Anda di halaman 1dari 49

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembangunan di Indonesia sedang menuju industrialisasi, artinya
industri merupakan sarana utama untuk menunjang pembangunan. Hasil
positif yang diperoleh dibarengi dengan dampak negatif proses industrialisasi
itu sendiri berupa berbagai gangguan kesehatan akibat kerja.(1-2)
Salah satu penyakit akibat kerja itu ialah dermatosis akibat kerja atau
penyakit kulit akibat kerja. Gangguan kesehatan berupa dermatosis akibat
kerja akan mengurangi kenyamanan dalam melakukan tugas dan akhirnya
akan mempengaruhi proses produksi; secara makro akan mengganggu proses
pembangunan secara keseluruhan. Di Indonesia, dermatosis akibat kerja
belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah atau pemimpin perusahaan
walaupun jenis dan tingkat prevalensinya cukup tinggi. (1-2)
Dalam sebuah penelitian, memperkirakan bahwa 50-60% dari seluruh
penyakit akibat kerja adalah dermatosis akibat kerja. Dari data sekunder ini
terlihat bahwa dermatosis akibat kerja memang mempunyai prevalensi yang
cukup tinggi, walaupun jenis tidak sama pada semua perusahaan. Variasi
penyakit kulit di setiap perusahaan sangat berbeda, karena setiap
perusahaan/industri proses produksi dan lingkungan dalam perusahaan serta
bahan yang dipergunakan di setiap perusahaan berbeda-beda. Untuk itu perlu
kejelian dan keterampilan petugas kesehatan termasuk dokter perusahaan
untuk menilai dan melihat proses produksi dalam perusahaan, serta menilai
bahan yang dipergunakan/dipakai/diperoleh dalam perusahaan tersebut, yang
mungkin dapat menimbulkan dermatosis akibat kerja. Maka dalam referat ini
akan dibahas mengenai definisi, macam-macam dermatosis akibat kerja dan
bagaimana penanggulangannya. (1-2)
2

1.2 Tujuan
Untuk membahas masalah yang berhubungan dengan dermatosis akibat
kerja, sehingga dapat meningkatkan kesehatan kerja pada tenaga kerja.
3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Dermatosis akibat kerja


Dermatosis akibat kerja adalah segala kelainan kulit yang timbul pada
waktu bekerja atau disebabkan oleh pekerjaan. Presentasi dermatosis akibat
kerja dari seluruh penyakit-penyakit akibat kerja sekitar 50-60%, maka dari
itu penyakit tersebut perlu mendapatkan perhatian yang cukup. (2)
2.2 Agen penyebab dermatosis akibat kerja
1) Agen Fisik
Tekanan atau gesekan, panas, radiasi, dan serat-serat mineral(2-3)
2) Kimia
- Primer : Asam, basa, pelarut lemak, deterjen, garam-garam
logam (arsen, air raksa) (2-3)
- Sensitizer : logam dan garam-garamnya (kromium, nikel,
kobalt), bahan kimia karet (vulcanizer seperti
dimetil tiuran disulfida, antioksidan), obat-obatan
(prokain, fenotiazn, klorotiazid, penisilin dan
tetrasiklin), kosmetik(2-3)
- Aknegenik : naftalen dan bifenil klor, minyak mineral
3) Biologis
Mikroorganisme (mikroba, fungi). Parasit kulit dan produknya juga
menyebabkan penyakit kulit. (2-3)

Dari seluruh penyebab-penyebab ini bahan kimia yang paling sering


menyebabkan dermatosis karena bahan kimia banyak digunakan oleh industri-
industri. Ada dua cara bahan kimia menimbulkan dermatosis, yaitu dengan jalan
perangsangan atau sensitisasi, bahan-bahan yang menyebabkan iritasi disebut
perangsang primer sedangkan sensitisasi disebut pemeka. Perangsang primer
mengadakan rangsangan kepada kulit, dengan jalan melarutkan lemak kulit,
4

dengan mengambil air dari lapisan kulit dengan oksidasi atau reduksi sehingga
kesetimbangan kulit terganggu dan timbulah dermatosis. (2-3)

Tabel 1. Agen Penyebab dan bentuk dermatosis(2)

2.3 Bentuk dermatosis akibat kerja


2.3.1 Dermatitis Kontak Iritan
Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan
nonimunologik pada kulit yang disebabkan oleh kontak dengan faktor
eksogen maupun endogen. Faktor eksogen berupa bahan-bahan iritan
(kimiawi, fisik, maupun biologik) dan faktor endogen memegang
peranan penting pada penyakit ini. Dermatitis kontak iritan adalah
penyakit multifaktor dimana faktor eksogen (iritan dan lingkungan) dan
faktor endogen sangat berperan.(4-5)
2.3.1.1 Etiologi
Faktor Eksogen
Selain dengan asam dan basa kuat, tidak mungkin untuk
memprediksi potensial iritan sebuah bahan kimia berdasarkan
struktur molekulnya. Potensial iritan bentuk senyawa mungkin
5

lebih sulit untuk diprediksi. Faktor-faktor yang dimaksudkan


termasuk : (4-5)
(1) Sifat kimia bahan iritan: pH, kondisi fisik, konsentrasi,
ukuran molekul, jumlah, polarisasi, ionisasi, bahan dasar,
kelarutan (4-5)
(2) Sifat dari pajanan: jumlah, konsentrasi, lamanya pajanan dan
jenis kontak, pajanan serentak dengan bahan iritan lain dan
jaraknya setelah pajanan sebelumnya ;
(3) Faktor lingkungan: lokalisasi tubuh yang terpajan dan
suhu, dan faktor mekanik seperti tekanan, gesekan atau
goresan. Kelembapan lingkunan yang rendah dan suhu
dingin menurunkan kadar air pada stratum korneum
yang menyebabkan kulit lebih rentan pada bahn iritan.
(4-5)

Faktor Endogen
a. Faktor genetik
Ada hipotesa yang mengungkapkan bahwa
kemamp uan individu untuk mengeluarkan radikal bebas,
untuk mengubah level enzym antioksidan, dan kemampuan
untuk membentuk perlindungan heat shock protein
semuanya dibawah kontrol genetik. Faktor tersebut juga
menentukan keberagaman respon tubuh terhadap bahan-
bahan ititan. Selain itu, predisposisi genetik terhadap
kerentanan bahan iritan berbeda untuk setiap bahan iritan.
Pada penelitian, diduga bahwa faktor genetik mungkin
mempengaruhi kerentanan terhadap bahan iritan. TNF-
polimorfis telah dinyatakan sebagai marker untuk
kerentanan terhadap kontak iritan. (4-5)
6

b. Riwayat Atopi
Adanya riwayat atopi diketahui sebagai faktor
predisposisi pada dermatitis iritan pada tangan. Riwayat
dermatitis atopi kelihatannya berhubungan dengan
peningkatan kerentanan terhadap dermatitis iritan karena
rendahnya ambang iritasi kulit, lemahnya fungsi pertahanan,
dan lambatnya proses penyembuhan. Pada pasien dengan
dermatitis atopi misalnya, menunjukkan peningkatan
reaktivitas ketika terpajan oleh bahan iritan.(4-6)

2.3.1.2 Patofisiologi
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan
oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Ada empat
mekanisme yang dihubungkan dengan dermatitis kontak iritan,
yaitu, (4-6)
1. Hilangnya substansi daya ikat air dan lemak permukaan
2. Jejas pada membran sel
3. Denaturasi keratin epidermis
4. Efek sitotoksik langsung
7

Pada respon iritan, terdapat komponen menyerupai respon


imunologis yang dapat didemonstrasikan dengan jelas, dimana hal
tersebut ditandai oleh pelepasan mediator radang, khususnya
sitokin dari sel kulit yang non-imun (keratinosit) yang mendapat
rangsangan kimia. Proses ini tidaklah membutuhkan sensitasi
sebelumnya. Kerusakan sawar kulit menyebabkan pelepasan
sitokin-sitokin seperti Interleukin-1 (IL-1), IL-1, tumor necrosis
factor- (TNF- ). Pada dermatitis kontak iritan, diamati
peningkatan TNF- hingga sepuluh kali lipat dan granulocyte-
macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) dan IL-2 hingga
tiga kali lipat. TNF- adalah salah satu sitokin utama yang
berperan dalam dermatitis iritan, yang menyebabkan peningkatan
ekspresi Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II dan
intracelluler adhesin molecul-I pada keratinosit. (4-6)
Pada dermatitis kontak iritan akut, mekanisme imunologisnya
mirip dengan dermatitis kontal alergi akut. Namun, perbedaan yang
mendasar dari keduanya adalah keterlibatan dari spesisif sel-T pada
dermatitis kontak alergi akut. Rentetan kejadian tersebut
menimbulkan peradangan klasik di tempat terjadinya kontak dikulit
berupa eritema, edema, panas, dan nyeri bila iritan kuat. Ada dua
jenis bahan iritan yaitu iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan
menyebabkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir
semua orang, sedangkan iritan lemah akan menimbulkan kelainan
kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan
stratum korneum oleh karena depilasi yang menyebabkan desikasi
dan kehilangan fungsi sawarnya, sehingga mempermudah
kerusakan sel di bawahnya oleh iritan.(4-8)
8

