dalam otak yang disebabkan oleh trauma (cedera otak) atau kelainan
pembuluh darah (aneurisma atau angioma). Jika tidak disebabkan oleh salah satu
kondisi tersebut, paling sering disebabkan oleh tekanan darah tinggi kronis.
- Perdarahan subarakhnoid
Perdarahan subarakhnoid adalah suatu keadaan dimana terjadi perdarahan di ruang
subarakhnoid yang timbul secara primer. Subarachnoid adalah perdarahan dalam
ruang subarachnoid, ruang di antara lapisan dalam (Pia mater) dan lapisan tengah
(arachnoid mater) dari jaringan selaput otak (meninges). Penyebab paling umum
adalah pecahnya tonjolan (aneurisma) dalam arteri. Perdarahan subarachnoid adalah
kedaruratan medis serius yang dapat menyebabkan cacat permanen atau kematian.
Stroke ini juga satu-satunya jenis stroke yang lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan pada pria.

c. Patofisiologi
Stroke hemoragik disebabkan oleh rupture arteri, baik intraserebral maupun
subarachnoid. Perdarahan intraserebral merupakan penyebab tersering, dimana dinding
pembuluh darah kecil yang sudah rusak akibat hipertensi kronik robek. Hematoma yang
terbentuk akan menyebabkan peningkatan tekanan intracranial (TIK). Perdarahan
subarachnoid disebabkan oleh pecahnya aneurisme atau malformasi arteri vena yang
perdarahannya masuk ke rongga subarachnoid, sehingga menyebabkan vasospasme
sehingga menyebabkan cairan serebrospinal (CSS) terisi oleh darah. Darah di dalam
CSS akan menyebabkan vasospasme sehingga menimbulkan gejala sakit kepala hebat
yang mendadak.

d. Tanda dan gejala


- Perdarahan intraserebral
Onset perdarahan bersifat mendadak, terutama sewaktu melakukan aktivitas dan
dapat didahului oleh gejala prodromal berupa peningkatan tekanan darah yaitu
nyeri kepala, mual, muntah, gangguan memori, bingung, perdarhan retina, dan
epistaksis.
Penurunan kesadaran yang berat sampai koma disertai hemiplegia/hemiparese dan
dapat disertai kejang fokal / umum.
Tanda-tanda penekanan batang otak, gejala pupil unilateral, refleks pergerakan
bola mata menghilang dan deserebrasi
Dapat dijumpai tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial (TTIK), misalnya
papiledema dan perdarahan subhialoid.

- Perdarahan subarakhnoid
Onset penyakit berupa nyeri kepala mendadak seperti meledak, dramatis,
berlangsung dalam 1 2 detik sampai 1 menit.
Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, mengigil, mudah terangsang, gelisah
dan kejang.
Dapat ditemukan penurunan kesadaran dan kemudian sadar dalam beberapa
menit sampai beberapa jam.
Dijumpai gejala-gejala rangsang meningen
Perdarahan retina berupa perdarahan subhialid merupakan gejala karakteristik
perdarahan subarakhnoid.
Gangguan fungsi otonom berupa bradikardi atau takikardi, hipotensi atau
hipertensi, banyak keringat, suhu badan meningkat, atau gangguan pernafasan.

