Anda di halaman 1dari 9

MEMAHAMI KATA JIHAD; ANALISIS SOSIOSEMANTIK

AL-QURAN

Penulis : Thoriqul Haq * (1/30/2003)

Awalan

Pendekatan sosiosemantik terhadap al-Quran, sangat dimungkinkan dengan memberikan


analisis pemakaian makna kata yang antara satu kondisi sosial bahasa dengan kondisi
sosial bahasa yang lain berbeda, walaupun dalam bahasa dan kata yang sama.
Kemungkinan-kemungkinan ini muncul sebagai bentuk perkembangan bahasa yang
arbitrari.[1] Konsekwensi bahasa ini dapat terjadi dalam setiap bahasa, bahkan al-Quran
yang tertulis dengan bahasa yang sebelumnya telah ada. Dengan memiliki otoritas
sosiologi makna, al-Quran sangat dimungkinkan mengalami perubahan pemakaian kata
dan makna sebagai akibat perubahan sosial sebelum dan ketika al-Quran diturunkan.
Kerangka ini menggambarkan bahwa bahasa al-Quran yang secara jelas banyak
menyadur bahasa arab,[2] memberikan peluang untuk terus mengalami perkembangan
makna bahasa yang bersanding dengan lokalitas sosial masyarakat. Karena bisa jadi
bahasa arab yang memiliki realitas sosial sendiri tidak dapat dimaknakan dalam realitas
bahasa dengan realitas sosial lain yang berbeda. Sementara bahasa yang ada dalam al-
Quran lebih menggambarkan sosiologi bahasa dan budaya yang multi interaktif. Lebih
tepatnya mengandung nilai-nilai universal dalam ragam sosial dan budaya seluruh umat
manusia.

Sebelumnya, pada periode jahiliyah yang terkenal dengan syiir-syiirnya,[3] sangat


menunjukkan bahwa perkembangan bahasa arab telah berlaku sebagai bahasa yang secara
sosiologis dapat ditinjau dalam beberapa aspek. Sebagaimana yang telah diketahui, masa
jahiliyah adalah masa dimana egoisme suku, monopoli gender, eksploitasi sosial, otoritas
kelompok, terus terpupuk dalam interaksi sosialnya. Gambaran ini tentu memberikan
peluang terhadap perkembangan bahasa yang juga mengikuti dan berlandaskan tema-
tema sosial yang berlaku saat itu. Walaupun demikian, bukan berarti indikasi jahiliyah
adalah totalitas degradasi moral sosial secara keseluruhan. Tetapi tentu ada reaksi sosial
yang lain yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai religius yang berlandaskan budaya dan
idiologi yang berlaku pada saat itu.[4] Dari latar belakang ini, pemakaian bahasa juga
dapat dijadikan angka kuantitatif yang dapat membedakan struktur tema bahasa arab
jahiliyah. Tinggal bagaimana mengupayakan klasifikasi kelompok sosial pengguna
bahasa arab saat itu.

Sementara itu, ketika al-Quran di turunkan, bahasa al-Quran telah merekonstruksi


secara total baik tema maupun struktur yang ada dalam bahasa arab jahiliyah. Kemudian
dengan kekuatan keindahan bahasa yang tak tertandingi, menunjukkan gambaran dan
memberikan kekuatan bahwa al-Quran memiliki sosiologi bahasa yang sebagian besar
belum tersentuh oleh tema-tema penggunaan bahasa pada masa jahiliyah. Keadaan ini
menjadi gejala positif terhadap revolusi bahasa arab yang sebelumnya kurang tersentuh
dalam beberapa tema yang memberikan identitas moral budaya dan bahasa serta
penggunaan struktur kebahasaan arab. Walaupun secara pasti tidak dapat dijadikan
ukuran analisis struktur bahasa, karena waktu itu belum ada linguistik arab yang
mengatur secara sistematis terhadap struktur bahasa arab. Namun, secara kualitatif dapat
merespon analisis pemakaian bahasa secara tematik yang selalu digunakan oleh suatu
kelompok masyarakat arab jahiliyyah. Hingga kemudian berlaku beberapa klasifikasi
kata yang bisa saja merubah makna yang di sebabkan pengaruh universalitas sosial
bahasa yang tidak hanya ada di zaman jahiliyah. Maka, muncul bahasa persi, ibrani,
suryani, ordo, yang secara kata dan makna juga ikut menghiasi bahasa al-Quran dan
perkembangan bahasa Arab.[5]

Kajian Sosiosemantik.