2.3.1.3 Gejala klinis


Dermatitis kontak iritan dibagi tergantung sifat iritan. Iritan
kuat memberikan gejala akut, sedang iritan lemah memberi gejala
kronis. Selain itu juga banyak hal yang mempengaruhi
sebagaimana yang disebutkan sebelumnya. Berdasarkan penyebab
tersebut dan pengaruh faktor tersebut, dermatitis kontak iritan
dibagi menjadi sepuluh macam, yaitu: (4-6)
1. Dermatitis Kontak Iritan Akut
Pada DKI, kulit terasa pedih atau panas, eritema, vesikel
atau bulla. Luas kelainanya sebatas daerah yang terkena dan
berbatas tegas. Pada beberapa individu, gejala subyektif (rasa
terbakar, rasa tersengat) mungkin hanya satu-satunya
manifestasi. Rasa sakit dapat terjadi dalam beberapa detik dari
pajanan. Spektrum perubahan kulit berupa eritma hingga
vesikel dan bahan pajanan bahan yang dapat membakar kulit
dapat menyebabkan nekrosis. Secara klasik, pembentukan
dermatitis akut biasanya sembuh segera setelah pajanan, dengan
asumsi tidak ada pajanan ulang hal ini dikenal sebagai
decrescendo phenomenon. Pada beberapa kasus tidak biasa,
dermatitis kontak iritan dapat timbul beberapa bulan setelah
pajanan, diikuti dengan resolusi lengkap. Bentuk DKI Akut
seringkali menyerupai luka bakar akibat bahan kimia, bulla
besar atau lepuhan. DKI ini jarang timbul dengan gambaran
eksematousa yang sering timbul pada dermatitis kontak. (4-8)

Gambar 2. DKI akut akibat


penggunaan pelarut industri.
9

2. Dermatitis Kontak Iritan Lambat (Delayed ICD)


Pada dermatitis kontak iritan akut lambat, gejala
obyektif tidak muncul hingga 8-24 jam atau lebih setelah
pajanan. Sebaliknya, gambaran kliniknya mirip dengan
dermatitis kontak iritan akut. Contohnya adalah dermatitis yang
disebabkan oleh serangga yang terbang pada malam hari,
dimana gejalanya muncul keesokan harinya berupa eritema
yang kemudian dapat menjadi vesikel atau bahkan nekrosis. (4-8)
3. Dermatitis Kontak Iritan Kronis (DKI Kumulatif)
Juga disebut dermatitis kontak iritan kumulatif.
Disebabkan oleh iritan lemah (seperti air, sabun, detergen, dll)
dengan pajanan yang berulang-ulang, biasanya lebih sering
terkena pada tangan. Kelainan kulit baru muncul setelah
beberapa hari, minggu, bulan, bahkan tahun. Sehingga waktu
dan rentetan pajanan merupakan faktor yang paling penting.
Dermatitis kontak iritan kronis ini merupakan dermatitis kontak
iritan yang paling sering ditemukan. Gejala berupa kulit kering,
eritema, skuama, dan lambat laun akan menjadi hiperkertosis
dan dapat terbentuk fisura jika kontak terus berlangsung. (4-8)

Gambar 3. DKI kronis akibat efek korosif dari semen


10

Distirbusi penyakit ini biasanya pada tangan. Pada


dermatitis kontak iritan kumulatif, biasanya dimulai dari sela
jari tangan dan kemudian menyebar ke bagian dorsal dan
telapak tangan. Pada ibu rumah tangga, biasanya dimulai dari
ujung jari (pulpitis). DKI kumulatif sering berhubungan
dengan pekerjaan, oleh karena itu lebih banyak ditemukan
pada tangan dibandingkan dengan bagian lain dari tubuh
(contohnya: tukang cuci, kuli bangunan, montir bengkel, juru
masak, tukang kebun, penata rambut). (4-8)
2.3.1.4 Penunjang
Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk mediagnosis
dermatitis kontak iritan. Ruam kulit biasanya sembuh setelah
bahan iritan dihilangkan. Terdapat beberapa tes yang dapat
memberikan indikasi dari substansi yang berpotensi
menyebabkan DKI. Tidak ada spesifik tes yang dapat
memperlihatkan efek yang didapatkan dari setiap pasien jika
terkena dengan bahan iritan. Dermatitis kontak iritan dalam
beberapa kasus, biasanya merupakan hasil dari efek berbagai
iritans. (4-8)
1. Patch Test
Patch test digunakan untuk menientukan substansi
yang menyebabkan kontak dermatitis dan digunakan untuk
mendiagnosis DKA. Konsentrasi yang digunakan harus
tepat. Jika terlalu sedikit, dapat memberikan hasil negatif
palsu oleh karena tidak adanya reaksi. Dan jika terlalu
tinggi dapat terinterpretasi sebagai alergi (positif palsu).
Patch tes dilepas setelah 48 jam, hasilnya dilihat dan reaksi
positif dicatat. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, dan
kemabali dilakukan pemeriksaan pada 48 jam berikutnya.
Jika hasilnya didapatkan ruam kulit yang membaik, maka
dapat didiagnosis sebagai DKI.(1,3-7)
11

2. Kultur Bakteri
Kultur bakteri dapat dilakukan pada kasus-kasus
komplikasi infeksi sekunder bakteri. (4-8)
3. Pemeriksaan KOH
Dapat dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui
adanya mikology pada infeksi jamur superficial infeksi
candida, pemeriksaan ini tergantung tempat dan morfologi
dari lesi. (4-8)
4. Pemeriksaan IgE
Peningkatan imunoglobulin E dapat menyokong
adanya diathetis atopic atau riwayat atopi.

2.3.1.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari dermatitis kontak iritan dapat
dilakukan dengan melakukan dengan memproteksi atau
menghindakan kulit dari bahan iritan. Selain itu, prinsip
pengobatan penyakit ini adalah dengan menghindari bahan
iritan, melakukan proteksi (seperti penggunaan sarung
tangan), dan melakukan substitusi dalam hal ini, mengganti
bahan-bahan iritan dengan bahan lain. (4-8)
Selain itu, beberapa strategi pengobatan yang dapat
dilakukan pada penderita dermatitis kontak iritan adalah
sebagai berikut: (4-8)
1. Kompres dingin dengan Burrows solution
Kompres dingin dilakukan untuk mengurangi
pembentukan vesikel dan membantu mengurangi
pertumbuhan bakteri. Kompres ini diganti setiap 2-3 jam.
2. Glukokortikoid topikal
Efek topikal dari glukokortikoid pada penderita
DKI akut masih kontrofersional karena efek yang
ditimbulkan, namun pada penggunaan yang lama dari
12

kortikosteroid dapat menimbulkan kerusakan kulit pada


stratum korneum. Pada pengobatan untuk DKI akut yang
berat, mungkin dianjurkan pemberian prednison pada 2
minggu pertama, 60 mg dosis inisial, dan di tappering
10mg. (4-8)
3. Antibiotik dan antihistamin
Ketika pertahanan kulit rusak, hal tersebut
berpotensial untuk terjadinya infeksi sekunder oleh
bakteri. Perubahan pH kulit dan mekanisme antimikroba
yang telah dimiliki kulit, mungkin memiliki peranan
yang penting dalam evolusi, persisten, dan resolusi dari
dermatitis akibat iritan, tapi hal ini masih dipelajari.
Secara klinis, infeksi diobati dengan menggunakan
antibiotik oral untuk mencegah perkembangan selulit dan
untuk mempercepat penyembuhan. Secara bersamaan,
glukokortikoid topikal, emolien, dan antiseptik juga
digunakan. Sedangkan antihistamin mungkin dapat
mengurangi pruritus yang disebabkan oleh dermatitis
akibat iritan. Terdapat percobaan klinis secara acak
mengenai efisiensi antihistamin untuk dermatitis kontak
iritan, dan secara klinis antihistamin biasanya diresepkan
untuk mengobati beberapa gejala simptomatis. (4-8)
4. Anastesi dan Garam Srontium (Iritasi sensoris)
Lidokain, prokain, dan beberapa anastesi lokal
yang lain berguna untuk menurunkan sensasi terbakar
dan rasa gatal pada kulit yang dihubungkan dengan
dermatitis iritan oleh karena penekanan nosiseptor, dan
mungkin dapat menjadi pengobatan yang potensial untuk
dermatitis kontak iritan. Garam strontium juga
dilaporkan dapat menekan depolarisasi neural pada
hewan, dan setelah dilakuan studi, garam ini berpotensi
13

dalam mengurangi sensasi iritasi yang dihubungkan


dengan DKI. (4-8)
5. Emolien
Pelembab yang digunakan 3-4 kali sehari adalah
tatalaksana yang sangat berguna. Menggunakan emolien
ketika kulit masih lembab dapat meningkatkan efek
emolien. Emolien dengan perbandingan lipofilik :
hidrofilik yang tinggi diduga paling efektif karena dapat
menghidrasi kulit lebih baik. (4-8)
6. Imunosupresi Oral
Pada penatalaksanaan iritasi akut yang berat,
glukokortikoid kerja singkat seperti prednisolon, dapat
membantu mengurangi respon inflamasi jika
dikombinasikan dengan kortikosteroid topikal dan
emolien. Tetapi, tidak boleh digunakan untuk waktu
yang lama karena efek sampingnya. Oleh karena itu,
pada penyakit kronik, imunosupresan yang lain mungkin
lebih berguna. Obat yang sering digunakan adalah
siklosporin oral dan azadtrioprim. (4-8)
7. Fototerapi dan Radioterapi Superfisial
Fototerapi telah berhasil digunakan untuk
tatalaksana dermatitis kontak iritan, khususnya pada
tangan. Modalitas yang tersedia adalah fototerapi
photochemotherapy ultraviolet A (PUVA) dan ultraviolet
B, dimana penyinaran dilakukan bersamaan dengan
penggunaan fotosensitizer (soralen oral atau topical).
Sedangkan radioterapi superfisial dengan sinar Grentz
juga dapat digunakan untuk menangani dermatitis pada
tangan yang kronis. Penalataksanaan ini jarang
digunakan pada praktek terbaru, hal ini mungkin
14

disebabkan oleh ketakutan terhadap kanker karena


radioterapi. (4-8)

