Bab II
Bab II
TINJAUAN PUSTAKA
Untuk dapat mewujudkan keadaan sehat banyak upaya yang harus dilaksanakan.
Salah satu diantaranya yang dipandang mempunyai peranan yang cukup penting adalah
penyelenggaraan pelayanan kesehatan (Blum, 1976). Pelayanan dokter keluarga adalah
pelayanan kedokteran yang menyeluruh yang memusatkan pelayanannya kepada keluarga
sebagai suatu unit, pada mana tanggung jawab dokter terhadap pelayanan kesehatan tidak
dibatasi oleh golongan umur atau jenis kelamin pasien, juga tidak oleh organ tubuh atau
jenis penyakit tertentu saja (The American Academy of Family Physician, 1969).
Pelaksana pelayanan dokter keluarga adalah dokter keluarga (Family Doctor, Family
Physician). Pada saat ini batasan untuk dokter keluarga banyak macamnya. Beberapa
diantaranya yang dipandang cukup penting adalah :(6)
Dokter keluarga adalah dokter yang dapat memberikan pelayanan kesehatan yang
berorientasi komunitas dengan titik berat kepada keluarga, ia tidak hanya
memandang penderita sebagai individu yang sakit tetapi sebagai bagian dari unit
keluarga dan tidak hanya menanti secara pasif, tetapi bila perlu aktif mengunjungi
penderita atau keluarganya (Ikatan Dokter Indonesia, 1982).(6)
Dokter keluarga adalah dokter yang memiliki tanggung jawab menyelenggarakan
pelayanan masyarakat tingkat pertama serta pelayanan kesehatan yang
menyeluruh yang dibutuhkan oleh semua berhadapan dengan suatu masalah
kesehatan khusus yang tidak mampu ditanggulangi, meminta bantuan konsultasi
dari dokter ahli yang sesuai (The American Board of Family Practice, 1969).(6)
Dokter keluarga adalah dokter yang melayani masyarakat sebagai kontak pertama
yang merupakan pintu masuk ke sistem pelayanan kesehatan, menilai kebutuhan
kesehatan total pasien dan menyelenggarakan pelayanan kedokteran perseorangan
dalam satu atau beberapa cabang ilmu kedokteran serta merujuk pasien ketempat
pelayanan lain yang tersedia sementara tetap menjaga kesinambungan pelayanan,
mengembangkan tanggung jawab untuk pelayanan kesehatan menyuluruh dan
berkesinambungan serta bertindak sebagai koordinator pelayan kesehatan,
menerima tanggung jawab untuk perawatan total pasien termasuk konsultasi
sesuai dengan keadaan lingkungan pasien yakni termasuk konsultasi sesuai
dengan keadaan lingkungan pasien yakni keluarga atau unit sosial yang sebanding
serta masyarakat (The American Academic of General Practice, 1947).(6)
Dokter keluarga adalah dokter yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
personal, tingkat pertama, menyeluruh, dan berkesinambungan kepada pasiennya
yang terkait dengan keluarga, komunitas serta lingkungan dimana pasien tersebut
berada (Singapore College of General Practice, 1987).(6)
Tujuan pelayanan dokter keluarga mencakup bidang yang amat luas sekali. Jika
disederhanakan secara umum dapat dibedakan atas dua macam:(6)
1. Tujuan Umum
Tujuan umum pelayanan dokter keluarga adalah sama dengan tujuan pelayanan
kedokteran dan atau pelayanan kesehatan pada umumnya, yakni terwujudnya
keadaan sehat bagi setiap anggota keluarga.
2. Tujuan Khusus
Sedangkan tujuan khusus pelayanan keluarga akan pelayanan kedokteran dapat
dibedakan atas dua macam:
Terpenuhinya kebutuhan keluarga akan pelayanan kedokteran yang lebih
efektif.
Dibandingkan dengan pelayanan kedokteran lainnya, pelayanan dokter
keluarga memang lebih efektif. Ini disebabkan karena dalam menangani
suatu masalah kesehatan, perhatian tidak hanya ditujukan pada keluhan
yang disampaikan saja, tetapi pada pasien sebagai manusia seutuhnya, dan
bahkan sebagai bagian dari anggota keluarga dengan lingkungannya
masing masing. Dengan diperhatikannya berbagai faktor yang seperti ini
maka pengelolaan suatu masalah kesehatan akan dapat dilakukan secara
sempurna dan karena itu penyelesaian suatu masalah kesehatan akan dapat
pula diharapkan lebih memuaskan.(6)
Terpenuhinya kebutuhan keluarga akan pelayanan kedokteran yang lebih
efisien.(6)
Dibandingkan dengan pelayanan kedokteran lainnya, pelayanan dokter
keluarga juga lebih efisien. Ini disebabkan karena pelayanan dokter
keluarga lebih mengutamakan pelayanan pencegahan penyakit serta
diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.
Dengan diutamakannya pelayanan pencegahan penyakit, maka berarti
angkat jatuh sakit akan menurun, yang apabila dapat dipertahankan, pada
gilirannya akan berperan besar dalam menurunkan biaya kesehatan. Hal
yang sama juga ditemukan pada pelayanan yang menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan. Karena salah satu keuntungan dari pelayanan yang
seperti ini ialah dapat dihindarkannya tindakan dan atau pemeriksaan
kedokteran yang berulang-ulang, yang besar peranannya dalam mencegah
penghamburan dana kesehatan yang jumlahnya telah diketahui selalu
bersifat terbatas.(6)
Hipertensi adalah salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas di Indonesia,
sehingga tatalaksana penyakit ini merupakan intervensi yang sangat umum dilakukan
diberbagai tingkat fasilitas kesehatan. (1)
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana upaya penurunan tekanan darah akan
memberikan manfaat besar, dibandingkan dengan tidak melakukan upaya tersebut.
Penatalaksanaan hipertensi bertujuan untuk menurunan morbiditas dan mortalitas akibat
kerusakan organ target.(2)
Hampir semua konsensus atau pedoman utama baik dari dalam walaupun luar negeri,
menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan darah sistolik
140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik 90 mmHg, pada pemeriksaan yang
berulang.(1)(2) Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar
penentuan diagnosis hipertensi.(1)
- Selalu mencari faktor risiko metabolik (diabetes, ganguan tiroid dan lainnya) pada pasien
dengan hipertensi dengan atau tanpa penyakit jantung dan pembuluh darah.(1)
3 atau lebih dari Risiko rendah Risiko sedang Risiko tinggi Risiko tinggi -
faktor resiko sedang tinggi resiko sangat
tinggi
CVD simtomatik, Risiko sangat Risiko sangat Risiko sangat Risiko sangat
CKD std 4 atau DM tinggi tinggi tinggi tinggi
dengan OD/ Faktor
TDS : tekanan darah sistolik, TDD : tekanan darah diastolik, FR: faktor risiko,
OD : organ damange, CKD : chronic kidney disease, CVD : cerebrovascular
disease, DM : diabetes melitus
Tabel 3 Faktor selain TD yang mempengaruhi prognosis yang digunakan pada Stratifikas Faktor
Resiko Global Kardiovaskular (2)
Faktor resiko
Laki - laki
Umur
Merokok
Dislipidemia
Obesitas abdominal ( lingkar pinggang : laki - laki > 90 cm, perempuan > 80 cm )
Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular dini ( laki - laki usia < 55 tahun; perempuam
usia < 65 tahun )
Diabetes Melitus
Gula darah puasa > 126 mg/dl atau gula darah sewaktu > 200 dengan gejala klasik DM, atau
Gula darah puasa > 126 mg/dl atau Gula darah sewaktu > 200 dalam 2 kali pemeriksaan, atau
Kadar gula plasma 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa oral ( TTGO ) > 200, atau
HBA1C > 6
Penyakit Jantung koroner : infark miokard, angina, revaskularisasi miokardial dengan PCI atau
CABG
Gagal jantung
Penyakit pembuluh darah perifer ekstremitas bawah yang simptomatik
Penyakit ginjal kronik dengan eGFR < 60ml/menit/1,73 m 2, proteinuria ( > 300mg/24 jam )
Retinopati lanjut : perdarahan, eksudat, papiledem
Keterangan : BSA = body surface area, CABG = coronary arteri bypass graft, eGFR = estimated
glomerular filtration rate, HBA1C = glycated hameogloin; PCI = percutaneus coronary
intervention ; PWV = pulse wave velocity; TIA = Transient Ischemic Attack
Pencegahan primer
Strategi mencegah timbulnya hipertensi menjadi penting untuk menurunkan angka kejadian
kardio-serebro-vaskular. Pencegaha primer ditujukan kepada individu yang belum terkena
hipertensi tetapi mempunyai faktor resiko hipertensi atau berpotensi terkena hipertensi. Faktor -
faktor resiko hipertensi, yaitu usia, riwaya keluarga hipertensi, diet tinggi garam, diet rendah
kalium, minum alkohol dan stress. ( 2)
Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk pencegahan menyangkut perubahan gaya hidup,
yaitu :
1. Penurunan berat badan dengan target mempertahankan berat badan pada kisaran indeks
massa tubuh 18,5 - 22, 9 kg/m 2
2. Mengadopsi program diet sesuai dengan Dietary Approaches to Stop Hipertension ( DASH ),
yaitu banyak mengkonsumsi buah - buahan, sayur - sayuran,serta produk mengandung susuu
yang rendah lemak dengan kandungan lemak tersaturasi dan lemak total rendah.
