yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang
normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia
repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Menurut Power (1989)
karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang:
interaksi sosial,
komunikasi (bahasa dan bicara),
perilaku-emosi,
pola bermain,
gangguan sensorik dan motorik
perkembangan terlambat atau tidak normal.
Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia
3 tahun.
Autisme dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV merupakan
salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Pervasive Development
Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention
Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai
untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah (umbrella
term) PDD, yaitu:
1. Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya
hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara
imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.
2. Aspergers Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat
dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan
bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-
rata.
3. Pervasive Developmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD-NOS)
Merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang
anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme,
Asperger atau Rett Syndrome).
4. Retts Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi
pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian
terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya; kehilangan
kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakkan-gerakkan tangan
yang berulang-ulang pada rentang usia 1 4 tahun.
5. Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang
normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan
kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Diagnosis
o 1.1 Simtoma klinis
1.1.1 Simtoma klinis menurut DSM IV
2 Penanganan autisme di Indonesia
o 2.1 Terapi Bagi Individu dengan Autisme
3 Prognosis
4 Perkembangan penelitian Autisme
5 Pranala luar
[sunting] Diagnosis
Secara historis, diagnosa autisme memiliki persoalan; suatu ketika para ahli dan peneliti
dalam bidang autisme bersandarkan pada ada atau tidaknya gejala, saat ini para ahli dan
peneliti tampaknya berpindah menuju berbagai karakteristik yang disebut sebagai
continuum autism. Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya descriptive
approach to diagnosis. Ini adalah suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa
sehingga menyertakan pengamatan-pengamatan yang menyeluruh di setting-setting sosial
anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di
rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka
tampak jelas di antara teman-teman sebaya mereka yang normal.
Persoalan lain yang memengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari
adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh
yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari
dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya
interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan
persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang
tua. Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa
semakin akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan
kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang
menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan
kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-
keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional
di bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan
awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi
sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan
yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan
diri anak sendiri.
Bagi para orang tua dan keluarga sendiri perlu juga dicatat bahwa gejala autisme bersifat
individual; akan berbeda satu dengan lainnya meskipun sama-sama dianggap sebagai low
functioning atau dianggap sebagai high functioning. Membutuhkan kesabaran untuk
menghadapinya dan konsistensi untuk dalam penanganannya sehingga perlu disadari
bahwa bahwa fenomena ini adalah suatu perjalanan yang panjang. Jangan berhenti pada
ketidakmampuan anak tetapi juga perlu menggali bakat-bakat serta potensi-potensi yang
ada pada diri anak. Sebagai inspirasi kiranya dapat disebutkan beberapa penyandang
autisme yang mampu mengembangkan bakat dan potensi yang ada pada diri mereka,
misalnya: Temple Grandine yang mampu mengembangkan kemampuan visual dan pola
berpikir yang sistematis sehingga menjadi seorang Doktor dalam bidang peternakan,
Donna William yang mampu mengembangkan kemampuan berbahasa dan bakat seninya
sehingga dapat menjadi seorang penulis dan seniman, Bradley Olson seorang mahasiswa
yang mampu mengembangkan kemampuan kognitif dan kebugaran fisiknya sehingga
menjadi seorang pemuda yang aktif dan tangkas dan mungkin masih banyak nama-nama
lain yang dapat menjadi sumber inspirasi kita bersama. Pada akhirnya, sebuah label dari
suatu diagnosa dapat dikatakan berguna bila mampu memberikan petunjuk bagi para
orang tua dan pendidik mengenai kondisi alamiah yang benar dari seorang anak. Label
yang menimbukan kebingungan dan ketidakpuasan para orang tua dan pendidik jelas
tidak akan membawa manfaat apapun.
Anak dengan autisme dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua dalam
kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan
berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan
orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak
responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima panca inderanya (pendengaran,
sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-
kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga
dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang
lain) atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang
dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang
berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang
juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak wajar
terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya,
permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan
yang menjadi kesukaan mereka.
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada
para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga
terberat sekalipun.
Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan
yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa di antaranya ada
yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga
sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki
kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan
sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat
individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang
tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat.
The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika
Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih
lanjut :
Adanya kelima lampu merah di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang
autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang
anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog,
Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang memahami
persoalan autisme.
1. Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi
muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju
2. Kesulitan bermain dengan teman sebaya
3. Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
4. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah
1. Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan
berlebihan, baik intensitas dan fokusnya
2. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
3. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali
sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda
Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe),
sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau
ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian.
Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan
kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku menyakiti diri
sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka
mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism. Sementara mereka yang
menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa
dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang
umum diklasifikasikan sebagai high functioning autism. Dua dikotomi dari karakteristik
gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan maupun
model-model treatment yang diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya melalui
media ini penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang autisme untuk
semakin mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran yang tepat bagi
mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan
bahwa 80% anak dengan autisme memiliki intelegensi yang rendah dan tidak berbicara
atau nonverbal. Namun sekali lagi, apapun diagnosa maupun label yang diberikan
prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh
sesuai dengan kebutuhan mereka.
Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan
perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of Diseases) Revisi
ke-10 tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994
yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan Perkembangan
Perpasiv (Pervasive Developmental Disorder/PDD): Autisme ditunjukkan bila ditemukan
6 atau lebih dari 12 gejala yang mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi
Sosial Komunikasi Perilaku.
Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari
berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun
komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening
yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:
Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-
kanak yang dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang didasarkan pada
pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi
berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi
terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal
The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme
pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan,
dikembangkan oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an.
The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40
skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi
kemampuan komunikasi dan sosial mereka
The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak
usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada
3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.
Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain yang
berhubungan membutuhkan pengamatan yang menyeluruh terhadap: perilaku anak,
kemampuan komunikasi dan kemampuan perkembangan lainnya. Akan sangat sulit
mendiagnosa karena adanya berbagai macam gangguan yang terlihat. Observasi dan
wawancara dengan orang tua juga sangat penting dalam mendiagnosa. Evaluasi tim yang
terdiri dari berbagai disiplin ilmu memungkinkan adanya standardisasi dalam
mendiagnosa. Tim dapat terdiri dari neurolog, psikolog, pediatrik, paedagog, patologis
ucapan/kebahasaan, okupasi terapi, pekerja sosial dan lain sebaginya.
1. Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi
pelopor dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi
bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk
menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
2. Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan
hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak
selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
3. Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga
ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan
intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme,
informasi mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga
formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum
tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
4. Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di
sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar
bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum
(inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk
menyelenggarakan inklusi.
5. Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan
baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara
empirik (Empirically Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan
masalah autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan
dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, namun secara
etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi
percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses
pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih
salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat
dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi
masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis
maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di Indonesia.
Bila ada pertanyaan mengenai terapi apa yang efektif? Maka jawaban atas pertanyaan ini
sangat kompleks, bahkan para orang tua dari anak-anak dengan autisme pun merasa
bingung ketika dihadapkan dengan banyaknya treatment dan proses pendidikan yang
ditawarkan bagi anak mereka. Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji
dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti
gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang telah
dipublikasikan apalagi prosedur yang standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun
juga para ahli sependapat bahwa terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan
pada hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis,
misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang komprehensif
umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi (Occupational
Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi
perilaku.
Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan
penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi
keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya
langsung kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini
adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu yang
menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.
Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat
penting bagi mereka untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan
fungsionalitas anak dan mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Sangat
disayangkan masih minim data ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi
yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit
membuat suatu penelitian mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang
dimiliki anak, dari tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan
belum lagi etika yang ada didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-
sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengontrol semua variabel yang ada sehingga
data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara statistik tidak
akurat.
Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan
dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja
sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu,
misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai
basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan
anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah terapi
yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif.
Namun demikian, tentukan salah satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila
tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan
perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang
tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk
intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para
ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.
[sunting] Prognosis
Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika Serikat. Sejak tahun
80 an, bayi-bayi yang lahir di California AS, diambil darahnya dan disimpan di pusat
penelitian Autisme. Penelitian dilakukan oleh Terry Phillips, seorang pakar kedokteran
saraf dari Universitas George Washington. Dari 250 contoh darah yang diambil, ternyata
hasilnya mencengangkan; seperempat dari anak-anak tersebut menunjukkan gejala autis.
