Anda di halaman 1dari 12

UJIAN AKHIR SEMESTER

BIOLOGI MOLEKULER PENYAKIT TROPIS


MAGISTER ILMU KEDOKTERAN TROPIS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Nama : Nanda Meutia


NIM : 167027006

1. Jika ditemukan kasus tuberkulosis dengan multi-drug resistant, bagaimana membuktikan


bahwa kemungkinan ada beberapa strain yang berbeda yang menginfeksi seorang penderita?
Resistensi dapat saja berasal dari strain resisten dari orang lain atau bakteri mengembangkan
dalam tubuh penderita, apakah perbedaan keduanya dan bagaimana proses seleksi sehingga
populasi bakteri tersebut menjadi resisten? Secara genetik gen-gen apa saja (sebutkan 2 gen saja)
yang mempengaruhi resistensi dan bagaimana mekanisme resistensinya?
Jawaban :

Terjadinya resistensi kuman mikobakterium tuberkulosis terhadap obat obat anti


tuberkulosis menimbulkan masalah untuk penatalaksanaan terhadap penderita TB. Selain
membutuhkan biaya besar, lamanya pengobatan yang bertambah, butuh pengawasan yang ketat,
resiko kematian dan resiko penularan yang tinggi karena kuman mikobakterium tuberkulosis
menjadi semakin virulen. Resistensi terhadap obat anti tuberkulosis dapat berupa:
o Mono Resisten
adalah terdapatnya resistensi terhadap 1 macam obat anti tuberculosis
o Multi Drug Resisten ( MDR )
adalah terdapatnya resistensi terhadap minimal 2 macam obat anti tuberkulosis yaitu
INH dan rifampisin dengan atau tanpa obat anti tuberkulosis lainnya.
o Poli Resisten
adalah terdapatnya resistensi terhadap lebih dari 1 obat anti tuberkulosis tapi bukan
kombinasi INH dan rifampisin
Secara umum timbulnya resistensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi:
a) Resistensi Primer
yaitu terdapatnya strain mikobakterium tuberkulosis yang resisten pada penderita TB
yang belum pernah diobati dengan obat anti tuberkulosis atau telah minum obat anti
tuberkulosis kurang dari 1 bulan. Penderita ini terinfeksi dari penderita TB lain yang
sebelumnya telah mengalami resistensi terhadap obat anti tuberkulosis.
b) Resistensi Sekunder
yaitu terdapatnya strain mikobakterium tuberkulosis yang resisten pada penderita TB
yang telah minum obat anti tuberkulosis minimal 1 bulan. Pada awalnya kuman masih
sensitif namun karena pengobatan yang tidak adekuat maka terjadi mutasi pada sel
kuman mikobakterium tuberkulosis sehingga terjadi resistensi terhadap obat anti
tuberkulosis.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya resistensi terhadap obat anti
tuberkulosis. Faktor faktor tersebut dapat meliputi faktor dari penderita, tenaga kesehatan
maupun faktor obat itu sendiri. Diantara faktor faktor yang mempengaruhi terjadinya resistensi
terhadap obat anti tuberkulosis adalah:
Obat tidak diminum sesuai dengan yang dianjurkan karena pengetahuan yang salah,
terputusnya obat, adanya efek samping, hamil dan lain lain
Obat tidak diminum sesuai dosis yang diberikan
Cara pemberian obat yang salah
Adanya penyakit yang menyebabkan penyerapan obat tidak sempurna
Tenaga kesehatan tidak memberikan terapi yang adekuat
Pasien sebelumnya telah resisten terhadap salah satu obat yang diberikan
Mendapat monoterapi
Riwayat penggunaan obat anti tuberkulosis tanpa pengawasan
Pemberian obat anti tuberkulosis bersama dengan obat lain sehingga menyebabkan
terjadinya interaksi obat.
Resistensi kuman mikobakterium tuberkulosis terhadap obat anti tuberkulosis terjadi pada
umumnya karena mutasi sel kuman pada tingkat gen. Gen yang mengalami mutasi ini berperan
untuk mengkode enzim yang menjadi target obat anti tuberkulosis.