3. Menguragi asupan garam sehari - hari tidak lebih dari 6 gram narium klorida atau sendok teh
garam dapur
4. Meningkatkan aktivitas fisik aerobik secara teratur seperti jalan cepat secara kontinyu selama
minimal 30 menit dengan frekuensi 4-6 kali/minggu
5. Tidak merokok
Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan pada pasien yang belum mengalami kerusakan organ
target. Tujuannya untuk mencegah atau menghambat timbulnya kerusakan organ target.
Dilakukan dengan penyuluhan mengenai kerusakan target organ dan pentingnya kepatuhan
dalam menjalani program pengobatan, pengobatan yang adekuat untuk mencapai TD target,
atau deteksi dini kerusakan organ target dan resiko kardiovaskular total sejak awal pengobatan
hipertensi. ( 2)
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier merupakan upaya mencegah terjadinya kecacatan lebuh lanjut pada
pasien hipertensi yang telah mengalami kerusakan target organ. Pencegahan tersier memerlukan
pendekatan interdisiplin yang dilakukan di rumah sakit rujukan. Tatalaksana terhadap kerusakan
organ target telah terjadi harus dilakukan dengan sedini mungkin. (2)
Pengelolaan hipertensi
Evaluasi diagnostik(2)
2. Analisis resiko kardiovaskular, kerusakan organ target, dan penyakit penyerta lainnya
Oleh karena itu, diperlukan pengukuran tekanan darah, riwayat medik termasuk riwayat
keluarga, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan beberapa test diagnostik lainnya.
Beberapa pemeriksaan diperlukan pada semua pasien namun beberapa pemeriksaan khusus
hanya diperlukan pada populasi spesifik tertentu. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang untuk diagnosis hipertensi sekunder perlu dilakukan pada pasien
dengan gejala atau tanda klinis sebagai berikut : (2)
- peningkatan tekanan darah akut pada pasien dengan tekanan darah sebelumnya stabil
- usia kurang dari 30 tahun pada pasien tidak obesitas tanpa riwayat keluarga hipertensi dan
faktor resiko hipetensi
- hipertensi maligna atau hipertensi terakselerasi ( pasien hipertensi berat dengan tanda
kerusakan organ target )
- mempersilahkan pasien untuk duduk 3-5 menit sebelum melakukan pengukuran tekanan darah
- melakukan pengukuran tekanan darah sebanyak 2 kali pada posisi duduk, beri jeda 1-2 menit,
serta pengukuran tekanan darah tambahan dapat dilakukan jika kedua memiliki hasil yang sangat
berbeda. Dapat dipertimbangkan pula rerata tekanan darah jika dianggap lebih tepat.
- pengukuran tekanan darah secara berulang dapat dilakukan pada pasien dengan aritmia untuk
meningkatkan akurasi.
- menggunakan manset standar, atau manset yang lebih besar aau kecil sesuai dengan ukuran
lengan
- pada metode auskultasi, gunakan ( hiilangnya ) suara Korotkoff fase I dan V untuk
mengidentifikasi TD sistolik dan diastolik.
- pada kunjungan pertama : mengukur tekanan darah pada keuda lengan untuk mendeteksi
adanya kemungkinan perbedaan. Pada pengukuran selanjutnya menggunakan sisi lenan dengan
pengukuran tertinggi sebagai referensi.
- pada kunjungan pertama : pada subjek lansia, pasien diabetes dan kondisi lain dengan
kemungkinan sering atau curiga hipotensi ortostatik dilakukan pula pengukuran tekanan darah 1-
3 menit setelah posisi berdiri.
- sebaiknya dilakukan pengukuran frekuensi nadi menggunakan palpasi nadi ( minmal 30 detik )
setelah pengukuran tekanan darah.
Keuntungan pengukuran tekanan darah diluar klini adalah pengukuran tekana darah bebas
dari pengauh ligkunagn medik,sehingga lebih mencerminkan nilai tekanan darah. Pengukuran
tekanan darah diluar klinik biasanya diniai dengan Ambulatory Blood Pressure Monitoring
( ABPM ) atau Home Blood Presure Monitoring ( HBPM ). ABPM dan HBPM merupakan data
tambahan terhadap status TD seseorang dan resiko kardivaskular. Nilai cutt-off definisi hipertensi
tekanan darah diklinik dan dilaur klinik dapat dilihat pada tabel berikut : (2)
- TD tinggi di klinik pada pasien tanpa kerusakan target organ asimptomatikk dan total
resiko kardiovaskular rendah
- TD normal di klinik pada pasien denagn kerusakan target oga dan total resiko
kardiovaskular tinggi
DIAGNOSIS
Anamnesis
- Riwayat keluarga dan pribadi dengan diabetes melitus ( pengobatan, kadar gula darah, poliuria )
- Kebiasaan merokok
- Pola makan
- Perubahan berat badan terbaru : obesitas
Pemeriksaan Fisik
Keterangan : HBPM : Home Blood Pressure Monitoring , ABPM : Ambulatory Blood Pressure
Monitoring
Pemeriksaan Fisik untuk Hipertensi Sekunder, keruskan organ target, dan obesitas (2)
- Berkurangnta dan tertundanya denyut femoral dan mengurangi tekanan darah femoral
dibandingkan dengan tekanan darah lengan simultan ( koarkasio aorta; penyakit arteri
eksremitas bawah )
- Perbedaan tekanan darah lengan kiri - kanan ( koarkasio aorta, stenosis arteri subklavia )
Bukti obesitas
- Berat dan tinggi badan
Pemeriksaan Penunjang
Tes Rutin
- EKG
Uji tambahan, berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik dan temuan hasil laboratorium rutin
- Proteinuria kuantitaif ( jika uji dipstick menunjukan hasil positif ); konsentrasi urin kalium dan
natrium dan perbandingannya
- HBA1C ( jika glukosa plasma puasa > 102 mg/dL atau diagnosis diabetes sebelumnya )
- Funduskopi
Pemeriksaan kognitif
- Penilaian hipertensi sekunder berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik, atau uji rutin dan
tambahan
TATALAKSANA HIPERTENSI
Pendekatan tatalaksana
Pengobatan antihipertensi dimulai saat seseorang dengan hipertensi tingkat 1 tanpa faktir
resiko, belum mencapai target TD yang diinginkan dengan pendekatan terapi nonfarmakologi. (1)(2)
...........................................................
Follow up
Kunjungan ulang pasien yang belum mencapai target tekanan darah bertujuan unuk
meningkatkan intensitas gaya hidup dan konsumsi obat, serta membantu rspons terhadap
pengobatan yang diberikan dan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat dengan tujuan
akhir menurunkan risiko kardiovaskular serta menurunkan tekanan dasarh seusai target. (2)
- target tekanan darah sistolik lebih sulit dicapai. Selain it mengontrol tekanan darah sistolik
merupakan hal penting, tetapi tidak lebih penting dibandingkan mengontroltekanan
diastolik (2)
- biasanya diberkan dua atau lebih obat - obatan dan pengubahan gaya hidup (2)
Follow up tekanan darah di atas target dilakukan ketika seseorang dengan tekana darah
di atas target direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan kembali, setidaknya pada
bulan berikutnya setelah diagnsois hipertensi (2)
Non farmakologis
Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan tekanan darah, dan
secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan risiko permasalahan kardiovaskular.
Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1, tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka
strategi pola hidup sehat merupakan tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya
selama 4 6 bulan. Bila setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan
darah yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka sangat
dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi. (1)
Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines adalah : (1)
Di negara kita, makanan tinggi garam dan lemak merupakan makanan tradisional pada
kebanyakan daerah. Tidak jarang pula pasien tidak menyadari kandungan garam pada makanan
cepat saji, makanan kaleng, daging olahan dan sebagainya. Tidak jarang, diet rendah garam ini
juga bermanfaat untuk mengurangi dosis obat antihipertensi pada pasien hipertensi derajat 2.
Dianjurkan untuk asupan garam
- Olah raga
Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 60 menit/ hari, minimal 3 hari/ minggu,
dapat menolong penurunan tekanan darah. Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu untuk
berolahraga secara khusus, sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk berjalan kaki, mengendarai
sepeda atau menaiki tangga dalam aktifitas rutin mereka di tempat kerjanya.
- Mengurangi konsumsi alcohol. Walaupun konsumsi alcohol belum menjadi pola hidup yang
umum di negara kita, namun konsumsi alcohol semakin hari semakin meningkat seiring dengan
perkembangan pergaulan dan gaya hidup, terutama di kota besar.
Konsumsi alcohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita, dapat
meningkatkan tekanan darah. Dengan demikian membatasi atau menghentikan konsumsi
alcohol sangat membantu dalam penurunan tekanan darah.
- Berhenti merokok. Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti berefek langsung dapat
menurunkan tekanan darah, tetapi merokok merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit
kardiovaskular, dan pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti merokok.
Terapi farmakologi
Penelitian besar membuktikan bahwa obat - obat antihipertensi utama berasal dari
golongan : (2)
- Diuretik
- Antagonist Kalsium
Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien hipertensi
derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah > 6 bulan menjalani pola
hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat 2. Beberapa prinsip dasar terapi
farmakologi yang perlu diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan meminimalisasi efek
samping, yaitu :(1)
- Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya
- Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun ) seperti pada usia 55 80 tahun,
dengan memperhatikan faktor komorbid
Intoleransi glukosa
Kehamilan
Hiperkalsemia
Hipokalemia
Antagonist Kalsium Takiaritmia
Dihidropiridin
Gagal jantung
Antagonist Kalsium
non-dihdiropiridin
(verapamil, diltiazem )
Kondisi Obat
Tanpa faktor lain Tidak ada - perubahan Risiko sedang Risiko tinggi
intervensi TD gaya hidup
untuk
beberapa
bulan
- kemudian
konsumsi obat
dengan target
TD < 140/90
1 - 2 fakto resiko - perubahan - perubahan - perubahan gaya - perubahan gaya
gaya hidup gaya hidup hidup untuk hidup
untuk beberapa
- tidak ada - segera konsumsi
beberapa minggu
intervensi TD obat dengan
minggu
- kemudian target TD <
- kemudian konsumsi obat 140/90
konsumsi obat dengan target TD
dengan target < 140/90
TD < 140/90
...............................................
Keterangan : garis hijau lurus : kombinasi yang disukai; garis hijau putus - putus ; kombinasi yang
bermanfaat ( degan beberapa keterbatasan ); garis hitam putus - putus : kombinasi yang
mungkin, tetapi kurang uji ; garis merah lurus : kombinasi yang tidak direkomendasikan.
Meskipun verapamil dan diltiazem terkadang digunakan dengan beta blocker untuk
meningkatkan pengendalian rerata ventrikluar pada fibrilasi atrial permaen, hanya antagonist
kalsium dihidropiridin yang dapat secara normal berkombinasi dengan beta blocker. (2)
Tabel Strategi Pengobatan dan Pemilihan Obat
Diuretik ( thiazides, Chlortalidone dan Indapamide , BB. Antagonist Kalsium, ACEI, dan ARN,
semuanya merupakan obat yang cocok dan direkomendasikan untuk permulaaan/ inisiasi dan
pemeliharaan dari pengobatan antihipertensi, baik monoterapi atau dalam kombinasi dengan
yang lainnya.
Eberapa agen dapat dipertimbangkan sebagai pilihan terbaik dalam kondisi khusu karena sudah
diuji coba padaa kondisi tersebut atau karena memiliki efek terbaik dalam jenis tertentu dari
kerusakan organ.
Permulaan/inisiasi dai pengobatan antihipertensi dengan kombinasi dua obat mungkin dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan tekanan darah tinggi yang jelas atau pada resiko tinggi
kardiovaskular
Kombinasi dari dua obat antihipertensi pada dosis penuh dalam satu tablet direkomendasikan
dan disukai, karena dapat mengurangi jumlah pil haran yang dionsumsi serta meningkatkan
kepatuhan, yang mana sangat sedikit pada pasien hipertensi.
Prevalensi hipertensi White Coat ( HWC ) adalah 13% beberapa survei menunjukkan
peningkatan prevalensi sampai 32% pada subjek - subejk dengan hipertensi. Faktor - faktir yang
berhubungan dengan peningkatan prevalensi HWC adalah usia, jenis kelamin wanita dan tidak
merokok.(2)
Tanpa faktor - faktor resiko lainnya, intervensi HWC cukup dengan mengubah gaya hiduo.
Pada penderita dengan faktr - faktor risiko lainnya dan adanya kerusukan organ tanpa keluhan,
maka risiko kardioaskular juga akan meningkat, sehingga dapat mulai denan pemberian obat
antihipertensi.(2)
Hipertensi Masked
Usia Lanjut
Pada pasien usia 60 tahun atau lebih, pengobatan obat antihipertensi dapat mulai pada TDS
150 mmHg atau TDD 90 mmHg dengan tekanan darah target TDS < 150 mmHg dan TDD
<90mmHg. Pada pasien usia V 60 tahun apabila pengobatan dengan antihipertesi mencapai
target < 140 mmHg dan pengobatan tersebut ditoleransi dengan baik tanpa efek samping bagi
kesehatan maupun kualitas hidup pasien, pengobatan tidak perlu diubah atau dimodifikasi.
Semua golongan obat antihipertensi dapat dipakai pada penderita hipertensi usia lanjut,
meskipun Isolated Systolic Hypertension lebih dipilih penggunaan diuretik atau antagonist
kalsium. Hipotensi ortostatik perlu dideteksi dan diwaspadai pada pengobatan hipertensi pada
usia lanjut.(2)
Dewasa muda
Hasil studi di Swedia mencangkup 1,2 juta laki - laki dewasa muda ( rerata usia 18 tahun )
dan di follow up selama 24 tahun menunjukkan bahwa kematian total dan kematian
kardiovaskuler lebih erat hubungannya dengan TDD dibandingkan TDS. Hampir 20% dari total
kematial pada laki - laki usia muda ini dpat diterangkan akibat TD diastoliknya ( Sundstrom,dkk).
Target penurunan TD yang dianjurkan adalah TDD < 90 mmHg. (2)
Perempuan
Suatu analisis subgrup dari 31 RCT menunjukkan bahwa tidak terdapat pernedaan dalam
derajat proteksinya dari penuruan tekanan darah antara laki - laki dan perempuan. Juga
efektivitasnya terhadap semua obat antihipertensi adalah sama antara wanita dan laki - laki.