National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY)
memperkirakan bahwa autisme dan PDD pada tahun 2000 mendekati 50 100 per 10.000
kelahiran. Penelitian Frombonne (Study Frombonne: 2003) menghasilkan prevalensi dari
autisme beserta spektrumnya (Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 best
current estimate dan terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia dibawah 18 tahun
di Amerika Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah: 62.6/10.000 ASD. Autisme secara
umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan
yang terjadi pada anak perempuan. Hingga saat ini penyebabnya belum diketahui secara
pasti. Saat ini para ahli terus mengembangkan penelitian mereka untuk mengetahui
sebabnya sehingga mereka pun dapat menemukan obat yang tepat untuk mengatasi
fenomena ini. Bidang-bidang yang menjadi fokus utama dalam penelitian para ahli,
meliputi; kerusakan secara neurologis dan ketidakseimbangan dalam otak yang bersifat
biokimia. Dr. Ron Leaf saat melakukan seminar di Singapura pada tanggal 26 27 Maret
2004, menyebutkan beberapa faktor penyebab autisme, yaitu:
Meskipun para ahli dan praktisi di bidang autisme tidak selamanya dapat menyetujui atau
bahkan sependapat dengan penyebab-penyebab di atas. Hal terpenting yang perlu dicatat
melalui hasil penelitian-penelitian terdahulu adalah bahwa gangguan autisme tidak
disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat psikologis, misalnya karena orang tua tidak
menginginkan anak ketika hamil.
Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang
sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di Koran Kompas; Dr. Melly
Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia
menyebutkan adanya peningkatan yang luar biasa. Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah
penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi satu
per 500 anak (Kompas: 2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf bagian
Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang
lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap
tahun terus meningkat. Hal ini sungguh patut diwaspadai karena jika penduduk di
Indonesia saat ini mencapai lebih dari 160 juta, kira-kira berapa orang yang terdata
sungguh-sungguh menyandang austime beserta spektrumnya?
Rimland (1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan
autisme, seperti: pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia juga meneliti
penyebab autisme yang menurutnya mengarah pada faktor biologis.
Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang tua.
Infantile Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak, karena
pada saat itu psikoterapi yang sangat berpengaruh, maka ia menginstitusionalkan
46 anak dengan autistime untuk keluar dari stress berat. Namun tidak dilaporkan
secara detail kelanjutan dari hasil pekerjaannya tersebut.
Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai seorang
Fisioterapi maka Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris. Pengaruh
ini kemudian berkembang pada Doman yang dikemudian hari mengembangkan
metode Gleen Doman.
Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior
Modification kepada anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan
autistisme di dalamnya. Ia membuat program-program intervensi bagi anak-anak
berkebutuhan khusus yang dilakukannya di UCLA. Dari hasil program-program
Lovaas, anak-anak dengan autisme mendapatkan program modifikasi perilaku
yang kemudian berkembang secara professional dalam jurnal-jurnal psikologi.
Hingga saat ini terdapat banyak program intervensi perilaku bagi anak dengan autisme,
setiap program memiliki berbagai variasi dan pengembangan-pengembangan sendiri
sesuai dengan penelitian-penelitan dilakukan. Perkembangan studi mengenai autisme
kemudian disampaikan oleh Rogers, Sally J., sebagaimana disebutkan di bawah ini:
1960s Heavy emphasis on causes of autism, correlates of autism
1970s Heavy emphasis on assessment, diagnosis: emerging literature on treatment
1980s Heavy emphasis on functional assessment and treatment, school-based
services
1990s Heavy emphasis on social interventions, assessment, school-based services
2000s Litigation, school-based services
04/09/2006
Oleh:
Dr Widodo Judarwanto SpA
telp : (021) 70081995 - 4264126 - 31922005
email : wido25@hotmail.com
htpp://www.alergianak.bravehost.com
ABSTRAK
Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya
gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan
interaksi sosial.
Dengan adanya metode diagnosis yang kian berkembang hampir dipastikan jumlah anak
yang ditemukan terkena Autis akan semakin meningkat pesat. Jumlah penyandang autis
semakin mengkhawatirkan mengingat sampai saat ini penyebab autis masih misterius dan
menjadi bahan perdebatan diantara para ahli dan dokter di dunia. Autis adalah gangguan
yang dipengaruhi oleh multifaktorial. Tetapi sejauh ini masih belum terdapat kejelasan
secara pasti mengenai penyebab dan faktor resikonya.
Dalam keadaan seperti ini, strategi pencegahan yang dilakukan masih belum optimal.
Sehingga saat ini tujuan pencegahan mungkin hanya sebatas untuk mencegah agar
gangguan yang terjadi tidak lebih berat lagi, bukan untuk menghindari kejadian autis.
PENDAHULUAN
Kata autis berasal dari bahasa Yunani "auto" berarti sendiri yang ditujukanpada seseorang
yang menunjukkan gejala "hidup dalam dunianya sendiri". Pada umumnya penyandang
autisma mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang melibatkan mereka. Jika
ada reaksi biasanya reaksi ini tidak sesuai dengan situasi atau malahan tidak ada reaksi
sama sekali. Mereka menghindari atau tidak berespon terhadap kontak sosial (pandangan
mata, sentuhan kasih sayang, bermain dengan anak lain dan sebagainya).
Pemakaian istilah autis kepada penyandang diperkenalkan pertama kali oleh Leo Kanner,
seorang psikiater dari Harvard (Kanner, Austistic Disturbance of Affective Contact) pada
tahun 1943 berdasarkan pengamatan terhadap 11 penyandang yang menunjukkan gejala
kesulitan berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, perilaku yang tidak biasa dan
cara berkomunikasi yang aneh.
Autis dapat terjadipada semua kelompok masyarakat kaya miskin, di desa dikota,
berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia.
Sekalipun demikian anak-anak di negara maju pada umumnya memiliki kesempatan
terdiagnosis lebih awal sehingga memungkinkan tatalaksana yang lebih dini dengan hasil
yang lebih baik.
Jumlah anak yang terkena autis makin bertambah. Di Kanada dan Jepang pertambahan
ini mencapai 40 persen sejak 1980. Di California sendiri pada tahun 2002 di-simpulkan
terdapat 9 kasus autis per-harinya. Dengan adanya metode diagnosis yang kian
berkembang hampir dipastikan jumlah anak yang ditemukan terkena Autisme akan
semakin besar. Jumlah tersebut di atas sangat mengkhawatirkan mengingat sampai saat
ini penyebab autisme masih misterius dan menjadi bahan perdebatan diantara para ahli
dan dokter di dunia.Di Amerika Serikat disebutkan autis terjadi pada 60.000 - 15.000
anak dibawah 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan prevalens autisme 10-20 kasus
dalam 10.000 orang, bahkan ada yang mengatakan 1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada
awal tahun 2002 bahkan dilaporkan angka kejadian autisma meningkat sangat pesat,
dicurigai 1 diantara 10 anak menderita autis. Perbandingan antara laki dan perempuan
adalah 2,6 - 4 : 1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang
lebih berat. Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta, hingga saat ini belum diketahui
berapa persisnya jumlah penyandang namun diperkirakan jumlah anak austima dapat
mencapai 150 -- 200 ribu orang.
PENYEBAB AUTIS
Penyebab autis belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli menyebutkan autis
disebabkan karena multifaktorial. Beberapa peneliti mengungkapkan terdapat gangguan
biokimia, ahli lain berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh gangguan psikiatri/jiwa.
Ahli lainnya berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh karena kombinasi makanan
yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan
kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik
termasuk autis.