A. INH
Mekanisme terjadinya resistensi kuman mikobakterium tuberkulosis terhadap INH secara
biomolekuler dipengaruhi oleh mutasi pada beberapa gen, tapi mutasi ini terutama terjadi pada
gen katG, gen inhA, gen ahpC, gen ndh dan gen kasA.

1. Gen katG
Gen kat G berfungsi dalam mengkode enzim catalase peroxidase ( Kat G ). Enzim ini
berperan dalam merobah INH menjadi metabolit aktifnya supaya INH bisa berikatan
dengan NADH membentuk ikatan INH-NAD. Terjadinya mutasi pada gen katG akan
menyebabkan hilangnya aktivitas enzim catalase perxidase sehingga INH yang masuk
ke dalam sel tidak dapat dirobah menjadi bentuk aktifnya. INH yang tidak dalam bentuk
aktifnya tidak dapat mengganggu aktivitas enzim enoil acyl carrier protein ( ACP )
reductase. Dengan tidak terganggunya kerja enzim ini maka sintesis asam mikolat untuk
pembentuk dinding sel tidak terganggu dan sel tidak akan mati.
2. Gen inhA
Setelah terjadi perubahan INH menjadi bentuk aktifnya, maka INH ini akan bekerja pada
target utamanya yaitu mengganggu Inh A atau enzim enoyl acyl carrier protein (ACP)
reductase melalui adanya ikatan kovalen INH NAD. Dengan adanya ikatan ini maka
terjadi hambatan aktivitas enzimatik Inh A sehingga mengganggu sintesis asam mikolat.
Terjadinya mutasi pada gen inhA yang berperan dalam mengkode enzim enoyl acyl
carrier protein ( ACP ) reductase akan menyebabkan terjadinya resistensi terhadap INH.
Resistensi ini terjadi karena adanya mutasi pada gen inhA yang menyebabkan terjadinya
penurunan terhadap afinitas ikatan INH NAD pada Inh A. Dengan terjadinya gangguan
terhadap afinitas ikatan INH-NAD ini menyebabkan kerja enzim Inh A tidak terganggu.
Selain itu juga dapat terjadi hiperekspresi enzim Inh A sehingga menyebabkan terjadinya
resistensi terhadap INH.
3. Gen ahpC
Gen ahpC merupakan gen yang bertanggung jawab dalam mengkode enzim alkyl
hydroperoksidase reductase ( AhpC ) dimana enzim ini berfungsi sebagai reduktase
antioksidan. Jika gen katG mengalami mutasi maka terjadi over ekspresi pada region
intergen oxyR-ahpC sehingga meningkatkan kerja enzim AhpC untuk mengatasi
hilangnya fungsi gen katG melawan stres oksidatif.
4. Gen ndh
Gen ndh berperan dalam mengkode Nicitinamide Adenine Dinucleotide (NADH)
dehydrogenase yang merupakan suatu ko faktor dimana ko faktor ini akan terikat pada
enzim Inh A. NADH akan berikatan dengan INH yang telah aktif dengan membentuk
ikatan kovalen INH NAD dimana dengan adanya ikatan ini akan menyebabkan
hambatan terhadap aktivitas enzimatik Inh A sehingga menghambat pembentukan asam
mikolat. Terjadinya mutasi pada gen ndh akan menyebabkan gangguan pada proses
oksidasi NADH menjadi NAD sehingga terjadi peningkatan rasio NADH/NAD.
Peningkatan rasio NADH/NAD menandakan dimana terdapat akumulasi NADH dan
penurunan NAD. Tingginya kadar NADH ini dapat menyebabkan hambatan untuk
terikatnya ikatan INH NAD pada bagian aktif dari enzim Inh A sehingganya kerja dari
enzim InhA tidak terganggu.
5. Gen kasA
Pada suatu penelitian didapatkan bahwa sekitar 10 % dari kasus resisten INH terjadi
mutasi pada gen kasA. Fungsi gen kasA adalah mengkode enzim ketoacyl ACP
synthase dimana enzim ini merupakan salah satu enzim yang berperan dalam sintesis
asam mikolat dimana terjadi elongasi dari asam lemak intermediet, untuk pembentukan
dinding sel. INH bekerja menghambat kerja enzin ini sehingga mengganggu
pembentukan dinding sel. Dengan terjadinya mutasi pada gen kasA maka INH tidak
dapat mengganggu kerja enzim ini. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa
mutasi pada gen ini bersamaan dengan terjadinya mutasi pada gen lain yang
menyebabkan terjadinya resistensi terhadap INH.
B. Rifampisin
Rifampisin pertama kali diperkenalkan pada tahun 1972 sebagai obat yang efektif sebagai
anti tuberkulosis. Rifampisin terutama bekerja membunuh kuman yang mengalami metabolisme
lambat dan membunuh kuman yang persisten. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis
asam nukleat dimana target utama dari rifampisin adalah pada RNA polimerase sehingga
menghambat proses transkripsi yang berakibat matinya sel. RNA polimerase ini dibentuk oleh 4
sub unit yaitu , , dan yang masing masing dikode oleh gen rpo A, rpo B, rpo C dan rpo
D.
Rifampisin secara spesifik akan terikat dengan sub unit RNA polimerase yang dikode oleh
gen rpo B sehingga menghambat proses transkripsi dengan menghambat proses perpanjangan
untaian RNA. Mutasi pada gen rpo B akan menyebabkan perobahan konfirmasi pada tempat
ikatan antara rifampisin dan sub unit . Perobahan pada tempat ikatan ini menyebabkan
rifampisin tidak dapat terikat pada sub unit . Dengan tidak terikatnya rifampisin maka proses
transkripsi RNA tidak akan terganggu dan mengakibatkan kuman menjadi resisten terhadap
rifampisin.