Dari istilah yang digunakan, disiplin ilmu ini bisa disebut sebagai perpaduan antara
sosiologi dan semantik. Semantik sebagai ilmu yang mengkaji tentang makna dan
sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari setiap gejala interaksi sosial, struktur sosial dan
proses-proses sosial.[6] Batasan dalam kajian ini adalah masyarakat dan makna suatu
bahasa. Sebagai perbandingan, kajian yang telah banyak dijadikan pijakan pemahaman
kebahasaan secara sosiologis adalah sosiolinguistik. Kajian ini mempunyai latar belakang
teori yang menganalisis beberapa aspek perubahan bahasa yang dikarenakan ada interkasi
sosial masyarakat. Sebaliknya lebih spesifik sosiosemantik melakukan analisis makna
suatu bahasa dari dua atau lebih kata yang sama atau beberapa kata yang berbeda dari
makna yang sama. Proses kajian ini dilihat dari aspek-aspek sosiologis sebagai ilmu
sosial kemasyarakatan, termasuk didalamnya perubahan-perubahan sosial. Jadi, secara
tidak langsung, sosiosemantik mengikuti setiap reaksi perubahan sosial dalam analisis
sosiologis yang membawa dampak terhadap berubahnya pemakaian bahasa dan makna.

Dalam al-Quran terdapat beberapa kata yang mengalami perubahan makna yang
dikarenakan ada peralihan sosial dari masa jahiliyah kepada masa pembentukan ajaran
Islam. Perubahan kata ini memiliki landasan visi yang cenderung menawarkan konsep
baru dari konsep makna yang sebelumnya telah dipakai. Sebagaimana konsep makna kata
Allah, Islam, Iman, dan Kafir. Kata Allah misalanya, dalam makna jahiliyah adalah
Tuhan bagi Kabah,[7] dan sebagaian pendapat yang lain mengatakan, kata Allah justru
menjadi kata dasar Tuhan secara umum yang berasal dari kata ilahun.[8] Penawaran
konsep baru terhadap kata Allah ini tentunya sebagai langkah sosiologi al-Quran yang
secara bahasa tidak menjauhkan dari sosiologi bahasa sebelumnya. Hanya saja al-Quran
secara periodik memberikan pemahaman baru dengan meligitimasikan seluruh makna
yang mendampingi dengan gambaran rasionalitas sosial yang terus berkembang. sehingga
pemahaman makna bisa dirasakan lebih menyatu dengan keberlangsungan sosial
kehidupan masyarakat. Sedangkan pada kata yang lain seperti kafir, kata ini
sebelumnya bermakna menutupi[9] dan tidak menjastifikasikan makna idiologis yang
berlainan agama. Pemakaian kata ini kemudian dilegitimasikan al-Quran sebagai
kelompok atau perorangan yang inkar dan berada di luar keyakinan Islam.[10] Pemakaian
makna ini terus berlangsung dalam pembentukan idiologi Islam hingga sampai pada kata
yang berlawanan dengan kata Islam (mukmin dan Kafir). Dan perkembangan selanjutnya
menjadi kata yang lebih luas dengan
orang-orang yang berada diluar suatu agama. Jadi orang Islam bisa menjadi kafir bagi
orang Nasrani, Hindu, Yahudi.