e. Faktor risiko
Faktor risiko stroke adalah faktor yang menyebabkan seseorang menjadi lebih rentan
atau mudah terkena stroke, antara lain :
1. Usia
Usia merupakan faktor risiko yang paling penting bagi semua stroke. Insiden stroke
meningkat secara eksponsial dengan bertambahnya usia. Setelah umur 55 tahun
risiko stroke iskemik meningkat 2 kali lipat setiap 10 tahun (risiko relatif ). Di
Oxfordshire, selama tahun 19811986, tingkat insiden stroke pada kelompok usia
45- 54 tahun ialah 57 kasus per 100.000 penduduk dan pada kelompok usia 85 tahun
keatas terdapat 1.987 kasus per 100.000 penduduk.
2. Jenis Kelamin
Pada pria memiliki kecendrungan lebih besar untuk terkena stroke dibandingkan
dengan wanita, dengan perbandingan 2:1. Walaupun para pria lebih rawan dari pada
wanita pada usia yang lebih muda, tetapi para wanita akan menyusul setelah usia
mereka mencapai menopause. Hasil-hasil penelitian menyatakan bahwa hormon
berperan dalam hal ini, yang melindungi para wanita sampai mereka melewati masa-
masa melahirkan anak. Pria berusia kurang dari 65 tahun memiliki risiko terkena
stroke iskemik atau perdarahan intra sereberal lebih tinggi sekitar 20% dari pada
wanita. Namun, wanita usia berapa pun memiliki risiko perdarahan subaraknoid
sekitar 50% lebih besar.30 Menurut data dari 28 Rumah Sakit di Indonesia pada
tahun 2000, ternyata bahwa kaum pria lebih banyak menderita stroke dibandingkan
kaum wanita. Risiko relatif stroke 1,25 kali lebih besar pada pria dibanding wanita.
3. Ras / Suku Bangsa
Orang kulit hitam lebih banyak menderita stroke dari pada orang kulit putih. Hal ini
disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan gaya hidup. Pada tahun 2004 di Amerika
terdapat penderita stroke pada laki-laki yang berkulit putih sebesar 37,1% dan yang
berkulit hitam sebesar 62,9% sedangkan pada wanita yang berkulit putih sebesar
41,3% dan yang berkulit hitam sebesar 58,7%.27 d. Riwayat Keluarga dan genetika
Kelainan turunan sangat jarang menjadi penyebab langsung stroke. Namun, gen
memang berperan besar dalam beberapa faktor risiko stroke, misalnya hipertensi,
penyakit jantung, diabetes, dan kelainan pembuluh darah. Riwayat stroke dalam
keluarga, terutama jika dua atau lebih anggota keluarga pernah mengalami stroke
pada usia kurang dari 65 tahun.19 Anggota keluarga dekat dari orang yang pernah
mengalami PSA memiliki peningkatan risiko 2-5% terkena PSA.
4. Riwayat Stroke
Bila seseorang telah mengalami stroke, hal ini akan meningkatkan terjadinya
serangan stroke kembali/ulang. Dalam waktu 5 tahun, kemungkinan akan terjadi
stroke kembali sebanyak 35-42%.
5. Diabetes Mellitus
Gula darah yang tinggi dapat mengakibatkan kerusakan endotel pembuluh darah
yang berlangsung secara progresif. Pada orang yang menderita Diabetes Mellitus
risiko untuk terkena stroke 1,5-3 kali lebih besar (risiko relatif).

f. Pemeriksaan fisik
- Tanda vital
- Pemeriksaan kepala dan leher (mencari cedera kepala akibat jatuh, bruit karotis,
peningkatan tekanan vena jugularis, dan lain-lain)
- Pemeriksaan fisik umum (yaitu pemeriksaan tingkat kesadaran, suhu, denyut nadi,
anemia, paru dan jantung)

g. Pemeriksaan neurologis, meliputi :


- Pemeriksaan kesadaran
- Pemeriksaan nervus kranialis
- Pemeriksaan kaku kuduk (biasanya positif pada perdarahan subarachnoid)
- Pemeriksaan motorik, refleks, dan sensorik
- Pemeriksaan fungsi kognitif sederhana berupa ada tidaknya afasia atau dengan
pemeriksaan mini mental state examination (MMSEI saat di ruangan

h. Pemeriksaan penunjang
- Elektrokardiografi
- Laoratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, hemostatis, gula darah,
urinalisis, analisis gas darah, dan elektrolit)
- Foto toraks ; untuk melihat adanya gambaran kardiomegali sebagai penanda adanya
hipertensi untuk faktor risiko stroke
- CT Scan/MRI : gambaran hipodens/hipointens didapatkan pada stroke iskemik dan
hiperdens/hiperintens pada stroke hemoragik pada T1W1
- Transcranial doppler (TCD) dan Doppler karotis, antara lain untuk melihat adanya
penyumbatan dan patensi dinding pembuliuh darah sebagai risiko stroke
- Analisis cairan serebrospinal jika diperlukan