Pada wanita dengan potensi dapat hamil, maka obat ACEI , ARB, maupun Renin Inhibitor
( Aliskerin ) adalah kontrandikasi karena efek keratogeniknya. (2)
Kehamilan
Obat antihipertensi yang dianjurkan adalah metildopa, labetelol, CCB ( nifedipin satu -
satunya CCB yang diteliti pada kehamilan ) sedangan ACEI, ARB, Renin, Inhibitor dilarang
pemakaiannya pada kehamilan. Pada keadaan darurat ( preeklampsia ) obat yang dianjurkan
adalah i.v Labetalol, sebagai alternatif dapat dipakai Sodium Nitroprusside atau NItrogliserin
dalam infus i.v.(2)
Diabetes Melitus
Dianjurkan untuk memonitor TD dengan ABPM selama 24 jam, karena hipertensi masked
sering ditemukan pada penderita diabetes. Pengobatan dengan obat antihipertensi pada
penderita diabetes dianjurkan diberikan pada pasien TD 140/90 mmHg. Target TD yang
direkomendasikan adalah < 140/90 mHg. Semua golongan obat antihipertensi dapat dipakai
pada penderita dengan diabetes, tetapi yang sangat dianjurkan adalah obat - obat yang
tergolong penghambat RAS, terutama bila ada proteinuria/albuminuria. Pemberiaan bersamaan
dua golongan penghambat RAS tidak dianjurkan dan harus dihindari pada penderita diabetes. (2)
Sindrom Metabolik
Hubungan antara Sleep Apnea Obstruktif dan hipertensi sudah diketahui dengan baik,
khususnya dengan hipertensi nokturnal. Sleep apnea obstruktif bertanggungjawab pada
sebagian besar kasus peningkatan tekanan darah di malam hari. Adanya obesitas berhubunga
dengan sleep apnea obstruktif, sehingga dianjurkanuntuk penurunan berat badan dan olahraga.
Saat ini terapi positive airway pressure merupakan salah satu terapi untuk mengurangi Sleep
apnea obstruktif. Dua penelitian prospektif terbaru melaporkan bahwa subjek TD normal dengan
sleep apnea obstruktif yang diikuti selama 12 tahun menunjukan peningkatan signifikan risiko
hipertensi.(2)
Prevalensi pada Penyakit Ginjal Kronik cukup tinggi. Prevalensi ini meningkat secara
progresif sesuai dengan penurunan fungsi ginjal atau laju filtrasi glomerulus. Morbiditas dan
mortalitas penyakit kardiovaskuler juga meningkat pada Penyakit Ginjal Kronik sesuai dengan
penurunan fungsi ginjal. Pengelolaan hipertensi pada Penyakit Ginjal Kronik penting untuk
meghambat progresifitas penurunan fugsi ginjal dan mencegah morbiditas dan mortalitas
penyakit kardiovaskuler. (2)
Target TD penatalaksanaan hipertensi pada Penyakit Ginjal Kronik adalah < 140/90 mmHg.
Bukti ilmiah yang menunjukkan tidak ada perbedan dalam hal penghambatan penurunan fungsi
ginjal dan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskuler bila tekanan darah lebih rendah
dari target pada populasi umum ( < 140/90 mmHg). (2)
Antihipertensi olongan ACEI atau ARB dianjurkan sebagai obat lini pertama atau
ditambahkan pada pengobatan yang telah ada pada Penyakit Ginjal Kronik untuk mencegah dan
menghambat penurunan fungsi ginjal dan ppenyakit ginjal tahap akhir. (2)
Penggunaan ACEI dan ARB sering meyebabkan peningkatan kreatinin serum dan
hiperkalemia, khususnya pada Penyakit Ginjal Kronik. Oleh karena itu, perlu pemantauan
kreatinin dan kalium serum dalam pemberiannya. Pada beberapa kasus diperlukan penyesuaian
dan penghentian pengobatan untuk keamanan pasien. (2)
Penyakit serebrovaskular
Penyakit darah tinggi cukup sering ditenukan pada Penyakit serebrovaskular yangbiasa
dapat mengakibatkan terjadinya stroke. Penyebab sering kali tidak diketahui bahwa pasien
tersebut sudah memiliki TD target, terapi inadekuat pada pengelolaan tekanan darah tinggi,
respons yang diakibatkan terhadap penyakit stroke yang diderita secara mendadak yang
mengakibatkan faktor stress terhadap pasien itu sendiri yang diakibatkan terjaidnya peningkatan
aliran darah ke otak, rasa sakit, ketakutan dan sebagainya. TD tinggi pada penderita stroke
biasanya dikaitkan dengan keluaran buruk setelah fase akut dari stroke. Hal ini terlampir pada
VISTA trial ( Virtual Sreoke International Stroke Trial Archive ).(2)
Di sisi yang lain, ada terjadi pertentangan antara apakah perlu dilakukan penurunan tekanan
darah secara agresif pada pasien yang menderita stroke dengan pemberian obat antihipertensi.
Jauch et all, menjelaskan bahwa untuk keadaan stroke akut sebaiknya tidak diberikan obat
antihipertensi. Karena itu di satu sisi, pemberian obat antihipertensi yang cepat dapat memicu
terjadiny pengurangan aliran darah ke otak, terutama pada kasus peningkatan tekanan darah
intrakranial.(2)
Pada pasien dengan peningkatan tekanan darah intrakranial yang sudah dilakukan ICP
monitoring, Cerebral Perfusion Pressure ( MAP - ICP ) harus dijaga dengan > 70 mmHg. Tekanan
arteri rerata harus dijaga dengan kisaran > 70 mmHg, sedangkan Mean arterial BP > 110 mmHg
harus dihindari pada keadaan periode immediate post operative.(2)
Tekanan darah tinggi dapat menruun secara spontan seiring dengan berjalannya waktu,
sedangkan peningkatan TD tinggi yang menetap biasanya berhubungan dengan besarnya
hematoma atau volume perdarahan yang biasanya disebabkan oleh stroke perdarahan yang
dapat mengakibatkan risiko kematian dan kecacatan yang cukup tinggi. (2)
Seperti juga tatalaksana hipertensi pada pasien tanpa penyakit jantung koroner, terapi non
farmakologis yang sama, juga sangat berdampak positif. Perbedaan yang ada adalah pada terapi
farmakologi, khususnya pada rekomendasi obat-obatannya. (1)
Betablocker
Betablocker merupakan obat pilihan pertama dalam tatalaksana hipertensi pada pasien
dengan penyakit jantung koroner terutama yang menyebabkan timbulnya gejala angina. Obat ini
akan bekerja mengurangi iskemia dan angina, karena efek utamanya sebagai inotropik dan
kronotropik negative. Dengan menurunnya frekuensi denyut jantung maka waktu pengisian
diastolik untuk perfusi koroner akan memanjang. Betablocker juga menghambat pelepasan renin
di ginjal yang akan menghambat terjadinya gagal jantung. Betablocker cardioselective (1) lebih
banyak direkomendasikan karena tidak memiliki aktifitas simpatomimetik intrinsic. (1)
CCB akan digunakan sebagai obat tambahan setelah optimalisasi dosis betabloker, bila
terjadi :(1)
Perlu diingat, bahwa walaupun CCB berguna pada tatalaksana angina, tetapi sampai saat ini
belum ada rekomendasi yang menyatakan bahwa obat ini berperan terhadap pencegahan
kejadian kardiovaskular pada pasien dengan penyakit jantung koroner. (1)
Penggunaan ACEi pada pasien penyakit jantung koroner yang disertai diabetes mellitus
dengan atau tanpa gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri merupakan pilihan utama dengan
rekommendasi penuh dari semua guidelines yang telah dipublikasi. Pemberian obat ini secara
khusus sangat bermanfaat pada pasien jantung koroner dengan hipertensi, terutama dalam
pencegahan kejadian kardiovaskular. (1)
Pada pasien hipertensi usia lanjut ( > 65 tahun ), pemberian ACEi juga direkomendasikan ,
khususnya setelah dipublikasikannya 2 studi besar yaitu ALLHAT dan ANBP-2. Studi terakhir
menyatakan bahwa pada pasien hipertensi pria berusia lanjut, ACEi memperbaiki hasil akhir
kardiovaskular bila dibandingkan dengan pemberian diuretic, walaupun kedua obat memiliki
penurunan tekanan darah yang sama.(1)
Indikasi pemberian ARBs adalah pada pasien yang intoleran terhadap ACEi. Beberapa
penelitian besar, menyatakan valsartan dan captopril memiliki efektifitas yang sama pada pasien
paska infark miokard dengan risiko kejadian kardiovaskular yang tinggi. (1)
Diuretik
Diuretik golongan tiazid, akan mengurangi risiko kejadian kardiovaskular, seperti yang telah
dinyatakan beberapa penelitian terdahulu, sepertiVeterans Administrations Studies, MRC dan
SHEP.(1)
Nitrat
Indikasi pemberian nitrat kerja panjang adalah untuk tatalaksana angina yang belum
terkontrol dengan dosis betablocker dan CCB yang adekuat pada pasien dengan penyakit jantung
koroner. Tetapi sampai saat ini tidakada data yang mengatakan penggunaan nitrat dalam
tatalaksana hipertensi, selain dikombinasikan dengan hidralazin pada kasus-kasus tertentu. (1)
Rekomendasi(1)(2)
1. Pasien dengan hipertensi dan angina pectoris stabil harus diberikan obat-obatan yang meliputi
:
b. ACEi / ARBs, bila terdapat disfungsi ventrikel kiri dan atau diabetes mellitus
2. Bila terdapat kontraindikasi atau intoleransi terhadap pemberian betablocker, maka dapat
diberikan CCB golongan nondihidropiridin ( verapamil atau diltiazem ), tetapi tidak dianjurkan
bila terdapat disfungsi ventrikel kiri
3. Bila angina atau hipertensi tetap tidak terkontrol, CCB kerja panjang golongan dihidropiridin
dapat ditambahkan pada obatobat dasar yaitu betablocker, ACEi / ARBs dan diuretic tiazid.