Beberapa teori yang didasari beberapa penelitian ilmiah telah dikemukakan untuk
mencari penyebab dan proses terjadinya autis. Beberapa teori penyebab autis adalah :
Genetik (heriditer), teori kelebihan Opioid, teori Gulten-Casein (celiac), kolokistokinin,
teori oksitosin Dan Vasopressin, teori metilation, teori Imunitas, teori Autoimun dan
Alergi makanan, teori Zat darah penyerang kuman ke Myelin Protein Basis dasar, teori
Infeksi karena virus Vaksinasi, teori Sekretin, teori kelainan saluran cerna
(Hipermeabilitas Intestinal/Leaky Gut), teori paparan Aspartame, teori kekurangan
Vitamin, mineral nutrisi tertentu dan teori orphanin Protein: Orphanin
o Unsur Opioid-like
o Kekurangan enzyme Dipeptidyl peptidase
o Dermorphin Dan Sauvagine
o Opioids dan secretin
o Opioids dan glutathione
o Opioids dan immunosuppression
4. Kolokistokinin
5. Oksitosin Dan Vasopressin
6. Metilation
7. Imunitas Teori Autoimun dan Alergi makanan
8. Zat darah penyerang kuman ke Myelin Protein Basis dasar
9. Teori Infeksi Karena virus Vaksinasi
10. Teori Sekretin
11. Teori kelainan saluran cerna (Hipermeabilitas Intestinal/Leaky Gut)
12. Paparan Aspartame
13. Kekurangan Vitamin, mineral nutrisi tertentu
14. Orphanin Protein: Orphanin FQ/NOCICEPTIN ( OFQ/N)
Walaupun paparan logam berat (air raksa) terjadi pada setiap anak, namun hanya
sebagian kecil saja yang mengalami gejala autism. Hal ini mungkin berkaitan dengan
teori genetik, salah satunya berkaitan dengan teori Metalotionin. Beberapa penelitian
anak autism tampaknya didapatkan ditemukan adanya gangguan netabolisme
metalotionin.
Metalotionon adalah merupakan sistem yang utama yang dimiliki oleh tubuh dalam
mendetoksifikasi air raksa, timbal dan logam berat lainnya. Setiap logam berat memiliki
afinitas yang berbeda terhada metalotionin. Berdasarkan afinitas tersebut air raksa
memiliki afinitas yang paling kuar dengan terhadam metalotianin dibandingkan logam
berat lainnya seperti tenbaga, perak atau zinc.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilaporkan para ahli menunjukkan bahwa
gangguan metalotianin disebabkan oleh beberapa hal di antaranya adalah : defisiensi
Zinc, jumlah logam berat yang berlebihan, defisiensi sistein, malfungsi regulasi element
Logam dan kelainan genetik, antara lain pada gen pembentuk netalotianin
Perdebatan yang terjadi akhir akhir ini berkisar pada kemungkinan penyebab autis yang
disebabkan oleh vaksinasi anak. Peneliti dari Inggris Andrew Wakefield, Bernard
Rimland dari Amerika mengadakan penelitian mengenai hubungan antara vaksinasi
terutama MMR (measles, mumps rubella ) dan autisme. Banyak penelitian lainnya yang
dilakukan dengan populasi yang lebih besar dan luas memastikan bahwa imunisasi MMR
tidak menyebabkan Autis. Beberapa orang tua anak penyandang autisme tidak puas
dengan bantahan tersebut. Bahkan Jeane Smith seorang warga negara Amerika bersaksi
didepan kongres Amerika : kelainan autis dinegeri ini sudah menjadi epidemi, dia dan
banyak orang tua anak penderta autisme percaya bahwa anak mereka yang terkena autis
disebabkan oleh reaksi dari vaksinasi.
Penelitian dalam jumlah besar dan luas tentunya lebih bisa dipercaya dibandingkan
laporan beberapa kasus yang jumlahnya relatif tidak bermakna secara umum. Namun
penelitian secara khusus pada penyandang autis, memang menunjukkan hubungan
tersebut meskipun bukan merupakan sebab akibat..
Banyak pula ahli melakukan penelitian dan menyatakan bahwa bibit autis telah ada jauh
hari sebelum bayi dilahirkan bahkan sebelum vaksinasi dilakukan. Kelainan ini
dikonfirmasikan dalam hasil pengamatan beberapa keluarga melalui gen autisme. Patricia
Rodier, ahli embrio dari Amerika bahwa korelasi antara autisme dan cacat lahir yang
disebabkan oleh thalidomide menyimpulkan bahwa kerusakan jaringan otak dapat terjadi
paling awal 20 hari pada saat pembentukan janin. Peneliti lainnya, Minshew menemukan
bahwa pada anak yang terkena autisme bagian otak yang mengendalikan pusat memory
dan emosi menjadi lebih kecil dari pada anak normal. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa gangguan perkembangan otak telah terjadi pada semester ketiga saat kehamilan
atau pada saat kelahiran bayi.
Karin Nelson, ahli neorology Amerika mengadakan menyelidiki terhadap protein otak
dari contoh darah bayi yang baru lahir. Empat sampel protein dari bayi normal
mempunyai kadar protein yang kecil tetapi empat sampel berikutnya mempunyai kadar
protein tinggi yang kemudian ditemukan bahwa bayi dengan kadar protein otak tinggi ini
berkembang menjadi autis dan keterbelakangan mental. Nelson menyimpulkan autis
terjadi sebelum kelahiran bayi.
Saat ini, para pakar kesehatan di negara besar semakin menaruh perhatian terhadap
kelainan autis pada anak. Sehingga penelitian terhadap autism semakin pesat dan
berkembang. Sebelumnya, kelainan autis hanya dianggap sebagai akibat dari perlakuan
orang tua yang otoriter terhadap anaknya. Kemajuan teknologi memungkinkan untuk
melakukan penelitian mengenai penyebab autis secara genetik, neuroimunologi dan
metabolik. Pada bulan Mei 2000 para peneliti di Amerika menemukan adanya tumpukan
protein didalam otak bayi yang baru lahir yang kemudian bayi tersebut berkembang
menjadi anak autis. Temuan ini mungkin dapat menjadi kunci dalam menemukan
penyebab utama autis sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahannya.
Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya
gangguan dan keterlambatan dalam bidang komunikasi, gangguan dalam bermain,
bahasa, perilaku, gangguan perasaan dan emosi, interaksi sosial, perasaan sosial dan
gangguan dalam perasaan sensoris.
Gangguan dalam bidang interaksi sosial meliputi gangguan menolak atau menghindar
untuk bertatap muka. Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering diduga tuli. Merasa
tidak senang atau menolak dipeluk. Bila menginginkan sesuatu, menarik tangan tangan
orang yang terdekat dan berharap orang tersebut melakukan sesuatu untuknya. Tidak
berbagi kesenangan dengan orang lain. Saat bermain bila didekati malah menjauh. Bila
menginginkan sesuatu ia menarik tangan orang lain dan mengharapkan tangan tersebut
melakukan sesuatu untuknya.
Gangguan dalam bermain diantaranya adalah bermain sangat monoton dan aneh misalnya
menderetkan sabun menjadi satu deretan yang panjang, memutar bola pada mainan mobil
dan mengamati dengan seksama dalam jangka waktu lama. Ada kelekatan dengan benda
tertentu seperti kertas, gambar, kartu atau guling, terus dipegang dibawa kemana saja dia
pergi. Bila senang satu mainan tidak mau mainan lainnya. Tidak menyukai boneka, tetapi
lebih menyukai benda yang kurang menarik seperti botol, gelang karet, baterai atau benda
lainnya Tidak spontan / reflek dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat
meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura pura.
Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar atau angin yang
bergerak. Perilaku yang ritualistik sering terjadi sulit mengubah rutinitas sehari hari,
misalnya bila bermain harus melakukan urut-urutan tertentu, bila bepergian harus melalui
rute yang sama.
Gangguan perilaku dilihat dari gejala sering dianggap sebagai anak yang senang kerapian
harus menempatkan barang tertentu pada tempatnya. Anak dapat terlihat hiperaktif
misalnya bila masuk dalam rumah yang baru pertama kali ia datang, ia akan membuka
semua pintu, berjalan kesana kemari, berlari-lari tak tentu arah. Mengulang suatu gerakan
tertentu (menggerakkan tangannya seperti burung terbang). Ia juga sering menyakiti diri
sendiri seperti memukul kepala atau membenturkan kepala di dinding. Dapat menjadi
sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam), duduk diam bengong dengan tatap mata
kosong. Marah tanpa alasan yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada satu
benda, ide, aktifitas ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan akal sehatnya. Dapat
sangat agresif ke orang lain atau dirinya sendiri. Gangguan kognitif tidur, gangguan
makan dan gangguan perilaku lainnya.
