Anda di halaman 1dari 6

Perubahan iklim mempengaruhi fungsi

mangrove menahan laju kenaikan


permukaan laut
Sebuah riset terbaru memperkuat fungsi perlindungan mangrove untuk menahan kenaikan
permukaan laut.

Samuel McGlennon
Rabu, 10 Feb 2016
Bagikan
250

Peneliti CIFOR dan mitra dari Departemen Kelautan dan Perikanan menginstal alat sedimentasi
dan karbon pengukuran karbon di berbagai situs di sepanjang garis pantai cagar alam Pulau Dua,
Banten. Aulia Erlangga/CIFOR

Paling popular

Isu perempuan dan maraknya perkebunan sawit di Kalimantan Barat


Tanya+Jawab di Doha: Memenuhi kebutuhan pangan sambil melindungi hutan

Mencegah kebakaran dan kabut asap: Solusi lestari bagi lahan gambut Indonesia

Tanah arang: lahan subur untuk pertanian berkelanjutan di Kalimantan?


Meski mangrove mempunyai kemampuan bertahan terhadap kenaikan permukaan laut tingkat
sedang, namun hasil studi terbaru, diprediksikan hingga akhir abad ini, kelangsungan ekosistem
mangrove terancam oleh laju kenaikan permukaan laut.

Hal ini menjadi peringatan bahwa sumber daya mangrove, yang nyata berfungsi melindungi
manusia akan dampak perubahan iklim, ternyata juga rentan terhadap perubahan iklim, ujar
Sigit Sasmito, penulis utama dan seorang peneliti di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional
(CIFOR).

Mangrove memiliki sistem ketahanan alami menghadapi fluktuasi pasang surut permukaan air
laut, disebut oleh para ilmuwan sebagai perubahan ketinggian permukaan. Para ilmuwan juga
telah mengukur proses ini di sejumlah lokasi di seluruh dunia.

Sayangnya tinjauan literatur yang ada, pada umumnya masih belum diketahui bagaimana
mangrove akan bertahan terhadap kenaikan permukaan laut yang diinduksi oleh iklim.

MEMBANDINGKAN KERENTANAN

Kami memasukkan dua jenis mangrove yang berbeda dalam studi ini: mangrove tepian (fringe
mangroves) dan mangrove cekungan (basin mangrove), ujar Sasmito.

Berbagai tindakan adaptasi tidak selalu sangat menarik, tetapi dalam kasus ini kami dapat
merujuk mangrove dan mengatakan perlindungan mangrove sebagai 'adaptasi berbasis mitigasi'

Daniel Murdiyarso

Kami tertarik mengenai jenis mana yang lebih rentan, atau apakah memang terjadi perbedaan.

Karena berbagai ketidakpastian pada peningkatan permukaan laut yang terproyeksi pada sisa dari
abad ini, Sasmito dan rekan peneliti menggunakan skenario kenaikan permukaan laut rendah dan
tinggi dari laporan terbaru (AR5) dari Panel Internasional tentang Perubahan Iklim (IPCC).

Skenario rendah mewakili kenaikan permukaan laut dari 28 cm sampai 61 cm pada tahun 2100,
sementara skenario tinggi mewakili kenaikan 53-98 cm.

Baca juga Can mangroves keep pace with contemporary sea level rise?: A global data review

Dengan adanya kenaikan permukaan laut tinggi, besar kemungkinan mangrove tepian hanya
dapat mengikuti laju derap kenaikan air laut sampai tahun 2055, dan mangrove cekungan di
tahun 2070, ujar Sasmito.

Jadi kami menemukan bahwa mangrove tepian lebih rentan terhadap kenaikan permukaan laut
dibandingkan mangrove cekungan.

Tetapi tidak semua hasilnya mengerikan. Sigit Sasmito menyarankan perlunya alasan untuk
tetap berhati-hati dalam optimisme.
Studi ini juga menemukan bahwa di bawah tingkat kenaikan permukaan laut rendah, kedua jenis
mangrove ini ternyata dapat bertahan sedikitnya sampai akhir dari jendela proyeksi pada tahun
2100.

Temuan ini setidaknya memberikan semangat, ujar Sasmito.

SUDAH BERADA DI BAWAH TEKANAN

Kerusakan mangrove semakin meningkat secara global: lebih dari separuh area mangrove dunia
telah musnah dalam tiga dekade menuju 2007, menurut FAO.