C. Pirazinamid
Pirazinamid merupakan analog nikotinamide yang pertama kali sebagai anti tuberculosis
pada tahun 1952. Pirazinamid bertanggung jawab untuk membunuh kuman mikobakterium
tuberkulosis yang semi dorman yang tidak mampu dibunuh oleh obat anti tuberkulosis lainnya.
Aktivitas pirazinamid spesifik untuk kuman mikobakterium tuberkulosis dan tidak memiliki efek
terhadap mikobakterium lainnya. Pirazinamid hanya mampu bekerja pada suasana PH asam
sehingga obat ini juga dapat membunuh kuman yang berada dalam jaringan nekrotik kaseosa.
Target utama dari pirazinamid adalah enzim yang berperan dalam sintesis asam lemak.
Pirazinamid merupakan pro drug yang harus dikonversi menjadi bentuk aktifnya yang disebut
pyrazinoic acid oleh enzim pyrazinamidase. Enzim pyrazinamidase ini dihasilkan oleh
phagolysosome kuman dimana enzim pyrazinamidase ini dikode oleh gen pncA. Dengan
terjadinya perobahan pirazinamid menjadi bentuk aktifnya ( pyrazinoic acid ) maka akan
terjadinya penumpukan pyrazinoic acid di dalam sitoplasma dan didukung pula oleh tidak
efektifnya efflux system. Akumulasi dari pyrazinoic acid menyebabkan penurunan PH intrasel ke
level yang menyebabkan terganggunya sintesis asam lemak.
Terjadinya mutasi pada gen pncA yang mengkode enzim pyrazinamidase akan
menyebabkan enzim ini tidak dapat bekerja merobah pirazinamid yang masuk ke dalam sel
menjadi bentuk aktifnya yaitu pyrazinoic acid. Dengan tidak terbentuknya pyrazinoic acid ini
maka obat ini tidak dapat mengganggu sintesis asam lemak dan akan menyebabkan terjadinya
resistensi pada kuman M.TB terhadap pirazinamid.