Gangguan perasaan dan emosi dapat dilihat dari perilaku tertawa-tawa sendiri, menangis
atau marah tanpa sebab nyata. Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum),
terutama bila tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Sering mengamuk tak
terkendali (temper tantrum)bila keinginannya tidak didapatkannya, bahkan bisa menjadi
agresif dan merusak.. Tidak dapat berbagi perasaan (empati) dengan anak lain
FAKTOR RESIKO
Karena penyebab Autis adalah multifaktorial sehingga banyak faktor yang
mempengaruhi.Sehingga banyak teori penyebab yang telah diajukan oleh banyak ahli.
Hal ini yang menyulitkan untuk memastikan secara tajam faktor resiko gangguan autis.
Faktor resiko disusun oleh para ahli berdasarkan banyak teori penyebab autris yang telah
berkembang. Terdapat beberapa hal dan keadaan yang membuat resiko anak menjadi
autis lebih besar. Dengan diketahui resiko tersebut tentunya dapat dilakukan tindakan
untuk mencegah dan melakukan intervensi sejak dini pada anak yang beresiko. Adapun
beberapa resiko tersebut dapat diikelompokkan dalam beberapa periode, seperti periode
kehamilan, persalinan dan periode usia bayi.
PERIODE KEHAMILAN
Beberapa keadaan ibu dan bayi dalam kandungan yang harus lebih diwaspadai dapat
berkembang jadi autism adalah infeksi selama persalinan terutama infeksi virus.
Peradarahan selama kehamilan harus diperhatikan sebagai keadaan yang berpotensi
mengganggu fungsi otak janin. Perdarahan selama kehamilan paling sering disebabkan
karena placental complications, diantaranya placenta previa, abruptio placentae, vasa
previa, circumvallate placenta, and rupture of the marginal sinus. Kondisi tersebut
mengakibatkan gangguan transportasi oksigen dan nutrisi ke bayi yang mengakibatkan
gangguan pada otak janin. Perdarahan awal kehamilan juga berhubungan dengan
kelahiran prematur dan bayi lahir berat rendah. Prematur dan berat bayi lahir rendah
tampaknya juga merupakan resiko tinggi terjadinya autis perilaku lain yang berpotensi
membahayakan adalah pemakaian obat-obatan yang diminum, merokok dan stres selama
kehamilan terutama trimester pertama. Adanya Fetal Atopi atau Maternal Atopi, yaitu
kondisi alergi pada janin yang diakibatkan masuknya bahan penyebab alergi melalui ibu.
Menurut pengamatan penulis, hal ini dapat dilihat adanya Gerakan bayi gerakan refluks
oesefagial (hiccupps/cegukan) yang berlebihan sejak dalam kandungan terutama terjadi
malam hari. Diduga dalam kedaaan tersebut bayi terpengaruh pencernaan dan
aktifitasnya oleh penyebab tertentu termasuk alergi ataupun bahan-bahan toksik lainnya
selama kehamilan.
Infeksi saluran kencing, panas tinggi dan Depresi. Wilkerson dkk telah melakukan
penelitian terhadap riwayat ibu hamil pada 183 anak autism dibandingkan 209 tanpa
autism. Ditemukan kejadian infeksi saluran kencing, panas tinggi dan depresi pada ibu
tampak jumlahnya bermakna pada kelompok ibu dengan anak autism.
PERIODE PERSALINAN
Persalinan adalah periode yang paling menentukan dalam kehidupan bayi selanjutnya.
Beberapa komplikasi yang timbul selama periode ini sangat menentukan kondisi bayi
yang akan dilahirkan. Bila terjadi gangguan dalam persalinan maka yang paling
berbahaya adalah hambatan aliran darah dan oksigen ke seluruh organ tubuh bayi
termasuk otak. Organ otak adalah organ yang paling sensitif dan peka terhadap gangguan
ini, kalau otak terganggu maka sangat mempengaruhi kualitas hidup anak baik dalam
perkembangan dan perilaku anak nantinya.
Dalam kehidupan awal di usia bayi, beberapa kondisi awal atau gangguan yang terjadi
dapat mengakibatkan gangguan pada optak yang akhirnya dapat beresiko untuk
terjadinya gangguan autism. Kondisi atau gangguan yang beresiko untuk terjadinya
autism adalah prematuritas, alergi makanan, kegagalan kenaikan berat badan, kelainan
bawaan : kelainan jantung bawaan, kelainan genetik, kelainan metabolik, gangguan
pencernaan : sering muntah, kolik, sulit buang air besar, sering buang air besar dan
gangguan neurologI/saraf : trauma kepala, kejang, otot atipikal, kelemahan otot.
PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan adalah yang paling utama dalam menghindari resiko terjadinya
gangguan atau gangguan pada organ tubuh kita. Banyak gangguan dapat dilakukan
strategi pencegahan dengan baik, karena faktor etiologi dan faktor resiko dapat diketahui
dengan jelas. Berbeda dengan kelainan autis, karena teori penyebab dan faktor resiko
belum masih belum jelas maka strategi pencegahan mungkin tidak bisa dilakukan secara
optimal. Dalam kondisi seperti ini upaya pencegahan tampaknya hanya bertujuan agar
gangguan perilaku yang terjadi tidak semakin parah bukan untuk mencegah terjadinya
autis. Upaya pencegahan tersebut berdasarkan teori penyebab ataupun penelitian faktor
resiko autis.
Pencegahan ini dapat dilakukan sedini mungkin sejak merencanakan kehamilan, saat
kehamilan, persalinan dan periode usia anak.
Untuk mencegah gangguan perkembangan sejak kehamilan , kita harus melihat dan
mengamati penyebab dan faktor resiko terjadinya gangguan perkembangan sejak dalam
kehamilan. Untuk mengurangi atau menghindari resiko yang bisa timbul dalam
kehamilan tersebut dapat melalui beberapa cara.
Adapun cara untuk mencegah terjadinya gangguan tumbuh kembang sejak dalam
kehamilan tersebut diantaranya adalah periksa dan konsultasi ke dokter spesialis
kebidanan dan kandungan lebih awal, kalu perlu berkonsultasi sejak merencanakan
kehamilan. Melakukan pemeriksaan skrening secara lengkap terutama infeksi virus
TORCH (Toxoplasma, Rubela, Citomegalovirus, herpes atau hepatitis). Periksa dan
konsultasi ke dokter spesialis kebidanan dan kandungan secara rutin dan berkala, dan
selalu mengikuti nasehat dan petunjuk dokter dengan baik.
Berhati-hatilah minum obat selama kehamilan, bila perlu harus konsultasi ke dokter
terlebih dahulu. Obat-obatan yang diminum selama kehamilan terutama trimester
pertama. Peneliti di Swedia melaporkan pemberian obat Thaliodomide pada awal
kehamilan dapat mengganggu pembentukan sistem susunan saraf pusat yang
mengakibatkan autism dan gangguan perkembangan lainnya termasuk gangguan
berbicara. Bila bayi beresiko alergi sebaiknya ibu mulai menghindari paparan alergi
berupa asap rokok, debu atau makanan penyebab alergi sejak usia di atas 3 bulan. Hindari
paparan makanan atau bahan kimiawi atau toksik lainnya selama kehamilan. Jaga
higiene, sanitasi dan kebersihan diri dan lingkungan. Konsumsilah makanan yang bergizi
baik dan dalam jumlah yang cukup. Sekaligus konsumsi vitamin dan mineral tertentu
sesuai anjuran dokter secara teratur.
Adanya Fetal Atopi atau Maternal Atopi, yaitu kondisi alergi pada janin yang diakibatkan
masuknya bahan penyebab alergi melalui ibu. Menurut pengamatan penulis, bila dilihat
adanya gerakan bayi gerakan refluks oesefagial (hiccupps/cegukan) yang berlebihan
sejak dalam kandungan terutama terjadi malam hari. Diduga dalam kedaaan tersebut bayi
terpengaruh pencernaan dan aktifitasnya oleh penyebab tertentu termasuk alergi ataupun
bahan-bahan toksik lainnya selama kehamilan. Bila gerakan bayi dan gerakan
hiccups/cegukan pada janin yang berlebihan terutama pada malam hari serta terdapat
gejala alergi atau sensitif pencernaan salah satu atau kedua orang tua. Sebaiknya ibu
menghindari atau mengurangi makanan penyebab alergi sejak usia kehamilan di atas 3
bulan. Hindari asap rokok, baik secara langsung atau jauhi ruangan yang dipenuhi asap
rokok. Beristirahatlah yang cukup, hindari keadaan stres dan depresi serta selalu
mendekatkan diri dengan Tuhan.