Pemberian kombinasi betabloker dengan CCB non dihidropiridin, harus dilakukan secara
berhati-hati pada pasien penyakit jantung koroner simptomatik dengan hipertensi, karena
dapat menimbulkan gagal jantung dan bradikardi yang signifikan.
4. Target penurunan tekanan darah adalah < 140/ 90 mmHg. Bila terdapat disfungsi ventrikel,
perlu adanya pemikiran untuk menurunkannya hingga < 130/ 80 mmHg. Pada pasien dengan
penyakit jantung koroner, tekanan darah harus diturunkan secara perlahan, dan harus berhati-
hati bila terjadi penurunan tekanan darah diastolik < 60 mmHg, karena akan berakibat pada
perburukan iskemia miokard.
5. Tidak ada kontraindikasi khusus terhadap penggunaan antiplatelet, antikoagulan, obat anti
lipid atau nitrat pada tatalaksana angina dan pencegahan kejadian kardiovaskular, kecuali pada
krisis hipertensi, karena dapat menyebabkan stroke perdarahan
2. Angina pectoris tidak stabil / Infark miokard non elevasi segmen ST (IMA-NST)
Dasar dari tatalaksana hipertensi pada pasien dengan sindroma koroner akut adalah
perbaikan keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, setelah inisiasi terapi
antiplatelet dan antikoagulan. Walaupun kenaikan tekanan darah dapat meningkatkan
kebutuhan oksigen miokard, tetapi harus dihindari penurunan tekanan darah yang terlalu cepat
terutama tekanan diastolik, karena hal ini dapat mengakibatkan penurunan perfusi darah ke
koroner dan juga suplai oksigen, sehingga akan memperberat keadaan iskemia. (1)
Tatalaksana awal meliputi tirah baring, monitor EKG dan hemodinamik, oksigen, nitrogliserin
dan bila angina terus berlanjut dengan pemdapat diberikan morfin sulfat. Perlu diingat bahwa
pemberian nirat selama angka panjang tidak direkomendasikan oleh berbagai guidelines sampai
saat ini.(1)
- Dianjurkan BB dan ACEI sebagai terapi awal, ARB dapat diberika bila terdapat intoleransi ACEI
- Antagonist Kalsium dapat diberikan bila terdapat indikasi - kontra terhadap BB atau BB tak
efektif. Antagonist Kalsium nondihidropiridin tidak dianjurkan pada penderita yang disertai gagal
jantung
Pasien dengan kondisi hipertensi berat dengan edema pulmonal akut dapat disertai juga
dengan peningkatan biomarker enzim jantung, sehingga jatuh dalam kelompok sindromakoroner
akut. Terapi awal yang direkomendasikan pada pasien dengan kondisi ini meliputi furosemide,
ACEi dan nitrogliserin (IV) dan selanjutnya dapat ditambahkan obat lain dibawah pengawasan
yang ketat. Bila presentasi utama pasien adalah iskemia atau takikardia, maka dianjurkan untuk
pemberian betabocker dan nitroglycerin (IV). Tekanan darah harus diturunkan sesegera mungkin,
dengan monitor ketat pada kondisi iskemia dan serebral (25% dari Mean aterial Pressurepada 1
jam I, dan bertahap selama 24 jam mencapai target tekanan darah sistolik yang diinginkan) (1)
Rekomendasi(1)
1. Pada pasien angina pectoris tidak stabil atau IMA-NST, terapi awal untuk hipertensi setelah
nitrat adalah betablocker, terutama golongan cardioselektive yang tidak memiliki efek
simpatomimetik intrinsic. Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, pemberian
betablocker dapat ditunda sampai kondisi stabil. Pada pasien dengan kondisi gagal jantung,
diuretic merupakan terapi awal hipertensi.
2. Bila terdapat kontraindikasi atau intoleransi pemberian betablocker, maka dapat diberikan CCB
golongan nondihidropiridin (verapamil, diltiazem), tetapi tidak dianjurkan pada pasien dengan
gangguan fungsi ventrikel kiri. Bila tekanan darah atau angina belum terkontrol dengan
pemberian betablocker, maka dapat ditambahkan CCB golongan dihidropiridin kerja panjang.
Diuretik tiazid juga dapat ditambahkan untuk mengontrol tekanan darah.
Seperti pada IMA-NST, dasar dari tatalaksana hipertensi pada pasien dengan sindroma koroner
akut adalah perbaikan keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, setelah inisiasi
terapi antiplatelet dan antikoagulan.
Rekomendasi
1. Pada pasien IMA-ST, prinsip utama tatalaksana hipertensi adalah seperti pada pasien dengan
angina pectoris tidak stabil / IMA-NST, dengan ada beberapa pengecualian. Terapi awal
hipertensi pada pasien dengan hemodinamik stabil adalah betablocker cardioselective,
setelah pemberian nitrat. Tetapi, bila pasien mengalami gagal jantung atau hemodinamik yang
tidak stabil, maka pemberian betablocker harus ditunda, sampai kondisi pasien menjadi stabil.
Dalam kondisi ini, maka diuretic dapat diberikan untuk tatalaksana gagal jantung atau
hipertensi
2. ACEi atau ARB harus diberikan pada sedini mungkin pada pasien IMAST dengan hipertensi,
terutama pada infark anterior, terdapat disfungsi venrikel kiri, gagal jantung atau diabetes
mellitus. ACEi telah terbukti sangat menguntungkan pada pasien dengan infark luas, atau
riwayat infark sebelumnya. Gagal jantung dan takikardia. ACEi dan ARB tidak boleh diberikan
secara bersamaan, karena akan meningkatkan kejadian efek samping.
3. Aldosterone antagonist dapat diberikan pada pasien dengan IMA-ST dengan disfungsi
ventrikel kiri dan gagal jantung; dan dapat memberikan efek tambahan penurunan tekanan
darah. Nilai kalium darah harus dimonitor dengan ketat. Pemberian obat ini sebaiknya
dihindari pada pasien dengan kadar kreatinin dan kalium darah yang tinggi ( kreatinin 2
mg/dL, atau K 5 mEq/dL)
4. CCB tidak menurunkan angka mortalitas pada IMA-ST akut dan dapat meningkatkan
mortalitas pada pasien dengan penurunan fungsi ventrikel kiri dan atau edema paru. CCB
golongan dihidropriridin kerja panjang dapat diberikan pada pasien yang intoleran terhadap
betablocker, angina yang persisten dengan betablocker yang optimal atau sebagai terapi
tambahan untuk mengontrol tekanan darah. CCB golongan nondihidropiridin dapat diberikan
untuk terapi pada pasien dengan takikardia supraventrikular tetapi sebaiknya tidak diberikan
pada pasien dengan aritmia bradikardia atau gangguan fungsi ventrikel kiri
5. Seperti juga pada pasien dengan dengan Angina pectoris tidak stabil/ IMA-NST, Target
penurunan tekanan darah adalah < 140/ 90 mmHg. Bila terdapat disfungsi ventrikel, perlu
adanya pemikiran untuk menurunkannya hingga < 130/ 80 mmHg. Pada pasien dengan
penyakit jantung koroner, tekanan darah harus diturunkan secara perlahan, dan harus berhati-
hati bila terjadi penurunan tekanan darah diastolik < 60 mmHg, karena akan berakibat pada
perburukan iskemia miokard.