2.3.2 Dermatitis Kontak Alergi


Dermatitis Kontak Alergi adalah suatu dermatitis
(peradangan kulit) yang timbul setelah kontak kulit dengan bahan
alergen melalui proses sensitisasi. (2) Dermatitis Kontak Alergi
lebih kurang merupakan 20% dari seluruh dermatitis kontak. (4-8)
2.3.2.1 Etiologi
Dermatitis Kontak Alergi (DKA) adalah
epidermodermatitis yang subyektif memberi keluhan
pruritus dan obyektif mempunyai efloresensi polimorfik
disebabkan kontak ulang dengan bahan dari luar, dimana
sebelumnya kulit telah tersensitisasi dengan bahan tersebut.
Penyebab dermatitis kontak alergi adalah alergen, paling
sering berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang
dari 500-1000 Dalton, yang juga disebut bahan kimia
sederhana, dapat berdifusi melalui epidermis, berikatan
dengan protein jaringan, dan membentuk molekul yang
beratnya lebih dari 5.000 Dalton. (4-8)
Bahan-bahan tersebut antara lain : plastik, kosmetik,
tanaman, krom, nikel, obat-obatan. Alergen-alergen ini
biasanya tidak menyebabkan perubahan kulit yang nyata
pada kontak pertama, akan tetapi menyebabkan perubahan-
perubahan yang spesifik setelah lima sampai tujuh hari atau
lebih. Kontak yang lebih lama pada bagian tubuh yang
sama atau pada bagian tubuh lainnya dengan alergen akan
menyebabkan dermatitis. Dermatitis yang timbul
dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat
pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit. (4-8)
15

2.3.2.2 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis
kontak alergi adalah mengikuti respon imun yang
diperantarai oleh sell (cell-mediated immune respons) atau
reaksi tipe IV. Reaksi hipersensitivitas di kulit timbulnya
lambat ( delayed hypersensitivity), umumnya dalam waktu
24 jam setelah terpajan dengan alergen. Kebanyakan
alergen kontak akan menimbulkan sensitisasi pada sebagian
kecil orang orang yang terkena. Ada suatu perkecualian
yakni racun dari jenis tumbuhan tertentu menyebabkan
sensitisasi pada 70% dari populasi. Di Indonesia jenis- jenis
tumbuhan yang menghasilkan racun semacam inipun
mungkin sering dijumpai. (4-8)
Ada 2 fase untuk menimbulkan dermatitis kontak
alergi yaitu:
1. Fase Primer (induktif/afferen) / Fase Sensitisasi
Sebelum seseorang pertama kali menderita
dermatitis kontak alergi, terlebih dahulu mendapatkan
perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya. Perubahan
ini terjadi karena adanya kontak dengan bahan kimia
sederhana yang disebut hapten yang akan terikat
dengan protein, membentuk antigen lengkap. Antigen
ini ditangkap dan diproses oleh makrofag dan sel
Langerhans, selanjutnya dipresentasikan ke sel T. (4-8)
Setelah kontak dengan antigen yang telah
diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening
regional untuk berdiffrensiasi dan berproliferasi
membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara
spesifik dan sel memori. Sel sel ini kemudian tersebar
melalui sirkulasi ke seluruh tubuh, juga sistem limfoid,
sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama
16

di seluruh kulit tubuh. Fase saat kontak pertama alergen


sampai kulit menjadi sensitif disebut fase Primer/
induksi/ fase sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung
selama 2-3 minggu. Pada umumnya reaksi sensitisasi
ini dipengaruhi oleh derajat kepekaan individu, sifat
sensitisasi alergen (sensitizer), jumlah alergen, dan
konsentrasi. Sensitizer kuat mempunyai fase yang lebih
pendek, sebaliknya sensitizer lemah seperti bahan-
bahan yang dijumpai pada kehidupan sehari-hari pada
umumnya kelainan kulit pertama muncul setelah lama
kontak dengan bahan tersebut, bisa bulanan atau
tahunan. (4-8)
2. Fase Sekunder (eksitasi/eferen) / Fase Elisitasi
Merupakan periode saat terjadinya pajanan
ulang dengan alergen yang sama atau serupa sampai
timbulnya gejala klinis. Setelah pemajanan alergen
pada kulit, antigen tersebut secara imunologik
``ditangkap`` oleh sel Langerhans (sel penyaji
antigen), kemudian diproses dan disajikan kepada
limfosit T dengan bantuan MHC kelas II. Sel
Langerhans dan sel keratosit akan menghasilkan
Interleukin I (Lymphocyte Activiting Factor) dan sel
langerhans akan mengalami perubahan morfologis
menjadi sel Langerhans yang aktif sebagai penyaji sel
(APCs). Sel ini akan bergerak ke kulit, parakortikal,
kelenjar limfe. Sel Langerhans menyajikan antigen
dalam bentuk yang sesuai dengan HLA DR dengan
reseptor HLA DR yang dimiliki oleh sel limfosit T,
sel Limfosit T itu harus diaktifkan oleh interleukin I
yang dihasilkan oleh sel Langerhans dan sel keratosit.
Sel T ini akan menghasilkan interleukin 2
17

(Lymphocyte Proliferating Cell) dan menyebabkan sel


T berproliferasi. Kemudian terjadi reaksi imun yang
menghasilkan limfokin. Terjadi reaksi inflamasi
dengan perantaraan sel T, karena lepasnya bahan-
bahan limfokin dan sitokin. Terjadinya reaksi ini
maksimum 24-48 jam. APCs lain seperti sel monosit
dan makrofag hanya dapat merangsang sel T memori,
tidak dapat mengaktifkan sel T yang belum
disensitasi. Pada fase eferen ini sel TH1 terletak di
sekitar pembuluh darah kapiler di dermis. (4-8)

2.3.2.3 Gejala klinis


Gejala yang umum dirasakan penderita adalah gatal
atau pruritus yang umumnya konstan dan seringkali hebat
(sangat gatal). DKA biasanya ditandai dengan adanya lesi
eksematosa berupa eritema, udem, vesikula dan
terbentuknya papulovesikula; gambaran ini menunjukkan
aktivitas tingkat seluler. Vesikel-vesikel timbul karena
terjadinya spongiosis dan jika pecah akan mengeluarkan
cairan yang mengakibatkan lesi menjadi basah. (4-8)
Mula-mula lesi hanya terbatas pada tempat kontak
dengan alergen, sehingga corak dan distribusinya sering
dapat menunjukkan kausanya, misalnya : mereka yang
terkena kulit kepalanya dapat curiga dengan shampoo atau
cat rambut yang dipakainya. Mereka yang terkena
wajahnya dapat curiga dengan cream, sabun, bedak dan
berbagai jenis kosmetik lainnya yang mereka pakai. Pada
kasus yang hebat, dermatitis menyebar luas keseluruh tubuh
disebut eksematisasi. (4-8)
Ciri khas DKA adalah radang yang secara perlahan
meluas, batas peradangan tidak jelas (difus), rasa sakit dan
18

panas tidak sehebat pada DKI (Dermatitis Kontak Iritan).


Perjalanan DKA dapat akut,subakut,ataupun kronis.
Dermatitis kronik tampak sebagai kulit kering yang
mengalami likenifikasi dan berskuama serta fissura. Fase
kronik sangat sulit dibedakan dengan DKI, baik secara
klinis maupun histopatologis, karena pada keduanya sama-
sama ditemukan eritema, penebalan, deskuamasi, fissura
dan gatal. (4-8)
2.3.2.4 Penunjang
Uji Tempel (patch test)
Uji tempel digunakan untuk mengetahui
hipersensitivitas terhadap suatu bahan yang kontak dengan
kulit. Menurut American Academy of Allergy, Asthma, And
Immunology bahwa uji tempel ini merupakan golden
standart untuk identifikasi dermatitis kontak, terutama
untuk penderita yang kronik dan berulang. (1,4-8)
Pelaksanaan uji tempel dilakukan setelah
dermatitisnya sembuh (tenang), bila mungkin setelah 3
minggu. Tempat melakukan uji tempel biasanya di
punggung, dapat pula di bagian luar lengan atas. Bahan uji
diletakkan pada sepotong kain atau kertas, ditempelkan
pada kulit yang utuh, ditutup dengan bahan impermeable,
kemudian direkat dengan plester. Setelah 48 jam dibuka.
Reaksi dibaca setelah 48 jam (pada waktu dibuka).
Untuk bahan tertentu bahkan baru memberi reaksi setelah
satu minggu. Hasil positif dapat berupa eritema dengan
urtika sampai vesikel atau bula. Penting dibedakan, apakah
reaksi karena alergi kontak atau karena iritasi, sehubungan
dengan konsentrasi bahan uji terlalu tinggi. Bila oleh
karena iritasi reaksi akan menurun setelah 48 jam (reaksi
tipe decrescendo), sedangkan reaksi alergi kontak makin
19