Beberapa hal yang terjadi saat persalinan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya
perkembangan dan perilaku pada anak, sehingga harus diperhatikan beberapa hal penting.
Melakukan konsultasi dengan dokter spesialis kandungan dan kebidanan tentang rencana
persalinan. Dapatkan informasi secara jelas dan lengkap tentang resiko yang bisa terjadi
selama persalinan. Bila terdapat resiko dalam persalinan harus diantisipasi kalau terjadi
sesuatu. Baik dalam hal bantuan dokter spesialis anak saat persalinan atau sarana
perawatan NICU (Neonatologi Intensive Care Unit) bila dibutuhkan.
Bila terdapat faktor resiko persalinan seperti : pemotongan tali pusat terlalu cepat,
asfiksia pada bayi baru lahir (bayi tidak menangis atau nilai APGAR SCORE rendah <
6 ), komplikasi selama persalinan, persalinan lama, letak presentasi bayi saat lahir tidak
normal, berat lahir rendah ( < 2500 gram) maka sebaiknya dilakukan pemantauan
perkembangan secara cermat sejak usia dini.
Setelah memasuki usia bayi terdapat beberapa faktor resiko yang harus diwaspadai dan
dilakukan upaya pencegahannya. Bila perlu dilakukan terapi dan intervensi secara dini
bila sudah mulai dicurigai terdapat gejala atau tanda gangguan perkembangan. Adapun
beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukanl
Amati gangguan saluran cerna pada bayi sejak lahir. Gangguan teresebut meliputi : sering
muntah, tidak buang besar setiap hari, buang air besar sering (di atas usia 2 minggu lebih
3 kali perhari), buang air besar sulit (mengejan), sering kembung, rewel malam hari
(kolik), hiccup (cegukan) berlebihan, sering buang angin. Bila terdapat keluhan tersebut
maka penyebabnya yang paling sering adalah alergi makanan dan intoleransi makanan.
Jalan terbaik mengatasi ganggguan tersebut bukan dengan obat tetapi dengan mencari
dan menghindari makanan penyebab keluhan tersebut. Gangguan saluran cerna yang
berkepanjangan akan dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya mempengaruhi
perkembangan dan perilaku anak.
Bila terdapat kesulitan kenaikkan berat badan, harus diwaspadai. Pemberian vitamin
nafsu makan bukan jalan terbaik dalam mengobati penyandang, tetapi harus dicari
penyebabnya. Bila terdapat kelainan bawaan : kelainan jantung bawaan, kelainan genetik,
kelainan metabolik, maka harus dilakukan perawatan oleh dokter ahli. Harus diamati
tanda dan gejala autism secara cermat sejak dini.
Demikian pula bila terjadi gangguan neurologi atau saraf seperti trauma kepala, kejang
(bukan kejang demam sederhana) atau gangguan kelemahan otot maka kita harus lebih
cermat mendeteksi secara dini gangguan perkembangan.
Pada bayi prematur, bayi dengan riwayat kuning tinggi (hiperbilirubinemi), infeksi berat
saat usia bayi (sepsis dll) atau pemberian antibiotika tertentu saat bayi harus dilakukan
monitoring tumbuh kembangnya secara rutin dan cermat terutama gangguan
perkembangan dan perilaku pada anak.
Pada bayi dengan gangguan pencernaan yang disertai gejala alergi atau terdapat riwayat
alergi pada orang tua, sebaiknya menunda pemberian makanan yang beresiko alergi
hingga usia diatas 2 atau 3 tahun. Makanan yang harus ditunda adalah telor, ikan laut,
kacang tanah, buah-buahan tertentu, keju dan sebagainya.
Bila terdapat faktor resiko tersebut pada periode kehamilan atau persalinan maka kita
harus lebih waspada. Menurut beberapa penelitian resiko tersebut akan semakin besar
kemungkinan terjadi autism. Selanjutnya kita harus mengamati secara cermat tanda dan
gejala autism sejak usia 0 bulan. Bila didapatkan gejala autism pada usia dini, kalau perlu
dilakukan intervensi sejak dini dalam hal pencegahan dan pengobatan. Lebih dini kita
melakukan intervensi kejadian autism dapat kita cegah atau paling tidak kita minimalkan
keluhan yang akan timbul. Bila resiko itu sudah tampak pada usia bayi maka kondisi
tersebut harus kita minimalkan bahkan kalau perlu kita hilangkan. Misal kegagalan
kenaikkan berat badan harus betul-betul dicari penyebabnya, pemberian vitamin bukan
jalan terbaik untuk mencari penyebab kelainan tersebut.
Demikan pula gangguan alergi makanan dan gangguan pencernaan pada bayi, harus
segera dicari penyebabnya. Yang paling sering adalah karena alergi makanan atau
intoleransi makan, penyebabnya jenis makanan tertentu termasuk susu bayi. Pemberian
obat-obat bukanlah cara terbaik untuk mencari penyebab gangguan alergi atau gangguan
pencernaan tersebut. Yang paling ideal adalah kita harus menghindari makanan penyebab
gangguan tersebut tanpa bantuan obat-obatan. Obat-obatan dapat diberikan sementara
bila keluhan yang terjadi cukup berat, bukan untuk selamanya.
PENUTUP
Autis adalah gangguan yang dipengaruhi oleh multifaktorial. Tetapi sejauh ini masih
belum terdapat kejelasan secara pasti mengenai penyebab dan faktor resikonya. Sehingga
strategi pencegahan yang dilakukan masih belum optimal. Saat ini tujuan pencegahan
mungkin hanya sebatas untuk mencegah agar gangguan yang terjadi tidak lebih berat
lagi, bukan untuk menghindari kejadian autis. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
mengungkap secara jelas misteri penyebab gangguan autis sehingga nantinya dapat
dilakukan strategi pencegahan agar seorang anak dapat tercegah gangguan autis.
DAFTAR PUSTAKA
3. APA: Diagnostic and statistic manual of mental disorders. 4th ed. Washington, DC:
American Psychiatric Association; 1994.
4. Bettelheim B: The Empty Fortress: Infantile Autism and the Birth of the Self. New
York, NY: Free Press; 1977.
5. Brett EM: Paediatric Neurology. 2nd ed. London: Churchill Livingstone; 1991.
6. British Medical Journal: Childhood autism and related conditions. Br Med J 1980 Sep
20; 281(6243): 761-2.
7. Buka SL, Tsuang MT, Lipsitt LP: Pregnancy/delivery complications and psychiatric
diagnosis. A prospective study. Arch Gen Psychiatry 1993 Feb; 50(2): 151-6.
9. Burd L, Severud R, Kerbeshian J, Klug MG: Prenatal and perinatal risk factors for
autism. J Perinat Med 1999; 27(6): 441-50.
10. Cohen DJ, Volkmar FR: Handbood of Autism and Pervasive Developmental
Disorders. NY: Wiley; 1996.
14. Johnson MH, Siddons F, Frith U, Morton J: Can autism be predicted on the basis of
infant screening tests? Dev Med Child Neurol 1992 Apr; 34(4): 316-20.
15. Lainhart JE, Piven J: Diagnosis, treatment, and neurobiology of autism in children.
Curr Opin Pediatr 1995 Aug; 7(4): 392-400.
16. Lamb JA, Moore J, Bailey A: Autism: recent molecular genetic advances. Hum Mol
Genet 2000 Apr 12; 9(6): 861-8.
17. Lovaas I: The Autistic Child: Language Development through Behavior Modification.
NY: Irvington Press; 1977.
18. Lovaas OI, Koegel RL, Schreibman L: Stimulus overselectivity in autism: a review of
research. Psychol Bull 1979 Nov; 86(6): 1236-54.
20. Poustka F, Lisch S, Ruhl D, et al: The standardized diagnosis of autism, Autism
Diagnostic Interview- Revised: interrater reliability of the German form of the interview.