Pembentukan Makna Jihad

Berangkat dari perdebatan tematik idiologis yang terus berhembus dalam pemahaman
kata jihad dengan melakukan pembenaran yang tidak konsisten, maka perlu kiranya
menelaah landasan pembentukan kata tersebut baik secara idiologis maupun sosiologis.
Hal ini sangat dimungkinkan karena jihad yang selama ini diperdebatkan, selalunya
merujuk pada definisi al-Quran yang secara sosiologis terbentuk dalam kurun waktu
yang perioditatif. Kesemua konsep pembentukan al-Quran yang mengikuti kondisi sosial
masyarakat tersebut, terperiodisasikan makiyyah dan madaniyyah dalam bentuk tema
yang sangat plural dengan mengintisarikan beberapa kejadian yang berlaku sejak Nabi
Muhammad diangkat menjadi Rasul untuk menyebarkan agama Islam.

Kata jihad memiliki legitimasi makna dalam ragam dimensi yang tidak sedikit.[11]
Biasanya kata yang demikian mempunyai ketergantungan dengan kata lain untuk dapat
membentuk makna kata yang fariatif. Bahkan secara sosiologis dapat menjadi kata yang
tidak sama pada suatu keadaan sosial yang berbeda, walaupun dalam kata dan sambungan
kata yang sama. Pemahaman ini bisa lebih melihat kata jihad sebagai kata yang sangat
berpengaruh dengan segala konsekwensi semantik dan sosiologis.

Pada masa jahiliyah, Kata jihad telah ada sebagai bentuk kata yang memiliki konteks
sosial sendiri. Sebagaimana para ahli syiir jahily menggunakan kata jihad sebagai kata
yang memiliki makna at-Thoqoh atau al-Wusu (kekuatan atau kemampuan)[12].
sedangkan dalam beberapa sighot al-amri (kalimat perintah) dalam masa jahiliyah jihad
bisa bermakna al-istifragh (mencurahkan segala kemampuan)[13]. Kata jihad ini
sering digunakan dalam beberapa syair yang bertema al-madhu (pujian), al-fakhru wa al-
hammasah (kebaggaan dan keberanian) atau al-haja (sindiran atau ejekan). Secara
sosiologis, kata jihad pada masa jahiliyah bisa terjadi dalam reaksi makna bahasa yang
saling melakukan harmonisme pujian dan kebanggaan antara sesama kelompok, bahkan
juga bisa terjadi dalam egoisme yang saling mengejek dan menyindir antara suku dan
kelompok. Beberapa karateristik kata jihad ini bisa dilihat dalam syiirnya dua orang
tokoh syair jahily Maimun bin Qoisy dan al-Ahihah bin al-Jalah.[14] Kalau dilihat lebih
spesifik, kata jihad pada masa jahiliyah tidak terdapat kandungan idiologis yang
hegemonik untuk melakukan reaksi fisik terhadap kelompok atau idiologi lain. Justru
lebih banyak terdapat karakter yang membedakan secara sosial dan kelas sebagai bentuk
dan akibat dari reaksi keberlangsungan kehidupan sosial.

Masih pada masa jahiliyah. Dalam beberapa kata yang mendampingi kata jihad lebih
mempunyai relasi makna yang berhubungan dengan muamalah kemanusiaan, al-jihad fi
al-amal (berkemampuan untuk bekerja), al-jihad fi al-mal (berkemampuan harta benda),
al-jihad fi al-fikr (berkemampuan berfikir). Dari fenomena ini dapat memberikan
gambaran bahwa kata jihad dalam pemakaian
struktur bahasa arab jahiliyah lebih memiliki sosiosemantik yang humansitik.
Kecenderungan ini bisa dibenarkan ketika jihad diambil dari kata dasar jahada yang
kemudian menjadi kata jihad. Karena persoalannya akan lain kalau melibatkan
pembentukan kata yang masih berkait dengan jahada semisal istajhada dan ijtihad.