i. Tatalaksana
FARMAKO
a. Diagnosis dan penilaian gawat darurat
CT Scan dan MRI untuk membedakan stroke iskemik dengan perdarahan
Apabila dicurigai terdapat lesi structural seperti malformasi vascular dan
tumor dapat dilakukan pemeriksaan angiografi CT, venografi CT, CT dengan
kontras, atau MRI dengan kontras, MRA, dan MRV
b. Tata laksana medis perdarahan intrakarnial
Penggangtian faktor koagulasi dan trombosit jika pasien mengalami
defisiensi. Apabila terdapat gangguan koagulasi dapat diberikan :
- Vit K 10 mg intravena pada pasien dengan INR meningkat
- Plasma segar beku (fresh frozen plasma) 2-6 unit
Pencegahan tromboemboli vena dengan stoking elastic
Heparin subkutan dapat diberikan apabila perdarahan telah berhenti (harus
terdokumentasi) sebagai pencegahan tromboemboli vena.
c. Kontrol tekananan darah dan kadar glukosa darah
d. Pemberian antipilepsi apabila terdapat kejang
e. Prosedur/operasi
Indikasi operasi evakuasi bekuan darah secepatnya
Perdarahan serebelum dengan perburukan neurologis
Adanya kompresi batang otak
Hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel
Pada pasien dengan bekuan darah di lobus dengan jumlah >30ml dan
terdapat di 1 cm dari permukaan dapat dikerjakan kraniotomi standar untuk
mengevakuasi perdarahan intrakarnial supratentorial. Drainase ventrikuler
sebagai tata laksana hidrosefalus dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
penurunan kesadaran

NONFARMAKO
a. Rehabilitas dini
Upaya rehabilitasi harus segera dikerjakan sedini mungkin apabila keadaan
pasien sudah stabil. Fisioterapi pasif perlu diberikan bahkan saat pasien masih
diruang intensif yang segera dilanjutkan dengan fisioterapi aktif bila
memungkikan. Apabila terdapat gangguan bicara atau menelan, upaya terapi
wucara bisa diberikan. Setelah pasien bisa berjalan sendiri, terapi fisis dan
okupasi perlu diberikan, agar pasien bisa kembali mandiri. Pendekatan
psikologis terutama berguna untuk memulihkan kepercayaan diri pasien yang
biasanya sangat menurun stelah terjadinya stroke. Kalau perlu dapat diberikan
antidepresi ringan.
b. Tindakan pengawasan lanjutan (follow-up)
Tindakan untuk mencegah stroke berulang dan upaya rehabilitasi kronis harus
terus dikerjakan. Hal ini sebaiknya dilakukan oleh spesialis penyakit dalam yang
mengetahui penatalaksanaan berbagai faktor risiko terjadinya stroke ulangan.
j. Prognosis
Prognosis bervariasi bergantung pada tingkat keparahan stroke dan lokasi serta ukuran
dari perdarahan. Skor dari skala kima Glasgow yang rendah berhubungan dengan
prognosis yang lebih buruk dan mortalitas yang lebih tinggi. Apabila terdapat volume
darah yang besar dan pertumbuhan dari volume hematoma, prognosis biasanya buruk
dan outcome fungsionalnya juga sangat buruk dengan tingkat mortalitas yang tinggi.
Adanya darah dalam ventrikel bisa meningkatkan resiko kematian dua kalinlipat. Pasien
yang menggunakan antikoagulasi oral yang berhubungan dengan perdarahan
intraserebral juga memiliki outcome fungsional yang buruk dan tingkat mortalitas yang
tinggi,

k. Pencegahan
P en c e ga ha n pri m e r p ad a s t r ok e m e l i put i up a ya m em p e rb ai ki ga ya
hi du p d an m en ga t a s i b e rb a gai f akt or ri si ko . Up a ya i ni n di t uj uk a n p ad a
or an g s eh at m au pu n ke l om po k ri si o k o t i n ggi ya n g b el um p er n ah
t e rs e ra n g st ro k e. B e be r ap a p ec e ga h an yan g d a p at di l ak uk an a da l a h :
Mengatur pola makan yang sehat
Melakukan olah raga yang teratur
Menghentikan rokok
Menhindari minum alkohol dan penyalahgunaan obat
Memelihara berat badan yang layak
Perhatikan pemakaian kontrasepsi oral bagi yang beresiko tinggi
Penanganan stres dan beristirahat yang cukup
Pemeriksaan kesehatan teratur dan taat advis dokter dalam hal diet dan obat
Pemakaian antiplatelet