D. Etambutol
Etambutol {dextro-2,2(ethyldiimino)-di-1onol}adalah obat anti tuberkulosis lini
pertama dengan aktivitas broadspektrum. Pemberian obat ini harus digabung dengan obat
antituberkulosis lainnya untuk dapat membunuh kuman secara menyeluruh. Target utama dari
kerja etambutol adalah pada enzim arabinosyl transferase yaitu suatu enzim yang terlibat dalam
proses pembentukan dinding sel bakteri dimana enzim ini di kode oleh gen embB, gen embA dan
embC. Enzim arabinosyl transferase ini berperan dalam pembentukan arabinan yang merupakan
salah satu komponen arabinogalaktan pada dinding sel M.TB. Akan terjadi suatu proses dimana
asam mikolat berikatan pada gugus Darabinose dari arabinogalaktan. Ikatan ini membentuk
komplek mycolyl-arabinogalactanpeptidoglycan pada dinding sel. Dengan pemberian etambutol
maka akan terjadi gangguan pada sintesis arabinogalaktan, yang pada akhirnya juga tidak akan
terbentuknya ikatan komplek mycolyl-arabinogalactan-peptidoglycan pada dinding sel. Kondisi
ini menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas dinding sel sehingga memudahkan
masuknya obat obat antituberkulosis lainnya. Selain itu juga akan terjadi penumpukan asam
mikolat di dalam sel sehingga menyebabkan sel mati.
Terjadinya mutasi pada lokus gen embB yang berperan dalam mengkode enzim
arabinosyl transferase menyebabkan perobahan pada enzim ini yang juga menyebabkan
berubahnya target untuk etambutol. Hal ini menyebabkan etambutol tidak dapat mengganggu
kerja enzim arabinosyltransferase dalam pembentukan arabinan sehingga pembentukan dinding
sel tidak terganggu. Selain itu juga dapat terjadi hiperekspresi dari enzim ini yang juga dapat
menyebabkan terjadinya resistensi terhadap etambutol.
E. Streptomisin
Streptomisin ( O-2odeoxy-2-methylamino--L-glucopyranosyl(1-2)-O-5-deoxy-3-
C-formyl--L-lyxofuranosyl-(1-4)-N,N-diamidino-D-streptamine;C21H39N7O12 ) merupakan
obat anti tuberkulosis yang termasuk ke dalam golongan aminoglikosida. Target utama dari
kerja streptomisin adalah mekanisme pada tingkat ribosom. Dalam hal ini yang berperan adalah
16S rRNA dan S12 dimana 16S rRNA dikode oleh gen rrs dan S12 dikode oleh gen rpsL.
Streptomisin akan berinteraksi dengan 16S rRNA dan S12 ribosom yang akan menyebabkan
terjadinya perubahan pada ribosom dan menyebabkan terjadinya misreading pada mRNA
sehingga menghambat proses sintesis protein.
Proses resistensi terhadap streptomisin terjadi karena terjadinya mutasi pada protein
ribosom S12 yang dikode oleh gen rpsL dan mutasi pada 16S rRNA yang dikode oleh gen rrs.
Mutasi lebih sering terjadi pada gen rpsL dimana terjadi lebih dari 2/3 kasus resisten
streptomisin. Mutasi ini akan menyebabkan terjadinya proses substitusi asam amino tunggal
yang akan mempengaruhi struktur 16S rRNA. Dengan terjadinya perubahan struktur ini maka
streptomisin tidak dapat mempengaruhi 16S rRNA sehingganya tidak terjadi gangguan pada
mRNA yang mengakibatkan proses sintesis protein tidak terganggu. Dengan tidak terganggunya
proses sintesis protein maka terjadi resistensi terhadap streptomisin.