Selanjutnya, pada perkembangan pembentukan kata jihad setelah kedatangan al-


Quran, mengalami pelbagai proses perubahan makna yang dalam satu ayat kepada ayat
yang lain terus melengkapi. Di dalam al-Quran terdapat 41 kata jihad yang berasal dari
kata dasar jahada [15]. Kata ini terdiri dari 4 kata jihad (berjuang),[16] 15 kata
perintah jaahaduu (berjuanglah kamu sekalian),[17] 6 kata jahda (bersungguh-
sungguh),[18] 4 kata tujahidu atau yujahidu (berjuang),[19] dan sebagian lainnya
digunakan dalam makna kata yang tidak bersentuhan dengan kata jihad

Pemaknaan kata jihad ini semakin berkembang pada beberapa kata yang menyertai dan
bersambung dalam suatu rangkaian makna. Dan kesan yang terjadi dalam semantik
adalah kata-kata yang mempunyai kecenderungan makna idlofi (relasional meaning).[20]
Rangkaian makna ini bisa terjadi dengan melakukan pemakaian kata yang sesuai secara
sifat dan logika makna. Didalam al-Quran kata jihad mempunyai fariasi makna yang
tergantung terhadap kata apa yang akan mendampingi. Dari 41 Kata jihad yang ada
dalam al-Quran, sebagian besar memberikan makna berjuang, makna berjuang ini
akan selalu bersama dengan fi sabilillah (di jalan Allah). Sambungan kata ini di dalam
al-Quran terdiri dari 15 kata fi sabilillah yang terletak sebelum maupun sesudahnya,
dan selanjutnya akan diteruskan dengan kata bi amwali (dengan harta) dan anfus
(raga) yang terdiri dari 10 kata sambungan dengan jihad. Sebagaian besar kata jihad
yang lain diambil dari kata dasar jahada tidak berarti berjuang jika tidak
didampingi denga fi sabilillah. Sebagaimana kata jahda (bersungguh-sungguh) yang
selalu bersambung sebelum dan sesudahnya dengan kata aqsam dan aimaan
(sumpah). Sedangkan jihad pada kalimat perintah lebih banyak menggunakan kata
Jaahaduu (berjuanglah kalian semua) yang sebagian besar bersambung dengan fi
sabilillah (di jalan Allah) dan bi amwalikum wa anfusikum (dengan harta benda dan
raga kamu). Sementara kata asli jihad yang diambil dari kata dasar jaahada yang
bermakna li al-musyarakah (saling melakukan suatu pekerjaan) hanya ada 4 kata dalam
al-Quran dan ada satu kata yang tidak bersambung dengan fi sabilillah, tetapi
kesemuanya kata asli jihad tidak langsung bersambung dengan amwal atau
anfus.

Srtuktur kata yang ada dalam rangkaian kata jihad di dalam al-Quran menunjukkan
bahwa secara idiologis kata jihad akan bermakna berjuang bila bersambung dengan
sabilillah (jalan Allah). Namun demikian ada keterangan makna yang tidak dapat
dipisahkan yaitu amwal dan anfus (harta benda dan raga), tentunya struktur kata ini
meligitimasikan kepentingan sosiologis bagi umat Islam untuk saling memberikan
kesejahteraan, kemakmuran, dan ketentraman. Beberapa kata jihad yang bermakna
berjuang atau berperang, adalah murni dari kepentingan sosiologis zaman Nabi untuk
saling memberikan ketentraman dan kesejahteraan dari gangguan secara fisik oleh
kelompok lain (kafir Quraisy waktu itu). Sedangkan pada fenomena lain, Nabi tidak
memerangi orang-orang kafir yang dapat hidup
bersama dan tidak mengganggu, walaupun mereka melakukan perbuatan yang tidak
sesuai dengan moral ajaran Islam. Sehingga sangat menjadi keraguan secara Qurani
apabila pemaknaannya menimbulkan kerusakan, kekhawatiran, kegelisahan bagi umat
manusia, apalagi bagi umat Islam sendiri yang sama-sama mengakui Allah adalah Tuhan
satu-satunya yang patut disembah.