Psychopathology 1996; 29(3): 145-53.
21. Prior MR, Tress B, Hoffman WL, Boldt D: Computed tomographic study of children
with classic autism. Arch Neurol 1984 May; 41(5): 482-4.
22. Singer HS: Pediatric movement disorders: new developments. Mov Disord 1998; 13
(Suppl 2): 17.
23. Skjeldal OH, Sponheim E, Ganes T, et al: Childhood autism: the need for physical
investigations. Brain Dev 1998 Jun; 20(4): 227-33.
24. Stern JS, Robertson MM: Tics associated with autistic and pervasive developmental
disorders. Neurol Clin 1997 May; 15(2): 345-55.
25. Taylor B, Miller E, Farrington CP, et al: Autism and measles, mumps, and rubella
vaccine: no epidemiological evidence for a causal association. Lancet 1999 Jun 12;
353(9169): 2026-9.
27. Volkmar FR: DSM-IV in progress. Autism and the pervasive developmental
disorders. Hosp Community Psychiatry 1991 Jan; 42(1): 33-5.
28. Volkmar FR, Cicchetti DV, Dykens E, et al: An evaluation of the Autism Behavior
Checklist. J Autism Dev Disord 1988 Mar; 18(1): 81-97.
29. Volkmar FR, Cohen DJ: Neurobiologic aspects of autism. N Engl J Med 1988 May
26; 318(21): 1390-2.
30. Vostanis P, Smith B, Chung MC, Corbett J: Early detection of childhood autism: a
review of screening instruments and rating scales. Child Care Health Dev 1994 May-Jun;
20(3): 165-77.
32. Vrono MS, Bashina VM: [Problem of adaptation of patients with the syndrome of
early childhood autism]. Zh Nevropatol Psikhiatr Im S S Korsakova 1987; 87(10): 1511-
6.
34. Wilkerson DS, Volpe AG, Dean RS, Titus JB. Perinatal complications as predictors of
infantile autism. Int J Neurosci 2002 Sep;112(9):1085-98
35. Wolraich M, Bzostek B, Neu RL, Gardner LI: Lack of chromosome aberrations in
autism. N Engl J Med 1970 Nov 26; 283(22): 1231.
36. Yirmiya N, Sigman M, Freeman BJ: Comparison between diagnostic instruments for
identifying high- functioning children with autism. J Autism Dev Disord 1994 Jun; 24(3):
281-91.
37. Zeanah CH, Davis S, Silverman M: The question of autism in an atypical infant. Am J
Psychother 1988 Jan; 42(1): 135-50.
PENGKAJIAN
Psikososial
Menarik diri dan tidak responsif terhadap orang tua
Memiliki sikap menolak perubahan secara ekstrem
Keterikatan yang tidak pada tempatnya dengan objek
Perilaku menstimulasi diri
Pola tidur tidak teratur
Permainan stereotip
Perilaku destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain
Tantrum yang sering
Peka terhadap suara-suara yang lembut bukan pada suatu pembicaraan
Kemampuan bertutur kata menurun
Menolak mengkonsumsi makanan yang tidak halus
Neurologis
Gastrointestinal
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Intervensi :
a. Ketika berkomunikasi dengan anak, bicaralah dengan kalimat singkat yg terdiri atas 1
hingga 3 kata, dan ulangi perintah sesuai yang diperlukan. Minta anak untuk melihat
kepada anda ketika anda berbicara dan pantau bahasa tubuhnya dengan cermat.
b. Gunakan irama, musik dan gerakan tubuh untuk membantu perkembangan komunikasi
sampai anak dapat memahami bahasa.
c. Bantu anak mengenali hubungan antara sebab dan akibat dengan cara menyebutkan
perasaannya yang khusus dan mengidentifikasi penyebab stimulus bagi mereka.
d. Ketika berkomunikasi dengan anak, bedakan kenyataan dengan fantasi, dalam
pernyataan yang singkat dan jelas.
e. Sentuh dan gendong bayi, tetapi semampu yang dapat ditoleransi.
2. Risiko membahayakan diri sendiri atau orang lain yang berhubungan dengan
rawat inap di rumah sakit
Intervensi :
a. Sediakan lingkungan kondusif dan sebanyak mungkin rutinitas sepanjang periode
perawatan di rumah sakit
b. Lakukan intervensi keperawatan dalam sesi singkat dan sering. Dekati anak dengan
sikap lembut, bersahabat, dan jelaskan apa yang anda akan lakukan dengan kalimat yang
jelas dan sederhana. Apabila dibutuhkan, demonstrasikan prosedur kepada orang tua.
c. Gunakan restrain fisik selama prosedur ketika membutuhkannya, untuk memastikan
keamanan anak dan untuk mengalihkan amarah dan frustasinya.
d. Gunakan teknik modifikasi perilaku yang tepat untuk menghargai perilaku positif dan
menghukum perilaku yang negatif.
e. Ketika anak berperilaku destruktif, tanyakan apakah ia mencoba menyampaikan
sesuatu.
Intervensi :
a. Anjurkan orang tua untuk mengekspresikan perasaan dan kekhawatiran mereka.
b. Rujuk orang tua ke kelompok pendukung autisme setempat dan ke sekolah khusus jika
diperlukan
c. Anjurkan orang tua untuk mengikuti konseling (bila ada).
DENGAN AUTISME
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Di Indonesia sering kali cukup sulit mendapatkan data penderita auitis, ini karena
orangtua anak yang dicurigai mengidap autisme seringkali tidak menyadari
gejala-gejala autisme pada anak. Akibatnya, mereka merujuknya ke pintu lain di
RS. Misalnya ke bagian THT karena menduga anaknya mengalami gangguan
pendengaran dan ke Poli Tumbuh Kembang Anak karena mengira anaknya
mengalami masalah dengan perkembangan fisik.
Tapi kita memang merasakan makin banyak kasus autisme ini di Indonesia dari
tahun ke tahun, papar dia.
SASANTI dalam bagian lain tidak bisa menjelaskan apa penyebab makin
banyaknya kasus autisme di Indonesia. Yang bisa dilacak adalah faktor yang
terkait dengan autisme, misalnya genetis dan biologis. Secara biologis, ada
kemungkinan autisme berkaitan dengan gangguan pencernaan, alergi, gangguan
kandungan, maupun polusi.(edy).( suarasurabaya.net. 13 desember 2008)
1. TUJUAN
1. Tujuan Instruksional Umum
1.
1. Tujuan Instruksional Khusus
2. DEFINISI PENYAKIT
Autisme menurut Rutter 1970 adalah Gangguan yang melibatkan kegagalan untuk
mengembangkan hubungan antar pribadi (umur 30 bulan), hambatan dalam
pembicaraan, perkembangan bahasa, fenomena ritualistik dan konvulsif.
(Sacharin, R, M, 1996: 305)
Autisme masa kanak-kanak dini adalah penarikan diri dan kehilangan kontak
dengan realitas atau orang lain. Pada bayi tidak terlihat tanda dan gejala.
(Sacharin, R, M, 1996 : 305)
Autisme Infantil adalah Gangguan kualitatif pada komunikasi verbal dan non
verbal, aktifitas imajinatif dan interaksi sosial timbal balik yang terjadi sebelum
usia 30 bulan.(Behrman, 1999: 120)
Suatu gangguan perkembangan yang sangat kompleks, yang secara klinis ditandai
oleh adanya 3 gejala utama berupa : kualitas yang kurang dalam kemampuan
interaksi sosial dan emosional, kualitas yang kurang dalam kemampuan
komunikasi timbal balik, dan minat yang terbatas, perilaku tak wajar, disertai
gerakan-gerakan berulang tanpa tujuan (stereotipik). Selain itu tampak pula
adanya respon tak wajar terhadap pengalaman sensorik, yang terlihat sebelum
usia 3 tahun.