2. Bagaimana cara mikroba patogen mengembangkan resistensi?


Jawaban:

Cara mikroba pathogen mengembangkan resistensinya adalah adalah Mekanisme utama


dari populasi mikroba untuk bertahan hidup dalam situasi terancam adalah dengan cara mutasi
genetik, ekspresi dari suatu gen resistensi yang laten, atau melalui gen yang memiliki determinan
resistensi. Ketiga mekanisme ini dapat berada bersama-sama dalam suatu bakterium.
Penggunaan antibiotika secara berlebihan dapat menimbulkan tekanan selektif yang mendorong
perkembang-biakan mikroorganisme yang resisten. Terdapat bukti kuat bahwa resistensi bakteri
terhadap antibiotika sudah ada jauh sebelum era antibiotika. Telah terjadi ekspansi besar-
besaran dari populasi bakteri yang resisten terhadap antibiotik selama era antibiotika. Ekstraksi,
purifikasi, sintesis dan pemberian antimikroba dalam jumlah besar yang dilakukan oleh manusia
telah mempercepat evolusi bakteri dengan memberikan tekanan selektif terhadap bakteri yang
harus memberikan respon untuk bertahan hidup dan menjadi resisten atau mati. Mikroba yang
semula peka terhadap suatu antimikroba, dapat berubah sifat genetiknya menjadi tidak peka
(resisten) atau kurang peka. Faktor yang menentukan sifat resistensi mikroba terhadap
antimikroba terdapat pada elemen yang bersifat genetik. Beberapa bakteri secara intrinsik
resisten terhadap antimikroba tertentu. Contohnya bakteri gram positif, kuman ini tidak memiliki
membran sel bagian luar (outer membrane), sehingga secara intrinsik resisten terhadap
polimiksin yang bekerja merusak membran sel setelah bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid
membran sel mikroba.
Kebanyakan resistensi antibiotika terjadi akibat mutasi atau transfer horizontal gen yang
membawa sifat resisten. Mutasi terjadi secara acak, spontan dan tidak tergantung dari adanya
antimikroba. Mutasi terjadi bila terdapat kekeliruan dalam proses replikasi DNA yang luput
untuk diperbaiki oleh system DNA repair. Mutasi terjadi dalam kecepatan bervariasi (10-4-10-10
per pembelahan sel) dan meliputi proses delisi, substitusi atau adisi satu atau lebih pasangan basa
nukleotida, sehingga menghasilkan substitusi asam amino. Proses mutasi yang dikenal sebagai
single-step mutations menyebabkan timbulnya resistensi tingkat tinggi dalam jangka waktu
singkat dan cepat. Contohnya, mutasi di dalam sistem yang mengatur kromosom yang mengkode
(coded) produksi -laktamase oleh Enterobacter dan Citrobacter spp. Hal ini mengakibatkan
terjadinya produksi -laktamase dalam jumlah yang sangat besar dalam waktu yang sangat
singkat sehingga dapat menghidrolisis antimikroba bahkan yang stabil terhadap -laktamase
seperti seftazidim dan sefotaksim.

3. Bagaimana merancang obat malaria melalui pendekatan bioinformatika?


Jawaban :