Kalaupun diartikan secara harfiyah, tentu akan memiliki dampak revolusi pembentukan
ekonomi umat Islam yang visioner. Karena dalam sejarah umat Islam, harta selalu
menjadi perebutan yang mengakibatkan kehancuran umat Islam. Karena esensi makna
jihad adalah amwal dan anfus, yang secara harfiyah bermakna harta benda dan
raga. Ingat perang uhud, kekuasaan khalifah Usman, perebutan kekuasaan Umayyah
dan Abbasaiyah, dan tentu banyak lagi kehancuran pergolakan ekonomi di belahan dunia
umat Islam. Sedangkan pemaknaan jihad dengan mengusung peranan politik dengan
simbol Islam, justru tidak menjadi kombinasi kata yang saling melengkapi secara makna.
karena dalam sejarah pembentukan kata jihad mempunyai perbedaan relasi makna
dengan siyasah (politik), dan keduanya tidak ditemukan dalam beberapa persesuaian
kata. Konteks Ini melihat dari jihad dan siyasah yang tidak terdapat dalam kesamaan
penggunaan kata dalam al-Quran untuk kepentingan agama.

Pemakaian makna kata jihad secara berjuang dengan organ fisik yang menghancurkan
(perang) juga tidak introspectionism.[21] Karena ada mental idiologi yang menyebutkan,
bahwa Islam mengutamakan kaidah kemaslahatan bagi seluruh alam (rahmatan lil
alamin) atau Islam yang secara tegas mengatakan tidak ada paksaan dalam agama.
Atau dalam penegasan yang lain bagimu agamamu, bagiku agamaku. Konsep makna
teks yang ada dalam al-Quran ini mestinya tetap menjadi keutuhan analisis terhadap
pemaknaan dari teks yang lain yang secara sosiologis tidak saling bertentangan. Sehingga
ada pengaharapan untuk menjadikan teks al-Quran lebih bisa difahami dalam
rasionalitas kehidupan sosial yang lebih plural. Dan akhirnya bisa ditunjukkan bahwa al-
Quran lebih tinggi isi kandungan dan nilainya dengan kitab-kitab suci yang lain.

Sementara itu, sabilillah justru menjadi kata kunci terhadap pemaknaan kata jihad
(jihad fi sabilillah). Kata kunci yang dimaksud disini adalah memahami kata yang telah
menjadi kesatuan makna dalam pelbagai kondisi yang berbeda. Penggunaan kata kunci
ini terus terpakai baik dalam teks al-Quran maupun beberapa teks lain yang mempunyai
legitimasi makna yang sama sebagaimana dalam al-Quran. Sehingga pada proses ini,
persambungan kata jihad dan sabilillah menjadi kata sambung yang mereaksikan
beberapa keadaan yang sarat dengan latar belakang teks. Dan bisa dimungkinkan menjadi
perdebatan realitas sosial dari penggunaan kata jihad.

Bersandar dari pemahaman yang luwes ini, sabililllah sebagai kata yang memiliki
kekuatan moral idiologis, tentunya menjadi pilihan kata yang sangat selektif untuk dapat
disandingkan dengan kata jihad. Selektifitas ini nampak dari sedikit persambungan kata
lain selain jihad dan sabilillah yang bersesuaian dalam beberapa ayat al-Quran.
Dan ini menunjukkan adanya keterkaitan makna yang sangat general untuk dapat
memberikan pemahaman dari sekian relasi makna nilai-nilai Islam. Karena dalam
kemungkinan tertentu sabilillah dalam relasi
maknanya dapat diartikan dengan al-adalah, al-musawah, at-tahririyyah, al-muhasabah,
al-muhasanah, al-murohamah bahkan ad-demoqrathiyyah (demokrasi). Sehingga
kemungkinan yang sangat ideal dalam memahami sabilillah adalah memahami
interpretasi lain yang tidak jauh dari teks al-Quran itu sendiri.

Sebenarnya, reaksi yang sering menjadi kontroversi dari sekian ragam permahaman
jihad, adalah berangkat dari realitas yang dipaksakan dengan teks. Situasi ini
memungkinkan adanya pra anggapan yang telah menjadi kesimpulan sebelum analisis
dilakukan. Kemunculannya justru tidak melakukan klarifikasi dengan segala dimensi
teks, sehingga teks tersebut keluar dari kaidah-kaidah yang seharusnya di gunakan. Dan
yang sangat di sesalkan adalah menjustifikasi kebenaran normatif menjadi kebenaran
Tuhan.