6. Tidak ada kontraindikasi khusus terhadap penggunaan antiplatelet, antikoagulan, obat anti
lipid atau nitrat pada tatalaksana sindroma koroner akut. Begitupula dengan pasien dengan
hipertensi yang tidak terkontrol, yang menggunakan antiplatelet atau antikoagulan, TD harus
diturunkan untuk mencegah perdarahan.
Gagal Jantung
Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama terjadinya gagal jantung. Penggunaan
obat-obat penurun tekanan darah yang baik memiliki keuntungan yang sangat besar dalam
pencegahan gagal jantung, termasuk juga pada golongan usia lanjut. Hal ini telah banyak diteliti
pada penggunaan diuretic, betablocker, ACEi dan ARB, dimana penggunaan CCB paling sedikit
memberikan keuntungan dalam pencegahan gagal jantung. (1)(2)
Walaupun riwayat hipertensi merupakan hal yang sangat sering terjadi pada gagal jantung,
namun tekanan darah yang tinggi sering tidak ditemukan lagi pada saat sudah terjadi disfungsi
venrikrel kiri. Pada pasien dengan kondisi seperti ini, telah banyak terdapat bukti dari berbagai
penelitian yang mendukung pemberian betablocker, ACEi, ARB dan MRA (mineralocaoticoid
receptor antagonist), dimana pemberian obat-obat ini lebih ditujukan untuk memperbaiki
stimulasi simpatis dan sitim renin angiotensin yang berlebihan terhadap jantung, daripada
penurunan tekanan darah.(1)(2)
Hipertensi lebih banyak dijumpai pada pasien gagal jantung dengan fungsi fraksi ejeksi yang
masih baik daripada yang dengan penurunan fungsi ventrikel kiri. (1)(2)
- Kombinasi hidralasin dan Isosorbid dinitral dianjurkanbila terdapat kontraindikasi atau toleransi
terhadap ACEI dan ARB.(2)
- Pada penderita hipertensi dengan TD tak terkendali, ARB dapat ditambahkan pada ACEI dan
antihipertensi lain. Monitor ketat atas hipotensi, hiperkalemi, dan perburukan fungsi ginjal bila
diberian kombinasi ACEI dan ARB. Terapi tambahan, termask antagonist kalsium dihidropiridin
dapat diberikan.(2)
Fibrilasi Atrial
Atrial fibrilasi merupakan kondisi yang juga sering dijumpai pada hipertensi baik di Eropa
maupun di Amerika.(1) Pada pasien hipertensi dengan fibrilasi atrial harus dinilai kemungkinan
terjadinya tromboemboli dengan sistim scoring yang telah dijabarkan pada guidelines ESC, dan
sebagian dari pasien tersebut harus mendapatkan terapi antikoagulan, kecuali bila terdapat
(1)(2)
kontraindikasi, untuk pencegahan stroke atau emboli lain. Obat antikoagulan oral meliputi
vitamin K (VKA , direct trombin inhibitr ( DTI ) seperti Dabigatran dan faktor Xa inhibitor ( seperti
rivaroxaban dan apixaban ).
Sebagian besar pasien hipertensi dengan fibrilasi atrial, ternyata memiliki laju ventrikel yang
cepat. Hal ini mendasari rekomendasi pemberian betablocker atau CCB golongan non
dihidropiridin pada kelompok pasien ini.
Akibat dari fibrilasi atrial antara lain peningkatan angka mortalitas dan morbiditas, stroke
dan gagal jantung , sehingga pencegahan terjadinyafibrilasi atrial pada pasien hipertensi menjadi
sangat penting. Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa pemberian ARBs dan betablocker
merupakan terapi pilihan untuk pencegahan fibrilasi atrial pada pasien hipertensi terutama yan
sudah memiliki gangguan organ jantung. (1)(2)
Guidelines ESH yang diterbitkan pada tahun 2009, telah menjabarkan bahwa hipertrofi
ventrikel kiri terutama tipe konsentrik, berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya
(1)(2)
penyakit kardiovaskular dalam 10 tahun sebesar 20%. Beberapa studi juga menyatakan
bahwa dengan penurunan tekanan darah berhubungang erat dengan perbaikan hipertrofi
ventrikel kiri. Banyak studi komparatif yang menyimpulkan bahwa pemberian ACEi, ARBs dan
CCB lebih memiliki efek tersebut bila dibandingkan dengan betablocker. (2)
1. Pada pasien hipertensi dengan penyakit jantung, target tekanan darah sistolik adalah <140
mmHg
2. Diuretik, betablocker, ACEi, ARBs dan atau MRA merupakan obat yang direkomendasikan
pada pasien hipertensi dengan gagal jantung untuk menurunkan mortalitas dan
rehospitalisasi
3. Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang masih baik, belum ada data yang
menyatakan obat antihipertensi per se atau obat tertentu yang jelas manfaatnya. Akan
tetapi tekanan darah sistolik perlu untuk diturunkan hingga < 140 mmHg. Pengobatan yang
bertujuan untuk memperbaiki gejala (diuretic untuk kongesti, betablocker untuk
menurunkan laju nadi, dll) harus tetap diutamakan
4. Pemberian ACEi atau ARBs ( dan betablocker dan MRA, bila terdapat gagal jantung) harus
dipertimbangkan sebagai terapi antihipertensi pada pasien dengan risiko terjadinya fibrilasi
atrial atau yang berulang
5. Semua pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri direkomendasikan untuk mendapat terapi
antihipertensi
6. Pada pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri, perlu dipertimbangkan untuk memulai terapi
dengan obat yang terbukti dapat mengurangi hipertrofi ventrikel kiri, seperti ACEi, ARBs
dan CCB
Beberapa penelitian menyatakan bahwa pada pasien dengan penyakit arteri perifer,
mengontrol tekanan darah merupakan hal yang lebih penting daripada memikirkan pilihan obat
antihipertensi yang terbaik pada kelompok pasien ini. (1)Sampai saat ini banyak yang berpendapat
bahwa penggunaan betablocker dapat memperburuk kondisi klaudikasio. Tetapi hal ini tidak
terbukti pada 2 studi metanalisis yang menyatakan bahwa
betabloker tidak terbukti berhubungan dengan eksaserbasi gejala klaudikasio pada pasien
iskemia tungkai akut ringan hingga sedang. (1)(2)
Semua obat antihipertensi mengurangi kekaukan arteri karena penurunan tekanan darah
menurunkan komponen penyebab kekaukuan dinding arteri sehingga terjadi penurunan pasif
pulse wave velocity ( PWV ). Dilaporkan ACEI dan ARB mengurangi PWV, namun belum jelas
apakah RAS blocker lebih unggul dari antihipertensi lain dalam menurunkan kekakuan arteri.