meningkat (reaksi tipe crescendo). Syarat uji tempel adalah


dermatitis dalam keadaan tenang atau sudah sembuh agar
tidak terjadi angry back, pemakaian kortikosteroid topical
harus di hentikan sekurang-kurangnya 1 minggu, uji tempel
dilakukan dengan dengan bahan standar atau bahan yang
dicurigai. Hasil dapat berupa: tidak ada reaksi (0), eritema
(+), eritema dan papul (++), eritema, papula dan vesikula
(+++), udema yang jelas dan vesikula (++++) (pembacaan
hasil menurut Fisher). (4-8)
2.3.2.5 Penatalaksanaan
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan
dermatitis kontak alergi adalah upaya pencegahan
terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan
menekan kelainan kulit yang timbul.
A. Pengobatan secara topical
Untuk lesi yang akut dan basah diberi kompres
NaCl 0,9%, jika kering gunakan krim kortikosteroid,
hidrokortison 1%, atau diflukoltoron valerat 0,1% atau
betametasone valerat 0,005%-0,1%.(4-8)
B. Pengobatan secara sistemik
Kortikosteroid, hanya untuk kasus yang berat dan
digunakan dalam waktu yang singkat. (4-8)
1. Prednison 5-10 mg/dosis, 2-3 kali/24 jam (dewasa),
1mg/kgBB/hari (anak)
2. Dexametasone 0,5-1mg/dosis, 2-3 kali/24jam
(dewasa), 0,1 mg/kgBB/hari (anak)
3. Triamsinolon 4-8 mg/dosis,2-3kali/24 jam (dewasa),
1 mg/kgBB/hari (anak)
20

Antihistamin
1. Chlorpheniramin meleat 3-4 mg/dosis,2-3kali/24jam
(dewasa), 1 mg/kgBB/dosis,3 kali/24 jam (anak)
2. Diphenhidramin HCL 10-20 mg/dosis i.m,1-2 kali/24
jam (dewasa), 0,5 mg/kgBB/dosis, 1-2 kali/24 jam
(anak)
3. Loratadine 1 tab/hari ( dewasa)
Antibiotika bila ditemukan tanda-tanda infeksi sekunder
Amoksisilin 3 X 500 mg/hari atau Klindamisin 2 x
300 mg/hari selama 5-10 hari. (4-8)

2.3.3 Urtikaria
Urtikaria adalah reaksi vascular dikulit akibat beracam-
macam sebab, biasanya ditandai dengan edema setempat yang
cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan
kemerahan, meninggi dipermukaan kulit, sekitarnya dapat
dikelilingi halo. Keluhan subjektif biasanya gatal, rasa tersengat
atau tertusuk. Angioderma ialah rtika yang mengenai lapisan kulit
yang lebih dalam daripada dermis, dapat disubmukosa, atau
subkutis, juga dapat mengenai saluran napas, saluran cerna, dan
organ kardiovaskular.(4,5,9,10)

2.3.3.1 Etiologi
1) Obat
Hampir semua obat sistemik menimbulkan urtkaria
secara imunologik tipe I atau II. Contohnya adalah obat-obat
golongan penisilin, ulfonamid, analgesic, pencahar, hormone,
dan diuretic. Ada pula obat yang secara non imunologik
langsung merangsang sel mas untuk melepaskan histamine,
misalnya kodein, opium, dan zat kontras. Aspirin
21

menimbulkan urtikaria karena menghambat sintetis


prostaglandin dari asam arakhidonat. (4,5,9,10)
2) Makanan
Makanan berupa protein atau bahan lain yang
dicampurkan ke dalamnya seperti zat warna, penyedap rasa,
atau bahan pengawet, sering menimbulkan urtikaria alergika.
Contoh makanan yang sering menibulkan urtikaria ialah teur,
ikan, udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan
semangka; bahn yang dicampurkan seperti asam nitrat, asam
benzoate, ragi, salisilat, dan penisilin. (4,5,9,10)
3) Gigitan/sengatan serangga
Gigitan/sengatan serangga dapat menimbulkan urtika
setempat, agaknya hal ini lebih banyak diperantarai oleh IgE
(tipe I) dan tipe selular (tipe IV). Tetapi venom dan toksin
bakteri, biasanya dapat pula mengaktifkan komplemen.
Namuk, epinding, dan serangga lainnya, menimbulkan urtika
bentuk popular disekitar tempat gigitan, biasanya sembuh
dengan sendirinya setelah beberapa hari, inggu atau bulan.
(4,5,9,10)

4) Bahan fotosensitizer
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin,
sulfonamide, bahan kosmetik, dan sabun gerisid sering
menimbulkan urtikaria. (4,5,9,10)
5) Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur,
debu, bulu binatang, dan aerosol, umumnya lebih mudah
menimbulka urtikaria alergik (tipe I. reaksi ini sering dijumpai
pada penderita atopi dan disertai gangguan napas. (4,5,9,10)
22

6) Kontakan
Kontakan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu
binatang, serbuk tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan
dan lain-lain. (4,5,9,10)
7) Trauma fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin,
yakni berenang atau memegang benda dingin; faktor panad,
misalnya sinar matahari, sinar UV, radiasi dan panas
pembakaran. Dapat timbul urtika setelah goresan ddengan
benda tumpul beberapa menit samai beberapa jam keudian.
Fenomena ini disebut dermografisme atau fenomena darier.
(4,5,9,10)

8) Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat
menimbulkan urtikaria, reaksi lebih sering disebabkan reaksi
kompleks antigen-antibodi. Beberapa penyakit sistemik yang
disertai urtikaria antara lain limfoma, hipertiroid, hepatitis,
urtikaria pigmentosa, arthritis pada demam reumatik, dan
arthritis rheumatoid juvenilis. (4,5,9,10)

2.3.3.2 Patofisiologi
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai
permeabilitas kapiler yang meningkat, sehingga terjadi
transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan
setempat. Sehingga secara klinis tampak edema setempat
disertai kemerahan. Vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan
mediator-mediator misalnya histamine, kinin, serotonin,
slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan
prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil. (4,5,9,10)
23

Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik


mampu merangsang sel mast atau basofil untuk melepaskan
mediator tersebut. Pada yang nonimunologik mungkin
sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang
peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan
kimia seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-
obatan seperti morfin, kodein, polimiksin, dan beberapa
antibiotik berperan pada keadaan ini. (4,5,9,10)
Bahan kolinergik misalnya asetilkolin, dilepaskan
oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya belum
diketahui langsung dapat mempengaruhi sel mast untuk
melepaskan mediator. Faktor fisik misalnya panas, dingin,
trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat langsung
merangsang sel mast. Beberapa keadaan misalnya demam,
panas, emosi, dan alkohol dapat merangsang langsung pada
pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas. (4,5,9,10)
Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria
yang akut daripada yang kronik; biasanya IgE terikat pada
permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya
reseptor Fc bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan
IgE maka terjadi degranulasi sel, sehingga mampu
melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi
tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan.
Komplemen juga ikut berperan, aktivasi komplemen secara
klasik maupun secara alternatif menyebabkan pelepasan
anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu merangsang sel mast
dan basofil, misalnya tampak akibat venom atau toksin
bakteri. (4,5,9,10)
Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada
urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan kompleks imun pada
24

keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria


akibat kontak dapat juga terjadi misalnya setelah
pemakaian bahan pengusir serangga, bahan kosmetik, dan
sefalosporin. Kekurangan C1 esterase inhibitor secara
genetik menyebabkan edema angioneurotik yang herediter.
(4,5,9,10)

FAKTOR NON FAKTOR IMUNOLOGIK

Bahan kimia pelepas Reaksi tipe I (IgE)


mediator

Reaksi tipe IV

Faktor fisik
(panas, dingin, trauma, Pengaruh komplemen
sinar X, cahaya)

Aktivasi komplemen
SEL MAS
klasik alternatif
BASOFIL

Efek kolinergik Reaksi tipe II

Reaksi tipe III

Faktor genetik

PELEPASAN MEDIATOR
(histamin, SRSA,
serotonin, kinin, PEG, PAF)

Alkoho VASODILATASI
l PERMEABILITAS KAPILER
Emosi

Idiopati URTIKARIA

Gambar 4. Diagram Faktor Imunologik dan Non-Imunologik yang menimbulkan Urtikaria