Akhiran

Penggalian ayat-ayat al-Quran dan beberapa sikap yang tidak konsisten terhadap totalitas
ayat al-Quran ini, sering terjadi dalam beberapa polemik yang berangkat dari pra
anggapan yang telah terbentuk sebelumnya. Pra anggapan yang paling sangat
dimungkinkan adalah pergulatan politik yang dirasionalkan dengan al-Quran. Akhirnya
yang terjadi adalah pemaksaan pemaknaan al-Quran yang sebenarnya tidak Qurani.
Apakah tidak kasihan kepada al-Quran ?

Ala kulli hal, al-Quran adalah petunjuk bagi umat manusia. Proses untuk menjadi
petunjuk tersebut tidak membatasi perbedaan golongan, kelas sosial, budaya, politik,
bahkan perbedaan agama. Karena al-Quran sudah menjadi milik umat manusia (hudan
linnas) bukan hanya hudan lil Islam.

_____________

* Mahasiswa Program S2 Modern Language Studies,


University of Malaya, Kuala Lumpur. Sebagai Direktur
Pelaksana eC-Sies (The Community of Social, Islamic
and Economic Studies) Kuala Lumpur. Manager Kajian
LAKPESDAM NU Malaysia. Staf litbang PPI Malaysia.

--------------------------------------------------------------------------------

[1] . Adalah kemunculan asal usul bahasa yang terjadi


dengan apa adanya atau dengan sendirinya, istilah ini
(arbitrari) digunakan dalam terminologi linguistik
yang melihat asal usul suatu bahasa. Jadi tidak dapat
dipastikan apa dan bagaimana asal mula munculnya
bahasa. Secara rasional memang tidak bisa dijawab
mengapa muncul berbagai istilah bahasa yang beraneka
ragam walaupun dalam satu jenis benda. Sampai pada
perkembangan bahasa yang memiliki sistem teori, bahasa
masih nampak arbitrar dengan karakteristik
masing-masing bahasa yang berbeda.

[2] . QS. surat Yusuf 2.

[3] . Pada kajian sastra arab, ada periodisasi syiir


yang mula-mula berkembang dan dikaji sebagai pijakan
untuk memahami perkembangan sastra arab. Periodisasi
tersebut dimulai dari syiir al-ashru al-jahily (masa
jahiliyah), asru sodri al-Islam (masa pembentukan
Islam), asru bani umayyah (masa bani umayyah), asru
al-abbasy (masa abasiyah), asru al-mamalik (masa
mamalik), dan asru al-haditsy wa an-nahdhoh (masa
modern dan kebangkitan sastra). Kesemua periode ini
memiliki karakter syiir yang secara struktur dan tema
berbeda. Sehingga sangat dimungkinkan dari satu
periode kepada periode berikutnya mengalami perombakan
tema dan aliran sastra yang juga berlainan. Dimasa
jahiliyah beberapa tema syiir yang berkembang adalah
al-madhu (pujian), ar-ratsa (ratapan), al-Haja
(sindiran dan ejekan), al-Fakhru wa al-hammasah
(kebaggaan dan keberanian), al-Khomru (minuman keras).
Lihat : Syauqi Dloif, Tarikh Al-Adab Al-Araby fi
Al-Ashri Al-Jahily. 1958 Dar al-Maarif, Mesir. hal.
16, dan lihat ; Husain Uthwan, Muqoddimah Al-Qosidah
fi As-Syiri Al-Jahily, 1962 Dar al-Maarif, Mesir.
hal. 21

[4]. Analisis ini bisa dilihat dari religiuitas Bani


Hasyim yang dipercaya untuk menjaga kabah. Dimana
saat itu kabah merupakan tampat pemujaan dan segala
bentuk ritualitas agama pra Islam. Sejarah juga
meyebutkan bahwa Kabah saat itu dikelilingi oleh
berhala-berhala yang menjadi tempat pemujaan.

[5]. Bahkan para Ulama menjelaskan ada sekitar


seratus kata dalam al-Quran yang terdiri dari bahasa
diluar bahasa arab. Kata-kata yang dimunculkan
al-Quran tersebut selanjutnya menjadi bahasa arab
yang dipakai oleh masyarakat arab saat itu. Lihat :
Musthofa Shodiq Ar-Rofii, Ijaz Al-Quran wa
Al-balaghoh An-Nabawiyyah, Daar al-Kitab al-Araby,
Bairut. 1990. hal. 72.