Kemampuan RAS bocker untuk menurunkan kekakuan arteri berada diluar efek penurunan
tekanan darah.(2)
Kombinasi amlodipin - vasartan menurunkan TDS sentral lebih baik dari kombinasi alodipin -
atenolol, namun menunjukan penurunan PWV yang tidak berbeda. Selain itu, BB dengan
kemampuan vasodilator, seperti nebivolol, menurunkan tekanan denyut ( pulse pressure )
sentral lebih baik dari BB nonvasodilator ( seperti metoprolol ), namun keduanya tak
memberikan perbaikan augmentation index ( AI ) dan PWV karotis femoral yang bermakna. (2)
Perbaikan kekakuan arteri dapat diamati dalam jangka waktu lama. Penurunan kekakuan
arteri berkaitan degan penurunan insidens kardiovaskular pada penderita dengan gangguan
fungsi ginjal. Penderita dengan peningkatan kekakuan arteri dapat diberikan semua golongan
antihipertensi dengan target TD < 140/90 mmHg. (2)
Angka kematian dan insiden amputasi akibat PAD pada penderita diabetes berkaitan erat
dan terbalik dengan angka terkendali TDS> pemilihan golongan obat antihipertensi kurang
penting dibanding dengan besar penurunan TD aktual penderita PAD. ACEI memberi manfaat
pada subgrup PAD di studi HOPE, meskipun tampak penurunan TD pada grup ACEI lebih rendah
dari grup kontrol. Selama ini dikhawatirkan pembrian BB akan memperburuk gejla klaudikasio
penderita PAD, namun hal ini tidak terbukti dari 2 studi metaanalisis penderita iskmeik tungkai
derajat ringan - sedang. Insidens stenosis arteri renalis meningkat pada penderita PAD,
ekmungkinan ini perlu diingat bila dijumpai hipertensi pada penderita PAD. (2)
Pada penderita hipertensi dengan PAD, target TD dianjurkan < 140/90 mmHg, pemilihan antihipertensi terapi awal tak dipengaruhi oleh kondisi PAD, dapat
diberikan kombinasi antihipertensi bila monoterapi tak efektif, BB dihindari bila terdapat PAD berat.(2)
Rekomendasi(1)
1. Pada aterosklerosis karotis, perlu dipertimbangkan pemberian ACEi dan CCB, karena telah
terbukti bahwa kedua obat ini dapat memperlambatkan proses aterosklerosis dibandingkan
dengan betablocker dan diuretic
2. Pada pasien dengan pulse wave velocity > 1o m/det, perlu dipertimbangkan pemberian
semua antihipertensi, sehingga tercapai target tekanan darah sistolik < 140 mmHg yang
menetap.
3. Direkomendasikan untuk memberikan antihipertensi pada pasien penyakit arteri perifer,
dengan target tekanan darah sistolik < 140 mmHg, karena memiliki risiko tinggi terjadinya
infark miokard, stroke, gagal jantung atau kematian kardiovaskular
Disfungsi Seksual
Disfungsi seksual lebih banyak dialami oleh individu dengan hipertensi dibandingkan dengan
normotensi. Dari berbagai obat antihipertensi yang ada, golongan penghambat ACE, ARB dan
penghambat kalsium memiliki efek netral atau bahkan bermanfaat. Obat golongan penghambat
phospho-diesterase5 dapat diberikan dengan aman, kecuali untuk mereka yang menggunakan
preparat nitrat.(2)
Hipertensi Resisten
Kegagalan mencapai target tekanan darah yang optimal ketika pasie sudah mengkonsumsi 3
macam obat dengan dosis optimal yang ditoleransi, termasuk diuretik. (2)
Kategori
(i) komorbiditas dan faktor pola hidup seperti diabetes, obesitas, merokok, konsumsi garam dan
alkohol berlebihan yang dpaat melawan mekanisme kerja dari obat penurun tekanan darah. (2)
(ii) Ketidakpatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat dan menjalankan perubahan pola hidup. (2)
(iii) Kekurangan dokter, yang tidak mengikuti panduan penanganan hipertensi, pemberian obat
yang kurang tepat, atau dosis yang belum optimal. (2)
Penanganan
Diperlukan pendekatan diagnosis yang cermat dan teliti sebelum menangani hipertensi
resisten. Pemantauan tekanan darah 24 jam dengan ABPM akan sangat bermanfaat dan
dianjurkan untuk pasien hipertensi resisten, dan pengukuran kadar aktivitas renin diplasma serta
kadar aldosteron juga diperlukan untuk mendeteksi kemungkinan penyebab hipertensi sekunder.
(2)
Setelah kombinasi 3 macam obat belum cukup untuk mencapai target tekanan darah
optimal, dapat ditambahkan golongan penghambat mineralkortikoid, seperti spironolakon atau
eplerenon mulai dosis rendah, serta penghambat reseptor alfa. Untuk pasien yang sdah
mendapatkan terapi obat yang optimal, namun tetap belum dapat mencapai TD yang
diharapkan, upaya baru yang sedang dikembangkan adalah dengan catheter based - renal
denervation, yaitu perusakan saraf renal yang berjalan sepanjang arteri renalis, dengan
pendekatan ablasi radio frekuensi menggunakan kateter dari pembuluh darah femoralis, yang
berrfungsi untuk emnekan saraf simpatis, aktivasi reninin serta mecegah reabsorpsi natrium.
Pada beberapa studi, teknik ini dilaporkan dapat mengontrol TD sampai 1 dan 3 tahun setelah
tindakan dan hingga saa ini masih terus dievaluasi efektivitasnya. (2)
Kriteria yang harus dipenuhi sebelum pasien dipertimbangkan untuk tindakan renal
denervation :(2)
1. Resisten sesungguhnya pada pasien dengan kepatuhan yang baik
Hipertensi Perioperatif
Kenaikan tekanan darah adalah sebab tersering ditundanya tindakan operasi. Beberapa studi
melaporkan insiden hipertensi perioperatif berkisar antara 10-25% dan berkaitan erat dengan
morbiditas dan mortalitas perioperatif. Batasan tekanan darah optimal fase perioperatif sendiri
belum ada panduannya, namun yang penting untuk dilakukan adalah menilai risiko
kardiovaskular dari pasien yang akan menjalani tindakan operasi itu sendiri. (2)
Pada penderita hipertensi kronis, maka obat penurunan TD yang biasa dikonsumsi
disarankan untuk tetap dilanjutkan, dan harus dicegah penghentian obat clonidin atau penyekat
beta karena dapat menyeabkan efek rebound tekanan darah dan laju nadi. Perhatian khusus
yang diberikan pada kasus operasi yang menyebabkan banyak kehiangan volume intravaskular,
dimana obat diuretik sebaiknya ditunda sampai status volumenya dinilai cukup. (2)
Hipertensi Renovaskular
Pasien dengan dua atau lebih kriteria dibawah ini untuk dilakukan pemeriksaan yang
mengaah kepada hipertensi renovaskular.
- Hipertensi yang terjadi secara mendadak atau memburuk dan pada usia > 55 tahun atau < 30
tahun(2)
- Hipertensi yang resisten dengan tiga jenis atau lebih obat antihipertensi (2)
- Adanya peningkatan kadar kreatinin serum lebih dari 30% setelah penggunaan angiostensin
converting enzyme inhibitor atau angiostensin II receptor antagonist (2)
- Penyakit pembuluh darah aterosklerosis lainnya, khususnya pasien dengan kebiasaan merokok
atau memiliki dislipidemia(2)
Aldosteronisme Primer
- Pasien hipertensi dengan hipokalemia spontan ( kalium kurang dari 3,0 mmol/L )
- Pasien hipertensi yang refrakter terhadap pengobatan dengan 3 macam atau lebih obat
antihipertensi
Karena sejumlah pasien APA tetap mengalami hipertensi stelah embedahan dari APA pasien
- pasien ini sebaiknya dikuti dan jika diperlukan, diberikan terapi sesuai dengan panduan umum
hipertensi nonendokrin.(2)
KRISIS HIPERTENSI
Krisis hipertensi aalah suatu keadaan peningkatan tekanan darah yang mendadak ( sistole
180 mmHg dan/atau diastole 120 mmHg), pada penderita hipertensi, yang membutuhkan
penanggulangan segera.(4)
Peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastoik > 120 mmHg secara
mendadak disertai kerusakan organ target. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi
sesegera mungkin dalam kurun waktu menit/jam dengan memberikan obat-obatan anti
hipertensi intravena.(3)(4)(5)
2. Hipertensi urgensi (mendesak)
Peningkatan tekanan darah seperti pada hipertensi emergensi namun tanpa disertai
kerusakan organ target. Pada keadaan ini tekanan darah harus segera diturunkan dalam
24-48 jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi oral.(3)(4)(5)
Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan hipertensi krisis antara lain:
1. Hipertensi refrakter Respon pengobatan yang tidak memuaskan dan tekanan darah >
200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada
penderita dan kepatuhan pasien.(3)
2. Hipertensi akselerasi Peningkatan tekanan darah diastolik > 120 mmHg disertai
dengan kelainan funduskopi. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.(3)
3. Hipertensi maligna Penderita hipertensi akselerasi dengan tekanan darah diastolik >
120- 130 mmHg dan kelainan funduskopi disertai papil edema, peninggian tekanan
intrakranial, kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian
bila penderita tidak mendapatkan pengobatan. Hipertensi maligna biasanya pada
penderita dengan riwayat hipertensi esensial ataupun sekunder dan jarang pada
penderita yang sebelumnya mempunyai tekanan darah normal.(3)
TABEL
MEKANISME AUTOREGULASI
Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskular dan usia tua, batas ambang
autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva, sehingga pengurangan
aliran darah dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih tinggi. Lihat gambar berikut ini :
(3)
Gambar Kurva Autoregulasi pada Tekanan Darah(3)
Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi,
diperkirakan bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% di bawah
resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan hipertensi krisis, penurunan MAP
sebanyak 20%-25% dalam beberapa menit atau jam,tergantung dari apakah emergensi
atau urgensi. Penurunan tekanan darah pada penderita diseksi aorta akut ataupun
edema paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 15-30 menit dan bisa lebih
cepat lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi ensefalopati,
penurunan tekanan darah 25% dalam 2-3 jam. Untuk pasien dengan infark serebri akut
ataupun perdarahan intrakranial, penurunan tekanan darah dilakukan lebih lambat (6-
12 jam) dan harus dijaga agar tekanan darah tidak lebih rendah dari 170-180/100
mmHg. (3)
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan kerusakan organ target yang
ada. Tanda dan gejala hipertensi krisis berbeda-beda setiap pasien. (3)(4)(5)
a. Bidang Neurologi :
Sakit kepala, hilang/ penglihatan kabur, kejang, defisit neurologis fokal, gangguan
kesadaran ( samnolen, sopor, koma )
b. Bidang Mata :
c. Bidang kardiovaskular
d. Bidang ginjal
e. Bidang obstetri
Preekmpalsia dengan gejala berupa gangguan penglihatan, sakit kepala hebat, kejang,
nyeri, abdomen kuadran atas, gagal jantung kongestif dan oliguria, serta gangguan
kesadaran/ gangguan serebrovaskular.