WAWANCARA PAKAR
Mangrove sebagai salah satu prioritas strategi perubahan iklim Indonesia

Riset CIFOR sebelumnya juga mencatat bahwa area mangrove Indonesia yang signifikan bagi
perlindungan global ditebangi pada kecepatan yang mencengangkan, yaitu 50.000 hektar per
tahun terjadi antara tahun 1985 sampai tahun 2000.

Jadi, faktor lain dalam menilai bagaimana mangrove dapat bertahan terhadap kenaikan
permukaan laut ialah memahami status kesehatan mangrove.

Hal ini merupakan kontribusi utama lain dari studi Sasmito.

Dengan mengamati cara mangrove menghadapi berbagai perbedaan tekanan, kami juga belajar
tentang jenis-jenis pengelolaan apa yang paling kondusif untuk membantu mangrove bertahan
terhadap kenaikan permukaan laut, ujar Daniel Mudiarso, peneliti utama CIFOR dan penulis
pendamping studi.

Masalahnya bukan hanya bagaimana mangrove bertahan terhadap kenaikan permukaan laut,
tetapi juga cara bagaimana melakukan berbagai intervensi untuk membantunya bertahan
terhadap hal tersebut.

Sebagian dari mangrove di studi ini berada dalam kondisi asli (alami), sementara sebagian
lainnya dalam proses pemulihan dari berbagai tekanan seperti pembangunan urban dan dampak-
dampak badai, dan sebagian lagi sedang direhabilitasi secara aktif.
Baca juga Addressing climate change adaptation and mitigation in tropical wetland ecosystems
of Indonesia

Tetapi Murdiyarso menekankan, berbagai kondisi yang mendukung kemampuan mangrove untuk
bertahan terhadap kenaikan permukaan laut dan kondisi yang merusak kemampuan tersebut
haruslah dipahami secara spesifik berdasarkan lokasinya.

Hal ini akan memerlukan riset yang lebih terlokalisasi, khususnya di area-area yang terabaikan
secara tradisional, seperti di Asia Tenggara, Afrika, Timur Tengah dan Amerika Selatan.

Studi kami menggambarkan latar belakang di mana dapat dilakukan riset yang lebih spesifik
berdasarkan lokasi.

ADAPTASI BERBASIS MITIGASI

Buktinya semakin bertambah bagi kepentingan mangrove berbagai rupa, termasuk namun tidak
terbatas pada kapasitas penyimpanan karbon mangrove, yang 3-5 kali lebih besar dari hutan
tropis di daerah yang sama.

Volume karbon yang tersimpan dalam mangrove teramat sangat besar di Indonesia, sehingga
menjadikan mangrove sebagai harapan terbaik bagi kontribusi Indonesia dalam memperlambat
perubahan iklim.

Menurut Daniel Murdiyarso, sudah saatnya untuk menghubungkan dua lingkup yang merupakan
pembagian umum dari kebijakan perubahan iklim: yaitu, adaptasi dan mitigasi.

INFOGRAFIS
Fakta penting untuk peduli kelestarian mangrove

Tidak ada gunanya untuk mencoba melaksanakan adaptasi secara terpisah dari mitigasi. Kita
harus menggabungkan keduanya, ujar Murdiyarso.
Berbagai tindakan adaptasi tidak selalu sangat menarik, tetapi dalam kasus ini kami dapat
menunjuk pada mangrove itu dan berkata bahwa melindunginya merupakan adaptasi berbasis
mitigasi.

Hal tersebut berkontribusi pada pengurangan masalah yang melingkupi perubahan iklim
pada waktu bersamaan dengan membantu untuk menangani sebagian dari dampak yang kita
ketahui akan tiba pada saatnya, ujarnya.

Di COP21 Paris, sejumlah skema mitigasi, seperti INDC, NAMA, REDD+ dan Joint Mitigation
Adaptation (JMA) dirumuskan sebagai bagian dari Kesepakatan bersama, ujar Murdiyarso.
Berbagai mekanisme ini secara potensial dapat mencakup tampungan kaya karbon seperti
ekosistem mangrove, ia menjelaskan lebih lanjut.

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Sigit Sasmito di s.sasmito@cgiar.org.
Riset ini merupakan bagian dari penelitian CGIAR tentang Hutan, Pepohonan dan Agroforestri.

Anda mungkin juga menyukai