25

2.3.3.3 Gejala klinis


Gambaran klinis urtikaria yaitu berupa munculnya
ruam atau lesi kulit berupa biduran yaitu kulit kemerahan
dengan penonjolan atau elevasi berbatas tegas dengan batas
tepi yang pucat disertai dengan rasa gatal (pruritus) sedang
sampai berat, pedih, dan atau sensasi panas seperti terbakar.
Lesi dari urtikaria dapat tampak pada bagian tubuh
manapun, termasuk wajah, bibir, lidah, tenggorokan, dan
telinga. Bentuknya dapat papular seperti pada urtikaria
akibat sengatan serangga, besarnya dapat lentikular,
numular sampai plakat. Bila mengenai jaringan yang lebih
dalam sampai dermis dan jaringan submukosa atau
subkutan, maka ia disebut angioedema. (4,5,9,10)
Urtikaria dan angioedema dapat terjadi pada lokasi
manapun secara bersamaan atau sendirian. Angioedema
umumnya mengenai wajah atau bagian dari ekstremitas,
dapat disertai nyeri tetapi jarang pruritus, dan dapat
berlangsung sampai beberapa hari. Keterlibatan bibir, pipi,
dan daerah periorbita sering dijumpai, tetapi angioedema
juga dapat mengenai lidah dan faring. Lesi individual
urtikaria timbul mendadak, jarang persisten melebihi 24-48
jam, dan dapat berulang untuk periode yang tidak tentu.
(4,5,9,10)

2.3.3.4 Penatalaksanaan
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria
sangat bermanfaat. Cara kerja antihistamin telah diketahui
dengan jelas, yaitu menghambat histamine pada reseptor-
reseptornya. Pemakaian di klinik hendaknya
mempertimbangkan cara kerja obart, farmakokinetik dan
farmakodinamik, indikasi dn kontraindikasi, cara
26

pemberian, serta efek samping obat dan interaksi dengan


obat lain. (4,5,9,10)
Bila pengobatan dengan satu jenis antihistamin
gagal, hendaknya dipergunakan antihistamin grup lain.
Hidroksin ternyata lebih efektif daripada antihistamin lain
untuk mencegah urtikaria, demografisme dan urtikaria
kolinergik. Pengobatan dengan anti-enzim, misalnya anti
plasmin dimaksudkan untuk menekan aktivitas plasmin
yang timbul pada perubahan reaksi antigen antibody
preparat yang digunakan adalah ipsilon, obat lain yaitu
trasilol. (4,5,9,10)

2.3.4 Tinea Pedis


Tinea pedis merupakan penyakit yang disebabkan oleh
infeksi jamur dermatofita di daerah kulit telapak kaki, punggung
kaki, jari-jari kaki, serta daerah interdigital.Tinea pedis atau yang
disebut juga dengan Athletes foot, atau orang awam sering
menyebutnya dengan kutu air.Biasanya sering ditemukan pada
orang dewasa yang setiap hari menggunakan sepatu tertutup,
contohnya penggunaan sepatu dan kaus kaki.Dan pada orang yang
bekerja di tempat yang basah, mencuci, di sawah dan
sebagainya.Infeksi juga dapat menyebar melalui penggunan
pancuran dan ruang ganti pakaian umum, di mana kulit yang
terinfeksi dan terkelupas berperan sebagai sumber infeksi.Tidak
ada tindakan pengendalian yang benar-benar efektif selain hygiene
yang tepat dan penggunaan bedak untuk mempertahankan agar
ruang antar jari-jari kaki tetap kering.Pada banyak orang, tinea
pedis menahun bersifat asimtomatis dan hanya menjadi aktif pada
keadaan panas atau basah yang berlebihan atau pemakaian alas
kaki yang tidak sesuai.(4,5,8,11)
27

2.3.4.1 Etiologi
Tiga spesies jamur dermatofita antropofilik T.
rubrum, T.mentagrophytes, E.floccosum merupakan
penyebab tersering Tinea pedis di seluruh dunia. Tinea
pedis merupakan dermatofitosis yang mengenai kaki.
Faktor predisposisinya adalah hiperhidrosis dan
penggunaan sepatu yang tertutup. Penyakit dapat
berlangung akut berupa lesi-lesi vesikobulosa
(vesicobullous type) sampai ulserasi (acute ulcerative type)
pada telapak kaki. Penyakit dapat juga berlangsung kronis
berupa eritem dan erosi pada sela jari kaki (chronic
intertriginous type) dan penebalan kulit berskuama pada
telapak kaki (chronic hyperkeratotic type atau moccasin
type). (4,5,8,11)

2.3.4.2 Patofisiologi
Spesies jamur penyebab Tinea pedis tersering
adalah Trichophyton rubrum, Trichophyton
mentagrophytes, dan Epidermophyton floccosum.
Penyebaran jamur-jamur tersebut tergantung dari sumber
infeksi yaitu berasal dari manusia lain, hewan dan dari
tanah. Pada manusia T.rubrum memiliki sifat-sifat
anthropophilic, ectothrix, dan tes urase negatif. Selain itu
T.rubrum juga menghasilkan keratinase yang dapat
melisiskan lapisan keratin pada straum korneum kulit
sehingga dapat timbul skuama. Kerusakan yang terjadi pada
stratum korneum ini, maka jamur dapat dengan mudah
masuk menginvasi pada jaringan yang lebih dalam dan
dapat menyebabkan reaksi peradagan lokal, yang
28

menimbulkan pula beberapa gejala tambahan lain seperti


demam, gatal, kemerahan dan nyeri. Gejala dapat juga
diperparah dengan infeksi sekunder karena bakteri. (4,5,8,11)
Dermatofita berperan dalam proses penghancuran
sawar stratum korneum. Tubuh bereaksi terhadap
proliferasi jamur dengan mempercepat pertumbuhan
lapisan sel basal epidermis. Keadaan ini menyebabkan kulit
menjadi tebal dan berdeskuamasi. Bila kondisi lingkungan
memadai, misalnya lembab dan tertutup, akan mudah
terjadi pertumbuhan berlebihan bakteri oportuistik bersama
dermatofita. (4,5,8,11)

Gambar 5. Patofisiologi Tinea Pedis

2.3.4.3 Gejala klinis


Penyakit ini sering terjadi pada orang dewasa yang
setiap harinya harus memakai sepatu tertutup dan pada
orang yang sering bekerja di tempat yang basah, mencuci,
di sawah dan sebagaiannya.Keluhan penderita bervariasi
mulai dari tanpa keluhan sampai mengeluh sangat gatal dan
nyeri karena terjadi infeksi sekunder dan peradangan. (4,5,11)
29

Dikenal 3 bentuk klinis yang sering dijumpai, yakni :


a) Bentuk interdigitalis
Manifestasi kliniknya berupa maserasi, deskuamasi,
dan erosi pada sela jari. Tampak warna keputihan, basah
dan dapat terjadi fisura yang terasa nyeri bila
tersentuh.Infeksi sekunder dapat menyertai fisura
tersebut dan lesi dapat meluas sampai ke kuku dan kulit
jari. Pada kaki, lesi sering mulai dari sela jari III, IV, dan
V. Bentuk klinik ini dapat berlangsung bertahun-tahun
tanpa keluhan sama sekali. Pada suatu ketika kelainan ini
dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri, sehingga
terjadi limfangitis, limfadenitis, selulitis, dan erisipilas
yang disertai gejala-gejala umum.(4,5,11)
b) Bentuk vesikuler akut.
Penyakit ini ditandai terbentuknya vesikula-
vesikula dan bula yang terletak agak dalam di bawah
kulit dan sangat gatal.Lokasi yang tersering adalah
telapak kaki dengan bagian tengah dan kemudian
melebar serta vesikulanya memecah.Infeksi sekunder
dapat memperburuk keadaan ini. (4,5,11)
c) Bentuk moccasin foot.
Pada bentuk ini seluruh kaki dan telapak, tepi
sampai punggung kaki, terlihat kulit menebal dan
berskuama, Eritem biasa ringan, terutama terlihat pada
bagian tepi lesi. (4,5,11)
30

Gambar 6. Tinea pedis

2.3.4.4 Penunjang
Bahan untuk pemeriksaan mikologik diambil dan
dikumpulkan sebagai berikut terlebih tempat kelainan
dibersihkan dengan alkohol 70% kemudian, Pemeriksaan
langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop,
mula-mula dengan pembesaran 10 x 10, kemudian dengan
pembesaran 10 x 45.Pemeriksaan dengan pembesaran 10 x
100 biasanya tidak diperlukan. Sedian basah dibuat dengan
meletakkan bahan di atas gelas alas, kemudian di
tambahkan 1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan
KOH untuk sedian kulit adalah 10% dan untuk rambut dan
kuku 20%.(4,5,11)

2.3.4.5 Penatalaksanaan
Pada umumnya cukup topikal saja dengan obat-obat
antijamur untuk bentuk interdigital dan vesikular. Lama
pengobatan 4-6 minggu. Bentuk moccasin foot yang kronik
memerlukan pengobatan yang lebih lama, apalagi bila
disertai dengan tinea unguium, pengobatan diberikan paling
sedikit 6 minggu dan kadang-kadang memerlukan
antijamur per-oral, misalnya griseofulvin, itrakonazol, atau
31

terbenafin. Bentuk klinik akut yang disertai selulitis


memerlukan pengobatan antibiotik, misalnya penisilin V,
fluklosasilin, eritromisin atau spiramisin dengan dosis yang
adekuat. (4,5,11)
Obat-obat antifungal antara lain : (4,5,11)
1. Golongan imidazol
- Ketokonazole 200 mg
- Itrakonazole 2x100 mg cap selama 3 hari
- Fluconazole 150 mg/minggu selama 4 minggu
2. Golongan alilamin
- Terbinafin 1x250 mg diberikan selama 2-3 mingu
3. Topikal Konvensional
- Asam salisil 2-4%
- Asam benzoat 6-12%
4. Griseofulvin 1x500 mg selama 4-6 minggu