Pada pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati dengan perubahan
arteriola, perdarahan dan eksudasi maupun papiledema. Pada sebagian pasien yang lain
manifestasi kardiovaskular bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut
miokardial infark atau gagal jantung kiri akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal
akut dengan oligouria dan atau hematuria bisa saja terjadi.(3)
Gambar Papiledema. Perhatikan adanya pembengkakan dari optic disc dengan margin
kabur(3)
Hipertensi berat dengan tekanan darahb > 180/120 mmHg disertai dengan satu atau
lebih kondisi akut berikut:
1. Perdarahan intrakranial atau perdarah subarakhnoid
2. Hipertensi ensefalopati
5. Eklampsia
6. Feokromasitoma
10. Sindrom kelebihan katekolamin yang lain : sindrom withdrawal obat antihipertensi
Hipertensi berat dengan tekanan darah > 180/120 mmHg, tetapi dengan mininal atau
tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan
1. Funduskopi KW I atau KW II
Faktor Resiko
Krisis hipertensi bisa terjadi pada keadaan - keadaan sebagai berikut :(4)
a. Penderita hipertesi yang tidak meminum obat atau minum obat antihipertensi tidak
teratur.
b. Kehamilan
c. Penggunaan NAPZA
d. Penderita dengan rangsangan simpatis yang tinggi seperti luka bakar berat,
ferokromasitoma, penyakit kolagen, penyakit vaskular, trauma kepala
PENDEKATAN DIAGNOSIS
a. Anamnesis(3)(4)
- riwayat penyakit hipertensinya ( awal hipertensi, obat-obatan anti hipertensi yang rutin
diminum, kepatuhan minum obat, riwayat konsumsi kokain, amphetamine dan
phencyclidine)
Pemerikaan Fisik(4)
- pemeriksaan fisik dilakukan sesuai dengan kecurigaan organ target yang terkena
berdasarkan anamnesis yang didapat
- auskultasi untuk mendengar atau tidaknya bruit pembuluh darah besar, bising jantung
dan ronki paru
Pemeriksaan laboratorium(3)(4)
Pemeriksaan laboratorium awal dan penunjang yang dilakukan sesuai dengan anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang ditemukan serta ketersediaan fasilitas
a) Urinalisis
Pemeriksaan penunjang
a) CT scan kepala
b) Ekokardiogram
c) Ultrasonogram
4. Penetapan diagnostik
Walau biasanya pada krisis hipertensi ditemukan tekanan darah 180/120 mmHg
perlu diperhatikan kecepatan kenaikan tekanan darah tersebut dan derajat gangguan organ
target terjadi.(3)(4)
Gambar Alur pendekatan diagnostik pada pasien hipertensi(3)
PENATALAKSANAAN
1. Hipertensi Urgensi
A. Penatalaksanaan Umum
Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi tidak
membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-obatan oral aksi cepat akan
memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal Mean Arterial
Pressure (MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal standard goal
penurunan tekanan darah dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg. (3)
Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi parenteral maupun oral bukan tanpa
risiko dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian loading dose obat oral anti-
hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan pasien akan mengalami hipotensi
saat pulang ke rumah. Optimalisasi penggunaan kombinasi obat oral merupakan pilihan
terapi untuk pasien dengan hipertensi urgensi.(3)
Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang memiliki pucak kerja
antara 10-20 menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan oleh FDA untuk terapi
hipertensi urgensi karena dapat menurunkan tekanan darah yang mendadak dan tidak
dapat diprediksikan sehingga berhubungan dengan kejadian stroke.(3)
2. Hipertensi Emergensi
A. Penatalaksanaan Umum
a. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar monitoring tekanan darah bisa
dikontrol dan dengan pemantauan yang tepat(3)(4)
c. Tekanan darah harus diturnkan dalam hitungan menit sampa jam dengan langkah
- 5 menit s/d 120 menit pertama tekanan darah rata - rata diturunkan 20-25%, (4)
Penurunan tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan mengakibatkan jantung
dan pembuluh darah orak mengalami hipoperfusi.(3)
- 2 s/d 6 jam kemudian tekanan darah diturunkan sampai 160/100 mmHg (4)
- 6 - 24 jam berikutnya diturunkan sampai < 140/90 mmHg bila tidak ada gejala iskemi
organ(4)
- Clonidin 900 mcg dimasukkan dalam cairan infus glucosa 5% 500 cc dan diberikan
dengan mikrodrip 12 tetes/menit, setiap 15 menit dapat dinaikkan 4 tetes sampai
tekanan darah yang diharapkan tercapai.
- Bila tekanan target darah tercapai pasien diobservasi selama 4 jam kemudian digangi
dengan tablet Clonidinnoral sesuai kebutuhan.
- Clonidin tidak boleh dihentikan secara mendadak, tetapi diturunkan perlahan- lahan
oleh karena bahaya rebound phenomenon, dimana tekanan darah naik secara cepat bila
dihentikan.
- Bila tekanan darah telah turun > 20% dari awal, dosis diberikan 30mg/jam sampai
target tercapai.
- Diteruskan dengan dosis maintenence 5-10 mg/jam dengan observasi 4 jam kemudian
diganti dengan tablet oral.
d. Labetalol ( Normodyne ) IV
- Labetalol diberikan 20-80 mg IV bolus setiap 10 menit atau dapat diberikan dalam
cairan infus dengan dosis 2 mg menit
Nitroprusside diberikan dalam cairan infus dengan dosis 0,25 - 10,0 mcg/kg/ menit
Kidney Failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan
konsekuensi dari hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan proteinuria,
hematuria, oligouria dan atau anuria. Terapi yang diberikan masih kontroversi, namun
nitroprusside IV telah digunakan secara luas namun nitroprusside sendiri dapat
menyebabkan keracunan sianida atau tiosianat. Pemberian fenoldopam secara
parenteral dapat menghindari potensi keracunan sianida akibat dari pemberian
nitroprussidedalam terapi gagal ginjal.(3)
.
Tabel Obat Hipertensi Oral yang dipakai di Indonesia(5)
Kerangka Teori
Hipertensi
Genetika Merokok
1. Rosendorff C, Balck HR, Cannon CP, Cannon BJ, Gersh BJ, Gore J
31:1281-1357
3. Weber MA, Schiffrin EL, White WB, Mann S, Lindholm LH, Kenerson
2013.
1. RI
2. Inash hipertensi
3. Artikel
5. IPD
6. KK