[6]. Lihat ; Cliff Goddard, Semantic Analysis : A


Practical Introduction. 1998. Oxford University Press.
Oxford, hal. 79

[7]. Analisis ini melihat pada dasar al-Quran surat


al-Quraisy ayat 3 Hendaklah mereka itu menyembah
Tuhan pemilik rumah ini (kabah) lihat ; Tosihiko
Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan Semantik
Terhadap Al-Quran, (terj), 1997, Tiara Wacana,
Yogyakarta. hal. 101 118.

[8]. QS. An-Nahl. 51

[9]. Udah Kholil Abu Udah, At-Tathowwur Ad-Dalaly


baina Lughot As-Syiri Al-Jahily wa Lughot Al-Quran
Al-Karim, Dirosatun Dalaliyatun Muqoronatun. 1985
Maktabah al-Manar, Ordon, hal. 270

[10]. QS. Al-Kafirun 1-2

[11] . Dapat dijumpai dalam beberapa ayat al-Quran


yang ada kata dasar jahada, kata ini bisa berubah
dalam bentuk kata yang lain seperti yujahid, jihad,
jihadah, ijtihad, jahdah, jahid. Sambungan kata-kata
yang meyertainya-pun berbeda-beda,

[12]. Ini nampak dari beberapa syairnya Al-Asya


(Maimun bin Qoisy) dalam Diwan Al-Asya, Syarhun wa
At-Taliqun Muhammad Muhammad Husain. 1968 al-Maktab
as-Syarqy li an-Nasyri wa at-Tauzi, Beirut, hal. 109.

[13]. lihat syiirnya al-Ahihah bin al-Jalah dalam


Al-Ashmai (Abu Said Abd al-Malik bin Qorib bin Abd
al-Malik), Al-Ashmiyat, Tahqiqun Ahmad Muhammad
Syakir, Abd as-Salam Harun, 1964 Dar al-Maarif, Mesir,
hal.120

[14]. Al-Asya dan Al-Asmai. opcit.

[15] . Penghitungan ini berdasarkan Compact Disk (CD)


Holy al-Quran.

[16] . Terdapat dalam surat ; At-Taubah 24 Al-Hajj 78.


Al-Furqon 52 dan Al-Mumtahanah 1.

[17]. Terdapat dalam Surat ; Al-Baqarah 218. Ali Imran


142. Al-Maidah 35. Al-Anfal 72,74 dan 75. At-Taubah
16,20,41,86,88. An-Nahl 110. Al-Hajj 78. Al-Ankabut
69. Al-Hujurat 15.

[18]. Terdapat dalam Surat ; Al-Maidah 53. Al-Anam


109. At-Taubah 79. An-Nahl 38. An-nur 53. Al-Fathir 42

[19] . Terdapat dalam Surat ; As-Shof 11. Al-Maidah


54. At-Taubah 44, 81.

[20]. Adalah kata yang memiliki makna yang tidak


sebenarnya atau suatu kata yang memiliki makna yang
mendekati terhadap makna yang sebenarnya. Pemakaian
kata ini tentu dengan tidak meninggalkan struktur
bahasa dan psikologi makna yang berlainan. Lihat.
Ahmad Mukhtar Umar, Ilm Ad-Dalalah. 1982 Maktabah Dar
Al-Arubah li An-Nasyr wa At-Tauzi, Kuwait, hal. 37

[21]. Yaitu suatu kajian dari proses akal dengan


melihat pada realitas diri setelah terjadinya suatu
rangsangan bahasa. Proses kajian ini sering digunakan
dalam psikolinguistik yang melihat pemerolehan bahasa
dalam rangsangan lingkungan masyarakat yang di kaitkan
dengan unsur-unsur teks. Lihat. A.L. Blumenthal,
Language and Psycology : Historical Aspects of
Psycholinguistics. 1970. New York. Hal 86

Anda mungkin juga menyukai