2.3.5 Aktinik Keratosis


Keratosis aktinik adalah kelainan kulit yang ditandai lesi
hiperkeratotik akibat perubahan sel epidermis. Keratosis aktinik
merupakan pertumbuhan keratotik atau verukois, yang datar atau
menonjol, berwarna merah, berbatas tegas, kadang-kadang dapat
berkembang menjadi kutil atau dapat menjadi karsinoma sel
skuamosa. Keratosis akinik merupakan lesi prekanker, resiko
karsinoma secara langsung sesuai dengan derajat dysplasia epitel.
(12)

2.3.5.1 Etiologi
Penyakit ini diduga berhubungan dengan efek
kumulatif sinar matahari. Displasia di kulit ini terjadi akibat
terpajan sinar matahari secara kronis dan berkaitan dengan
penimbunan keratin yang berlebihan. (12)
32

Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit


adalah biasanya lebih sering pada orang kulit putih dan
lebih rentan pada daerah tropis. Panas dan pajanan sinar
matahari mempercepat terjadinya penyakit ini. (12)

2.3.5.2 Patofisiologi
Meskipun faktor genetik dan lingkungan berperan
terhadap perkembangan keratosis aktinik, namun faktor
yang paling diakui berkontribusi adalah paparan radiasi
sinar UV, yaitu sinar matahari. Radiasi sinar matahari
bertanggung jawab terhadap kejadian keratosis aktinik
melalui dua cara. Pertama, dengan menyebabkan mutasi
pada DNA seluler, yang dapat mengakibatkan pertumbuhan
tidak terkendali atau pembentukan tumor. Kedua,
mengganggu homeostasis sel. Radiasi sinar UV yang
menyebabkan mutasi pada gen supresor tumor p53
berperan pada awal terbentuknya keratosis aktinik. Sinar
UV mengakibatkan photodemaged kulit, kemudian
berkembang menjadi keratosis aktinik. Pada kondisi
photodemaged kulit terdapat gambaran klinis mutasi gen
yang mencegah terjadinya apoptosis sehingga terjadi
proliferasi membentuk gambaran lesi prakanker. (12)
Awalnya pada kulit timbul makula atau plak hitam
kecoklatan yang berbentuk bulat atau irregular dengan
permukaan kasar. Lama kelamaan berkembang menajdi
papul. Karena disebabkan sinar matahari, maka sering
disebut kulit pelaut atau petani (sailor or farmer skin). (12)
33

Gambar 7 . Mutasi gen p53 pada epitelium

2.3.5.3 Gejala klinis


Timbul makula atau plak hitam kecoklatan
berdiameter kurang dari 1 cm, berbentuk bulat atau
irregular dengan permukaan kasar. Sebagian lesi
menghasilkan sedemikian banyak keratin sehingga
berbentuk suatu tanduk kulit (cutaneous horn). Predileksi
terjadi pada kulit kepala, wajah, leher, ekstremitas, dan
permukaan tubuh yang sering terpajan sinar matahari.
Daerah yang terserang tampak seperti lesi eritematosa,
makula/ plak berbentuk bulat, irregular, berbatas tegas,
kering, dengan skuama yang melekat atau berupa papula
keratotik berwarna kuning sampai coklat dengan skuama
keras di atasnya. (12)
34

Gambar 8. Gambaran aktinik keratosis berupa makula hiperpigmentasi, irregular, kasar.

2.3.5.4 Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan adalah dengan destruksi lesi antara lain
dengan cara : (12)
1. Bedah beku dengan nitrogen cair
Bedah beku dengan nitrogen cair (-195,8C [-
320,4F]) merupakan metode pengobatan yang paling
umum dilakukan untuk aktinik keratosis di Amerika
Serikat. Ketika nitrogen cair diterapkan pada kulit yang
terdapat lesi AK, maka suhu daerah lesi tersebut
diturunkan menjadi sekitar -50C (-58F) dan
keratinosit atipikal dari penyakit ini akan hancur.
Nitrogen cair dapat diterapkan dalam beberapa cara,
paling sering melalui aplikasi tip kapas atau dengan
menggunakan semprotan perangkat. Tingkat
kesembuhan hingga 98,8% telah dilaporkan ketika
menggunakan bedah beku nitrogen cair untuk
pengobatan aktinik keratosis. (12)
2. Bedah listrik (elektrolisis dan elektrokauterisasi)
Bedah listrik juga dapat dilakukan untuk
mengahncurkan sel-sel atipikal. Menggunakan kauter
dapat meningkatkan hasil kosmetik dan
mengoptimalkan penyembuhan. Anastesi lokal
diperlukan untuk prosedur ini. Setelah tindakan selesai
35

maka pasien harus merawat lesinya dengan menjaganya


agar tetap bersih dan ditutupi dengan perban dan salep
antibiotik. (12)
3. Bedah laser
Prosedur ini membuang lesi dengan
menggunakan laser karbon dioksida yang
menggunakan sinar energi tinggi untuk merusak sel-sel
kanker dan menghentikan pertumbuhannya. (12)

2.3.6 Hiperpigemntasi pascainflamasi


Hiperpigmentasi post inflamasi (HPI) adalah kelainan
pigmen yang terjadi akibat akumulasi pigmen setelah terjadinya
proses peradangan akut atau kronik. Keadaan ini disebabkan oleh
meningkatnya sintesis melanin sebagai respon peradangan dan
inkontinensia pigmen yaitu terperangkapnya pigmen melanin di
dalam makrofag di bagian atas dermis. Semua tipe kulit terutama
tipe kulit gelap baik pria maupun wanita segala usia dapat
mengalami HPI. Kelainan ini ditandai dengan timbul bercak
kecoklatan hingga hitam yang asimtomatik, berbatas tidak tegas
dan sedikit berambut. Pemeriksaan dengan lampu Wood dapat
membedakan akumulasi melanin pada epidermis dan
dermis. Penatalaksanaan yang utama adalah mengobati penyebab
peradangan, edukasi pasien agar menghindari pemakaian kosmetik
rias dan melindungi kulit dari sinar matahari dengan tabir surya.
(4,5,13)

Hiperpigmentasi post inflamasi adalah kelainan pigmentasi


kulit yangdisebabkan oleh peningkatan melanin akibat oleh proses
inflamasi. Hipermelanosis ini dapat terjadi pada epidermis, dermis,
atau kedua-duanya. HPI adalah kelainan kulit yang sangat umum
terjadi. Sebagian besar dermatosis dapat menyebabkan HPI
36

termasuk psoriasis, infeksi kulit seboroik, infeksi kulit atopi,


sarcoidosis, ptiriasis likenoides kronik. (4,5,13)

2.3.6.1 Etiologi
Ada banyak jenis peradangan pada kulit yang dapat
menyebabkan perubahan pigmen. Namun beberapa
penyakit menunjukkan kecenderungan untuk menyebabkan
HPI dari pada hipopigmentasi. (4,5,13)
- Infeksi
Dermatofitosis, reaksi alergi (dermatitis kontak),
psoriasis atau liken planus, acne vulgaris, dermatitis
atopi, impetigo. (4,5,13)
- Induksi Obat
Reaksi hipersensitivitas, cedera kulit karena iritasi
kosmetik, tetrasiklin, doxorubicin, bleomycin,
arsenik, perak, emas, obat antimalaria, hormone,
dan klofazimin(4,5,13)
- Paparan sinar UV dan berbagai bahan kimia

2.3.6.2 Patofisiologi
Hiperpigmentasi post inflamasi terjadi akibat
kelebihan produksi melanin atau tidak teraturnya produksi
melanin setelah proses inflamasi. Jika HPI terbatas pada
epidermis, terjadi peningkatan produksi dan transfer
melanin ke kerainosit sekitarnya. Meskipun mekanisme
yang tepat belum diketahui, peningkatan produksi dan
transfer melanin dirangsang oleh prostanoids, sitokin,
kemokin, dan mediator inflamasi serta spesi oksigen reaktif
yang dilepaskan selama inflamasi. Beberapa studi
menunjukkan sifat terangsang melanosit diakibatkan oleh
leukotrien (LT), seperti LT-C4 dan LT-D4, prostaglandin
37

E2 dan D2, tromboksan-2, interleukin-1 (IL-1), IL-6,


Tumor Nekrosis Faktor- (TNF). (4,5,13)
HPI pada dermis terjadi akibat inflamasi yang
disebabkan kerusakan keratinosit basal yang melepaskan
sejumlah besar melanin. Melanin tersebut ditangkap
oleh makrofag sehingga dinamakan melanofag. Melanofag
pada dermis bagian atas pada kulityang cedera memberikan
gambaran biru abu-abu. (4,5,13)

2.3.6.3 Gejala klinis


Proses inflamasi awal pada HPI biasanya
bermanifestasi sebagai makula atau bercak yang tersebar
merata. Tempat kelebihan pigmen pada lapisan kulit akan
menentukan warnanya. Hipermelanosis pada
epidermis memberikan warna coklat dan dapat hilang
berbulan-bulan sampai bertahun-tahun tanpa pengobatan.
Sedangkan hipermelanosis pada dermis memberikan warna
abu-abu dan biru permanen atau hilang selama periode
waktu yang berkepanjangan jika dibiarkan tidak diobati.
(4,5,13)