Pada waktu yang lalu, molekul - molekul organik sintetik diujikan pada hewan atau pada
preparat organ utuh. Ini dapat digantikan dengan pendekatan target molekuler di mana uji tapis
in vitro senyawa melawan protein rekombinan yang dimurnikan atau cell line yang dimodifikasi
secara genetik. Perubahan ini mempunyai konsekuensi perlunya pengetahuan yang lebih baik
mengenai dasar molekuler penyakit.
Cara untuk menemukan obat biasanya dilakukan dengan menemukan zat atau senyawa
yang dapat menekan perkembang-biakan suatu agen penyebab penyakit. Target obat dapat
berupa enzim - enzim yang diperlukan untuk perkembangbiakan suatu agen. Mula-mula yang
harus dilakukan adalah analisis struktur dan fungsi enzim-enzim tersebut. Kemudian mencari
atau mensintesis zat atau senyawa yang dapat menekan fungsi dari enzim-enzim tersebut.
Analisis struktur dan fungsi enzim dilakukan dengan cara mengganti asam amino tertentu dan
menguji efeknya. Dahulu analisis penggantian asam amino dilakukan secara acak sehingga
memerlukan waktu yang lama. Setelah bioinformatika berkembang, data-data protein bebas
diakses oleh siapapun, baik data urutan asam amino seperti yang terdapat pada SWIS-PROT
maupun struktur 3D protein yang tersedia di Protein Data Bank (PDB). Enzim yang sedang
dipelajari dapat dibandingkan urutan asam amino-nya dengan urutan protein pada basis data
yang tersedia sehingga dapat diperkirakan asam amino yang berperan untuk aktivitas (active site)
dan kestabilan enzim tersebut.
Setelah active site dan asam amino yang berperan dalam kestabilan enzim diketahui,
kemu-dian dicari senyawa yang dapat berinteraksi dengan asam amino tersebut. Dengan
memanfaatkan data yang ada di PDB, maka struktur 3 dimensi suatu enzim dan active site dari
suatu protein dapat diketahui, sehingga dapat diperkirakan bentuk senyawa yang akan
berinteraksi dengan active site terse-but. Cara pencarian senyawa yang tepat sebagai obat
tersebut dinamakan docking dan cara ini telah banyak digunakan oleh perusahaan farmasi
untuk strategi penemuan obat baru. Farmakogenomik adalah aplikasi dari pendekatan genomik
dan teknologi pada identifikasi dari target - target obat. Farmakogenomik berakar pada
farmakogenetik. Farmakogenetik merupakan studi hubungan antara genotip individu dan
kemampuan individu tersebut untuk memetabolisme senyawa asing. Cakupan farmakogenetik
cukup luas, dan seperti halnya kedokteran molekuler, bertujuan untuk mendeteksi, memonitor
dan menangani penyebab molekuler dari penyakit. Farmakogenetik melibatkan aplikasi
teknologi geno-mik seperti sekuensing gen, genetik statistik, dan analisis ekpresi gen terhadap
obat pada perkem-bangan klinik dan uji - uji klinik. Karena berbagai penyakit berkem-bang
sebagai hasil dari gen-gen yang gagal untuk berperan dengan benar, farmakogenetik dapat meng-
identifikasi gen-gen atau lokus-lokus yang terlibat dalam menentukan respon dari obat yang
diberikan. Melalui cara ini, karakterisasi genetik dari populasi pasien menjadi bagian yang tak
terpisah-kan dari penemuan obat dan proses pengembangan obat. Farmakogenetik bertujuan
menemukan molekul baru dan target terapi baru serta untuk menjelaskan gen - gen yang
menentukan kemanjuran dan toksisitas dari pengobatan spesifik.
Semua obat yang dipasarkan dewasa ini hanya sekitar 500 buah produk gen. Genom
manusia yang diperkirakan 30.000 hingga 40.000 gen sekarang memunculkan kesempatan baru
untuk penemuan obat. Kemajuan pada bidang genomik dan pengurutan DNA menye-babkan
penemuan target obat tidak lagi menjadi masalah namun sekaligus merupakan tantangan. Studi
penemuan target obat ini terus berkembang sehingga fokus dari bioinformatik pada proses
penemuan obat telah berganti dari identifikasi target menjadi validasi target.
Pengetahuan tentang lokasi subselular protein-protein dari agen penyebab penyakit
sangat ber-guna untuk desain suatu vaksin, baik untuk pencegahan maupun terapi, karena
protein-protein per-mukaan atau yang disekresikan berkaitan dengan komponen-komponen
antigenik.
Setelah target - target obat yaitu protein-protein agen penya-kit yang berperan sebagai
enzim, antigen dan sebagainya diketahui, maka dicari atau disintesis zat atau senyawa yang dapat
menekan fungsi dari protein-protein terse-but. Senyawa-senyawa yang da-pat berikatan dengan
DNA target secara spesifik terus dipelajari. Senyawa obat tersebut harus me-menuhi sejumlah
kriteria untuk da-pat efektif dalam mengobati penyakit pada manusia. Senyawa-senya-wa itu
harus harus dapat ditrans-por secara aktif melalui membrane sel dan resisten terhadap degradasi
intrasel. Spesifisitas urutan harus tinggi dan panjang urutan target harus cukup panjang untuk
mem-berikan gene targeting yang efektif. Afinitas ikatan haruslah cukup tinggi untuk
memungkinkan obat menghambat peran fungsional dari urutan DNA yang menjadi tar-getnya.
Dua kelas besar dari senya-wa yang digunakan untuk obat adalah:
1. Senyawa yang mirip asam nukleat.
Senyawa yang mirip asam nukleat seperti peptide nucleic acids (PNAs) dapat membentuk
hibrid yang stabil dengan RNA maupun DNA. PNAs ter-diri atas homopirimidin yang
membentuk tripleks dengan DNA untai ganda. PNAs menghambat polimerisasi DNA,
polimerisasi RNA, trans-kripsi balik dan pengikatan faktor transkripsi.
2. Ligan yang berikatan dengan lekuk pada struktur DNA.
Ligan-ligan yang berikatan de-ngan lekuk minor pada strukt-ur DNA mempunyai
karateristik yaitu bentuk annular yang dibentuk oleh cincin aromatik yang cocok dengan
bentuk kurva dari lekuk minor DNA, muatan kation yang menyediakan afinitas untuk
potensial elektrostatik negatif pada lekuk, dan memiliki atom-atom yang mendonorkan
atau menerima ikatan H. Ligan-ligan ini dapat menginhibisi pengikatan faktor transkripsi,
aktivitas to-poisomerase I dan II dan ak-tivitas helikase. Ligan-ligan ini juga
mempengaruhi arsitektur inti dan menghambat trans-kripsi dan replikasi.