Pada pencegahan sekunder stroke, yang harus dilakukan adalah pengendalian faktor
risiko yang tidak dapat dimodifikasi, dan pengendalian faktor risiko yang dapat
dimodifikasi seperti hipertensi, diabetes mellitus, riwayat TIA,dislipidemia, dan
sebagainya
Sumber :
- Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2007.
- Price A. Sylvia, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis proses-proses
penyakit. Edisi 6 Volume 1. Jakarta:EGC. 2005
- Tanto, Christ et al. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4 jilid II. Jakarta:Media
Aesculapius.2014.

16. Tatalaksana hipertensi pada stroke


Sebagian besar (70-94%) pasien stroke mengalami peningkatan tekanan darah sistolik
>140/90 mmHg. Penelitian di Indonesia didapatkan kejadian hipertensi serta pasien stroke
akut sekitar 73,9% sebesar 22,5-27,6% diantaranya mengalami peningkatan tekanan darah
sistolik >180mmHg.
Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak
dianjurkan, karena memungkinkan dapat memperburuk neurologis. Pada sebagian besar
pasien tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan
serangan stroke. Berbagai Guidelines (AHA/ASA 2007 dan Eso 2009) merekomendasikan
penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan secara hati-hati dengan
memperhatikan beberapa kondisi di bawah ini :
a. Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15% (sistolik maupun
diastolic) dalam 24 jam pertama setelah awitan, apabila tekanan darah sistolik
(TDS)>220 mmHg atau tekanan darah diatolik (TD) >120 mmHg. Pada pasien stroke
iskemik akut akan diberi terapi trombonolitik (rtPA), tekanan darah diturunkan hingga
TDS<185 mmHg dan TD <110mmHg. Selanjutnya, tekanan darah harus dipantau hingga
TDS<180 mmHg dan TTD <105 mmHg selama 24 jam setelah pemberian rtPA.
Antihipertensi yang digunakan adalah labelatol, nitroprusid, nikardipin, atau dilitiazen
intravena.
b. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut, apabila TDS>200 mmHg atau Mean
Arterial Pressure (MAP) >150 mmHg, TD diturunkan dengan menggunakan obat
antihipertensi intravena secara kontinu dengan pemantauan darah setiap 5 menit.
1. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala dan tanda
peningkatan TIK, dilakukan pemantauan tekanan darah. Tekanan darah diturunkan
dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu atau intermiten
dengan pemantauan tekanan perfusi serebral >60 mmHg.
2. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala dan tanda
peningkatan TIK, TD diturunkan secara hati-hati dnegan menggunakan obat
antihipertensi intravena kontinu atau intermiten dengan pemantauan tekanan darah
setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg. Pada
studi INTERACT 2010, penurunan TDS hingga 140 mmHg masih diperbolehkan.
c. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220 mmHg, penurunan
tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup aman. Setelah kraniotomi
target MAP adalah 100 mmHg.
d. Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah pada
penderita stroke perdarahan intraserebral.
e. Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat beta (labelatol dan esmolol),
penyakit kanal kalsium (nikardipin dan diltiazem) intravena, digunakan dalam upaya
diatas.
f. Hidralasin dan nitropisid sebaiknya tidak digunakan karena mengakibatkan penimgkatan
TIK, meskipun bukan kontra-indikasi mutlak.
g. Penuruanan TD darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih rendah drai
target-target diatas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ lainnya, misalnya
diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut, dan ensefalopati
hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15-25 % pada jam petama, dan TDS 160/90
mmHg dalam 6 jam pertama.

Sumber :
Tanto, Christ et al. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4 jilid II. Jakarta:Media
Aesculapius.2014.

Anda mungkin juga menyukai