Distribusi lesi hipermelanosit tergantung pada


lokasi inflamasi. Warna lesi berkisar antara warna
coklat muda sampai hitam dengan penampakan warna
coklat lebih ringan jika pigmen dalam epidermis dan
penampakan warna abu-abu gelap jika pigmen dalam
dermis. (4,5,13)

2.3.6.4 Penatalaksanaan
Terapi hiperpigmentasi post inflamasi
(HPI) cenderung menjadi proses yang sulit dan sering
memakan waktu 6-12 bulan untuk mencapai hasil yang
38

diinginkan masing-masing pilihan pengobatan berpotensi


meningkatkan hipermelanosis epidermis. Tetapi tidak
ada yang terbukti efektif untuk hipermelanosis dermal.
Penggunaan faktor perlindungan matahari-15 (SPF-15)
spektrum luas atau lebih merupakan bagian penting dari
setiap regimen terapi. (4,5,13)
1. Fotoproteksi
Fotoproteksi merupakan terapi HPI yang tidak dapat
diabaikan dan penting untuk mencegeah memberatnya
HPI. Edukasi pasien tentang penggunaan tabir surya
spektrum luas dalam kehidupan sehari-hari dengan
faktor perlindungan matahari-30 (SPF-30), menghindari
paparan sinar matahari secara langsung karena efek
sinar UV merupakan faktor penting penyebab
hiperpigmentasi. (4,5,13)
2. Terapi Medis Hidrokuinon (HQ) merupakan yang utama
dalam terapi HPI. Ini adalah senyawa fenolik yang
menghalangi konversi dihydroxyphenylalanine (dopa)
untuk menghambat melanin oleh tirosinase. Mekanisme
kerjanya melibatkan inhibisi asam deoksiribonukleat
(DNA) dan asam ribonukleat (RNA) sintesis secara
selektif tergadap sitotoksisitas melanosit dan degradasi
melanosom.HQ umumnya digunakan pada konsentrasi
dari 2 sampai 4 %.(4,5,13)
3. Retinaldehid (RAL) telah menunjukkan depigmenting
activity, sedangkan GA mengurangi kelebihan pigmen
dan berperan pada proses repithelisasi. Kombinasi RAL
0,1% dan GA 6% RALGA (Diacneal) dalam pengobatan
akne vulgaris dan HPI telah terbukti berhasil.
39

2.3.7 Karsinoma Sel Basal


Karsinoma Sel Basal (KSB) adalah neoplasma ganas dari
sel epitelial yang lebih mirip sel germinatif folikel rambut
dibandingkan dengan lapisan sel basal epidermis. KSB merupakan
tumor fibroepitelial yang terdiri atas komponen stroma interpenden
(jaringan fibrosa) dan epiltelial. Sel tumornya berasal dari
primordial pluropotensial di lapisan sel basal, dan dapat juga dari
selubung akar luar folikel rambur atau kelenjar sebasea atau
adneksa kulit lain. Keganasan pada karsinoma ini ialah kegasanan
lokal (localized malignant) yaitu invasi ke tumor ke jaringan
dibawah kulit (sub kulit), fasia otot dan tulang, umumnya tidak
menyebabkan kematian. Karsinoma sel basal merupakan tumor
ganas kulit yang terbanyak tumbuh sebagai benjolan kecil yang
selanjutnya mengalami ulserasi sentral (ulkus rodens) dengan
pinggir yang menonjol.(4,5,14,15)
2.3.7.1 Etiologi
Sinar matahari merupakan predisposisi utama untuk
terjadinya kanker kulit. Oleh karena itu upaya pencegahan
terhadap kanker kulit dapat dilakukan dengan pemakaian
tabir surya. Tatalaksana definitif meliputi tindakan dan
medikamentosa sistemik dan topika. Tindakan yang dapat
dilakukan dan memberikanangka kesembuhan yang tinggi
adalah dengan bedah eksisi, untuk KSB stadium lanjut
pilihan utama tindakan bedah Mohs. Rekurensi tumor ini
cukup tinggi, terutama bila pengobatan tidak adekuat.
(4,5,14,15)

2.3.7.2 Patofisiologi
Karsinoma sel basal dari epidermis dan adneksa
struktur (folikel rambut, kelenjar ekrin). Terjadinya
didahului dengan regenerasi dari kolagen yang sering
dijumpai pada orang yang sedikit pigmennya dan sering
40

mendapat paparan sinar matahari, sehingga nutrisi pada


epidermis terganggu dan merupakan prediksi terjadinya
suatu kelainan kulit. Melanin berfungsi sebagai energi yang
dapat menyerap energi yang berbeda jenisnya dan
menghilang dalam bentuk panas. Jika energi masih terlalu
besar dapat merusak sel dan mematikan sel atau mengalami
mutasi untuk selanjutnya menjadi sel kanker. (4,5,14,15)
Beberapa peneliti mengatakan terjadinya karsinoma
sel basal merupakan gabungan pengaruh sinar matahari,
tipe kulit, warna kulit dan faktor predisposisi lainnya.
Peningkatan radiasi ultraviolet dapat menginduksi
terjadinya keganasan kulit pada manusia melalui efek
imunologi dan efek karsinogenik. Transformasi sel menjadi
ganas akibat radiasi ultraviolet diperkirakan berhubungan
dengan terjadinya perubahan pada DNA yaitu terbentuknya
photo product yang disebut dimer pirimidin yang diduga
berperan pada pembentukkan tumor. Reaksi sinar
ultraviolet menyebabkan efek terhadap proses karsinogenik
pada kulit antara lain: induksi timbulnya menjadi sel
kanker, menghambat immunosurveillance dengan
menginduksi limfosit T yang spesifik untuk tumor tertentu.
Faktor predisposisi dari Karsinoma Sel Basal : (4,5,14,15)
1. Faktor internal : umur, ras, jenis kelamin, dan genetik
2. Faktor eksternal : (4,5,14,15)
a. Sinar UV (UVB 290-320 m)
b. Trauma pada kulit seperti bekas vaksinasi, luka
bakar
c. Zat zat kimia hidrokarbon polisiklik
d. Radiasi Ionisasi
e. Arsen organik
41

2.3.7.3 Gejala klinis


Karsinoma sel basal umumnya mudah didiagnosis
secara klinis. Suatu lesi yang mudah rusak dari bentuk
awalnya dan tidak mudah sembuh, harus dicurigai sebagai
suatu keganasan kulit. Pada umumnya, diagnosis karsinoma
sel basal ditegakkan pada pasien yang memiliki lesi yang
mudah berdarah kemudian sembuh dengan sempurna,
namun kembali berulang. (4,5,14,15)
Ruam dari karsinoma sel basal terdiri dari satu atau
beberapa nodul kecil seperti lilin (waxy), semitranslusen
berbentuk bundar dengan bagian tengah lesi cekung
(central depression) dan bisa mengalami ulserasi dan
pendarahan, sedangkan bagian tepi meninggi seperti
mutiara yang merupakan tanda khas yang ada pada
pinggiran tumor ini. Gejala klinis KSB yang sering
dijumpai adalah bentuk lokal (nodular,ulseratif,kistik),
difus (morfea,sklerosing), superficial (multifokal) dan
fibroepithelioma Pinkus. (4,5,14,15)
Predileksinya terutama pada wajah (pipi, dahi,
hidung, lipat, nasolabial, daerah perorbital leher), tetapi
KSB dapat timbul pada tempat tempat yang lain yang
terpapar oleh sinar marahari, pada kulit kepala yang
berambut, di belakang telinga. Meskipun jarang dapat pula
dijumpai pada lengan, tangan, badan, tungkai, kaki, dan
kulit kepala. Apabila terletak di badan pola KSB cenderung
pada tipe superficial. Lesi dengan bentuk morfea atau
sklerotik pada daerah kantus medial mempunyai peranan
penting dalam invasi ke struktur yang lebih dalam yaitu ke
orbita dan sinus paranasal. Pada kulit sering dijumpai
tanda-tanda kerusakan seperti telangiektasis dan atropi.
42

Lesi tumor ini tidak menimbulkan rasa sakit. Adanya ulkus


menandakan suatu proses kronis yang berlangsung
berbulan-bulan sampai bertahun-tahun dan ulkus ini secara
perlahan-lahan dapat bertambah besar. (4,5,14,15)
2.3.7.4 Penatalaksanaan
1. Preventif
Oleh karena sinar matahari predisposisi utama
untuk terjadi kanker kulit maka perlu diketahui
perlindungan kulit terhadap sinar matahari, terutama
bagi orang orang yang sering melakukan aktifitas di
luar rumah dengan cara memakai sunscreens (tabir
surya) delama terpajan sinar matahari. Penggunaan
tabir surya untuk kegiatan di luar rumah diperlukan
tabir surya dengan SPF yang lebih tinggi (>15-30).
(4,5,14,15)