1. ETIOLOGI
Sepuluh tahun yang lalu penyebab autisme belum banyak diketahui dan hanya
terbatas pada faktor psikologis saja. Tetapi sekarang ini penelitian mengenai
autisme semakin maju dan menunjukkan bahwa autisme mempunyai penyebab
neurobiologist yang sangat kompleks. Gangguan neurobiologist ini dapat
disebabkan oleh interaksi faktor genetik dan lingkungan seperti pengaruh negatif
selama masa perkembangan otak. Banyak faktor yang menyebabkan pengaruh
negatif selama masa perkembangan otak, antara lain; penyakit infeksi yang
mengenai susunan saraf pusat, trauma, keracunan logam berat dan zat kimia lain
baik selama masa dalam kandungan maupun setelah dilahirkan, gangguan
imunologis, gangguan absorpsi protein tertentu akibat kelainan di usus (Suriviana,
2005).
1.
1. Genetis, abnormalitas genetik dapat menyebabkan abnormalitas
pertumbuhan sel sel saraf dan sel otak
2. Keracunan logam berat seperti mercury yang banyak terdapat dalam
vaksin imunisasi atau pada makanan yang dikonsumsi ibu yang sedang
hamil, misalnya ikan dengan kandungan logam berat yang tinggi. Pada
penelitian diketahui dalam tubuh anak-anak penderita autis terkandung
timah hitam dan merkuri dalam kadar yang relatif tinggi.
3. Terjadi kegagalan pertumbuhan otak karena nutrisi yang diperlukan dalam
pertumbuhan otak tidak dapat diserap oleh tubuh, ini terjadi karena adanya
jamur dalam lambungnya, atau nutrisi tidak trpenuhi karena faktor
ekonomi
4. Terjadi autoimun pada tubuh penderita yang merugikan perkembangan
tubuhnya sendiri karena zat zat yang bermanfaat justru dihancurkan oleh
tubuhnya sendiri. Imun adalah kekebalan tubuh terhadap virus/bakteri
pembawa penyakit. Sedangkan autoimun adalah kekebalan yang
dikembangkan oleh tubuh penderita sendiri yang justru kebal terhadap zat
zat penting dalam tubuh dan menghancurkannya.
1. PATOFISIOLOGI
Sel saraf otak (neuron) terdiri atas badan sel dan serabut untuk mengalirkan
impuls listrik (akson) serta serabut untuk menerima impuls listrik (dendrit). Sel
saraf terdapat di lapisan luar otak yang berwarna kelabu (korteks). Akson
dibungkus selaput bernama mielin, terletak di bagian otak berwarna putih. Sel
saraf berhubungan satu sama lain lewat sinaps.
Sel saraf terbentuk saat usia kandungan tiga sampai tujuh bulan. Pada trimester
ketiga, pembentukan sel saraf berhenti dan dimulai pembentukan akson, dendrit,
dan sinaps yang berlanjut sampai anak berusia sekitar dua tahun.
Setelah anak lahir, terjadi proses pengaturan pertumbuhan otak berupa bertambah
dan berkurangnya struktur akson, dendrit, dan sinaps. Proses ini dipengaruhi
secara genetik melalui sejumlah zat kimia yang dikenal sebagai brain growth
factors dan proses belajar anak.
Makin banyak sinaps terbentuk, anak makin cerdas. Pembentukan akson, dendrit,
dan sinaps sangat tergantung pada stimulasi dari lingkungan. Bagian otak yang
digunakan dalam belajar menunjukkan pertambahan akson, dendrit, dan sinaps.
Sedangkan bagian otak yang tak digunakan menunjukkan kematian sel,
berkurangnya akson, dendrit, dan sinaps.
kelainan genetis, keracunan logam berat, dan nutrisi yang tidak adekuat dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pada proses proses tersebut. Sehingga akan
menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel saraf.
Pertumbuhan abnormal bagian otak tertentu menekan pertumbuhan sel saraf lain.
Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel Purkinye (sel saraf tempat
keluar hasil pemrosesan indera dan impuls saraf) di otak kecil pada autisme.
Berkurangnya sel Purkinye diduga merangsang pertumbuhan akson, glia (jaringan
penunjang pada sistem saraf pusat), dan mielin sehingga terjadi pertumbuhan otak
secara abnormal atau sebaliknya, pertumbuhan akson secara abnormal mematikan
sel Purkinye. Yang jelas, peningkatan brain derived neurotrophic factor dan
neurotrophin-4 menyebabkan kematian sel Purkinye.
Gangguan pada sel Purkinye dapat terjadi secara primer atau sekunder. Bila
autisme disebabkan faktor genetik, gangguan sel Purkinye merupakan gangguan
primer yang terjadi sejak awal masa kehamilan.
Penelitian dengan MRI menunjukkan, otak kecil anak normal mengalami aktivasi
selama melakukan gerakan motorik, belajar sensori-motor, atensi, proses
mengingat, serta kegiatan bahasa. Gangguan pada otak kecil menyebabkan reaksi
atensi lebih lambat, kesulitan memproses persepsi atau membedakan target,
overselektivitas, dan kegagalan mengeksplorasi lingkungan.
Pembesaran otak secara abnormal juga terjadi pada otak besar bagian depan yang
dikenal sebagai lobus frontalis. Kemper dan Bauman menemukan berkurangnya
ukuran sel neuron di hipokampus (bagian depan otak besar yang berperan dalam
fungsi luhur dan proses memori) dan amigdala (bagian samping depan otak besar
yang berperan dalam proses memori).
Adapun hal yang merusak atau mengganggu perkembangan otak antara lain
alkohol, keracunan timah hitam, aluminium serta metilmerkuri, infeksi yang
diderita ibu pada masa kehamilan, radiasi, serta ko kain.
6. MANIFESTASI KLINISl
1.
1. Interaksi sosial.
2. Bahasa yang digunakan sebagai komunikasi sosial.
3. Bermain simbolik atau imajinatif.
1.
1. Gangguan kualitatif interaksi sosial, muncul paling sedikit 2 dari gejala
berikut :
1. Gangguan yang jelas dalam perilaku non verbal (perilaku yang
dilakukan tanpa bicara) misalnya kontak mata, ekspresi wajah,
posisi tubuh dan mimik untuk mengatur interaksi sosial.
2. Tidak bermain dengan teman seumurnya, dengan cara yang sesuai.
3. Tidak berbagi kesenangan, minat atau kemampuan mencapai
sesuatu hal dengan orang lain.
4. Kurangnya interaksi sosial timbal balik.
2. Gangguan kualitatif komunikasi, paling sedikit satu dari gejala berikut :
1. Keterlambatan atau belum dapat mengucapkan kata-kata berbicara,
tanpa disertai usaha kompensasi dengan cara lain.
2. Bila dapat berbicara, terlihat gangguan kesanggupan memulai atau
mempertahankan komunikasi dengan orang lain.
3. Penggunaan bahasa yang stereotipik dan berulang, atau bahasa
yang tidak dapat dimengerti.
4. Tidak adanya cara bermain yang bervariasi dan spontan, atau
bermain menirukan secara sosial yang sesuai dengan umur
perkembangannya.
3. Pola perilaku, minat dan aktivitas yang terbatas, berulang dan tidak
berubah (stereotipik), yang ditunjukkan dengan adanya 2 dari gejala
berikut :
1. Minat yang terbatas, stereotipik dan meneetap dan abnormal dalam
intensitas dan fokus.
2. Keterikatan pada ritual yang spesifik tetapi tidak fungsional secara
kaku dan tidak fleksibel.
3. Gerakan motorik yang stereotipik dan berulang, misalnya flapping
tangan dan jari, gerakan tubuh yang kompleks.
4. Preokupasi terhadap bagian dari benda.
1. PENATALAKSANAAN MEDIS
Kimia otak yang kadarnya abnormal pada penyandang autis adalah serotonin 5-
hydroxytryptamine (5-HT), yaitu neurotransmiter atau penghantar sinyal di sel-sel
saraf. Sekitar 30-50 persen penyandang autis mempunyai kadar serotonin tinggi
dalam darah.
Kadar norepinefrin, dopamin, dan serotonin 5-HT pada anak normal dalam
keadaan stabil dan saling berhubungan. Akan tetapi, tidak demikian pada
penyandang autis.
Dengan pelbagai terapi itu, diharapkan penyandang autis bisa menjalani hidup
sebagaimana anak-anak lain dan tumbuh menjadi orang dewasa yang mandiri dan
berprestasi.
1. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
1.
1. Mengurangi masalah perilaku.
1.
1. Meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangan terutama bahasa.
Latihan dan pendidikan dengan menggunakan pendidikan (operant
conditioning yaitu dukungan positif (hadiah) dan dukungan negatif
(hukuman).
1.
1. Anak bisa mandiri dan bersosialisasi.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
1. DIAGNOSA KEPERAWATAN
4. Deprivasi ibu
5. Deprivasi ibu
4. Deprivasi ibu
2. Tugas-tugas tidak terselesaikan dari rasa percaya versus rasa tidak percaya
3. Deprivasi ihu
1.
1. Resiko terhadap mutilasi diri
2. Pasien memulai interaksi antara diri dan perawat apabila merasa cemas
Intervensi
1. Pakaikan helm pada anak untuk menghindari trauma saat anak memukul-
mukul kepala, sarung tangan untuk mencegah menarik narik rambut,
pemberian bantal yang sesuai untuk mencegah luka pada ekstremitas saat
gerakan-gerakan histeris
Rasional : Untuk dapat bisa lebih menjalin hubungan saling percaya dengan
pasien
BAB IV
PEMBAHASAN
Semakin hari istilah autis semakin banyak diperbincangkan di mana-mana. Hal ini
mengindikasikan bahwa perkembangan autis semakin lama semakin meningkat.
Namun, yang disayangkan tingkat penyangkalan (denial) orang tua terhadap autis
ini masih cukup tinggi. Oleh sebab itu, tidak heran banyak kasus autis menjadi
terlambat untuk ditangani. Padahal deteksi dini autis sangat penting untuk
membantu tahapan perkembangan anak-anak autis.
Salah satu masalah keterlambatan penanganan autis ada beberapa hal, salah
satunya adalah banyak orang tua yang belum memahami gejala-geala awal autis.
Penyebab autis sebenarnya ada banyak tapi belum ada yang bersifat konklusif.
Beberapa penyebab autis antara lain, karena dari makanan yang mengandung zat-
zat kimia, pengaruh polusi air, udara, dan sebagainya, serta faktor keturunan atau
kelainan gen, tutur Danny Tania, Programme Manger Linguistic Council.
Autis tidak dapat dikategorikan sebagai penyakit. Sebab, autis belum dapat
disembuhkan, tetapi dapat dibantu dengan terapi, bantuan guru khusus, dan peran
serta orang tua yang turut aktif membantu.
Bagi para orang tua, gejala autis pada anak sebenarnya sudah dapat terdeteksi
mulai dari usia 16 bulan. Salah satu ciri-cirinya adalah tidak adanya kontak mata
dan respon berupa senyuman atau gerakan dari si anak ketika orang tua mengajak
berinteraksi.
Selain itu, perhatikanlah apakah pada usia 18 hingga 36 bulan si anak sudah siap
dapat meniru gerakan atau kebiasaan orang tua atau disebut juga pretend-play?
Pada usia seperti ini, biasanya anak perempuan akan meniru gerakan ibunya
dengan berpura-pura memasak atau bagi anak laki-laki meniru kebiasaan ayahnya
dengan membaca Koran atau menggunakan sepatu ayahnya. Nah, jika anak anda
tidak dapat melakukan kedua hal di atas, maka ada kemungkinan dia autis.
Gejala yang lainnya adalah anak suka melakukan kegiatan yang serupa secara
berulang-ulang. Contohnya adalah kebiasaan seorang anak membangun bangunan
dari balok-balok yang kemudian dihancurkan. Lalu dia membangun kembali
balok-balok tersebut ke dalam bentuk dan urutan yang sama persis. Hal ini
dilakukan secara berulang-ulang dengan urutan dan bentuk bangunan balok yang
sama persis seperti di awal. Ini merupakan salah satu kelebihan anak autis. Sebab,
mereka mempunyai kelebihan dalam fotografik memori. Kelebihan ini merupakan
suatu anugerah yang dapat anda kembangkan melalui terapi yang tepat. Salah satu
bentuk terapi yang dapat meningkatkan perilaku anak autis sekaligus mengurangi
kesulitan-kesulitannya adalah melalui terapi perilaku atau metode ABA (Applied
Behavioural Analysis). Metode ini melatih anak berkemampuan, social, akademis,
dan kemampuan membantu diri sendiri. melalui peranan orang tua dan terapi yang
tepat, anak autis dapat diarahkan sesuai dengan kelebihannya. Orang tua dapat
membantu mengarahkan anak autis untuk mengembangkan kelebihan-kelebihan
mereka seperti, kemampuan focus dan konsentrasi yang luar biasa serta melatih
mereka untuk mengurangi berbagai kesulitan-kesulitannya. Terbukti, banyak
penderita autis yang akhirnya berfungsi dan mampu berkarya dalam
kehidupannya. Banyak di antara mereka yang akhirnya menjadi pakar di bidang
sains, matematika, computer, dan lain sebagainya. Hal ini tentunya akan membuat
mereka tumbuh menjadi anak yang special dengan kelebihan yang special pula.
1. PEMBAHASAN
1. Pengkajian
Pengkajian yang dilakukan perawat adalah untuk mendapatkan data
tentang adanya perilaku yang membahayakan, gejala gejala yang
mengganggu perkembangan dan pertumbuhan penderita, dan menentukan
masalah masalah yang masih bisa ditangani oleh perawat.
1.
1. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko tinggi terhadip mutilasi ditegakkan agar pasien tidak
melakukan tindakan tindakan yang membahayakan diri ketika
pasien merasa terancam. Perawat harus mampu menjadi teman
bagi pasien, sehingga pasien merasa nyaman bersama perawat
2. Kerusakan interaksi social ditegakkan untuk memberikan stimulasi
social yang cukup agar anak mampu berinteraksi dengan
lingkungan sekitar, anak dengan autis sangat tidak peka terhadap
rangsang dari lingkungan, dengan stimulasi yang cukup kuat,
diharapkan anak dapat memperhatikan benda benda disekitarnya
3. Kerusakan komunikasi verbal ditegakkan agar pasien dapat
melakukan komunikasi dengan orang lain menggunakan bahasa
yang bisa dipahami oleh orang lain, anak dengan autis biasanya
menggunakan simbul simbul dalam berkomunikasi, sehingga
anak perlu dimotivasi untuk menggunakan tanda atau simbul yang
mudah dimengerti, dan dimotivasi untuk menggunakan bahasa
seperti yang digunakan orang lain, reward untuk keberhasilan
menggunakan kata kata (verbal) sangat baik untuk memotivasi
anak menggunakan bahasa verbal.
4. Gangguan identitas pribadi ditegakkan agar anak bisa
membedakan bagian bagian tubuhnya sendiri dengan lingkungan
dan dengan orang lain,
BAB V
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Autis suatu gangguan perkembangan yang sangat kompleks, yang secara klinis
ditandai oleh gejala gejala diantaranya kualitas yang kurang dalam kemampuan
interaksi sosial dan emosional, kualitas yang kurang dalam kemampuan
komunikasi timbal balik, dan minat yang terbatas, perilaku tak wajar, disertai
gerakan-gerakan berulang tanpa tujuan (stereotipik). Selain itu tampak pula
adanya respon tak wajar terhadap pengalaman sensorik, yang terlihat sebelum
usia 3 tahun. Sampai saat ini penyebab pasti autis belum diketahui, tetapi
beberapa hal yang dapat memicu adanya perubahan genetika dan kromosom,
dianggap sebagai faktor yang berhubungan dengan kejadian autis pada anak,
perkembangan otak yang tidak normal atau tidak seperti biasanya dapat
menyebabkan terjadinya perubahan pada neurotransmitter, dan akhirnya dapat
menyebabkan adanya perubahan perilaku pada penderita. Dalam kemampuan
intelektual anak autis tidak mengalami keterbelakangan, tetapi pada hubungan
sosial dan respon anak terhadap dunia luar, anak sangat kurang. Anak cenderung
asik dengan dunianya sendiri. Dan cenderung suka mengamati hal hal kecil
yang bagi orang lain tidak menarik, tapi bagi anak autis menjadi sesuatu yang
menarik.
Terapi perilaku sangat dibutuhkan untuk melatih anak bisa hidup dengan normal
seperti anak pada umumnya, dan melatih anak untuk bisa bersosialisasi dengan
lingkungan sekitar.