Kelompok kerja mengenai aplikasi genomik pada obat dan di-agnostik telah dibentuk oleh
Komite Patogenesis dan Aplikasi Genomik di bawah Komite Penelitian Dasar dan Strategis
WHO untuk memajukan aplikasi pendekatan genomik untuk:
o Identifikasi dan validasi target baru dari obat atau insektisida menggunakan informasi
geno-mik dalam kaitan dengan teknologi baru, namun tidak terbatas pada RNA
interference, sistem gen yang diinduksi, genomewide mutagenesis, analisis ekspresi
genom, dan bioinformatik dengan fokus khusus pada African trypanosomiasis, penyakit
Chagas, leishmaniasis, malaria, tuberculosis, dan vektor serangga yang relevan.
o Identifikasi dan validasi target berguna dalam mengembangkan diagnostik untuk African
trypanosomiasis.
o Pengembangan uji untuk infek-si leprosy awal melalui kombinasi metode genomik dan
molekuler.
o Penggunaan pendekatan baru untuk mengidentifikasi interaksi target dan ligan yang ber-
kaitan dengan pertumbuhan organisme atau progresi pe-nyakit, dan penggunaan infor-
masi genom untuk mengi-dentifikasi target obat atau insektisida yang terkait.
o Analisis organisme resisten obat dan respon terhadap ke-moterapi menggunakan pende-
katan genomik menyeluruh seperti transcriptional profiling, proteomik dengan tujuan
mengidentifikasi target obat ba-ru dan memahami mekanisme resistensi.
o Perkembangan model sel utuh untuk uji tapis obat atau insek-tisida baru dan pengawasan
target.
o Identifikasi target obat atau insektisida baru yang potensial melalui analisis genom.
o Identifikasi target pada vektor serangga melalui penggunaan genomik dan aplikasinya
untuk mencegah penyebaran penyakit.
o Perkembangan metode analisis genom fungsional, termasuk ekspresi gen yang diinduksi
dan pendekatan mutagenesis genom menyeluruh, untuk identifikasi dan validasi target
obat atau insektisida.
Walaupun usaha penemuan obat baru tersebut harus diteliti dahulu melalui eksperimen di
laboratorium, namun dengan bio-informatika maka semua proses menjadi lebih efisien, baik dari
segi waktu maupun finansial.

Anda mungkin juga menyukai