Pemakaian antioksidan dapat berfungsi untuk


menetralkan kerusakan atau mempertahankan fungsi
dari serangan radikal bebas. Telah banyak bukti bahwa
terpaparnya jaringan dengan radikal bebas dapat
mengakibatkan berbagai gejala klnik atau penyakit
yang cukup serius. Akibat reaksi oksidatif radikal bebas
di DNA menimbulkan mutasi yang akhirnya
menyebabkan kanker. Di antara antioksidan tersebut
adalah: betakaroten, vitamin E, dan vitamin C. (4,5,14,15)
2. Sistemik
Vismodegib 1x150 mg cap dikonsumsi hingga
mendapatkan hasil yang diinginkan. Obat ini termasuk
dalam derivate siklopamin yang diketahui dapat
menginhibisi hedgehog pathway dalam onkogenesis.
Obat ini dapat menghambat pertumbuhan sel tumor,
hingga 30% ukuran lesi. (4,5,14,15)
43

3. Topikal
Krim 5-fluorourasil (efudex 5%) selama 4-6
minggu, setiap hari ganti Dalam sintesis DNA metabolit
dari 5-fluorourasil nantinya akan menginhibisi
thymidylate synthase, sehingga terjadi dpelesi dari
thymidine triphosphate (TTP), yang merupakan 1 dari 4
nukleotida trifosfat yang digunakan pada saat sintesis
DNA in vivo. Hal ini nantinya akan menghambat sel
neoplastik. (4,5,14,15)
4. Radioterapi
Penyinaran lokal lapangan radiasi tumor dengan
1-2 cm jaringan sehat di sekelilingnya. Terapi ini
biasanya dilakukan apabila jaringan tumor sullit
diangkat atau tindakan operasi tidak dapat dilakukan.
Pasien dalam radioterapi akan membutuhkan 15-30 kali
radiasi. (4,5,14,15)
5. Pembedahan
- Bedah eksisi (bedah skalpel)
Bedah eksisi atau bedah skalpel pada KSB
dini memberikan tingkat kesembuhan yang tinggi.
Tindakan ini dapat dilakukan pada kunjungan rawat
jalan. Eksisi jaringan tumor biasanya disertai
pengangkatan jaringan yang sehat disekelilingnya.
Seperti pada pemeriksaan biopsy jaringan, setelah
spesimen diambil akan dinilai di bawah mikroskop.
Apabila pada jaringan yang tampak sehat atau
normal masih terdapat sel kanker, jaringan di sekitar
tumor yang sehat akan diambil lebih banyak lagi.
Bedah eksisi ini merupakan tindakan yang paling
sering dilakukan untuk mengobati karsinoma sel
basal. (4,5,14,15)
44

- Bedah beku (cryosurgery)


Bedah beku adalah suatu metode pengobatan
dengan menggunakan bahan yang dapat menurunkan
suhu jaringan tubuh dari puluhan sampai ratusan
derajat. Celcius di bawah nol (subzero). Zat yang
biasanya digunakan adalah nitrogen cair. Efek yang
ingin dicapai adalah cryonecrosis. Pada bedah beku
terjadi destruksi serta nekrosis sel dalam jaringan
dermis dan jaringan di bawahnya dengan cara
pembentukkan kristal es intra dan ekstra sel,
akibatnya terjadi kerusakan membran sel dan
perubahan konsentrasi elektrolit, iskemik, respon
immnunolgik selama masa pencairan Kristal es (thaw
period). (4,5,14,15)
- Bedah Mohs
Terapi ini dikenal dengan nama Mohs
Surgery. Berasal dari nama dokter yang
mengembangkan teknik operasi ini, Mohs.
Tindakan ini merupakan tindakan operasi
terspesialisasi yang digunakan untuk mengangkat
jaringan kanker kulit. Angka kesembuhannya
merupkan yang tertinggi untuk mengobati basal sel
karsinoma yang sulit untuk disembuhkan dengan
tindakan lain. Tindakan operasi diawali dengan
pengangkatan jaringan tumor disertai dengan sangat
sedikit jaringan yang tampak sehat disekliling tumor.
Kemudian dinilai di bawah mikroskop, apabila masih
tampak sel kanker pada jarring yang normal, akan
diangkat sedikit lagi jaringan yang sehat hingga pada
pemeriksaaan mikroskop tidak ditemukan sel kanker.
(4,5,14,15)
45

- Bedah laser.
Ablasi laser dengan karbon dioksida
merupakan tindakan yang sudah digunakan dalam
tatalaksana karsinoma sel basal. Terapi ini biasanya
dikombinasi dengan terapi kuretase. (4,5,14,15)

2.4 Pencegahan dermatosis akibat kerja


Prevalensi dermatitisis akibat kerja dapat diturunkan melalui pencegahan
yang sempurna; antara lain:

1. Pendidikan
Diberi penerangan atau pendidikan pengetahuan tentang kerja dan
pengetahuan tentang bahan yang mungkin dapat menyebabkan penyakit
akibat kerja. Selain itu, cara mempergunakan alat dan akibat buruk alat
tersebut harus dijelaskan kepada karyawan.(2)
2. Memakai alat pelindung
Sebaiknya para karyawan diperlengkapi dengan alat penyelamat
atau pelindung yang bertujuan menghindari kontak. dengan bahan yang
sifatnya merangsang atau karsinogen. Alat pelindung yang dapat
dipergunakan misalnya baju pelindung, sarung tangan, topi, kaca mata
pelindung, sepatu, krim pelindung, dan lain-lain. (2)
3. Melaksanakan uji tempel/uji tempel foto
Maksudnya adalah mengadakan uji tempel pada calon pekerja
sebelum diterima pada suatu perusahaan. Berdasarkan hasil uji tempel ini
karyawan baru dapat ditempatkan di bagian yang tidak mengandung bahan
yang rentan terhadap dirinya. (2)
4. Pemeriksaan kesehatan berkala
Bertujuan untuk mengetahui dengan cepat dan tepat apakah
karyawan sudah menderita penyakit kulit akibat kerja. Apabila dapat
diketahui dengan cepat, dapat diberi pengobatan yang adekuat atau
dipindahkan ke tempat lain yang tidak membahayakan kesehatan dirinya.
46

5. Pemeriksaan kesehatan secara sukarela


Karyawan dianjurkan untuk memeriksakan diri ke dokter secara
sukarela apakah ada menderita suatu penyakit kulit akibat kerja. (2)
6. Pengembangan teknologi
Kerjasama antara dokter, ahli teknik, ahli kimia dan ahli dalam
bidang tenaga kerja untuk mengatur alat-alat kerja, cara kerja atau
memperhatikan bahan yang dipergunakan dalam melakukan pekerjaan
untuk mencegah kontaminasi kulit. (2)
47

BAB III
SIMPULAN
Dermatosis akibat kerja dikenal secara populer karena berdampak
langsung terhadap pekerja yang secara ekonomis masih produktif. Dermatosis
akibat kerja dapat diartikan sebagai kelainan kulit yang terbukti diperberat oleh
jenis pekerjaannya, atau penyakit kulit yang lebih mudah terjadi karena pekerjaan
yang dilakukan.
Dengan kemajuan industri sekarang ini, penyakit akibat kerja diperkirakan
akan semakin banyak dan salah satunya adalah dermatosis akibat kerja. Umumnya
dermatosis akibat kerja dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor
kimiawi, fisik/mekanis dan biologis. Dermatitis kontak merupakan kelainan kulit
yang terbanyak di antara dermatosis akibat kerja.
Untuk mencegah terjangkitnya dermatosis akibat kerja maka perawatan
dan perlindungan kulit sangat penting. Program perlindungan kulit ini tidak hanya
melibatkan pekerja tapi juga pemberi kerja sebagai penyedia sarana serta
melibatkan peraturan atau perundang-undangan.
48

DAFTAR PUSTAKA

1. Sulaksmana M. Keuntungan dan Kerugian Patch Test dalam Upaya


Menegakan Diagnosa Penyakit Kulit Akibat Kerja (Occupational
Dermatosis). Departemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja Unair:
Surabaya; 2003
2. Thaha M. Penyakit Kulit Akibat Kerja. Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan. 2008: 40(4)
3. Leok GC, Ket NS. The Principals and Practice of Connect and
Occupational Dermatology in the Asia Region. World Scientific: USA;
2006
4. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 6. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta; 2011
5. Shimizu H. Textbook of Dermatology. Departmen of Dermatology:
Hokaido; 2014
6. Witasari D, Sukanto H. Dermatitis Akibat Kerja. Periodical of
Dermatology and Venereology. 2014: 26(3)
7. Hogan JD. Allergic Contact Dermatitis. 2016:
(emedicine.medscape.com/article/1049216-overview)
8. Graham R, Bunni T. Lecture Notes Dermatology. EMS: Jakarta; 2005
9. Dhelya W, Vella, Hutomo M. Urticaria. Departemen Ilmu Kulit
Kelamin RS Soetomo: Surabaya; 2009
10. Wardhana. Chronic Autoimmune Urticaria. The Indonesian Journal of
Internal Medicine. 2012: 44(2)
11. Robbins CM. Tinea Pedis. 2016 :
(emedicine.medscape.com/article/1091684-overview)
12. Hefland M, Gorma Ak, Mahan S et al. Actinic Keratosis. Healthcare
research and quality: Portlan Oregon; 2002
13. Bandem AW. Analisis Pemilihan Terapi Kelainan Kulit
Hiperpigmentasi. Medicinus. 2013: 26(2)
14. Yahya YI. Aspek Genetika pada Karsinoma sel Basal. Perdoski. 2012
49

15. National Cancer Institute. Melanoma and Other Skin Cancer.


Departmen of Health and Human Science. 2010

Anda mungkin juga menyukai